Professional Documents
Culture Documents
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan sering dijumpai dan termasuk salah satu di antara tiga trias mematikan, bersama dengan perdarahan dan infeksi, yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas ibu karena kehamilan. Menurut the National Center for Health Statistics pada tahun 1998, hipertensi dalam kehamilan merupakan faktor risiko medis yang paling sering dijumpai. Penyakit ini ditemukan pada 146.320 wanita, atau 3,7 persen di antara semua kehamilan yang berakhir dengan kelahiran hidup. Eklamsia didiagnosis pada 12.345 di antaranya, dan kematian ibu akibat penyulit ini tetap merupakan ancaman. Hampir 18 persen di antara 1450 kematian ibu di Amerika Serikat dari tahun 1987 sampai 1990 terjadi akibat penyulit hipertensi dalam kehamilan. Bagaimana kehamilan memicu atau memperparah hipertensi masih belum terpecahkan walaupun sudah dilakukan riset intensif selama beberapa dekade, dan gangguan hipertensi masih merupakan salah satu masalah yang signifikan dalam ilmu kebidanan.
1.2
Tujuan
1.2.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui hipertensi gestasional, preeklampsia, eklampsia, preeklampsia pada hipertensi kronik, insiden dan faktor risiko, patofisiologi, penatalaksanaan, komplikasi dan pencegahannya.
1.3
BAB II PEMBAHASAN
2.1
hypertension) adalah setiap awitan baru hipertensi yang terjadi dalam kehamilan. Sebutan ini dipilih karena menekankan hubungn sebab akibat antara kehamilan dan suatu bentuk unik hipertensi yang bermanifestasi pada wanita hanya selama reproduksi. Hipertensi yang dipicu oleh kehamilan juga dimaksudkan untuk hipertensi yang timbul tanpa proteinuria, termasuk pada wanita nulipara. Pada wanita nulipara, hipertensi yang dipicu oleh kehamilan juga merupakan prekusor potensial untuk preeklampsia atau eklampsia, yang salah satu kriteria diagnosisnya adalah proteinuria. Timbulnya hipertensi pada wanita hamil yang sebelumnya normotensif harus dianggap berpotensi membahayakan baik bagi dirinya maupun janinnya.
2.2
Diagnosis Gangguan Hipertensi Dalam Kehamilan Pertimbangan penting dalam klasifikasi hipertensi adalah
membedakan gangguan hipertensi yang mendahului kehamilan dari preeklamsia yang secara potensial lebih merugikan. Hipertensi didiagnosis apabila tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih dengan menggunakan fase V Korotkoff untuk menentukan tekanan diastolik. Edema tidak lagi digunakan sebagai kriteria diagnostik karena kelainan ini terjadi pada banyak wanita hamil normal sehingga tidak lagi dapat digunakan sebagai faktor pembeda. Dahulu direkomendasikan bahwa yang digunakan sebagai kriteria diagnostik adalah peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 30 mmHg atau diastolik 15 mmHg, bahkan apabila angka absolut di bawah 140/90 mmHg. Kriteria ini tidak lagi dianjurkan karena bukti mernperlihatkan bahwa wanita dalam kelompok ini kecil
Namun, wanita yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau diastolik 15 mmHg perlu diawasi dengan ketat. Terdapat lima jenis penyakit hipertensi, antara lain:
2.2.1 Hipertensi Gestasional Hipertensi gestasional disebut juga hipertensi yang dipicu oleh kehamilan atau hipertensi transien. Diagnosis hipertensi gestasional ditegakkan pada wanita yang tekanan darahnya mencapai 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi gestasional disebut hipertensi transien apabila tidak terjadi preeklamsia dan tekanan darah telah kembali ke normal dalam 12 minggu postpartum. Dalam klasifikasi ini, diagnosis final bahwa wanita yang bersangkutan tidak mengidap preeklamsia hanya dapat dibuat postpartum. Dengan demikian, hipertensi gestasional merupakan diagnosis eksklusi. Namun, perlu diketahui bahwa wanita dengan hipertensi gestasional dapat memperlihatkan tanda-tanda lain yang berkaitan dengan preeklamsia, misalnya nyeri kepala, nyeri epigastrium, atau trombositopenia, yang mempengaruhi penatalaksanaan. Apabila tekanan darah meningkat cukup besar selama paruh terakhir kehamilan, akan berbahayaterutama bagi janinseandainya tidak
dilakukan tindakan semata-mata karena proteinuria belum terjadi. Kejang eklamsia 10 persen terjadi sebelum proteinuria muncul dengan jelas. Karenanya, jelaslah bahwa apabila tekanan darah mulai meningkat, baik ibu maupun janinnya mengalami peningkatan risiko lebih besar. Proteinuria adalah tanda memburuknya penyakit hipertensi, terutama preeklamsia; dan apabila proteinuria tersebut jelas dan menetap, risiko pada ibu dan janin menjadi semakin besar.
