You are on page 1of 15

Pupuh pertama Dangdanggula, 13 Bait. Pupuh ini diawali oleh kalimat Bismillahi ya rakhman nira khim.

Pupuh ini menceritakan lolosnya Walangsungsang putra Prabu Siliwangi yang berk einginan mencari agama Nabi Muhammad. Walangsungsang yang juga putra mahkota Kera jaan Pajajaran berkeinginan untuk berguru agama Nabi Muhammad. Lalu, ia mengutarak an maksudnya kepada ayahandanya, Prabu Siliwngi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan mengusir Walangsungsang dari istana. Pada suatu malam, Walangsungsang me larikan diri meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi u ntuk berguru agama nabi (islam)kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal Mekah di bukit Amparan Jati cirebon. Dalam perjalanan mencari Syekh Nurjati, Walangsun gsang bertemu dengan seorang pendeta Budha bernama Sang Danuwarsi. Pupuh Kedua Kinanti, 24 bait. Pupuh ini menceritakan perjalanan Rarasantang adik Walangsungsa ng yang juga berkeinginan untuk mempelajari agama nabi yang menyusul kakaknya hin gga pertemuannya dengan Walangsungsang di Gunung Merapi. Setiap hari, Rarasantan g amat bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya. Ia terus menerus menangis . Jerit hatinya tak tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan i stana Pakuan Pajajaran. Lalu, Prabu Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia tidak dip erkenankan pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang. Namun, usaha Patih Arga sia-sia belaka karenanya ia tidak berani pulang. Akhirnya, ia mengambil kep utusan mengabdi di negeri Tajimalela. Sementara itu, perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung Tangkuban-perahu da n bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang diberi pakaian sakti oleh Nyai Se kati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat. Nyai Sekati memberi petunjuk agar R arasantang pergi ke gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh ajar Cilawung nama Rarasantang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dika sihi Tuhan, dan menjabat sebagai pimpinan para wali. Selanjutnya, Nyai Eling dib eri petunjuk agar meneruskan perjalanan ke Gunung Merapi. Cerita beralih dengan menceritakan Resi Danuwarsi yang juga dikenal dengan nama Aj ar Sasmita yang tengah mengajar Walangsungsang. Sang Danuwarsi mengganti nama Wala ngsungsang menjadi Samadullah dan menghadiahi sebuah cincin bernama Ampal yang b erkesaktian dapat dimuati segala macam benda. Ketika keduanya tengah asyik berbi ncang-bincang tiba-tiba datanglah Rarasantang yang serta merta memeluk kakaknya. Di Gunung Merapi, Walangsungsang dinikahkan dengan putri Danuwarsi yang bernama Indang Geulis. Sesuai dengan petunuk Resi Danuwarsi, Samadullah beserta istri d an adiknya meninggalkan Gunung Merapi menuju bukit Ciangkup. Indang Geulis dan R arasantang dimasukkan ke dalam cincin Ampal. Pupuh Ketiga Asmarandana, 16 bait. Di bukit Ciangkup tempat bertapa seorang pendeta Budha berna ma Sanghyang Naga Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama golok Caba ng yang dapat berbicara seperti manusia dan bisa terbang. Setelah mengganti nama Samadullah menjadi Kyai Sangkan, Sanghyang Naga memberi petunjuk agar Samadulla h melanjutkan perjalanan ke Gunung Kumbang menemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah teramat tua. Nagagini adalah seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk menjaga beberap a jenis pusaka: kopiah waring, badong bathok (hiasan dada dari tempurung), serta umbul-umbul yang harus diserahkan kepada putera Pajajaran. Atas petunjuk Nagagi ni, Walangsungsang kemudian berangkat ke Gunung Cangak. Nagagini memberi nama ba ru bagi Walangsungsang, yakni Karmadullah.

Pupuh Keempat Megatru,26 bait. Ketika tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiar a yang setiap cabangnya dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud menan gkap salah seekor burung bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan terbang jauh. Ia teringat akan pusakanya kopiah waring yang khasiatnya menyebabkan ia tidak a kan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan setan. Kopiah Waring segera ia pakai , lalu ia mengambil sebatang bambu untuk membuat bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu diletakkan seekor ikan. Burung-burung bangau terta rik melihat ikan dalam bubu hingga membuat suara berisik dan menarik perhatian r aja bangau (Sanghyang Bango) yang segera mendekati rakyatnya . Raja Bango berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk ke dalam perangkap dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh Walangsungsang. Raja Bango mengajukan permohonan agar tidak disembelih, dan ia menyatakan takluk kep ada Walangsunsang serta mengundangnya untuk singgah di istananya guna diberi pus aka. Di dalam istana, Raja Bango berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menye rahkan benda pusaka berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai nasi beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dap at mengeluarkan nasi kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000 bala te ntara. Sanghyang Bango memberi nama Raden Kuncung kepada Walangsungsang yang kem udian melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati. Pupuh kelima Balakbak, 16 bait. Setibanya di gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurj ati yang juga bernama Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih keturu nan Nabi Muhammad dari Jenal Ngabidin. Lalu, Walangsungsang berguru kepada Syekh Nurjati dan menjadi seorang muslim den gan mengucapkan syahadat. Setelah ilmunya dianggap cukup, Syekh Datuk Kafi menyu ruh Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan di tepi pantai. Walangsungsang memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan adiknya, yang di "masukkan" ke dalam cincin Ampal. Perkampungan baru yang ak an dibukanya kelak dikenal dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya dib eri nama Panjunan. Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsu ngsang dengan sebutan Ki Cakrabumi. Pupuh keenam Menggalang, 13 bait. Selanjutnya, Cakrabumi membuka hutan dengan Golok Cabang. D engan kesaktian Golok Cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat. Ket ika goloknya bekerja membabat hutan, ohon-pohonan roboh dengan mudah, lalu golok mengeluarkan api dan membakar kayu-kayu hutan sehingga dalam waktu singkat peke rjaan sudah selesai; sementara Walangsungsang tidur mendengkur. Hutan yang diram bah cukup luas sehingga pendatang-pendatang baru tidak perlu bersusah payah memb uka hutan. Dalam waktu singkat, pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan Cakrabuwana dengan sebutan Kuwu Sangkan. Kuwu Sangkan sendiri tidak bertani karena pekerjaannya hanyalah menjala ikan dan membuat terasi. Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke selatan hingga Gunu ng Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke rumahnya yang terletak di Kanoman, ternyata gurunya, Syekh Datuk Kahfi telah berada disana. Pupuh ketujuh Sinom, 24 bait. Ketika Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir , ia menganjurkan supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Me

