You are on page 1of 175

NASKAH AKADEMIK

REVISI UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI 2011

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Desentralisasi adalah istilah dengan konotasi yang luas. Setiap penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dapat tercakup dari pengertian tersebut. Konsep desentralisasi selalu berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kekuasaan yang menjadi domain pemerintah pusat. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi selalu dikaitkan pembentukan daerah otonom atau pemerintahan daerah (pemda) dan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat mengatur dan

kepada Pemda sehingga Pemda mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut.

Tiada satupun pemerintah dari suatu negera dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara efektip ataupun dapat melaksanakan

kebijaksanaan dan program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi (Bowman & Hampton, 1983). Dari pandangan ini kita dapat melihat urgensi dari kebutuhan akan pelimpahan ataupun penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat baik dalam konotasi politis maupun administratip kepada organisasi atau unit diluar Pemerintah Pusat itu sendiri. Apakah pelimpahan ini akan lebih menitik beratkan pada pilihan devolusi, dekonsentrasi, delegasi ataupun bahkan privatisasi, hal tersebut tergantung dari para pengambil keputusan politik di negara yang bersangkutan. Dibanyak negara di dunia keempat bentuk tersebut diterapkan oleh Pemerintah, walaupun salah satu bentuk mungkin mendapatkan prioritas

dibandingkan bentuk-bentuk lainnya (Rondinelli & Cheema, 1983).

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

Dalam konteks Indonesia, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat dan memperkuat integrasi nasional, para pendiri bangsa sejak awal sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi yaitu Undang Undang Dasar 1945 mencita-citakan Indonesia sebagai negara kesatuan yang desentralistis dan demokratis. Para pendiri bangsa menyadari bahwa variabilitas yang tinggi antar daerah dalam berbagai aspek tidak memungkinkan Indonesia menjadi negara yang sentralistis. Desentralisasi menjadi pilihan selain karena keinginan

mewujudkan pemerintahan yang responsif terhadap dinamika yang terjadi di daerah, juga karena pemerintahan yang desentralistis lebih kondusif bagi percepatan pengembangan demokrasi di Indonesia. Dengan melimpahkan

sebagaian urusan pemerintahan ke daerah, maka rakyat di daerah akan menjadi semakin mudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mereka juga akan dapat lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Namun, dalam perjalanan sejarah pemerintahan di Indonesia, pelaksanaan desentralisasi mengalami pasang-surut sesuai dengan dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di masa itu. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia

mengalami perkembangan yang berarti sejak dilaksanakannya UU 22/1999 yang menganut otonomi luas. UU tersebut membatasi urusan pemerintahan di tingkat pusat dan provinsi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 dan mengalihkan sisanya kepada kabupaten/ kota melalui mekanisme pengakuan. Mekanisme pembagian urusan pemerintahan tersebut mengikuti konsep urusan sisa ( residual functions) diserahkan ke tingkat Kabupaten/Kota sedangkan urusan pemerintahan di tingkat pusat dan di tingkat provinsi ditentukan secara jelas dan specifik yang dituangkan dalam PP 25/2000. Mengingat scope urusan sisa yang diserahkan ke Kabupaten/Kota sangat luas, maka menimbulkan kesan bahwa di Kabupaten/Kota mengacu kepada prinsip otonomi luas atau general

competence sedangkan otonomi terbatasnya (ultra vires ) ada di tingkat provinsi.


UU ini juga menjadikan DPRD sebagai lembaga parlemen daerah yang memiliki kewenangan yang luas termasuk melakukan pemilihan dan pemakzulan kepala daerah ketika Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah kepada Kepala daerah dua kali ditolak secara berurutan. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
3

Pada awal otonomi daerah di era reformasi, pelaksanaan desentralisasi yang dilakukan secara radikal dengan mengalihkan urusan yang seluas-luasnya ke daerah ternyata menimbulkan beberapa masalah, seperti ketidakjelasan

pembagian urusan antar susunan pemerintahan, dan tidak jelasnya hubungan interelasi dan interdepensi antar tingkatan dan dan susunan pemerintahan khususnya antara Pemda dengan Pemerintah Pusat dan antara Pemda Provinsi dengan Pemda kabupaten/Kota. Penempatan DPRD sebagai parlemen daerah dengan kewenangan untuk memilih dan memakzulkan kepala daerah (KDH) menghasilkan destabilisasi pemerintahan daerah. Konflik yang terjadi antar KDH dan DPRD cenderung meluas di banyak daerah dan mengganggu kelancaran

jalannya pemerintahan daerah. Semua hal di atas mendorong pemerintah untuk merevisi UU N0.22/1999 untuk menata kembali pelaksanaan desentralisasi sehingga percepatan pembangunan daerah dapat dilakukan. UU N0.32/ 2004 mencoba memperjelas pembagian urusan pemerintahan dan tetap dalam koridor otonomi luas ( general competence) yang ada di tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. PP 38 tahun 2007 sebagai turunan dari UU 32/2004 mencoba melakukan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota. Ada tiga kriteria yang dipakai sebagai pedoman dalam pembagian urusan pemerintahan tersebut. Kriteria tersebut adalah kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Mengacu kepada ketiga kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan menjadi sebagai berikut: 1. Pemerintah Pusat; mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan dalam bentuk norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) yang dijadikan acuan bagi pemda provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut; berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap pemda, dan berwenang untuk melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional (lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

2. Pemda Provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pusat. 3. Pemda kabupaten/Kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala kabupaten/kota berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pusat. Selain itu pemerintah pusat diwajibkan menyelesaikan penetapan NSPK tersebut dalam waktu dua tahun dan apabila dalam waktu dua tahun pemerintah pusat belum juga menetapkan NSPK untuk dijadikan acuan bagi pemda untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah, maka pemda dapat menetapkan perda untuk melaksanakan urusan yang menjadi

kewenangannya. Fungsi lainnya dari NSPK adalah mengatur hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan yaitu antara pusat dan daerah dan antar pemda dalam pelaksanaan suatu urusan pemerintahan sehingga urusan

pemerintahan tersebut dapat terselenggara secara sistemik dan sinerjik. Urusan pemerintahan diklasifikasikan kedalam dua kategori yaitu urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar dan urusan pilihan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan yang potensial tumbuh dan berkembang di daerah tersebut. Pendekatan tersebut ditujukan untuk mendorong pemda melaksanakan urusan pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan karakter daerah dan kebutuhan masyarakat daerah tersebut untuk mendukung terciptranya kesejahteraan masyarakat daerah. Ada 31` urusan pemerintahan yang di desentralisasikan ke daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan tersebut yaitu: 1. Sosial 2. Lingkungan Hidup 3. Perdagangan 4. Kelautan dan Pertikanan 5. Kehutanan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
5

6. Pendidikan 7. Kesehatan 8. Usaha Kecil dan Menengah 9. Tenaga Kerja dan Transmigrasi 10. Pertanian dan Perkebunan 11. Pertambangan (Enerji dan Sumber Daya MineralESDM) 12. Perhubungan 13. Penanaman Modal 14. Kebudayaan dan Pariwisata 15. Kependudukan 16. Pemberdayaan Perempuan 17. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera 18. Perindustrian 19. Pekerjaan Umum 20. Penataan Ruang 21. Pemuda dan Olah Raga 22. Komunikasi dan Informasi/ Kominfo 23. Perumahan 24. Arsip 25. Pertanahan 26. Kesatuan Bangsa dan Politik /Kesbang Pol 27. Statistik 28. Pemerintahan Umum 29. Pemberdayaan Masyarakat Desa/PMD 30. Kepegawaian Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
6

31. Perpustakaan Kalau UU 22/1999 memakai prinsip

residual

function

untuk

Kabupaten/Kota yaitu semua urusan pemerintahan yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP 25/2000 sebagai kewenangan Pusat dan Provinsi akan menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Dalam UU 32/2004 pembagian urusan pemerintahan mempergunakan prinsip

concurrence

function

artinya

diterapkannya prinsip konkurensi dari setiap urusan pemerintahan. Apa yang dikerjakan di Pusat, menjadi juga kewenangan Provinsi dan kewenangan Kabupaten/Kota, hanya skalanya yang berbeda. Kalau Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan yang berskala nasional atau lintas Provinsi, maka Provinsi akan mempunyai kewenangan dengan skala Provinsi atau lintas

Kabupaten/Kota sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan skala Kabupaten/Kota atas 31 urusan pemerintahan yang di desentralisasikan.

Pembagian urusan pemerintahan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dituangkan dalam matriks pembagian urusan yang dipayungi dalam PP 38/2007. Pemerintah kemudian menetapkan Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan pedoman atau acuan bagi Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Pemerintah berharap dengan memberi urusan pilihan kepada daerah mereka dapat mengembangkan kegiatan yang dapat menjadi keunggulan daerah dan berdasarkan struktur ekonomi dan sumberdaya yang tersedia di daerah. Tidak adanya daftar urusan wajib dan pilihan dalam UU 22/1999 telah melahirkan kebingungan para aktor dan pemangku kepentingan di pusat dan daerah mengenai pembagian urusan antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/ kota. Banyak urusan yang penting bagi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat yang kemudian tidak tertangani dengan baik karena tidak diatur dengan jelas dalam UU N0.22/1999. UU N0.32/2004 juga mengubah kedudukan DPRD dan pola hubungan antara DPRD dengan kepala daerah (KDH). Kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD tetapi dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana para anggota DPRD. KDH Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
7

karena itu memiliki basis legitimasi yang kuat dan tidak lagi tergantung pada DPRD. Dalam UU 32/2004 kedudukan DPRD dikembalikan sebagai bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan daerah. DPRD yang sebelumnya memiliki

kewenangan untuk melakukan pemakzulan terhadap KDH apabila Laporan Pertanggung Jawabannya (LPJ) ditolak oleh DPRD, dalam UU 32/2004 mereka memiliki kedudukan yang setara dan menjadi mitra dari KDH. Karena Kepala Daerah dipilih oleh rakyat, maka Kepala Daerah menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggung jawaban (LKPJ) dan bukan LPJ kepada DPRD. Walaupun UU 32/2004 telah berhasil menyelesaikan beberapa masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun ternyata dalam

pelaksanaannya muncul beberapa masalah baru yang perlu memperoleh perhatian pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Ketidak jelasan pengaturan

dalam UU 32/2004 sering menimbulkan intepretasi yang berbeda dari berbagai kelompok kepentingan dan menjadi salah satu sumber konflik antar susunan pemerintahan dan aparatnya. Misalnya, dalam pembagian urusan, ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan masih merupakan masalah yang secara persisten dihadapi oleh Indonesia dalam pelaksanaan desentralisasi. Konflik dan tumpang tindih kewenangan antar susunan pemerintahan dan antar daerah tetap terjadi dan memerlukan pengaturan yang lebih jelas dan efektif. Urusan pemerintahan yang berbasis ekologis masih tetap sulit untuk dibagi antar tingkatan pemerintahan karena batas wilayah administrasi pemerintahan sering kurang sesuai dengan externalitas yang ditimbulkan dari urusan pemerintahan yang berbasis ekologis. Otonomi luas yang diwujudkan dalam bentuk 31 urusan yang diserahkan ke daerah sering menimbulkan masalah dalam pembiayaannya. Urusan yang sangat banyak ditambah dengan sumber pendanaan yang terbatas, telah menyebabkan banyak daerah mengalami kesulitan dalam pembiayaan urusan tersebut. Keadaan tersebut diperparah dengan adanya kecenderungan daerah untuk membuat struktur organisasi yang gemuk akibat tekanan birokrasi akan tambahan jabatan akan memicu menigkatnya kebutuhan akan pegawai yang pada gilirannya akan menyebabkan bengkaknya biaya aparatur atau overhead cost. Otonomi luas dalam Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
8

bentuk banyaknya urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dapat menjadi justifikasi bagi daerah untuk menambah struktur organisasi perangkat daerah. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya perintah dari peraturan perundangundangan atau kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) yang mewajibkan daerah untuk membentuk suatu organisasi untuk mewadahi suatu urusan yang tidak ada relevansi atau urgensinya di daerah tersebut. Meningkatnya overhead cost akan mengurangi alokasi anggaran untuk pelayanan publik sebagai dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Munculnya gejala patronasi dan kooptasi birokrasi secara politis akan memberikan tekanan bagi elit politik lokal untuk mengembangkan struktur organisasi. Pemberian otonomi luas akan menjadi alasan utama bagi daerah untuk mengembangkan organisasi untuk mewadahi urusan pemerintahan tersebut, walaupun secara empirik banyak dari urusan tersebut tidak sesuai dengan prioritas untuk menyejahterakan rakyat. Otonomi daerah yang luas belum disikapi sebagai open menu bagi elit daerah. Seyogyanya mereka memprioritaskan urtusan-urusan pemerintahan yang sesuai dengan urusan wajib yang terkait prioritas pelayanan dasar dan urusan pilihan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan sesuai dengan unggulan

daerah. Otonomi luas bukan berarti semua urusan harus dilembagakan tapi fungsinya tetap menjadi domain kewenangan daerah namun tidak harus dilembagakan tersendiri karena akan memicu bengkaknya overhead cost. Diperlukan pemikiran untuk menerapkan kelembagaan yang right sizing yang bercirikan ramping struktur namun kaya fungsi. Disamping itu, dinamika pelaksanaan desentralisasi selama dekade terakhir ini juga menunjukan perlu adanya penambahan pengaturan baru tentang pelayanan publik, partisipasi masyarakat, dsb. Pengaturan tentang pelayanan publik sangat penting dalam UU pemerintahan daerah karena tidak adanya pengaturan tentang pelayanan publik sering membuat daerah kurang peduli dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Sedangkan, salah satu pertimbangan utama dari pelaksanaan desentralisasi agar daerah dapat menyelenggarakan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
9

pelayanan publik yang berkualitas, sesuai dengan kebutuhan warganya, dan dapat dijangkau oleh warganya dengan mudah. Pengaturan tentang penyelenggaraan pelayanan publik perlu dimasukan dalam UU pemerintahan daerah agar daerah memiliki pedoman dan standar yang jelas dalam menyelenggarakan pelayanan yang berkualitas. Pengaturan yang sama juga dilakukan mengenai partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat menjadi salah satu kunci sukses dari penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah. Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah agar masyarakat dan pemangku kepentingan dapat lebih mudah berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah. Namun, karena pengaturan tentang partisipasi masyarakat tidak ada dalam UU 32/2004 banyak daerah yang masih mengabaikan perlunya mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah. Amat jarang daerah yang mengakui bahwa partisipasi adalah hak dari setiap warga yang harus dilindungi oleh negara. Penambahan pengaturan tentang partisipasi yang mengatur hak-hak warga untuk terlibat dalam proses kebijakan dan kewajiban daerah untuk memberi ruang kepada warganya untuk terlibat dalam proses kebijakan amat penting untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintah daerah benar-benar mengabdi pada kepentingan warga. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas maka revisi UU N0.32/2004 diperlukan. Revisi dilakukan disamping untuk melakukan perubahan terhadap

pengaturan yang ada agar lebih mampu menjawab berbagai masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, juga untuk melengkapi berbagai

kekurangan yang ada dalam UU 32/2004. Dengan adanya revisi terhadap UU 32/2004 maka diharapkan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia benar-benar dapat mendorong kemajuan daerah dan meningkatkan kemakmuran bagi warga di daerah. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan juga dapat menjadi perangkat kebijakan untuk dan memperkokoh keberadaan NKRI. B. Maksud dan Tujuan memperkuat integrasi nasional

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

10

Revisi UU 32/2004 dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari UU 32/ 2004 terkait dengan konsep kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan, ketidakjelasan pengaturan dalam berbagai aspek

penyelenggaraan pemerintah daerah, dan hubungan antara pemerintah dengan warga dan kelompok madani. Praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menurut UU 32/2004 belum sepenuhnya menjamin terwujudnya NKRI yang desentralistis dan mampu menjamin adanya hubungan yang harmonis dan sinerjik antar tingkatan dan susunan pemerintahan. Dalam pembagian urusan misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum sepenuhnya tergambar dalam pengaturan dan norma-norma yang ada sehingga seringkali masih dijumpai ketidakharmonisan hubungan antar Kementrian dan Lembaga dengan daerah, antar provinsi dan kabupaten/ kota, dan antar daerah. Ketidakjelasan pengaturan sering membuat kerjasama antara pemerintah, provinsi, dan daerah dan antar daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah belum dapat dilakukan secara optimal. Disamping itu tidak jelasnya hubungan antara pemerintah pusat dan pemda telah menyebabkan sulitnya menciptakan sinerji antara pembangunan pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut. Akibatnya adalah sulitnya pencapaian target-terget nasional yang telah ditetapkan

pemerintah pusat karena masing-masing tingkatan pemerintahan mempunyai target dan prioritasnya sendiri-sendiri. Pada gilirannya penyelenggaraan

pemerintahan daerah dalam konstruksi UU 32/2004 sering belum mampu mempercepat perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah yang akibat lanjutannya adalah rendahnya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nasional. Disamping memperjelas konsep desentralisasi dalam kerangka NKRI, revisi juga dilakukan untuk memperjelas berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selama ini belum diatur dengan jelas dalam UU 32/2004. Misalnya, dalam pembentukan daerah otonom baru. Pengaturan yang ada selama ini dinilai belum jelas dan memadai sehingga pembentukan daerah otonom baru cenderung dilakukan secara masif dan lebih didorong oleh pertimbangan kepentingan elit dan sempit dari berbagai kelompok kepentingan yang ada di daerah. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004 Berbagai
11

pengaturan tentang kawasan perkotaan, kawasan khusus, daerah perbatasan, pengelolaan aset dan sumberdaya di daerah selama ini dinilai belum jelas sehingga cenderung tidak efektif dan tidak mampu menjawab dinamika daerah yang sangat cepat dan kompleks. Revisi juga dilakukan untuk menambahkan beberapa pengaturan baru yang selama ini belum tercakup dalam UU 32/2004, namun sangat penting untuk mempercepat keberhasilan desentralisasi mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih, demokratis, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa pengaturan terkait dengan hubungan antara pemerintah daerah dengan warganya seperti pengaturan tentang hak-hak warga untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah, kewajiban daerah untuk menjamin hak-hak warga berpartisipasi, dan hak-hak warga menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa antara warga dan penyelenggara pelayanan publik belum diatur dalam UU 32/2004. Sedangkan berbagai hal tersebut sangat strategis

dalam menjamin terwujudnya pemerintahan daerah yang bersih, responsif, dan akuntabel. Disamping itu terdapat juga kebutuhan untuk mendorong inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kemajuan suatu bangsa sangat ditetukan oleh sejauhmana kreativitas bangsa yang bersangkutan untuk selalu mencari alternatif dalam peningkatan kualitas hidupnya. Demikian juga halnya dengan penyelenggaraan pemda, kemajuan yang dicapai akan sangat dipengaruhi oleh terobosan-terobosan pemikiran yang harus dilakukan pemda khususnya dalam penyediaan pelayanan publik. Pemda harus didorong untuk memanfaatkan

kearifan lokal (local wisdom) yang ada untuk meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu diperlukan payung hukum untuk mendorong dan melindungi pemda yang telah melakukan kegiatan-kegiatan inovatif tanpa dihantui oleh tuntutan hukum. Jangan sampai kegiatan yang inovatif bermuara pada kriminalisasi. Untuk itu diperlukan adanya kriteria yang jelas untuk menentukan bahwa suatu kegiatan masuk dalam rumpun inovasi. Tapi sebaliknya juga jangan penyelahgunaan kekuasaan berlindung dibalik kegiatan yang inovatif. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
12

Sisi lain yang memerlukan payung hukum adalah tindakan hukum terhadap pejabat daerah. Adanya ketakutan yang berlebihan terhadap dampak hukum yang terjadi telah menyebabkan aparat pemda enggan untuk melakukan kegiatankegiatan yang dianggap potensial menyebabkan masalah hukum di kemudian hari. Timbullah budaya kerja mencari selamat. Akibatnya penyerapan anggaran menjadi terkendala dan banyak menimbulkan sisa diakhir tahun anggaran. Pada satu sisi pelayanan publik belum optimal namun pada sisi lain anggaran yang ada belum termanfaatkan secara optimal. Untuk mengatasi masalah tersebut harus ada payung hukum yang mengatur kejelasan atas suatu kesalahan dalam

penyelenggaraan pemda. Apakah kesalahan tersebut masuk dalam ranah administratif ( non yustisia) atau ranah pidana (pro yustisia ). Kalau setiap kesalahan dipaksakan masuk ke ranah pro yustisia, akan menyebabkan keengganan pejabat daerah dalam mengurus kegiatan-kegiatan yang berimplikasi hukum padahal kegiatan tersebut sangat diperlukan masyarakat karena terkait pelayanan publik. Suatu kesalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan seyogyanya diperiksa dulu oleh aparat pengawas internal pemerintah yang dalam hal ini dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hasil pemeriksaan yang dilakukan BPKP akan menentukan apakah kesalahan tersebut masuk dalam ranah administrasi atau pidana. Kalau ada indikasi pidana maka sifatnya akan menjadi pro yustisia dan menjadi tugas serta kewenangan aparat penegak hukum untuk menindak lanjutinya. Adanya revisi UU 32/2004 ini diharapkan dapat memberi kesempatan untuk membangun kerangka hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyeluruh, visioner, dan efektif merespon berbagai masalah yang sekarang dan mungkin terjadi di masa mendatang di dalam penyelenggaraan pemerintah

daerah di Indonesia.

C. Metodologi

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

13

Revisi Undang-Undang ini dirancang sedemikian rupa agar bersifat

problem-based, partisipatif, dan berbasis pada pemikiran yang secara akademik


dan politik dapat diterima. Bersifat problem-based karena inisiatif dan dasar untuk melakukan revisi adalah masalah yang dihadapi baik oleh pemerintah, daerah, para penyelenggara pemerintahan daerah, dan para pemangku kepentingan lainya terkait dengan penyelenggarakan pemerintahan daerah. Berbagai masalah yang dihadapi oleh penyelenggara pemerintahan daerah dan pemangku kepentingan setelah dikaji secara akademik ternyata bersumber dari ketidak-jelasan

pengaturan dari UU 32/2004 dan ketidakharmonisan antara UU 32/2004 dengan peraturan perundangan lainnya. Berbagai masalah yang dihadapi oleh banyak pemangku kepentingan ini menjadi dasar dan mendorong upaya untuk merevisi UU 32/2004. Dorongan untuk melakukan revisi juga muncul dari masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mekanisme pengelolaannya belum diatur dalam UU 32/2004. Misalnya, mengenai penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pelayanan publik adalah hal yang sangat strategis dan menjadi isu yang sangat penting karena terkait secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan revisi UU 32/2004 untuk

mengakomodasi kebutuhan adanya pengaturan yang diperlukan untuk menjawab tantangan yang sekarang dan dimasa mendatang dihadapi oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, diharapkan UU yang dihasilkan nanti benar-benar

mampu menjawab berbagai masalah yang sekarang dihadapi ataupun tantangan yang mungkin terjadi di masa mendatang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Metoda partisipatori digunakan dalam keseluruhan proses revisi UU 32/2004. Didalam menentukan agenda revisi, yaitu menentukan hal apa dari UU 32/ 2004 yang perlu direvisi, tim revisi melakukan serangkaian FGD (focusssed-

group discussion) di berbagai daerah dengan multi-stakeholders, diantaranya di


Mataram, NTB dan Semarang, Jawa Tengah, Pangkalpinag, Bali dan lain-lainnya. Tim juga melakukan uji publik dengan kalangan kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian, asosiasi pemerintahan daerah seperti Asosiasi Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
14

Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Termasuk uji publik dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kalangan akademisi dan pemerhati otonomi daerah. Tim revisi telah memperoleh berbagai masukan dari berbagai kalangan dan masukan-masukan tersebut sepanjang bermanfaat serta layak dipertimbangkan telah dipergunakan Tim Revisi untuk menyempurnakan konsep yang secara terus menerus dibangun dan disempurnakan. Dengan melibatkan multi-stakeholders di berbagai daerah diharapkan agenda revisi dapat mencakup masalah dan kebutuhan yang dirasakan oleh banyak pihak yang mewakili kepentingan yang berbeda-beda. Proses revisi juga dilakukan secara terbuka dan partisipatif dimana tim revisi yang terdiri dari pakar berbagai bidang keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama-sama dengan tim dari berbagai komponen di Departemen Dalam Negeri mendiskusikan berbagai masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan merumuskan norma yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam membahas berbagai isu, perdebatan yang intens dilakukan bukan hanya dengan Tim Pakar, pejabat dari berbagai unsur dari Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga berbagai pihak diluar tim, seperti: pakar dari universitas dan lembaga lainnya, unsur-unsur dari kementrian dan lembaga pemerintah lainnya, wakil dari Asosiasi, perwakilan dari berbagai NGO, dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan melibatkan

proses yang terbuka dan partisipatif diharapkan pemikiran yang berkembang dalam revisi menggambarkan pemikiran yang terkini, relevan, dan efektif untuk menjawab masalah dan tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan konsultasi publik yang luas dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan diharapkan dapat mendorong terjadi perdebatan yang terbuka tentang berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan yang selama ini menjadi perhatian masyarakat luas. Kementerian Dalam Negeri akan menjadikan masukan dan pemikiran yang berkembang dalam konsultasi publik menjadi informasi dan

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

15

bahan yang penting untuk menjadikan UU pemerintahan daerah hasil revisi benarbenar menjadi milik masyarakat dan semua pemangku kepentingan. Revisi juga dilakukan dengan mengkombinasikan pendekatan keilmuan dan politik. Pendekatan keilmuan dilakukan untuk mencari solusi yang tepat

terhadap berbagai masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan melibatkan para pakar dari berbagai universitas dan lembaga penelitian yang berbeda diharapkan revisi dapat menghasilkan pengaturan baru yang secara akademik kuat dan secara politik fisibel. Pengaturan baru tentunya harus memiliki landasan konsepsual yang kuat didukung oleh hasil riset dan pengalaman internasional yang memadai. Untuk itu maka para pakar diminta melakukan kajian tentang berbagai isu yang dianggap penting dan menuliskan hasilnya sehingga dapat menjadi bahan untuk pembuatan naskah akademik dan masukan yang penting dalam revisi UU 32/2004. Namun, pengaturan yang secara akademik sound harus juga dapat diimplementasikan dengan mudah, sederhana, dan efektif. Karena itu, pemikiran dari para pakar dan anggota Tim Revisi

dikonsultasikan dengan para pihak yang berkepentingan sehingga pengaturan yang diusulkan bukan hanya tepat secara konsepsual, tetapi juga secara politik fisibel, dan akseptabel dimata berbagai pemangku kepentingan.

D.

Struktur Penulisan Naskah akademik ini terdiri dari 5 Bab. Bab I menjelaskan tentang

pendahuluan yang mencakup latar belakang, tujuan dari revisi, metodologi, dan struktur penulisan. Bab II berisi tentang kerangka konsepsual yang menjelaskan konsep desentralisasi dan konstruksi desentralisasi dalam negara kesatuan. Adanya konsep yang jelas tentang desentralisasi dalam negara kesatuan diharapkan dapat membantu para pembentuk UU dan pemangku kepentingan dalam menentukan arah dari revisi UU 32/2004. Bab III memuat materi dari revisi UU32/2004. Semua masalah strategis yang memerlukan perubahan pengaturan dalam UU pemerintahan daerah dan keterkaitannya dengan peraturan perundangan lainnya dijelaskan disini.
16

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

Disamping

memuat

masalah

yang

menuntut

perubahan,

Bab

ini

juga

mengidentifikasi masalah yang memerlukan pengaturan baru dalam UU hasil revisi, seperti partisipasi masyarakat, pelayanan publik, dan inovasi daerah. Bab IV menjelaskan tentang Dasar Pemikiran dari setiap topik dan isu yang dibahas dalam revisi, permasalahan yang berkembang dalam topik itu, analisis tentang penyebab munculnya masalah, dan usulan perubahan. Bab ini diharapkan dapat membantu para pihak memahami nilai-nilai dan tujuan yang ingin diwujudkan dari setiap isu kebijakan yang muncul, permasalahan yang berkembang dalam setiap isu, analisis tentang penyebab munculnya masalah, dan usulan perubahan kebijakan untuk menjawab masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bab V Penutup

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

17

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL: KEBIJAKAN DESENTRALISASI DALAM NEGARA KESATUAN

II.1. Pasang Surut Otonomi Daerah di Indonesia

Deskripsi sistem pemerintahan daerah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Setiap Undang-Undang yang diberlakukan akan menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah dan ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada dasarnya terdapat lima kali perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem pemerintahan daerah pasca kemerdekaan. Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan yag berbeda satu sama lainnya. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini.

1). Undang Undang No.1/ 1945 Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan UU Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. UndangUndang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya pengaturanpengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang 1/1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap level terkecuali di tingkat Propinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatip dan anggotaanggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutip yang dipimpin oleh Kepala Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
18

Daerah untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Kepala Daerah memjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan. Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figur Kepala Daerah. Status Kepala Daerah adalah diangkat dan diambil dari Keanggotaan Komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah dan bukan dipilih.

2). Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 Undang-Undang No.22/1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 1/1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang No.22/1948 hanya mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratip. UU tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan Eksekutip dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan seharihari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Kondisi tersebut merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer yang dianut pada masa tersebut. Pada sisi lain Kepala Daerah tetap menjalankan dwifungsi; sebagai ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pusat, Kepala Daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai Ketua DPD, ia bertindak selaku wakil dari Daerah yang bersangkutan. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
19

Tidak seperti UU 1/1945, UU 22/1948 secara jelas menyatakan urusan-urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (otonomi materiil) seperti prinsip Ultra

Vares yang diterapkan pada Pemerintah Daerah di Inggris. Terdapat 15 jenis urusan
yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan kota Kecil sebagai Pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan Pemerintah Daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi mengenyampingkan kemampuan riil dari pemerintah daerah. Keinginan memberikan otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas. Dalam realitas, kebanyakan Daerah pada masa tersebut masih dibawah kontrol Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda telah merubah daerah-daerah yang didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian dibawah sistem Federal. Sedangkan wilayah Republik Indonesia hanya terbatas pada Jawa Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan. UU 22/1948 hanya berlaku pada wilayah Republik, sedangkan daerah-daerah dibawah sistem Federal diatur sistim Pemerintahan Daerahnya menurut UU No.44/1950.

3) Undang Undang Nomor.1 Tahun 1957 Apabila UU 1/1945 lebih menekankan pada aspek Dekonsentrasi, dan UU 22/1948 pada aspek desentralisasi, maka UU 1/1957 ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi kearah Desentralisasi. UU 1/1957 adalah produk dari sistem parlemen Liberal hasil dari Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Partai-Partai politik di Parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan Pemerintah Pusat di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau Camat (Suryaningrat, 1980). Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk meluaskan otonomi daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah Daerah tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah sama Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
20

seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan UU 22/1948, sampai dengan tahun 1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya diserahkan kepada Propinsi. Penyebabnya adalah bahwa pelimpahan urusan harus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah dan prosedur tersebut memakan waktu yang sangat lama. Sistem Pemerintahan Daerah menurut UU 1/1957 adalah hampir sama dengan pengaturan dalam UU 22/1948. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala Daerah bertindak selaku ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi d daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya. Perbedaannya dengan UU 22/1948 terletak pada peranan yang dijalankan oleh Kepala Daerah. Kepala Daerah hanya berperan selaku alat daerah dan tidak bertanggung jawab kepada Pusat. Kepala Daerah dan DPD baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektip bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, namun sebelum diangkat ia harus mendapatkan pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Tingkat III. Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik tidak diiringi dengan kedewasaan sosial dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut, kabinet dibawah Perdana Menteri Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat pun diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu; mencabut berlakunya UUDS 1950, membubarkan Kabinet, dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat tersebut dimulailah apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy).

4) Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk mengatur Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutip daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
21

bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutip daerah ia bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai eksekutip daerah Kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun harus bebas dari partai politik. Penpres 6/1959 menandai beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah kearah prinisip Dekonsentrasi. Kekuasaan Daerah pada dasarnya terletak ditangan Kepala Daerah, dan Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap Kepala Daerah yang umumnya direkrut dari Pamong Praja. Meskipun DPRD mempunyai hak untuk mengusulkan calon-calon Kepala Daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong Praja mendominasi jabatan Bupati dan Walikota. Pada awal tahun 1960an pada waktu semua jabatan Kepala Daerah terisi, dari 238 Kepala Daerah, 150 orang atau 63% berasal dari Pamong Praja (Legge, 1961). Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 yang menyatakan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah. Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan-Urusan Pusat yang sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja kepada Pemerintah Daerah. Urusan-Urusan yang dijalankan oleh Residen diserahkan kepada Gubernur, dan urusan-rusan yan dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati atau Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap dipertahankan. Kemudian Undang-Undang No.18 Tahun 1965 dikeluarkan untuk mengganti Penpres 6/1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari dekonsentrasi ke arah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan politik nasional.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

22

5) Undang Undang Nomor 18 tahun 1965 Pada pertengahan dekade 1960an telah timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi sistem Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu yaitu kelompok partai Nasionalis, Agama dan Komunis. Berdasarkan UU 18/1965, Kepala Daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil Pusat di daerah. Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun Dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun diberi embel-embel vital. Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem pemerintahan daerah adalah bahwa Kepala Daerah bukanlan lagi bertindak sebagai Ketua DPRD, dan dia juga diijinkan menjadi anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga tingkatan Pemerintah Daerah yang otonom yaitu; Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan. Otonomi yang diberikan kepada Daerah adalah otonomi nyata dan seluas-luasnya. Hal ini hampir serupa dengan otonomi dalam UU 1/1957. UU 18/1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju ke desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada Kepala Daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutip daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat.

6) UU No.5 tahun 1974 UU No. 5 Tahun 1974 lahir sebagai tindak lanjut dari peristiwa G 30 S PKI yang kemudian diikuti dengan lahirnya Orde Baru. Ciri utama dari UU 5/1974 adalah penguatan peran Kepala Daerah dalam menjalankan dua fungsi utamanya yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dia memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat ke Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
23

daerah. Sedangkan sebagai wakil pemerintah pusat kepala daerah disebut sebagai kepala wilayah yang memimpin wilayah administrasi sebagai wilayah kerja wakil pusat dei daerah. Sebagai kepala wilayah maka yang bersangkutan berperan sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kepala wilayah juga mempunyai peran sebagai kordinator pemerintahan di daerah yang

mengkordinir semua instansi vertikal yang ada di wilayah kerjanya. Kepala wilayah juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan umum di daerah yaitu urusan-urusan terkait dengan kordinasi, pembinaan, ketentraman dan ketertiban umum dan menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang belum di otonomikan atau belum ada instansi vertikal yang menanganinya (urusan sisa). Ciri utama dari UU 5/1974 adalah kuatnya intervensi pemerintah pusat dalam setiap elemen dasar dari pemerintahan daerah. Dari aspek urusan pemerintahan, prinsip otonomi daerah yang dianut adalah otonomi yang luas, riil dan bertanggung jawab. Dalam kenyataannya urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjumlah 7 s/d 9 urusan untuk tingkat kabupaten/kota dan 19 urusan untuk tingkat provinsi. Nuansa sentralisasi juga terasa kuat dalam aspek kepegawaian, keuangan, dan aspek-aspek lainnya dalam hubungan pusat dengan daerah. UU 5/1974 bertahan selama hampir 25 tahun yang kemudian diganti dengan UU 22 tahun 1999 sebagai tindak lanjut dari reformasi. Dari pendekatan historis ini isu sentral yang dapat ditarik adalah bagaimana pemerintah pusat selalu berusaha memegang kendali/ kontrol terhadap daerah. Dalam banyak hal, pemerintah pusat berusaha mengontrol daerah melalui figur Kepala Daerah yang didudukkan sebagai alat pusat dan alat daerah. Untuk memenangkan kesetiaan Kepala Daerah kepada pusat dalam menjalankan dual roles nya, pusat seringkali sangat dominan dalam penentuan/pengangkatan Kepala Daerah. Kuatnya bargaining position pusat dalam penentuan Kepala Daerah ini telah mendorong loyalitas Kepala Daerah yang lebih tinggi kepada pusat dibandingkan kepada daerah. Aspek positip dari kebijaksanaan ini adalah adanya kepastian bahwa program2 ataupun arahan pusat akan terlaksana secara lancer di daerah. Pada Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
24

tahap awal kemerdekaan pendekatan ini sangat berguna untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang masih sangat rawan pada waktu itu (tujuan integratif). Aspek negatipnya, terutama setelah tujuan integratif tercapai adalah pada diri Kepala Daerah sendiri, yang akan sering dihadapkan pada suatu dilema manakala dihadapkan pada situasi harus memilih antara kepentingan pusat dan daerah. Ke-Pusat dia dituntut akan loyalitas, ke daerah dia dihadapkan pada akauntabilitas. Kebijakan pemerintah untuk melakukan desentralisasi pemerintahan di Indonesia sudah lama dilakukan dan mengalami pasang surut sejak UU N0.1 Tahun 1945 dikeluarkan oleh pemerintah. Para pendiri bangsa sejak awal telah memutuskan perlunya desentralisasi dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pasca reformasi, pemerintah melakukan serangkaian kebijakan, antara lain dengan menerbitkan UU N0.22/1999 yang kemudian diganti dengan UU N0.32/2004 untuk mencari format kebijakan desentralisasi yang mampu dan

mempercepat kemajuan daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat, sekaligus memperkuat integrasi nasional.

Walaupun berbagai upaya telah

dilakukan untuk mengantisipasi dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang berpengaruh terhadap sistim pemerintahan daerah, namun Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 sebagai payung kebijakan desentralisasi masih mengandung banyak kekurangan dan kelemahan yang jika tidak segera diperbaiki dapat mengganggu keberhasilan desentralisasi itu sendiri. Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang seharusnya dikembangkan di Indonesia. Apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia

terbatas pada desentralisasi wilayah, sebagaimana selama ini dilakukan, atau termasuk juga desentralisasi fungsional (Rondinelli, 2007). Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan Cheema (1983) yang mengklasifikasi desentralisasi kedalam berbagai cara, yaitu: dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Apakah desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia tetap mengikuti praktik yang selama ini dilakukan di negara-negara kesatuan, Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
25

yang melimpahkan kewenangannya sebagian besar pada kabupaten/ kota? Atau, pelimpahan kewenangan kepada provinsi perlu diperbesar seperti yang terjadi pada negara-negara yang menganut sistim pemerintahan federal. Pertanyaanpertanyaan seperti ini tentu penting untuk menjadi bahan pemikiran bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Fakta bahwa desentralisasi di banyak negara belum mampu menghasilkan bukti yang solid dan kokoh untuk mendorong kemajuan daerah, partisipasi masyarakat, dan kesejahteraan warga menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya model desentralisasi dan otonomi daerah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi masing-masing negara. Walaupun

desentralisasi menjadi strategi pembangunan yang umum dilakukan di banyak negara maju dan berkembang pasca tahun 1980an, namun cerita keberhasilan desentralisasi sering bersifat unik dan kontekstual (Andrews and Vries, 2007). Keberhasilan desentralisasi dalam memperbaiki kehidupan warganya tidak berlaku umum dan tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted. Beberapa penelitian telah mengingatkan mengenai risiko penggunaan desentralisasi sebagai panacea dalam memecahkan masalah pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang berkembang, yang cenderung

menyederhanakan masalah (Andersson, Gibson and Lehoucq 2004). Segelintir peneliti mulai mempertanyakan asumsi yang mengklaim bahwa desentralisasi dapat memperbaiki pemberian pelayanan di tingkat lokal (Agrawal and Gibson 1999; Larson 2002; Andersson dkk, 2004; Deininger and Mpuga 2005). Sementara peneliti yang lain seperti Andrews dan Vries (2007) yang

membuktikan bahwa pengalaman Brazil, Rusia, Jepang, dan Swedia dalam melaksanakan desentralisasi ternyata menghasilkan pengalaman yang berbeda terkait dengan dampaknya terhadap partisipasi publik. Memang tidak semua

negara mengalami kemajuan setelah melaksanakan desentralisasi. Di beberapa negara desentralisasi justru telah membuka kesempatan untuk rent-seeking dan korupsi (Treisman 2000; Oyono 2004, Tambulasi dan Kayuni, 2007).

