You are on page 1of 3

Industri Bordir Baju Menembus Butik

Kerajinan Bordir Baju untuk berbagai jenis busana muslim, kerudung, kebaya, mukena, serta seprai taplak meja cukup berkembang di Kabupaten Lamongan. Dari usaha yang dirintis di kampung-kampung, bordir Lamongan menembus butik hingga ke Bali. Kerajinan itu di antaranya dikembangkan Ny Rochmah Damiri dengan usaha Al Rochmah di Kecamatan Glagah, AM Tarmudzi dengan UD Al Livia di Kecamatan Deket, dan Wiwik Wilujeng dengan usaha Nusa Indah di Kecamatan Karangbinangun. Di rumah Wiwik Wilujeng (48) di Dusun Monolelo, Desa Karangbinangun, ada 13 mesin untuk menjahit, mesin obras, dan bordir. Bersama ibu-ibu rumah tangga tetangganya, ratusan mode sudah dituangkan pada produknya. Hingga saat ini produk mereka masih diminati pembeli dari berbagai daerah di antaranya Surabaya, Malang, dan Mojokerto. Wiwik terus merancang mode dan pola Bordir Baju, baik baju muslim, jubah, mukena, kerudung, kebaya, satu set seprai, sarung bantal, dan sarung guling, hingga taplak meja. Mereka ada yang datang langsung membeli, ada pula yang memesan motif tertentu hingga jumlahnya mencapai ratusan buah. Dari borongan Rp 25.000 per unit, misalnya, ibu-ibu mendapatkan Rp 22.500 untuk bordir alusan (bagus) dan bordir kasar Rp 20.000. "Secara keseluruhan ada sekitar 100 orang yang terlibat membordir, terbagi dalam enam kelompok. Saya membagi pekerjaan bila ada order merangkap pengepul," kata Wiwik. Setiap bulan omzet yang diraih rata-rata mencapai Rp 30 juta. Pesanan dari Surabaya, Gresik, dan Lamongan serta pelanggan sedikitnya mencapai 125 kebaya per bulan. Permintaan jubah dan mukena kurang lebih juga sama banyaknya. Pengerjaan bordir baju kebaya dalam tiga hari selesai dua potong, jilbab sehari bisa tiga potong, sedangkan satu set seprai selesai seminggu. "Untuk membordir pakaian setiap orang butuh waktu dua hari, jubah sehari, mukena dua hari," tutur Wiwik. Di rumahnya, Wiwik menjual Rp 90.000 hingga Rp 125.000 untuk kebaya yang kasar dan yang halus Rp 150.000 dan Rp 90.000 untuk mukena dan jubah. "Harga yang saya tawarkan bervariasi mulai Rp 125.000 hingga Rp 600.000 tergantung mode dan bahannya," katanya. Pengalaman Wiwik pun ditularkan dengan memberikan kursus pelatihan terkait jahitmenjahit di PKK Kabupaten Lamongan dan instansi di luar daerah. Dia meyakini dengan ilmu dan keterampilan yang dipunyai akan lebih bermanfaat bila dibagi pada yang lain. Ibu-ibu di lingkungannya diajak membordir, jumlahnya mencapai 52 orang. Mereka sudah mampu membordir dan menjadi plasma dan membantu keberhasilan usahanya, di antaranya Mualiyah yang sudah menekuni bordir selama 10 tahun dan Sabkiyah yang sudah menekuni bordir selama delapan tahun. Wiwik mewarisi bakat ibunya, Nutyamuah, ditambah dia sering mengikuti pelatihan. Dia merasa pengetahuan bordirnya masih kurang. Dia juga studi banding ke Tasikmalaya dan Probolinggo. Wiwik jadi banyak tahu mode lain bordir sangat variarif sehingga menambah

semangatnya menekuni usahanya itu. Sebagai perajin harus kreatif dan inovatif mencipta pola, corak, serta motif sebab motif bordir gampang ditiru. Kini persaingan bertambah ketat dengan perubahan teknologi menggunakan komputer. "Dulu saya juga melayani badge sekolah dan bordir nama siswa, tetapi sekarang kalah dengan komputer. Makanya saya fokus pada pakaian, taplak meja dan seprai," kata Wiwik.

