You are on page 1of 3

Kapankah aku akan pulang?

Pertanyaan yang selalu terlintas dalam benakku ketika aku melihat horison di ujung samudera. Samudera yang semakin lama kurasa semakin meluas. Horison yang awalnya selalu indah. Tapi kini semakin menyepi ketika kurasa aku semakin sendiri berada ditempat ini. Lalu apa artinya pulang jikalau aku harus berada disini kembali, aku harus menunaikan tugasku kembali. Aku ingin bebas dari ini semua. Kepulanganku nanti bukanlah melepas rindu lalu menumpuknya kembali untuk selanjutnya kutumpahkan lagi. Tidak aku tidak ingin seperti itu, aku ingin pulang layaknya kepulanganku kepada tuhanku nantinya, selamanya. Kududuk disamping senja yang sedang merah merekah. sebuah batu pipih yang besar kupilih untuk duduk bersama senja. Ya, tpai senja itu tidak mau duduk sama sekali, ia selalu terburu-buru. Ia selalu ingin menghilang. Kupikir ia tidak memunyai teman, mungkin temannya adalah ketergesa-gesaan. Ia layaknya bocah yang masih memiliki imajinasi setinggi angkasa, kesana kemari membayangkan dirinya seorang pahlawan yang bisa terbang, berkelahi dan pura-pura tertembak. Ia tidak bisa diam. Ia tidak mau ditemani. Awalnya aku begitu bahagia ketika berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ku di negeri orang. Kebanggaan dan tangis bahagia yang terlukis dari raut kedua orang tuaku kubayangkan terus selama perjalanan. Oh, kamu lolos? Hanya itu yang keluar dari mulut ibuku, kukira apa yang ia ucapkan itu berbanding lurus dengan apa yang ia rasakan dalam hati. Karena ia tak pernah berbohong, menurut pengalamanku. Pertanyaannya, mengapa hanya kalimat itu? Tak ada ucapan selamat, rasa bangga dan tangis bahagia yang selama ini aku bayangkan. Yang kutemui dalam wajahnya hanya kemurungan yang luar biasa, bila tak ada diriku di depannya waktu itu mungkin ia sudah menangis. Tapi mengapa? Ia tak pernah mengatakannya. Ia hanya mengucapkan hatihati selamat sampai tujuan sebelum aku pergi. Sepanjang perjalanan aku sedih luar biasa. Ibu mungkin tidak suka kalau nanti disana aku akan berbuat yang tidak-tidak. aku janji kepada diriku sendiri aku tidak akan mengecewakannya. Selanjutnya aku terlalu kegirangan sampai-sampai aku tidak bisa menemukan alasan dan berbagai kemungkinan yang menyebabkan ibuku sedih luar biasa. Kapankah aku akan pulang? Mengapa aku harus pulang? Pertanyaannya bertambah, sedangkan jawaban pertanyaan sebelumnya pun belum aku temukan. Lalu kapan aku akan pulang? Bila itu berkaitan dengan waktu berarti aku tidak bisa memastikannya. Selalu ada kengerian dalam diriku ketika aku harus memastikan waktu. Aku harus selalu berpikir keras bila saja ada hal yang aku lupakan untuk ku lakukan, atau apabila waktu pasti itu mengharuskanku untuk pergi ke suatu tempat, berarti aku harus menyiapkan berbagai kenangan yang nantinya akan ku ingat di tempat baru. Itu menyusahkan, menurutku. Aku bukan bocah umur lima tahun yang sedang main perang-perangan, keluar lalu sembunyi kembali. Itu jawaban untuk pertanyaanku selanjutnya. Aku tidak bisa seperti senja