Keberhasilan desentralisasi memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah sangat tergantung pada kesesuaian bentuk, cakupan dan besaran kewenangan yang Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
26

dialihkan ke daerah, dan cara pelaksanaan desentralisasi dengan kapasitas pemerintah daerah, dukungan kementrian dan lembaga sektoral, dan kekuatan masyarakat sipil di daerah. Namun, dampak yang berbeda-beda yang dialami banyak negara lain dalam melaksanakan desentralisasi tidak perlu membuat Indonesia menjadi raguragu dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi

sudah menjadi pilihan anak-anak bangsa, bukan hanya sekarang ini, tetapi bahkan sejak para pendiri bangsa dimasa lalu. 1 Kondisi demografis, sosial budaya, dan geografis yang memiliki variabilitas yang tinggi antar daerah, menjadikan desentralisasi sebagai keniscayaan. Pilihan para pendiri bangsa dimasa lalu

terhadap desentralisasi dan otonomi daerah menunjukan kearifan mereka terhadap tingginya pluralitas bangsa. Indonesia yang memiliki wilayah yang

sangat luas dan terbentang pada begitu banyak pulau yang terpisah satu dengan lainnya, dengan etnisitas, budaya, dan tingkat sosial ekonomi yang berbeda-beda membutuhkan pemerintah daerah yang otonom dan memiliki kapasitas merespon dinamika lokal yang kompleks. Pemerintahan daerah yang seperti ini hanya dapat dikembangkan ketika desentralisasi dilakukan. Keyakinan bahwa desentralisasi menjadi pilihan yang tepat dapat dijustifikasi dengan melihat pengalaman banyak negara lain yang berhasil menggunakan desentralisasi untuk mendorong pembangunan daerah,

demokratisasi, dan kesejahteraan ekonomi (Boone 2003, Kohl 2003, Lam 1996, Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999). Bahkan, dalam New Public

Management

(NPM),

yang

sekarang

ini

menjadi

gerakan

pembaharuan

administrasi publik di negara maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998). Bahwa sebagian negara lainnya gagal menjadikan desentralisasi sebagai strategi untuk membangun pemerintahan yang efisien dan efektif hanyalah
Hal ini dibuktikan dengan d ikeluarkannya UU N0.1 Tahun 1945 tentang otonomi daerah. Fakta bawa pemerintah yang baru saja menyatakan kemerdekaannya untuk kali pertama dalam pembentukan UU mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukan bahwa para pendiri bangsa melihat desentralisasi sebagai suatu nilai yang penting.
1

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

27

menunjukan bahwa desentralisasi tidak bisa diperlakukan secara taken for granted, karena keberhasilannya bersifat kontekstual. Desentralisasi tidak terjadi dalam ruang yang vakum, tetapi dalam sebuah konteks historik, budaya, politik, dan kelembagaan tertentu. Sistim desentralisasi yang dikembangkan mesti harus

kontekstual dengan memperhatikan berbagai variabel dan kondisi sehingga model desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia benar-benar sesuai dengan sistim pemerintahan, politik, budaya, sejarah, dan cita-cita membangun negara bangsa. Bahwa pelaksanaan desentralisasi mesti harus memperhatikan konteks masing-masing negara sudah lama diingatkan oleh para pemikir desentralisasi sejak lama (Rondinelli, 1980, Cheema and Rondinelli, 1982). Ada banyak kondisi yang diperlukan agar desentralisasi dapat menghasilkan manfaat seperti yang diharapkan, seperti kapasitas lokal, komitmen politik dari pimpinan nasional, konsistensi kebijakan, tersedianya saluran bagi partisipasi politik masyarakat, kualitas kepemimpinan lokal, kesiapan aparatur pusat dan daerah untuk mengubah mindset, tersedianya lembaga lokal yang berjiwa demokratis, dan terbatasnya otoritas fiskal di daerah. (Rondinelli 1980, Dillinger 1995; Seabright 1996, Manor 1999; Bardhan and Mookherjee 2000). Sebagian dari variabel diatas dapat menjelaskan mengapa pengalaman banyak daerah di Indonesia

melaksanakan desentralisasi juga berbeda-beda, dimana sebagian provinsi dan kabupaten/ kota berhasil mempercepat pembangunan daerahnya, sementara sebagian lainnya gagal memanfaatkan otonomi untuk perbaikan kinerja (Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto, 2003b). Walaupun secara umum desentralisasi dan otonomi daerah mampu mendorong munculnya berbagai inovasi, tetapi desentralisasi juga melahirkan banyak masalah baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pelaksanaan desentralisasi yang tidak kontekstual, karena dilaksanakan untuk memenuhi tekanan eksternal lembaga donor yang seringkali mengkaitkan dengan program-programnya, dapat menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme (1997) yang risau tentang kegagalan desentralisasi memenuhi janjinya. Apa yang salah dengan desentralisasi: teori atau prakteknya? Atau gugatan Jeffrey (2008) tentang koherensi dan stabilitas dari

penyelenggaraan pemerintahan secara desentralistis, ketika tingkat pemerintahan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
28

yang berbeda dikuasai partai politik yang berbeda-beda.

Pertanyaan-pertanyaan

itu mengingatkan kita semua untuk berani secara terbuka dan kritis melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Berbagai keluhan tentang ketidakmampuan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memenuhi harapan dari banyak pemangku kepentingan dapat muncul dari keduanya, ketidaktepatan model desentralisasi yang diterapkan dan karena kesalahan implementasinya, atau bahkan karena interaksi dari keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan dapat menjadi sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi. Hal yang sama juga dapat mendorong terjadi penafsiran yang berbeda di kalangan pemangku kepentingan sehinga pelaksanaan desentralisasi tidak sesuai dengan semangat dari peraturan perundangan yang berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi yang salah pula. Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi (Dwiyanto, 2003a). Akibatnya, pelaksanaan desentralisasi tidak dapat memberi manfaat sebagaimana diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Apa yang terjadi selama ini menunjukan pentingnya membuat kebijakan desentralisasi yang jelas dan tepat karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu dalam rangka memperbaiki pelaksanaan desentralisasi di Indonesia upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai pengaturan yang ada dalam UU N0.32 Tahun 2004 yang dinilai menimbulkan kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dengan melakukan serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang bersifat sistemik ataupun yang kontekstual maka diharapkan Indonesia dapat mewujudkan kebijakan desentralisasi yang mampu membawa kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

29

Pengembangan desentralisasi di Indonesia perlu memperhatikan kondisikondisi yang diperlukan bagi keberhasilan desentralisasi itu sendiri dan berbagai konteks kekinian yang terjadi di Indonesia. Pertama, desentralisasi yang

dikembangkan adalah desentralisasi dalam negara kesatuan. Pilihan negara kesatuan telah jelas termuat dalam konstitusi dan masih menjadi konsensus politik. Walaupun konsep negara kesatuan mengalami dinamika dan penyesuaian sesuai dengan tantangan yang dihadapi, desentralisasi dalam negara kesatuan memiliki ciri yang berbeda dengan desentralisasi dalam negara yang menganut sistim federal. Dalam negara kesatuan umumnya desentralisasi hanya terjadi dalam eksekutif, bukan dalam kewenangan legislatif dan judisial.

kewenangan

Pemerintahan daerah tidak memiliki kompetensi legislatif dan yudisial. Didalam negara kesatuan tidak ada shared soverignity . Kedaluatan hanya ada ditangan negara, bukan ada di daerah. Implikasinya, di negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif, yang berkedudukan di pusat. Lembaga

perwakilan rakyat di daerah (DPRD) hanya memiliki regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan produk lembaga legislatif (DPR) dan peraturan perundangan yang yang lebih tinggi.

Penyelenggara negara dan atau Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat melakukan

review terhadap peraturan daerah dan membatalkannya jika

bertentangan dengan UU dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan memilih menjadi negara kesatuan yang desentralistik, Indonesia memiliki konstruksi hubungan pusat dan daerah yang berbeda dengan konstruksi yang ada didalam sistim federal. Dalam negara kesatuan, daerah (bisa provinsi atau kabupaten/ kota) umumnya dibentuk oleh negara (pusat) melalui peraturan perundangan tertentu. Karena itu daerah memperoleh kewenangan dari negara, bukan sebaliknya. Negara melalui UU dapat membentuk dan membubarkan

daerah, melimpahkan atau menarik kembali kewenangan dan fungsi yang dilimpahkan ke daerah. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah adalah kewenangan eksekutif yang dimiliki oleh Presiden, bukan kewenangan penyelenggara negara lainnya. UUD 1945 memberi kekuasaan pemerintahan

tertinggi pada presiden. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
30

Presiden

harus

mempertanggungjawabkan

penyelenggaraan

pemerintahan Karena itu, terhadap

nasional, termasuk yang dilakukan oleh pemerintahan daerah. Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan

pengawasan

penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/ kota. Kedua, sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi (UUD 1945 ps 18 dan 18A), Indonesia menganut sistim pemerintahan dengan susunan ganda (multi-

tiers government).
provinsi dan

Pilihan untuk memiliki multi-tiers government dapat

dijustifikasi dari adanya comparative advantages dari keberadaan pemerintah kabupaten/ kota mengingat tidak semua urusan yang

didesentralisasikan dapat dikelola secara efisien dan efektif oleh kabupaten/ kota. Sebagian dari urusan yang didesentralisasikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan, kehutanan, sarana dan prasarana, dan pengembangan wilayah, serta urusan pemerintahan yang berbasis ekologis akan lebih efisien dan efektif jika dikelola oleh pemerintah provinsi. Walaupun

desentralisasi pemerintahan di negara-negara kesatuan umumnya lebih banyak diserahkan kepada pemerintahan kabupaten/ kota, utamanya untuk

penyelenggaraan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar. Kalau desentralisasi pemerintahan di masa mendatang tetap diberikan sebagian besar kepada kabupaten/ kota maka penerapan prinsip subsidiaritas harus menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pembagian urusan

pemerintahan. Ketika subsidiaritas berbenturan dengan kriteria lainnya, misalnya: efisiensi, maka prinsip subsidiaritas menjadi superior. Pertimbangannya adalah

yang paling dekat dengan warga adalah yang paling tahu tentang kebutuhan warganya, mudah dikontrol oleh warga, dan memudahkan warga untuk terlibat dalam penyelenggaraannya. Kriteria dan prinsip dalam pembagian urusan perlu dirumuskan dengan jelas dan dimasukan dlam konstitusi sehingga tidak mudah untuk dirubah untuk kepentingan sempit dan jangka pendek. Cara ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya democratic governance pada tingkat lokal. Di negara kesatuan yang memiliki susunan ganda, walaupun tidak ada hubungan hirarkhis antara provinsi dengan kabupaten/ kota, secara fungsional Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
31

hubungan hirarki antar keduanya sulit dihindari. Dalam manajemen pemerintahan sehari-hari, hubungan interdepensi dan interrelasi antar pemerintahan kabupaten/ kota adalah keniscayaan. Secara fungsional keberadaan provinsi diperlukan untuk memfasilitasi managemen pemerintahan antar kabupaten/ kota agar terjadi koherensi, sinerji, dan terintegrasi dengan baik. Apalagi ketika provinsi juga

diperlakukan sebagai wilayah administratif, dimana kepala daerahnya diberi tugas sebagai wakil pusat di daerah, maka hubungan hirarkhis fungsional antara provinsi dan kabupaten/ kota tidak dapat dihindari. Hubungan antar keduanya perlu ditata dengan baik sehingga keberadaan keduanya mampu menciptakan sinergi dan komplementaritas yang menguntungkan warganya. Sinergi dan komplementaritas antara pemerintahan provinsi dan

kabupaten/ kota hanya dapat dilakukan kalau pembagian urusan antar keduanya jelas dan terumuskan dengan baik. Untuk itu, UU ini perlu mengarahkan peran pemerintahan kabupaten/ kota sebagai penyelenggara urusan pemenuhan kebutuhan dasar dengan memperhatikan keuntungan komparatifnya dibandingkan dengan pemerintahan provinsi. Sedangkan, provinsi sebagai daerah otonom diarahkan sebagai penyelenggara pelayanan yang memiliki eksternalitas lintas

kabupaten/ kota dan pembangunan wilayah. Pembagian urusan yang jelas, dalam negara kesatuan yang memiliki multi-tiers government, menjadi sangat penting perannya dalam membangun negara kesatuan yang solid dan kokoh. Penguatan peran provinsi perlu diimbangi juga dengan penguatan peran gubernur sebagai wakil pusat. penguatan Pengalaman sejarah pemerintahan Indonesia menunjukan bahwa peran provinsi sebagai daerah otonom sering menimbulkan

kekhawatiran tentang risiko munculnya gerakan separatisme. Pemberian peran tambahan kepada KDH provinsi sebagai wakil pemerintah pusat dapat mengurangi kekhawatiran terhadap munculnya ancaman separatisme. Penguatan peran gubernur sebagai wakil pusat di daerah juga memiliki rasionalitas lainnya. Untuk memperkuat NKRI, presiden membutuhkan instrumen yang dapat menjalankan peran sebagai intermediaries, enabling, and synergizing

institution

untuk

penguatan

kapasitas

dan

optimalitas

penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Penambahan peran gubernur sebagai wakil pusat dapat Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
32

menjadi pilihan yang mudah, murah, dan efektif untuk membangun konsistensi dan sinergi penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah. Penerapan peran ganda gubernur juga dinilai lebih sesuai dengan semangat desentralisasi daripada menjadikan gubernur sepenuhnya sebagai wakil pusat di daerah. Pemikiran untuk menjadikan gubernur sepenuhnya sebagai wakil pusat dan menjadikan provinsi sebagai wilayah administratif dapat menjadikan NKRI semakin sentralistis dan mempersempit ruang untuk partisipasi publik yang menjadi salah satu nilai yang ingin diwujudkan oleh kebijakan desentralisasi. Ketiga, walaupun tidak diatur dalam konstitusi realitas yang ada

menunjukan bahwa Indonesia menganut desentralisasi teritorial dan fungsional. Selama ini desentralisasi teritorial sangat dominan sehingga cederung memonopoli konsep desentralisasi di Indonesia. menjadi contoh terjadinya Pengembangan kawasan khusus dapat fungsional, dimana pemerintah

desentralisasi

membentuk lembaga khusus semi pemerintah di daerah untuk menjalankan fungsi pemerintah pusat tertentu. Munculnya masalah-masalah strategis terkait dengan kawasan perbatasan, konservasi, dan unggulan ekonomi mendorong perlunya Indonesia mengembangkan konsep desentralisasi fungsional. Pengembangan

kawasan perbatasan yang memiliki aspek geo-politik strategis seringkali tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh satu daerah otonom, sehingga diperlukan satu institusi yang secara khusus dirancang untuk menjalankan fungsi pemerintah tertentu di kawasan perbatasan. Keempat, sebagai negara kesatuan pemerintah membentuk sistim

kepegawaian nasional yang mencakup pegawai nasional, pegawai daerah, dan pegawai profesional lainnya. Pegawai nasional menjadi perangkat pemerintah

untuk pemberdayaan daerah, pemerataan kemajuan dan kesejahteraan daerah, serta memperkuat integrasi nasional (national-binding forces). Sistim

kepegawaian nasional harus mencakup standar kompetensi, proses rekrutmen dan penempatan pegawai yang terbuka, kompetitif, dan menjamin adanya mobilitas pegawai antar daerah secara wajar. Sistim kepegawaian nasional harus dapat memberi ruang kepada daerah untuk mengembangkan kompetensi lokal yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
33

Kelima, berbeda dengan yang terjadi di negara federal dimana daerah memiliki sumber-sumber penerimaan sendiri yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, di negara kesatuan umumnya sumber penerimaan dikontrol oleh pusat dan didistribusikan kembali ke daerah untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar daerah. Penggunaan hibah dan transfer dari pusat untuk pembiayaan pemerintahan daerah memiliki beberapa implikasi. Implikasi pertama, pemerintah perlu membuat kebijakan dan standar pelayanan sebagai acuan daerah dalam mengelola pelayanan publik. Kebijakan dan standar penting untuk memastikan daerah mampu menjamin semua warga dimanapun mereka tinggal mampu mengakses volume dan kualitas pelayanan yang sama. Implikasi lainnya, akuntabilitas dari penggunaan dana oleh daerah tidak hanya pada konstituen yang ada di daerah, tetapi juga pada konstituen pada tingkat nasional. Karena sebagian dana yang digunakan untuk menjalankan

pemerintahan daerah bersumber dari pajak dan sumber-sumber lain di tingkat nasional maka pemerintahan daerah harus juga akuntabel pada stakeholders pada tingkat nasional. Daerah memiliki akuntabilitas ganda, stakeholders di daerah dan nasional. Keenam, keberhasilan desentralisasi membutuhkan adanya konsistensi dalam keseluruhan aspek kebijakan dan implementasinya. Dalam aras kebijakan, konsistensi diperlukan antar peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan dengan peraturan perundangan yang mengatur kegiatan-kegiatan kementrian dan lembaga. UU tentang pemerintahan daerah harus menjadi arah kebijakan yang menjiwai dan menjadi pedoman bagi pembentukan UU sektoral. Ketidakharmonisan antara UU tentang

penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan UU sektoral dapat menciptakan kebingungan aktor-aktor di pusat dan daerah. Sebagaimana pengalaman di

negara-negara lainnya, ketidakharmonisan UU bukan hanya akan menimbulkan kekaburan terhadap subtansi peraturan perundang-undangan tetapi juga akan mempersulit pelaksanaan dari desentralisasi itu sendiri. Kekaburan dalam isi

kebijakan akan mendorong munculnya misintepretasi dan distorsi kebijakan yang

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

34

tidak perlu dan dapat menjauhkan kebijakan desentralisasi dari nilai-nilai yang akan diwujudkannya.. Dalam aras implementasi, perlu dikembangkan strategi yang menjamin pelaksanaan desentralisasi benar-benar sesuai dengan semangat yang dimiliki dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan UU

pemerintahan daerah harus diikuti dengan pembentukan peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan semangat pembentukan UU itu sendiri. Konsistensi antara UU dengan peraturan pelaksanaannya harus dijaga agar implementasi dari UU itu benar-benar sesuai dengan semangat dari pembentuk UU. Dengan cara ini maka distorsi implementasi dapat ditekan seminimal mungkin sehingga pelaksanaan desentralisasi dapat menciptakan hasil sebagaimana yang diharapkan. Ketujuh, pengembangan desentralisasi sebagaimana terjadi pada negaranegara lainnya membutuhkan ruang politik yang lebih luas bagi warga untuk terlibat dalam proses politik di aras lokal. Desentralisasi harus dilakukan secara

bersama-sama dengan demokratisasi pada tingkat lokal sehingga warga dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dan ikut mengontrol jalannya

penyelenggaraan pemerintahan. Implikasinya, desentralisasi hanya akan berhasil kalau diikuti dengan pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat di daerah dan penguatan kelompok masyarakat sipil di daerah di daerah sehingga efektivitas kontrol politik di daerah menjadi semakin effektif. Tanpa penguatan lembaga

perwakilan rakyat dan masyarakat sipil di daerah, desentralisasi hanya akan melahirkan elite captures dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang merugikan kepentingan warga dan pemangku kepentingan yang luas.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

35

BAB III MATERI MUATAN UNDANG UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

Secara ringkas materi muatan revisi UU 32/2004 mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1. Pembentukan dan Penataan Daerah

Isu penataan daerah telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan karena ekses negatif dari pemekaran daerah yang sangat masif selama lima

tahun terakhir, utamanya terkait dengan konflik sosial, penurunan kualitas pelayanan, dan fragmentasi spasial yang sangat tinggi dari pemerintahan daerah. Pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang tidak terkendali dikawatirkan akan membuat penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak efisien dan efektif. Upaya untuk mengendalikan pembentukan DOB telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan PP 78/2007 dan PP 6/ 2008. PP 78/2007 mengatur tentang

prosedur dan persyaratan pembentukan DOB sedangkan PP 6/2008 mengatur tentang evaluasi kinerja daerah otonom dan implikasinya terhadap penggabungan daerah. Namun, PP tersebut sering kurang efektif untuk digunakan pembentukan DOB karena perbedaan intepretasi tentang

mengendalikan

kewenangan pembentukan DOB yang muncul dari intepretasi terhadap UU N0.10/2004 tentang pembentukan peraturan perundangan. Pembentukan DOB melalui UU dapat ditafsirkan bahwa DPR memiliki kewenangan untuk melakukan inisiatif dalam pembentukan DOB. Revisi UU 32/2004 harus mengatur dengan jelas siapa yang sebenarnya memiliki kewenangan mengusulkan pembentukan daerah otonom, pemerintah semata atau bersama dengan DPR.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

36

2. Pembagian Urusan Pemerintahan Pembagian urusan pemerintahan menjadi isu yang strategis karena implikasi dari ketidakjelasan dalam pembagian urusan sangat luas, tidak hanya menyangkut hubungan antar susunan pemerintahan tetapi juga antara

kementrian/ lembaga dengan pemerintah daerah.

Ketidakjelasan pembagian

urusan sering memicu konflik antar susunan pemerintahan karena menimbulkan perebutan kewenangan diantara mereka. Lebih dari itu, ketidakjelasan pembagian urusan juga mendorong terjadi tumpang tindih dan duplikasi urusan pemerintahan sehingga menimbulkan masalah efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah menerbitkan PP 38/2007 yang berusaha merinci urusan desentralisasi kedalam urusan pemerintah, provinsi, dan kabupaten/ kota. Namun, PP tersebut masih menyisakan persoalan terkait dengan ketidakjelasan konsep skala provinsi dan skala kabupaten/ kota yang dipergunakan untuk mendefinisikan urusan provinsi dan kabupaten/ kota. Lebih dari itu, pelaksanaan pembagian urusan pemerintahan daerah juga sering berbenturan dengan UU sektoral yang sering tidak harmonis dengan UU pemerintahan daerah. Misalnya dalam pengelolaan hutan, PP N0.6/2007 dan PP3/ 2008 yang mengatur tentang Tata Hutan dan Pengelolaan Hutan tidak konsisten dengan PP 38/2007 dasn UU 32/2004 yang telah mendesentralisasikan urusan kehutanan kepada daerah. Akibatnya sering muncul konflik antara pemerintah (Departemen Kehutanan) dengan daerah dalam pengelolaan hutan. Hal yang sama terjadi dalam hubungan antara peraturan perundangan sektoral lainnya dengan UU 32/2004. Upaya untuk memperjelas pembagian urusan penting

dilakukan agar desentralisasi pemerintahan benar-benar dapat berjalan seperti yang diatur dalam UU pemerintahan daerah. Terkait dengan peran gubernur sebagai wakil pusat, undang-undang sektoral termasuk UU 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak

menyebut sama sekali peran gubernur sebagai wakil pusat. Kementrian negara memiliki kewenangan untuk melakukan sinkronisasi dan koordinasi dalam Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
37

pelaksanaan

urusan

pemerintahan

yang

menjadi

kewenangannya

tanpa

melibatkan gubernur sebagai wakil pusat.

Keinginan untuk memperkuat peran

gubernur sebagai wakil pusat di daerah mesti harus didukung oleh UU sektoral yang mengakui peran gubernur sebagai wakil pusat di daerah.

3. Penyelenggara Pemerintahan Daerah Isu yang perlu diperjelas dalam bab penyelenggara daerah adalah kejelasan kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan hubungannya dengan KDH, terkait dengan upaya pemberdayaan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah. UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD telah menegaskan kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Penegasan ini mengakhiri Namun, isu

perdebatan yang selama ini terjadi tentang kedudukan DPRD.

hubungan antar KDH dan DPRD terkait dengan penyusunan APBD, pemberdayaan sekretariat DPRD, dan pemberdayaan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah belum diatur dengan jelas. Isu lainnya terkait dengan penyelenggara pemerintahan daerah adalah isu pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada sering diwarnai sengketa yang banyak menguras enerji pemerintah baik di pusat maupun daerah. Berbagai masalah yang muncul adalah isu money politics, isu dinasti, isu tim sukses yang berimbas kepada tidak netralnya pegawai daerah, isu moral dan etik, isu besarnya biaya yang harus dipikul baik oleh pemerintah daerah maupun oleh calon kepala daerah dan isu-isu lainnya. Untuk itu perlu pengaturan yang jelas untuk memberi landasan hukum yang tegas guna mengurangi permasalahan-permasalahan pilkada terkait isu-isu tersebut diatas. Pembaharuan pengaturan tentang perangkat dan aparatur daerah perlu diperlukan untuk memperkuat profesionalisme dan kinerja SKPD. Pembengkakan perangkat daerah telah menimbulkan beban yang sangat besar pada APBD sehingga sekitar 7080% tersedot untuk pembiyaan birokrasi dan aparatur daerah. Isu penting lainnya dalam perangkat daerah adalah kedudukan
38

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

Kecamatan dan hubungannya dengan SKPD lainnya yang berbasis pada sektor. Sebagai SKPD yang berbasis kewilayahan, Kecamatan belu memiliki fungsi yang jelas. UU 32/2004 dan PP 41/2007 belum mengatur tentang fungsi pelayanan publik yang dapat dilimpahkan kepada Kecamatan.

4. Aparatur Daerah Pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan berbagai ekses negatif yang belum sepenuhnya dapat diselesaikan perangkat perundangan yang ada. Fragmentasi spasial dalam kepegawaian yang semakin tinggi dan rigid, politisasi birokrasi, dan menguatnya unsur-unsur subyektivitas dalam manajemen

kepegawaian berbasis pada etnis, agama, dan putra daerah telah menimbulkan gangguan pada pengembangan aparatur yang profesional. UU 43/1999 dan

peraturan pemerintah yang ada belum mampu menjawab secara efektif berbagai masalah tersebut dan pengaturan yang jelas dan tegas diperlukan untuk mendorong daerah membentuk aparatur yang profesional.

5. Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Banyaknya peraturan daerah dan rancangan Perda yang bermasalah sering menimbulkan reaksi publik yang luas. Ketidakpuasan warga dan pemangku

kepentingan terhadap peraturan daerah sudah jamak terjadi dan memperlukan pengaturan yang jelas dan efektif. Dalam bidang keuangan daerah, tahun 2008 Departemen Keuangan membatalkan lebih dari 2000 perda dari sekitar 7200 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dalam bidang lainnya, muncul banyak perda yang bias gender dan mengancam wawasan kebangsaan. Dalam konteks desentralisasi sekarang ini, polemik muncul tentang siapa yang memiliki kewenangan melakukan review terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintahan yang lebih tinggi (executive review) atau lembaga peradilan (judicial review)?

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

39

UU N0.10/2004 telah mengatur dengan jelas tentang proses pembentukan peraturan daerah, termasuk keharusan adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan perda. Namun, aturan ketentuan dalam UU N0.10/2004 belum

secara efektif mampu menangkal munculnya Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan yang lebih tinggi. Terbukti dengan munculnya banyak Perda bermasalah. Pembatalan perda bermasalah melalui

peraturan Presiden juga dinilai tidak fisibel mengingat besaran jumlah Perda yang harus ditinjau ulang sangat besar. Penguatan pengaturan tentang pembentukan peraturan daerah perlu dilakukan dalam revisi UU 32/2004, namun hendaknya pengaturan baru tersebut tidak bertentangan dan mengulang hal yang sudah diatur dalam dan UU N0.10/2004.

6. Perencanaan Pembangunan Daerah Persoalan yang mendasar dalam perencanaan pembangunan daerah adalah inkonsistensi antara UU 32/2004 dan UU N0.25/2004 dalam mendefinisikan dokumen dan basis legalitas dari dokumen perencanaan daerah. tersebut sering menyulitkan daerah dalam menyelenggarakan Perbedaan kegiatan

perencanaan daerah. Isu lainnya adalah tentang instrumen yang dapat digunakan untuk menjaga konsistensi antara perencanaan pembangunan daerah dengan N0.17 Tahun 2007 tentang RJPN dan UU N0. 26/2007 tentang tata ruang. Untuk mengatasi kesulitan ini maka duplikasi dan inkonsistensi antara UU 25/2004 dengan UU 32/2004 perlu dihilangkan. UU 25/2004 perlu diarahkan untuk

mengatur mengenai proses dan dokumen perencanaan daerah sedangkan revisi UU 32/2004 mengatur tentang kelembagaan dan manajemen dari perencanaan daerah. Terkait dengan manajemen perencanaan daerah adalah perlunya mengatur kewajiban daerah mengumpulkan, memperbaharui, dan mengelola data dan informasi yang diperlukan dalam perencanaan daerah. Tidak tersedianya data membuat kualitas perencanaan daerah cenderung buruk.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

40

7. Keuangan Daerah Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk pelayanan publik menjadi salah isu yang penting dan perlu memperoleh pengaturan yang jelas. Manfaat

desentralisasi hanya dapat dirasakan oleh masyarakat ketika desentralisasi membuat daerah mampu mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk pelayanan publik. Namun, data menunjukkan bahwa 70-80% anggaran daerah dihabiskan untuk belanja pegawai dan operasional birokrasi pemerintah. Besarnya

pengeluaran untuk belanja pegawai yang menjadi salah satu variabel penting untuk menentukan alokasi dasar dari DAU menjadi salah satu faktor yang mendorong pembengkakan pegawai di daerah. Pengeluaran belanja pegawai

yang sangat besar membuat masyarakat di daerah tidak dapat menikmati manfaat dari pelaksanaan otonomi daerah. Isu lainnya adalah perlunya penguatan peran Gubernur sebagai budget optimizer dalam alokasi DAK. Gubernur sebagai

pemerintah dapat menjadi intermediaries pencapaian tujuan pemerintah dengan meningkatkan relevansi program-program pemerintah di daerah. Sayangnya, UU 32/2004, UU 17/2003, dan UU 33/2004 belum mengatur dengan jelas peran Gubernur sebagai budget optimizer. Revisi UU 32/2004 perlu mengatur peran gubernur sebagai wakil pusat untuk menjadi budget optimizer dalam alokasi DAK.

8. Kawasan Perkotaan Belum adanya pengaturan yang memadai tentang kawasan perkotaan, membuat pertumbuhan kawasan perkotaan yang sangat pesat kurang dapat dioptimalkan untuk kepentingan masyarakat luas dan pemerintah daerah. Munculnya kawasan perkotaan baru yang berdampingan dengan kawasan perdesaan, sebagai akibat dari maraknya industri perumahan, menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan pemerintahan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah daerah. Tidak adanya Undang-Undang yang mengatur tentang

perkotaan dan kelembagaan yang mengurus kawasan tersebut sering membuat pemerintah daerah gagal mengelola kawasan perkotaan untuk kepentingan publik. UU 32/2004 dan UU N0.26/ 2007 tentang tata ruang belum mengatur tentang Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
41

kelembagaan

dan

pengelolaan

kawasan

perkotaan.

Kelembagaan

dan

pengelolaan kawasan perkotaan diatur dalam PP 34/ 2009. Namun, PP tersebut belum mengatur tipologi kota yang sangat bervariasi, utamanya dilihat dari jumlah penduduknya, dan implikasinya terhadap bentuk kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan. Beberapa pengaturan yang relevan dalam PP tersebut dan implikasinya terhadap kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan perlu dimasukan dalam revisi UU 32/2004.

9. Kawasan Khusus Pengembangan kawasan khusus untuk mengelola fungsi-fungsi khusus tertentu dalam rangka kepentingan nasional strategik belum diatur secara memadai dalam UU 32/2004. Kebutuhan pengaturan kawasan khusus sekarang ini sangat mendesak terkait dengan kebutuhan adanya kawasan ekonomi khusus, kawasan perbatasan, dan kawasan konservasi. UU sektoral dan PP yang

mengatur tentang hal ini seperti PP 68/1998 dan PP 8/1999 tentang konservasi hutan, UU N0.36/2000 dan Perpu No.1/2007 tentang Kawasan Perdaganan dan Pelabuhan bebas mengatur hubungan kelembagaan antara kawasan khusus dengan pemerintah daerah. Konflik yang sering terjadi terkait dengan

pengelolaan kawasan khsusus disebabkan karena pengaturan tentang hubungan lembaga pengelola kawasan khusus dengan daerah kurang diatur dengan jelas. Revisi UU 32/2004 perlu mengatur tentang pengelolaan kawasan khusus dan hubungannya dengan pemerintahan daerah.

10. Pelayanan Publik Pelayanan publik menjadi isu penting dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Namun, sayangnya UU 32/2004 belum mengatur sama sekali tentang penyelengaraan pelayanan publik di daerah. Beberapa masalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik seperti: tidak adanya standar pelayanan minimal untuk pelayanan dasar, standar penyelenggaraan pelayanan yang

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

42

mengatur hak dan kewajiban pengguna dan penyelenggara, mekanisme penyampaian keluhan dan penyelesaian sengketa, penting untuk diatur dalam revisi UU 32/2004. penyelenggaraan Dengan membuat pengaturan yang jelas tentang publik di daerah diharapkan pelaksanaan

pelayanan

desentralisasi dapat mempercepat tercapainya perbaikan kualitas pelayanan publik. Namun, pengaturan tentang penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah nantinya harus disinkronkan dengan UU pelayanan publik yang baru saja disahkan sehingga tidak terjadi tumpangtindih dan inkonsistensi dalam pengaturan tentang pelayanan publik di daerah.

11. Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat menjadi salah satu isu strategis karena partisipasi menjadi salah satu kondisi yang perlu agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berhasil dengan baik. Keberhasilan desentralisasi menuntut adanya

keterlibatan masyarakat di daerah dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan seperti dalam proses pembentukan peraturan daerah, penyusunan perencanaan daerah, perumusan APBD, dan penyelenggaraan pelayanan publik. keterlibatan masyarakat yang semakin tinggi maka berbagai Dengan kebijakan

pembangunan daerah tersebut akan dapat merepresentasikan kepentingan masyarakat luas. Partisipasi masyarakat juga diperlukan agar mereka dapat ikut mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, sayangnya Undang-Undang N0.32/ 2004, UU N0.8/ 1985 tentang Ormas, dan UU N0.14/2008 tentang keterbukaan informasi publik belum mengatur dengan jelas mekanisme, cara, dan hak-hak warga dan pemangku kepentingan dalam proses kebijakan di daerah. Oleh karena itu revisi Undang-Undang N0. 32 tahun 2004 perlu mengatur berbagai hal diatas dengan jelas.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

43

12. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Keberadaan DPOD selama ini banyak dipersoalkan karena fungsinya yang tidak jelas. Sebagai salah satu lembaga yang bertugas memberi rekomendasi

kepada Presiden terkait dengan kebijakan otonomi daerah, DPOD dinilai kurang efektif dalam menjalankan perannya karena gagal mencegah munculnya kebijakan sektoral yang dinilai tidak konsisten dengan UU pemerintahan daerah. DPOD juga dinilai kurang mampu berperan dalam pengendalian pembentukan DOB. Ketidakoptimalan peran DPOD disebabkan oleh ketidakjelasan pemisahan peran DPOD sebagai advisory body dan clearing house untuk perumusan kebijakan otonomi daerah. Sebagai lembaga yang bertugas melakukan kajian terhadap

proposal pembentukan DOB dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah, DPOD tidak didukung oleh sebuah think tank yang memadai. Akibatnya, DPOD sering mengalami kesulitan untuk memberi rekomendasi yang jelas kepada Presiden ketika dihadapkan pada pilihan kebijakan yang kompleks dan dilematis.

13. Inovasi Daerah Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang diskresi dan inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik di daerah sering membuat mereka tidak berani melakukan tindakan yang inovatif, yang diperlukan untuk memenuhi kepentingan umum dan mempercepat pencapaian kesejahteraan rakyat. Untuk itu revisi UU 32/2004 perlu menambahkan pengaturan tentang inovasi daerah yang dapat dilakukan oleh pejabat publik sejauh tindakan mereka tidak menimbulkan kerugian negara, tidak mengandung konflik kepentingan, dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan umum. Terkait dengan hal ini pemerintah bersama DPR telah

memasukan RUU Administrasi Pemerintahan kedalam Prolegnas 2009-2010, yang mengatur salah satunya diskresi pejabat publik. Namun, draf RUU administrasi Pemerintahan tersebut belum mengatur secara spesifik diskresi yang diambil pejabat pemerintahan dalam melakukan inovasi dalam pelayanan publik, terutama di daerah. Desentralisasi pemerintahan telah menuntut pejabat pemerintahan
44

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

daerah melakukan inovasi dan karena pengaturan tentang inovasi di daerah perlu dimasukan dalam UU pemerintahan daerah.

Secara ringkas materi revisi UU 32/2004 dan peraturan perundangan terkait dapat dirumuskan dalam matriks berikut ini: N0. 1 Materi yang akan direvisi Pembentukan daerah otonom Peraturan Perundangan Terkait UU 32/2004, PP 78/2004, UU N0. 10/2004, PP 6/2008 2 Pembagian Urusan dan Peran Gubernur sebagai wakil pemerintah 3 Penyelenggara Pemerintahan Daerah (KDH, DPRD, Perangkat Daerah) 4 5 Aparatur Daerah Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah 6 Perencanaan Pembangunan Daerah 7 8 Keuangan Daerah Pelayanan Publik UU 32/2004, UU 25/2004, UU 17/ 2007, UU 26/2007 UU 32/2004, UU 33/2004, UU 17/2003 UU 32/2004, UU 14/2008, PP 38/2007, UU Pelayanan Publik 9 Partisipasi Masyarakat UU 32/2004, UU N0.8/1985, UU 14/2008, PP 38/2007 UU 32/2004, UU33/2004, UU 43/1999, PP 12/2002, UU 23/2003, UU 12/2008, PP 41 UU 32/2004, UU 43/1999, PP 41/2007 UU 32/2004, UU 10/2004, UU 23/2003 UU 32/2004, PP 38/2007, PP 41/2007, UU 39/2008

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

45

10

Kawasan Perkotaan

UU 26/ 2007, UU 32/2004, PP 34/2009, PP 41/2007

11

Kawasan Khusus

UU 43/2008, UU 32/2004, UU 36/2000, PP 68/1998, PP 8/1999

12

DPOD

UU 32/2004, UU 33/2004, Kepres N0. 49/2000

13.

Inovasi Daerah dan tindakan hukum terhadap aparat daerah

UU 32/2004, RUU Administrasi Pemerintahan

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

46

BAB IV DASAR PEMIKIRAN, PERMASALAHAN, ANALISIS, DAN USUL PENYEMPURNAAN

IV. 1 Pembentukan dan Penataan Daerah

Dasar Pemikiran Pembentukan daerah otonom baru memiliki justifikasi teoritik yang kuat untuk mendekatkan kekuasaan dengan warganya di daerah. Jarak yang sangat jauh antara kekuasaan dengan warga dapat menimbulkan kesan negatif tentang keberadaan pemerintah dimata warganya. Ketika jarak kekuasaan terlalu jauh, baik fisik ataupun kejiwaan, maka keberadaan pemerintah menjadi kurang jelas dan hubungan antara pemerintah dengan warganya menjadi sangat jauh. Ketika hal itu terjadi maka legitimasi pemerintah menjadi sering dipertanyakan. Jarak yang jauh membuat pelayanan pemerintah tidak mudah dijangkau oleh warganya. Apalagi jika jarak pisik ini juga diikuti dengan jarak kejiwaan yang semakin jauh, ketika interaksi antara pemerintah dengan warganya menjadi sangat sulit dan manfaat tentang keberadaan pemerintah terhadap kehidupan warganya sangat rendah. Jarak fisik dan kejiwaan yang jauh sering juga menjadi sumber dari

melunturnya kepercayaan warga terhadap pemerintah. Pembentukan daerah otonom baru (DOB) dapat dilakukan kalau dengan adanya DOB membuat jarak fisik dan kejiwaan antara negara dengan warganya menjadi lebih dekat. Jarak yang lebih dekat membuat interaksi antara negara dengan warganya menjadi lebih sederhana, mudah, dan murah sehingga legitimasi negara dimata warganya menjadi semakin kuat. Interaksi yang lebih mudah akan membuat kualitas pelayanan menjadi semakin baik dan mudah diakses oleh warganya. Karena tujuan utama pembentukan DOB adalah mempermudah interaksi antara negara dengan warganya maka kriteria utama untuk menilai perlu tidaknya pembentukan DOB mestinya adalah seberapa besar Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
47

pembentukan DOB mampu mempebaiki interaksi antara pemerintah dengan warganya, terutama dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk itu perlu dipertimbangkan besaran manfaat dari pembentukan DOB dengan biaya dan kerugian yang nantinya harus dibayar oleh warganya. Apakah peningkatan kualitas pelayanan sebagai akibat dari pembentukan DOB melebihi biaya dan kerugian yang dibayar oleh warga. Besaran manfaat adanya DOB tentu amat ditentukan oleh besarnya populasi dari DOB. Semakin besar jumlah

penduduknya, manfaat yang diterima oleh DOB cenderung menjadi semakin besar. Untuk itu kriteria tentang jumlah penduduk penting untuk diperhatikan dalam pembentukan DOB, disamping kelayakan ekonomi dan politik. Agar kriteria tersebut dapat digunakan sebagai pegangan dalam menilai proposal pembentukan DOB maka kriteria tersebut harus dirumuskan dengan jelas dan dimuat dalam undang undang pemerintahan daerah. Adanya kriteria yang jelas dan obyektif dan dimuat dalam undang undang pemerintahan daerah penting dilakukan agar dapat menjadi pegangan semua kelompok kepentingan yang ingin mengusulkan pembentukan daerah otonom baru. Pengaturan yang jelas diperlukan agar pembentukan daerah otonom baru benar-benar mampu memberi manfaat yang lebih besar daripada kerugiannya. Lebih dari itu,

pemerintah perlu membuat rancang desain reformasi teritorial untuk memberi arah terhadap pengembangan daerah otonom, baik pada tingkat provinsi ataupun kabupaten/ kota, yang memperhatikan secara menyeluruh daya dukung sosial, politik, ekonomi dan aspek geostrategik lainnya yang penting dalam

pengembangan daerah otonom dalam konteks NKRI.