kah. Walangsungsang mematuhinya. Ia pun berangkat menunaikan ibadah haji bersama adiknya, Rarasantang. Syekh Datuk Kahfi menitipkan sepucuk surat untuk sahabatn ya, Syekh Bayan dan disarankan agar Walangsungsan beserta adiknya tinggal di rum ah Syekh Bayan selama di Mekah. Cerita beralih kepada kisah Raja Uttara, seorang raja Bani Israil yang baru diti nggal mati oleh istrinya. Ia menyuruh patihnya agar mencari seorang wanita yang parasnya serupa benar dengan almarhumah permaisurinya. Patih Raja Uttara mengembara ke neger Rum, Bustam, Syam, Turki, dan Mesir, namun belum juga menemukan wanita yang diinginkan rajanya. Akhirnya, ia pergi ke Meka h pada saat musim haji. Ia melihat tiga orang berjalan beriring-iringan. Mereka adalah Syekh Bayan, Walangsungsang, dan Rarasantang. Sang Patih mengikuti mereka sampai ke rumahnya. Menurut penglihatannya, Rarasantang mirip sekali dengan alm arhumah permaisuri Mesir. Patih Raja Uttara meminta Rarasantang utuk menjadi istri Raja Uttara di Bani Isr ail. Ternyata, ia bersedia menjadi istri raja Uttara dengan mas kawin sebuah sor ban peningglan Nabi Muhammad SAW. Pupuh kedelapan Asmarandana, 13 bait. Ketika Rarasantang tengah hamil tujuh bulan, ia ditinggalk an suaminya yang bermaksud mengunjungi negeri Rum menengok pamannya, Raja Yutta. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, baru satu hari Raja Uttara be rada di Rum, ia terserang penyakit kolera dan tak tertolong lagi. Raja Uttara su dah pulang ke rahmatullah. Utusan segera dikirim ke Mesir untuk memberi kabar Ra ja Uttara telah meninggal di rum. Pupuh kesembilan Sinom, 15 bait. oleh suaminya, arasantang yang aminya, apalagi Pupuh ini menceritakan kesedihan Rarasantang yang ditinggal mati serta kisah kembalinya Walangsungsang ke tanah Jawa. Kesedihan R sedang hamil tua itu tak terbayangkan lagi mendengar kematian su masa kehamilannya telah mencapai usia 12 bulan.

Sementara itu, di Mekah, Syekh Bayan dan Walangsunsang tengah bercakap-cakap ten tang rencana kembalinya ke tanah Jawa. Dalam perbincangan itu, Syekh Bayan berke inginan untuk turut serta ke pulau Jawa. Walangsungsang yang telah berganti nama menjadi Abdul Iman meminta agar Syekh Bayan bersabar dahulu karena Abdul Iman i ngin berkelana mengelilingi daerah Mekah hingga ke desa-desa. Tetapi, ternyata p engembaraan Walangsungsang telah sampai ke Aceh yang saat itu sedang terserang w abah penyakit. Permaisuri aceh meninggal karena terserang wabah penyakit. Ia men inggakan seorang anak perempuan yang belum diberi nama. Demikian pula Sultan Ace h yang bernama sultan Kut saat itu juga sedang sakit parah. Syekh Abdul Iman berhasi l menyembuhkan Sultan Aceh dan putrinya. Putri Aceh yang masih kecil kemudian di ambilnya menjadi anak angkatnya dan dimasukkan ke dalam cincin Ampal. Syekh bayan yang menunggu Abdul Iman di Mekah hampir tiga bulan ternyata belum k embali juga. Ia segera mempersiapkan perahu dan berangkat sendiri dari pelabuhan Julda ( Jeddah ) menuju Cirebon. Pupuh kesepuluh Maskumambang, 13 bait. Dengan mengucap bismillah, Syekh Bayan memulai pelayarann ya meninggalkan Mekah menuju Cirebon. Sementara itu, Abdul Iman yang kembali ke Mekah setelah melakukan pengembaraan merasa ditipu oleh Syekh Bayan. Dengan kesa ktiannya, Abdul Iman segera melesat ke Pulau Jawa. Ia menantikan kedatangan Syek h Bayan di tepi pantai dengan menyamar sebagai pencari ikan.

Syekh Bayan tiba di Cirebon, ia disambut oleh seorang pencari ikan. Ia bertanya kepada pencari ikan itu di manakah ia bisa menjumpai syekh Datuk Kahfi. Syekh Ab dul Iman yang menyamar sebagai pencari ikan tidak menjawab pertanyaan syekh Baya n, melainkan ia menjelaskan bahwa jika Syekh Bayan ingin menjadi orang yang muli a dan menjadi wali, tunggulah syekh Datuk Kahfi di Gunung Gajah. Pupuh kesebelas Dangdanggula, 12 bait. Abdul Iman melanjutkan perjalanannya mengembara sebagai p encari ikan, sementara Syekh Bayan pergi ke Gunung Gajah. Di tengah perjalanan, Abdul Iman teringat kepada gurunya, lalu ia kembali ke Panjunan untuk menemui gu runya, juga istrinya. Akan tetapi, ternyata gurunya tidak ada, dan yang ada hany alah sepucuk surat yang ditinggalkan syekh Datuk Kahfi. Isi surat itu : jika ing in bertemu dengannya, hendaklah menyusul ke Pandanjalmi. Ketika ia hendak pergi lagi mengembara, ia menyerahkan sebuah peti kepada istrin ya dengan pesan : Kelak, jika datang seorang pemuda dari Mekah, dan tinggal di Gu nung Jati, serahkanlah peti itu kepadanya. Jika anak yang dalam kandunganmu lahi r perempuan, berilah nama Pakungwati. Jika yang lahir laki-laki terserah. Ibu da n anak hendaklah berguru kepada pemuda yang berasal dari Mekah itu . Abdul Iman pergi ke Pandanjalmi dan bertapa di Sendang, dan menamakan dirinya Ki Gede Selapandan. Ia bertani sambil mengasuh anak angkatnya yang bernama Nyi Wan asaba. Ketika ia pindah ke Lebaksungsang, anaknya berganti nama menjadi Nyi Gand asari dan ketika dukuhnya semakin besar, ia namakan desa Panguragan. Ia percayak an desa itu kepada anaknya, Ratu Emas Gandasari, yang juga terkenal dengan nama Nyi Gede Panguragan. Cerita beralih pada kisah kelahiran Syarif Hidayat. Tersebutlah Rarasantang di M esir. Ia melahirkan bayi kembar laki-laki: anak pertama diberi nama Syarif Hiday at, sedangkan anak kedua syarif (Ng)aripin. Ketika mereka sudah berumur 14 tahun , mereka rajin mempelajari ilmu agama. Lebih-lebih Syarif Hidayat, segala macam kitab agama ia baca hingga akhirnya ia membaca sebuah kitab rahasia yang tertuli s dengan tinta emas. Pupuh keduabelas Sinom, 21 bait. Setelah membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep luwi, gegurua ing Mukhamad( jika ingin menjdi manusia istimewa bergurulah k epada Muhammad ), Syarif Hidayat merasa setengah tidak percaya terhadap amanat y ang tertera dalam buku itu. Namun, dalam setiap tidurnya, ia selalu bermimpi mel ihat cahaya yang mengeluarkan suara: e Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun , lamon sira arep mulya, nimbangi keramat Nabi, ulatana sira guguru Mukhamad ( H ai Syarif Hidayat dengarkanlah petunjukku, jika engkau ingin menjadi manusia mul ia sehingga dapat mengimbangi keramat nabi, carilah dan bergurulah kepada Muhamm ad ). Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang tidak berayah sehin gga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu. Meskipun demikian, hatinya tegu h hendak menuruti petunjuk kitab dan panggilan mimpi. Ia memohon diri kepada ibu nya dan sudah tak dapat dicegah lagi kemauannya. Ia tidak tertarik pada keduduka n sebagai raja. Syarif Hidayat mulai mengembara mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke patilasan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga memperoleh petunjuk. Lal u, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan, membaca shalawat nabi, dan mengucap kan taubat. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke gunung Jambini. Di sana, i a bertemu dengan Naga Pratala yang menderita sakit bengkak. Sang Naga minta diob ati, dan Syarif Hidayat hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras pu li kadi du ing kuna ( jika aku benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pa stilah engkau sembuh ). Seketika Naga Pratala menjadi sembuh. Kemudian, ia membe rikan sebuah cincin pusaka bernama Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala

isi bumi dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti ( Mardada ) menemui pertapa di sana. Pulau Mardada dihuni oleh binatang buas dan berbisa yang sedang menjaga sebuah k eranda biduri. Di sebuah cabang kay yang tinggi, Syarif Hidayat melihat ada seor ang pemuda bernama Syekh Nataullah sedang bertapa. Pemuda itu menjelaskan bahwa tidak ada harapan untuk menemui orang yang sudah tiada, lebih baik berusaha mend apatkan cincin Mulikat yang berada di tangan Nabi Sulaiman. Ia menjelaskan bahwa barang siapa memiliki cincin Mulikat, ia akan menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati oleh umat manusia. Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataul lah bersama-sama mengambil cincin tersebut. Pupuh ketigabelas Kinanti, 30 bait. Ketika Syarif Hidayat berada di makam Nabi Sulaeman, jenazah N abi Sulaeman seolah-olah hidup dan memberikan cincin Mulikat kepadanya. Syekh Na taullah mencoba merebut cincin tersebut, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba meleda klah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga yang sedang mengadu tenaga mempereb utkan cincin tersebut terlempar. Syekh Nataullah melesat jatuh di pulau jawa, se dangkan Syarif Hidayat jatuh di Pulau Surandil. Cerita dalam pupuh ini diselingi oleh kisah Rarasantang yang merindukan Syarif H idayat. Sudah sepuluh tahun Rarasantang ditinggal putranya. Ia selalu berdoa aga r anaknya mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiba-tiba, ia mendengar suar a, ujarnya : wondening anakira iku, waruju kang dadi aji, Banisrail kratonira, n ama Sultan Dul Sapingi, mung kang dadi lara brangta, amung putranipun Syarip, la mon eman maring siwi, balik angungsiyang Jawa, lamon arep ya pinanggi ( Anakmu y ang muda itu akan menjadi raja, keratonnya di Baniisrail, bergelar Abdul Sapingi . Jika engkau benar-benar merindukan anakmu Syarip Hidayat, sebaiknya kembalilah engkau ke Pulau Jawa.) Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau Jawa menantikan a naknya di Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk Kahfi. Cerita kembali ke Syarif Hidayat yang jatuh di Gunung Surandil. Di sana, ia meli hat sebuah kendi berisi air sorga yang sangat harum baunya. Kendi itu mempersila hkan Syarif Hidayat meminumnya. Karena ia hanya menghabiskan setengahnya, kendi itu meramalkan bahwa kesultanan yang kelak akan didirikan olehnya tidak akan lan ggeng. Meskipun kemudian air kendi itu dihabiskan, namun yang langgeng hanyalah negaranya, bukan raja-rajanya. Setelah berkata demikian, kendi itu pun lenyap. Syarif Hidayat kemudian bertemu dengan Syekh Kamarullah. Atas anjurannya, Syekh Kamarullah pergi ke Jawa dan menetap di gunung Muriya dengan gelar Syekh Ampelde nta. Dengan demikan, sudah empat orang syekh dari Mekah yang tiba di tanah Jawa. Pupuh keempatbelas Sinom, 28 bait. Suatu ketika, Nabi Aliyas ( Ilyas ) menyamar sebagai seorang wan ita pembawa roti. Ia menawarkan kepada Syarif Hidayat bahwa rotinya adalah roti sorga, dan barang siapa yang memakan roti itu, ia akan mengerti berbagai macam b ahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan, Inggris, dan Turki. Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari Muhammad ikutilah seseorang yang menunggang k uda di angkasa, dialah Nabi Khidir yang dapat memberi petunjuk. Wanita pemberi p etunjuk itu hilang seketika dan tiba-tiba di angkasa tampak seorang penunggang k uda. Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di ekor kuda. Nabi Khidir p enunggang kuda menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat terpelanting dan jatuh d i negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari. Abdul Sapari memberinya dua butir buah kalam muksan; sebuah dimakan habis oleh S yarif Hidayat dan terasa manis sekali, sementara sebuah lagi disimpan untuk lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan itu menjadi pertanda bahwa kelak

akan timbul tantangan-tantangan di saat Syarif Hidayat menjadi sulltan. Tidak de mikian halnya jika dua buah itu dihabiskan sekaligus. Akhirnya, buah Kalam Muksa n yang sebuah lagi segera dimakan, namun rasanya sangat pahit dan sangat menyaki tkan seperti sakitnya orang menghadapi sakratul maut. Ia pingsan seketika. Abdul Sapari segera memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif Hidayat ke bubu ngan mesjid. Dari situ, Syarif Hidayat mikraj ke langit. Dalam perjalanan mikraj , pertama kali ia sampai di pintu dunia dan melihat orang-orang yang mati sabil serta mukmin yang alim dan kuat beribadat. Di langit kedua, ia bertemu dengan ro h-roh wanita yang setia dan patuh pada suami. Di langit ketiga, ia bertemu denga n Nabi Isa yang menghadiahkan nama Syarif Amanatunggal. Di langit keempat, ia be rtemu dengan ribuan malaikat yang dipimpin oleh Jibril, Mikail, Israfil, dan Izr ail. Para pemimpin malaikat juga memberinya nama, antara lain, Malaikat Jibril m emberi nama Syekh Jabar, Mikail memberi nama Syekh Surya, Israfil memberi nama S yekh Sekar, dan Izrail memberinya nama Syekh Garda Pangisepsari. Di langit kelim a, ia bertemu dengan ribuan nabi, antara lain, Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Mus a. Mereka juga menghadiahi nama baru bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam memberi nama Syekh Kamil, Nabi Ibrahim memberi nama Saripulla, dan Nabi Musa memberi nama Sy ekh Marut. Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat neraka, dinding jalal, dan meniti sirotol mustakim. Akhirnya, ia tiba di langit ketujuh dan melihat cahaya terang benderang. Pupuh kelimabelas Kinanti, 26 bait. Di langit ketujuh Syarif Hidayat bertemu dengan Nabi Muhammad ya ng sedang tafakur. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal. Karena it u, ia tidak boleh mengajar umat manusia. Apalagi karena di dunia sudah ada wakil nya, yakni para fakir, haji, kitab Al qur an, puji-pujian, dan segala macam ilmu t elah lengkap di dunia. Akan tetapi, Syarif Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin mendengar penjelasan langsung dari Nabi Muhammad, terutama ten tang makna asasi kalimat syahadat dan perbedaannya dengan zikir satari. Nabi Muh ammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan menganugerahkan jubah ak bar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan berguru kepada S yekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan menjaga syareat. Syarif Hidayat lalu turun dari langit ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang di Ajrak dan kembali ke Gunung Jati. Di sana, ia bertemu dengan bundanya yang sudah menj adi pertapa wanita bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh Nurjati telah pindah ke gua Dalam. Pupuh keenambelas Sinom, 27 bait. Syekh Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hiday at. Ketika tamunya datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar Syarif Hidayat menyusul ke Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung Gundul, tetapi Syekh Nurjati pergi ke Gunung Jati. Akhirnya, atas petunjuk cincin Marembut, ia mencegatnya di tengah jalan. Keduanya mendiskusikan ilmu agama. Syekh Nurjati me mberi nama syarif Hidayat denga nama Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menja di sultan bergelar Sultan Jatipurba. Selesai mengutarakan pesan-pesannya, Syekh Nurjati lenyap dan tidak pernah muncu l lagi sebagai Syekh Nurjati melainkan sudah bernama Pangeran Panjunan atau Syek h Siti Jenar, dan bergelar Sunan Sasmita. Dengan perantaraan cincin Marembut, Sy arif Hidayat melihat ke mana sebenarnya kepergian Syekh Nurjati. Kemudian, ia me njumpai ibunya di Gunung Jati, dan pergi ke Gunung Muria hendak menemui Syekh Ka marullah yang bergelar Syekh Ampeldenta. Saat itu, Syekh Kamarullah sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya agar de ngan sungguh-sungguh mencari arti dan makna kalimah syahadat. Pangeran Kendal di suruh bertapa membisu, Pangeran Makdum disuruh tidur di tepi pantai, dan Pangera n Kajoran harus bertapa menentang matahari. Setelah murid-muridnya pergi, datang