2.2.2 Preeklamsia Preeklamsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Proteinuria adalah tanda penting preeklamsia, dan apabila tidak terdapat proteinuria, diagnosisnya
dipertanyakan. Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin per 24 jam atau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) secara menetap pada sampel acak urin. Derajat proteinuria dapat berfluktuasi sangat luas dalam periode 24 jam, bahkan pada kasus yang parah. Dengan demikian, satu sampel acak mungkin tidak mampu memperlihatkan adanya proteinuria yang signifikan. Proteinuria terjadi apabila dijumpai lesi glomerulus yang dianggap khas untuk preeklamsia. Perlu diketahui, baik proteinuria maupun perubahan histologi glomerulus timbul pada tahap lanjut perjalanan gangguan hipertensi akibat kehamilan. Pada kenyataannya, preeklamsia secara klinis mulai tampak hanya menjelang akhir suatu proses patofisiologis yang mungkin sudah dimulai 3 sampai 4 bulan sebelum timbulnya hipertensi. Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklamsia adalah hipertensi plus proteinuria minimal. Semakin parah hipertensi atau proteinurianya, semakin pasti diagnosis preeklamsia. Demikian juga, kelainan temuan laboratorium pada tes fungsi ginjal, hati, dan hematologis meningkatkan kepastian preeklamsia. Gejala awal eklamsia yang menetap, misalnya nyeri kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian preeklamsia. Kombinasi proteinuria dan hipertensi selama kehamilan secara nyata meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas perinatal. Hipertensi saja, yang didefinisikan sebagai tekanan diastolik sebesar 95 mmHg atau lebih, berkaitan dengan peningkatan angka kematian janin sebesar tiga kali lipat. Memburuknya hipertensi, terutama apabila disertai oleh proteinuria, merupakan pertanda buruk. Sebaliknya, proteinuria tanpa hipertensi hanya menimbulkan efek keseluruhan yang kecil pada angka kematian
bayi.Peningkatan 70 persen kematian janin pada para wanita di atas disebabkan oleh infark besar pada plasenta, ukuran plasenta yang terlalu kecil, dan solusio plasenta. Mereka menyimpulkan bahwa penyebab ini biasanya timbul pada akhir perjalanan penyakit. Jelaslah, proteinuria +2 atau lebih yang menetap, atau ekskresi protein urin 24 jam sebesar 2 g atau lebih, adalah preeklamsia berat. Apabila kelainan ginjalnya parah, filtrasi glomerulus dapat terganggu dan kreatinin plasma dapat meningkat.
Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas tampaknya merupakan akibat nekrosis, iskemia, dan edema hepatoselular yang meregangkan kapsul Glisson. Nyeri khas ini sering disertai oleh peningkatan enzim hati dalam serum dan biasanya adalah tanda unruk mengakhiri kehamilan. Nyeri menandai infark dan perdarahan hati serta ruptur suatu hematom subkapsul yang sangat berbahaya. Untungnya, ruptur hati jarang terjadi dan paling sering menyertai hipertensi pada wanita berumur dan multipara. Trombositopenia adalah ciri memburuknya preeklamsia, dan mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi trombosit serta hemolisis
mikroangiopati yang dipicu oleh vasospasme hebat. Tanda-tanda hemolisis yang berat seperti hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemia menunjukkan penyakit yang parah. Faklor lain yang menunjukkan keparahan hipertensi adalah disfungsi jantung dengan edema paru serta pertumbuhan janin terhambat yang nyata. Keparahan preeklamsia dinilai berdasarkan frekuensi dan intensitas berbagai kelainan Semakin nyata kelainan tersebut, semakin besar indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Perlu diketahui, pembedaan antara preeklamsia ringan dan berat dapat menyesatkan karena penyakit yang tampak ringan dapat dengan cepat berkembang menjadi penyakit berat. Walaupun hipertensi adalah prasyarat untuk mendiagnosis preeklamsia, tekanan darah saja tidak selalu dapat digunakan sebagai indikator yang handal untuk menentukan keparahan. Sebagai contoh, seorang wanita usia remaja bertubuh kurus mungkin mengalami proteinuria +3 dan kejang ketika tekanan darahnya 140/85 mmHg, sedangkan sebagian besar wanita dengan tekanan darah setinggi 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Kejang biasanya didahului oleh nyeri kepala hebat atau gangguan penglihatan; karena itu, kedua gejala ini dianggap berbahaya.
2.2.3 Eklampsia Eklamsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklamsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang bersifat grand mal dan mungkin timbul sebelum, selama, atau setelah persalinan. Namun,
kejang yang timbul lebih dari 48 jam postpartum, terutama pada nulipara, dapat dijumpai sampai 10 hari postpartum. Penyulit utama adalah solusio plasenta (10 persen), defisit neurologis (7 persen), pneumonia aspirasi (7 persen), edema paru (5 persen), henti kardiopulmonal/cardiopulmonary arrest (4 persen), gagal ginjal akut (4 persen), dan kematian ibu (1 persen).
2.2.4 Preeklampsia Pada Hipertensi Kronik (Superimposed) Semua gangguan hipertensi kronik, apapun sebabnya, merupakan predisposisi timbulnya preeklamsia atau eklamsia. Gangguan-gangguan ini dapat menimbulkan kesulitan dalam diagnosis dan penatalaksanaan wanita yang belum pernah diperiksa sampai pertengahan kehamilan-nya. Diagnosis adanya hipertensi kronik diisyaratkan oleh: 1. Hipertensi (140/90 mmHg atau lebih) sebelum hamil. 2. Hipertensi (140/90 mmHg atau lebih) yang terdeteksi sebelum kehamilan 20 gestasional). 3. Hipertensi yang menetap lama setelah melahirkan. Faktor riwayat lain yang mendukung diagnosis adalah multiparitas dan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan sebelumnya selain kehamilan pertama. Biasanya juga jelas terdapat riwayat hipertensi esensial dalam keluarga. Diagnosis hipertensi kronik mungkin sulit ditegakkan apabila wanita yang bersangkutan belum pernah diperiksa sampai paruh terakhir kehamilannya. Hal ini disebabkan oleh penurunan tekanan darah selama trimester kedua dan ketiga awal, baik pada wanita normotensif maupun hipertensi kronik. Karena itu, seorang wanita dengan penyakit vaskular kronik, yang pertama kali diperiksa pada usia kehamilan 20 minggu, sering memperlihatkan tekanan darah yang normal. Namun, selama trimester ketiga tekanan darah dapat kembali ke tingkat hipertensif semula, sehingga timbul masalah diagnostik dalam menentukan apakah hipertensinya bersifat kronik atau dipicu oleh kehamilan. usia
Hipertensi kronik menyebabkan morbiditas tanpa bergantung pada apakah wanita yang bersangkutan hamil atau tidak. Hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel dan dekompensatio kordis, cedera serebrovaskular, atau kerusakan intrinsik ginjal. Pada sebagian wanita muda, hipertensi timbul akibat adanya penyakit parenkim ginjal. Hanya yang spesifik pada kehamilan yang disertai oleh hipertensi kronik adalah risiko timbulnya preeklamsia, yang mungkin dijumpai pada hampir 25 persen di antara para wanita ini. Selain itu, risiko solusio plasenta meningkat nyata, terutama pada mereka yang kemudian mengalami preeklamsia. Lebih lanjut, janin dari wanita dengan hipertensi kronik berisiko lebih besar mengalami hambatan pertumbuhan dan kematian. Pada sebagian wanita, hipertensi kronik yang sudah ada sebelumnya semakin memburuk setelah usia gestasi 24 minggu. Apabila disertai oleh proteinuria, diagnosisnya adalah preeklamsia pada hipertensi kronik (superimposed preeclampsia). Preeklamsia pada hipertensi kronik ini biasanya muncul pada usia kehamilan lebih dini daripada preeklamsia "murni", serta cenderung cukup parah dan pada banyak kasus disertai dengan hambatan pertumbuhan janin. Diagnosis memerlukan pembuktian adanya hipertensi kronik yang mendasari. Hipertensi kronik pada kehamilan ditandai oleh memburuknya hipertensi, dengan selalu mengingat bahwa baik tekanan diastolik maupun sistolik normalnya meningkat setelah 26 sampai 28 minggu. Preeklamsia disertai oleh proteinuria.