Identifikasi Permasalahan Pembentukan daerah otonom baru, melalui pemekaran, menjadi wacana publik yang menarik karena meluasnya dampak negatif dari pemekaran baik bagi daerah induk maupun DOB. Walaupun demikian, kegiatan pemekaran tampaknya akan terus berjalan, sebagaimana tampak dari masih banyaknya usulan pembentukan daerah otonom baru yang sekarang ini masih dibicarakan di DPR. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
48

Pemerintah bersama DPR sudah menyetujui ratusan daerah baru. Walaupun banyak dari DOB tersebut belum memenuhi syarat namun dinyatakan memenuhi syarat dan tetap disahkan menjadi DOB, karena pertimbangan-pertimbangan politik dan lainnya. Sejak berlakunya UU 22/1999 sampai sekarang sudah ada 205 DOB dan kalau mekanisme seperti sekarang masih tetap dipakai, ada ratusan calon DOB akan menyusul untuk disahkan. Munculnya banyak DOB dalam waktu yang singkat memiliki implikasi yang sangat luas, baik bagi pemerintah pusat, daerah induk, dan DOB itu sendiri. Banyak kajian menunjukan bahwa sebagian besar pemekaran berakibat negatif bagi masyarakat yang tinggal di daerah induk maupun bagi mereka yang tinggal di daerah baru. Bagi daerah induk, masyarakat seringkali harus membayar biaya pemerintahan yang lebih besar karena berkurangnya penduduk dan wilayah dari daerah induk seringkali tidak berakibat pada pengurangan biaya pemerintahan. Biaya pegawai dan operasional dari pemerintah di daerah induk tidak berkurang walaupun jumlah wilayah dan pegawai yang mereka tanggung menjadi semakin kecil. Berkurangnya jumlah wilayah dan penduduk, karena menjadi bagian dari daerah otonom baru, mestinya harus diikuti dengan berkurangnya anggaran untuk birokrasi dan aparatur dan bertambahnya biaya untuk kegiatan pembangunan dan pelayanan publik. Namun, sering hal itu tidak terjadi. Akibatnya, masyarakat harus membayar biaya pemerintahan per kapita yang lebih besar.2 Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat di daerah otonom baru (DOB) juga cenderung tidak puas dengan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh DOB. Mereka menilai kualitas pelayanan publik cenderung menurun, sedangkan motivasi mereka dengan memiliki daerah otonom sendiri umumnya adalah karena ingin memperoleh akses dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Hal inilah yang menyebabkan mengapa mereka cenderung tidak puas terhadap kualitas pelayanan publik di DOBnya. Tentu ada banyak penjelasan mengapa pembentukan DOB sering tidak menghasilkan kualitas pelayanan dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik. Salah satunya, karena pembentukan DOB lebih didorong oleh

DSF, Cost and Benefits of New Region Creation in Indonesia, Policy Brief, November 2007 49

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

kepentingan elit birokrasi dan politik yang ingin memperbesar akses mereka terhadap sumberdaya kekuasaan daripada keinginan untuk memperbaiki akses dan kualitas pelayanan. Kenyataan bahwa daerah induk sering kurang memberi dukungan kepada daerah baru sebagaimana dipersyaratkan oleh peraturan perundangan ikut memberi kontribusi terhadap kesulitan DOB untuk memenuhi kebutuhan

pelayanan warganya. Apalagi ketika dalam proses pemekaran muncul masalah antara daerah induk dengan daerah baru terkait dengan penguasaan aset, sumberdaya alam, dan batas-batas daerah yang rawan terhadap munculnya konflik antara daerah induk dengan daerah baru membuat dukungan daerah induk terhadap DOB menjadi tidak lancar. Bahkan, hubungan antara daerah induk

dengan DOB yang tidak harmonis sering menjadi sumber konflik antara penduduk di kedua daerah itu. Ketidakjelasan peta, misalnya, dapat menjadi sumber konflik antara penduduk kedua daerah yang kalau tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik horizontal meluas,3 apalagi kalau kedua daerah itu, daerah induk dan DOB, memiliki ciri-ciri primordial yang berbeda. Konflik dapat meluas keranah yang lain dan semakin melebar dan merugikan masyarakat luas. Ketidakjelasn peta daerah sering mendorong perebutan aset dan

sumberdaya alam antar masyarakat di daerah induk dengan daerah baru. Konflik ini meluas karena pemekaran daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten`juga mendorong pemekaran pada tingkat yang lebih rendah, seperti pemekaran kecamatan dan kalurahan/ desa.4 Persyaratan pembentukan daerah otonom baru yang menentukan jumlah minimal kabupaten/ kota untuk pembentukan provinsi dan kecamatan untuk pembentukan kabupaten/ kota telah mendorong terjadi pemekaran pada satuan pemerintahan di tingkat bawah. Pemekaran pada tataran yang semakin rendah, memiliki potensi konflik horizontal yang semakin tinggi terkait dengan semakin tidak tersedianya peta daerah yang jelas, yang membuat pembagian aset dan sumberdaya alam menjadi semakin rumit. Konflik

Diskusi T im Pakar bersama dengan komponen Departemen Dalam Negeri Desember 2008 di Hotel Millenium, Jakarta 4 ibid

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

50

penguasaan aset dan sumberdaya alam pada tingkat bawah cenderung menghasilkan konflik horizontal yang keras, karena perselisihan aset, tanah, dan sumberdaya alam secara langsung berpengaruh bagi kehidupan mereka.5

Analisis Pembentukan DOB secara masif dalam waktu yang relatif singkat telah melahirkan problema baru dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Biaya pemerintahan yang semakin mahal, konflik sosial dan horizontal yang seringkali muncul sebagai ekses dari pembentukan daerah otonom baru, dan proliferasi birokrasi secara spasial yang semakin tinggi mendorong berbagai pihak untuk secara kritis memikirkan kembali format pembentukan DOB. Berbagai pihak

bahkan mendorong untuk melakukan moratorium pembentukan DOB, sambil memberi kesempatan kepada pemerintah Indonesia untuk menata ulang kebijakan pemekaran daerah agar kebijakan baru nantinya benar-benar dapat mendorong reformasi teritorial yang mampu memperkokoh kebijakan desentralisasi dan dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat dan mampu menjawab problema yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam pembentukan DOB, beberapa penyebab dari meluasnya upaya pengembangan DOB perlu dianalisis. Pertama, ketidakjelasan kerangka kebijakan yang mengatur pembentukan daerah otonom baru. Dalam UU N0.22/1999 dan UU 32/2004 tentang pemerintahan Dasar

daerah pembentukan daerah otonom baru belum diatur secara jelas.

hukum yang digunakan untuk mengatur pembentukan daerah otonom baru selama ini adalah N0.78/2007. PP 129/2000, yang kemudian diperbaharui dengan PP

Walaupun PP N0. 78/ 2007 sudah mengatur secara rinci prosedur,

persyaratan, dan tata cara pembentukan daerah otonom, namun kenyataaanya keberadaan PP tersebut belum mampu mengendalikan proses pembentukan DOB secara wajar. Salah satunya karena kekuatan PP tersebut ketika berbenturan

dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi yang memberi ruang terjadinya
5

Wawancara Tim Peneliti MAP UGM dengan beberapa pemangku kepentingan di Seram dan Ruteng. 51

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

pembentukan DOB, misalnya UU N0.10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena DOB dibentuk berdasarkan UU, maka hak inisiatif dapat berasal dari Presiden maupun DPR. Belakangan ini hamper semua usulan DOB merupakan hak inisiatif DPR. Dalam kondisi tersebut maka PP 78/2007 menjadi tidak banyak artinya. Kedua, kepentingan besarnya insentif yang diterima oleh berbagai pemangku

sebagai akibat dari

pembentukan

DOB. Pembentukan DOB Elit politik di DPR

menciptakan begitu banyak insentif kepada multi-pihak.

diuntungkan oleh adanya pembentukan DOB melalui semakin banyaknya peluang bagi partai politik untuk memiliki representasi yang semakin besar di daerah dan keuntungan pribadi yang mungkin diperoleh melalui serangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembentukan DOB. Elit birokrasi dan politik di daerah juga diuntungkan dengan tersedianya jabatan politik dan birokrasi baru yang terbuka bagi mereka. Masyarakat dan sektor swasta juga diuntungkan dengan adanya pembangunan sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan pemerintahan di DOB. Daerah juga diuntungkan dengan adanya DAU yang

diberikan kepada DOB. Selagi insentif seperti ini masih dapat dinikmati oleh para pihak di pusat dan daerah, maka pengembangan DOB akan terus terjadi dan amat sulit dikendalikan. Ketiga, selama ini tidak ada kajian untuk menilai pengaruh pembentukan DOB bagi daerah-daerah lainnya. Kajian yang ada selama ini cenderung hanya memusatkan perhatian terhadap implikasi pembentukan DOB bagi daerah induk dan DOB itu sendiri. Sementara implikasi pembentukan DOB bagi daerah otonom lainnya cenderung diabaikan 6 . Kajian perlu dilakukan untuk menilai seberapa

besar proporsi anggaran untuk pelayanan publik di DOB dan daerah otonom lainnya menjadi semakin kecil sebagai akibat dari semakin banyaknya daerah otonom. Kajian ini penting untuk menilai apakah pembentukan satu DOB perlu

Daerah otonom lainnya setidaknya akan mengalami kerugian karena proporsi DAU yang mereka terima akan menjadi semakin kecil. Hal ini terjad i karena alokasi DAU dari APBN akan dibagi kepada semakin banyak daerah otonom.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

52

memperoleh persetujuan dari daerah-daerah lainnya, diluar daerah induk karena dampak dari pembentukan DOB juga ditanggung oleh daerah-daerah lainnya. Keempat, evaluasi kinerja daerah otonom perlu dilakukan secara sungguhsungguh untuk menjadi dasar bagi kebijakan reformasi territorial. Evaluasi ini penting untuk menilai apakah satu daerah perlu dipertahankan status otonominya, difasilitasi untuk dimekarkan karena dinilai terlalu besar sehingga skala

pemerintahannya menjadi tidak efektif, atau digabung dengan daerah lainnya karena tidak layak menjadi daerah otonom. Pemerintah telah membentuk PP No.6/2008 tentang evaluasi kinerja daerah dan mengatur tentang kemungkinan satu daerah otonom yang memiliki kinerja yang buruk selama tiga tahun berturutturut untuk digabung dengan daerah lain, namun implementasi dari PP tersebut sejauh ini belum jelas.

Usul Penyempurnaan Perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai proses, kriteria, dan pentahapan pembentukan daerah baru yang jelas dan ketat. Pengaturan yang ada dalam UU 32/2004 dirasa masih terlalu longgar sehingga pembentukan daerah otonom baru lebih banyak didorong oleh kepentingan sempit dari elit di daerah. Pengaturan baru harus menjamin bahwa pembentukan daerah baru benar-benar dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas di daerah dan keberadaan daerah otonom baru juga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. 1. Perlu adanya pengaturan yang komprehensif mengenai penghapusan daerah kalau daerah tersebut memang tidak mampu melaksanakan otonominya untuk menciptakan kesejahteraan yang minimal. Daerah-daerah yang tidak mampu tersebut mungkin saja digabung dengan daerah-daerah lainnya atau dibawah pengelolaan Pemerintah Pusat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang jelas

dan instrumental bagi pemerintah untuk melikwidasi daerah otonom dan menjadikannya daerah administratif atau menggabungkan dua atau lebih daerah otonom menjadi menjadi satu daerah otonom baru. PP 6/2008 telah mengatur tentang evaluasi kinerja daerah otonom dan kemungkinan adanya Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
53

penggabungan antar daerah otonom. Beberapa aspek yang terkandung dalam PP tersebut dapat dimasukan dalam revisi UU 32/2004. 2. Perlu ada pengaturan yang jelas tentang persyaratan, kriteria, dan mekanisme pembentukan DOB dengan mengadopsi pengaturan yang ada di PP 78/2007. Dengan memasukan pengaturan yang ada dalam PP 78/2007 kedalam revisi UU 32/2004 maka kedudukan pengaturan tersebut akan menjadi semakin kuat dan dapat menjadi pegangan bagi semua pemangku kepentingan dalam melakukan reformasi penataan daerah di Indonesia. Perlu ada pengaturan tentang jumlah penduduk minimal dari satu daerah otonom, mengingat beberapa DOB memiliki jumlah penduduk yang sangat kecil dan tidak memungkinkan terjadi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang optimal. 3. Perlu adanya pengaturan mengenai daerah persiapan sebelum sebuah daerah menjadi daerah otonom penuh. Sebelum ditetapkan menjadi daerah otonom definitif harus ditetapkan terlebih dahulu menjadi calon daerah otonom dalam jangka waktu minimal 3 (tiga) tahun dan maksimum 5 (lima) tahun. Pembinaan, pengawasan dan pembiayaan daerah persiapan ini dilakukan oleh daerah induk. Bila dalam jangka waktu tersebut daerah persiapan dianggap tidak mampu maka harus kembali pada daerah asal. 4. Perlu diatur dengan jelas mengenai siapa yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan daerah otonom baru. Karena pemekaran dan penggabungan daerah adalah domain dari eksekutif, maka seharusnya inisiatif pembentukan daerah berasal dari pemerintah, baik pusat ataupun daerah. Atas

pertimbangan strategik tertentu, pemerintah dan daerah dapat mengusulkan pembentukan daerah otonom baru. Pengaturan tentang proses pengusulan

daerah otonom oleh daerah dan pemerintah, masing-masing perlu diatur dengan jelas agar proses pembentukan daerah otonom baru dilakukan secara terbuka dan akuntabel. 5. Perlu juga dipersiapkan mekanisme insentif dan disinsentif bagi daerah untuk melakukan pemekaran atau penggabungan. Insentif perlu dibuat untuk mendorong daerah untuk menggabungkan daerahnya dengan daerah lainnya. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
54

Sebaliknya, disinsentif perlu diciptakan bagi daerah untuk melakukan pemekaran. Pemerintah perlu meninjau kembali formula pembagian DAU

dengan menciptakan disinsentif bagi pembentukan DOB dan insentif bagi penggabungan satu daerah dengan daerah lainnya.

IV.2 Pembagian Urusan Pemerintahan dan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah

Ada dua masalah penting yang perlu diatur lebih jelas dalam pembagian urusan. Masalah yang pertama menyangkut ketidakjelasan pembagian urusan

pemerintahan antara provinsi dan kabupaten dan hubungan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/ kota. Kedua, Ketidakjelasan peran dan sumberdaya yang digunakan Gubernur sebagai wakil pusat. Bagian ini akan membahas kedua masalah tersebut secara terpisah.

IV. 2.1. Pembagian Urusan Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota

Dasar Pemikiran Pembagian urusan ( functional assignment) dalam negara kesatuan memiliki karakteristik yang berbeda dengan di negara federal. Dalam negara kesatuan pembagian urusan antar pemerintahan dilakukan oleh negara (pemerintah dan DPR) melalui undang-undang. Melalui UU Negara membentuk daerah provinsi dan kabupaten/ kota dan menyerahkan sebagian urusan pemerintah kepada daerah, bukan sebaliknya. Di negara federal, states (negara bagian) membentuk negara dan menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintah federal dan mengaturnya dalam konstitusi. Kedudukan negara bagian sangat kuat karena

mereka memiliki kompetensi bukan hanya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, tetapi juga dalam bidang legislatif dan peradilan.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

55

Di negara kesatuan, urusan yang diserahkan kepada daerah adalah urusan pemerintahan semata, bukan urusan-urusan lainnya. Besarnya jumlah urusan yang akan diserahkan kepada daerah, di negara kesatuan, karenanya terserah sepenuhnya kepada negara. Negara melalui undang-undang dapat menambah dan mengurangi urusan yang diserahkan kepada daerah. Namun, karena

pembentukan daerah dimaksudkan untuk mempermudah pelayanan terhadap kebutuhan warga dan memperluas arena demokrasi, maka pembagian urusan kepada daerah perlu mempertimbangkan berbagai kriteria seperti kompetensi daerah, efisiensi, eksternalitas, akuntabilitas, dan kriteria lainnya yang

memungkinkan pemerintah dan daerah dapat secara optimal dan sinerjik mensejahterakan warganya. Dalam negara kesatuan, secara umum ada dua cara untuk membagi urusan pusat dan urusan daerah. Pertama, negara menentukan secara spesifik urusan yang diserahkan kepada daerah dan pemerintah, serta menetapkannya dalam peraturan perundangan (ultravires ). Kedua, negara menentukan urusan yang diatur pusat dan sisanya menjadi urusan daerah, general competence. Indonesia pernah menggunakan kedua cara tersebut. UU N0. 32/ 2004 mencoba mengkombinasikan kedua cara diatas, dengan menentukan secara jelas urusan yang menjadi kewenangan pusat dan daerah, tetapi memungkinkan keduanya melaksanakan urusan tertentu berdasarkan atas kriteria tertentu seperti

eksternalitas, efisiensi, dan akuntabilitas. Dalam pembagian urusan harus terdapat kejelasan pembagian wewenang mengatur dan
7

mengurus

di

wilayah

yurisdiksi:

pusat,

propinsi

dan

kabupaten/kota.

Tidak boleh terdapat tumpang tindih antara satu yurisdiksi

dengan yurisdiksi lainnya. Wewenang mengatur dan mengurus harus dibagi habis secara jelas antar tingkatan pemerintahan. Wewenang mengurus dan mengatur

Diskusi tentang pembagian urusan antar susunan pemerintah dapat dibaca dalam paper Benyamin Husein dan Eko Prasojo berjudul Konsep Pembagian Kewenangan (Urusan) Antar Tingkat Pemerintahan, paper tidak diterbitkan

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

56

berdasarkan azas sentralisasi diletakkan di pemerintah pusat. Sedangkan wewenang mengatur dan mengurus berdasarkan azas desentralisasi dan tugas pembantuan titik beratnya diletakan pada yang paling dekat dengan masyarakat (prinsip subsidiaritas). Di negara kesatuan, tidak mungkin terdapat satu urusan yang hanya dilakukan secara desentralisasi tanpa sentralisasi. Artinya, negara dapat memberi wewenang kepada pemerintah mengatur urusan-urusan pemerintahan, sekalipun urusan tersebut diselenggarakan dengan melalui azas desentralisasi atau tugas pebantuan. Dalam urusan yang diserahkan kepada daerah, pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang harus dijadikan dasar oleh provinsi dan kabupaten/ kota untuk mengelola urusan yang menjadi kewenangannya. Pemerintah dapat mengatur dan mengurus urusan yang menurut kriteria tertentu sebaiknya dikelola secara inklusif oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan negara federal dimana baik pemerintah federal maupun pemerintah negara bagian masing-masing dapat secara inklusif memiliki

wewenang mengatur dan mengurus untuk satu urusan pemerintahan tertentu.

Identifikasi Permasalahan Pembagian urusan pemerintahan masih menjadi tarik menarik antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota. Salah satu sumbernya adalah karena ketidakjelasan UU 32/2004 dan PP 38/2007 dalam membagi urusan antar tingkat pemerintahan yang berbeda. Walaupun UU 32/2004 telah menentukan kriteria yang digunakan untuk membagi urusan, namun dalam praktik penggunaan kriteria itu sangat sulit dilakukan. Kriteria efisiensi dalam penyelenggaraan urusan selalu mengarah pada skala ekonomi sehingga urusan cenderung diserahkan kepada pemerintah yang lebih tinggi. Sedangkan kriteria akuntabilitas cenderung menunjuk pada tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Penerapan kriteria eksternalitas juga tidak sederhana karena pemerintah daerah sering kurang memperhatikan dampak dari kegiatannya terhadap pihak lain diluar jurisdiksinya. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
57

PP 38/2007 telah mencoba mengatur urusan pemerintah, provinsi, dan kabupaten/ kota untuk semua urusan konkuren. PP tersebut menjelaskan bahwa provinsi menyelenggarakan urusan skala provinsi sedangkan kabupaten/ kota menyelenggarakan urusan skala kabupaten/ kota. Namun, mana urusan yang

skala provinsi dan mana urusan skala kabupaten/ kota untuk setiap sektor belum dapat dirumuskan dengan jelas. Akibatnya, banyak pelaku dan pemangku

kepentingan yang kemudian memberi interpretasi yang berbeda-beda tentang mana urusan pemerintah, provinsi, dan kabupaten/ kota. Ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan sering menjadi sumber konflik antara daerah dengan kementrian dan lembaga di pusat dan menimbulkan kekaburan dari konsep desentralisasi itu sendiri. Kementrian dan LPND sering mengembangkan peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan semangat UU 32/2004 dan PP 38/2007. Mereka enggan untuk menyesuaikan peraturan perundangan yang dimilikinya dengan UU 32/2004. Mereka memahami pembagian urusan berdasarkan atas apa yang sudah mereka lakukan secara rutin berdasarkan struktur kelembagaan yang ada, bukan atas pertimbangan yang konsepsional tentang pembagian peran antara pusat dan daerah dalam era desentralisasi. Akibatnya, disharmoni antara UU 32/2004 dengan UU sektoral takterhindarkan dan menciptakan arena konflik antara daerah dan Kementrian/ Lembaga dalam pengelolaan urusan pemerintahan. Masalah lain yang muncul dari pelaksanaan UU 32/2004 adalah pembagian urusan menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang harus diselenggarakan daerah. Pengaturan secara simetris urusan wajib dan pilihan kepada daerah yang berbeda-beda karakteristik dan lingkungannnya dinilai tidak cocok. Urusan wajib mestinya dibatasi pada urusan pemenuhan kebutuhan dasar dan strategis yang umumnya dihadapi oleh daerah. Sedangkan, urusan pilihan sebaiknya diperluas agar dapat memberi ruang kepada daerah untuk mengembangkan pemerintahan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan daerah. Dalam penyelenggaraan urusan wajib, utamanya pemenuhan kebutuhan dasar warga, pemerintah perlu membuat SPM (standar pelayanan minimal) atau Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
58

standar lainnya untuk menjamin agar warga dimanapun mereka berada dapat mengakses secara sama pelayanan tersebut. Namun, sejauh ini SPM dan standar pelayanan untuk berbagai urusan belum dapat dirumuskan secara memadai sehingga ketimpangan pelayanan antar daerah takterhindarkan.

Analisis Walaupun UU 32/2004 telah menentukan urusan pemerintahan yang secara esklusif menjadi kewenangan pusat dan urusan yang didesentralisasikan ke daerah dan menentukan kriteria untuk membagi urusan didesentralisasikan ke daerah. Penyerahan urusan pemerintahan ke daerah yang sangat masif dan

serentak, yang belum pernah dilakukan oleh negara lainnya, membuat Indonesia mengalami kesulitan untuk belajar dari pengalaman negara lain dalam melakukan desentralisasi urusan. Lessons-learnt sulit diperoleh dari negara-negara lainnya sehingga contoh-contoh tentang pembagian urusan antar susunan pemerintahan yang barang kali dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan hal yang sama di Indonesia relatif sangat terbatas. Di tingkat pusat masalah muncul karena kurang sinkronnya UU 32/2004 dengan UU sektoral. Walaupun UU 32/2004 telah memerintahkan pengalihan

urusan wajib dan pilihan kepada daerah, namun dalam kenyataannya beberapa kementrian dan lembaga masih enggan melakukannya. Banyak undang-undang sektoral yang belum searah dengan semangat dari kebijakan desentralisasi. Keinginan untuk mempertahankan status-quo muncul karena kepentingankepentingan jangka pendek dari para pejabat di kementrian dan lembaga terkait dengan risiko perampingan organisasi dan berkurangnya akses terhadap anggaran ketika urusan didesentralisasikan ke daerah. Dari sisi lain, kesulitan muncul dari meluasnya miskonsepsi para pemangku kepentingan di daerah tentang desentralisasi dan hubungan antar susunan pemerintahan. Pelaksanaan UU 22/1999 telah membentuk persepsi para

pemangku kepentingan di daerah bahwa semua urusan diluar urusan eklusif adalah urusan daerah dan pemerintah tidak lagi memiliki kewenangan untuk Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
59

mengatur penyelenggaraan urusan diluar urusan yang eklusif. Daerah seringkali menganggap setiap pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap urusan yang telah didesentralisasikan sebagai campurtangan pusat terhadap urusan daerah. Sedangkan dalam negara kesatuan, tidak ada urusan yang sepenuhnya menjadi urusan daerah. Pemerintah setidak-tidaknya memiliki kewenangan untuk merumuskan NSPK, yang seharusnya menjadi dasar bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan yang telah didesentralisasikan. Miskonsepsi lainnya muncul terkait dengan hubungan antara provinsi dan kabupaten/ kota dalam urusan yang telah didesentralisasikan. Kabupaten/ kota cenderung menganggap semua urusan yang didesentralisasikan tersebut menjadi urusannya dan mengabaikan interdependensi dan interrelasi dalam

penyelenggaraan urusan antar kabupaten/ kota dimana provinsi dapat mengambil peran untuk mengatur dan mengurus urusan yang karena pertimbangan eksternalitas, efisiensi, dan akuntabilitas sebaiknya dilakukan pada tingkat

provinsi. Belum adanya pengaturan yang jelas tentang pembagian urusan antara provinsi dan kabupaten dalam urusan wajib dan pilihan membuat duplikasi dan konflik dalam penyelenggaraan urusan antara provinsi dan kabupaten/ kota sering tidak dapat dihindari. Konflik kepentingan antar kementrian/ lembaga, provinsi, dan kabupaten/ kota menjadi salah satu faktor yang mempersulit upaya untuk memperjelas pembagian urusan antar susunan pemerintahan. Pembagian urusan menjadi

arena perebutan kewenangan, akses terhadap anggaran, dan sumberdaya kekuasaan antar susunan pemerintahan. Upaya untuk memperjelas pembagian urusan antar susunan pemerintahan tidak dapat dihindari selalu memunculkan pro dan kontra antara para pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Karena itu, pembagian urusan harus dilakukan secara tepat dengan menggunakan kriteria yang jelas, rasional, dan proporsional sesuai dengan kompetensi dan sumberdaya yang tersedia pada masing-masing susunan pemerintahan.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

60

Usul Penyempurnaan 1. Perlu restrukturisasi pengaturan mengenai pembagian urusan pemerintahan dalam penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004. Restrukturisasi dilakukan

dengan menata kembali arsitektur pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Pertama, mengubah konsep yang digunakan untuk membagi urusan pemerintahan menjadi urusan ekslusif dan urusan konkuren (dapat didesentralisasikan). Urusan ekslusif adalah urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan urusan konkuren adalah urusan yang dapat diatur oleh pemerintah dan atau daerah, yang

penentuannya dilakukan dengan kriteria tertentu. Kedua, memperjelas cara penyelengaraan urusan pusat dengan menentukan urusan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah sendiri secara langsung, dengan menggunakan Dekonsentrasi perlu dibatasi hanya

dekosentrasi, dan tugas pembantuan.

pada urusan ekslusif dan urusan concurrent yang karena kriteria tertentu dilaksanakan oleh pemerintah sebagai urusan pemerintah. Dengan

memperjelas cara penyelenggaraan urusan pemerintahan, hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan akan dapat ditata dengan lebih baik. 2. Perlu pengaturan yang jelas tentang urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib dibedakan menjadi dua kelompok urusan, urusan yang terkait dengan kebutuhan dasar warga yang secara minimal harus dipenuhi oleh daerah dan urusan wajib yang terkait dengan kebijakan nasional strategis, seperti Keluarga Berencana. Urusan wajib yang terkait dengan urusan dasar harus

diselenggarakan oleh daerah berdasarkan SPM yang dibuat oleh pemerintah, sedangkan urusan wajib yang terkait dengan kepentingan strategis pemerintah diselenggarakan berdasarkan standar lainnya yang diatur dalam NSPK yang dibuat pemerintah. Karena penyelenggaraan urusan wajib ini sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat maka undang undang juga perlu mengatur tentang sangsi bagi daerah yang gagal menyelenggarakan urusan wajib sesuai dengan SPM atau NSPK yang dibuat oleh pemerintah.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

61

3. Perlu dibuat pengaturan yang lebih jelas tentang penyelenggaraan urusan pilihan. Daerah menyelenggarakan urusan pilihan untuk pengembangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat.

keunggulan

Pengambilan keputusan tentang urusan pilihan yang akan dikelola oleh daerah dapat didasarkan pada struktur PDRB, mata pencaharian penduduk, dan pemanfaatan sumberdaya lokal yang tersedia di daerah. Penyelenggaraan

urusan pilihan yang dibuat oleh daerah harus sinerjik dan terintegrasi dengan kebijakan nasional untuk peningkatan dayasaing bangsa. 4. Untuk menjalankan fungsi monitoring, supervisi, dan fasilitasi penyelenggaraan urusan, pemerintah menugaskan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/ kota. Sedangkan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan oleh provinsi dilakukan oleh pemerintah. Di dalam menjalankan peran sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur dibantu oleh perangkat dalam bentuk sekretariat dan guna menciptakan sinerji dengan perangkat daerah, dayaguna dan hasilguna dipimpin oleh Sekretaris Daerah dan dengan pembiayaan dari APBN. 5. Mengingat variabilitas antar daerah dalam penyelenggaraan urusan dasar sangat tinggi, maka undang undang perlu memberi ruang bagi daerah untuk membuat standar pelayanan daerah yang melampaui SPM yang ditetapkan secara nasional. Daerah provinsi dan kabupaten/ kota yang memiliki

kemampuan yang lebih tinggi dari yang ditentukan dalam SPM dapat membuat standar pelayanan diatas standar yang diatur dalam SPM. Untuk

memberdayakan daerah yang kurang mampu memenuhi standar pelayanan provinsi dan SPM, provinsi perlu diberi peran untuk melakukan ekualisasi di daerahnya. Dengan memberi peran ini pada provinsi maka diharapkan

pemerataan akses pelayanan masyarakat di berbagai daerah dapat diperbaiki sehingga kesejahteraan sosial ekonomi yang merata dapat diwujudkan di daerah.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

62

IV.2.2. Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah dan Sebagai KDH

Dasar Pemikiran Dalam negara kesatuan, pemerintah pusat memiliki peran yang sangat kuat dalam menjaga kepentingan nasional. Pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menjamin bahwa kebijakan-kebijakan nasionalnya dapat dilaksanakan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Penyerahan urusan pemerintahan yang sebagian besar diberikan kepada kabupaten/ kota menuntut pemerintah untuk memastikan bahwa kabupaten/ kota mengatur dan mengurus urusan tersebut sesuai dengan NSPK yang telah dibuat oleh pemerintah. Untuk menjamin agar kabupaten/ kota mematuhi NSPK yang telah dibuatnya, maka pemerintah perlu melakukan pemantauan, evaluasi, pembinaan dan pengawasan. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah pusat ketika

melakukan pemantauan, evaluasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan harus melakukannya sendiri, mendelegasikanya pada kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, atau mendelegasikannya kepada pemerintahan daerah propinsi sebagai tugas pembantuan. Pertanyaan seperti ini penting diperhatikan karena pilihan institusi dan mekanisme yang akan digunakan memiliki implikasi yang sangat luas baik secara politik, organisasional, dan legal. Dalam sejarah perkembangan pemerintahan daerah, gubernur memiliki peran yang berubah-ubah. Dalam UU N0.1 1957, gubernur memiliki peran Sedangkan dalam

sebagai kepala daerah dan sekaligus sebagai alat pusat.

Penetapan Presiden N0. 6 tahun 1959 gubernur lebih banyak diperankan menjadi alat pemerintah pusat. Dalam UU N0.5/1974, pelaksanaan otonomi dititikberatkan pada daerah tingkat II dan bersamaan dengan itu asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi. Dalam kenyataannya, pelaksanaan

dekonsentrasi lebih menonjol daripada desentralisasi, peran kepala wilayah lebih menonjol daripada kepala daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
63

gubernur, bupati, dan walikota bertindak sebagai kepala daerah sekaligus sebagai kepala wilayah. Dalam UU N0.22/1999 pemerintah menerapkan split model dengan mendudukan kepala daerah semata-mata sebagai alat daerah dan tidak merangkap sebagai kepala wilayah. Bupati/ walikota adalah kepala daerah dan tidak merangkap sebagai kepala wilayah. Daerah provinsi dinyatakan sebagai Disamping sebagai daerah

daerah otonom yang memiliki otonomi terbatas.

otonom, provinsi juga sebagai wilayah administrasi dan gubernur disamping sebagai kepala provinsi juga sebagai wakil pemerintah pusat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menganut paradigma yang sama dengan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, namun lebih memperkuat peranan Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah dengan dirincikan tugas, wewenang dan kewajiban yang bersifat attributed yang dinyatakan dalam Pasal 37 dan Pasal 388. Dalam perkembangannya, keberadaan pasal tersebut dirasakan belum mampu menempatkan Gubernur secara jelas baik sebagai kepala provinsi dan sebagai wakil pemerintah pusat. Tarik menarik peran gubernur sebagai kepala provinsi dan wakil pemerintah pusat selalu terjadi sesuai dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kapentingan pemerintah dalam menjamin kepentingan nasional dan kesatuan bangsa. Pengaturan mengenai peran gubernur baik sebagai kepala provinsi dan sebagai wakil pemerintah perlu dirancang untuk menjamin keutuhan wilayah Indonesia, kesatuan bangsa, dan mendorong dinamika penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

Harus ada pembagian peran yang jelas dari gubernur

sebagai kepala provinsi dan wakil pemerintah pusat, instrumen kelembagaan dan sumber biaya yang akan digunakan oleh gubernur dalam menjalankan masingmasing perannya, mekanisme yang akan digunakan untuk memainkan masingmasing peran itu dengan baik, dan implikasi dari pelaksanaan masing-masing
8

Dalam UU 32/2004, pemerintah menggunakan fused model yang menempatkan gubernur d isamping sebagai kepala daerah otonom juga menjad i wakil pemerintah pusat, sedangkan untuk kabupaten dan kota diberlakukan split model , yang artinya bupati/ walikota hanya berkedudukan sebagai kepala daerah otonom. Bupati/ walikota menurut UU 32/2004 tidak merangkap sebagai wakil pemerintah pusat. Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam E. Koswara Kertapraja, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

64

peran tersebut. Pilihan untuk memanfaatkan kedudukan gubernur sebagai wakil pusat dan instrumen kelembagaannya perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap kompleksitas struktur birokrasi di daerah, efisiensi, dan kejelasan hubungan antara susunan pemerintahan.

Identifikasi Permasalahan Peran KDH Provinsi atau Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah selama ini masih sangat terbatas. UU 32/2004 hanya mengatur peran

Gubernur dalam pasal 37 dan pasal 38 dengan menempatkan Gubernur sebagai sebagai aparat dekonsentrasi atau wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam pasal 38 UU 32/2004, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki peran BINWAS penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/ kota, koordinasi

penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah kabupaten/ kota, dan koordinasi BINWAS penyelenggaraan tugas pebantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota. Dalam kenyataannya, peran Gubernur sebagaimana disebutkan tadi kurang dapat dilaksanakan secara optimal karena berbagai sebab, sebagaimana diuraikan berikut ini. Pertama, konflik kepentingan sering terjadi ketika Gubernur sebagai kepala daerah otonomi memiliki kepentingan yang berbeda dengan Menteri/ Kepala LPND dalam berbagai aspek pengelolaan kegiatan pembangunan di daerahnya. Misalnya, dalam pengelolaan kegiatan pertambangan, kehutanan, dan kegiatan lainnya, seringkali posisi Gubernur sebagai kepala daerah otonom berbeda dengan posisi yang diambil oleh kementwerian/LPNK. Dalam UU 32/ 2004 Peranan ganda Gubernur sebagai kepala daerah dan wakil Pemerintahb Pusat di Daerah yang bertanggungjawab kepada Presiden belum diatur secara jelas sehingga

menimbulkan persepsi yang berbeda-beda tentang kedudukan Gubernur, baik sebagai kepala daerah atau sebagai wakil pemerintah pusat. Peran ganda Gubernur, sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat, sering menimbulkan konflik peran ketika kepentingan provinsi berbeda dengan kepentingan Pemerintah. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gubernur Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
65

seringkali harus mengamankan kebijakan pemerintah pusat, yang kadangkala berbenturan dengan kepentingan daerahnya. Ketika kebijakan kementerian?LPNK berbeda dengan kepentingan daerah Gubernur mengalami kesulitan untuk mengambil peran sebagai wakil pemerintah pusat. UU 32/ 2004 belum mengatur situasi seperti ini, karena itu revsisi UU 32/2004 perlu mengatur secara lebih jelas hal ini. Kedua, sebagai wakil pemerintah pusat Gubernur melaksanakan tugas dekonsentrasi. Namun, peran Gubernur dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi tidak diatur dengan jelas. Pasal 10 ayat 4 dan ayat 5 tidak mengatur dengan jelas mengenai tugas yang harus dilakukan Gubernur. Pasal tersebut hanya

mengatakan bahwa pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan urusannya kepada Gubernur. Selebihnya, pelimpahan urusan pemerintah kepada Gubernur tidak diatur dalam UU. Hal ini sering membuat kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi tidak jelas. Ketiga, dalam menjalankan tugas dekonsentrasi, Gubernur sebagai wakil pusat di daerah tidak mempunyai perangkat dekonsentrasi sendiri, hanya dibantu oleh perangkat daerah yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi dengan sumber pembiayaan yang kurang jelas. Hal ini sering

menimbulkan ketidakjelasan dalam pertanggungjawaban pengelolaan tugas dekonsentrasi. Disamping itu tidak tersedianya sarana dan prasarana untuk mendukung peran Gubernur dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi menjadikan kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah tidak efektif. Keempat, ketidakjelasan pengaturan tentang peran Gubernur seringkali menimbulkan kerancuan peran dan tugas Gubernur dalam melakukan monitoring terhadap kabupaten/kota. kabupaten/ kota sering Pelaksanaan tugas monitoring terhadap kinerja dilakukan secara campur aduk dalam konteks Pasal 37 dan 38 UU 32/2004 secara jelas

dekonsentrasi sekaligus desentralisasi.

memberi tugas kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan BinWas terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, pasal-pasal tersebut tidak mengatur dengan cukup jelas tentang apakah Bin Was Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
66

perlu juga dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi atau hanya terbatas pada pelaksanaan tugas dekonsentrasi. Kelima, hubungan koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota selama ini masih kurang berjalan secara efektif. Kewenangan dan kapasitas pemerintah provinsi untuk melaksanakan koordinasi dalam perencanaan program

pembangunan dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas lintas kabupaten/ kota kurang dapat dikelola secara efektif dan sinerjik. Pemerintah propinsi tidak memiliki kewenangan yang jelas untuk dapat mengatur kegiatan pembangunan dan pelayanan publik yang mencakup wilayah lebih dari satu kabupaten/ kota agar dapat diselenggarakan secara sinerjik. Pengaturan yang jelas tentang kewenangan provinsi dalam koordinasi perencanaan pembangunan daerah dan

penyelenggaraan pelayanan publik perlu dilakukan dengan jelas. Keenam, pelaksanaan tugas pembantuan oleh Provinsi kepada

Kabupaten/Kota dan Desa belum memiliki pengaturan yang jelas.

Akibatnya,

pelaksanan tugas pembantuan dari propinsi kepada kabupaten/ kota belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Agar pemerintah provinsi memiliki dasar yang kuat untuk melaksanakan tugas pembantuan kepada kabupaten/ kota dan Desa pengaturan yang jelas diperlukan mengenai kriteria dan konsekwensi dari pelaksanaan tugas pembantuan.