lah Syarif Hidayat. Lalu, keduanya mendiskusikan ilmu agama. Atas anjuran Syekh Ampeldenta, pergilah Syarif Hidayat ke Gunung Gajah menemui Syekh Bayanullah yan g berasal dari Mekah. Pupuh ketujuhbelas Amarandana, 48 bait. Di Gunung Gajah, Syekh Bayanullah ternyata telah berganti n ama menjadi Pajarakan. Tetapi, saat ia menanam jagung, namanya menjadi Syekh Jag ung atau Syekh Majagung, atau Ki Dares jika sedang enau. Suatu ketika, Ki Dares tengah bersenandung seraya memahat enau, datanglah Syarif Hidayat. Ki Dares kagu m melihat keampuhan kalimah syahadat yang diucapkan oleh Syarif Hidayat yang dap at merontokkan buah pinang dan mengubahnya menjadi emas, dan ia berkeinginan unt uk berguru kepadanya. Syarif Hidayat melanjutkan perjalanannya ke Nusakambangan untuk menemui Syekh Nataullaah yang telah bergelar Syekh Damarmaya yang mengamal kan ilmu makdum sarpin; siang malam terus menerus mandi dan tak pernah tidur seo lah-olah airlah yang menjadi tumpuan harapan. Syarif Hidayat tiba di sana lalu m embaca syadat serta merta air sungai tempat mandi Syekh Nataullah lenyap. Syarif Hidayat menyarankan kepada Syekh Damarmaya apabila ingin mengetahui makna syaha dat datanglah ke Cirebon, kelak di waktu para wali berkumpul. Lalu, Syarif Hidayat melanjutkan perjalanannya menemui Pangeran Kendal yang seda ng bertapa membisu siang malam berjalan sepanjang jalan tanpa berkata-kata. Sepert i halnya ketika bertemu Syekh Damarmaya, Syarif Hidayat menjelaskan sekelumit il mu kepada Pangeran Kendal dan menganjurkan supaya pergi ke Cirebon. Giliran sela njutnya mendatangi Pangeran Makdum yang sedang bertapa denga tidur di pantai ser ta pergi ke Madura menemui Pangeran Kajoran yang sedang bertapa dengan menentang matahari. Semua pertapa yang ditemuinya diundang ke Cirebon. Sebelumnya mereka menemui Syekh Ampel di Gunung Muria. Cerita beralih pada kisah seorang raja di negara Atasangin yang masih beragama B udha. Ia telah mengetahui akan kedatangan Syarif Hidayat. Sebelum tamunya datang , ia beserta negaranya menghilang ke dasar laut. Syarif Hidayat kemudian menerus kan perjalanan dan bertemu dengan putra mahkota Keling sedang melarung jenazah a yahandanya. Atas anjurannya, jenazah Raja Keling kemudian dimandikan dan dikubur . Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Mesir. Pupuh kedelapanbelas Dangdanggula, 25 bait. Ketika Syarif Hidayat tiba di Mesir, ia diminta oleh adik nya, Syarif Arifin, untuk memangku jabatan sebagai Raja Mesir. Tetapi, ia tidak mau menjadi raja. Ia tetap memilih sebagai ulama. Ia hanya meminta kepada adikny a seorang kemenakannya yang bernama Pulunggana untuk diajak berkelana. Dari Mesi r, Syarif Hidayat pergi ke Rum mengunjungi pamannya, Raja Yutta, lalu ke negeri Cina dan mengabdikan dirinya pada raja Cina. Raja Cina mempunyai seorang putri yang teramat cantik bernama Ratna Gandum yang jath cinta kepada Syarif Hidayat. Ketika Syarif Hidayat hendak pulang ke Pulau J awa, Ratna Gandum berniat mengikutinya, tetapi dilarang oleh orang tuanya. Meski pun demikian, ia memaksa dan akhirnya melarikan diri mengikuti Syarif Hidayat. K eduanya selamat sampai di Pulau Jawa dan menetap di Gunung Jati. Sejak saat itu, Gunng Jati semakin ramai sebagai pusat agama islam. Tersebutlah Nyi Indang Geulis di Kebon Pesisir. Ia memiliki seorang anak perempu an bernama Pakungwati yang sudah menginjak remaja dan teramat cantik. Berita ten tang wali yang berasal dari Mekah yang bermukim di Gunung Jati mengingatkan Inda ng Geulis akan pesan suaminya. Ia segera bersiap-siap pegi ke Gunung Jati besert a anaknya. Tak lupa pula, ia membawa kendaga yang ditinggalkan suaminya.

