You are on page 1of 9

DEFINISI Lupus eritematosus sistemik atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya

belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem. Berbeda dengan penyakit autoimun yang organ-specific (misalnya diabetes melitus tipe I, miastenia gravis, penyakit graves dsb) dimana suatu respon autoimun tunggal mempunyai sasaran terhadap suatu jaringan tertentu dan menimbulkan gejala klinis yang karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi klinis. DIAGNOSIS Diagnosis SLE harus dipikirkan pada seseorang, terutama wanita dalam masa reproduktif yang mempunyai keluhan/ gejala multisistem, disertai terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh, terutama antibodi terhadap komponen-komponen inti sel. a. Kriteria Diagnosis Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi penyakit SLE eritematosus sistemik. Kriteria ini merupakan perbaikan dari kriteria yang lama, yang diajukan pada tahun 1971. Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika pada salah satu periode pengamatan ditemukan 4 kriteria atau lebih dari 11 kriteria dibawah ini, baik secara berturut-turut maupun serentak. 1. Ruam (rash) di daerah malar Ruam berupaa eritema terbatas, rata atau meninggi, letaknya di daerah malar, biasanya tidak mengenai lipat nasolabialis. 2. Lesi diskoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin terbentuk sikatriks. 3. Fotosensitivitas

Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui pengamatan dokter. 4. Ulserasi mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui melalui pemeriksaan.

5. Artritis Artritis non-erosit yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.

6. Serositis a. Pleuritis Adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura. b. Perikarditis Diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi atau adanyaa efusi perikard. 7. Kelainan ginjal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau > 3+. atau b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular, tubular atau campuran. 8. Kelainan neurologis a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. atau b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkannya atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. 9. Kelainan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih atau c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih atau d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat yang mungkin menyebabkannya. 10. Kelainan imunologi a. Adanya sel LE atau gesekan perikard

b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA (anti-dsDNA) dengan titer abnormal. atau c. Anti-Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos. atau d. Uji serologi untuk sifilis yang positif semu selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh uji imobilisasi Treponema palidum atau uji fluoresensi absorpsi antibodi treponema. 11. Antibodi antinuklear Titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom penyakit SLE karena obat.

PENGOBATAN DAN REHABILITASI Pendidikan terhadap pasien Pasien diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis dan sebagainya), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit ini. Di beberapa negara telah tersedia materi pendidikan dalam bentuk brosur atau buklet; malah telah berdiri perkumpulan pasien SLE. Beberapa prinsip dasar tindakan untuk meningkatkan kulaitas hidup pasien SLE 1. Monitoring kesehatan yang teratur 2. Lakukan latihan Lakukan latihan atau kegiatan yang menggunakan tenaga sedikit seperti jalan kaki, berenang dan bersepeda. Kegiatan ini dapat membantu menjaga pemendekan otot dan menurunkan resiko berkembangnya osteoporosis. Latihan jiga dapat memberikan pengaruh positif pada mood. 3. Istirahat yang cukup Tenangkan diri dan atur keseimbangan periode beraktifitas dan istirahat. Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup.

4. Makan makanan yang sehat Makanlah makanan yang bergizi dan seimbang, kurangi makanan tinggi lemak jenuh dan makanan yang mengandung mengandung L-Canavantine dan pristane seperti taoge dan rebung. 5. Hindari rokok Merokok dapat mempengaruhi sirkulasi darah dan memperparah gejala SLE. Tembakau memberikan efek negative terhadap jantung, paru-paru dan lambung. 6. Hindari alcohol Alkohol dapat berinteraksi dengan obat-obatan yang dikonsumsi yang mengakibat masalah serius pada lambung dan usus bahkan bisa mengakibatkan ulkus 7. Mengatasi infeksi Demam mengindikasikan adanya infeksi ataupun gejala SLE yang meningkat. Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus segera memeriksakan diri. Di Amerika dianjurkan vaksinasi dengan vaksin influensa dan pneumokokus. Diperlukan terapi pencegahan dengan antibiotik pada operasi gigi, traktus urinarius atau prosedur bedan invasif lain. 8. Jadilah teman yang baik Dalam menjalani pengobatan paien hendaknya dapat membangun rasa percaya dan hubungan yang baik dengan dokter. Bersabarlah, dokter akan menemukan pengobatan yang tepat dan akan bekerja keras untuk kesembuhan pasiennya. Ikutilah pengobatan yang diberikan dokter dan jangan takut menanyakan segala sesuatu yang meragukan. 9. Cari tahu tentang penyakitmu Simpanlah catatan tentang penyakit dan bagian tubuh mana yang dipengaruhi oleh penyakit SLE dan kondisi serta kegiatan apa yang dapat memicu terjadinya gelaja SLE 10. Mintalah pertolongan Jangan takut minta pertolongan saat membutuhkannya dan jika ada organisasi penyakit SLE maka pasien disarankan untuk bergabung serta berbincang-bincang dengan orang lain yang memiliki pengalaman yang sama. 11. Fotoproteksi