2.3
Insiden dan Faktor Risiko Hipertensi gestasional paling sering mengenai wanita nulipara. Wanita yang lebih tua, yang memperlihatkan peningkatan insiden hipertensi kronik seiring dengan pertambahan usia, berisiko lebih besar mengalami preeklamsia pada hipertensi kronik. Dengan demikian, wanita di kedua ujung usia reproduksi dianggap lebih rentan. Insiden preeklamsia sering disebut sekitar 5 persen, walaupun laporan yang ada sangat bervariasi. Insiden sangat dipengaruhi oleh paritas; berkaitan
dengan ras dan etnisdan karenanya juga predisposisi genetik; sementara faktor lingkungan juga mungkin berperan. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa wanita yang sosioekonominya lebih maju lebih jarang terjangkit preeklamsia, bahkan setelah faktor ras dikontrol. Insiden gangguan hipertensi akibat kehamilan pada wanita nulipara sehat baru-baru ini diteliti secara cermat dalam sebuah uji klinis acak mengenai suplementasi kalsium harian kepada ibu hamil. Dari 4302 wanita nulipara yang melahirkan pada usia gestasi 20 minggu atau lebih, seperempatnya mengalami hipertensi yang terkait kehamilan. Faktor risiko lain yang berkaitan dengan preeklamsia adalah kehamilan multipel, riwayat hipertensi kronik, usia ibu lebih dari 35 tahun, obesitas, dan etnis Amerika-Afrika. Hubungan antara berat badan ibu dengan risiko preeklamsia bersifal progresif, meningkat dari 4,3 persen untuk wanita dengan indeks massa tubuh kurang dari 19,8 kg/m3 menjadi 13,3 persen untuk mereka yang indeksnya sama dengan atau lebih dari 35 kg/m2. Wanita dengan gestasi kembar dua, bila dibandingkan dengan yang gestasinya tunggal, memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 versus 6 persen) dan preeklamsia (13 versus 5 persen) yang secara bermakna lebih tinggi (Sibai dkk., 2000). Selain itu, wanita dengan kehamilan ganda dan hipertensi akibat kehamilan memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk daripada mereka dengan janin tunggal. Walaupun merokok pada ibu menyebabkan berbagai kerugian bagi kehamilan, secara ironis hal tersebut secara konsisten dikaitkan dengan penurunan risiko hipertensi selama kehamilan. Plasenta previa juga diklaim mengurangi risiko hipertensi akibat kehamilan.
2.4
Patologi Pada preeklamsia yang berat dan eklamsia dijumpai perburukan patologis fungsi sejumlah organ dan sistem, mungkin akibat vasospasme dan iskemia. Untuk mempermudah penjelasan, efek-efek ini dipisahkan menjadi efek pada ibu dan janin; namun, kedua efek merugikan ini sering terjadi bersamaan. Walaupun terdapat banyak kemungkinan konsekuensi gangguan hipertensi akibat kehamilan, untuk memudahkan, efek-efek tersebut dibahas berdasarkan
10
analisis terhadap perubahan kardiovaskular, hematologis, endokrin dan metabolik, serta aliran darah regional disertai gangguan end-organ. Kausa utama gangguan janin adalah berkurangnya perfusi utero plasenta.
2.4.1 Perubahan Kardiovaskular Gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi pada preeklamsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ekstraselular, terutama paru.