Sebelum Nyi Indang Geulis tiba di Gunung jati, terlebih dahulu telah datang tamu dari Gunung Muria, yakni Syekh Ampeldenta beserta murid-muridnya. Tujuan utaman ya adalah membicarakan penyerangan terhadap negara Majapahit yang masih beragama Budha. Semuanya sepakat dengan rencana itu. Menyusul kemudian Nyi Indang Geulis bersama Nyi Pakungwati. Ia menyerahkan kendaga kepada Syarif Hidayat yang terny ata isinya sorban dan surat dari uaknya, Walangsungsang. Akhirnya, Syarif Hidaya t menikah dengan Pakungwati dan mulailah pembangunan negara ( kota) Cirebon yang dimulai dengan pembangunan alun-alun dan istana yang kemudian terkenal dengan n ama istana Pakungwati. Pupuh Kesembilanbelas Asmarandana, 18 bait. Pupuh ini menceritakan kisah Sunan Kalijaga sebagai kisah selingan dalam cerita Sunan Gunung Jati. Sunan Kalijaga adalah anak Dipati Tuban , Suryadiwangsa. Ia adalah anak tunggal yang telah menjadi yatim piatu sejak men jelang masa akil-baligh. Nama kecilnya adalah Nurkamal. Ia bercita-cita ingin me njadi manusia yang terpuji dan mulia. Setiap hari, ia membagi-bagikan sedekah ke pada para menteri dan seluruh rakyatnya. Sedekahnya dibagikan tanpa pilih bulu, penjudi, pemadat, pemabuk, da para pelaku perbuatan maksiat, semuanya boleh ikut menghabiskan hartanya. Suatu ketika, uang dan hartanya sudah habis ketika Nurkamal harus menyelenggarak an selamatan 1.000 hari kematian orang tuanya. Ia memanggil Patih Sutiman dengan maksud menggadaikan negeri Tuban kepada Patih Sutiman seharga 2.000 dinar. Akhi rnya, negara dan rumah Kadipaten sudah digadaikan. Itu berarti, ia sudah tidak m empunyai rumah lagi, dan ia berniat untuk bersedekah di pasar. Di pintu gerbang, Nurkamal bertemu dengan kakek-kakek yang mempunyai dongeng berharg yang dapat m enuntun manusia menuju kemuliaan. Nurkamal bingung sejenak; jika dongeng dibeli, ia urung sedekah. Jika bersedekah, ia akan kehilangan jalan kemuliaan. Akhirnya , ia memilih jalan kemuliaan. Nurkamal menyetujui untuk membeli dongeng si Kakek seharga 2.000 dinar. Mulailah si Kakek mendongeng yang berintikan empat hal : Pertama, jangan suka membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; k etiga, jika mengantuk jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa menidurinya. Si Kakek juga memberi sebuah baju tambal yang bernama si Gundhil yang berkhasiat dapat berjalan dengan cepat di an gkasa dan memberi nama Nurkamal dengan sebutan syarif Durakhman. Lalu, Durakhman pergi ke Kerajaan rawan, dan mengabdi pada Adipati Urawan. Pupuh keduapuluh Pangkur 26 bait,Adipati Urawan sangat sayang kepada Syarif Durakman.Suatu hari, ia di ajak berburu ke hutan,tetapi senjata Sang Adipati Urawan tertinggal di ist ana. Durakman di suruh mengambil senjatanya. Ketika ia tiba di kadipaten, ia mel ihat istri adipati sedang bermesraan dengan Raden Turna, anak Patih Judipati. Du rakman segera kembali ke hutan dengan membawa tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya terbongkar segera menyusul suaminya ke hutan dengan keret a. Lalu, mengadukan bahwa Durakman telah berlaku tidak senonoh kepada dirinya. Tanpa pikir panjang, Adipati Urawan menulis sepucuk surat kepada Patih Judipati yang isinya bahwa orang yang membawa surat harus di bunuh. Jika tidak, Patih Jud ipati sendiri yang di penggal kepalanya. Adipati Urawan menjelaskan pada istriny a Dewi Srigading--bahwa Durakman akan di bunuh oleh Patih Judipati. Dalam perjala nan, Durakman bertemu dengan Raden Turna. Keduanya berjalan bersama ke kepatihan . Di tengah perjalana, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta Du rakhman untuk mencicipi makanan yng dihidangkan. Durakhman teringat pada dongeng si Kakek bahwa tidak boleh menolak rejeki sehingga ia pun singgah dan ikut berk enduri. Raden Turna tidak sabar menunggu kenduri sehingga, secara diam-diam, ia mengambi

l surat untuk ayahnya. Ia tinggalkan Durakhman dan segera menyampaikan surat ter sebut kepada ayahnya. Setelah membaca isi surat, terpaksa Patih Judipati menurut i isi surat itu : kepala anaknya segera ia penggal dan Raden Turna meninggal sek etika. Tidak lama kemudian, Durakhman tiba di rumah Patih Judipati yang menyatak an diutus sang Adipati untuk mengambil mayat Raden Turna. Adipati Urawan terkejut melihat kedatangan Durakman yang membawa mayatTurna. Dur akman lalu menceritakan pengalamannya membeli dongeng seharga 2.000 dinar. Sang Adipati sadar akan apa yang terjadi, dan memberi petunjuk kepada Durakman supaya mengabdi pada seorang raja perempuan di negeri Diriliwungan. Pupuh keduapuluh satu Dangdanggendis, 25 bait. Di negeri Diriliwungan, Durakman tersesat ke puri di be lakang istana.Di sana, ia melihat banyak kuburan. Kedatangan Durakman diketahui oleh para penjaga. Lalu ia ditangkap dan dihadapkan pada Ratu Diriliwungan. Ia a kan dibebaskan asal bersedia kawin dengan Sang Ratu. Akhirnya, Durakman bersedia menikahinya. Di malam hari, ketika akan tidur Durakman teringat kembali akan dongeng si Kakek bahwa istri yang cantik jangan segera ditiduri. Karenanya, cumbu rayu istrinya tidak ia hiraukan bahkan ia pura-pura tidur. Ratu Diriliwungan merasa kesal dan sangat lelah sehingga akhirnya tertidur, sementara Durakman hanya duduk termangu .Tiba-itba dari aurat Ratu Diriliwungan keluar seekor kelabang putih menyerang D urakman namun berhasil ditangkap dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah wujud menjadi sebilah keris yang dinamakan keris Kalamunyeng--di kemudi an hari, keris ini menjadi pusaka raja-raja Jawa. Keesokan harinya, rakyat Diril iwugan berkumpul denga membawa keranda. Ketika ditanya oleh Durakman, mereka men jawab bahwa setiap orang yang menikah dengan Ratu Diriliwungan, keesokan harinya pasti meninggal. Sementara itu, Ratu Diriliwungan bersumpah setia kepada Durakm an, dan ia memilih menceburkan diri ke laut yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kidul. Adapun Durakman melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke Ampel. Syekh Ampeldenta y ang mengetahui bahwa tamunya merupakan calon wali penutup tidak berani menerima sembahnya, bahkan mengajar pun ia tidak berani. Ia hanya memberi petunjuk jalan ke arah kesempurnaan. Durakman dianjurkan supaya menjadi perampok di hutan Japur a dengan nama Lokajaya dan membunuh setiap orang yang melewati hutan Japura. Tersebutlah Ki Paderesan atau Ki Dares di Gunung Gajah hendak pergi ke Cirebon m encari guru agama Islam bersama-sama istrinya, Nyi Mukena. Suami-istri itu berja lan melewati hutan Japura dan bertemu dengan Lokajaya yang segera menghadangnya. Dalam ketakutannya, suami-istri itu tidak putus-putusnya berdoa memohon ampunan Allah sehingga ketika pedang Lokajaya bertubi-tubi menghantamnya ternyata tidak mempan. Akhirnya, Lokajaya memohon ampun kepada Ki Dares dan meminta brguru kep adanya. Oleh Ki Dares, Lokajaya lalu dikubur hidup-hidup dengan tujuan agar tubu h Lokajaya bersih dari segala dosa. Pada waktu yang hampir bersamaan, di keraton Majapahit, Raja Brawijaya sedang me nerima kedatangan dua orang putranya dari Palembang : Raden Patah dan Raden Huse n. Raden Husen diangkat menjadi Adipati Terung, sementara Raden Patah dinasehati supaya bersabar dan diharapkan kelak akan menjadi raja. Pupuh keduapuluh dua Sinom, 9 bait. Raden Patah merasa sakit hati karena ia tidak diangkat menjadi ad