Analisis Provinsi dan Kabupaten/Kota sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kendati keduanya adalah daerah otonom, provinsi memiliki peran ekualisasi, fasilitasi, dan pemberdayaan terhadap kabupaten/ kota terkait dengan kebijakan yang menggambarkan kekhasan provinsi. Dalam UU 32/2004 peran tersebut tidak diatur dengan jelas. Karena itu, pelaksanaan berbagai peran Rendahnya optimalitas dari

tersebut belum dapat dilakukan secara optimal.

pelaksanaan peran tersebut, sering membuat penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/ kota kurang dapat dikoordinasikan secara efektif dan sinerjik untuk mencapai tujuan pembangunan provinsi. Seharusnya hubungan antara provinsi Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
67

dan kabupaten/kota dalam wilayahnya diatur dalam NSPK yang ditetapkan pemerintah pusat melalui kementerian/LPNK dalam pelaksanaan setiap urusan pemerintahan yang bersifat konkuren. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang mengamankan melalui mekanisme binwas agar tata hubungan yang diatur dalam NSPK berjalan secara optimal. Disamping hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota, masalah lain yang perlu dicarikan solusinya adalah peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Kedudukan Gubernur sebagai Kepala Daerah dan sebagai wakil pemerintah pusat seringkali kurang dapat dipisahkan dengan tegas dalam beberapa hal. Pertama, kapan Gubernur harus bertindak sebagai wakil pemerintah pusat dan kapan Gubernur harus bertindak sebagai kepala daerah. Hal ini perlu diatur dengan jelas karena memiliki implikasi kelembagaan dan anggaran yang berbeda. Ketidakjelasan pengaturan kedudukan Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat dan kepala daerah membuat fungsi ganda Gubernur belum dapat berjalan dengan baik karena struktur kelembagaan dan anggaran belum dapat memberi dukungan yang kuat terhadap pelaksanaan fungsi ganda Gubernur. Kedua, akibat dari tidak berjalannya secara optimal fungsi ganda itu maka pelaksanaan BINWAS dari Gubernur belum dapat berjalan dengan baik. Akibat lebih jauh dari tidak berjalannya peran BINWAS, maka penyelenggaraan pemerintahan di daerah selama ini kurang terkoordinasi dengan baik dan sinerji dalam pembangunan daerah tidak dapat diwujudkan secara optimal. Jika tidak dilakukan pengaturan yang jelas fungsi ganda Gubenur sebagai KDH dan wakil pemerintah pusat dalam revisi UU 32/2004 maka upaya untuk mendorong adanya pembangunan daerah yang sinerjik dan sustainable dalam wilayah provinsi akan mengalami banyak hambatan. Pengaturan lebih jelas tentang peran Gubernur untuk melakukan BINWAS, koordinasi, dan penyelarasan kegiatan pembangunan di daerah jika dapat diperkuat akan dapat mengurangi ketegangan yang selama ini terjadi dalam hubungan antara Bupati/ Walikota dengan Gubernur yang banyak terjadi di daerah. Miskonsepsi dalam memahami pola hubungan tersebut cenderung
68

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

mempersulit koordinasi dan sinerji dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kabupaten/ kota. Lebih dari itu, pengaturan juga diperlukan agar Gubernur dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan konflik yang terjadi antar kabupaten/ kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Penguatan fungsi ganda Gubernur juga dapat memperkuat hubungan antar tingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat, maka hubungan antara Gubernur dengan Bupati/ Walikota bersifat bertingkat, dimana Gubernur dapat melakukan peran BINWAS terhadap kinerja Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah. Sebaliknya Bupati/Walikota dapat melapor dan mengadu kepada Gubernur bila terjadi berbagai masalah dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah, termasuk dalam hubungan antar kabupaten/ kota. Penguatan peran Gubernur sebagai KDH akan dapat memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, social, dan ekonomi di daerah.

Usul Penyempurnaan 1. Dengan mengingat besarnya permasalahan yang muncul sebagai akibat dari ketidakjelasan peran KDH provinsi dan Gubernur, maka penyempurnaan UU 32/2004 perlu membuat pengaturan yang jelas tentang peran Gubernur baik sebagai KDH dan wakil pemerintah pusat. Pengaturan yang lebih jelas tentang kedudukan Gubernur yang memiliki untuk mengurangi konflik dan dual function juga sangat diperlukan kesulitan membangun sinerji dalam

pembangunan daerah. Sebagai wakil pusat Gubernur seyogyanya mempunyai perangkat tersendiri yang dibiayai dari APBN. Apabila perangkat daerah dimanfaatkan sebagai perangkat gubernur sebagai wakil pusat akan potensial menyebabkan kerancuan dalam pembiayaan, pengawasan dan pertanggung jawaban.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

69

2. Sebagai daerah otonom, provinsi dapat membuat kebijakan kekhasan provinsi yang mencirikan provinsi dan membedakannya dengan provinsi lainnya. Provinsi juga memiliki peran dalam pengembangan ekonomi wilayah dan kerjasama antar daerah dalam pengembangan kawasan. Provinsi karenanya dapat membuat peraturan daerah yang terkait dengan kekhasannya yang mengikat kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya. Disamping itu, provinsi

memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan desentralisasi yang menjadi urusannya, lintas kabupaten/kota, dan atau urusan yang eksternalitasnya melewati batas-batas kabupaten/ kota. Dalam konteks ini, gubernur sebagai kepala provinsi memiliki kewenangan mengambil kebijakan yang mengikat kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya. Untuk itu pengaturan tentang peran gubernur sebagai kepala provinsi perlu dibuat agar dapat menjadi instrumen bagi gubernur untuk melakukan koordinasi, fasilitasi, dan pemberdayaan kabupaten/ kota agar mereka dapat bersinergi untuk mencapai tujuan pembangunan di provinsinya. 3. Provinsi dapat melakukan peran ekualisasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memberdayakan kabupaten/ kota yang tidak mampu memenuhi standar pelayanan yang diterapkan di provinsinya. Provinsi dapat memberi

bantuan teknis dan subsidi kepada kabupaten/ kota yang tidak mampu memenuhi standar pelayanan yang berlaku di provinsinya. Dengan

memainkan peran ekualisasi keberadaan provinsi juga akan dapat dirasakan manfaatnya oleh kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya. 4. Pengaturan yang lebih jelas juga diperlukan terhadap kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Sebagai wakil pemerintah pusat gubernur memiliki peran menjalankan urusan pemerintahan umum, seperti melakukan resolusi konflik yang terjadi di wilayahnya, menjaga keamanan dan ketertiban, melakukan pemantauan dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, dan koordinasi kegiatan penyelenggaraan pemerintah yang ada di wilayahnya. Hubungan antara gubernur sebagai wakil pusat dengan Kementrian/ LPNK dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah perlu diatur dengan jelas.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

70

Untuk itu, gubernur perlu memiliki anggaran yang bersumber dari APBN dan dapat digunakan untuk menjalankan berbagai peran tersebut. 5. Pengaturan yang jelas tentang peran gubernur sebagai kepala provinsi dan wakil pemerintah pusat diperlukan untuk menghindari kerancuan yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan peran ganda Gubernur. Pelaksanaan kedua peran itu membutuhkan institusi, personalia, anggaran, dan kewenangan yang jelas dan memadai. diperlukan. Untuk itu pengaturan yang jelas tentang hal tersebut sangat

V. 2.3

Pembinaan dan Pengawasan

Dasar Pemikiran Dalam suatu negara kesatuan, pemerintah memiliki peran yang sangat strategis melalui pembentukan standar, norma, pedoman, dan kriteria (NSPK) dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. NSPK dibuat agar

penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan arah kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Untuk menjaga agar daerah melaksanakan

penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasar NSPK yang telah ditentukan maka pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan (Binwas). Tujuan dari Binwas adalah untuk menjamin agar daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan pemerintah. Binwas juga dilakukan untuk melindungi

kepentingan rakyat agar rakyat memperoleh pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dalam melakukan pembinaan pemerintah dapat melakukan berbagai kegiatan yang meliputi: a) koordinasi antar susunan pemerintahan; b) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; c) pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; d) pendidikan dan pelatihan; dan e) perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
71

evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.

Sedangkan dalam melakukan

pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah dapat melakukan kegiatan, diantaranya: a) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; dan b) pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pengawasan yang dilakukan dapat bersifat preventif dan pengawasan represif. Dengan melakukan kegiatan BinWas ini maka pemerintah dapat

mendorong percepatan terwujudnya perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk dapat melakukan Binwas pemerintah memiliki instrumen yang dapat digunakan untuk menghukum dan memberi penghargaan kepada daerah sesuai dengan kemampuannya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah sesuai dengan NSPK. Disamping itu pemerintah juga dapat menggunakan tugas pembantuan sebagai instrumen Binwas. Mengingat besarnya cakupan wilayah

Indonesia, Binwas dapat dilakukan secara berjenjang, dimana pemerintah yang lebih tinggi menjalankan Binwas terhadap pemerintah dibawahnya. Pemerintah berkewajiban melakukan Binwas terhadap provinsi dan Gubernur sebagai wakil pusat melakukan Binwas terhadap kabupaten/ kota.

Identifikasi Permasalahan UU 32/ 2004 sebenarnya telah mengisyaratkan mengenai perlunya Binwas dilakukan oleh pemerintah sebagaimana disebutkan dalam pasal 217, namun sayangnya pengaturan tentang hal tersebut secara jelas dan rinci belum dilakukan. Akibatnya, pelaksanaan urusan pemerintahan di banyak daerah cenderung berbeda-beda sesuai dengan intepretasi dan semangat yang dimiliki oleh masingmasing pimpinan daerah. Akibatnya, sinkronisasi dan integrasi kegiatan Tidak adanya NSPK

pemerintahan dan pembangunan daerah sulit dilakukan.

sering juga membuat pemerintah mengalami kesulitan dalam melakukan

Diskusi tentang cakupan konsep pembinaan dan pengawasan dapat dibaca di Muchlis Hamdi, Pemb inaan dan Pengawasan Dalam Hubungan Pusat-Daerah, paper tidak diterbitkan.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

72

pemantauan dalam rangka pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. PP 38/2007 mengamanatkan pada departemen, kementrian negara, dan lembaga pemerintah non-departemen untuk merumuskan NSPK untuk masingmasing urusan yang secara teknis menjadi tanggungjawabnya selambatlambatnya dua tahun sejak PP tersebut diberlakukan. perlu mengatur Mengantisipasi secara jelas

pemberlakuan

NSPK

tersebut,

pemerintah

kewenangan, mekanisme, dan prosedur melakukan pembinaan dan pengawasan bidang pemerintahan umum dan teknis. Dalam hal kewenangan dan

tanggungjawab pembinaan dan pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan, perlu diperjelas mengenai bidang pengawasan mana yang seharusnya menjadi tanggungjawab Departemen Dalam Negeri dan bidang pengawasan teknis yang seharusnya menjadi tanggungjawab instansi sektoral. Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan di kabupaten/ kota perlu diperjelas mengenai peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan pembinaaan dan pengawasan kinerja kabupaten/ kota. Tidak adanya pengaturan yang jelas sering membuat Gubernur kurang dapat menjalankan perannya untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Disamping itu, pemberdayaan Gubernur baik sebagai wakil

pemerintah pusat maupun sebagai KDH memerlukan sumberdaya aparatur yang profesional dan menguasai kemampuan teknis yang diperlukan dalam

penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan dan pendanaan yang memadai. Sayangnya sejauh ini, Gubernur belum memiliki aparat sendiri yang dapat ditugaskan untuk menjalankan fungsi Binwas terhadap kabupaten/ kota. Akibatnya, pelaksanaan Binwas cenderung kurang efektif.

Analisis Binwas sebagai upaya untuk menjamin terlaksananya pembangunan daerah yang terintegrasi, merata, dan sinerjik dalam bingkai negara kesatuan perlu dilakukan dengan cermat dan efektif. Kendati Binwas terdiri dari dua kegiatan
73

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

yang berbeda, pembinaan dan pengawasan, namun keduanya saling melengkapi dan memperkuat upaya untuk mendorong agar daerah mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan NSPK yang dibuat oleh pemerintah. Pembinaan yang dilakukan oleh Pusat terhadap Daerah dapat mencakup aspekaspek politik, administratif, fiskal, ekonomi, dan sosial budaya. Pada aspek politik, pembinaan dapat difokuskan pada penguatan lembaga perwakilan rakyat daerah bersamaan dengan lembaga pemberdayaan masyarakat. Pada aspek administratif, pembinaan dapat difokuskan pada penegasan

pembagian urusan pemerintahan, serta kewenangan pengelolaannya, terutama berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran. Pada aspek fiskal, pembinaan dapat berfokus pada peningkatan pendapatan asli daerah beriringan dengan pelaksanaan kebijakan transfer dan pinjaman yang ditetapkan oleh Pusat. Pada aspek ekonomi, pembinaan dapat berfokus pada pembangunan ekonomi daerah, yang dapat menjamin kemungkinan berlangsungnya privatisasi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembinaan dunia usaha dan koperasi. Sedangkan pada aspek sosial budaya, pembinaan diimaksudkan untuk mendorong kemampuan pemerintahan daerah dalam membangun kehidupan masyarakat dengan kesadaran berkewarganegaraan yang tinggi. Sedangkan pengawasan bertujuan untuk menjamin agar kegiatan

pelaksanaan rencana sesuai dengan spefisikasi yang telah ditentukan, baik yang bersifat substansial atau nilai-nilai maupun yang bersifat prosedural. Dengan pengawasan diharapkan tujuan yang tercapai benar-benar dapat membangun kondisi yang diinginkan secara efisien dan efektif. Dalam konteks keberadaan daerah otonom, pengawasan berperan sebagai penjamin terbangunnya daerah yang maju, terciptanya keadilan regional, terwujudnya masyarakat yang sejahtera dalam bingkai sistem dan kepentingan nasional. Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Terkait dengan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
74

bidang-bidang pembinaan sebagaimana tersebut di atas maka tentunya harus ada kejelasan institusi mana yang akan melakukan pembinaan. Untuk itulah perlu diformulasikan agar pembinaan yang bersifat umum seperti terkait dengan aspek manajerial pemerintahan dan administrasi, pembinaan dilaksanakan oleh

Departemen Dalam Negeri. Adapun pembinaan yang bersifat teknis dilakukan oleh Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Proses pembinaan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Sama halnya dengan pembinaan, pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah juga harus secara tegas diatur institusi mana yang melaksanakannya. Pengawasan yang bersifat umum dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri, sedangkan pengawasan yang bersifat khusus dilakukan oleh Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tetap melaksanakan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Pengawasan juga harus secara jelas mengatur mengenai aspek yang diawasi yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

Kementerian/LPNK terkait melakukan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi bidang tugasnya dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pengawasan terhadap pengaturan yang dihasilkan.

Usulan Perubahan Berdasarkan hasil Analisis dan pengamatan terhadap masalah, diusulkan penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan aspek pembinaan dan pengawasan, dilaksanakan dengan pangaturan sebagai berikut : 1. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan oleh menteri dalam negeri dan menteri/pimpinan LPNK terkait. Menteri Dalam negeri melaksanakan pembinaan bidang pemerintahan umum sedangkan Menteri/ Kepala LPNK melaksakan pembinaan teknis urusan pemerintahan terkait dengan bidang tugasnya masing-masing. Dalam melakukan pembinaan

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

75

teknis kepada daerah provinsi Menteri/ Kepala LPNK berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. 2. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah

kabupaten/ kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Angaran yang digunakan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya dibiayai oleh APBN. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan oleh aparatur daerah provinsi dan juga aparatur pusat yang ada di daerah.

IV.3 PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH

IV.3.1.

Pemilihan Kepala Daerah dan Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD

Dasar Pemikiran Berbagai permasalahan muncul dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia. Permasalahan yang berasal dari pilkada kemudian akan mempengaruhi efektifitas pemerintahan daerah. Beberapa diantara permasalahan tersebut adalah terjadinya money politics yang sering sulit dibuktikan tapi sangat dirasakan oleh masyarakat. Munculnya dinasti elit penguasa lokal yang ditandai oleh diusulkannya sanak famili kepala daerah baik anak, istri, menantu, saudara untuk menjadi calon kepala daerah. Persoalan etika juga sering disepelekan yaitu terjadinya beberapa kasus kepala daerah yang sudah menjabat dua kali kemudian mencalonkan dirinya sebagai wakil kepala daerah. Memang secara legal tidak menyalahi karena tidak ada hukum positif yang dilanggar tapi dari segi etika pemerintahan dan kepantasan sulit untuk diterima akal sehat. Persoalan moral juga mewarnai beberapa calon kepala daerah dimana calon yang sudah diketahui secara meluas melakukan perbuatan asusila yang nampak dalam video tapi karena tidak menjadi

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

76

kasus hukum menjadi tidak melanggar persyaratan sehingga yang bersangkutan tetap mencalonkan diri. Kondisi tersebut menunjukkan kepada kita memang semua permasalahan tersebut diatas harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan agar menjadi syarat normatif yang selama ini tidak ada sehingga tidak ada hukum positif yang dilanggar. Kita menyadari bahwa disamping hukum yang tertulis ada juga hukum yang tidak tertulis namun dihormati keberadaannya khususnya yang terkait dengan persoalan etika dan kepantasan. |Namun persoalan muncul ketika etika dan kepantasan tersebut tidak diatur secara tertulis, maka pelanggaran atas etika tersebut dianggap hal-hal yang wajar saja dilakukan dalam masa transisi demokrasi sekarang ini untuk mendukung ambisi pribadi. Persoalan lain yang timbul adalah dalam sistem politik yang demokratis ketegangan hubungan antara kepala daerah (KDH) dengan DPRD menjadi isu

politik yang jamak dijumpai di daerah. Diberlakukannya pilkada langsung untuk Gubernur/ Bupati/ Walikota dan anggota DPRD membuat masing-masing pihak sama-sama memiliki legitimasi politik yang sangat kuat. Sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah keduanya memiliki kedudukan yang setara, dimana masing-masing tidak dapat menjatuhkan yang lainnya. Karena hubungan keduanya tidak diatur dengan jelas maka ketegangan dan konflik sering terjadi antara KDH dan DPRD . Dalam banyak hal konflik diantara mereka sering mengganggu efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antara KDH dengan DPRD harus dikembangkan sebagai upaya penegakan prinsip-prinsip checks and balances. Sebagai institusi yang berfungsi mengawasi KDH dan perangkatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, DPRD harus memiliki kapasitas yang memadai untuk menjalankan fungsi tersebut. Juga dalam menjalankan fungsi legislasi dalam konteks membuat peraturan daerah bersama dengan KDH, para anggota DPRD harus memiliki dukungan

sumberdaya yang memadai agar mereka dapat menjadi mitra yang setara dan sejajar kapasitasnya dengan KDH. Kegagalan dalam membangun kapasitas DPRD dapat membuat fungsi DPRD dalam melakukan check and balance tidak efektif. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
77

Untuk membuat hubungan antara KDH dan DPRD menjadi dinamis maka pengaturan tentang hubungan antara KDH dan DPRD harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Prinsip checks and balances. DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan dan sekaligus lembaga perwakilan rakyat di daerah yang memiliki fungsi

melakukan pengawasan terhadap KDH. b. Prinsip negara hukum. Kedudukan, hak, dan kewajiban dari KDH

dan DPRD harus secara jelas diatur dalam peraturan perundangan dan masing-masing pihak harus bertindak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. c. Prinsip Kesetaraan. Keduanya memiliki kedudukan yang setara, dimana KDH dan DPRD tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lainnya d. Kemitraan Sebagai sesama unsur penyelenggara pemerintahan daerah

keduanya harus dapat bekerjasama dan bermitra dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.

Identifikasi Permasalahan Pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat banyak menyedot enerji baik pemerintah pusat and pemerintah disamping isu pembentukan daerah otonom baru. Dalam konteks otonomi daerah kedua isu menguras habis perhatian kita sehingga sering terabaikan tujuan utama otonomi daerah adalah mensejahterakan rakyat daerah yang kalau berhasil, maka secara agregat akan menyumbang kepada peningkatan kesejahteraan nasional. Beberapa masalah krusial dalam konteks pilkada antara lain adalah:

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

78

a. Terjadinya praktek money politics dan dirasakan secara meluas, namun sulit menemukan bukti-bukti. b. Tumbuhnya gejala oligarkhi dalam pilkada ditandai dengan majunya banyak calon yang berasal dari keluarga kepala daerah baik istri, anak, menantu dan lain-lainnya. Ditengarai majunya mereka dengan

memanfaatkan fasilitas dan resources yang dimiliki oleh kepala daerah terkait. c. Merosotnya niali-nilai etika dalam pemerintahan ketika seseorang yang sudah dua kali menjabat kepala daerah mengajukan dirinya menjadi wakil kepala daerah. Walaupun secara hokum tertulis tidak ada yang dilanggar, namun dari aspek etika sangat sulit untuk diterima dan mencederai akal sehat. d. Dikerahkannya birokrasi daerah untuk memberikan dukungan kepada petahana (incumbent). Adalah sangat sulit bagi birokrasi daerah untuk bersikap netral dalam pilkada. Untuk kepentingan karirnya mereka dipaksa oleh situasi untuk memihakkan diri pada salah satu calon kepala daerah. Banyak fakta menunjukkan diadakannya mutasi atau demosi jabatan daerah ketika salah satu calon memenangkan pilkada. e. Ada beberapa kasus calon terlibat dalam gambar video melakukan tindakan a susila, namun karena tidak terjadi proses hukum maka tidak ada alasan hukum untuk melarang yang bersangkutan mencalonkan diri. Karena kepala daerah adalah kepala pemerintahan di daerah, maka kejadian tersebut akan mencoreng kewibawaan pemerintahan daerah. f. Kepala daerah dan wakil kepala daerah sering tidak harmonis tidak lama setelah keduanya terpilih. Keduanya sering terlibat dalam berebut peran karena masing-masing merasa mempunyai andil yang sama dalam pemenangan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam beberapa kasus kondisi tersebut telah menyebabkan terjadinya

pengkotak-kotakan birokrasi daerah baik yang memihak kepala daerah maupun yang memihak wakil kepala daerah. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
79

g. Tingginya biaya pilkada yang harus ditanggung baik oleh pemda maupun oleh calon kepala daerah. Tingginya biaya tersebut terutama akan menjadi beban berat bagi daerah-daerah miskin sedangkan pada sisi lain banyak daerah yang masih sulit untuk memberikan pelayanan dasar yang paling mkinimal kepada rakyatnya. Masalah lain dari penyelenggara pemerintahan daerah adalah dalam konteks hubungan antara KDH dan DPRD. Dalam praktek sering terjadi masalah diantara keduanya karena interpretasi terhadap peraturan perundangan sesuai dengan kepentingannya sendiri, sehingga ketegangan dan konflik antara KDH dan DPRD sering terjadi di banyak daerah. Arena yang sering menjadi sumber konflik antar keduanya adalah pembentukan peraturan daerah, pembuatan APBD dan

pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam pembentukan peraturan daerah dan pembuatan APBD, masalah

muncul ketika salah satu pihak tidak bersedia membahas usulan pihak lainnya. Banyak kasus menunjukan bahwa DPRD tidak mau membahas usulan Perda dan rancangan APBD yang disampaikan oleh Bupati/ Walikota/ Gubernur. DPRD sering menjadikan
10

Anggota

APBD

sebagai

arena

untuk

memperjuangkan

kepentingan pengusaha kliennya untuk memperoleh kontrak proyek dari pemerintah daerahnya. Akibatnya, banyak daerah yang mengalami

keterlambatan dalam pengesahan APBD sehingga mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa daerah bahkan gagal

mengesahkan APBDnya sehingga terpaksa menggunakan APBD tahun sebelumnya. Dalam pengelolaan sekretariat DPRD, ketegangan antara KDH dan DPRD muncul terutama terkait dengan pengangkatan sekretaris dewan. Sekretaris

dewan sering mengalami role conflict dan mengalami posisi dilematis, ketika hubungan antara KDH dengan DPRD kurang harmonis. Sebagai pejabat karir, nasib sekretaris dewan sering dipengaruhi oleh penilaian dari sekretaris
Fenomena DPRD Kota Surabaya dapat d ijadikan misal. Beberapa pimpinan fraksi besar menitipkan proyek yang besarnya berkisar dari 50- 220 proyek. Persoalannya, dari total 786 proyek yang d ititipkan anggota dewan ini sebagian besar nilainya dibawah Rp. 50 juta. Itu artinya, mekanisme pelaksanaannya melalui penunjukan langsung, bukan lelang terbuka. Salah satu anggota dewan menjelaskan bahwa itu semua hasil Jaringasmara/ Penjaringan Aspirasi Masyarakat. Namun, data Tempo menyebutkan ada sebagian proyek
10

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

80

kabupaten/ kota/ provinsi yang tentunya juga amat dipengaruhi oleh kepentingan KDH. Sedang sebagai sekretaris dewan, yang bersangkutan harus memfasilitasi DPRD yang sering memiliki kepentingan dan sikap yang berbeda dengan yang dimiliki oleh KDH ketika dihadapkan pada isu yang sama. Karena perbedaan

kepentingan politis KDH dan DPRD pengangkatan sekretaris dewan sering menjadi sumber ketegangan antara KDH dan DPRD. Dalam bidang pengawasan, ketegangan dan konflik antara KDH dan DPRD sering terjadi karena perbedaan pemahaman antara anggota DPRD dengan pengelola SKPD dalam mencermati indikator kinerja keberhasilan dari program dan proyek pembangunan di daerah. Rendahnya kualitas perencanaan program dan proyek membuat proses pengawasan program dan proyek menjadi semakin sulit, karena indikator kinerja dan pencapaian kemajuan program dan proyek tidak terdefinisikan dengan jelas. Akibatnya seringkali terjadi perbedaan pendapat dan penilaian antara KDH dengan DPRD dalam menilai kinerja program dan proyek yang ada di daerah.

Analisis Salah satu pilar yang mendukung efektifitas pemerintahan daerah dalam mensejahterakan masyarakat daerah adalah terpilihnya kepala daerah yang cakap (capable) mempunyai integritas dan dapat diterima (acceptable with integrity). Untuk itu maka perlu dipikirkan mekanisme agar kepala daerah yang capable dan accepable dapat terealisir. Pada sisi lain pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara berpasangan sering menimbulkan masalah setelah terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Untuk itu perlu kiranya dipikirkan adanya mekanisme pemilihan hanya untuk kepala daerah saja sedangkan wakilnya ditunjuk oleh kepala daerah terpilih. Dengan cara demikian akan terhindar potensi konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk menghindari munculnya masalah etika dan moral dalam pilkada maka perlu adanya pengaturan mengenai persyaratan kepala daerah. Calon Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
81

kepala daerah yang sudah jelas terbukti secara hukum cacat terkait masalah moral dilarang untuk ikut mencalonkan diri. Demikian juga terkait masalah etika, perlu diatur bahwa calon kepala daerah yang sudah dua kali menjabat kepala daerah tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. Dengan adanya pengaturan tersebut akan menjadi aturan tertulis dan hukum positip yang mengikat. Untuk menekan biaya yang timbul dalam pilkada, perlu dipikirkan bahwa pilkada provinsi cukup dilakukan melalui pemilihan oleh DPRD. Ada beberapa pemikiran yang melandasinya yaitu: 1. Dari sisi pelayanan publik yang diberikan oleh provinsi. Ternyata sedikit sekali pelayanan publik langsung yang diberikan provinsi kepada

masyarakat. Ini berarti intensitas pertemuan antara Gubernur dan masyarakat provinsi yang bersangkutan tidaklah tinggi. Rendahnya intensitas hubungan antara Gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut akuntabilitas yang tinggi dari Gubernur kepada masyarakat. Dari sini lahir argumen kenapa gubernur tidak dipilih oleh DPRD saja sebagai wakil rakyat. Berbeda dengan pemilihan bupati/waikota. Sebagian terbesar pelayanan publik langsung diberikan oleh pemda kabupaten/kota. Untuk itu intensitas pertemuan bupati/walikota dengan wargana akan tinggi sekali.

Konsekuensinya rakyat menuntut akuntabilitas yang tinggi dari bupati/ walikota. Untuk itu mkaka pemilihan bupati/walikota sebaiknya tetap langsung oleh rakyat. 2. Dari sisi legal; konstitusi dalam pasal 18 menyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Demokratis bisa berkonotasi dua yaitu bisa dipilih langsung oleh rakyat dan kedua bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dalam sejarah pemerintahan daerah, hubungan Kepala Daerah dan DPRD dapat dikatakan belum pernah mencapai titik yang ideal, terutama juga dilihat kacamata negara demokratis, yang menganut adanya pemisahan dan penyebaran kekuasaan. Pelimpahan kekuasaan pemerintahan daerah kepada Kepala Daerah Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
82

dan DPRD sebenarnya dilakukan dalam rangka pembagian kekuasaan antara kedua unsur penyelenggara pemerintahan daerah sehingga terjadi mekanisme

check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. check and balance
penting diperkuat efektivitasnya agar

Mekanisme tidak terjadi

penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu dari keduanya dan agar KDH dan DPRD dapat bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Untuk dapat mewujudkan adanya check and balance maka kapasitas DPRD mesti harus ditingkatkan karena berbagai temuan menunjukan bahwa kemampuan DPRD dalam menjalankan fungsinya sangat rendah11. Kapasitas DPRD amat jauh lebih rendah dibandingkan dengan KDH dan perangkatnya. DPRD untuk merepresentasikan kepentingan warganya Akibatnya, peran dalam proses

pembentukan peraturan daerah dan proses penyusunan APBD sering tidak dapat dilakukan secara efektif. Kedua kegiatan tersebut sering menjadi arena dominasi Hal ini membuat

kepentingan elit politik dan birokrasi ( elite captures).

kepercayaan warga terhadap DPRD menjadi semakin terkikis dan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja DPRD semakin rendah. Ada beberapa penjelasan mengenai mengapa DPRD belum mampu merepresentasikan kepentingan warganya. Pertama, kapasitas kelembagaan

DPRD yang masih terbatas dalam memberi dukungan kepada para anggotanya. Sebagai sebuah institusi sekretariat DPRD mestinya dapat memberi dukungan kepada para anggota DPRD dalam menjalankan kewajiban sebagai wakil rakyat di daerah, terutama dalam pembentukan peraturan daerah, penyusunan APBD, dan dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah. Karena itu sekretariat DPRD harus dilengkapi dengan tenaga profesional yang memiliki kemampuan teknis untuk mendukung kegiatan dari para anggota DPRD. Kedua, DPRD pada umumnya belum memiliki sekretaris DPRD yang profesional dan mampu membangun kapasitas organisasi untuk memberi dukungan kepada anggota DPRD. Posisi sekretaris DPRD masih dianggap sebagai
Lihat temuan GDS 2002 dan GAS 2006 dalam Dwiyanto, Agus, dkk, 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PSKK UGM: Yogyakarta dan Dwiyanto, Agus, dkk, 2007. Kinerja Tata Pemerintahan di Daerah, PSKK UGM: Yogyakarta
11

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

83

posisi buangan dan marjinal bukan posisi strategis dalam konteks pengembangan karir di birokrasi daerah. Persepsi yang seperti ini membuat daerah sering tidak menempatkan calon yang terbaik untuk posisi sekretaris daerah. Apalagi

kenyataan bahwa sekretaris DPRD sering mengalami posisi yang sulit ketika terjadi konflik antara KDH dengan DPRD, membuat mereka yang memiliki kemampuan yang baik tidak tertarik menjadi sekretaris DPRD. Semua hal diatas membuat sekretaris daerah pada umum belum mampu memberi dukungan yang optimal kepada DPRD. Ketiga, kemampuan anggauta DPRD pada umumnya secara individu masih rendah sehingga tidak dapat secara optimal menjalankan peran mereka sebagai wakil rakyat. Pendidikan dan pengalaman mereka dalam kegiatan pemerintahan yang terbatas sering membuat kemampuan mereka untuk menjalankan peran sebagai anggota DPRD tidak optimal. menjalankan peran sebagai anggota Keterbatasan kemampuan mereka DPRD ikut mendorong munculnya

ketidakpuasan masyarakat terhadap anggota DPRD dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Keempat, ketidakjelasan kedudukan anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Proses rekrutmen anggota DPRD yang sekarang terjadi lebih menempatkan mereka sebagai wakil partai politik daripada sebagai wakil rakyat. Intervensi

partai politik terhadap para anggota DPRDnya yang sangat kuat membuat para anggota DPRD tidak dapat memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, manakala kepentingan rakyat yang diwakili berbeda dengan kepentingan politik partainya. Kelima, keterbatasan anggaran yang tersedia bagi anggota DPRD untuk menyerap, menggali, dan memperjuangkan kepentingan warga dan konstituen. DPRD juga memiliki keterbatasan anggaran dan sumberdaya yang tidak memungkinkan mereka menjalankan fungsi check and balance. Akibatnya,

kemampuan DPRD untuk dapat menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja KDH masih sangat terbatas.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

84

Dengan memahami berbagai faktor diatas, maka pemberdayaan DPRD hanya akan efektif kalau dapat menyelesaikan berbagai masalah diatas. Pemberdayaan DPRD setidaknya harus mampu meningkatkan antara lain: kapasitas sekretariat DPRD dan pejabatnya, kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, ketersediaan sumberdaya untuk memberi dukungan kepada DPRD dalam menjalankan seluruh fungsinya, dan kualitas hubungan antara anggota DPRD dengan konstituennya.

Usulan Perubahan

1.

Perlu ada pengaturan bawa gubernur dipilih oleh DPRD sedangkan bupati/walikota tetap dipilih secara langsung oleh rakyat.

2.

Perlu diatur batasan etika dan moral dalam persyaratan calon kepala daerah

3.

Perlu ada pengaturan yang jelas tentang kedudukan dan hubungan antara DPRD dan KDH sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pengaturan tersebut harus mampu menjamin terjadi check and balance dalam hubungan kerja keduanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah.

4.

Perlu ada pengaturan yang dapat memperkuat posisi sekretaris DPRD sebagai seorang manajer yang profesional dan independen dari sekretariat daerah. Sebagai pimpinan organisasi pendukung kegiatan DPRD maka

sekretaris DPRD harus dapat bertindak secara profesional dan independen dari tekanan pihak KDH. Untuk itu perlu ada pengaturan yang jelas

tentang kedudukan sekretaris DPRD, hubungannya dengan Sekda, KDH, dan DPRD. Pengaturan harus memungkinkan sekretaris DPRD untuk

mengoptimalkan dukungannya kepada DPRD agar dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

85

5.

Perlu ada pengaturan yang memungkinkan sekretariat DPRD memfasilitasi DPRD dan para anggotanya untuk menjalankan perannya sebagai wakil rakyat di daerah. Sekretariat DPRD harus memiliki sumberdaya yang

memadai untuk merekrut tenaga ahli yang dapat memberi dukungan kepada DPRD dan para anggotanya dalam menjalankan semua fungsi yang melekat pada anggota DPRD. 6. Untuk dapat menjalankan fungsi representasi, anggota DPRD perlu memiliki anggaran yang memadai untuk menjalin hubungan yang erat dengan warga yang diwakilinya. Kegiatan anggota DPRD dalam

menjalankan fungsi representasi harus memperoleh anggaran yang wajar dan memadai. Pengaturan perlu dibuat agar anggaran yang disediakan benar-benar dipergunakan untuk menjalankan fungsi representasi dan tidak dipergunakan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan pelaksanaan fungsi representasi. 7. Dalam hal terjadi konflik antar KDH dan DPRD, maka Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat menjadi institusi yang dapat menjadi wasit yang baik dalam penyelesaian konflik antara KDH dan DPRD. Untuk

pelaksanaannya Presiden dapat menunjuk Menteri Dalam Negeri untuk mewakili Presiden mengambil tindakan yang diperlukan dalam

penyelesaian konflik yang terjadi antara DPRD dan KDH.

IV.3. 2. Organisasi Perangkat Daerah

Dasar Pemikiran Organisasi perangkat daerah memiliki posisi yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disain, struktur, mekanisme kerja, dan kualitas aparatur sangat menentukan kinerja daerah. Seberapa tepat daerah merancang disain, struktur, dan proses kerja sehingga

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

86

mampu menjalankan fungsi secara efisien, efektif, dan sinerjik menjadi kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam merancang disain dan struktur birokrasinya, daerah tentunya harus mendasarkan pada urusan wajib dan urusan lainnya yang dapat menjadi unggulan daerah. Pengembangan birokrasi di daerah harus juga mempertimbangkan

prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan kemudahan interaksi. Struktur perangkat daerah harus efisien. Prinsip efisiensi ini mengajarkan bahwa struktur harus

sederhana dan ramping tapi mampu mengemban banyak fungsi. Dengan struktur yang seperti ini maka daerah akan dapat menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya dengan pengorbanan sumberdaya yang kecil. Dengan

berazaskan pada prinsip efektivitas maka daerah harus mengembangkan struktur organisasi yang mampu mewujudkan outputs dan outcomes sesuai yang

diharapkan dari penyelenggaraan setiap urusan pemerintahan daerah. Efektivitas mengukur kemampuan struktur organisasi untuk merealisasikan progam-program yang dikembangkan oleh daerah. Sedangkan, prinsip kemudahan interaksi

menjamin adanya kemudahan interaksi antar organisasi di daerah dan antar organisasi dengan warganya. Dengan mengembangkan struktur organisasi atau perangkat daerah yang memenuhi ketiga prinsip diatas, maka daerah akan dapat mengembangkan organisasi yang ramping tetapi melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan efektif. Organisasi daerah juga mampu berinteraksi secara wajar dan saling melengkapi dan mendukung kegiatan-kegiatan dari organisasi daerah lainnya sehingga sinerji antar organisasi di daerah dapat diwujudkan. Kemudahan interaksi antara organisasi daerah dengan warganya juga sangat penting diwujudkan karena kemudahan interaksi akan sangat warga untuk mengakses pelayanan publik di daerahnya. Kemudahan interaksi akan dapat menghemat

enerji pemerintah daerah dan warganya dalam mengakses pelayanan publik dan kegiatan pemerintahan lainnya.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

87

Identifikasi Permasalahan Pengalaman dalam pelaksanaan otonomi daerah menunjukan

kecenderungan daerah untuk membentuk onganisasi perangkat daerah yang banyak jumlahnya dan kurang didasarkan pada kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan. 12 Besarnya organisasi perangkat daerah yang dimaksud dapat dilihat dari banyaknya jumlah Dinas Daerah, jumlah Badan dan jumlah Kantor. Banyak daerah kabupaten dan kota yang mempunyai dinas yang sebenarnya kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat atau potensi unggulan yang ada di daerah tersebut. Masih banyak dijumpai adanya dinas pertanian atau bahkan kehutanan di daerah perkotaan. Berbagai studi menunjukan bahwa para

pemangku kepentingan di daerah menilai struktur birokrasi di daerah cenderung gemuk dan menyerap anggaran yang besar. Akibatnya, banyak anggaran pemerintah yang terserap untuk belanja pegawai dan memenuhi kebutuhan birokrasi daripada yang digunakan untuk membiayai pelayanan masyarakat. Disamping struktur birokrasi yang besar dan kompleks, masalah lainnya adalah adanya orientasi pegawai daerah untuk menduduki jabatan struktural sangat tinggi dan berlebihan. Hal ini disebabkan karena jabatan struktural dalam birokrasi publik memiliki fungsi yang multidimensional. Jabatan struktural bukan hanya memberikan mereka kekuasaan, penghormatan, tetapi juga tambahan penghasilan yang berarti. Semakin tinggi jabatan strukturalnya, semakin besar nilai yang diperoleh oleh pejabatnya. Hal seperti ini mendorong birokrasi dan para pejabatnya untuk memperbesar struktur birokrasi di daerah sehingga dapat menyediakan banyak tempat bagi para pejabat birokrasi di daerah. Karenanya tidak mengherankan kalau banyak daerah yang mengembangkan struktur birokrasi yang besar dan kompleks. Orientasi yang berlebih pada jabatan struktural, membuat pengembangan jabatan fungsional kurang berkembang di dalam birokrasi di daerah. Banyak

daerah yang belum mengembangkan jabatan fungsional. Padahal jabatan fungsional tidak menuntut organisasi yang besar, bahkan dapat memperbaiki
Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam Roy Salomo, Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Penyempurnaan UU N0.32/2004: Perangkat Daerah, paper tidak diterbitkan
12

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

88

kualitas pelayanan pemerintah daerah melalui peningkatan kapasitas aparatur birokrasi. Penciptaan jabatan fungsional dalam birokrasi pemerintah di daerah

penting didorong agar daerah dapat mempercepat pengembangan kapasitas aparaturnya dengan baik dan cepat. Belum adanya Analisis jabatan dan Analisis beban kerja membuat daerah tidak pernah tahu secara pasti berapa besar organisasi yang dibutuhkan dan berapa banyak jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Akibatnya, pengembangan struktur birokrasi di daerah seringkali lebih banyak didasarkan atas pertimbangan subyektif, jangka pendek, dan pemahaman yang kurang tepat terhadap kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh Daerah. Masalah lainnya adalah adanya kecenderungan dari kementerian/LPNK untuk mendesak daerah membuat struktur organisasi sebagaimana yang ada di pusat dengan tawaran akan diberi bantuan. Disamping itu munculnya berbagai undang-undang sektoral yang mengharuskan daerah untuk membentuk suatu organisasi yang sering relevansinya tidak ada di daerah yang bersangkutan seperti kewajiban membuat organisasi bencana walaupun daerah tersebut bukan berpotensi bencana. Sama halnya dengan diwajibkannya daerah membuat lembaga penyuluhan pertanian di daerah perkotaan yang tidak ada petaninya. Pada akhirnya semua instruksi dan desakan tersebut akan bermuara pada membengkaknya kelembagaan daerah yang sekailigus juga meningkatkan overhead cost dan mengurangi biaya pelayanan public.

Analisis Ada beberapa penyebab mengapa daerah cenderung mengembangkan struktur organisasi yang besar dan kompleks13. Pertama, kecenderungan semakin kuatnya politisasi birokrasi di daerah. Pilkada yang membutuhkan resources yang besar memberi peluang kepada aparat birokrasi untuk terlibat pemenangan calon kepala daerah. Banyak aparat birokrasi yang terlibat menjadi tim sukses dari calon
Disamping berbagai hal diatas Salomo juga menjelaskan faktor-faktor lainnya seperti orientasi pada jabatan struktural yang sangat besar dan dampak dari pembubaran instansi vertikal di daerah yang sering memaksa daerah membuat struktur yang gemuk.
13

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

89

kepala daerah dengan harapan jika calonnya terpilih akan memperoleh kedudukan yang lebih baik dalam birokrasi di daerah. Disamping itu, kepala daerah terpilih sering berusaha memasukan pendukungnya dalam jabatan birokrasi sehingga diharapkan dapat memberi dukungan terhadap keberhasilan program-program yang dijanjikannya dalam pilkada. Untuk dapat menampung para pendukungnya sering kepala daerah kemudian mengembangkan struktur birokrasi di daerah. Kedua, jumlah pegawai negeri yang besar di daerah mendorong mereka mengembangkan struktur organisasi yang besar agar dapat menampungnya dalam jabatan-jabatan struktural yang ada. Dilihat dari kepentingan birokrasi,

pengembangan struktur yang besar tentu menguntungkan.