2.4.2 Perubahan Hemodinamik Perubahan kardiovaskular akibat preeklamsia telah diteliti dengan menggunakan pemantauan hemodinamik invasif. Namun, bila preeklamsia telah menjadi nyata secara klinis, studi-studi hemodinamik invasif semacam itu kecil kemungkinan dapat memberi informasi yang bermanfaat mengenai perjalanan penyakit pada awal kehamilan. Bosio dkk. (1999) menggunakan pemantauan hemodinamik Doppler non invasif dalam sebuah studi longitudinal yang dimulai sejak awal kehamilan pada 400 wanita nulipara. Hipertensi gestasional timbul pada 24 wanita, dan 20 mengalami preeklamsia. Dibandingkan dengan wanita normotensif, mereka yang mengidap preeklamsia memperlihatkan curah jantung yang secara bermakna meningkat sebelum diagnosis klinis, tetapi resistensi perifer total tidak secara bermakna berbeda selama fase praklinis ini. Pada preeklamsia klinis, terjadi penurunan mencolok curah jantung dan peningkatan resistensi perifer. Sebaliknya, wanita dengan hipertensi gestasional memperiihatkan peningkatan bermakna curah jantung sebelum dan selama timbulnya hipertensi klinis. Banyak data yang didasarkan pada studi hemodinamik invasif mengalami kerancuan karena (1) wanita dengan preeklamsia sering memiliki keparahan dan durasi penyakit yang berlainan, (2) penyakit yang mendasari dapat
11
memodifikasi gambaran klinis, atau (3) intervensi terapeutik dapat secara bermakna mempengaruhi temuan- temuan tersebut. Berbagai variabel yang menentukan status kardiovaskular berkisar dari curah jantung tinggi dengan resistensi vaskular rendah sampai curah jantung rendah dengan resistensi vaskular tinggi. Demikian juga, tekanan pengisian (filling pressure) ventrikel kiri, yang diperkirakan dari pemeriksaan wedge pressure kapiler paru, berkisar dari rendah sampai sangat tinggi. Setidaknya terdapat tiga faktor yang dapat menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut: 1. Wanita dengan preeklamsia dapat tampil dengan beragam temuan
kardiovaskular yang bergantung pada keparahan dan lama penyakit. 2. Penyakit kronik yang mendasari dapat memodifikasi gambaran klinis. 3. Intervensi terapeutik dapat secara bermakna mengubah temuan-temuan tersebut. Besar kemungkinannya terdapat lebih dari satu faktor yang bekerja.. Studistudi yang tercantum dipisahkan menjadi tiga kelompok berdasarkan penatalaksanaan klinis sebelum observasi hemodinamik awal: 1. Tanpa terapi untuk preeklamsia. 2. Pemberian magnesium sulfat dan hidralazin tanpa banyak cairan intravena. 3. Pemberian magnesium sulfat dan hidralazin plus cairan intravena dalam jumlah besar. Data hemodinamik yang diperoleh sebelum terapi aktif untuk preeklamsia memperlihatkan tekanan pengisian ventrikel kiri yang normal, resistensi vaskular sistemik yang tinggi, dan fungsi ventrikel yang hiperdinamik. Benedetti dkk. (1980a) serta Hankins dkk. (1984) melaporkan temuan serupa pada wanita dengan preeklamsia berat atau eklamsia yang diterapi dengan magnesium sulfat, hidralazin, dan kristaloid intravena sebanyak 75 sampai 100 ml/jam. Fungsi jantung pada para wanita ini memadai, dan penurunan resistensi vaskular sistemik sangat mungkin disebabkan oleh terapi hidralazin. Wanita yang juga diterapi dengan magnesium sulfat dan hidralazin plus terapi intravena agresif atau ekspansi volume memperlihatkan resistensi vaskular sistemik yang terendah dan curah jantung tertinggi. Suatu
12
perbandingan restriksi volume dengan hidrasi agresif memperlihatkan fungsi ventrikel yang hiperdinamik pada sebagian besar wanita dari kedua kelompok dan dua respons dalam kaitannya dengan indeks kerja pompa ventrikel kiri dan wedge pressure kapiler paru. Restriksi cairan menyebabkan wedge pressure kurang dari 10 mmHg, dan sebagian besar kurang dari 5 mmHg. Dengan demikian, fungsi ventrikel yang hiperdinamik sebagian besar disebabkan oleh rendahnya wedge pressure dan bukan karena meningkatnya indeks kerja pompa ventrikel kiri, yang secara langsung lebih mengukur kontraktilitas miokardium. Ketika dibandingkan, wanita yang diberikan cairan dalam jumlah cukup besar sering memperlihatkan wedge pressure kapiler paru yang melebihi normal; namun, fungsi ventrikel tetap hiperdinamik karena
meningkatnya curah jantung. Kemudian, Visser dan Wallenburg (1995) melaporkan temuan dari 87 wanita dengan preeklamsia berat atau eklamsia dan menguraikan tingginya resistensi vaskular sistemik dan fungsi ventrikel yang hiperdinamik pada sebagian besar wanita tersebut. Dari studi-studi ini, masuk akal untuk disimpulkan bahwa pemberian cairan secara agresif kepada wanita dengan preeklamsia berat menyebabkan tekanan pengisian sisi kiri secara substansial meningkat, sementara curah jantung yang sudah normal meningkat menjadi tingkat supranormal.
2.4.3 Volume Darah Telah diketahui selama lebih dari 75 tahun bahwa hemokonsentrasi merupakan penanda utama eklamsia. Pada wanita dengan eklamsia, hipervolemia yang normalnya terjadi biasanya tidak timbul. Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata seyogyanya memiliki volume darah hampir 5000 ml selama beberapa minggu terakhir kehamilan, dibandingkan dengan 3500 ml saat tidak hamil. Namun, pada eklamsia, sebagian besar atau seluruh tambahan 1500 ml darah yang normalnya terdapat pada akhir kehamilan ternyata tidak ada. Tidak adanya ekspansi volume darah kemungkinan disebabkan oleh vasokontriksi generalisata yang diperparah oleh
13
perbedaan-perbedaan ini tidak nyata, dan wanita dengan hipertensi gestasional biasanya memiliki volume darah yang normal. Volume darah menurun pada wanita yang memiliki genotipe angiotensin T235 homozigot yang dihubungkan dengan preeklamsia. Penurunan akut hematokrit lebih mungkin disebabkan oleh kehilanganya darah saat melahirkan karena tidak terjadi hipervolemia kehamilan; atau kadang-kadang hal ini disebabkan oleh destruksi eritrosit yang intens. Apabila tidak terjadi perdarahan, kompartemen intravaskular pada wanita dengan eklamsia biasanya cukup terisi. Vasospasme menyebabkan ruang yang seharusnya terisi mengecil dan penurunan ini menetap sampai setelah melahirkan saat sistem vaskular biasanya berdilatasi, volume darah meningkat, dan hematokrit turun. Dengan demikian, wanita yang mengidap eklamsia sangat peka terhadap pemberian terapi cairan yang agresif sebagai upaya untuk mengembangkan volume darah yang menyusut ke kadarnya pada kehamilan normal. Ia juga peka terhadap kehilangan darah yang normal saat melahirkan.