yang suka bergegas, terburu-buru. Senja yang tak pernah selesai, ia akan kembali dan selanjutnya bergegas kembali. Aku lebih memilih menyelesaikannya terlebih dahulu. Aku lebih memilih menutup lubang kolam rindu ku ini, untuk selanjutnya ku alirkan menjadi sebuah banjir besar untuk ibuku. Rindu? Muncul dalam benakku bertepatan dengan senja yang mulai dimakan kegelapan. Air pasang sudah menghampiriku, mengajak bermain dengan triliunan pasir dan sejuk airnya. Ya, mungkin rindu yang mengharuskanku pulang. baru kurasakan bahwa kini sesuatu yang sangat tidak kupahami itu menjadi satu-satunya alasan. Apa rindu? Rindu muncul ketika aku sedang sendiri seperti ini. Kalau begitu berarti aku tidak sendiri, ada rindu yang selalu menemaniku. Dan ketika ku pulang nanti rindu ini harus kulepaskan, harus kutinggalkan, harus kugantikan dengan sosok lain yang lebih nyata. Ketika ku kembali ke tempat ini, lalu rindu akan menemaniku lagi. Kasihan. Lalu kupikir, sampai kapan rindu itu akan bersedia menemaniku ketika aku terlalu sering melepaskannya, menggantikannya? Aku takut tak ada rindu lagi ketika ku terlalu sering melepaskannya. Ku ingin sang rindu tetap menemaniku sampai ia beranjak dewasa lalu kulepaskan ketika ia sudah siap untuk mengarungi kehidupannya sendiri. Dan itulah mungkin jawaban untuk pertanyaanku yang kedua. Deburan ombak memaksaku untuk sejenak memerhatikannya. Ombak memang selalu cari perhatian. Buihnya, suaranya dan bentuknya itu selalu sama dengan ombak yang lain. Mereka selalu beriringan. Tak ada satupun dari mereka yang ingin maju terlebih dahulu, memimpin. Keseragaman dan kebersamaan dalam sebuah deburan menjadikan mereka ombak. Apa namanya bila mereka tidak bersama-sama? Apabila mereka saling mendahului? Kecipak, Kecipak Sebuah salmon. Muncul diantarkan ombak yang kuperhatikan. Sebuah ikan salmon dengan warna merah darah, dengan siripnya yang bergoyang dan muka yang angkuh. Aku tertegun. Aku terlalu terkejut memerhatikannya dan mengabaikan bahwa ia akan cepat mati bila tidak kuambil lalu ku lempar lagi kepada ombak yang mengantarkannya. Segera aku sadar, aku mengambilnya. Namun syaraf dalam otakku segera menahan tangan yang hendak melemparkan ikan itu. Lebih baik ku simpan dulu sebentar saja. Aku kesepian di tempat ini. Ikan salmon itu mungkin mampu menghangatkan suasana, pikirku. Ku teliti kembali ikan salmon merah darah itu. Hal yang amat lucu muncul dalam benakku, sekejap aku memberikan nama untuk ikan itu. Marti, nama yang sekejap aku pilih untuk sang salmon. Tidak ada pertimbangan apapun, hanya spontanitas aku menemukan nama itu. Entah untuk apa aku memberinya nama. Ketika nanti kulepaskan ke lautan ia akan sama saja dengan ikan salmon lainnya. Aku akan kesulitan mana ikan salmon marti-ku. Namun biarlah, kupikir semua makhluk di dunia ini berhak memiliki nama. Atau mungkin tuhan sudah memberikannya ia nama hanya saja Ia tidak mau kita memberit tahu kepada kita.

Terus kuperhatikan salmon itu. Sekarang ia tidak meronta sehebat sebelumnya. Nampaknya ia sudah lemas dan lebih menyerahkan hidupnya kepada ku. Entah ia akan berakhir di penggorengan atau bergabung dengan teman lainnya di laut sana, ia tidak peduli. Dan memang ia tidak akan pernah peduli dengan kehidupannya, ia hanya peduli dengan perutnya saja, pikirku. Sudah saatnya aku melepaskan ikan ini, sudah waktunya aku pergi dan senja memang sudah pergi dari tadi tanpa permisi. Senja sudah bermain kembali dengan temannya yang lain di belahan dunia sana. Lagipula ikan ini nampaknya masih ingin merasakan asinnya air laut. Baiklah akan ku lepaskan. Untuk memudahkan aku pegang bagian ekornya, lalu kuputarputar di atas kepala persis seperti seorang koboy amerika. Aku siap melemparkannya. syuutt, plakk Ikan itu tidak menemui lautan, ia malah terlempar ke belakangku. Ada bersitan ingatan yang terlintas bersamaan pelemparan salmon marti-ku itu. Ingatan mengenai suatu hal yang kulakukan di suatu ruangan dengan papan tulis, meja-meja, kursi-kursi, manusia yang sedang berceramah di depan banyak orang, dan aku yang sedang memerhatikannya. Sambil memerhatikan aku tulis kira-kira pokok penting dari pembicaraannya itu dalam buku agenda ku. Aku masih ingat aku menulis apa, kira-kira seperti ini. Salmon Sockeye (Oncohyncus Nerka) Salmon Sockeye adalah makhluk hidup dengan daya jelajah yang mengagumkan. Dilahirkan di sungai dan aliran air tawar, tempat mereka melewatkan masa lima tahun kehidupan awalnya, salmon kemudian berenang ke arah lautan. Begitu mereka keluar dari air tawar, salmon sockeye bermigrasi ke pasifik utara. Mereka tinggal selama dua tahun untuk mencari makan sampai muncul desakan biologis untuk pulang ke rumah dan bertelur di perairan tawar yang sama dengan ketika mereka dilahirkan. Salmon sockeye ternyata memiliki semacam sensor peta tentang koordinat sungai kelahiran mereka di medan magnetik bumi. Mereka mampu mengecek lokasi tersebut sewaktu menjelajah dalam jarak yang jauh. Mereka bisa datang kembali ke lokasi yang persis sama tempat mereka dilahirkan untuk bertelur dan kemudian mati............... Aku mempunyai lebih dari sekedar sensor untuk pulang. dan aku tidak mau pulang untuk mati. Aku lari. Bu, aku segera pulang.

You might also like