Pasien SLE akan mengalami kemerahan pada kulit saat terpapar sinar matahari. Kontak dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet harus dikurangi atau dihindarkan. Jika akan berpergian dan kemungkinan akan terkena sinar matahari sebaiknya dipakai lotion tertentu (suncreener lotion) untuk mengurangi pengaruh sinar matahari pada kulit, pemakaian topi, kaca mata dan baju lengan panjang. Obat-obatan Bentuk pengobatan SLE ditentukan antara lain oleh aktivitas penyakit. Meskipun agak sulit ditetapkan secara tepat, aktivitas penyakit sebenarnya merupakan gabungan antara gambaran klinis dan hasil pemeriksaan penelitian yang mencerminkan adanya inflamasi aktif, sekunder terhadap SLE. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk menentukan aktivitas penyakit pada SLE yang melahirkan berbagai sistem penilaian seperti BILAG, SLEDAI, SLAM dsb. Dalam garis besarnya, berdasarkan potensi butir-butir kelainan pada SLE untuk menimbulkan penyakit atau kematian, aktivitas penyakit dibagi dalam 2 kategori, yaitu minor dan mayor. NSAID dan Salisilat NSAID terutama dipakai pada SLE dengan gejala ringan. Sering juga dipakai bersamasama dengan kortikosteroid untuk mengurangi dosis kortikosteroid. Dapat dipakai sebagai terapi simtomatis pada artritis/artralgia, mialgia dan demam : Preparat salisilat atau preparat lain seperti indometasin (3 x 25 mg/hari), asetaminofen (6 x 650 mg/hari) dan ibuprofen (4 x 300-400 mg/hari). Ini harus disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi simtomatis lain misalnya diperlukan pada :: Eritema Terapi lokal dengan krem atau salep kortikosteroid Ulserasi mulut dan nasofaring diberi terapi lokal Fenomen Raynoud Pencegahan timbulnya fenomen ini diusahakan dengan protective clothing. Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan obat yang sangat penting dalam pengobatan SLE. Dapat digunakan secara topikal untuk manifestasi kulit, dalam dosis rendah untuk aktivitas minor dan dalam dosis tinggi untuk aktivitas mayor (lihat tabel 1).