2.4.4 Perubahan Hematologis Kelainan hematologis terjadi pada sebagian, tetapi jelas tidak semua, wanita yang menderita gangguan hipertensi akibat kehamilan. Kelainan tersebut antara lain trombositopenia, yang kadang-kadang sangat parah sehingga dapat mengancam nyawa; kadar sebagian faktor pembekuan dalam plasma mungkin menu-run; dan eritrosit dapat mengalami trauma hebat sehingga bentuknya aneh dan mengalami hemolisis cepat. 1. Pembekuan Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular, dan destruksi eritrosit lebih jarang), sering dijumpai pada preeklamsia dan terutama eklamsia. Trombositopenia, yang terkadang parah, merupakan temuan tersering. Kadar fibrinogen plasma tidak banyak berbeda dari kadarya pada kehamilan normal tahap lanjut dan produk degradasi fibrin (FDP) hanya sesekali meningkat, kecuali apabila terjadi solusio plasenta. Barron dkk. (1999) mendapatkan bahwa pemeriksaan laboratorium rutin
14
unruk koagulopari, termasuk waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial aktif (PT/APTT), dan kadar fibrinogen plasma kurang penting untuk penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan. Waktu trombin agak memanjang pada sepertiga kasus eklamsia, bahkan apabila tidak dijumpai peningkatan produk degradasi fibrin. Penyebab peningkatan ini belum diketahui, tetapi diperkirakan akibat gangguan hati. Perubahan-perubahan koagulasi yang disebutkan di atas juga ditemukan pada wanita dengan preeklamsia berat, tetapi jelas tidak lebih sering. Berbagai pengamatan pada eklamsia ini sangat konsisten dengan konsep bahwa perubahan koagulasi merupakan akibat preeklamsia-eklamsia, bukan penyebab. 2. Trombositopenia Pada preeklamsia-eklamsia dapat terjadi trombositopenia akut pada ibu. Setelah melahirkan, hitung trombosit mulai meningkat secara progresif untuk mencapai kadar normal dalam 3 sampai 5 hari. Frekuensi dan intensitas trombositopenia ibu berbeda-beda di berbagai penelitian, dan tampaknya bergantung pada intensitas proses penyakit, lama penundaan antara awitan preeklamsia dengan pelahiran janin, dan frekuensi pengukuran jumlah trombosit. Trombositopenia yang nyata, yang didefinisikan sebagai hitung trombosit kurang dari 100.000/l, menunjukkan penyakit yang parah. Pada sebagian besar kasus, pelahiran diindikasikan karena hitung trombosit terus menurun. Penyebab trombositopenia kemungkinan besar adalah aktivasi dan konsumsi trombosit pada saat yang sama dengan peningkatan produksi trombosit. Trombopoietin, suatu sitokin yang meningkatkan proliferasi trombosit dari megakariosit, meningkat pada wanita dengan preeklamsia dan trombositopenia. Pada sebagian besar studi, agregasi trombosit berkurang dibandingkan dengan pertambahan yang biasanya dijumpai kehamilan normal. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh "kelelahan" trombosit setelah aktivasi in vivo. Walaupun penyebabnya tidak diketahui, proses imunologis atau pengendapan trombosit di lokasi endotel yang rusak mungkin berperan. Samuels dkk. (1987) melakukan uji antiglobulin
15
langsung dan tidak langsung dan mendapatkan bahwa imunoglobulin pengikat trombosit yang bebas maupun terikat trombosit meningkat pada para wanita dengan preeklamsia dan neonatus mereka. Mereka menginterpretasikan temuan ini sebagai indikasi adanya perubahan permukaan trombosit. Makna klinis trombositopenia, selain jelas mengganggu pembekuan darah, adalah bahwa hal tersebut mencerminkan keparahan proses patologis. Secara umum, semakin rendah hitung trombosit, semakin besar morbiditas dan mortalitas ibu serta janin. Adanya peningkatan kadar enzim hati pada gambaran klinis ini bahkan lebih merugikan. Weinstein (1982) menyebut kombinasi gambaran klinis ini sebagai sindrom HELLP yaitu hemolisis (H), peningkatan enzim hati (elevated liver enzymes, EL), dan penurunan trombosit (low platelets, LP).
2.4.6 Perubahan Endokrin Selama kehamilan normal kadar renin, angiotensin II, dan aldosteron dalam plasma meningkat. Penyakit hipertensi akibat kehamilan menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke kisaran tidak hamil normal. Pada retensi natrium, hipertensi, atau keduanya, Karena sekresi renin renin oleh aparatus perubahan
jukstaglomerulus
berkurang.
mengkatalisis
angiotensinogen menjadi angiotensin I (yang kemudian diubah rmenjadi angiotensin II oleh converting enzyme), maka kadar angiotensin II menurun sehingga sekresi aldosteron berkurang. Meski demikian, wanita dengan preeklamsia dapat menahan dengan kuat natrium yang diinfuskan. Kadar plasma mineralokortikoid poten lainnya, deoksikortikosteron (DOC), meningkat secara mencolok pada trimester ketiga. Hal ini bukan disebabkan oleh peningkatan sekresi adrenal ibu tetapi akibat konversi dari progesteron plasma. Dengan demikian, peningkatan tersebut tidak berkurang oleh retensi natrium atau hipertensi, dan hal ini dapat menjelaskan mengapa wanita dengan preeklamsia mampu menahan natrium. Kadar vasopresin normal walaupun osmolalitas plasma berkurang. Peptida natriuretik atrium sedikit meningkat selama kehamilan. Peptida ini dibebaskan
16
apabila dinding atrium teregang akibat ekspansi volume darah. Zat ini bersifat vasoaklif dan meningkatkan ekskresi natrium dan air mungkin dengan cara menghambat aldosteron, aktivitas renin, angiotensin II, dan vasopresin. Peptida natriuretik atrium semakin meningkat pada wanita dengan preeklamsia. Meningkarnya peptida natriuretik atrium akibat ekspansi volume
menyebabkan meningkat-nya curah janrung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada wanita normotensif maupun preeklamtik. Pengamatan ini mungkin dapat menjelaskan temuan turunnya resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada wanita preeklamtik.