Namun, dilihat dari

kepentingan publik sangat merugikan karena banyak anggaran yang kemudian terserap untuk pembiayaan birokrasi daripada untuk kepentingan publik. Disamping memerlukan pembiayaan yang tinggi, struktur yang besar dan kompleks juga cenderung mempersulit interaksi antara pemerintah dengan warganya. Pelayanan publik menjadi semakin rumit dan panjang. Ketiga, belum ada tradisi untuk melakukan evaluasi kinerja (performance

review) yang secara periodik menilai ketepatan antara struktur birokrasi dengan visi
dan misi daerah. Akibatnya, banyak daerah tidak memiliki visi dan misi yang jelas sehingga mereka dapat mengembangkan struktur birokrasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah dan mengembangkan struktur berdasar berdasar kepentingan sempit dan jangka pendek. Analisis jabatan juga sangat jarang dilakukan.

Karenanya tidak mengherankan kalau daerah cenderung memiliki struktur yang besar dan kompleks. Pelaksanaan otonomi yang diharapkan dapat dijadikan sebagai peluang bagi daerah untuk merestrukturisasi birokrasi sehingga lebih efisien ternyata tidak menjadi kenyataan. Dengan melihat kondisi yang seperti ini, maka tidak mengherankan kalau banyak anggaran daerah yang terserap untuk membiayai struktur yang gemuk tersebut. Sejauh ini data Departemen Keuangan menunjukkan bahwa rata-rata

Propinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia mengalokasikan dana sekitar 77,45% pada tahun 2004, dan 76,43% pada tahun 2005 dari anggarannya untuk Belanja Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
90

Aparatur. Sedangkan dari besaran anggaran untuk belanja publik masih terdapat komponen biaya overhead. Akibatnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi semakin kecil. Hal ini menjelaskan mengapa desentralisasi di Indonesia belum banyak memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah. Pembengkakan organisasi juga berdampak pada melebarnya rentang kendali (span of control) dan menimbulkan masalah "inkoherensi institusional" karena fungsi yang seharusnya ditangani dalam satu kesatuan unit harus diderivasi ke beberapa unit organisasi sehingga pada akhirnya mengarah pada proliferasi birokrasi. Kondisi tersebut lebih jauh juga berpotensi menimbulkan disharmoni atau bahkan friksi antar unit organisasi sebagai akibat tarik-menarik kewenangan. Untuk itu pengaturan bagi perangkat daerah yang efektif harus menjadi perhatian penting dalam

penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004.

Usulan Penyempurnaan 1. Perlu ada pengaturan tentang norma, kriteria, dan standar dalam pengembangan Organisasi perangkat daerah. Pengaturan harus

mendorong daerah untuk dapat membentuk organisasi perangkat yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki; karakteristik potensi dan kebutuhan daerah; kemampuan keuangan daerah; ketersediaan sumber daya aparatur; dan pengembangan pola kemitraan antar daerah serta dengan pihak ketiga. 2. Perlu adanya pengetatan struktur organisasi daerah agar mempunyai struktur organisasi sesuai dengan prioritas kebutuhan pelayanan dasar serta sektor unggulan yang potensial dikembangkan di daerah yang bersangkutan. Untuk itu perlu adanya pemetaan atau mapping dari kementerian/LPNK di pusat untuk memetakan daerah-daerah dengan potensi unggulan atau prioritas pelayanan dasar sesuai dengan

kewenangan kementerian/LPNK terkait. Dengan cara tersebut setiap kementerian/LPNK akan mempunyai stakeholders yang jelas yang akan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
91

dilibatkan dalam pencapaian target nasional dari kementerian/LPNK tersebut. Cara tersebut akan menghilangkan pola instruksi yang

memaksakan daerah untuk membuat organisasi yang seragam di seluruh daerah, tapi akan sesuai dengan sektor unggulan dan prioritas pelayanan dasar dari daerah tersebut. Pendekatan tersebut akan menciptakan pola asimetris antar daerah dalam menerapkan organisasi perangkat daerah. 3. Perlu juga disusun pengaturan yang mendorong daerah melakukan Analisis jabatan dan menjadikannya sebagai dasar dalam mereformasi perangkat pemerintahannya yang dimilikinya. Analisis jabatan harus dapat memberi informasi kepada daerah tentang kebutuhan jabatan, klasifikasi jabatan, standar kompetensi jabatan, sistem renumerasi, dan sistem informasi kepegawaian. 4. Pengaturan organisasi perangkat daerah perlu memikirkan pengembangan jabatan fungsional secara signifikan. Jika daerah mampu untuk

mengembangkan jabatan fungsional secara signifikan maka daerah dapat mengurangi tekanan yang ada padanya untuk membuat struktur gemuk demi menampung tenaga kerja yang jumlahnya cukup besar. Selain itu pengembangan jabatan fungsional juga dapat membantu pengembangan profesionaisme pegawai daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan daerah. 5. Perlu juga disusun pengaturan tentang insentif berbasis kinerja sehingga orientasi pegawai daerah yang cenderung untuk menduduki jabatan struktural dapat berubah. Dengan mengembangkan ukuran kinerja yang jelas dan memberikan insentif berbasis pada kinerja, maka minat aparat daerah untuk menduduki jabatan struktural dapat ditingkatkan dan pengembangan profesionalisme aparat di daerah dapat dipercepat. 6. Perlu ada pengaturan yang membatasi besaran anggaran untuk belanja pegawai. Pengaturan tentang hal ini dapat dilakukan dengan menentukan besaran proporsi anggaran belanja pegawai terhadap APBD. Besaran

belanja pegawai yang sekarang ini berkisar 70-90 persen APBD sudah amat Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
92

merugikan kepentingan publik di daerah. Anggaran untuk belanja pegawai setidak-tidaknya tidak boleh melebihi besaran anggaran yang disediakan untuk pelayanan publik. Pengaturan tentang masa transisi untuk

mendorong daerah agar dapat memperkecil proporsi anggaran untuk belanja pegawai sangat diperlukan.

IV.3.3. Kecamatan

Dasar Pemikiran Peran dan fungsi Kecamatan mengalami pergeseran yang sangat berarti sesuai dengan konteks politik dan legal, sebagaimana diatur dalam UU 5/1974, UU 22/1999, dan UU 32/2004. Dalam UU N0.5/1974 Kecamatan memiliki kedudukan yang sangat kuat, karena Kecamatan diakui sebagai wilayah administratif dan sebagai kepala wilayah Camat juga menjalankan tugas dekonsentrasi. Dalam

kedudukan yang seperti ini, kecamatan memiliki peran yang strategis karena menjadi ujung tombak dari banyak kegiatan pemerintahan. Namun, dalam UU 22/1979 peran Kecamatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kecamatan bukan lagi perangkat dekonsentrasi tetapi berubah menjadi perangkat daerah. Camat sebagai perangkat daerah berperan membantu Bupati/ Walikota menjalankan tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi kemudian dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Camat tidak lagi memiliki kewenangan hirarkhis terhadap Kepala Desa, karena desa diperlakukan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom berbasis adat dan tradisi. Dalam UU 32/2004 Kecamatan tetap diperlakukan sebagai perangkat

daerah dan karena itu, keberadaan dan fungsinya sangat tergantung pada daerah, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Sebagai perangkat daerah, Kecamatan semestinya dapat difungsikan sebagai salahsatu agen pelayanan atau menjadi intermediaries yang penting dalam hubungan antara warga dengan Kabupaten/ Kota. Di daerah tertentu yang Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
93

memiliki lingkungan geografis yang luas dan akses terhadap pusat pemerintahan di Kabupaten sangat sulit Kecamatan dapat menjadi salah satu agen pelayanan publik dan menjadi intermediaries dalam hubungan antara pemerintah dengan warganya. Namun, sayang keberadaan Kecamatan selama ini belum memperoleh apresiasi yang wajar dan dimanfaatkan oleh Kabupaten/ Kota memfasilitasi pelayanan kepada warganya. Sedangkan, potensi yang tersedia di Kecamatan sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi salah satu pilihan bagi Kabupaten/ Kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan pemerintahannya. Bupati/

Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Camat untuk memberi pelayanan kepada warganya.

Identifikasi Permasalahan Salah satu masalah utama dalam pengembangan kecamatan adalah ketidakjelasan tentang kedudukan Camat. Walaupun Camat sudah tidak lagi

sebagai kepala wilayah, namun seringkali masyarakat dan warganya masih menganggap dan mengharapkan Camat untuk berperan sebagai kepala wilayah. Namun, kedudukan Camat sebagai perangkat daerah sekarang ini memiliki kewenangan yang terbatas, yaitu kewenangan atributif untuk menjalankan fungsi pemerintahan umum. Belum banyak Kabupaten/ Kota yang melimpahkan

kewenangan kepada Camat untuk menyelenggarakan pelayanan pemerintah yang berskala Kecamatan. Sedangkan, potensi yang tersedia di Kecamatan sering memadai untuk dijadikan sebagai salah satu agen pelayanan pemerintah. Sebagai akibat dari ketidakjelasan peranannya, Kecamatan pada umumnya juga belum memiliki anggaran yang jelas. Sementara ekspektasi masyarakat untuk mengambil peran tertentu dalam pelayanan dan menjalankan fungsi pemerintahan umum sangat besar. Dalam posisi seperti ini Camat seringkali menghadapi situasi yang sulit untuk dapat memainkan peran sesuai dengan harapan masyarakat. Karena itu, status, fungsi, dan anggaran Kecamatan perlu diperjelas sehingga keberadaannya membawa manfaat bagi masyarakat di wilayahnya.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

94

Analisis Secara paradigmatik, kedudukan Kecamatan mengalami perubahan besar, sejak UU 22/1999 dan UU 32/2004 dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam UU No.5 Tahun 1974 Kecamatan diperlakukan sebagai perangkat dekonsentrasi dan sekaligus sebagai kepala wilayah. Sedangkan dalam UU 32/2004 Kecamatan

diperlakukan sebagai perangkat daerah. Perubahan kedudukan yang mendasar ini tentu memiliki pengaruh terhadap keberadaan Kecamatan dan kontribusinya terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagai perangkat daerah, peran Camat kemudian sangat tergantung pada tindakan yang diambil oleh Bupati/ Walikota, apakah mereka bersedia

mendelegasikan sebagian perannya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa daerah memberdayakan kecamatan dengan memberikan kewenangan delegatif kepada Camat untuk menyelenggarakan pelayanan tertentu. Sebaliknya, banyak Bupati/ Walikota yang tidak mau mendelegasikan kewenangannya kepada Camat sehingga peran Camat menjadi sangat terbatas. Untuk melihat kedudukan Kecamatan dalam penyelenggaraan

pemerintahan di daerah, maka posisi Kecamatan dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda dalam mengelola kegiatan pemerintahan di daerah. Perspektif

pertama menggunakan wawasan kewilayahan dalam melihat kedudukan dan peran Kecamatan. Dalam perspektif ini Kecamatan dapat menjadi SKPD yang digunakan oleh daerah sebagai penyelenggara kegiatan pelayanan tertentu yang berskala kecamatan, seperti pengelolaan kebersihan, penataan ruang, perizinan, administrasi kependudukan, pengelolaan kebersihan, prasarana umum, dan pelayanan lainnya sesuai dengan karakteristik kecamatan yang bersangkutan. Dalam perspektif ini, Kecamatan diberi kewenangan delegatif untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Untuk itu perlu diatur mengenai kewenangan delegatif minimal yang harus dilimpahkan kepada Camat dan kejelasan mengenai sumber pembiayaan, perangkat serta sarana dan prasarana yang diperlukan. Pelimpahan kewenangan bupati/walikota tersebut adalah untuk pelayanan publik yang berskala kecamatan dan sesuai dengan karakteristik Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
95

kecamatan yang bersangkutan. Perspektif ini cocok digunakan menjelaskan peran kecamatan terutama untuk daerah yang memiliki wilayah geografis yang luas dan kendala transportasi bagi warganya untuk dapat mengakses pelayanan pada tingkat Kabupaten/ Kota. Dalam perspektif kedua, yang mengutamakan pendekatan sektoral dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, peran Kecamatan menjadi sangat terbatas. Ketika pelayanan publik dan kegiatan pemerintahan dikelola secara sektoral dan akses masyarakat luas untuk mengakses pelayanan pada tingkat Kabupaten/ Kota sangat mudah maka pengembangan struktur birokrasi berbasis sektoral menjadi pilihan yang cocok. Kabupaten/ Daerah dapat mengembangkan pelayanan di tingkat

Kota seperti pelayanan One-Stop Service (satu pintu) yang

mengabaikan peran Kecamatan. Warga dapat berinteraksi dengan pemerintahnya di tingkat Kabupaten/ Kota dengan mudah dan murah. Yang menjadi masalah sekarang ini adalah ketika daerah mengembangkan struktur kelembagaan yang tidak jelas orientasinya, apakah berbasis sektoral, kewilayahan, atau kombinasi dari keduanya. Jika hal seperti ini terus berlanjut maka daerah akan sulit mengembangkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan interaktif. Konflik antara kepentingan wilayah dan sektor akan

selalu terjadi dan kepentingan warga akan adanya pelayanan publik yang mudah diakses, efisien, dan efektif akan sulit untuk diwujudkan. Karena itu daerah perlu didorong untuk memiliki orientasi yang jelas dalam pengembangan perangkat daerah dan pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk daerah yang secara geografis cakupan wilayahnya sangat luas, akses terhadap pelayanan di ibukota Kabupaten/ Kota sulit dan mahal, dan kendala

transportasi masih sangat berarti, maka penguatan kelembagaan Kecamatan menjadi pusat pelayanan sangat diperlukan. Daerah perlu memberi kewenangan delegatif kepada Kecamatan secara lebih jelas dan rinci. Namun, untuk daerah Kota yang wilayah geografisnya relatif sempit, akses terhadap pelayanan di Kota mudah dan murah, dan transportasi mudah diperoleh maka keberadaan Kecamatan menjadi tidak begitu penting. Daerah dapat mendorong
96

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

penyelenggaraan

pelayanan

publik

yang

tersentralisasi

di

Kota

dengan

menggunakan satu pintu, sehingga penyelenggaraan pelayanan publik menjadi murah, mudah, dan lebih akuntabel.

Usul Penyempurnaan Berdasarkan penjelasan di atas dapat disampaikan usulan penyempurnaan pengaturan mengenai kecamatan sebagai berikut : 1. Tetap menjadikan kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah, tidak dikembalikan lagi menjadi wilayah administrasi pemerintahan seperti pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974. Sebagai SKPD peran Kecamatan perlu

ditempatkan pada kedudukan yang jelas, sesuai dengan kebutuhan daerah. Jika dari pertimbangan kewilayahan, aksesabilitas, dan transportasi keberadaan Kecamatan sebagai pusat pelayanan amat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik tertentu maka Kecamatan perlu diberdayakan sebagai pusat pelayanan publik pada skala kecamatan. 2. Untuk daerah yang ingin menjadikan Kecamatan sebagai pusat pelayanan publik maka Bupati/ Walikota wajib melimpahan kewenangan delegatif tertentu kepada Camat. Beberapa pelayanan seperti: pengelolaan kebersihan,

pemeliharaan prasarana umum, perijinan usaha kecil skala kecamatan dan pengawasan tata ruang dapat didelegasikan kepada Kecamatan. Dalam hal ini daerah harus memberikan perangkat kelembagaan, pembiayaan, dan personel yang memadai kepada Kecamatan agar mereka dapat menjalankan perannya secara optimal. 3. Untuk kawasan Kota yang wilayah geografisnya relatif sempit, pelayanan di kota mudah diakses, dan sarana transportasi mudah diperoleh, daerah dapat mengembangkan pelayanan satu atap dan terpusat di Kota. Dalam konteks ini daerah tidak memerlukan perangkat Kecamatan sebagai pusat pelayanan. Untuk daerah yang seperti ini keberadaan Kecamatan yang kuat menjadi tidak relevan dan karena tugas utama Camat adalah membantu Bupati/ Walikota

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

97

untuk melaksanakan fungsi pemerintahan umum. Pengaturan yang memberi kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan struktur kelembagaan dan perangkat daerah yang berbeda sesuai dengan kondisi daerahnya perlu diatur dengan jelas dalam UU ini. 4. Pembentukan, penggabungan, dan pembubaran Kecamatan perlu diatur dengan ukuran dan kriteria yang jelas agar tindakan yang diambil oleh daerah benar-benar bermanfaat bagi kepentingan warga di daerah. Khusus untuk

penambahan Kecamatan baru, yang cenderung marak di berbagai daerah, perlu dibuat pengaturan yang lebih ketat agar pembentukan Kecamatan baru benar-benar dilakukan untuk kepentingan masyarakat di daerah bukan hanya untuk kepentingan elit di daerah. Selain itu, pembentukan kecamatan perlu melalui proses persiapan sesuai tahap dan parameter yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sehingga daerah kabupaten/ kota tidak dengan mudah membentuk kecamatan baru tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

IV.4. Aparatur Daerah

Dasar Pemikiran Pegawai negeri sipil (PNS) adalah salah satu pilar utama dari NKRI. Sebagai salah satu pilar penyangga NKRI maka keberadaan dan kualitas dari PNS menjadi salah satu aspek strategis dalam mempertahankan kelangsungan NKRI. Kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme, wawasan nasional, dan

kepedulian PNS terhadap masalah bangsa menjadi sangat stretegis dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat Namun, kenyataan

mendorong dan memperkuat pencapaian tujuan tersebut.

menunjukkan bahwa harapan tersebut masih jauh dari yang diinginkan. Munculnya banyak miskonsepsi dalam memahami otonomi daerah telah membuat manajemen kepegawaian menjadi terkotak-kotak pada wilayah yang sempit dan

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

98

menjauhkan dari keinginan membangun aparatur yang berwawasan nasional dan profesional. Untuk mempertahankan PNS sebagai pilar NKRI maka pemerintah perlu mengembangkan manajemen kepegawaian yang bersifat nasional yang

memungkinkan mobilitas pegawai antar daerah otonom berjalan dengan lancar. Mobilitas pegawai antar daerah otonom bukan hanya penting untuk membangun wawasan nasional tetapi juga untuk peningkatan kapasitas pegawai itu sendiri.

Tour of duty and area karenanya harus menjadi bagian yang penting dalam
perencanaan karir PNS dan pengembangan manajemen kepegawaian di daerah. Manajemen kepegawaian di daerah harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan manajemen kepegawaian nasional. Lebih dari itu reformasi kepegawaian harus terintegrasi dengan reformasi birokrasi di daerah. Karena itu pendekatan terpadu perlu dikembangkan agar keduanya dapat berjalan bersama dan sinergis. Peran PNS sebagai pilar dari NKRI hanya akan dapat diwujudkan kalau profesionalisme menjadi nilai penting dalam pengembangan kebijakan dan manajemen kepegawaian. Pemerintah harus dapat mengembangkan kebijakan

dan manajemen kepegawaian yang mampu menjaga netralitas PNS terhadap partai politik dan kegiatan politik. Manajemen kepegawaian harus dapat

meningkatkan kapasitas PNS untuk mengambil jarak yang sama terhadap semua kekuatan politik yang ada di daerah dan bertindak adil terhadap semua kelompok dan golongan yang ada di masyarakat. Manajemen kepegawaian harus dapat menjadikan PNS bertindak independen dari semua kegiatan politik dan melindungi mereka dari campur tangan kekuatan dan kekuasaan politik yang ada di daerah. Untuk dapat meningkatkan profesionalisme maka rekrutmen PNS dan penempatan mereka dalam jabatan publik harus dilakukan berdasarkan Untuk dapat

meritokrasi dan berbasis kompetensi, terbuka, dan kompetitif.

mewujudkan prinsip meritokrasi dan melakukan rekrutmen dan promosi berbasis pada kompetensi maka pemerintah perlu mengembangkan ukuran dan standar kompentesi untuk jabatan publik. publik yang dinilai strategis. Pemerintah dapat memulainya dari jabatan

Rekrutmen dan promosi jabatan publik secara


99

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

terbuka dapat dilakukan dengan memberi peluang yang sama kepada semua yang memenuhi persyaratan kompetensi untuk bersaing memperebutkan jabatan publik yang tersedia. Persaingan yang terbuka perlu didorong agar dapat menjadi insentif bagi PNS untuk meningkatkan kapasitas dirinya sesuai dengan aspirasi karir yang dimilikinya. Rekrutmen dan promosi harus berbasis pada jabatan. Analisis jabatan perlu dilakukan secara periodik untuk menentukan kebutuhan aparatur secara pas baik jumlah ataupun klasisifikasinya. Untuk mempercepat pengembangan

profesionalisme maka sistim penggajian harus dikembangkan berdasarkan atas kinerja. Besaran gaji dan insentif yang diberikan harus sebanding dengan beban kerja, tanggungjawab, dan pencapaian kinerja.

Identifikasi Permasalahan Rendahnya profesionalisme aparatur daerah menjadi persoalan utama dalam manajemen kepegawaian daerah. Tidak adanya standar kompetensi untuk jabatan struktural dan fungsional mempersulit penerapan prinsip meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi pejabat publik di daerah. Kepala daerah memiliki ruang yang sangat besar untuk menempatkan pejabat publik sesuai dengan selera dan kepentingannya. Dalam suasana politisasi yang sangat kuat sekarang ini,

sebagai akibat dari eforia Pilkada, ruang yang tersedia bagi kepala daerah sering dimanfaatkan untuk menempatkan pejabat daerah berdasarkan ukuran-ukuran subyektif seperti loyalitas, afiliasi politik, dan kemampuan membayar untuk menduduki jabatan tersebut.14 Fenomena seperti ini tentu mempersulit upaya

pengembangan profesionalisme aparatur daerah. Pelaksanaan pilkada yang membutuhkan sumberdaya yang besar dan mobilisasi masa yang sangat banyak telah memberi peluang bagi para calon kepala daerah untuk menarik para pejabat karir dalam struktur pemerintah di daerah untuk terlibat terlalu jauh dalam kegiatan pilkada, sebagai bagian dari tim sukses, menjadi pasangan calon kepala atau wakil kepala daerah, dan pendukung pencalonan

GDS, 2002 dan GAS 2006 yang diselenggarakan oleh PSKK UGM menunjukan adanya penguatan subyektifitas dalam rekrutmen dan promosi pejabat publik pasca pelaksanaan otonomi daerah.

14

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

100

mereka sebagai kepala daerah. Bagi para pejabat birokrasi pilkada juga menjadi peluang bagi mereka untuk dapat membangun akses terhadap kekuasaan politik yang diharapkannya nanti dapat mempercepat promosi mereka kedalam jabatan birokrasi yang lebih strategis. Banyak pejabat birokrasi yang kemudian secara

langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pilkada dan menjadi bagian dari upaya pemenangan calon kepala daerah yang didukungnya. Fenomena seperti ini lazim terjadi di daerah dan membuat politisasi birokrasi di daerah menjadi sangat intens dan mengganggu upaya untuk mewujudkan aparatur yang profesional tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu. Sedangkan tanpa aparatur yang profesional amat sulit membayangkan pelaksanaan otonomi daerah akan dapat mendorong terjadinya kemajuan daerah. Masalah lain yang perlu diselesaikan dalam kepegawaian di daerah adalah rendahnya mobilitas aparat birokrasi di daerah. daerah, mobilitas pegawai Setelah pelaksanaan otonomi Rendahnya

antar daerah menjadi sangat rendah.

mobilitas pegawai antar daerah dikawatirkan membuat wawasan nasional dari para pejabat birokrasi daerah menjadi sangat kurang. Hal ini tentu sangat merugikan dilihat dari kepentingan untuk mempertahankan integrasi nasional dan juga dari pengembangan profesionalisme aparatur daerah. Profesionalisme birokrasi menuntut aparatur memiliki pengalaman penugasan yang berbeda dalam bidang dan di wilayah yang berbeda. Pengaturan perlu dilakukan untuk mendorong adanya mobilitas pegawai antar daerah. Rendahnya mobilitas pegawai antar daerah sering terkait dengan sistim rekrutmen yang tertutup dan berbau KKN. Rekrutmen yang tertutup membuat jabatan yang tersedia di satu daerah tidak dapat diakes oleh daerah lainnya. Kondisi seperti ini sering menutup kesempatan bagi PNS yang memiliki pengalaman dan kompeten di daerah lain untuk dapat bersaing secara wajar menduduki jabatan tersebut. Meluasnya praktik KKN melalui rekrutmen dan

promosi pejabat publik di daerah sering mendorong daerah menjadi semakin tertutup dalam melakukan rekrutmen dan promosi pejabat publik di daerah.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

101

Analisis Memiliki PNS yang netral, profesional, dan berdedikasi tinggi sebagai aparat negara dalam mengabdi pada masyarakat adalah harapan masyarakat luas yang tampaknya masih sangat jauh untuk menjadi realitas. 15 UU No. 32 Tahun 2004 belum memiliki pengaturan yang mampu mengarahkan pengembangan

profesionalisme dari PNS di daerah. Masih banyak ruang yang tersedia bagi berbagai pihak untuk melakukan inflitrasi politik dalam kehidupan birokrasi pemerintah di daerah. Dalam rekrutmen pejabat di daerah sering terjadi Bupati/ Walikota/ Gubernur menempatkan pejabat kedalam jabatan publik tidak berdasar pada pertimbangan kompetensi dan profesionalisme tetapi menggunakan ukuran subyektif seperti afiliasi politik, kesamaan etnis, dan kekerabatan. Setelah

pelaksanaan otonomi daerah, kecenderungan menguatnya pertimbangan subyektif dalam rekrutemen dan penempatan pejabat publik sangat kuat. GDS 2002 dan GAS 2006 telah dilakukan di banyak kabupaten/ kota dan provinsi membuktikan bahwa subyektivitas dalam penempatan para pejabat publik di daerah sudah sampai pada titik yang sangat merugikan pengembangan profesionalisme di dalam birokrasi pemerintah. Untuk itu, upaya pencegahan dan pencarian solusi terhadap masalah ini perlu segera dilakukan. Belum tersedianya peraturan yang mengatur hubungan antara pejabat politik (elected officials) dengan pejabat karir memang menjadi salah satu sebab dari menguatnya politisasi birokrasi di daerah. Efuria demokrasi telah mendorong para politisi baik yang ada di DPRD ataupun di eksekutif (Bupati/ Walikota/ Gubernur) untuk melakukan intervensi kehidupan birokrasi untuk kepentingan politiknya. Dalam pilkada banyak Bupati/ Walikota yang menekan para pejabat karir seperti Sekda dan Kepala Dinas yang dibawahnya untuk melakukan berbagai tindakan politis yang seharusnya tidak dilakukan oleh mereka sebagai seorang birokrat yang menggunakan Walikotanya.
Berbagai masalah dalam manajemen kepegawaian terkait dengan netralitas, rendahnya profesionalisme, dan mobilitas pegawai dapat dibaca dalam Siti Zuhro, Kepegawaian, paper tidak d iterbitkan
15

profesional. resources

Misalnya, dengan menjadi tim sukses daerah untuk mendukung pencalonan

dan

Bupati/

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

102

Pada sisi lain, banyak pejabat karir yang melihat pilkada sebagai peluang untuk melakukan manuver politik dengan mendukung kegiatan pencalonan Bupati/ Walikota/ Gubernur. Para pejabat birokrasi berharap dengan menjadi tim sukses mereka akan memiliki akses terhadap kekuasaan dan memperoleh jabatan yang strategis. Mereka berpikir bahwa akses terhadap kekuasaan dapat menjadi jalan tol bagi pengembangan karir mereka dalam birokrasi pemerintah di daerah. Bagi para pejabat birokrasi ini membangun akses terhadap kekuasaan menjadi jalur yang lebih mudah dan cepat untuk mengembangkan karir daripada menunjukan kinerja dan profesionalismenya. Kecenderungan diatas harus diakhiri. Hubungan antara pejabat karir dan politik di daerah harus diatur dengan jelas sehingga dinamika hubungan keduanya dapat mendorong peningkatan kinerja pemerintah daerah. Untuk itu perlu dibuat kerangka hukum yang mengatur agar hak-hak dan kewenangan politik dari

Gubernur/ Bupati/ Walikota tidak digunakan untuk kepentingan politik partai. Hubungan antara pejabat politik dengan pejabat karir harus diatur dengan jelas dan pengaturan itu harus dapat menjadi terwujudnya aparatur daerah yang profesional. Untuk itu, rekrutmen pejabat birokrasi di daerah harus mengikuti prinsip-prinsip meritokrasi, terbuka, dan konpetitif.

Usulan Penyempurnaan Penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004 seyogyanya diarahkan pada pengembangan sistim kepegawaian daerah yang menghargai profesionalisme dan menjauhkan birokrasi pemerintah dari intervensi politik yang berorientasi pada kepentingan politik sempit dari aktor-aktor politik daerah, seperti Gubernur/ Bupati/ Walikota dan para anggota DPRD. Penyempurnaan juga dilakukan untuk mencegah para pejabat karir memanfaatkan peluang politik yang terbuka dengan adanya pilkada untuk membangun akses terhadap kekuasaan. Kecenderungan para pejabat karir menjadi tim sukses Gubernur/ Bupati/ Walikota dalam pilkada baik secara terang-terangan atau diam-diam dan menggunakan sumberdaya publik untuk memenangkan calon yang didukungnya harus dihindari. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
103

Untuk itu ada beberapa pengaturan yang perlu dibuat: 1. Membuat pengaturan yang jelas dan tegas tentang hubungan antara pejabat politik dan aparat birokrasi di daerah yang mampu menjamin terwujudnya aparatur daerah yang profesional. Penggunaan hak-hak politik yang dimiliki oleh Gubernur, Bupati/ Walikota tidak boleh dilalukan untuk kepentingan politik yang sempit, seperti kepentingan partai, kelompok, dan pribadi tetapi harus dilakukan dalam rangka mewujudkan aparatur daerah yang profesional, peduli kepada kepentingan publik, dan berwawasan kebangsaan. 2. Mengembangkan terintegrasi konsep sistim pengembangan Aparatur daerah aparatur daerah adalah bagian yang yang

secara

nasional.

takterpisahkan dari aparatur negara. Untuk itu, perlu ada pengaturan yang memungkinkan pemerintah mengendalikan pengembangan dan distribusi aparatur daerah dengan klasifikasi dan jabatan tertentu. wakil pemerintah pusat harus diberi kewenangan Gubernur sebagai untuk merekrut,

mengembangkan, dan mendistribusikan aparatur daerah dengan klasifikasi dan jabatan tertentu di wilayahnya. Menteri Dalam Negeri atas nama pemerintah dapat merekrut dan mendistribusikan aparatur daerah dengan klasifikasi dan jabatan tertentu secara lintas provinsi. 3. Perlu ada pengaturan tentang klasifikasi jabatan strategis baik struktural, fungsional, dan profesional yang dinilai strategis dan dapat dimobilisasi untuk kebutuhan daerah dan nasional. Mendagri dan Gubernur atas nama

pemerintah dapat mendistribusikan aparatur daerah yang memiliki jabatan strategis di dalam wilayah yang menjadi kewenangannya. Gubernur dapat

memindahkan aparatur yang menduduki jabatan struktural strategis, seperti kepala SKPD, ke kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya untuk

pengembangan kapasitas aparatur dan daerah. Hal yang sama dapat juga dilakukan untuk jabatan fungsional dan profesional strategis tertentu, seperti: dokter spesialis, akuntan, perencana, dan keahlian langka lainnya. 4. Perlunya pengaturan mengenai standard kompetensi dalam jabatan-jabatan dalam jajaran birokrasi pemerintah daerah, terutama untuk jabatan yang Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
104

strategis.

Ukuran kompetensi yang diperlukan untuk menduduki jabatan

strategis tertentu harus didefinisikan dengan jelas. Definisi ukuran kompetensi penting dalam perencanaan dan pengembangan karir pejabat birokrasi pemerintah. Ukuran ini juga dapat mendorong para pegawai untuk

mengembangkan kompetensinya sesuai dengan aspirasi karir masing-masing. 5. Mendorong daerah untuk mengembangkan sistim rekrutmen dan promosi yang terbuka, kompetitif, berbasis pada kompetensi dan posisi. Adanya sistim

rekrutmen dan promosi yang terbuka akan dapat mendorong para pejabat birokrasi memiliki akses yang sama terhadap peluang karir yang tersedia. Mereka yang berada di satu kabupaten/ kota akan dapat mengetahui dan

memiliki akses terhadap lowongan yang ada di daerah lainnya. Keterbukaan juga dapat menjamin rekrutmen dan promosi menjadi lebih fair dan jujur. Sedangkan sistim rekrutmen yang kompetitif diharapkan dapat mendorong

terjadinya kompetisi yang sehat dan wajar dalam promosi jabatan birokrasi pemerintah. Kompetisi yang sehat akan mendorong mereka melakukan

investasi untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan aspirasi karir mereka masing-masing. Sistim yang berbasis kompetensi kalau dilakukan dengan

konsisten dapat menjadi landasan bagi daerah dalam membangun aparatur yang profesional. 6. Mendorong daerah mengembangkan manajemen kepegawaian yang mampu mendorong adanya profesionalisme, terbuka, kompetitif, dan apolitis. Daerah didorong untuk mampu mengembangkan sistim insentif berbasis pada kinerja.

IV.5 Peraturan Daerah

Dasar Pemikiran Setiap daerah otonom memiliki kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan ini memberi daerah hak untuk membuat produk hukum untuk menyelenggarakan otonomi yang dimilikinya, berupa Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
105

peraturan daerah.

Daerah membentuk peraturan daerah untuk mengatur dan

mengurus fungsi-fungsi pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah. Namun demikian, peraturan daerah sebagai bagian dari sistim peraturan perundangan-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferiori). Bahkan, peraturan daerah seharusnya dibuat untuk melaksanakan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi. Terkait dengan muatan peraturan daerah, Pasal 12 UUNo. 10/2004 menyatakan bahwa muatan dari peraturan daerah adalah: a] penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b] menampung kondisi khusus daerah; serta c] penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
16

. Dengan demikian ketaatan terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi prasyarat yang utama dalam penyusunan Peraturan Daerah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjaga konsistensi dan koherensi antara peraturan daerah dengan peraturan yang lebih tinggi melalui fungsi pembinaan dan pengawasan (Binwas). Agar peraturan daerah yang dibuat oleh daerah mencerminkan aspirasi dan kebutuhan daerah maka daerah harus melibatkan para pemangku kepentingan yang ada di daerahnya dalam membuat peraturan daerah. Representasi berbagai kelompok kepentingan dalam proses pembuatan peraturan daerah penting untuk dijaga agar peraturan daerah sungguh-sungguh menggambarkan kebutuhan daerah dan mampu mendorong pembangunan daerah sebagaimana diharapkan oleh warganya. Untuk itu, konsultasi publik dalam pembuatan peraturan daerah wajib dilakukan.

Identifikasi Permasalahan Dalam negara kesatuan produk hukum yang dihasilkan oleh daerah dibuat dalam upaya melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih
16

Yance Arizona , Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/Disparitas Pengujian Perda.pdf

dalam 106

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

tinggi, karenanya tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, dalam kenyataannya selama pelaksanaan otonomi daerah banyak sekali peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Banyak peraturan daerah yang kemudian terpaksa dibatalkan oleh pemerintah, karena dinilai menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Lebih dari itu, banyak kelompok dalam masyarakat yang mengeluh dan merasa dirugikan oleh munculnya berbagai peraturan daerah yang dinilai tidak berwawasan kebangsaan.17 Berbagai masalah lain tersebut terjadi karena pembentukan peraturan daerah sering tidak melibatkan pemangku kepentingan. GAS 2006 menunjukkan proses pembuatan peraturan daerah cenderung sangat elitis dan karenanya, peraturan daerah sering kurang mampu menjawab berbagai persoalan dan kebutuhan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah sering hanya dijadikan sebagai formalitas dan tidak substantif. 18 Berbagai kelompok kepentingan sering mengeluh karena banyak masukan dan pemikiran yang disampaikan dalam public hearing di DPRD tidak diakomodasi

tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, ketika peraturan daerah tersebut ditetapkan banyak protes dan resistensi muncul dari berbagai kelompok masyarakat. Masalah lain adalah kecenderungan peraturan daerah dibuat untuk mencapai tujuan yang sempit dan jangka pendek. Banyak perda terkait dengan pajak dan retribusi yang dibuat oleh daerah cenderung memperburuk iklim investasi, karena tidak ramah terhadap investasi dan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Dalam menyikapi perda seperti ini UU 32/2004 sebenarnya telah memiliki pengaturan tentang
17

kewenangan pemerintah untuk membatalkan Peraturan

Salah satu contohnya adalah Perda Syariat. Di Desa Garuntungan, Kecamatan Kindang, Bulukumba, wanita kristen yang akan menghadiri acara resmi yang diadakan puskesmas setempat di sodorkan jilbab, meskipun masyarakat tahu bahwa wanita tersebut beragama kristen. Padahal, pasal 13 perda tersebut menyebutkan bahwa perda hanya berlaku bagi masyarakat islam. Bahkan, di ayat 2 menegaskan bahwa masyarakat yang bukan islam pakaiannya disesuaikan dengan agamanya masing-masing. Sumber ;The Wahid Institute, bekerja sama dengan The Asia Foundation dan Majalah GATRA. Depancasilaisasi Lewat Perda SI. http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatraedisi-vii.pdf 18 Menyangkut Perda Syariat, Denny Indrayana menemukan fakta bahwa dalam pembuatannya terjad i manipulasi dengan mendatangkan orang untuk membawa aspirasi yang kemudian diklaim sebagai aspirasi masyarakat. Sumber: Denny Indrayana. Ada Unsur Melecehkan Al Quran dan Hadist. http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatraedisi-vii.pdf

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

107

daerah yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan perundangan yang yang lebih tinggi. Namun mekanismenya terlalu rumit sebab pembatalan Perda harus dengan Peraturan Presiden dan dibatasi waktu 60 (enam puluh) hari.

Analisis Banyak studi menunjukan bahwa keterbatasan dalam memahami

kedudukan produk hukum daerah dalam konteks peraturan perundang-undangan, orientasi pada kepentingan yang sempit dan berjangka pendek, dan kegagalan memahami kepentingan umum sering membuat produk hukum daerah, seperti peraturan daerah, gagal memenuhi azas pembentukan peraturan daerah. Konflik antar susunan pemerintahan sering terjadi karena peraturan daerah dan peraturan kepala daerah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Bahkan, tidak jarang kasus pertentangan antar produk hukum daerah dengan produk hukum yang lebih tinggi ini menyeret pejabat daerah ke pengadilan. Kontroversi juga banyak terjadi di daerah sebagai akibat dari ketidakpuasan pemangku

kepentingan di daerah terhadap peraturan daerah. Demonstrasi dan protes dari berbagai kelompok kepentingan di daerah yang menuntut pencabutan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah sering terjadi di banyak daerah. Dalam mengatasi persoalan yang muncul terkait dengan peraturan daerah yang dinilai merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, ada dua pilihan yang tersedia yaitu: executive

review atau judicial review. Argumentasi dari pilihan yang pertama adalah bahwa
dalam negara kesatuan daerah memperoleh kewenangan sebagai akibat dari penyerahan kewenangan yang diberikan oleh presiden sebagai kepala

pemerintahan.