ipati. Ia pun pergi ke Ampel guna menghadap Syekh Ampeldenta untuk berguru kepad anya. Dalam pada itu, sudah tiga kali Ampel mencoba menyerang Majapahit, tetapi selalu gagal dan banyak korban berjatuhan dihajar oleh Adipati Terung. Karena itu, Sye kh Ampel mencari orang yang berani melawa Adipati Terung. Barangsiapa dapat meng alahkan Majapahit, ia akan diangkat menjadi raja. Raden Patah bersedia memimpin pasukan islam untuk menyerang Majapahit. Ia lalu diangkat menjadi Adipati Bintar o, sekaligus menjadi senopati. Pupuh keduapuluh tiga Kinanti, 14 bait. Cerita kembali ke Ki Dares. Setelah beberapa lama, Ki Dares ke mbali ke hutan Japura untuk menggali Lokajaya. Ternyata, tubuh Lokajaya seperti mati dan beratnya seringan kapas. Sebenarnya , ia sedang Mikraj menemui roh Nabi ( Muhammad). Ia telah mendapat kesempurnaan dan bergelar Sunan Kali. Ketika Sunan Kali telah sadar, Ki Dares menganjurkan agar Sunan Kali mencari Sunan Jati. Syarif Hidayat yang sudah mengetahui kedatangan Sunan Kali menyongsong kedatanga n tamunya dengan menyamar sebagai seorang haji. Lalu, dengan berpura-pura hendak menyampaikan sesuatu kepada Syarif Hidayat, ia menemui Sunan Kali yang di suruh nya menunggu di pintu gerbang istana. Setelah meninggalkan tamunya di pintu gerb ang, Syarif Hidayat langsung berangkat ke Pajajaran. Pupuh keduapuluh empat Sinom, 14 bait. Pupuh ini menceritakan proses pengislaman keraton Pajajaran oleh Sunan Jati. Dicertakan bahwa Prabu Siliwangi masih bersedih hati karena semua p utranya meninggalkan istana, bahkan pati yang ditugasi mencarinya pun tidak kemb ali ke kerajaan. Berkat kesaktiannya, Prabu Siliwangi mengetahui kedatangan cucu nya, Sunan Jati. Dalam hatinya, ia merasa malu kalau sampai tunduk kepada cucuny a. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan ke tengah alun-alun dan membaca mantra aji sikir, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah. Seketika, nega ra dan rakyat Pajajaran lenyap yang tertinggal hanyalah sebuah balai. Pusaka Eci s berubah pula menjadi rumput ligundi hitam. Syarif Hidayat yang datang kemudian menyebut orang-orang Pajajaran yang bersembu nyi di hutan seperti harimau. Seketika itu juga, orang-orang Pajajaran berubah m enjadi harimau. Selama rumput ligundi hitam belum di cabut, mereka belum akan me njadi manusia. Lalu, Syarif Hidayat pergi ke Lebaksungsang menemui Cakrabuana ya ng sedang bertapa sambil bersawah. Cakrabuana diminta pulang ke Cirebon menghadi ri pertemuan para wali. Lalu, ia pergi ke Mengajang menemui Syekh Bentong yang s ebenarnya adalah putra Raja Majapahit bernama Banjaransari yang lebih di kenal d engan nama Jaka Tarub. Pupuh keduapuluh lima Kinanti, 28 bait. Jaka Tarub telah berhasil membuka hutan Penganjang, dan menika h dengan seorang bidadari. Putrinya, Nawangsari, juga sudah menikah dengan putra Majapahit, Raden Bondan, yang ikut mengerjakan ladangnya. Jaka Tarub alias Ki B entong ingin sekali menjadi wali. Ia bertapa memati raga. Pada suatu saat, ketik a tengah berbuka dari tapanya, Syarif Hidayat datang menjumpainya. Ucapan salam dari Syarif Hidayat tidak dihiraukan karena asyiknya berbuka. Tiba-tiba, Syarif Hidayat memetik selembar daun api-api, lalu membaca syahadat, seketika terciptal ah seekor bebek yang kemudian merebut makanan Syekh Bentong hingga habis. Saking marahnya, bebek itu dipukul dan dibanting hingga mati oleh Syekh Bentong. Syari f Hidayat meminta agar bebeknya dihidupkan kembali, tetapi Syekh Bentong tidak m ampu melakukannya.Dengan membaca syahadat, Syarif Hidayat dapat menghidupkan kem bali bebeknya. Akhirnya, Syekh Bentong sadar bahwa kalimat syahadat itulah yang ia cari. Lalu, ia menyatakan ingin berguru kepadanya, tetapi oleh Syarif Hidayat

hanya dianjurkan supaya pergi ke Cirebon. Cerita kembali kepada Durakhman yang tengah menunggu panggilan Sunan Jati. Sudah sembilan bulan ia menanti di pintu gerbang tanpa tidur sekejappun. Jika merasa lelah duduk, ia berdiri membungkukkan badan. Jika merasa lelah berdiri, ia pun d uduk bersandar di gerbang. Itulah sebabnya di depan istana Cirebon terdapat sebu ah tempat yang dinamakan Lemahwungkuk. Syarif Hidayat yang kemudian datang menemuinya menyatakan tidak mau mengajar di sembarang tempat karena pelajaran akan diberikan di tepi sebuah sungai, dan Dura khman harus membawa 100 buah kemiri untuk menghitung ilmu. Lalu, Durakhman beran gkat ke tepi sungai. Beberapa waktu lamanya ia menunggu, Syarif Hidayat belum ju ga datang. Karena lamanya menunggu di sungai, Durakhman memanjat pohon itu. Belu m sampai setengah batang, kemirinya berjatuhan ke sungai. Ia berusaha menyelam k e dalam air, tetapi kemiri tak ditemukannya. Ketika tengah meraba-raba buah kemi ri, tiba-tiba datang air bah, dan Durakhman hanyut terbawa air hingga ke laut da n tenggelam ke dasarnya. Di dasar laut, ia melihat sebuah pulau yang cemerlang d engan hiasan aneka warna yang dikenal dengan nama Pulau Hening. Pupuh keduapuluh enam Balakbak, 22 bait. Di Pulau Hening, Durakhman bertemu dengan Nabi Kilir (Nabi Kh idir) yang menasehatinya agar bertapa di Gunung Dieng. Nabi Kilir memberi bekal sebuah pisau. Ketika Durakhman tengah bertapa, tangannya mencoret-coret tanah me mbuat gambar-gambar yang tersusun menjadi sebuah cerita wayang. Gambar-gambar wa yang di tanah itu ternyata lepas menjadi wayang-wayang yang dapat melakonkan seg ala macam cerita. Setelah wayang-wayang tersebut lengkap, tiba-tiba ada cahaya g emerlapan. Pisau di tangan Durakhman seketika lenyap dan sebagai gantinya tampak seorang pertapa. Ternyata, pertapa itu adalah seorang raja zaman Budha bernama Konteya Darmakusum a atau Judhistira. Waktu itu, ia belum bernama Samiaji. Dialah yang dulu memilik i azimat Kalimasada. Judhistira menceritakan seluruh cerita wayang kepada Durakh man. Terakhir, ia menyerahkan Surat Kalimasada yang selama dipegangnya belum per nah ia baca karena tidak dapat membaca apa yang tertulis didalamnya. Durakhman k emudian membaca Surat Kalimasada diikuti oleh Konteya Darmakusuma. Sejak saat it u, Judhistira bernama Samiaji karena sama-sama mengkaji Surat Kalimasada dengan Durakhman. Dengan nama Samiaji, berarti pula ia menjadi pemeluk agama islam. Lal u, Durakhman meminta agar Samiaji pergi bersama ke Gunung Jati. Samiaji belum be rsedia, tetapi ia berjanji suatu saat akan datang ke Cirebon apabila Gunung Jati memancarkan sembilan cahaya. Pupuh keduapuluh tujuh Durma, 33 bait. Cerita kembali ke keraton Majapahit. Ketika itu, Raja Brawijaya mengutus Adipati Terung untuk memanggil Raden Patah ke Majapahit karena Brawijay a berniat menyerahkan tahta kepadanya. Adipati Terung berusaha mencari Raden Pat ah sampai ke bonang, tetapi Raden Patah tidak mau pergi ke Majapahit sebelum raj anya masuk islam. Adipati Terung terus memaksa, sementara Raden Patah tetap bert ahan. Akhirnya, tidak ada jalan lain kecuali mempersiapkan pasukan untuk berpera ng. Para Bupati Tuban, Tegal, Waleri, Lumajang, dan Japan yang diharapkan memban tu Majapahit ternyata tidak ada yang bersedia. Semuanya berpihak kepada para wal i. Tinggal Adipati Terung seorang yang memimpin tentara Majapahit. Meskipun demi kian, dalam peperangan yang berlangsung, pasukan Bonang tidak mampu melawan pasu kan Majapahit. Pupuh keduapuluh delapan Pangkur, 11 bait. Adipati Terung dengan menggenggam keris pusaka si Gagak maju ke me dan perang. Tak seorangpun tentara Bonang yang berani melawan Adipati Terung. De