Pada keadaan yang berat, terutama gangguan susunan saraf pusat dengan kejang-kejang dan psikosis, diberikan prednison dosis tinggi (100-200 mg/hari atau 2 mg/kg berat badan/hari). Setelah kelainan klinis menjadi tenang, dosis kortikosteroid diturunkan (tapering) dengan kecepatan 2,5-5,0 mg/minggu sampai dicapai dosis pemeliharaan yang diberikan selang sehari. Jika terdapat kelainan ginjal, perlu dilakukan biopsi ginjal untuk memastikan jenis kerusakan ginjal. Glomerulus nefritis penyakit SLE fokal memberikan respon yang baik terhadap pengobatan atau dapat sembuh spontan. Biasanya diberikan prednison atau prednisolon 40-60 mg/ hari selama beberapa minggu sampai gejala klinis menghilang, diteruskan dengan dosis pemeliharaan. Tabel 1. Penggunaan Kortiksteroid pada SLE Indikasi Manifestasi kulit Aktivitas penyakit Minor Mayor Kortikosteroid topikal atau intralesi. Prednison (atau ekuivalennya) < 0,5 mg/kg BB/hari, dosis tunggal atau terbagi. Oral : Prednison (atau ekuivalennya) 1 mg/kg bb/hari, dosis tunggal atau terbagi. Jaringan lebih lama dari 4-6 minggu. Bolus intravena : 1 gram (atau 15 mg/kg BB/hari) metilprednison Na-suksinat intravena selama 30 menit; sering diberi 3 hari berturut-turut. Pada kerusakan fokal yang berat, glomerulonefritis difus atau membranosa, pemberian dosis tinggi (prednison atau prednisolon 150-200 mg/hari) ternyata dapat memberikan perbaikan pada beberapa pasien. Obat Antimalaria Obat antimalaria efektif dalam mengatasi manifestasi kulit, muskuloskeletal dan kelainan sistemik ringan pada SLE. Kadang-kadang juga terdapat adenopati hilus serta kelainan paru ringan dan artralgia ringan. Preparat yang paling sering dipakai ialah klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis 200-500 mg/hari. Selama pemakaian obat ini pasien harus kontrol ke Ahli Mata setiap 3-6 bulan, karena adanya efek toksik berupa degenerasi makula. Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi beberapa kemungkinan telah diajukan seperti

antiinflamasi, imunosupresif, fotoprotektif dan stabilisasi nukleprotein. Klorokuin mengikat DNA, sehingga tidak dapat bereaksi dengan anti-DNA. Obat imunosupresif Biasanya obat imunosupresif

diberikan

bersama-sama

dengan

kortikosteroid.

Pemakaiannya didasarkan atas efeknya terhadap fungsi imun. Penggunaan obat imunosupresif sebenarnya masih diperdebatkan. Umumnya hanya dianjurkan pada kasus gawat atau lesi difus dan membranosa pada ginjal yang tidak memberikan respons baik terhadap kortikosteroid dosis tinggi. Yang paling sering dipakai ialah azatioprin dan siklofosfamid. Dosis awal azatioprin adalah 3-4 mg/hari), kemudian diturunkan menjadi 1-2 mg/kg berat badan/hari jika timbul gejala toksik. Siklofosfamid diberikan dengan dosis 100-150 mg/hari. Diduga efek kedua obat ini pada SLE lebih bertindak sebagai antivirus daripada sebagai obat imunosupresif. Lain-lain Metrotreksat Siklosporin A : mungkin diperlukan pada wanita hamis (lihat dibawah) Imunoglobulin intravena : untuk trombositopenia Infus plasma : untuk SLE yang disertai defisensi C2 Retinoid dan metabolitnya : untuk lesi kulit diskoid dan subakut yang refrakter terhadap pengobatan biasa Dapson dan talidomid : untuk lesi kulit yang berat

Pengobatan terhadap komplikasi Komplikasi yang paling sering adalah infeksi sekunder. Pada sistem kardiopulmoner mungkin timbul gagal jantung karena miokarditis, efusi pleura dan perikard sampai tamponade jantung yang memerlukan perikardiektomi. Kelainan ginjal dapat berupa kegagalan ginjal ringan sampai berat. Dalam keadaan ini dipertimbangkan pemberian diuretik, obat antihipertensi, dan mungkin juga dilakukan dialisis serta transplantasi ginjal. Ada juga yang menganjurkan pemberian antikoagulan. Heparin

diberikan dalam dosis antikoagulasi, kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 250 mg/hari subkutan. Terhadap kejang-kejang yang timbul akibat gangguan susunan saraf pusat, diberikan obat-obat antikonvulsi. Terapi Eksperimental Total Lymphoid Irradiation Efek utamanya timbul melalui penurunan jumlah T 4. Akibatnya produksi antibodi yang T-cell dependent berkurang. Pada SLE secara bermakna menurunkan kadar antibodi antinuklir dan antiDNA. Plasma Exchange atau Plasmapheresis Tindakan ini mengurangi konsentrasi antibodi inravaskular kompleks imun dan mediator inflamasi lain dalam sirkulasi.

You might also like