2.5
Penatalaksanaan Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklamsia adalah: 1. Terminasi janinnya 2. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang 3. Pemulihan sempurna kesehatan ibu Pada kasus preeklamsia tertentu, terutama pada wanita menjelang atau sudah aterm, tiga tujuan tersebut dapat terpenuhi oleh induksi persalinan. Dengan demikian, informasi terpenting yang perlu dimiliki oleh ahli obstetri agar penanganan kehamilan berhasil, dan terutama kehamilan dengan penyulit hipertensi, adalah kepastian usia janin. kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan
2.5.1 Deteksi Pranatal Dini Secara tradisional, waktu pemeriksaan pranatal dijadwalkan setiap 4 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu, kemudian setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu, setelah itu setiap minggu. Peningkatan kunjungan pranatal selama trimester ketiga memungkinkan kita mendeteksi dini preeklamsia. Wanita dengan hipertensi yang nyata (>140/90 mmHg) sering dirawat-inapkan selama 2 sampai 3 hari untuk dievaluasi keparahan hipertensi kehamilannya yang baru muncul. Mereka dengan penyakit berat persisten diawasi secara lebih ketat dan banyak yang diterminasi kehamilannya.
17
Sebaliknya, wanita dengan penyakit ringan sering ditangani sebagai pasien rawat jalan. Penatalaksanaan wanita tanpa hipertensi yang nyata, tetapi dicurigai mengidap preeklamsia dini sewaktu kunjungan pranatal rutin, terutama didasarkan pada peningkatan surveilans. Protokol yang digunakan selama bertahun-tahun dengan hasil memuaskan di Parkland Hospital pada wanita selama trimester ketiga dan dengan awitan baru tekanan darah diastolik antara 81 dan 89 mmHg atau pertambahan berat abnormal mendadak (lebih dari 1 kg per minggu) adalah pemeriksaan ulang dengan interval 3 sampai 4 hari. Surveilans rawat jalan ini dilanjutkan kecuali apabila timbul hipertensi yang nyata, proteinuria, gangguan penglihatan, atau rasa tidak enak di epigastrium.
2.5.2 Penatalaksanaan Di Rumah Sakit Rawat inap dipertimbangkan, paling tidak pada awalnya, bagi wanita dengan hipertensi awitan-baru apabila hipertensinya menetap atau memburuk atau timbul proteinuria. Evaluasi sistematik yang dilakukan mencakup: 1. Pemeriksaan terinci diikuti oleh pemantauan setiap hari untuk mencari temuan-temuan klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, dan pertambahan berat yang pesat. 2. Berat badan saat masuk dan kemudian setiap hari. 3. Analisis untuk proteinuria saat masuk dan kemudian paling tidak setiap 2 hari. 4. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk dengan ukuran manset yang sesuai setiap 4 jam, kecuali antara tengah malam dan pagi hari. 5. Pengukuran kreatinin plasma atau serum, hematokrit, trombosit, dan enzim hati dalam serum, dan frekuensi yang ditentukan oleh keparahan hipertensi. 6. Evaluasi yang sering terhadap ukuran janin dan volume cairan amnion, baik secara klinis maupun USG.
18
Apabila berbagai observasi ini mengarah ke diagnosis preeklamsia berat, penatalaksanaan selanjutnya sama seperti yang akan dijelaskan kemudian untuk eklamsia. Pengurangan aktivitas fisik sepanjang hari akan bermanfaat. Tirah baring total tidak perlu dilakukan dan pasien tidak diberi sedatif atau obat penenang. Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah banyak, tetapi tidak berlebihan. Asupan natrium dan cairan jangan dibatasi atau dipaksakan. Penatalaksanaan selanjutnya bergantung pada: 1. Keparahan preeklamsia, ditentukan oleh ada tidaknya keadaan-keadaan yang telah disebutkan. 2. Durasi gestasi. 3. Keadaan serviks. Untungnya, banyak kasus terbukti cukup ringan dan sudah mendekati aterm sehingga dapat ditangani secara konservatif sampai persalinan terjadi secara spontan atau sampai serviks memungkinkan induksi persalinan. Namun, hilangnya secara total semua gejala dan tanda jarang terjadi sampai setelah melahirkan.