Industri Tas dan Koper Tanggulangin Sidoarjo Tetap Eksis


Industri tas dan koper Tanggulangin Sidoarjo merupakan salah satu ikon wisata Sidoarjo yang cukup terkenal.
Terbit: 31 Mei 2010 Dibaca: 20,533 kali Komentar: 34 Komentar Kategori: Berita-Info Bisnis Ide Bisnis: bisnis kerajinan, industri koper, industri sidoarjo, industri tas dan koper, industri tas tanggulangin, pembuatan tas, tas dan koper

Sidoarjo merupakan kota industri yang tak pernah mati, yah itu mungkin ungkapan yang cocok untuk Sidoarjo dulu. Sekarang seakan-akan kehilangan ruhnya sebagai kota industri yang terlempar karena bencana lumpur Lapindo. Tapi tidak untuk saat ini, Sidoarjo sudah mulai menampakkan lagi kebangkitannya untuk menyelamatkan semua rakyatnya dari keterpurukan dampak lumpur lapindo. Seperti halnya Intako Industri Tas dan Koper di Tanggulangin. Sebagian orang yang belum tahu di mana tepatnya lumpur lapindo terjadi, menganggap industri yang terletak di Tanggulangin ini sudah tenggelam. Padahal tidak demikian, industri ini masih ada dan tetap berusaha bangkit meraih kejayaannya seperti sebelum terjadi bencana lumpur. Industri ini pada awalnya dimulai sejak 1939 ketika beberapa perajin memulai pembuatan barang-barang tas dan koper. Dan pada tahun 1976 didirikanlah Koperasi Industri Tas dan Koper (Intako), yang awalnya hanya beranggotakan 27 orang. Modal usaha diperoleh dari simpanan pokok anggota. Dalam perjalanannya, koperasi itu terus berkembang dan jumlah anggotanya sudah mencapai 354 perajin UKM dengan aset sekitar Rp 10 miliar. Tetapi setelah terjadi luapan lumpur lapindo hampir 70 persen perajin di Tanggulangin sudah gulung tikar. Beberapa di antara mereka yang masih bertahan hanya untuk menggarap pesanan.

Sejak terjadi peristiwa semburan lumpur panas dari sumur eksplorasi PT Lapindo Brantas, pengunjung ke Tanggulangin turun drastis. Luapan lumpur telah menutup akses kendaraan dari arah Malang dan Probolinggo. Untuk menuju ke Tanggulangin kini tinggal satu akses, yakni dari Sidoarjo. Luapan lumpur panas Lapindo memang berpengaruh langsung terhadap kelangsungan industri tas dan koper di Tanggulangin. Apalagi dalam setiap pemberitaan media massa, luapan lumpur sudah mencapai Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera yang memunculkan persepsi perumahan tersebut berada satu kawasan dengan industri Tanggulangin. Padahal secara geografis, Tanggulangin masih 4 sampai 5 kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo. Sampai hari ini, sentra industri tas dan koper terbesar di Jawa Timur itu pun sama sekali belum tersentuh pekatnya lumpur. Industri tas dan koper Tanggulangin Sidoarjo sesungguhnya merupakan salah satu ikon wisata Sidoarjo. Produk yang dihasilkan antara lain tas, koper, dompet, ikat pinggang dan sepatu. Produk ini telah memiliki brand dan mutu yang cukup bagus yang sudah diakui oleh konsumen. Tetapi setelah terpuruk karena hempasan badai krisis moneter, dilanjut dengan serbuan barangbarang produk Cina yang harganya sangat kompetitif, namun kualitasnya buruk. Belum sembuh, muncul bencana semburan Sidoarjo, yang juga ikut andil dalam keterpurukan tersebut. Praktis, hampir 2 tahun lamanya sentra industri tas dan koper Tanggulangin sepi pengujung, sebagian besar memang wisatawan dari luar daerah yang sedang transit. Kini, para perajin mulai berusaha untuk membangun kembali mimpi mereka agar industri ini kembali hidup. Para pengrajin mulai menggelar Tanggulangin Fair pada tahun 2008, hal ini merupakan usaha yang dilakukan para pengrajin untuk menunjukkan kepada masyaraklat luas bahwa pengrajin industri tas dan kulit Tanggulangin masih eksist dan tetap berproduksi. Selain itu, sebelumnya para pengrajin juga lebih banyak melakukan jemput bola di berbagai kota di Indonesia, dengan melakukan road show untuk mengenalkan kerajinan Tanggulangin, sekaligus memberitahu bahwa kerajinan Tanggulangin tidak tenggelam oleh lumpur lapindo. Road show yang sebagian dananya disumbang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo tersebut terbukti efektif membangkitkan Tanggulangin. Jika pada 2006, luapan lumpur melumpuhkan 80 persen sentra industri kebanggaan Sidoarjo itu, berkat ngamen, omzet dan penjualan mulai berangsur pulih. Setelah yakin industri yang berpusat di Desa Kedensari dan Desa Kludan itu mulai pulih, para perajin semakin percaya diri untuk mendatangkan pembeli ke tempat usahanya meskipun omset yang didapat belum kembali seperti sebelum adanya luapan lumpur lapindo.

You might also like