mikian pula Raden Patah, ia pun kalah dan terlempar ke Gunung Kumbang. Pupuh keduapuluh sembilan Dangdanggula, 17 bait. Raden Patah yang terlempar ke Gunung Kumbang bertapa disa na tujuh bulan lamanya. Kemudian, ia mendapat petunjuk Tuhan bahwa untuk mengala hkan Adipati Terung ia harus berguru kepada Sunan Jatipurba di Cirebon sebagai P useurbumi. Ia pun segera berangkat menuju ke sana. Di Losari, ia bertemu dengan seorang tua yang memberinya sebuah panah bernama si Hantu. Orang tua itu tidak l ain adalah Sunan Jati. Dalam peperangan yang berlangsung kemudian, Raden Patah b erhasil membunuh adiknya sendiri, Adipati Terung dengan panah Hantu. Pupuh ketigapuluh Sinom, 22 bait. Meskipun panglima perangnya telah gugur, raja dan para pembesar Majapahit tetap tidak mau memeluk agama islam. Panembahan Paluamba membaca aji s ikir yang berakibat raja serta para pembesar Majapahit menghilang ke dunia silum an, dan berkumpul di Tunjungbang. Cerita kembali pada kisah para wali yang tengah berkumpul di Bonang mereka sepak at untuk menemui Syarif Hidayat di cirebon. Disana, Raden Patah diresmikan menja di raja di Bintaro, dan dinikahkan dengan kemenakan sunan Jati yang berasa dari Mesir, Nyi Mas Ratu Pulunggana. Setelah pertemuan tersebut, para wali seluruhnya kembali ke Demak untuk merayakan penobatan dan pernikahan Raden Patah. Sementara itu, durakhman yang telah menyelesaikan tapanya di Gunung Dieng langsu ng pergi ke Cirebon. Segala sesuatu yang diperolehnya di Dieng ia bawa. Setibany a di istana, ternyata baru saja para wali meninggalkan cirebon menuju Demak. Tet api, baru saja ia beranjak pergi, terdengar suara mempersilahkan duduk yang kelu ar dari meja dan kursi, tanpa seorangpun. Tak lama kemudian, keluar teko serta c angkir mempersilahkan minum. Agak bingung juga Durakhman menyaksikan semua itu. Akhirnya, ia duduk saja menunggu disana selama sembilan malam. Pupuh ketigapuluh satu Asmaranda, 19 bait. Pupuh ini menceritakan pertemuan para wali di Cirebon. Ketik a Sunan Gunung Jati baru kembali dari Mekah, ia membawa batu Mukadas dan peta ko ta Mekah untuk dijadikan contoh pembuatan masjid agung. Bersamaan dengan itu, pa ra wali pun berdatangan ke Cirebon. Ketika melihat Syarif Hidayat, Pangeran Tuba n bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif Hidayat justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, lalu menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat Syahadat. Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati yang di dalamnya tidak terlihat adanya tulisan, bahkan para w ali pun tidak ada yang dapat melihat selain Pangeran Tuban. Kitab tersebut terny ata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali. Menurut kitab tersebut, Syarif Hidayat bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon; Syekh G iri Gajah bergelar Sultan Giri Gajah; Syekh Kamarullah bergelar Kanjeng Sunan Bo nang; Ki Cakrabuana bergelar Sunan Jelang, Syekh Bentong bergelar Suhunan Benton g; Syekh Nusakambangan bergelar Sunan Kudus; Pangeran Kendal bergelar Pangeran K arangkendal atau Sunan Kedaton; Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita; Panger an Kajoran bergelar Sunan Kejamus atau Pangeran Kejaksan; dan wali penutup Suhun an Kalijaga bergelar Suhunan Adi. Pada kesempatan itu, para wali membuat singgasana kerajaan dan masing-masing men geluarkan ilmunya berupa cahaya sehingga berpencaran sembilan macam cahaya yang memancar sampai ke gunung Dieng mengingatkan pada janji Samiaji yang akan segera d atang ke Cirebon bila ada sembilan cahaya bersinar. Ternyata, Samiaji tidak bers edia menerima sembah para wali. Tak lama kemudian, ia meninggal dan dikebumikan di Jatimulya.

Pupuh ketigapuluh dua Sinom, 18 bait. Seorang murid syarif Hidayat bernama Ki Gedeng Palumbon sudah ti ga tahun belajar agama islam, namun merasa bosan karena berulang kali ia hanya h anya disuruh menghafal kalimat syahadat. Akhirnya, ia mengundurkan diri karena k ecewa terhadap pelajaran yang diterimanya. Ia pun kembali ke kampung halamannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Ki Gedeng Kemuning yang hendak berguru kepad a Sunan Jati. Ki Gedeng Palumbon berusaha mempengaruhi Ki Gedeng Kemuning karena menurutnya untuk apa berguru kepada Sunan Jati yang diajarkannya hanya syahadat , azan, komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng Kemuning tidak terpengarh oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak, Ki Kaliwedhi, Ki Geden g Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki Gedeng Mundu, Kiyai Wanasaba, dan K i Kalijati diajarkan berbagai macam ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat, p uasa, dan berbagai jenis tarekat, seperti Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muham madiyah. Selesai berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak lama kemdian, ia meninggal. Jenazah Ki gedeng Kemunig membengkak besar sekali. Kebetulan, Ki gedeng Palumbon juga melayat. Mayat yang membesar itu, menurut Ki Gedeng Palumbon, disebabkan o leh ilmu yang diajarkan Sunan Jati. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang muri d Sunan Jati yang berasal dari Gebang bernama Kamil. Kedatangannya berniat meman dikan mayat. Mula-mula, mayat Ki Gedeng Kemuning menjadi semakin besar dan menge luarkan bau busuk. Lalu, mengecil dan berganti menyebarkan bau harum. Melihat ke adaan itu, Ki Gedeng Palumbon terkejut dan kagum. Ia pun kembali ke Cirebon dan ingin berguru lagi kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, ia disuruh bertapa di Gun ung Cigugur. Pupuh ketigapuluh tiga. Kinanti, 38 bait. Pupuh ini menceritakankisah sayembara memperebutkan Putri Pang uragan. Nyi Panguragan atau Ratu Emas Gandasari mengadakan sayembara : Barang si apa yang mampu mengalahkan dirinya, jika ia laki-laki, dialah yang akan menjadi suaminya. Melalui sayembara itu, banyak orang yang ingin tampil untuk mencoba ke saktiannya guna mengalahkan Gandasari. Tetapi, tak seorangpun yang dapat mengala hkannya hingga datanglah seorang satria dari negeri Syam bernama Pangeran Magelu ng. Dinamai Pangeran Magelung karena rambutnya digelung karena sejak kecil hingga de wasa tidak ada pisau cukur yang mempan untuk memotong rambutnya. Ia pergi ke Cir ebon untuk menemui sunan Jati. Setibanya di Karanggetas, ia bertemu dengan seora ng kakek-kakek yang mampu memotong rambutnya hanya dengan jari tangan. Ketika Ma gelung menoleh, kakek yang menggunting rambutnya sudah tidak ada. Lalu, Magelung meneruskan perjalanan hingga sampai di tempat sayembara dan memasuki arena pert andingan. Dalam pertandingan ini, Ratu Emas Gandasari ternyata dapat dikalahkan oleh Pangeran Magelung. Ketika hampir tertangkap, gandasari berlindung pada Suna n Jati. Pupuh ketigapuluh empat Dangdanggula, 14 bait. Akhirnya, Pangeran Magelung dijodohkan dengan Ratu Emas G andasari. Namun, mereka berjanji tidak akan berkumpul selagi masih di dunia, kec uali kelak di akhir zaman. Menurut kitab Babul, kediaman Ratu Emas Gandasari tid ak hanya satu. Kadang-kadang, ia berada di Pulau Kuntul (Bangau). Sekarang, pula u bangau itu bernama pulau Kencana atau pulau Karas atau di bangsal Karangsuwung . Jika ke barat, ia tinggal di Ujungsori. Dalam pada itu, para wali Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kudu s sering berkumpul untuk membicarakan syareat Rasul, usul fikh, serta kitab Fakulw