2.5.3 Terminasi Kehamilan Pelahiran janin adalah penyembuhan bagi preeklamsia. Nyeri kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium merupakan petunjuk bahwa akan terjadi kejang, dan oliguria adalah tanda buruk lainnya. Preeklamsia berat memerlukan antikejang dan biasanya terapi antihipertensi diikuti oleh pelahiran. Terapi serupa dengan yang akan dijelaskan kemudian untuk eklamsia. Tujuan utama adalah mencegah kejang, perdarahan intrakranial dan kerusakan serius pada organ vital lain, serta melahirkan bayi yang sehat. Namun, apabila janin dicurigai atau diketahui prematur, cenderung penundaan persalinan dengan harapan bahwa tambahan beberapa minggu in utero akan menurunkan risiko kematian atau morbiditas serius pada neonatus. Seperti telah dibicarakan, kebijakan semacam ini jelas dibenarkan untuk kasus yang lebih ringan. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin dan fungsi plasenta, terutama apabila terdapat keengganan untuk melahirkan janin dengan alasan
19
prematuritas. Sebagian besar peneliti menganjurkan pemeriksaan berkala berbagai uji yang saat ini digunakan untuk menilai kesejahteraan janin seperti diuraikan oleh the American College Obstetricians and Gynecologists (1999). Uji-uji tersebut mencakup uji nonstres (non-stress test) atau profit biofisik. Pengukuran rasio lesitin-sfingomielin di dalam cairan amnion dapat dijadikan bukti tingkat kematangan paru. Namun, bahkan apabila rasio ini kurang dari 2,0, gawat napas mungkin tidak timbul; dan apabila memang timbul, keadaan tersebut biasanya tidak fatal. Pada preeklamsia sedang atau berat yang tidak membaik setelah rawat inap, biasanya dianjurkan pelahiran janin demi kesejahteraan ibu dan janinnya. Persalinan sebaiknya diinduksi dengan oksitosin intravena. Banyak dokter lebih memilih pematangan serviks prainduksi dengan prostaglandin atau dilator osmotik. Apabila tampaknya induksi persalinan hampir pasti gagal atau upaya induksi persalinan gagal, diindikasikan seksio sesarea untuk kasuskasus yang lebih parah. Bagi wanita yang kehamilannya menjelang aterm dengan serviks lunak dan sebagian telah mendatar, bahkan preeklamsia derajat ringan pun menimbulkan risiko yang lebih besar pada ibu dan janin-bayi daripada risiko induksi persalinan dengan oksitosin yang dipantau dengan ketat. Namun, tidak demikian halnya apabila preeklamsianya ringan tetapi serviks kaku dan tertutup, yang mengisyaratkan bahwa mungkin diindikasikan seksio sesarea apabila kehamilan akan diterminasi. Bahaya seksio sesarea mungkin lebih besar daripada apabila kehamilan dibiarkan berlanjut dengan pengawasan ketat sampai serviks lebih layak untuk diinduksi. Apabila diagnosis pre-eklamsia berat sudah ditegakkan, kecenderungannya adalah pelahiran janin segera. Induksi persalinan untuk melahirkan janin pervaginam secara tradisional dianggap tindakan yang terbaik bagi ibu. Beberapa kekhawatiran, antara lain serviks yang kurang siap sehingga induksi persalinan sulit berhasil, adanya perasaan darurat karena keparahan preeklamsia, dan perlunya mengkoordinasikan perawatan neonatal,
mendorong sebagian dokter untuk menganjurkan seksio sesarea. Alexander dkk. (1999) meneliti 278 bayi tunggal lahir hidup dengan berat 750 sampai
20
1500 g yang lahir dari wanita dengan preeklamsia berat di Parkland Hospital. Separuh di antara para wanita tersebut menjalani induksi persalinan dan sisanya melahirkan melalui seksio sesarea tanpa proses persalinan. Induksi persalinan gagal pada 35 persen wanita dalam kelompok induksi, tetapi tidak berbahaya bagi bayi mereka yang beratnya sangat rendah.
2.5.4 Terapi Obat Antihipertensi Pemakaian obat antihipertensi sebagai upaya memperlama kehamilan atau memodifikasi prognosis perinatal pada kehamilan dengan penyulit
hipertensi dalam berbagai tipe dan keparahan telah lama menjadi perhatian. Terapi obat untuk preeklamsia ringan dini umumnya mengecewakan. Sibai dkk. (1987) melakukan sebuah studi acak yang dirancang dengan baik untuk mengevaluasi efektivitas labetalol dan rawat inap dibandingkan dengan hanya rawat inap. Mereka mengevaluasi 200 wanita nulipara dengan preeklamsia yang didiagnosis antara 26 dan 35 minggu. Walaupun wanita yang mendapat labetalol secara bermakna memperlihatkan tekanan darah yang lebih rendah, tidak terdapat perbedaan antara kelompok untuk rerata perpanjangan kehamilan, usia gestasi saat melahirkan, atau berat lahir. Angka seksio sesarea setara, demikian juga jumlah bayi yang perlu dirawat di ruang perawatan khusus. Bayi dengan hambatan pertumbuhan dua kali lebih sering dijumpai pada wanita yang mendapat labetalol dibandingkan dengan yang hanya dirawat inap (19 versus 9 persen). Dalam suatustudi yang agak kurang lazim, Easterling dkk. (1999) mengidentifikasi 58 wanita yang berisiko untuk preeklamsia karena curah jantung mereka tinggi pada usia kehamilan 24 minggu. Curah jantung diukur dengan teknik Doppler dan para wanita tersebut dibagi secara acak untuk mendapat atenolol profilaktik atau plasebo. insiden preeklamsia adalah 18 persen pada kelompok kon-trol dibandingkan dengan 4 persen pada kelompok atenolol (P = 0,04). Pemakaian inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) selama trimester kedua dan ketiga kehamilan harus dihindari. Penyulit yang pernah dilaporkan adalah oligohidramnion, pertumbuhan janin terhambat,
21
malformasi tulang, kontraktur ekstremitas, duktus arteriosus paten yang menetap {persistent patent ductus arteriosus), hipoplasia paru, sindrom gawat napas, hipotensi neonatus berkepanjangan, dan kematian neonatus Inhibitor ACE yang diminum selama kehamilan dini tidak menimbulkan prognosis yang buruk sepanjang obat ini segera dihentikan.
2.6
Pencegahan Berbagai strategi telah digunakan sebagai upaya untuk mencegah preeklamsia. Biasanya strategi-strategi ini mencakup manipulasi diet dan usaha farmakologis untuk memodifikasi mekanisme patofisiologis yang diperkirakan berperan dalam terjadinya preeklamsia. Usaha farmakologis mencakup pemakaian aspirin dosis rendah dan antioksidan.
2.6.1 Manipulasi Diet Salah satu usaha paling awal yang ditujukan untuk mencegah preeklamsia adalah pembatasan asupan garam selama hamil. Dalam penelitian terhadap 361 wanita ini, diet rendah garam terbukti tidak efektif untuk mencegah gangguan hipertensi akibat kehamilan. Berdasarkan sebagian besar studi di luar Amerika Serikar, ditemukan bahwa wanita dengan diet rendah kalsium secara bermakna berisiko lebih tinggi mengalami hipertensi akibat kehamilan. Hal ini mendorong dilakukannya paling sedikit 14 uji klinis acak yang menghasilkan metaanalisis yang memperlihatkan bahwa suplementasi kalsium selama kehamilan menyebabkan penurunan bermakna tekanan darah serta mencegah preeklamsia. Namun, studi yang tampaknya bersifat definitif dilakukan oleh Levine dkk. (1997). Studi ini adalah suaru uji klinis acak yang disponsori oleh the National Institute of Child Health and Human Development. Dalam uji yang menggunakan penyamar-ganda ini, 4589 wanita nulipara sehat dibagi secara acak untuk mendapat 2 suplemen kalsium per hari atau plasebo. Suplemen kalsium ini tidak mencegah satupun gangguan hipertensi akibat kehamilan, termasuk hipertensi gestasional atau preeklamsia.