Karena itu pemerintah berhak menilai apakah daerah telah

menggunakan kewenangan yang diberikannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU. Sedangkan argumentasi dari pilihan kedua adalah bahwa

peraturan daerah adalah produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

108

daerah 19 , karenanya tidak dapat dibatalkan dengan mudah oleh pemerintah. Walaupun daerah menerima pelimpahan kewenangan dari pemerintah mereka dapat juga melakukan judicial review jika keberatan terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang membatalkan peraturan daerah yang dibentuknya. Perdebatan tentang bentuk pengawasan terhadap peraturan daerah tentu menambah kerumitan dari masalah yang dihadapi sekarang ini dalam

pembentukan peraturan daerah. Pengalaman selama ini dengan menerapkan

executive review pemerintah masih kesulitan mengendalikan pembentukan


peraturan yang dinilai merugikan kepentingan umum. Salah satunya karena pencabutan peraturan daerah menurut UU 10/2004 dilakukan dengan peraturan presiden. Persoalan menjadi semakin rumit dan kompleks karena jumlah

peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum tiap tahunnya dapat berjumlah ribuan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2008 Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Daerah telah mengevaluasi lebih dari 7200 peraturan dan rencana peraturan daerah dan merekomendasi 2000 perda tentang pajak dan retribusi untuk dicabut karena merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.20 Departemen Dalam Negeri, dari 1999-Maret 2006 telah membatalkan 506 peraturan daerah dan menilai 393 peraturan daerah lainnya sebagai layak dibatalkan21. Melihat banyaknya kasus penerbitan peraturan daerah yang dinilai melanggar kepentingan umum maka pengaturan pencabutan peraturan daerah yang bermasalah perlu dibuat lebih sederhana, efisien, dan tanpa mengurangi hak-hak daerah untuk membuat produk hukum yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Untuk mencegah agar perda dan peraturan KDH tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi maka pemberdayaan pemerintahan
Kontroveersi tentang kedudukan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah atau sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dapat dibaca dalam bab tentang DPRD. 20 Data yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai Desember 2006 terdapat 9.617 Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi. Dari jumlah ini sampai akhir tahun 2007 sejumlah 761 perda telah dibatalkan
21 19

http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=search&query=pem batalan%20perda

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

109

daerah melalui peningkatan kapasitas pembentukan peraturan daerah perlu dilakukan. Peningkatan kapasitas teknis pemerintahan daerah dalam memahami materi kewenangan yang dimilikinya (rationae materie), wilayah wewenangnya (rationae locus), tenggang waktu kewenangannya ( rationae temporis ), dan

prosedur pembentukannya. Sebagaimana ditemukan dalam berbagai penelitian, KDH dan anggota DPRD yang berwenang untuk secara bersama-sama membentuk peraturan daerah sering tidak memahami berbagai masalah teknis dalam pembentukan peraturan daerah dan peraturan KDH. Karena itu penguatan

kapasitas teknis dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi kesalahan dalam pembentukan peraturan daerah dan peraturan KDH. Dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan banyaknya peraturan daerah yang bermasalah, pemerintah dapat menggunakan asas preventif dan asas represif. Peraturan daerah yang terkait dengan kepentingan umum dan dampak dari kesalahan dalam peraturan daerah langsung dirasakan oleh masyarakat dan ketika kerusakan terjadi tidak mudah dikembalikan, seperti antara lain: peraturan daerah tentang pajak dan retribusi, tata ruang, dan APBD maka asas preventif dapat diberlakukan. Sedang untuk peraturan daerah lainnya asas represif lebih cocok untuk diterapkan karena lebih efisien, mudah, dan akuntabel. Mengingat banyaknya kasus peraturan daerah yang bermasalah yang tidak mungkin diselesaikan dengan peraturan presiden maka Undang Undang pemerintah daerah dapat membuat pengaturan yang lebih sederhana dengan melimpahkan kewenangan presiden dalam pengendalian peraturan daerah kepada Menteri Dalam Negeri untuk peraturan daerah provinsi dan Gubernur untuk peraturan daerah kabupaten/ kota.

Usulan Perubahan 1. Perlu ditegaskan secara jelas bahwa fungsi Perda sebagai produk hukum

daerah adalah penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dibentuk untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan ke daerah. Sebagai pihak yang melimpahkan
110

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

kewenangan kepada daerah pemerintah tentu dapat membatalkan peraturan daerah yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum (executive review). Pengaturan yang lebih jelas tentang mekanisme dan prosedur pembatalan perda yang bertentangan dengan peraturan perundangan perlu dibuat sederhana, terbuka,

menggunakan kriteria yang jelas, dan memperhatikan kedudukan dan susunan pemerintahan yang ada. 2. Pengaturan mengenai penggunaaan asas preventif dan asas represif dalam pembatalan peraturan daerah dan produk hukum daerah lainnya perlu dibuat dengan jelas. Pertimbangan untuk menggunakan asas represif atau preventif tergantung pada dampak dari kerugian yang ditanggung oleh masyarakat dan risiko pemulihan dari dampak negatif dari penerbitan peraturan daerah yang bermasalah. Asas preventif sebaiknya hanya dilakukan pada peraturan daerah dalam bidang tertentu, seperti perda tentang pajak dan retribusi daerah, APBD, dan tata ruang. Selebihnya seharusnya menggunakan asas represif. 3. Perlu ada pengaturan yang lebih jelas mengenai hak-hak warga untuk terlibat dalam proses pembuatan peraturan daerah. KDH dan DPRD dalam

membentuk peraturan daerah perlu melibatkan pemangku.kepentingan yang terkait. Hak-hak warga dan pemangku kepentingan dalam proses

pembentukan Perda harus dijamin sehingga materi Perda benar-benar merefleksikan kepentingan umum. Pemerintahan daerah wajib membuat program peraturan daerah (Proturda) dan mensosialisakan kepada warga di daerahnya sehingga mereka mengetahui dengan jelas mengenai peraturan daerah yang akan dibentuk di daerahnya. 4. Pembatalan perda kabupaten/kota untuk efisiensi dapat dilimpahkan oleh Presiden kepada |Gubernur selaku wakil pusat. Namun apabila daerah merasa kurang puas dapat melakukan appeal ke Menteri Dalam Negeri. Untuk perda provinsi Presiden melimpahkan pembatalannya kepada Menteri Dalam Negeri dan apabila tidak puas dapat melakukan appeal ke Presiden. Mekanisme ini

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

111

merupakan executive review dan dapat diikuti dengan yudicial review ke Mahkamah Agung. 5. Untuk memudahkan pemerintah mengetahui jumlah perda yang diterbitkan oleh daerah, maka setiap perda sebelum diundangkan dalam lembaran daerah harus mendapatkan nomor registrasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri untuk perda provinsi dan pemda provinsi untuk perda kabupaten/kota.

IV. 6 Perencanaan Pembangunan Daerah

Dasar Pemikiran Di Indonesia, ada dua jenis perencanaan yang dibuat oleh pemerintah, perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan tata ruang. Kedua jenis perencanaan ini memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain tetapi sekaligus memiliki perbedaan yang tegas. Perencanaan yang pertama diatur dalam dalam UU25/2004, yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam UU ini diatur mengenai perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan, serta harmonisasi dan sinkronisasi antar jenjang waktu perencanaan tersebut. Kemudian diatur juga mengenai harmonisasi antara perencanaan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten./kota, sehingga membentuk suatu sistem perencanaan pembangunan nasional yang harmonis. Perencanaan

pembangunan kemudian diterjemahkan dalam kebijakan penganggaran, sebagai instrumen investasi pemerintah. Jenis perencanaan yang kedua adalah perencanaan tata ruang (spatial

planning), yang diatur dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Dalam UU ini,
penataan ruang diselenggarakan oleh Negara melalui berbagai jenjang pemerintahan tetapi tetap melibatkan peran masyarakat dalam pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasannya. Prinsip yang dikedepankan dalam UU ini adalah harmonisasi dalam pemanfaatan untuk ruang, sehingga lebih

mengesampingkan

kebebasan daerah

mengeksploitasi ruang untuk


112

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

kepentingannya semata. Hal ini karena karakteristik ruang yang bersifat kontinum dan tidak dibatasi oleh wilayah administratif. Dalam rangka menjamin terjadinya harmonisasi, pemerintah menggunakan berbagai instrumen pengendalian: insentif, disinsentif, sanksi administratif, sangsi perdata, dan pidana. Pengendalian dalam perencanaan tata ruang relatif lebih ketat karena ruang adalah sumberdaya yang akan menjadi obyek pemanfaatan untuk mencapai tujuan pembangunan. Sebagai konteks yang perlu dicatat untuk masukan ke dalam revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah bahwa segala ketentuan yang akan memuat mengenai perencanaan, hendaknya mengacu dan tidak bertentangan dengan UU 25/2004 dan UU 26/2007. Keduanya adalah undang-undang yang lebih khusus mengatur perencanaan. Pengaturan tentang perencanaan daerah yang akan dibentuk dalam revisi UU N0.32/2004 perlu dijaga konsistensinya dengan kedua undang-undang perencanaan diatas dan bahkan, diharapkan dapat memberi dukungan implementasi terhadap kedua undang-undang itu.

Identifikasi Permasalahan Walaupun UU 32/2004 telah mengatur perencanaan pembangunan secara cukup rinci, namun dalam pelaksanaannya masih ada beberapa hal memperlukan penyempurnaan. Pertama, keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan

pembangunan daerah dengan pembangunan nasional dan antara perencanaan kabupaten/ kota dengan perencanaan provinsi masih perlu ditingkatkan. Selama ini banyak daerah yang perencanaan pembangunan daerahnya belum mengacu kepada rencana pembangunan provinsi dan nasional. Dalam perencanaan tata

ruang, masih banyak daerah yang belum menggunakan rencana tata ruang yang lebih tinggi sebagai dasar dalam mengembangkan kegiatan pembangunan daerahnya. Akibatnya, konsistensi dan sinerji dalam pembangunan daerah belum dapat secara optimal diwujudkan. Kedua, kebijakan pembangunan daerah sebagaimana dinyatakan dalam RPJMD dan RKPD sering belum dikaitkan dengan rencana tata ruang daerah. Pengintegrasian antara dokumen RPJMD dan RKPD dengan dokumen tata ruang Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
113

sering belum dapat dilakukan dengan optimal. memiliki dimensi ruang belum

Kegiatan pembangunan yang

dapat ditempatkan dalam lokasi yang telah

ditentukan dalam rencana tata ruang. Kemampuan untuk mengisi rencana tata ruang dengan kegiatan pembangunan yang sesuai masih sangat rendah. Akibatnya, banyak kegiatan pembangunan daerah yang kurang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah dibuat dan menimbulkan berbagai masalah lingkungan yang merugikan kepentingan masyarakat. Ketiga, dokumen rencana pembangunan daerah sering belum secara jelas memuat secara rinci hasil pembangunan yang diharapkan (outcomes), keluaran yang dihasilkan, dan masukan. Akibatnya keterkaitan antara masukan, keluaran, dan hasil yang diharapkan belum dapat diamati dengan mudah oleh para pelaksana dan pemangku kepentingan. Bahkan, dalam mendefinisikan masukan untuk kegiatan pembangunan daerah sering belum memasukan masukan diluar pendanaan, seperti aset dan peraturan perundangan yang spesifik dibuat untuk mendukung kegiatan pembangunan. Belum dimasukannya aset seperti barang milik daerah, tanah, sumber daya alam yang pengelolaannya dikuasakan pada daerah sebagai masukan yang penting dalam pembangunan daerah membuat kegiatan pembangunan daerah cenderung menguntungkan para pengusaha besar di daerah. menunjukan terjadinya penguasaan aset daerah yang Banyak kasus dalam

digunakan

pembangunan daerah yang manfaatnya kurang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Karena itu definisi tentang masukan untuk kegiatan pembangunan seharusnya mencakup tidak hanya pendanaan tetapi juga aset dan sumberdaya lainnya yang dikuasai oleh daerah. Keempat, banyak dokumen rencana pembangunan daerah yang belum dibuat atas dasar data yang akurat dan reliabel. Para perencana pembangunan daerah sering mengalami kendala untuk membuat rencana pembangunan daerah yang berbasis pada informasi yang akurat dan reliabel karena keterbatasan data yang dimilikinya. Tidak tersedianya data yang lengkap dan dikumpulkan secara berkala membuat para perencana mengalami kesulitan dalam membuat rencana Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
114

pembangunan yang mampu menjawab secara tepat masalah yang berkembang di daerah. Kelima, dalam tataran empirik dewasa ini kurang tercipta sinerji dan harmonisasi antara perencanaan pembangunan pusat dan daerah dan antara daerah. Masing-masing daerah berjalan sesuai dengan rencana dan prioritasnya sendiri-sendiri. Akibatnya sangat sulit untuk merealisasikan target-target nasional yang ditetapkan pemerintah pusat karena adanya fragmentasi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh adanya pergantian elit daerah baik kepala daerah maupun DPRD dengan prioritas yang mungkin berbeda dengan elit pendahulunya. Akibatnya tidak akan terjadi kontinuitas perencanaan dan pembangunan di daerah dan pada gilirannya akan menganggu pencapaian target pembangunan nasional secara keseluruhan. Keenam, kebingungan sering terjadi di daerah terkait dengan sumber legitimasi dari RPJMD. UU 32/2004 menentukan bahwa RPJMD harus disahkan melalui peraturan daerah sementara UU N0.25 Tahun 2004 tentang perencanaan pembangunan nasional mengatakan bahwa RPJMD cukup disahkan melalui peraturan kepala daerah. Perbedaan konsep RKPD di dalam kedua UU tersebut, dimana UU 25/2004 mendefinisikan RKPD sebagai rencana kerja pembangunan daerah sementara UU 32/2004 mendefinisikan RKPD sebagai rencana kerja pemerintah daerah.

Analisis Kesulitan pemerintah dalam menjaga konsistensi perencanaan

pembangunan daerah dengan nasional dan antar daerah telah lama dirasakan oleh banyak pihak22. UU 32/2004 dan UU N0. 25/2004 telah mengatur perlunya

daerah membuat RPJPD, RJPMD, RKPD, dan Renja SKPD namun keduanya memiliki pengaturan yang berbeda terkait dengan basis legalitas dari dokumen perencanaan dan definisi dari konsep yang dipergunakan. Perbedaan tersebut

sering membuat kebingungan aparat di daerah. Revisi UU 32/2004 diharapkan


22

Jeremias T. Keban, Perencanaan Pembangunan Daerah, paper tid ak diterbitkan 115

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

dapat memberi solusi terhadap perbedaaan tersebut sehingga daerah dapat memiliki dasar hukum yang jelas dalam menyiapkan dokumen perencanaan. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang keterkaitan antara rencana pembangunan dengan rencana tata ruang juga sering menjadi sumber dari keengganan daerah untuk mengisi rencana tata ruang daerah. Akibatnya,

kegiatan pembangunan daerah dengan rencana tata ruang yang ada sering tidak nyambung dan menghasilkan masalah baru yang merugikan kepentingan publik di daerah. Adanya pengaturan yang mengamanatkan daerah untuk mengisi perencanaan tata ruang dengan kegiatan pembangunan sosial ekonomi yang relevan akan dapat mendorong daerah untuk tunduk pada dokumen tata ruang yang dimilikinya. Pengaturan ini diharapkan dapat juga mendorong

terintegrasinya pembangunan daerah bukan hanya dengan rencana tata ruang tetapi juga dengan rencana pembangunan nasional. Terbatasnya informasi dan data yang valid dan terbarukan menjadi salah satu penyebab dari rendahnya kualitas perencanaan pembangunan daerah. Tidak tersedianya data yang mengukur hasil pembangunan yang diharapkan (outcomes), keluaran, dan masukan sering membuat para pelaksana dan pemangku

kepentingan mengalami kesulitan untuk memahami rasionalitas dari kegiatan pembangunan daerah. Hal ini juga memberi peluang kepada para perencana dan pelaku pembangunan untuk melakukan praktik KKN dengan menitipkan proyekproyek pembangunan yang relevansinya dengan prioritas pembangunan daerah amat rendah. Untuk mengurangi praktik KKN dalam perencanaan maka perlu pengaturan yang mengharuskan dokumen rencana pembangunan daerah memuat ketiga komponen tersebut diatas. Pemuatan data tersebut akan dapat membuat para pemangku kepentingan memahami rasionalitas kegiatan pembangunan daerah. Disamping itu, pengaturan perlu dibuat untuk memastikan bahwa daerah memperhitungkan masukan diluar pendanaan dalam kegiatan pembangunan daerah. Selama ini banyak daerah yang mengabaikan pentingnya inventarisasi dan penilaian aset dalam merencanakan kegiatan pembangunan daerah. Aset Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
116

daerah atau aset negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada daerah kurang diperhitungkan dalam pembangunan daerah. Aset tersebut sering dianggap sebagai given dan karenanya penilaian yang wajar dari aset tersebut dan

kontribusinya terhadap pembangunan daerah belum dihargai secara wajar. Akibatnya, banyak pemanfaatan aset daerah berupa tanah, sumberdaya alam, dan barang daerah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak swasta yang manfaatnya bagi kepentingan publik belum dapat dirasakan secara meluas. Untuk mendorong daerah melakukan berbagai perubahan dan perbaikan sebagamana tersebut diatas, maka daerah harus didorong untuk melakukan dokumentasi data yang penting bagi kegiatan perencanaan pembangunan. Data tentang indikator pencapaian hasil pembangunan, keluaran, masukan baik pendanaan ataupun diluar pendanaan seperti barang daerah, sumberdaya alam, dan aset-aset lainnya yang pengelolaannya dikuasakan pada daerah sangat penting didokumentasikan dengan baik. Data-data tersebut perlu dikumpulkan secara berkala dan bersifat terbuka bagi pemangku kepentingan. Dengan adanya data dasar yang lengkap, relevan, dan terbarukan secara berkala maka kualitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan akan menjadi semakin baik. Untuk menciptakan sinerji pembangunan pusat dengan daerah dapat dimulai dari mapping urusan dann kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Setiap kementerian/LPNK akan melakukan pemetaan daerah provinsi atau kabupaten/kota yang mempunyai sector unggulan sesuai bidang kerja kementerian/LPNK terkait. Analisis terhadap PDRB dan mata pencaharian penduduk serta pemanfaatan lahan dapat dijadikan acuan dalam menentukan sector unggulan daerah tersebut. Demikian juga dengan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Kementerian/LPNK terkait dapat memetakan daerah-daerah mana yang

mempunyai masalah mendasar dalam arti dibawah rata-rata nasional atau dibawah SPM dalam pencapaian pelayanan dasarnya. Hasil pemetaan tersebut akan diikuti dengan pembentukan kelembagaan daerah yang akan mewadahi urusan yang terkait dengan sector unggulan dan pelayanan dasar prioritas di daerah tersebut. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
117

Dengan cara demikian setiap kementerian/LPNK akan mengetahui secara pasti daerah-daerah yang akan menjadi stakeholders nasional, utamanya. Melalui masing-masing

mekanisme

musyawarah

pembangunan

kementerian/LPNK membuat perencanaan strategis di bidangnya masing-masing dengan melibatkan stakeholders utamanya. Dalam renstranas ditentukan peran masing-masing tingkatan pemerintahan dalam perencanaan pembangunan

termaksud. Dengan cara tersebut akan tercipta sinerji dan harmonisasi perencanaan pembangunan antara pusta dan daerah dalam pencapaian target nasional dalam bidang pembangunan tertentu.

Usulan Perbaikan 1. Perlu ada pengaturan yang mendorong daerah untuk menjamin keterkaitan, keserasian, dan sinerji kegiatan pembangunan antar daerah dan antara kegiatan pembangunan daerah dengan tujuan pembangunan nasional. 2. Perlu ada pengaturan yang mengharuskan daerah untuk mendefinisikan hasil pembangunan yang diharapkan, keluaran, dan masukan dalam dokumen RPJMD dan RENJA SKPD. Indikator hasil pembangunan yang diharapkan,

keluaran, dan masukan harus dirumuskan dengan jelas dan menjadi dasar dalam pengembangan sistim informasi daerah. 3. Perlu ada pengaturan yang mendorong daerah melakukan inventarisasi dan penilaian aset daerah atau aset yang dikuasakan kepada daerah dan memperhitungkannya secara wajar dalam kegiatan perencanaan pembangunan daerah. 4. Perlu pengaturan tentang keharusan daerah untuk mengumpulkan secara berkala data tentang indikator hasil pembangunan yang diharapkan, keluaran, dan masukan dari semua kegiatan pembangunan daerah dan

mengintegrasikannya dengan sistim informasi nasional. 5. Perlu ada sinkronisasi dan harmonisasi ketentuan tentang perencanaan pembangunan daerah antara UU pemerintahan daerah dengan UU
118

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

perencanaan pembangunan nasional. Kejelasan tentang basis legal dari dokumen perencanaan yang selama ini menjadi sumber kebingungan daerah dalam menetapkan RPJMD perlu segera diakhiri.

IV.7. Keuangan dan Aset Daerah

Dasar Pemikiran Penerimaan daerah yang terbatas semestinya digunakan secara efisien dan efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah hendaknya memiliki pengaruh terhadap membaiknya

kesejahteraan masyarakat. Pemerintah yang diberi amanat untuk menjalankan fungsi dan tugasnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat seharusnya menempatkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat sebagai kriteria utama dalam mengalokasikan anggaran pemerintah. Pemerintah dibentuk untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Karena itu, keberadaan pemerintah

harus dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat, terutama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Tentu tidak elok kalau keberadaan pemerintah justru menyita lebih banyak sumberdaya daripada yang digunakannya untuk melayani masyarakatnya.23 Biaya pemerintahan seharusnya lebih kecil daripada biaya untuk melayani warganya. Anggaran yang dihabiskan untuk membiayai kegiatan pemerintah harus lebih kecil daripada anggaran yang digunakan untuk melayani warganya. Apa yang terjadi sekarang ini dimana belanja pegawai jauh melebihi belanja untuk pelayanan publik mesti harus dikoreksi sehingga pada saatnya nanti belanja untuk pelayanan publik menjadi jauh lebih besar daripada belanja pelayanan publik. Dengan cara ini maka fungsi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya akan dapat terwujud.

23

Sebagai contoh, Kabupaten Bantul pada tahun 2006 mendapatkan pemasukan dari retribusi masyarakat miskin yang sakit sebesar Rp.15.682.736.550. tap i, anggaran untuk masyarakat miskin hanya 0,92% dari total anggaran belanja daerah. Sumber: S inar Harapan. Ayo, Pantau Anggaran Daerah! 21 Mei 2008.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

119

Aset

pemerintah

harus

juga

digunakan

untuk

sebesar-besarnya

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selama ini pemahaman pejabat Aset

pemerintah tentang aset yang tersedia di daerah cenderung terbatas.

cenderung dipahami terbatas pada barang milik pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan aset sebenarnya jauh lebih luas, termasuk tanah, sumberdaya alam, dan aset non-tangible lainnya. Karena terbatasnya pemahaman para pengambil kebijakan tentang aset sering menyebabkan pemanfaatan aset di daerah sering kurang optimal dilihat dari kepentingan masyarakat. Banyak aset negara di daerah yang digunakan oleh pihak lain, utamanya sektor dunia usaha, yang manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh pelaku usaha daripada masyarakat luas di daerah. Untuk itu, penyebarluasan konsep aset yang luas perlu dilakukan dikalangan para penyelenggara pemerintahan daerah. Pengaturan tentang penggunaan aset untuk kepentingan ekonomi dan lainnya perlu dilakukan. Pengaturan tentang pemberdayaan aset mesti harus menempatkan kepentingan masyarakat sebagai pertimbangan utama. Penyelenggara pemerintahan daerah

harus dapat memanfaatkan aset-aset negara di daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Identifikasi Permasalahan Permasalahan paling besar dalam keuangan daerah adalah adanya misalokasi anggaran yang tidak sesuai dengan prioritas daerah. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya belanja pegawai dan operasional pemerintah (berkisar 70%90%). Kecenderungan ini menunjukan bahwa selama ini pemerintahan daerah masih lebih banyak mengurus dirinya sendiri daripada mengurus kebutuhan warganya. Akibatnya muncul ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah daerahnya. Proses penganggaran yang relatif tertutup mendorong terjadinya elite

captures dalam penganggaran, dimana sebagian besar anggaran lebih banyak

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

120

dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan elit birokrasi dan politik.24 Akses warga dan pemangku kepentingan di daerah yang rendah terhadap proses

penganggaran membuat elit birokrasi dan politik sering lebih menempatkan kepentingannya diatas kepentingan warganya. Disparitas anggaran untuk

kebutuhan birokrasi dan DPRD dan anggaran untuk pelayanan publik adalah salah satu bukti dari terjadinya elite captures dalam proses penganggaran. Masalah lain dalam bidang keuangan daerah adalah rendahnya kapasitas daerah dalam membelanjakan dananya untuk pembangunan daerah.

Kecenderungan daerah untuk menginvestasikan uangnya di SBI dan deposito menunjukan ketidakmampuannya untuk memanfaatkan revenues yang dimilikinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
25

Juga kecenderungan

daerah untuk mengalokasikan anggaran yang dimilikinya untuk kegiatan-kegiatan yang bukan menjadi prioritas yang penting menjadi bukti bahwa kapasitas daerah untuk mengelola dana yang dimilikinya untuk pembangunan daerah masih perlu didorong dan ditingkatkan. Dalam pemanfaatan aset negara di daerah, masih sering terjadi aset-aset negara di daerah dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi yang hasilnya kurang memberi sumbangan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hutan, sumberdaya alam, dan lahan yang dimanfaatkan oleh para pelaku usaha sering justru menghasilkan kerugian bagi masyarakat luas. Kerusakan lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistim sebagai akibat dari pengelolaan aset yang kurang bertanggungjawab menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat generasi sekarang dan mendatang.
26

Banyak aset lahan yang

dikuasai oleh pelaku usaha yang diubah menjadi kawasan pemukiman yang
Dwiyanto, dkk, 2007. Ibid 25 Daerah cenderung menyimpan dana tersebut pada Bank simpanan daerah dan telah mencapai angka 3,1% dari PDB Bulan November 2006. Sumber; Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah; Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 . 26 Penambangan liar di Provinsi Bangka Belitung dapat dijadikan misal. Pemerintah setempat tidak mampu mengendalikan penambangan liar yang dilakukan masyarakat. Berdasarkan data dari Bapedalda Provinsi bangka Belitung, luas daerah yang rusak berbentuk kawah dengan lebar 2-50 Hektar dan kedalaman sampai dengan 9 meter adalah 400.000 hektar. Butuh dana triliunan untuk mereklamasinya. Ironisnya lagi, hasil penambangan cenderung diselundupkan ke luar negeri melalui kerjasama gelap dengan aparat keamanan laut dan birokrasi-peradilan. Sumber: AMCA: The Spirit Of Budak Bangka. Timah Bangka: Antara Dendam Sejarah dan Perjuangan Mendapatkan Akses. Dan Erwiza Erman (peneliti LIPI). Politik Penguasaan Sumber Daya Timah di Bangka Belitung.
24

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

121

memiliki nilai tambah yang berlipat ganda, yang keuntungannya hanya dinikmati oleh para pelaku usaha.

Analisis Tidak adanya pagu yang jelas tentang berapa banyak anggaran dapat dialokasikan untuk biaya belanja pegawai dan operasional birokrasi pemerintah membuat daerah menghabiskan sebagian besar anggarannya untuk membiaya dirinya sendiri, bukan untuk biaya melayani warganya. Banyak daerah yang

menghabiskan sekitar 90 persen dari APBDnya untuk belanja pegawai dan kegiatan operasional satuan birokrasinya. Hal ini disebabkan karena tidak ada insentif yang efektif bagi daerah untuk merampingkan satuan organisasinya. Tidak adanya pagu anggaran untuk belanja pegawai dan biaya operasional pemerintah dan insentif untuk merampingkan birokrasinya memberi ruang yang besar bagi daerah untuk mengembangkan birokrasinya. Kecenderungan daerah untuk mengembangkan struktur birokrasi yang gemuk juga menjadi salah satu penyebab dari besaran jumlah anggaran yang digunakan untuk membiayai birokrasi. Mengurangi jumlah biaya belanja pegawai hanya dapat dilakukan dengan mendorong daerah untuk merampingkan struktur birokrasinya. Adanya pagu anggaran untuk belanja birokrasi dan pegawai akan dapat mendorong daerah melakukan rasionalisasi dan rightsizing. Namun, rasionalisasi dan rightsizing memiliki implikasi sosial dan politik yang cukup besar yang mesti diperhitungkan. Keresahan dan protes dari kalangan aparat di daerah tentu sangat besar dan dapat menimbulkan risiko politik bagi pemerintah. Pembatasan pagu anggaran untuk belanja pegawai harus dilakukan dengan hati-hati dan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan daerah. Mendorong daerah lebih peduli kepada kepentingan publik juga dapat dilakukan dengan membuat proses penganggaran menjadi lebih terbuka, transparan, dan partisipatif. Kecenderungan yang umum terjadi di daerah, dimana

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

122

praktik penganggaran sangat tertutup dan elitis, harus segera dihentikan. Salah satu caranya adalah dengan mendorong partisipasi pemangku kepentingan dan masyarakat luas untuk terlibat dalam proses penganggaran. Proses penganggaran yang cenderung ekslusif harus dirubah menjadi inklusif, partisipatif, dan terbuka sehingga para pemangku kepentingan dapat mengetahui berapa banyak pagu anggaran yang ada dan untuk apa saja anggaran tersebut dialokasikan dan berapa besarannya. Cara seperti ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam penggunaan aset daerah, yang sekarang cenderung kurang menguntungkan masyarakat dan sering menjadi arena KKN, pemerintah perlu membuat pengaturan yang lebih jelas. Tidak adanya pengaturan yang melindungi kepentigan warga dalam penggunaan aset daerah sering membuat pemanfaatan aset daerah lebih menguntungkan pelaku usaha dan kurang dapat dirasakan manfaatnya oleh warga dan pemerintah daerah. Penguatan terhadap pengaturan yang ada dalam Undang-Undang N0.32/ 2004 tentang aset daerah diperlukan agar dapat menjadi pegangan yang efektif bagi daerah untuk mendayagunakan aset daerah secara lebih produktif dan bermanfaat bagi kepentingan warga di daerah. Dalam pemanfaatan uang daerah, alokasi melalui DAU sebagai subsidi umum (Block Grant) telah memberikan ruang yang luas bagi elit local untuk memanfaatkannya sesuai dengan kepentingan mereka. Pada satu sisi anggaran banyak dihabiskan untuk biaya opearsional birokrasi daerah termasuk elite politiknya (Kepala Daerah dan DPRD), pada sisi yang lain anggaran pelayanan public cenderung menurun terus. Apalagi menjelang pilkada, banyak anggaran dialokasikan dengan dalih bantuan social yang ditujukan kepada kelompokkelompok masyarakat tertentu untuk mendapatkan dukungan politik dalam pilkada. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan pengaturan yang bersifat affirmative dalam undang-undang yang mengatur pemanfaatan DAU agar jangan disalah

gunakan untuk kepentingan sempit dari birokrasi daerah. Sudah waktunya DAU diarahkan untuk pembiayaan pelayanan dasar yang masih jauh dari sekalipun yang bersifat minimal. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
123

harapan

Usulan Penyempurnaan 1. Perlu adanya pengaturan yang memberi insentif kepada daerah untuk memperkecil proporsi anggaran belanja aparatur terhadap anggaran daerah secara keseluruhan. Selama ini belanja untuk aparatur (gaji pegawai dan

biaya operasional birokrasi pemerintah) sangat besar sehingga anggaran yang tersedia untuk kegiatan pembangunan relatif sangat kecil. Untuk mengatasi kondisi seperti ini maka pengaturan yang mendorong daerah memperkecil belanja aparatur perlu diatur sehingga besaran proporsi untuk kegiatan pembangunan dan pelayanan publik dapat ditingkatkan. 2. Perlu ada pengaturan yang mengharuskan daerah melakukan penganggaran secara terbuka, partisipatif, dan akuntabel. UU perlu mengharuskan daerah melakukan konsultasi publik yang luas dalam membuat anggaran. Dokumen anggaran yang rinci harus dapat diakes oleh warga yang membutuhkannya. 3. Perlu ada pengaturan yang memberi insentif kepada daerah untuk

merampingkan birokrasinya dan mengurangi belanja aparaturnya. Pemerintah telah membuat PP 41/ tahun 2007 yang mengatur tentang organisasi dan tata laksana daerah yang mengatur mengenai besaran struktur birokrasi yang ada di daerah. Namun, pengaturan itu belum mampu memberi insentif yang

efektif bagi daerah untuk merampingkan struktur birokrasinya. 4. Perlu ada pengaturan yang jelas tentang pemberdayaan aset daerah agar penggunaan aset daerah dapat dilakukan secara akuntabel, produktif, dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas. Konsep aset perlu diperluas meliputi hutan dan sumberdaya alam. Daerah perlu diberi kewenangan

mengelola aset secara akuntabel, produktif, dan bermanfaat bagi kepentingan publik. 5. Perlu pengaturan yang mengarahkan DAU untuk membiayai pelayanan dasar dengan mengacu pada pencapaian SPM sehingga mengurangi potensi pemanfaatan anggaran sesuai preferensi elite daerah tapi mengacu pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat daerah.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

124

IV.8

Pelayanan Publik

Dasar Pemikiran Terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas (prima) menjadi salah satu ciri tata pemerintahan yang baik (good governance). Kinerja pelayanan publik sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu membangun sistem manajemen pelayanan publik yang handal adalah keniscayaan bagi daerah kalau mereka ingin meningkatkan kesejahteraan warganya. menjadi Tidak mengherankan kalau perbaikan kualitas pelayanan publik salah satu alasan mengapa pemerintah mendesentralisasikan

kewenangan penyelenggaraan pelayanan publik kepada daerah. Dengan menyerahkan kewenangan penyelenggaraan pelayanan kepada daerah, pemerintah berharap pelayanan publik akan menjadi lebih responsif terhadap dinamika masyarakat di daerahnya. Ketika manajemen pelayanan

diserahkan ke daerah, kesempatan warga untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan seharusnya menjadi semakin terbuka. Warga harus dapat dengan lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan. Mereka harus dapat menyampaikan aspirasinya (local voice) kepada rezim pelayanan. Mekanisme penyampaian keluhan harus dikembangkan di setiap

satuan birokrasi pelayanan dan birokrasi wajib menindaklanjuti keluhan yang disampaikan warga penggunanya. Untuk mengawasi praktik penyelenggaraan

pelayanan di daerah kabupaten/kota, gubernur sebagai wakil pusat melakukan supervisi atas pelayanan publik di wilayahnya. Mengingat terbatasnya risources yang tersedia bagi daerah untuk penyelenggaraan pelayanan publik maka daerah perlu didorong untuk

mengutamakan pelayanan dasar. Untuk itu, perlu ada definisi yang jelas tentang pelayanan dasar. Agar pemerataan akses terhadap pelayanan dasar dapat dijaga maka perlu ada pengaturan tentang standar pelayanan minimum untuk pelayanan yang termasuk dalam kategori pelayanan dasar. Penetapan standar pelayanan

minimum tidak berarti membatasi ruang bagi daerah untuk menyelenggarakan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
125

pelayanan sesuai dengan aspirasi dan kapasitas daerah. Daerah yang memiliki kapasitas lebih dapat menyelenggarakan pelayanan diatas standar pelayanan minimum.

Identifikasi Permasalahan Penyelenggaraan pelayanan publik di daerah menunjukan kinerja yang bervariasi.
27

Beberapa daerah

berhasil mengembangkan

inovasi dalam

manajemen pelayanan publik dengan mengembangkan berbagai teladan (best

practices).

Misalnya, beberapa kota/ kabupaten berhasil mengembangkan

manajemen pelayanan yang partisipatif dengan mengadopsi kontrak pelayanan seperti yang dilakukan di Kota Yogyakarta dan Blitar. Sementara kabupaten

Jembrana berhasil memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis dan beberapa kabupaten seperti Sragen, Sidoarjo, dan banyak kabupaten/ kota berhasil mengembangkan pelayanan satu pintu (OSS). Namun, pada saat yang sama banyak kabupaten/ kota yang gagal mewujudkan kinerja pelayanan yang lebih baik. Otonomi daerah ternyata memiliki dampak yang berbeda dalam praktik penyelenggaraan pelayanan di daerah. Salah satu masalah yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan adalah semakin pelayanan. menguatnya unsur-unsur subyektivitas dalam penyelenggaraan

Hal ini ditandai dengan semakin maraknya diskriminasi dalam

pelayanan berbasis pada unsur-unsur subyektivitas seperti pertemanan, etnis, afiliasi politik, kesamaan profesi (sesama PNS), dan agama 28 . Disamping

diskriminasi pelayanan publik, masalah lain dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah rendahnya aksesibilitas pelayanan, yang ditandai dengan masih besarnya angka pengguna biro jasa (intermediaries) dalam penyelenggaraan pelayanan. Besarnya angka pengguna biro jasa dalam mengakses pelayanan

publik sangat bervariasi, berkisar antara 50-80 persen tergantung pada jenis

27 28

Roy V Solomo, Pelayanan Publik Revisi UU 32/2004, paper tidak diterbitkan Diskusi lebih lanjut tentang hal ini dapat d ibaca di Dwiyanto, dkk, 2003 dan Dwiyanto, 2007. Ibid 126

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

pelayanan.29 Besarnya angka pengguna jasa ini menunjukan ketidaksanggupan warga untuk berhubungan langsung dengan penyelenggara pelayanan. Hal ini

menjelaskan besarnya opportunity cost yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Kecenderungan prosedur pelayanan hanya mengatur kewajiban dan

mengabaikan hak-hak pengguna pelayanan publik menjadi salah satu sebab mengapa penyelenggaraan pelayanan publik sering menjadi sumber

ketidakpuasan warga terhadap pemerintah. Penyelenggara pelayanan cenderung menempatkan dirinya sebagai penguasa, yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pengguna dan pelayanan publik. dapat berbuat seenaknya dalam mengelola

Akibatnya, penyelenggara pelayanan publik sering menjadi

arena konflik antara pemerintah dengan warganya.

Analisis Ada beberapa penyebab mengapa kinerja pelayanan publik di daerah pada umumnya masih jauh dari yang diharapkan. Pertama, penyelenggaraan

pelayanan selama ini cenderung dianggap sebagai domain rezim pelayanan. Jenis pelayanan, kualitas, dan cara pelayanan sepenuhnya ditentukan oleh rezim pelayanan. Warga tidak memiliki kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan tentang berbagai hal terkait dengan pelayanan yang dibutuhkannya. Akibatnya, pelayanan yang diberikan oleh daerah sering tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya. Kedua, prosedur pelayanan cenderung hanya mengatur kewajiban dari warga pengguna, tetapi hak-haknya tidak pernah diatur dan dilindungi. Prosedur juga sering gagal mengatur mengenai kewajiban dari penyelenggara pelayanan. Akibatnya, rezim pelayanan dapat memperlakukan warga pengguna seenaknya. Tidak adanya pengaturan tentang hak-hak warga membuat proses pelayanan publik menjadi penuh dengan ketidakpastian.

Survei kepuasan warga pengguna terhadap pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta pada tahun 2005 yang dilakukan oleh PSKK UGM menunjukan bahwa angka pengguna yang menggunakan perantara atau calo pelayanan dalam pengurusan izin sangat besar dan bervariasi antar jenis perizinan.

29

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

127

Ketiga, proses pelayanan seringkali dikaitkan dengan struktur hirarkhi birokrasi di daerah. Panjangnya jenjang hirarkhi birokrasi dengan sendirinya

membuat proses pelayanan publik menjadi panjang dan menghabiskan banyak enerji dari warga dan penyelenggara pelayanan. Apalagi ketika prosedur

pelayanan dibuat dengan semangat untuk mencegah terjadinya moral hazards proses pelayanan publik menjadi sangat kompleks dan sulit diikuti secara wajar oleh warga pengguna. Akibatnya, banyak warga cenderung menggunakan biro jasa atau perantara. Besarnya angka pengguna biro jasa menunjukan bahwa

masyarakat tidak lagi sanggup mengakses pelayanan secara wajar. Keempat, birokrasi pelayanan belum mampu mengembangkan budaya dan etika pelayanan yang menghargai posisi pengguna sebagai warga negara yang berdaulat. Birokrasi pelayanan masih menempatkan warga sebagai obyek

pelayanan yang dapat diperlakukan seenaknya sesuai dengan kemauannya. Kepuasan warga belum menjadi kriteria utama bagi birokrasi pelayanan untuk menilai kinerjanya. Akibatnya, akuntabilitas birokrasi belum dilihat dari kepuasaan warga terhadap pelayanannya melainkan dari kepatuhan birokrasi terhadap peraturan dan prosedur pelayanan. Rakyat sebagai pengguna pelayanan publik harus mempunyai kepastian tentang jenis dan kulaitas pelayanan public yang disediakan pemda. Untuk itu harus dibangun kontrak pelayanan public antara pemda dengan masyarakat. Kontrak tersebut akan menjelaskan jenis pelayanan, kualitas, niaya, prosedur dan waktu yang diperlukan untuk mengakses pelayanan public tersebut. Kemudian kalau pemda gagal memenuhi kontrak pelayanan public tersebut, harus terdapat kejelasan kemana masyarakat harus menyampaikan keluhannya. Keberadaan Ombudsman daerah dapat dijadikan saluran bagi masyarakat untuk

menyampaikan keluhannya.