ahab. Pupuh ketigapuluh lima Menggalang, 17 bait. Pupuh ini menceritakan persiapan Kerajaan Galuh yang bernia t menyerang Keraton Cirebon. Pada suatu hari, Raja Galuh mengumpulkan para pongg awanya, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyag Sutem, Celengigel, Dalem Ciomas, dan Dalem Kiban guna membicarakan negara Cirebon di bawah pimpinan Sunan Jati. Pertemuan tersebut mengambil keputusan, yakni meminta pajak terasi. Para senapati galuh telah mempersiapka diri, antara lain, Sanghyang Gempol, San ghyang Sutem, Dalem Kiban, Dalem Ciamis, Dalem Ciomas, Suradipa, dan Kyai Limund ing. Setelah persiapan selesai, pasukan Galuh segera berangkat menuju Cirebon. Pupuh ketigapuluh enam Sinom, 8 bait. Dalam perjalanan menuju Cirebon, pasukan Galuh mengadakan perkema han di perjalanan. Sementara itu, Pangeran Arya Kemuning anak Ki Gedeng Kemuning sangat rindu pada Sunan Jati dan bersiap-siap hendak menghadap ke Cirebon diiri ngi oleh Patih Waruangga dan Anggasura, serta para mantri. Pupu ketigapuluh tujuh Dangdanggula, 15 bait. Barisan pasukan dari kuningan yang berjalan ke arah barat bertemu dengan pasukan Galuh. Bersamaan dengan itu, Raden Patah juga pergi ke C irebon saat para wali masih berkumpul untuk membangun masjid dan mendiskusikan aga ma Islam. Pupuh ketigapuluh delapan Asmaranda, 13 bait. Kedatangan Sultan Demak di Cirebon bermaksud membicarakan pe rkawinan putrinya Pulungnyawa dengan putra Sunan Jati. Perkawinan akan segera di langsungkan di Demak. Ketika para wali bersiap-siap hendak berangkat ke Demak, d atanglah Arya Kuningan yang mengabarkan adanya pasukan Galuh yang akan menyerang Cirebon. Namun, para wali tetap berangkat ke Demak, sementara musuh dari Galuh diserahkan kepada Arya Kemuning yang segera mengatur barisannya di Gunug Gundul. Pupuh ketigapuluh sembilan Durma, 24 bait. Utusan Arya Kemuning, Ki Anggarunting, ditugasi menyelidiki keku atan pasukan Galuh. Ia pergi bersama Ki Anggawaru. Tak lama kemudian, Ki Anggaru nting bertemu dengan Dipasara dan Kyai Limunding dari pihak Galuh. Dalam pertemp uran pertama, pasukan Kuningan terdesak. Arya Kemuning maju membantu yang membua t barisan Palimanan berantakan. Barisan pasukan Ciamis pun diterjang oleh kuda t unggang Arya Kemuning yang bernama Wisnu. Pupuh keempat puluh Asmarandana, 10 bait. Pasukan Galuh yang dipimpin oleh senapati Dipati Kiban yan g mengendarai seekor gajah terus melakukan serangan. Serangan Dipati Kiban ini d ihadapi oleh Dalem Kuningan. Pupuh kempatpuluh satu Pangkur, 27 bait. Perang tanding antara Arya Kemuning yang mengendarai kuda Wisn u melawan dipati Kiban yang mengendarai gajah berlangsung seimbang dan lama seka li. Meskipun sudah berlangsung lama, namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah. Demikian asyiknya mereka berlaga, dorong mendorong hingga ke ujungtuwa d i tepi pantai. Tak ayal lagi, dua-duanya tercebur ke laut dan lenyap dari pandan gan mata. Melihat senapatinya lenyap, kedua belah pihak mengundurkan diri dan me lapor kepada rajanya masing-masing.

Pupuh keempatpuluh dua Sinom, 18 bait. Kuwu Sangkan alias Cakrabuwana memohohon izin kepada Sunan Jati untuk membantu pasukan Kuningan ke medan perang. Tetapi, Sunan Jati tidak menyet ujuinya. Ki Kuwu Sangkan tetap memaksakan diri, dan ia pun berangkat ke medan pe rang. Ki Kuwu Sangkan seperti orang linglung. Ia pun tersesat ke gunung Panawarj ati, dan akhirnya tafakur disana. Kemudian, sepeninggal Kyai Sangkan datanglah A nggasura yang melaporkan keadaan peperangan kepada Sunan Jati hingga hilangnya A rya Kemuning bersama Dalem Kiban. Munurut Sunan Jati, keduanya masih tetap berte mpur di lautan. Kemudian pihak Cirebon menyusun bala bantuan dan segera diberangkatkan ke medan perang d bawah pimpinan Patih Keling. Dalam pertempuran lanjutan, pasukan Cirebo n beserta para Manggalayuda terdesak hebat oleh pasukan Galuh. Kesaktian para pe mimpin pasukan Galuh tak terlawan oleh para panglima pasukan Carbon. Pada waktu itu, prajurit sudah tidak ikut bertempur. Mereka hanya disuruh bersorak-sorai me mberi semangat kepada para pimpinannya yang sedang melakukan perang tanding. Tet api, karena pimpinannya terdesak, mereka pun lari mengundurkan diri. Pupuh keempatpuluh tiga Pangkur, 10 bait. Pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur, Ki Kuwu Sangkan mas ih tetap bertafakur di gunung Panawarjati. Ia menyesal karena telah mendahului k ehendak kemenakannya, Sunan Jati. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang berasal dar i sebatang pohon randu yang isinya menyatakan bahwa ia telah dimaafkan oleh keme nakannya dan diminta segera membantu pasukan Cirebon yang sedang terdesak. Cakrabuwana alias Ki Kuwu Sangkan langsung menuju medan pertempuran. Ia mendenga r suara di angkasa yang menantang Sunan Jati. Itulah suara Sanghyang Gempol, sal ah seorang sakti dari Galuh yang mengendarai kuda terbang. Cakrabuwana teringat akan segala jenis pusakanya seperti badhong, bareng, kopiah, umbul-umbul, dan go lok Cabang segera melesat ke udara mengejar Sanghyang Gempol. Ke arah mana pun S anghyang Gempol pergi dan bersembunyi, golok selalu membuntuti. Selesai.

You might also like