22
Manipulasi diet lainnya untuk mencegah preeklamsia yang telah diteliti adalah pemberian empat sampai sembilan kapsul yang mengandung minyak ikan setiap hari. Suplemen harian ini dipilih sebagai upaya untuk memodifikasi keseimbangan prostaglandin yang diperkirakan berperan dalam patofisiologi preeklamsia. Minyak ikan terbukti tidak efektif dalam studi terhadap 1474 kehamilan yang dilakukan di 19 rumah sakit di Eropa ini.
2.6.2 Aspirin Dosis Rendah Pada tahun 1986, Wallenburg dkk. melaporkan pengalaman mereka dengan aspirin 60 mg atau plasebo yang diberikan kepada wanita primigravida pekaangiotensin pada usia kehamilan 28 minggu. Menurunnya insiden preeklamsia pada kelompok terapi diperkirakan disebabkan oleh supresi selektif sintesis tromboksan oleh trombosit serta tidak terganggunya produksi prostasiklin. Berdasarkan laporan ini dan laporan lain dengan hasil serupa, dilakukan uji klinis acak multisentra pada wanita berisiko rendah dan tinggi di Amerika Serikat dan negara lain. Uji-uji klinis ini secara konsisten memperlihatkan bahwa aspirin dosis-rendah tidak efektif untuk mencegah preeklamsia. Hauth dkk. (1998) dalam suatu analisis sekunder terhadap uji klinis intervensi risikotinggi oleh Caritis dkk. (1998), memperlihatkan bahwa pemberian aspirin dosis-rendah secara bermakna menurunkan kadar tromboksan B2 ibu, tetapi hal ini tidak memberi manfaat karena insiden preeklamsia tidak berkurang dibandingkan dengan plasebo.
2.6.3 Antioksidan Serum wanita hamil normal memiliki mekanisme antioksidan yang berfungsi mengendalikan peroksidasi lemak yang diperkirakan berperan dalam disfungsi sel endotel pada preeklamsia. Davidge dkk. (1992) telah membuktikan bahwa serum wanita dengan preeklamsia memperlihatkan penurunan mencolok aktivitas antioksidan. Schiff dkk. (1996) menguji hipotesis bahwa penurunan aktivitas antioksidan berperan dalam preeklamsia dengan mempelajari konsumsi diet serta konsentrasi vitamin E dalam plasma pada 42 kehamilan dengan penyulit preeklamsia dibandingkan dengan 90
23
kontrol. Mereka menemukan kadar vitamin E plasma yang tinggi pada wanita dengan preeklamsia, tetapi konsumsi vitamin E dalam diet tersebut tidak berkaitan dengan preeklamsia. Mereka berspekulasi bahwa tingginya kadar vitamin E yang diamati disebabkan oleh respons terhadap stres oksidatif pada preeklamsia. Chappell dkk. (1999) melakukan penelitian sistematik pertama yang dirancang untuk menguji hipo tesis bahwa terapi antioksidan untuk wanita hamil akan mengubah cedera sel endotel yang dikaitkan dengan preeklamsia. Sebanyak 283 wanita hamil 18 sampai 22 minggu yang berisiko preeklamsia dibagi secara acak untuk mendapat terapi antioksidan atau plasebo. Terapi antioksidan secara bermakna menurunkan aktivasi sel endotel dan mengisyaratkan bahwa terapi semacam ini mungkin bermanfaat untuk mencegah preeklamsia. Juga terjadi penurunan bermakna insiden preeklamsia pada mereka yang mendapat vitamin C dan E dibandingkan dengan kelompok kontrol (17 versus 11 persen, P <0,02). Harus dilakukan penelilian yang lebih besar sebelum me-nyimpulkan bahwa terapi antioksidan semacam ini dapat mencegah preeklamsia.
24
3.1
hypertension) adalah setiap awitan baru hipertensi yang terjadi dalam kehamilan. Diagnosis hipertensi gestasional ditegakkan pada wanita yang tekanan darahnya mencapai 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tetapi belum mengalami proteinuria. Jika disertai proteinuria maka disebut sebagai preeklampsia dan jika disertai dengan proteinuria serta terdapat kejang maka disebut sebagai eklampsia. Hipertensi pada kehamilan dapat disebabkan karena adanya perubahanperubahan pada sistem kardiovaskular, hematologik, endokrin dan metabolik, serta aliran darah regional disertai gangguan end-organ. Tatalaksana hipertensi kehamilan bertujuan untuk memulihkan
kesehatan ibu dan lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang. Tatalaksana hipertensi pada kehamilan meliputi deteksi preatal dini, perawatan di Rumah Sakit, terminasi kehamilan, dan terapi menggunakan obat antihipertensi.
3.2 Saran Pada masa kehamilan yang harus di perhatikan kondisi ibu hamil. Setiap masa kehamilan seorang ibu harus rajin memeriksakan diri ke dokter untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan janin tersebut serta memantau kondisi fisik dan kehamilannya untuk mencegah adanya kondisikondisi yang membahayakan dirinya dan kehamilannya. Selama hamil seorang ibu dianjurkan menjalani gaya hidup sehat dan menjauhi perilakuperilaku berisiko yang dapat membahayakan kehamilannya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F.G dkk. 2005. Obstetri Williams Ed 21 Vol 7. Jakarta: EGC Gant N.F dan Cunningham, F.G. 2011. Dasar-dasar Ginekologi dan Obstetri. Jakarta: EGC. Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC : Jakarta.