Usulan Penyempurnaan 1. Perlu pengaturan yang jelas tentang konsep pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh pemerintah. Selama ini pelayanan dasar belum didefinisikan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
128

dengan jelas dalam perundangan-undangan yang ada. Tidak adanya definisi yang jelas tentang pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh pemerintah dapat memiliki risiko tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Apa saja yang termasuk dalam pelayanan dasar harus didefinisikan dengan jelas, sehingga perhatian daerah terhadap penyelenggaraan pelayanan dasar dapat diamati oleh warga dan pemangku kepentingannya dengan mudah. 2. Perlu ditegaskan dalam Undang-Undang ini tentang kewajiban daerah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan

minimum (SPM) dan atau standar lainnya yang dibuat oleh pemerintah. Daerah dapat menyelenggarakan pelayanan dasar diatas standar nasional, sesuai dengan kemampuan dan aspirasi masyarakatnya. 3. Dalam penyelenggaraan pelayanan dasar, daerah harus mengembangkan sistim pelayanan yang berkeadilan, efisien, responsif, akuntabel, dan

partisipatif. Daerah harus dapat menyelenggarakan pelayanan yang mudah diakses oleh semua warganya terlepas dari ciri-ciri subyektifnya, mampu

menjawab kebutuhan warga, dan yang diselenggarakan secara partisipatif dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. 4. Dalam mewujudkan sistim pelayanan publik sebagaimana tersebut diatas daerah harus mengembangkan manajemen pelayanan publik yang

memungkinkan terjadi perbaikan secara berkelanjutan. Karena itu manajemen pelayanan publik harus menjamin adanya hak warga untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, dan usulan perbaikan (local voices) dan menjadikan hal itu sebagai bagian yang penting untuk perbaikan kinerja dan akuntabilitas publik. 5. Untuk mendorong adanya perbaikan manajemen pelayanan yang

berkelanjutan maka daerah perlu didorong untuk secara periodik melakukan evaluasi kinerja pelayanan publik dengan melakukan, antara lain,

pengembangan indeks kepuasan warga pengguna. 6. Lembaga Ombudsman daerah dapat dijadikan sebagai lembaga mediasi penyelesaian masalah dan konflik yang terjadi antara warga pengguna dengan manajemen pelayanan publik. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
129

7. Daerah perlu mendorong birokrasi pelayanannya utuk mengembangan maklumat atau kontrak pelayanan yang mengatur secara proporsional dan seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan. Maklumat atau kontrak pelayanan dapat menjadi alat yang mudah dan sederhana bagi warga mengawasi praktik penyelenggaraan pelayanan. Bagi penyelenggara, keberadaan maklumat pelayanan penting karena dapat menjadi pedoman bagi mereka untuk mewujudkan pelayanan sesuai yang dijanjikannya.

IV.9 Partisipasi Masyarakat

Dasar Pemikiran Kebijakan desentralisasi hanya akan berhasil meningkatkan kesejahteraan warganya jika diikuti dengan pemberdayaan masyarakat agar mereka dapat berperanserta dan sekaligus mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Otonomi daerah yang melimpahkan kewenangan pada elit politik dan birokrasi di daerah harus diikuti dengan otonomi pada tingkat warga untuk dapat mengontrol perilaku elit politik dan birokrasi dalam menggunakan kekuasaannya. Untuk ruang bagi warga untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintah harus dibuka seluas-luasnya. Hanya dengan cara seperti ini maka desentralisasi

pemerintahan dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat di daerah. Partisipasi masyarakat memiliki fungsi penting, diantaranya adalah sebagai sarana bagi warga untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepentinganannya sehingga proses kebijakan daerah menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan warga. Lebih dari itu, partisipasi penting untuk menjamin warga memiliki ownership dalam proses kebijakan dan karenanya dapat menciptakan kepedulian dan dukungan warga untuk keberhasilan pembangunan di daerahnya. Partisipasi juga dapat digunakan melakukan pendidikan dan pembelajaran bagi warga terhadap masalah dan kebijakan publik. Partisipasi karenanya dapat

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

130

membentuk sense of citizenship yang sangat penting bagi pengembangan demokrasi dan pembangunan bangsa.

Identifikasi Permasalahan Salah satu tujuan utama dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan warganya. Otonomi daerah diharapkan mampu mendorong adanya peningkatan keterlibatan

masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam proses pembuatan peraturan daerah, perencanaan pembangunan daerah, dan pengawasan kegiatan pemerintahan di daerah. Namun, setelah pelaksanaan otonomi daerah tampak bahwa partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan dan pemerintahan belum seperti yang diharapkan. Memang banyak studi menunjukan bahwa ada kecenderungan yang meluas mengenai munculnya banyak forum komunikasi dan partisipasi masyarakat di banyak kabupaten/ kota di Indonesia. Namun, munculnya banyak forum

komunikasi dan partisipasi warga di daerah ternyata belum mampu secara berarti meningkatkan keterlibatan warga dalam proses kebijakan di daerah karena berbagai forum itu seringkali didominasi oleh elit sehingga kepentingan yang diperjuangkan dalam proses kebijakan masih lebih banyak kepentingan elit daripada kepentingan warga pada umumnya. Otonomi daerah masih lebih banyak dinikmati oleh elit politik dan birokrasi di daerah daripada warga pada umumnya. Salah satu kesulitan dalam mendorong partisipasi masyarakat adalah terbatasnya akses warga terhadap informasi. Rendahnya akses warga terhadap informasi membuat mereka mengalami kesulitan dalam mengambil peran yang optimal dalam proses kebijakan di daerah, walaupun kebijakan tersebut berpengaruh sangat besar terhadap kehidupannya. Penelitian sebelumnya

menunjukan bahwa keterbukaan pemerintah untuk membuka akses warga terhadap informasi masih sangat mendua, karena sangat dipengaruhi oleh adatidaknya konflik kepentingan. Pemerintah daerah dapat sangat terbuka kepada warganya dan mendorong warganya untuk berpartisipasi ketika pemerintah tidak Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
131

memiliki kepentingan terhadap isu dan masalah yang dipersoalkan. Namun ketika penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kepentingan dan kepentingannya dapat terganggu jika transparansi dilakukan, maka penyelenggara negara cenderung menjadi sangat tertutup dan mencegah keterlibatan masyarakat30. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan maka penyelenggara pemerintahan daerah perlu membuka akses publik seluas-luasnya terhadap informasi tentang berbagai kebijakan pemerintah, seperti dalam penyusunan Perda, APBD, dan prioritas pembangunan daerah. Keterbukaan

informasi ini akan dapat mengurangi dominasi elit lokal dalam proses kebijakan di daerah. Selama ini proses kebijakan publik cenderung didominasi oleh elit lokal karena mereka yang memiliki akses terhadap informasi dan kekuasaan. Masyarakat luas cenderung menempati posisi pinggiran sehingga kepentingannya sering kurang dapat terakomodasi dalam proses kebijakan di daerah. Peningkatan partisipasi masyarakat juga memerlukan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Kepercayaan diri yang rendah terhadap kemampuannya untuk ikut mempengaruhi proses perubahan dan besarnya risiko yang harus dibayar dari keterlibatannya dalam proses kebijakan sering membuat minat mereka terlibat dalam proses kebijakan di daerah masih amat rendah. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan di daerah masih amat terbatas. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan di daerah maka berbagai upaya untuk meningkatkan keyakinan mereka tentang manfaat partisipasi terhadap perbaikan kehidupannya dan memperkecil risiko ketika mereka terlibat dalam proses kebijakan perlu dilakukan.

Analisis Kebijakan desentralisasi menuntut adanya ruang partisipasi masyarakat yang semakin besar karena pelaksanaan desentralisasi hanya akan berhasil kalau diikuti dengan kemampuan warga di daerah untuk terlibat dalam penyelenggaraan
30

Dwiyanto, Agus, 2003. Governance Reform and Regional Autonomy: Executive Summary, Yogyakarta: CPPS GMU

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

132

pemerintahan di daerah. Pelimpahan urusan ke daerah mesti harus diikuti dengan kemampuan masyarakat di daerah untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tanpa adanya penguatan partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dikawatirkan kebijakan dan program pembangunan daerah menjadi semakin jauh dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dari uraian diatas ada 4 masalah penting dalam penguatan partisipasi masyarakat: dominasi elit politik dan birokrasi dalam proses kebijakan, akses informasi yang terbatas, sikap pemerintah yang mendua dalam menyikapi partisipasi masyarakat, dan kesadaran masyarakat yang rendah untuk berperan serta dalam proses kebijakan. Keempat masalah tersebut menunjukan bahwa penguatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terkait dengan

costs of and demand for participation. Kesadaran dan


Namun, rendahnya kebutuhan

kesepahaman tentang manfaat partisipasi bagi mereka menunjukan bahwa

demand for partipaticipation masih rendah.

mereka untuk berpartisipasi mungkin juga disebabkan oleh besarnya cost dan risiko yang harus dibayar untuk berpartisipasi. Akses warga terhadap informasi sangat terbatas, dominasi elit politik dan birokrasi dalam proses kebijakan, dan sikap pemerintah yang mendua terhadap partisipasi membuat cost dan risiko untuk berpartisipasi menjadi semakin besar. Untuk dapat mendorong partisipasi masyarakat maka daerah berkewajiban untuk menghilangkan kendala (costs) dan menaikan kebutuhan (demand) masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan di daerah. Warga harus dijamin aksesnya terhadap informasi tentang berbagai hal terkait dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, karena informasi adalah bahan baku utama bagi proses kebijakan publik. Selama ini akses terhadap

informasi tentang kegiatan pemerintahan masih sangat terbatas. Lebih dari itu, berbagai prosedur dan ketentuan tentang proses kebijakan yang menghambat warga dan pemangku kepentingan untuk terlibat dalam proses kebijakan harus dapat dipermudah. Proses kebijakan di daerah harus didorong menjadi semakin

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

133

terbuka, mudah diakses, dan dekat dengan masyarakat sehingga kendala untuk berpartisipasi menjadi semakin rendah. Untuk mendorong keingingan berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah maka utilisasi informasi dan pengetahuan yang disumbangkan oleh masyarakat dalam proses kebijakan di daerah harus menjadi semakin besar. Salah satu faktor yang mendorong rendahnya kebutuhan untuk berpartisipasi adalah rendahnya keyakinan masyarakat bahwa informasi dan usulan yang mereka sampaikan akan dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam

perencanaan pembangunan daerah, misalnya, banyak warga yang apatis dengan proses musrenbang yang terjadi di lingkungannya karena mereka tidak yakin apa yang diputuskan dalam musrenbang akan diakomodasi dalam pengambilan keputusan tentang alokasi anggaran. Tidak adanya koneksi antara musrenbang dengan keputusan yang dibuat oleh panitia anggaran menjadikan masyarakat enggan untuk terlibat dalam proses musrenbang31. Proses kebijakan yang tidak akomodatif terhadap aspirasi publik seperti ini yang menjadi salah satu faktor yang mendorong mengapa partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan di daerah selama ini relatif rendah.

Usulan Penyempurnaan Untuk mendorong terselenggaranya pemerintahan daerah yang partisipatif maka pengaturan yang jelas tentang partisipasi masyarakat dalam peraturan perundangan perlu dilakukan. Pengaturan tersebut setidak-tidaknya mencakup berbagai hal sebagai berikut: 1. Perlu adanya penegasan bahwa daerah wajib menjamin hak warga baik secara perseorangan ataupun berkelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan pemerintahan di daerah.

31 Banyak temuan menunjukan tid ak adanya koneksi antara proses musrenbang yang dikelola oleh eksekutif dengan proses penganggaran yang dikelola o leh DPRD. Usulan dan keputusan masyarakat yang telah diperb incangkan di Musrenbag sering tidak lagi dibahas dalam rapat komisi anggaran. Tidak adanya kesinambungan antara proses birokrasi dan politik dalam proses penganggaran sering membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi dan mekanisme perencanaan dari bawah.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

134

2. Perlu ada penegasan ruang untuk keterlibatan publik dalam pelaksanaan pemerintahan daerah terutama dalam hal penyusunan kebijakan, perencanaan pembangunan, proses pembahasan anggaran, proses pembahasan rancangan peraturan, dan penyediaan pelayanan publik daerah. Hak warga untuk

terlibat dalam proses kebijakan tersebut adalah hak yang harus dilindungi oleh daerah dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kebijakan di daerah. Karena itu daerah harus melakukan konsultasi seluas-luasnya dengan warga dan para pemangku kepentingan sebelum menetapkan satu kebijakan. Pelanggaran terhadap hak warga ini dan kewajiban daerah melindungi hak warga untuk terlibat dalam proses kebijakan menjadi bagian yang penting dalam penilaian kinerja daerah. 3. Perlu ada pengaturan tentang hak-hak warga untuk memperoleh akses terhadap informasi dan data yang dibutuhkan dalam kebijakan. Akses

terhadap informasi juga penting bagi warga agar dapat terlibat dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. dalam menjamin akses warga terhadap informasi kebijakan akan dan Kegagalan mempersulit pengawasan

keterlibatan

warga

dalam

pembuatan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4. Dalam penyelenggaraan pelayanan, hak warga terhadap informasi tentang biaya, waktu, dan cara pelayanan harus diatur dengan jelas. Daerah juga

perlu memberi ruang bagi warga dan pemangku kepentingan untuk menyampaikan keluhan, kritik, dan saran dan menjadikannya sebagai bagian dari masukan untuk perbaikan manajemen pelayanan publik. Daerah perlu

mendorong perangkat dan aparatnya untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang partisipatif. 5. Perlu pengaturan tentang keterkaitan antara proses pengambilan keputusan yang partisipatif (misalnya, Musrenbang) dengan proses pengambilan Penguatan

keputusan yang teknokratis dan birokratis (alokasi anggaran).

keterkaitan antara hasil keputusan Musrenbang dengan proses alokasi anggaran sangat penting sebagai insentif bagi warga untuk berpartisipasi
135

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

dalam proses kebijakan di daerah. Sebaliknya, tidak adanya keterkaitan antara proses yang terjadi di Musrenbang dengan keputusan alokasi anggaran menjadi disinsentif bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik.

IV.10 Kawasan Perkotaan

Dasar Pemikiran UU No. 32/2004 telah memiliki pengaturan mengenai kawasan perkotaan, namun belum memadai. Kemajuan kehidupan ekonomi dan modernitas telah

mendorong semakin cepatnya pertumbuhan kawasan perkotaan, yang memiliki gaya hidup dan perilaku yang berbeda dengan gaya hidup di kawasan lainnya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah membuat kehidupan kawasan perkotaan menjadi semakin kompleks dan membutuhkan pengaturan yang

semakin dinamik dan terintegrasi dengan kawasan lainnya sehingga kemajuan kawasan perkotaan dapat mendorong perubahan sosial ekonomi pada kawasan lainnya. Tumbuh-suburnya kawasan perkotaan baru, terutama di daerah yang menjadi konsentrasi pemukiman baru telah menimbulkan berbagai fenomena baru yang menarik. Kawasan permukiman baru dibangun dengan ciri perkotaan yang modern dengan fasilitas kehidupan sosial dan ekonomi yang berbeda dengan kawasan induknya. Secara fisik kawasan perkotaan baru tersebut memiliki ciri-ciri kota yang modern namun secara sosial sering terpisah dengan kawasan lainnya, yang masih mencirikan kawasan perdesaan. Dalam pengaturan administrasi

pemerintahan kawasan perkotaan tersebut sering masih menjadi satu dengan kawasan lainnya, yang masih bercirikan sistim administrasi pemerintahan yang tradisional. Akibatnya, sering muncul masalah yang sebenarnya dapat dihindari jika pengaturan mengenai kawasan perkotaan dapat dilakukan secara terintegrasi dengan kawasan lainnya.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

136

Pengaturan kawasan perkotaan perlu dibuat agar dapat mengakomodasi tantangan yang dihadapi dalam perkembangan yang sangat cepat, baik dari sisi teknologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pengaturan yang dibuat harus dapat mengakomodasi kebutuhan daerah dalam mengembangkan kawasan perkotaan, tetapi juga harus dapat melindungi kepentingan lainnya seperti kebutuhan konservasi lingkungan, kehidupan sosial yang sehat, dan terwujudnya tata pemerintahan yang baik.

Identifikasi Permasalahan Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 telah terdapat pengaturan mengenai kawasan perkotaan, namun pengaturan tersebut belum cukup mengatur berbagai isu yang terkait dengan isu kawasan perkotaan. Berbagai aspek kelembagaan, pelayanan, dan pengaturan tentang pengembangan kawasan perkotaan belum banyak diatur dalam UU yang ada32. Akibatnya, muncul banyak masalah dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Salah satu masalah yang banyak dijumpai di banyak daerah adalah seringnya terjadi pelanggaran terhadap rencana tata ruang dalam rangka mengakomodasi munculnya kawasan perkotaan dan segala implikasinya. Rencana tata ruang yang ada di banyak daerah sering mengalami konversi karena tekanan kepentingan ekonomi. Tidak jarang perubahan rencana tata ruang memiliki

dampak ekologis yang dapat merugikan kepentingan publik. Sayangnya, pengaturan mengenai hal ini dalam UU N0.32/ 2004 belum dilakukan secara

memadai. Untuk memberi landasan yang kuat kepada daerah untuk mengelola pertumbuhan kawasan perkotaan dan mengarahkannya untuk kesejahteraan masyarakat maka pengaturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan perlu diatur dalam UU pemerintahan daerah.

Berbagai masalah dalam pengembangan perkotaan yang belum d iatur dalam UU 32/2004 dan memerlukan pengaturan dalam revisi sebagian telah d ijelaskan dalam Diamar, Ibid.

32

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

137

Masalah lain adalah kurangnya integrasi perkembangan kawasan perkotaan dengan wilayah lainya. Ada banyak daerah yang memiliki pertumbuhan kawasan perkotaan yang sangat pesat namun belum terintegrasi dengan baik secara kelembagaan, pisik, dan lingkungan dengan kawasan lainnya. Akibatnya

seringkali muncul ketimpangan dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, sosial, dan kelembagaan antar kawasan dalam satu kabupaten/ kota. Munculnya

kawasan kota mandiri yang memiliki kehidupan kota yang sangat modern sementara pemerintah daerah yang membawahinya masih memiliki pola manajemen yang tradisional sering menimbulkan masalah baru dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Upaya pemerintah daerah untuk merespon kebutuhan

kawasan kota mandiri perlu didukung dengan perangkat perundang-undangan yang memadai. Untuk dapat mengembangkan managemen pengelolaan kawasan perkotaan yang modern, daerah perlu diberi peluang untuk memberdayakan lembaga dan aparaturnya untuk dapat mengelola kawasan perkotaan modern, seperti kota mandiri, dengan baik. Manajemen kota mandiri perlu diberi kewenangan-

kewenangan untuk mengelola kawasan tersebut sebagaimana yang dimiliki oleh Kota atau daerah induk. N0.32/ 2004. Hal seperti ini belum diatur dengan baik dalam UU

Pengaturan tentang pengelolaan kota perlu dibuat dalam undang

undang pemerintahan daerah.

Analisis Pengaturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan amat diperlukan mengingat perkembangan kawasan perkotaan di beberapa daerah di Indonesia dalam dekade terakhir ini sudah sangat cepat. Diperkirakan 10 tahun mendatang, 70 persen penduduk Pulau Jawa tinggal di perkotaan. Dinamika kehidupan perkotaan yang sangat berbeda dengan kawasan lainnya menuntut adanya pengaturan yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Keberadaan kawasan perkotaan memberi peluang dan sekaligus tantangan yang perlu direspon dengan tepat oleh pemerintah. Kegagalan merespon dengan tepat Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
138

perkembangan kawasan perkotaan dapat menimbulkan masalah perkotaan yang kompleks yang merugikan penghuni kawasan perkotaan dan sekitarnya. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang pengelolaan kawasan perkotaan membuat pemerintah cenderung mengelola kawasan perkotaan secara

adhoc dan reaktif, sesuai dengan masalah yang berkembang di kawasan tersebut.
Tindakan yang diambil cenderung sporadis dan reaktif, kurang visioner sehingga kebijakan yang comprehensive sangat sulit dikembangkan. Akibatnya, banyak

masalah yang muncul terkait dengan perkembangan kawasan perkotaan tidak dapat diselesaikan dengan baik. Misalnya, dalam bidang kelembagaan dalam pengelolaan kawasan

perkotaan. Sampai sekarang baik UU 32/2004 ataupun peraturan perundangundangan lainnya belum mengatur tentang kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan. Dinamika kehidupan perkotaan sering melampaui batas-batas wilayah administratif. Kehidupan perkotaan memiliki eksternalitas baik positif ataupun

negatif melewati batas-batas administratif. Berbagai upaya sudah dilakukan di berbagai daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan bersama berbagai masalah dan kebutuhan bersama antar kota dan antar kota dengan kabupaten sekitarnya. Namun, karena pengelolaan bersama tersebut tidak memiliki landasan perundangundangan yang kokoh, maka seringkali penanganannya kurang optimal. Bentuk kelembagaan yang berkembang juga sangat bervariasi dengan tingkat efektivitas yang berbeda-beda tergantung dari kesungguhan dari masing-masing kepala daerah. Masalah lain yang perlu diatur adalah pengelolaan kawasan kota dalam satu kabupaten/ kota. Selama ini pengaturan kehidupan perkotaan di kabupaten/ kota dilakukan seperti halnya kawasan perdesaan. Sedangkan, kota kecamatan atau kota kabupaten yang memiliki ciri-ciri demografis, sosiologis, dan ekonomis yang berbeda sering menuntut pengelolaan yang berbeda. Kehidupan perkotaan juga menciptakan kebutuhan dan dinamika kehidupan yang berbeda dengan kehidupan perdesaan. Kawasan perkotaan tentu membutuhkan manajemen yang berbeda dengan kawasan perdesaan. Sayangnya, dalam struktur kelembagaan yang ada, Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
139

kabupaten/ kota memiliki keterbatasan untuk dapat merespon dinamika kehidupan yang berbeda karena peluang untuk mengembang inovasi dalam pengelolaan kawasan perkotaan belum diatur dalam peraturan-perundangan yang ada. Kota kecamatan yang membutuhkan pelayanan berbeda tidak dapat

direspon oleh Camat sebagai perangkat daerah karena keterbatasan wewenang dan sumberdaya yang dimiliki oleh Camat. Kewenangan dan sumberdaya yang ada terkonsentrasi di birokrasi kabupaten. Sedangkan lembaga Kecamatan

sebenarnya dapat diberdayakan untuk dapat merespon dinamika dan kebutuhan pelayanan masyarakat di kota Kecamatan. Hal yang sama juga terjadi dalam pengelolaan kawasan kota Kabupaten. Jika dinamika seperti ini tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah maka masalah perkotaan dimasa mendatang akan menjadi semakin kompleks dan sulit diselesaikan dengan baik. Munculnya banyak kota baru di dalam satu kabupaten, sebagai akibat dari dinamika ekonomi dan semakin maraknya industri real estate, telah menimbulkan masalah dan sekaligus peluang bagi perkembangan daerah. Berbagai masalah muncul karena besarnya perbedaan status sosial ekonomi dan gaya hidup penduduk kawasan kota baru dengan wilayah sekitarnya sering menimbulkan kecemburuan sosial. Pemerintahan Kabupaten sering mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan kedua kawasan tersebut. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang hak-hak masyarakat pemilik tanah yang digunakan untuk pengembangan kawasan baru tersebut juga sering membuat masyarakat yang tinggal di kawasan tergusur dan kehilangan sumber kehidupan yang selama ini tergantung pada lahan yang dimilikinya. Banyak dari mereka yang kemudian mengalami kesulitan ekonomi, sementara pengusaha pengembang kawasan tersebut memiliki

keuntungan yang berlimpah. Masalah lain dalam pengembangan kota baru biasanya terkait dengan pelanggaran tata ruang. Banyak terjadi pengalihan peruntukan dari pertanian ke pemukiman atau dari jalur hijau dan konservasi lingkungan ke pemukiman yang seringkali menimbulkan banyak masalah bagi masyarakat luas. Pengembangan kota baru memerlukan pertimbangan yang menyeluruh sehingga keberadaannya Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
140

sedapat mungkin memberi kemanfaatan yang besar bagi pemerintah dan masyarakat luas dengan risiko yang minimal. Pertimbangan ekonomi yang selama ini cenderung dominan dalam pengembangan kota baru mesti harus dilengkapi dengan pertimbangan sosial dan politik yang masak sehingga keberadaan kota baru dapat memberi manfaat yang luas dan berkelanjutan.

Usul Penyempurnaan 1. Pemerintah perlu mendefinisikan kawasan perkotaan secara jelas dan membuat pengaturan kelembagaan yang dapat digunakan untuk mengelola kawasan perkotaan secara optimal. Selama ini kawasan perkotaan cenderung hanya didefinisikan secara administratif, tetapi secara fungsional belum diatur dengan jelas. Pemahaman tentang kedua aspek dari kawasan perkotaan tersebut perlu dijadikan sebagai dasar dalam pengaturan kawasan perkotaan. Lebih dari itu, yang pengembangan memadai kawasan perkotaan juga memerlukan

pengaturan memadainya

tentang

pengelolaan

kelembagaan. Belum kelembagaan dalam

pengaturan

tentang

berbagai aspek

pengelolaan kawasan perkotaan, membuat daerah belum mampu secara optimal mengelola kawasan perkotaan yang dimilikinya. 2. Perlu ada pengaturan tentang jenis kota dan segala aspek yang mengikutinya. Kompleksitas yang dihadapi oleh kawasan perkotaan cenderung berbeda antar jenis kota yang berbeda, karena itu perlu cara pengaturan yang berbeda untuk masing-masing jenis kota. Dalam peraturan perundangan yang ada

pengaturan tentang jenis atau tipe kota dan berbagai aspek yang melekat pada jenis kota tersebut belum dirumuskan dengan jelas. Sedangkan

pengaturan seperti itu penting agar dapat menjadi pedoman bagi daerah dalam mengembangkan kawasan perkotaan yang dimilikinya. 3. Harus ada kejelasan tentang batas-batas kewenangan pengelola kota mandiri dalam mengelola kotanya dengan kewenangan Pemda yang membawahi kawasan perkotaan tersebut. Pengelolaan kawasan kota mandiri perlu diatur secara berbeda karena masalah dan peluang yang dihadapinya berbeda Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
141

dengan kawasan lainnya.

Daerah dapat memberi kewenangan kepada

pengelola kota untuk memfasilitas penyelenggaraan pelayanan kepada warganya sesuai dengan kebutuhan warga kota tersebut. Namun,

keberadaan dan pengelolaan kawasan kota mandiri harus terintegrasi dengan kawasan lainnya sehingga keberadaan kota mandiri dapat mendorong perkembangan kawasan lainnya. 4. Perlu ada pengaturan terhadap peranan pihak swasta dalam membangun dan mengembangkan kawasan perkotaan termasuk penyiapan fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam kawasan yang dikembangkannya. Keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk mendukung pengembangan kawasan perkotaan perlu diatur dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan kawasan perkotaan. fasilitas sosial dan fasilitas Perlu juga diatur tentang pengelolaan oleh Pemerintah Daerah agar

umum

keberaadaannya dapat berlanjut dan dirasakan oleh masyarakat luas.

IV.11 Desentralisasi Fungsional (Kawasan Khusus)

Dasar Pemikiran Dalam pelaksanaan desentralisasi dikenal dua macam desentralisasi yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional (Rondenelli, 1980).

Desentralisasi fungsional lazimya dikenal dalam bentuk kawasan khusus atau distrik-distrik khusus, atau sering disebut juga special authorities. Kawasan khusus dibentuk untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi khusus yang diperlukan dalam mencapai tujuan strategik nasional atau daerah. Misalnya, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing bangsa pemerintah dapat menetapkan satu kawasan menjadi kawasan, yang memiliki pengaturan yang khusus sehingga kawasan tersebut dapat bersaing dalam pasar internasional.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

142

Berbeda dengan desentralisasi teritorial yang bersifat umum, desentralisasi fungsional memerlukan pengaturan yang khusus berlaku pada satu kawasan tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan khusus. Pengaturan khusus tersebut meliputi antara lain, urusan dan kewenangan yang diserahkan, struktur kelembagaan, personel, pembiayaan, dan wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan khusus. Pengembangan kawasan khusus sebagai pengejawantahan dari desentralisasi fungsional juga berbeda dengan organisasi parastatal, yang merupakan kepanjangan dari salah satu organ pemerintah pusat (atau BUMN). Organisasi parastatal menjalankan kegiatan operasional dari lembaga pemerintah pusat di suatu daerah otonom, tetapi Ia sendiri tidak bersifat otonom dan karenanya tidak memiliki lembaga perwakilan rakyat. Kawasan khusus dapat berbentuk kawasan yang meliputi kawasan

Perbatasan Negara, Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Konservasi, dan Kawasan khusus lainnya, yaitu: kawasan lain yang dipandang perlu ditetapkan sebagai Kawasan Khusus. Pengaturan kawasan khusus secara rinci dilakukan dalam Undang- Undang

undang-undang sektoral sesuai dengan jenis kawasannya.

Pemerintahan daerah hanya mengatur hubungan antara pemerintah dengan daerah terkait dengan tata cara pembentukan dan pengelolaan kawasan khusus.

Identifikasi Permasalahan Untuk mendorong percepatan pencapaian tujuan nasional strategik dalam berbagai bidang seperti ekonomi, lingkungan, dan pertahanan nasional pemerintah dapat mengembangkan kawasan khusus. Namun, dalam praktiknya pengembangan kawasan khusus seringkali menimbulkan berbagai konflik antara badan pengelola kawasan khusus dengan pemerintahan daerah. Perbedaan cara pandang terhadap berbagai hal yang seringkali tumpang tindih dan tidak jelas dalam pengaturan membuat benturan dan konflik antar badan pengelola kawasan khusus dan pemerintahan daerah tak terhindarkan. Tidak selalu sejalannya kepentingan strategik nasional dengan kepentingan daerah membuat pengelolaan kawasan khusus sering mengalami kendala ketika Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
143

berhadapan dengan kepentingan-kepentingan jangka pendek dan mendesak dari pemerintah daerah. Pengalaman kegagalan pengembangan kawasan khusus Batam, yang kurang dirasakan manfaatnya secara nasional, mestinya harus dijadikan pembelajaran yang baik bagi pengembangan kawasan khusus lainnya dimasa mendatang. Untuk itu diperlukan pengaturan dalam Undang Undang tentang pemerintahan daerah mengenai kewenangan yang perlu diberikan kepada pengelola kawasan khusus, hubungan antara kawasan khusus dengan pemerintahan daerah, dan bagaimana koordinasi dan sinerji antara keduanya dapat dilakukan. Masalah lain adalah bahwa UU 32/ 2004 hanya membatasi kawasan khusus dari perspektif industri dan perdagangan. Jenis kawasan khusus lainnya, misalnya pengelolaan kawasan perbatasan dan konservasi lingkungan yang sangat penting dilihat dari kepentingan nasional strategik belum diatur dalam UU 32/2004. Mengingat besarnya tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, konservasi lingkungan, dan pengelolaan kawasan strategis seperti daerah perbatasan, pembentukan kawasan khusus diluar kawasan ekonomi khusus sangat penting dilakukan Karena UU 32/2004 belum mengatur secara rinci pengembangan kawasan khusus terutama diluar kawasan ekonomi khusus, maka pengaturan pengembangan kawasan khusus diperlukan. Pengaturan hendaknya mencakup hubungan pengelola kawasan khusus tersebut dengan pemerintahan daerah. Dengan demikian akan terbentuk kejelasan apa hak dan kewajiban daerah dalam kawasan khusus dan sebaliknya juga menjadi jelas hak dan kewajiban pengelola kawasan khusus terhadap daerah.

Analisis Dalam pengembangan kawasan khusus, tentu ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan agar pengembangannya dapat bermanfaat bagi masyarakat di kawasan khusus ataupun secara nasional. Pertama, pengaturan kelembagaan dari kawasan khusus. Pengalaman dalam pengembangan kawasan ekonomi khusus

Batam menunjukan adanya konflik yang bersumber dari ketidakjelasan hubungan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
144

kelembagaan antara pengelola kawasan khusus (Badan Otorita) dengan pemerintah daerah 33 . Ketidakjelasan pengaturan sering membuat masing-masing cenderung

mengembangkan kewenangannya, dengan menegasikan peran dari lembaga lainnya. Karena urusan khusus yang akan dikelola oleh lembaga pengelola kawasan khusus tersebut adalah urusan pemerintahan maka pemerintah memiliki

kewenangan untuk mengatur kelembagaan dari pengelolaan kawasan khusus. Namun, karena lembaga pengelola kawasan khusus nantinya akan berinteraksi dan bekerjasama sangat erat dengan daerah, maka daerah perlu dilibatkan dalam struktur kelembagaan pengusahaan kawasan khusus. Pengaturan tentang peran pemerintah dan daerah dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan khusus perlu diatur dengan jelas dalam undang undang. Bahkan, keterlibatan unsur-unsur non-pemerintah dalam pengelolaan kawasan khusus perlu dijaga agar aspirasi dan kepentingan warga dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan khusus dapat diperhatikan. Penyebab lain dari konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan kawasan khusus adalah ketidakjelasan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada kawasan khusus. Tujuan pengembangan kawasan khusus adalah untuk

mempercepat pencapaian tujuan nasional strategik tertentu. Karena itu pengelola kawasan khusus harus diberi wewenang untuk mengambil tindakan tertentu dalam rangka melaksanakan mandat yang diberikan kepada kawasan khusus. Apa kewenangan yang akan dilimpahkan kepada pengelola kawasan khusus harus dijelaskan dalam Undang Undang agar semua pihak dapat memahami batas-batas kewenangan yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada kawasan khusus dan bagaimana seharusnya kewenangan itu digunakan untuk mencapai tujuan dari

pengembangan kawasan khusus itu? Pengaturan harus juga dilakukan untuk aspek kepegawaian, pembiayaan, dan prosedur pengembangan kawasan khusus. Dalam hal prosedur pengembangan kawasan khusus perlu diingat bahwa pengembangan kawasan khsusus dilakukan atas insiatif dari pemerintah dan untuk
33

Diskusi mendalam tentang masalah yang terjad i dalam pengelo laan kawasan ekonomi khusus Batam dalam ketenagakerjaan, sosial ekonomi, dan konfliknya dengan pemerintah daerah setempat dapat dibaca dalam Diamar, Ibid.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

145

kepentingan nasional. Namun daerah juga dapat mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk dikembangkan sebagai kawasan khusus apabila memang terdapat potensi untuk itu. Pemangku kepentingan di daerah yang melihat potensi untuk pengembangan kawasan khusus tertentu dapat mengajukan usulan kepada pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri. Hal yang sama dapat dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang melihat pentingnya kawasan khusus tertentu dikembangkan untuk pencapaian tujuan nasional strategik dapat mengambil inisiatif untuk pengembangan kawasan khusus di daerah tertentu. Pengaturan tentang hal ini diperlukan dalam Undang Undang.

Usul Penyempurnaan 1. Perlu pengaturan yang jelas mengenai pengalihan urusan pemerintahan

tertentu yang bersifat khusus kepada lembaga yang secara khusus dibentuk untuk mengelola urusan tersebut di daerah. Pengaturan tersebut mencakup antara lain: tujuan pengalihan kewenangan khusus, jenis kewenangan bersifat khusus yang akan dialihkan kepada lembaga yang dibentuk untuk mengelola urusan khusus itu, dan wilayah yang akan terkena pengaturan khsusus

tersebut. Pengalihan urusan pemerintah yang bersifat khusus kepada lembaga yang secara khusus dibentuk untuk itu, antara lain dalam pengelolaan kawasan ekonomi khusus, kawasan perbatasan, kawasan konservasi, dan kawasan

khsusus lainnya yang diperlukan dalam pencapaian tujuan nasional strategis. . 2. Perlu pengaturan tentang siapa yang berhak mengusulkan pembentukan kawasan khusus, mekanisme pengusulan, dan proses pengambilan keputusan tentang penetapan kawasan khusus. Perlu diatur dengan jelas bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan daerah, pemerintah dan daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus tertentu. Agar

pembentukan kawasan khusus dilakukan dengan pertimbangan yang jelas, mengacu pada kepentingan daerah dan nasional, maka mekanisme pengusulan penetapan dan pengambilan keputusan tentang kawasan khusus perlu diatur dengan jelas. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
146

3. Perlu pengaturan hubungan antara lembaga pengelola kawasan khusus dengan pemerintahan daerah. Pengaturan harus menjamin terjadinya sinerji dan koordinasi fungsional antara pengelolaan kawasan kawasan khusus dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah 4. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada kawasan khusus tidak boleh tumpang tindih dengan urusan yang telah diserahkan kepada pemerintahan daerah. Agar penyelanggaraan urusan pemerintahan yang dikelola oleh kawasan khusus tidak berbenturan dengan penyelenggaraan urusan

pemerintahan daerah maka pengaturan tentang kewenangan kawasan ksusus dan hubungannya dengan pemerintahan daerah perlu dilakukan dengan jelas.

IV.12. Kerjasama Antar Daerah

Dasar Pemikiran Kerjasama antar daerah menjadi isu penting dalam pelaksanaan otonomi daerah karena pemenuhan kebutuhan masyarakat di daerah tidak semuanya dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif dalam batas jurisdiksi wilayah administratif satu daerah semata. Otonomi daerah telah mendorong terjadinya fragmentasi spasial yang semakin tinggi dan membuat jarak yang semakin melebar antara batas wilayah administratif dengan batas wilayah fungsional.

Hubungan social dan ekonomi secara fungsional seringkali tumpang tindih dan melewati batas-batas wilayah administratif satu daerah otonom. Banyak kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas, seperti: pengelolaan daerah aliran sungai, pelayanan transportasi, pengelolaan sampah, penanggulangan bencana, dan penanganan berbagai masalah kesehatan, dan

membutuhkan keterlibatan lebih dari satu daerah otonom untuk mengelolanya secara efisien dan efektif. Namun, dalam kenyataannya, kerjasama antar daerah dalam

penyelenggaraan pelayanan publik amat sulit diwujudkan. Masing-masing daerah Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
147

cenderung bekerja sendiri-sendiri sehingga membuat kegiatan pemerintahan dan pelayanan menjadi kurang efisien dan efektif. Bahkan, tidak jarang muncul

ketegangan hubungan antar daerah dan penduduk antar daerah otonom ketika penyelenggaraan pelayanan yang memiliki eksternalitas tersebut dinilai tidak adil dan merugikan kepentingan sebagian dari pemangku kepentingan. Kerjasama

antar daerah karenanya perlu diatur dengan jelas dalam undang-undang pemerintahan daerah. Mengingat isu dan obyek kerjasama berbeda sifat dan urgensinya maka kerjasama antar daerah dapat bersifat wajib dan sukarela. pengelolaan kerjasama antar prinsip antara lain: (1) daerah Apapun sifatnya,

harus memperhatikan berbagai prinsip-

berorientasi pada kepentingan umum, (2) bebas dari

keinginan melakukan KKN, (3) saling menguntungkan dan memberdayakan para pihak yang terlibat, (4) berbasis pada sikap saling percaya, menghargai, dan saling membutuhkan, (5) bersifat inklusif dan partisipatif, dan (6) harus ada komitmen masing-masing pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati.
34

Sedangkan, bentuk kelembagaan kerjasama antar daerah dapat bersifat adhoc

atau melembaga, tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan para pihak35.

Permasalahan Upaya untuk melakukan kerjasama antar daerah sudah cukup diusahakan, walaupun umumnya berakhir dengan kegagalan. Kasus GERBANGKERTASUSILO yang mencoba mengintegrasikan pengembangan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan dapat menjadi salah satu contoh dari kegagalan mewujudkan kerjasama antar daerah. Di Jawa Tengah, kasus

kerjasama antara Kabupaten Semarang dengan Kota Semarang juga mengalami kegagalan walaupun mereka menyadari bahwa tanpa kerjasama mereka tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pelayanan air bersih dan persampahan di
34

Keban, Jeremias T., 2009. Kerjasama Antar Daerah, Paper tidak dipublikasikan.

Pratikno, 2007. Kerjasama Antar Daerah: Komp leksitas dan Tawaran Format Kelembagaan, PLOD. Yogyakarta

35

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

148

Kota Semarang. Di wilayah Jakarta dan sekitarnya, sudah lama dirintis kerjasama antara DKI Jakarta dengan beberapa wilayah sekitarnya (Jawa Barat) melalui proyek BOTABEK, JABOTABEK, dan sekarang menjadi JABOTABEKJUR untuk mengatasi berbagai masalah dalam pengembangan wilayah Jakarta dan sekitarnya.36 Namun, berbagai upaya untuk membangun kerjasama antara DKI Jakarta dengan wilayah sekitarnya tersebut selalu mengalami kegagalan. Cerita kegagalan dalam upaya mendorong kerjasama juga terjadi dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo. Akibatnya, pengelolaan DAS Bengawan Solo menjadi tidak efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di sepanjang DAS tersebut dan mengakibatkan terjadi banjir hebat di berbagai kabupaten dan kota yang dilalui oleh sungai tersebut. Kerjasama juga amat sulit diwujudkan dalam pengelolaan lahan gambut di Kalimantan yang selalu menghasilkan kebakaran yang meluas dan menyebarkan asap ke berbagai daerah sekitarnya. Di wilayah Sumatera misalnya, upaya untuk mendorong kerjasama antar daerah dalam membangun jalur transportasi juga belum berhasil dilakukan dengan baik. Kasus kerjasama antar daerah yang mungkin dapat dinilai cukup berhasil adalah kerjasama KERTAMANTUL, yang melibatkan Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul dalam pengelolaan sampah . Dalam pengelolaan sampah ketiga daerah tersebut dapat mewujudkan kerjasama dalam pengelolaan sampah yang pembiayaannya ditanggung bersama dan dibagi sesuai dengan volume sampah yang dihasilkan oleh masing-masing daerah. Sekretariat bersama untuk mengelola kerjasama ketiga daerah dapat dilembagakan dan inisiatif kerjasama untuk bidang-bidang lainya mulai dikembangkan. Keberhasilan dalam pengelolaan sampah bersama menumbuhkan kepercayaan diantara ketiga daerah tersebut bahwa kerjasama antar daerah dapat memberi manfaat bersama dan membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif. Dari berbagai kasus kerjasama antar daerah tersebut, tampak jelas bahwa walaupun kerjasama antar daerah selama ini banyak mengalami kegagalan namun
36

Keban, Ibid 149

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

kerjasama antar daerah bukan sesuatu yang mustahil karena ternyata jika dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh kerjasama antar daerah dapat sangat bermanfaat bagi masyarakat di daerah. Keberhasilan KERTAMANTUL memberi inspirasi bagi daerah lainnya untuk dapat merintis kerjasama dengan daerah lainnya. Masalah publik sekarang dan di masa mendatang akan semakin kompleks dan tidak mungkin ditanggung oleh daerah secara sendiri-sendiri. Kegagalan

membangun kerjasama antar daerah bukan hanya menghilangkan kesempatan warga di daerah untuk memperoleh pelayanan publik yang berkualitas dan lebih murah tetapi juga membawa kepada mereka potensi konflik horizontal yang sangat besar dan sulit dikendalikan, jika hal itu terjadi.

Analisis Ada dua permasalahan yang perlu diperjelas dalam hal kerjasama antar daerah, yaitu: mengapa amat sulit mendorong kerjasama antar daerah dan mengapa banyak dari upaya kerjasama antar daerah menemui kegagalan? Otonomi daerah yang mendorong terjadi fragmentasi spasial mestinya harus dibarengi semangat kerjasama antar daerah yang lebih besar. Jika otonomi

daerah tidak dibarengi oleh penguatan semangat kerjasama antar daerah maka otonomi daerah dapat menciptakan ketegangan hubungan antar daerah dan melahirkan potensi konflik horizontal. Apalagi dalam disain otonomi daerah yang mengalihkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada kabupaten/ kota, potensi konflik antar daerah sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi semakin besar. Hal ini terjadi karena pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan dan kegiatan social ekonomi masyarakat di satu kabupaten/ kota akan menjadi semakin sering bertubrukan dengan batas-batas wilayah administratif dari daerah otonom lainnya. Menyadari hal ini, sebenarnya pemerintah telah mendorong kerjasama antar daerah melalui berbagai instrument kebijakan. UU N0. 25/2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional, UU N0.32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah, UU N0.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
150

telah berupaya mendorong terjadinya kerjasama antar daerah.

Bahkan,

pemerintah juga telah menerbitkan PP N0.50/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah yang dimaksudkan untuk memberi dukungan kepada daerah untuk melakukan kerjasama dengan daerah lainya dalam menyelesaikan berbagai masalah publik yang memiliki eksternalitas yang melewati batas-batas administratif. Namun, berbagai instrumen kebijakan tersebut tampaknya belum

efektif untuk mendorong daerah untuk bekerjasama karena kendala dan disinsentif untuk bekerjasama masih sangat besar. Salah satu penyebabnya adalah instrument kebijakan yang ada belum mampu memberi insentif yang cukup efektif untuk mendorong daerah

bekerjasama.

Dalam kondisi dimana modal sosial dan trust yang ada dalam

masyarakat cenderung mengecil 37 maka insentif untuk bekerjasama menjadi instrument kebijakan yang penting. Kecenderungan daerah menjadi semakin

narrow minded dan ketegangan hubungan antar daerah yang semakin tinggi
membuat dorongan untuk bekerjasama menjadi semakin memudar. Peraturan perundang-undangan yang ada sejauh ini masih belum menjanjikan insentif yang memadai bagi daerah untuk bekerjasama. Pada hal peluang untuk memanfaatkan instrument kebijakan yang ada, misalnya melalui penggunaan DAK sangat terbuka. Untuk itu diperlukan adanya pengaturan yang membolehkan penggunaan DAK untuk pembiayaan kerjasama antar daerah dan antar pemerintah dengan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga. Disamping memberi insentif, instrumen kebijakan juga diperlukan memberi disinsentif yang lebih besar bagi daerah yang gagal melakukan kerjasama dalam menyelesaikan masalah public yang eksternalitasnya melewati batas-batas provinsi dan kabupaten/kota. Masalah publik yang strategis dan kegagalan

menyelesaikannya memiliki implikasi yang besar bagi kehidupan warga di daerah, maka kerjasama menjadi sangat penting dan bersifat wajib. Di banyak Negara lainnya, kolaborasi antar daerah dan antar susunan pemerintahan menjadi keniscayaan ketika masalah yang dihadapi bersifat strategis dan
37

melibatkan

Dwiyanto, Agus, 2007. Apakah kepercayaan publik masih menjad i modal social kita? Analisis terhadap data Government Assessment Survey 2006, Makalah Seminar Bulanan PSKK UGM

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

151

kepentingan para pihak.38 Di Indonesia, walaupun masalah yang dihadapi sangat strategis seperti dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo dan penanganan banjir di Jakarta, kerjasama antar daerah dan antar pusat dengan daerah amat sulit diwujudkan. Dalam situasi seperti ini disinsentif diperlukan. Salah satu caranya dengan membolehkan pemerintah mengambil alih penanganan masalah tersebut dengan membebankan pembiayaannya secara proporsional kepada APBD. Melalui instrument insentif dan disinsentif ini pemerintah dapat mendorong terwujudnya kerjasama antar daerah dan bila mana perlu, antar pemerintah dengan daerah. Instrumen kebijakan ini hanya akan efektif kalau konsekwensi dari kegagalan melakukan kerjasama cukup signifikan bagi daerah dan warganya. Insentif dan disinsentif tersebut perlu diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Tentu insentif dan disinsentif tidak cukup, mengingat trust yang ada

antar daerah dan antar pusat dengan daerah cenderung menurun selama dekade terakhir ini. Diperlukan upaya lain untuk mencairkan hubungan antar daerah dan tradisi untuk bekerjasama. Dalam konteks ini, fasilitasi terhadap asosiasi berbagai pemerintahan menjadi sangat penting peranannya.

Usulan Perubahan 1. Revisi Undang-Undang N0.32/2004 perlu memperkuat pengaturan tentang kerjasama antar daerah yang dapat bersifat wajib dan sukarela. Untuk kerjasama yang diperlukan untuk menyelesaikan lintas kabupaten/ kota dan provinsi yang bersifat strategis dan kegagalan pengelolaannya memiliki dampak yang besar bagi warga di daerah maka kerjasama tersebut bersifat wajib. 2. Ketika kerjasama bersifat wajib dan daerah dinilai gagal melakukan kerjasama untuk penyelesaian masalah pelayanan publik yang bersifat lintas kabupaten/ kota atau lintas provinsi, maka pemerintah dapat mengambil alih penyelenggaraan pelayanan tersebut dan membebankan

38

Lihat Thompson dan Perry, 2006. Collaboration Processes: Inside the Black Box. Public Administration Review; 66, Academic Research Library, 20-32

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

152

pembiayaannya proporsional.

pada

APBD

masing-masing

daerah

terkait

secara

3. Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai bentuk lembaga kerjasama antara daerah untuk mendorong semangat kerjasama antar daerah.

IV.13 Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

Dasar Pemikiran Sebagai lembaga yang bertugas memberi pertimbangan kepada Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) harus memiliki kapasitas yang memadai untuk merespon berbagai isu terkait dengan implementasi otonomi daerah. Dinamika politik, ekonomi, dan legal-administratif dari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sangat kompleks sekarang ini sering memunculkan masalah-masalah baru yang perlu segera dicarikan solusinya oleh pemerintah. DPOD harus dapat mengantisipasi dan memberi rekomendasi kebijakan yang solid dan sound kepada Presiden terkait dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Untuk dapat memberi rekomendasi kebijakan yang solid dan sound kepada Presiden dalam merespon berbagai isu kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka DPOD harus didukung oleh tim kajian yang melibatkan pakar dari berbagai latar keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu fungsi advisory dan kajian yang selama ini melekat pada DPOD harus dipisahkan. DPOD sebagai advisory body secara kelembagaan dipisahkan dari fungsinya sebagai policy research and analysis institutions. DPOD sebagai

advisory body hanya beranggotakan para Menteri dan pemangku kepentingan


terkait yang bertugas memutuskan mengenai rekomendasi yang akan diberikan kepada presiden terkait dengan isu-isu strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

153

Untuk membantu DPOD dalam merumuskan rekomendasi kebijakan maka DPOD perlu didukung oleh tim kajian ( think tank) yang kuat yang melibatkan para pakar dari latar keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tugas dari tim kajian adalah membuat positioning paper terhadap isu-isu strategis yang muncul dan menyediakan pilihan kebijakan dan segala

konsekwensinya untuk menanggapi setiap isu strategis yang akan dibicarakan dalam rapat DPOD. Adanya position paper yang didukung oleh fakta empirik akan membuat para anggota DPOD dapat memberikan rekomendasi yang conclusive kepada Presiden. Untuk itu restrukturisasi DPOD perlu dilakukan. DPOD diarahkan

sepenuhnya menjadi advisory body untuk Presiden dalam mengambil kebijakan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk dapat menjalankan fungsinya DPOD didukung oleh sebuah working groups yang terdiri dari kelompok pakar yang memiliki latar keilmuan yang relevan dengan masalah

penyelenggaraan pemerintahan daerah dan memiliki integrasi yang kuat. Dengan demikian, rekomendasi kebijakan yang diberikan DPOD kepada Presiden benarbenar conclusive dan didukung oleh kajian yang solid dan memiliki dukungan empirik yang memadai. Lebih dari itu, DPOD harus dikelola oleh sekretariat yang kuat dan dipimpin oleh seorang profesional yang bekerja penuh waktu.

Identifikasi Permasalahan Salah satu masalah penting dalam pemberdayaan DPOD adalah

kapasitasnya dalam memberi rekomendasi terhadap Presiden untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam merespon berbagai masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Misalnya, dalam pemekaran daerah DPOD sering tidak

dapat memberi rekomendasi yang conclusive dan mampu mengendalikan pemekaran daerah sehingga pemekaran daerah benar-benar membawa manfaat bagi kemajuan daerah induk dan daerah otonom baru. Banyaknya daerah otonom baru dan daerah induknya yang mengalami penurunan kinerja pasca pemekaran menjadi indikasi bahwa kapasitas DPOD untuk benar-benar menjadi advisory body Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
154

masih dipertanyakan. Banyaknya temuan yang menunjukan adanya penurunan kinerja daerah otonom baru dan daerah induk membuktikan bahwa rekomendasi yang dibuat oleh DPOD kurang valid dan sound. Masalah lain yang dihadapi oleh DPOD adalah rendahnya kapasitas internal DPOD dalam mengelola kegiatan DPOD dan memberi dukungan kepada anggotanya sehingga mereka dapat bekerja secara efektif. Kesulitan DPOD untuk mengelola sumberdaya yang ada sehingga mampu merumuskan agenda yang strategik yang perlu direspon oleh para anggota DPRD sering membuat rekomendasi kebijakan yang diberikan oleh DPOD menjadi kurang optimal dan efektif. Akibatnya, DPOD sering tidak mampu memberi rekomendasi kebijakan yang solid dan conclusive secara cepat untuk merespon masalah dan isu strategis di daerah seperti pemekaran, restrukturisasi kelembagaan daerah dan

kepegawaian daerah, pemberdayaan kapasitas fiskal daerah, dan pembatalan peraturan daerah. Sedangkan masalah-masalah tersebut sangat strategis dan perlu segera ditanggapi oleh Presiden. Dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang sangat tinggi di daerah sering membuat keterlambatan dalam merespon masalah kebijakan tertentu dapat menghasilkan situasi yang lebih buruk terjadi di daerah. Kesulitan DPOD untuk memberi dukungan yang optimal sebagian

disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya yang tersedia di sekretariat DPOD. Terbatasnya sumberdaya yang tersedia untuk DPOD, termasuk tenaga ahli untuk melakukan kajian terhadap pemerintahan isu dan masalah membuat tertentu DPOD terkait menjadi dengan kurang

penyelenggaraan

daerah

fungsional. Untuk dapat memberi rekomendasi yang solid dan sound maka DPOD harus memiliki informasi yang memadai yang dapat menjadi dasar merumuskan rekomendasi kepada Presiden. Ketidaksiapan informasi dan tidakadanya policy

papers terkait dengan isu yang dibahas di rapat DPOD sering membuat DPOD
kurang siap membahas isu dan masalah strategis yang berkembang di daerah. Restrukturisasi diperlukan untuk membuat DPOD dapat berperan sebagai advisory

body yang kuat dan effektif.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

155

Analisis Kurangnya dukungan informasi yang diperlukan untuk memberi

rekomendasi kebijakan sering membuat DPOD terkesan lamban dalam merespon dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan strategis yang perlu diambil oleh Presiden untuk merespon berbagai masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah seperti masalah pemekaran daerah, peningkatan kapasitas fiskal daerah, dana perimbangan daerah, dan

restrukturisasi kelembagaan daerah tentu membutuhkan broad-based information dan data-data yang obyektif sebagai pendukungnya. DPOD sering mengalami

kesulitan untuk memproduksi informasi dan fakta empirik yang dapat menjadi landasan yang kokoh dalam merekomendasi kebijakan kepada Presiden. Hal ini terjadi karena sebagai advisory body, DPOD tidak didukung oleh

think tank atau kelompok kerja yang kuat dan mampu menghasilkan positioning paper terkait dengan isu-isu yang dibicarakan di DPOD.
Kelompok kerja dan sekretariat DPOD yang ada sekarang ini bersifat adhoc dan umumnya dirangkap oleh pejabat struktural dari berbagai instansi yang terkait. Akibatnya dukungan sekretariat dan kelompok kerja terhadap DPOD sebagai advisory body relatif amat terbatas dan kurang optimal. Tidak tersedianya Tim Pakar yang berlatar keilmuan berbeda namun relevan dengan masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah yang secara penuh atau paruh waktu bekerja untuk untuk membantu kelompok kerja yang ada dalam merumuskan position papers terkait dengan masalah dan isu kebijakan yang perlu direspon oleh DPOD membuat DPOD mengalami kesulitan untuk memperoleh informasi yang sahih dan kuat untuk menjadi dasar dalam merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Presiden. Keberadaan beberapa

pakar pemerintahan daerah dalam keanggotaan DPOD tidak banyak membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh DPOD dalam merumuskan rekomendasi kebijakan karena kedudukan mereka sebagai anggota DPOD hanya terlibat dalam kegiatan DPOD ketika rapat DPOD diselenggarakan. Mereka tidak memiliki

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

156

kesempatan untuk melakukan kajian secara mendalam terhadap masalah yang akan dibicarakan dalam persidangan DPOD. Sebagai

advisory

body,

DPOD

memerlukan

banyak

kajian

untuk

merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Presiden.

Untuk itu DPOD

memerlukan dukungan sebuah think tank atau kelompok kerja yang secara khusus dirancang untuk mekakukan analisis dan merumuskan policy papers and briefs terkait dengan isu dan masalah strategis dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Adanya policy think tank akan sangat membantu DPOD dalam menjalankan misinya sebagai advisory body. Untuk itu restrukturisasi kelembagaan DPOD diperlukan. DPOD sebagai

advisory body perlu didukung oleh sekretariat yang memadai dan policy think tank
yang tangguh. Para pakar yang selama ini mewakili dunia akademik dalam DPOD sebaiknya difungsikan sebagai tim pakar untuk think tank yang dibentuk oleh DPOD. Komposisi keanggotaan DPOD perlu diubah sehingga hanya terdiri dari para pengambil kebijakan yang terdiri dari Menteri terkait atau yang mewakilinya. Untuk mengembangan policy think tank yang tangguh DPOD perlu memperoleh sumberdaya yang memadai agar dapat memberi dukungan yang memadai sehingga analisis dan riset untuk merumuskan policy papers and briefs dapat dilakukan dengan baik.

Usulan Perubahan Untuk memperkuat kapasitas DPOD dalam merekomendasi kebijakan kepada Presiden terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah maka beberapa hal berikut perlu dilakukan: 1. Merumuskan kembali struktur kelembagaan dan keanggotaan DPOD. DPOD sebagai

advisory body

kepada

Presiden

dalam

penyelenggaraan

pemerintahan daerah hanya beranggotakan Menteri, pemangku kepentingan terkait termasuk asosiasi pemerintahan daerah, dan dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Para pakar yang selama ini menjadi anggota DPOD sebaiknya difungsikan Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
157

sebagai pakar yang dipekerjakan pada think tank yang secara khusus dibentuk untuk merumuskan rekomendasi kebijakan terkait dengan isu-isu strategik dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

2. Memperkuat dukungan teknis kepada DPOD DPOD perlu diperkuat dengan lembaga pendukung yang kuat dan memiliki sumberdaya yang memadai untuk dapat mengelola policy think tank yang tangguh. Keberadaan policy think tank yang tangguh sangat diperlukan karena dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat tinggi dan isu dan masalah kebijakan berkembang dengan cepat dan memerlukan kebijakan yang tepat dan efektif.

3. Penguatan sekretariat DPOD Pengaturan perlu dibuat untuk memungkinkan DPOD dapat bekerja secara efektif dan mampu secara optimal memberi rekomendasi kebijakan untuk merespon berbagai masalah kebijakan otonomi daerah. DPOD perlu didukung oleh

sekretariat yang tidak bersifat adhoc, yang pejabatnya merangkap jabatan-jabatan lainnya di berbagai instansi terkait, tetapi oleh profesional yang bekerja penuh waktu.

IV.13

Inovasi Daerah dan Tindakan |Hukum terhadap Aparat Daerah

Dasar Pemikiran Majunya suatu bangsa banyak ditentukan oleh kemampuan bangsa tersebut membuat terobosan pemikiran dalam menangani persoalan-persoalan yang dihadapi serta menciptakan ide-ide baru dalam pembangunan bangsanya. Upaya untuk menjaga keseimbangan antara keinginan menciptakan kepastian hukum dengan pemberian kewenangan diskresi bagi para penyelenggara Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
158

pemerintahan

daerah

perlu

dilakukan.

Maraknya

berbagai

bentuk

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para penyelenggara pemerintahan daerah mengharuskan pemerintah mereformasi peraturan perundangan agar peluang penyalahgunaan kekuasaan dapat dikurangi. Namun, di sisi lain

pemerintah perlu memberi ruang yang memadai bagi pejabat publik untuk mengambil diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dinamika sosial,

politik, dan ekonomi di daerah yang sangat tinggi sering menuntut para pejabat publik mengambil diskresi dan menciptakan inovasi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dua kepentingan ini, mengurangi peluang untuk

penyalahgunaan kekuasaan dan memberi ruang untuk mengambil diskresi, sering bersifat dilematis, tetapi pilihan harus diambil oleh pemerintah. Dalam menghadapi pilihan dilematis seperti ini, pemerintah harus dapat mengambil pilihan yang menjaga keseimbangan dari kedua kepentingan tersebut. Upaya untuk menegakan kepastian hukum perlu dilakukan tetapi perlindungan terhadap inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warganya dan memenuhi kepentingan umum juga harus dilakukan. Jika hal ini tidak dilakukan maka para pejabat publik akan takut melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya, penegakan dan perlindungan hukum bagi pejabat publik dalam mengembangkan inovasi harus ditempatkan sebagai upaya penguatan kepastian hukum itu sendiri. Pada sisi lain aparat daerah sekarang ini sering mengalami kegamangan manakala menemukan daerah abu-abu karena peraturan perundang-undangan yang bermasalah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peraturan perundangundangan sektor sering masih belum harmonis dengan peraturan perundangundangan otonomi daerah. Kondisi tersebut sering bermuara pada terjadinya pelanggaran hukum dan bermuara pada tuduhan tindak kriminal. Menghadapi hal tersebut, muncul kecenderungan aparat daerah menghindari hal-hal yang abu-abu namun keputusan harus diambil manakala menyangkut kepentingan masyarakat daerah tersebut.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

159

Untuk itu diperlukan kejelasan dan ketegasan, hal-hal mana yang masuk dalam ranah administratif dan hal-hal mana yang masuk ranah pidana manakala diduga terjadi pelanggaran oleh aparat pemda. Aparat pengawas pemerintah seperti Badan Pengawasan dan Pemeriksaan Pembangunan (BPKP) dapat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk menentukan apakah suatu pelanggaran masuk kedalam pelanggaran yang bersifat administrative (non yustisia) atau masuk ke ranah pidana (pro yustisia). Hasil pemeriksaan yang dilakukan BPKP yang kemudian ditindak lanjuti oleh aparat penegak hokum manakala terbukti bahwa yang disangkakan tersebut bersifat pelanggaran pidana.

Identifikasi Permasalahan Upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penegak hukum terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penyelenggara pemerintahan daerah perlu memperoleh dukungan. Namun pelaksanan penegakan hukum harus dilakukan dengan cermat dan konsisten agar tidak menimbulkan ketidakpastian dikalangan para penyelenggara pemerintaan daerah. Untuk itu Menpan

mengeluarkan keputusan Nomor 148/Menpan/5/2003 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat. Keputusan Menpan ini dikeluarkan sebagai acuan dalam rangka menangani kasus-kasus penyidikan yang dilakukan atas dasar pengaduan masyarakat yang sering kurang dapat dipertanggungjawabkan, serta terjadinya tumpang-tindih pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan di daerah. Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering membuat para penyelenggara pemerintahan di daerah mengalami keresahan dan ketakutan

untuk mengambil inisiatif dan diskresi dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Banyak penyelenggara pemerintahan yang mengambil sikap pasif dan kurang responsif terhadap pemenuhan kepentingan publik yang berkaitan dengan jabatannya. Mereka sering menjadi takut dan ragu dalam mengambil diskresi. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan kreativitas,

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

160

semangat innovasi, kepentingan publik. 39

dan keberanian mengambil terobosan-terobosan demi

Rendahnya kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh daerah dapat diamati dengan sedikitnya teladan (best practices) yang berhasil dikembangkan oleh daerah. sedikit dari Dari lebih 530 provinsi dan kabupaten/ kota di Indonesia hanya mereka yang berhasil mengembangkan inovasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah.40 Lebih dari itu, banyak data menunjukan bahwa daya serap APBD cenderung rendah dan banyak dana daerah yang sebenarnya dapat digunakan untuk menggerakan sektor riil dan mempercepat pembangunan daerah sekarang ini cenderung ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah yang kemudian sering dibelikan SBI.

Analisis Persoalan dilematis yang dihadapi dalam perlindungan hukum terhadap inovasi yang dilakukan oleh aparatur daerah terjadi karena Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan pejabat publik mengambil diskresi. Ruang yang tersedia untuk mengambil diskresi bagi aparatur daerah belum diatur dengan jelas sementara tuntutan dan tekanan untuk mengambil tindakan dalam menyelesaikan masalah publik di daerah menuntut aparatur daerah untuk segera bertindak agar masalah dapat diselesaikan dengan baik. Diluar itu, banyak peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan dan tidak sesuai lagi dengan masalah dan tantangan yang dihadapi oleh daerah, namun belum diperbaharui dan karenanya sering masih diberlakukan oleh aparat pengawasan dan penegak hukum. Kondisi seperti ini

tentu membuat aparatur di daerah mengalami kesulitan untuk menanggapi dinamika politik dan ekonomi yang sangat tinggi sekarang ini.
39

Mereka sering

Tidak jarang satu objek diperiksa berkali-kali o leh pengawas yang berasal dari instansi yang sama dan hasilnya berbeda-beda. Akibatnya, para pejabat merasa tertekan. Sumber: Swamandiri; Media Berbagi Visi, Ide dan Gagasan. Pengawasan Menuju Clean Governm ent. http://swadaya.wordpress.com/2008/01/23/pengawasan-menuju-clean-government/ 40 Majalah Temo, Desember/ Januari 2009 menjelaskan 10 Bupati/ Walikota yang dinilai berhasil memajukan daerah. Salah satu ukuran dari keberhasilannya adalah kemampuan mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

161

mengalami kegalauan ketika dihadapkan pada tekanan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk merespon kebutuhan publik, namun pada sisi lain mereka sadar bahwa perlindungan hukum bagi inovasi di Indonesia belum diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Di banyak negara-negara yang memiliki sistim administrasi publik yang maju, ada banyak peraturan perundang-undangan yang memberi ruang yang memadai bagi aparatur negara termasuk yang di daerah untuk mengembangkan inovasi.

Sunset rules, rule waive, dan reinvention laboratory dibuat untuk

memberi ruang bagi aparatur pemerintah untuk mengambil diskresi dalam rangka melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Seorang aparatur negara yang melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik akan memperoleh perlindungan hukum tertentu, sejauh tindakannya dilakukan untuk memenuhi kepentingan publik, tidak didasarkan pada kepentingan sendiri, keluarga, dan kelompok. Penyebab lainnya adalah kurang berfungsinya Hukum Administrasi Negara. Pengembangan hukum acara pidana jauh lebih maju daripada hukum acara administrasi negara. Akibatnya, banyak kasus-kasus kesalahan administrasi dan prosedur yang kemudian diselesaikan dengan hukum acara pidana. seperti terus berlanjut, sangat sulit mengharapkan aparat Jika hal daerah

mengembangkan inovasi, yang amat diperlukan untuk daerah untuk mengatasi kekosongan peraturan dan kejadian-kejadian yang bersifat kontingensi.

Usulan Perubahan 1. Perlu ada pengaturan yang jelas tentang kesempatan, tata cara, dan pengelolaan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Aparatur daerah dapat melakukan inovasi sejauh tidak bertentangan ketentuan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pengalaman menunjukan teladan (best

practices) tidak mudah direplikasi di daerah lainnya karena kesempatan


melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan pemerintahan tidak tersedia. Pengaturan perlu dibuat untuk memberi ruang yang memadai Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
162

kepada aparat daerah untuk mengembangkan inovasi tanpa harus dihadapkan kepada kekawatiran untuk dihadapkan pada persoalan hukum sejauh inovasi dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak mengandung konflik kepentingan, dan tidak merugikan keuangan negara. 2. Untuk menciptakan kepastian hukum bagi aparatur dalam mengelola kegiatan pemerintahan perlu ada aturan yang jelas mengenai proses penegakan hukum terhadap aparatur daerah ketika melaksanakan kebijakan publik yang menjadi kewenangannya. Pengaturan tersebut harus dapat mendorong adanya

pemerintahan yang bersih tetapi juga tidak menghalangi aparatur untuk mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 3. Perlu ada pengaturan yang melindungi aparatur daerah yang mengambil kebijakan publik dari tindak pidana sepanjang tindakannya dilakukan untuk memenuhi kepentingan umum, tidak merugikan kepentingan negara, tidak untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kelompok, dan bertentangan dengan hukum. Kegagalan dari pelaksanaan kebijakan yang terjadi jangan dianggap pelanggaran pidana dan tidak dapat dikriminalkan. Pengaturan

seperti ini penting untuk mencegah terjadinya kriminalisasi kegagalan kebijakan publik yang dapat menghalangi inovasi kebijakan dan pelayanan publik di daerah.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

163

BAB V PENUTUP

Pelaksanaan

desentralisasi

di

Indonesia

masih

mengalami

banyak

hambatan dan kendala sehingga tujuan dari kebijakan tersebut belum dapat diwujudkan secara optimal. Hambatan dan kendala tersebut muncul sebagian

karena pengaturan yang ada dalam Undang-Undang 32 tahun 2004 belum mampu secara tepat mengantisipasi dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang di daerah yang cenderung menjadi semakin tinggi. Akibatnya,

banyak masalah yang muncul di daerah tidak dapat diselesaikan dengan pengaturan yang ada. Bahkan, dalam beberapa hal pengaturan yang ada di

Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 sudah tidak lagi cocok dan relevan untuk digunakan, karena situasi yang dihadapi oleh pemerintah baik pusat ataupun

daerah sudah berbeda dengan yang dulu dijadikan sebagai dasar dalam pembentukan Undang-Undang N0.32 Tahun 2004. Pengaturan tentang pemekaran daerah, kepegawaian, perencanaan, dan pembagian urusan perlu dirumuskan kembali karena dinamika yang terjadi di daerah tidak lagi dapat dikelola dengan menggunakan pengaturan yang ada. Kecenderungan pemekaran daerah yang sulit dikendalikan dalam beberapa tahun terakhir ini dan menimbulkan dampak negatif bagi daerah induk dan daerah otonom baru memerlukan pengaturan yang berbeda dan dapat menjamin bahwa pemekaran yang terjadi nantinya benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas baik di daerah induk ataupun di daerah otonom baru. Hal yang sama juga terjadi dalam aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah lainnya seperti aspek kepegawaian. Pengaturan yang ada sekarang ternyata telah gagal mendorong adanya profesionalisme, mobilitas pegawai lintas daerah dan antar susunan pemerintahan, dan netralitas mereka terhadap kekuatan politik yang ada di daerah. Menghadapi situasi seperti ini maka perbaikan terhadap pengaturan yang ada di Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 perlu dilakukan. Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
164

Lebih dari itu, muncul fenomena baru yang ada dalam masyarakat di daerah yang memerlukan norma baru karena belum diatur sama sekali dalam Undang-Undang N0.32 Tahun 2004 seperti meluasnya kebutuhan partisipasi masyarakat dan kapasitas masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan di daerah. Fenomena semacam ini perlu diatur dengan jelas sehingga kapasitas yang meningkat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan

masyarakat

pemerintahan di daerah dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal yang sama juga terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang juga belum diatur dalam Undang-Undang N0.32 Tahun 2004. Sedangkan pelayanan publik adalah hal yang sangat penting dan salah satu tujuan utama dari pelaksanaan desentralisasi. Karena itu, dalam perbaikan Undang-Undang N0.32 Tahun 2004 pengaturan tentang pelayanan publik perlu ditambahkan. Dengan pertimbangan seperti tersebut diatas, perubahan Undang-Undang N0.32 Tahun 2004 dirancang untuk memperbaiki pengaturan-pengaturan yang dinilai kurang mampu bekerja secara optimal dalam mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi dan sekaligus, menambah pengaturan baru yang diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat di daerah. Tanpa adanya perbaikan terhadap Undang-Undang penyelenggaraan N0.32 Tahun 2004 daerah maka amat sulit mampu mengharapkan mewujudkan

pemerintahan

benar-benar

kehidupan yang lebih baik bagi warganya.

Bahkan, tanpa perbaikan Undang-

Undang N0.32 Tahun 2004 dikawatirkan penyelenggaraan pemerintahan daerah akan menjadi semakin buruk dan mengganggu kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, perubahan dan perbaikan Undang-Undang N0.32 Tahun 2004 adalah satu keniscayaan. Dengan berbagai pertimbangan diatas, maka para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan diharapkan dapat memahami dengan baik mengapa perbaikan terhadap Undang-Undang N0.32 Tahun 2004 diperlukan, aspek apa saja yang perlu diperbaiki dan diperkuat, dan hal-hal baru yang memerlukan pengaturan lebih jelas dalam Undang-Undang yang baru. Dengan adanya

perbaikan diharapkan berbagai masalah yang selama ini terjadi di daerah dapat Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
165

dicarikan solusinya dengan baik sehingga penyelenggarakan pemerintahan daerah dapat berjalan secara efisien, efektif, dan akuntabel. Perbaikan praktik

penyelenggaraan pemerintahan itu nantinya diharapkan dapat mempercepat terwujudnya kemajuan daerah dan kesejahteraan warganya.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

166

Daftar Pustaka

Agrawal, Arun, and Clark C. Gibson. "Enchantment and Disenchantment: The Role

of Community in Natural Resource Conservation." World Development 27, no. 4


(1999): 629-49.

Andersson, Krister. " What Motivates Municipal Governments? Uncovering the

Institutional Incentives for Municipal Governance of Forest Resources in Bolivia."


Journal of Environment and Development 12, no. 1 (2003): 5-27.

Andersson, K., C. Gibson, and F. Lehoucq. "The Politics of Decentralizing Natural

Resource Policy." PS: Political Science and Politics 37, no. 3 (2004): 421-26.

Andrew, Christina W and Michiel S. de Vries, High Expectation, Varying

Outcomes: Decentralization and Participation in Brazil, Japan, Russia and Sweden,


http://ras.sagepub.com/cgi/content/abstract/73/3/424.

Aritonang, Baharuddin. Stop Dululah Pemekaran Daerah. http://www.bpk.go.id/

Bardhan, P., and D. Mookherjee. " Capture and Governance at Local and National

Levels." American Economic Review 90, no. 2 (2000): 135-39.

Boone, Catherine, Decentralization As Political Strategy in West Africa, http://cps.sagepub.com/cgi/content/abstract/36/4/355.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

167

Boone, Catherine, Decentralization opening a new window for corruption; An

Accountability Assesment of malawis Four Years of Democratic Local Governance,


http://cps.sagepub.com.

Crook, Richard , and James Manor. Democracy and Decentralization in Southeast

Asia and West Africa: Participation, Accountability and Performance. Cambridge:


University of Cambridge, 1998.

Deininger, Klaus, and Paul Mpuga. "Does Greater Accountability Improve the

Quality of Public Service Delivery? Evidence from Uganda." World Development 33,
no. 1 (2005): 171-91.

Diamar, Son. Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Dillinger, B. "Decentralization, Politics and Public Sector." In Decentralizing

Infrastructure: Advantages and Limitations, edited by A. Estache. Washington


D.C.: World Bank Discussion Papers 290, 1995.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003a. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi

Daerah, Yogyakarta: PSKK UGM

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003b. Teladan dan Pantangan Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: PSKK UGM


Dwiyanto, Agus, 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

168

Dwiyanto, Agus, dkk. 2007. Kinerja Tata Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: PSKK UGM

Esman, M.J. 1991. Management Dimensions of Development: Perspectives and

Strategies. West Hartford, Connecticut: Kumarian Press, Inc.

Ferrazi, Gabe, 2007. Exploring Reform Options In Functional Assignment(Draf Report), Jakarta: DSF and GTZ

Fisman, Raymond and Roberta Gatti. "Decentralization and Corruption: Evidence

across Countries." Journal of Public Economics 83, no. 3 (2002): 325-45.

Fleurke, Frederik and Rudie Hulst, A Contingency Approach to Decentralization, Public Organization Rev (2006) 6:37-56

Hamdi, Muchlis Pembinaan dan Pengawasan Dalam Hubungan Pusat-Daerah, paper tidak diterbitkan

Hoessein, Benyamin. Produk Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan

Tugas Pembantuan , Paper tidak diterbitkan, 2007.

Hoessein, Benyamin dan Eko Prasojo, Konsep Pembagian Kewenangan (Urusan)

Antar Tingkat Pemerintahan, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Indrayana,

Denny.

Ada

Unsur

Melecehkan

Al

Quran

dan

Hadist.

http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatrae disi-vii.pdf Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
169

Katorobo, 2007. Decentralization and Local Autonomy for Participatory Democracy, in Public Administration and Democratic Governance: Governments Serving

Citizens. New York: United Nations: Economic and Social Affairs.

Kauneckis, D. dan K. Anderson. 2006. Making Decentralization Work: A Cross-

National Examination of Local Governments and Natural Resource Governance in Latin America. : Dalam: kauneck@unr.edu.

Keban, Jeremias T. Perencanaan Pembangunan Daerah, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Kertapraja, E. Koswara, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan

Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Paper tidak diterbitkan,2007.

Kertapraja, E. Koswara. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

Kohl, Benjamin, Democratizing Decentralization in Bolivia: The Law of Popular

Participation, http://jpe.sagepub.com/cgi/content/abstract/23/2/153
KOMPAS. Pejabat di Daerah Harus Kompak, Bupati dan DPR Jangan Saling

Menjatuhkan.http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=detail_beri
ta&id=524

LAKPESDAM.

Merebut

Anggaran

Publik;

Jalan

Panjang

Menuju

DemokratisasiPenganggaranDaerah.http://www.pbet.org/Publikasi/Buku/Merebut
_Anggaran_Publik_ Lakpesdam.pdf Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
170

Lam,Jermain T.M., Decentralization in Public Administration: Hong Kongs

Experience, http://ppa.sagepub.com/cgi/content/abstract/11/1/

Larson, Anne M. "Natural Resources and Decentralization in Nicaragua: Are Local

Governments up to the Job?" World Development 30, no. 1 (2002): 17-31.

Manin,

Bernard,

Adam

Przeworski,

and

Susan

Stokes.

"Elections and

Representation." In Democracy, Accountability, and Representation, edited by


Bernard Manin, Adam Przeworski and Susan Stokes. Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

Manor, James. "The Political Economy of Democratic Decentralization." 145. Washington, D.C.: World Bank, 1999.

Meinzen-Dick, Ruth, Anna Knox, and Monica Di Gregorio. "Collective Action,

Property Rights and Devolution of Forest and Protected Area Management." In


Collective Action, Property Rights and Devolution of Natural Resource Management, edited by Arun and Elinor Ostrom Agrawal, 1999.

Oates, W.E. Fiscal Federalism. New York: Harcourt Brace and Jovanovich, 1972.

Osborne, David and

Ted Gaebler,

1993, Reinventing Government. How the

Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector New York: Plume.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

171

Oyono, Phil Rene. "One Step Forward, Two Steps Back? Paradoxes of Natural

Resources Managment Decentralization in Cameroon." Journal of Modern African


Studies 42, no. 1 (2004): 91-111.

Peterson, George. Decentralization in Latin America : Learning through Experience . Washington D.C.: World Bank, 1997.

Piliang, Indra J., Menggagas Format Ideal Hubungan Antara Kepala Daerah dan

DPRD, Paper tidak diterbitkan,2007.

Pollit, Ch., J. Birchall, and K.Puttman. 1998. Decentralizing Public Service

Management. London: MacMillan Press, Ltd.

Pratikno, Masukan Untuk Revisi UU 32/2004 Terkait Dengan Kerjasama Antar

Daerah, Paper tidak diterbitkan,2007.

Prasojo, Eko. Konsep dan Pengaturan Desentralisasi Fungsional dan Kawasan

Khusus Dalam UU Pemerintahan Daerah, Paper tidak dipublikasikan, 2007.


Raman, G. Venkat,

Development a

Model

for

Developing in

Countries; China,

Decentralization

as

Developmental

Strategy

http://chr.sagepub.com/cgi/content/abstract/42/4/369.

Ribot, Jesse, C. Waiting for Democracy: The Politics of Choice in Natural Resource

Decentralization. Washington D.C. : World Resources Institute, 2004.

Rodden, Jonathan. "Comparative Federalism and Decentralization: On Meaning

and Measurement." Comparative Politics 36, no. 4 (2003).


Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004
172

Rodden, Jonathan, and Erik Wibbels. "Beyond the Fiction of Federalism." World Politics 54, no. 4 (2002): 494-531.

Rondinelli, D. A. Governments Serving People: The changing Role of Public

Administration in Democratic Governance. Dalam Public Administration and Democratic Governance: Governments Serving Citizens. New York: United Nations:
Economic and Social Affairs.

Rondinelli, D.A., Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory

and Practice in Developing Countries, http://ras.sagepub.com/

Rondinelli, D.A., Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory

and

Practice

in

Developing

Countries and

High

Expectations,

varying

outcomes

:decentralization

participation,

http://ras.sagepub.com/

cgi/content/abstract/73/3/424.

Rondinelli, D.A. Implementing Decentralization Programs In Asia: Comparative

Analysis, Public Administration and Development, (1983) Vol. 3 181-207

Rondinelli, D.A., J.S. McCoullough, and R.W. Johnson. "Analyzing Decentralization

Policies in Developing Countries: A Political-Economy Framework." Development


and Change 20, no. 1 (1989): 5-27.

Salomo, Roy V, Pelayanan Publik Revisi UU 32/2004, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

173

Salomo, Roy V, Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Penyempurnaan UU N0.32/2004:

Perangkat Daerah, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Seabright, Paul. "Accountability

and Decentralization in Government: An

Incomplete Contracts Model." European Economic Review 40 (1996).

Swamandiri; Media Berbagi Visi, Ide dan Gagasan. Pengawasan Menuju

Clean Government.

http://swadaya.wordpress.com/2008/01/23/pengawasan-

menuju-clean-government/

Tempo, Anggota DPRD Ramai-ramai Garap Proyek. ; www.TempoInteraktif.

Treisman, Daniel. "The Causes of Corruption: A Cross-National Study." Journal of Public Economics 76, no. 3 (2000): 399-45.

Turner, M. dan D. Hulme. 1997. Governance, Administration and Development:

Making the State Work. London: MacMillan Press LTD.

Wastiono, Sadu. diterbitkan, 2007.

Pokok-Pokok Penyempurnaan Kecamatan, Paper tidak

Wibbels, Erik. "Federalism and the Politics of Macroeconomic Policy and

Performance." American Political Science Review 44 (2000): 687-702

Yance Arizona , Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif, http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/Disparitas Pengujian Perda.pdf

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

174

Zuhro, Siti. Kepegawaian, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Kementerian Dalam Negeri : Naskah Akademik Revisi UU No 32 Tahun 2004

175

You might also like