You are on page 1of 3

Leukemia Leukemia adalah kanker pada anak yang paling sering, mencapai lebih kurang 33% dari keganasan

pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira-kira 75% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun. Leukemia mieloid akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari leukemia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Leukemia sisanya adalah bentuk kronis; leukemia limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan pada anak. Insidensi tahunan keseluruhan dari leukemia adalah 42,1 tiap juta anak kulit putih dan 24, 3 tiap juta anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh rendahnya kejadian LLA pada kulit hitam. Gambaran klinis umum leukemia adalah serupa karena semuanya melibatkan kerusakan hebat fungsi sumsum tulang. Tetapi, gambaran klinis dan laboratorium spesifik berbeda dan ada perbedaan dalam respons terhadap terapi dan perbedaan dalam prognosis.

Leukemia Mieloid Akut Leukemia mieloid akut (LMA) mempunyai insiden 5-6 kasus tiap sejuta anak kurang dari 15 tahun. Di Amerika, 350-500 kasus baru tiap tahun. LMA merupakan 1520% dari kasus leukemia anak tetapi terutama sebagai leukemia neonatal atau kongenital. Tidak ada perbedaan insidensi dalam hal jenis kelamin atau ras dan, kecuali kenaikan selama remaja, distribusi kasus menurut umur konsistensi selama masa anak. Insiden LMA melebihi angka perkiraan pada kelainan genetik. Anak yang mendapat terapi keganasan sebelumnya juga mengalami risiko; insidensi LMA sekunder mendekati 5% setelah terapi beberapa malignitas. Insidensi itu mencapai puncak dalam 10 tahun dari keganasan awal. Kejadiannya berkaitan dengan terapi spesifik (obat alkilasi seperti siklofosfamid, obat yang menghambat reparasi DNA seperti etoposid). Terapi radiasi yang diberikan bersama kemoterapi juga meningkatkan resiko leukemia sekunder. Manifestasi Klinis LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan kegagalan sumsum tulang. LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap penderita dengan pucat, demam, infeksi, atau perdarahan. Nyeri tulang kurang sering dibanding LLA.

Hepatosplenomegali sering; limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau pembesaran kelenjar parotis jarang tetapi merupakan temuan yang sugestif. Massa lokal dari sel leukemia (kloroma), mungkin timbul ditempat manapun, tetapi daerah retroorbital dan epidural paling sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi sel leukemia sumsum tulang. Hitung darah biasanya abnormal; anemia dan trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit mungkin tinggi, rendah, atau normal. Blas leukemia mungkin nyata pada preparat apus darah. LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan anemia, leukopeni, atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom mielodisplasia. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan dan sumsum tulang dan adanya sel blas di susum tulang. Perjalanan alamiah sindrom mielodisplasia pada anak tidak begitu jelas, tetapi sebagian besar kasus berkembang menjadi LMA. Seperti MLA sekunder, sindrom mielodisplasiadapat timbul pada anak yang mendapat terapi keganasan sebelumnya. Diagnosis Adanya paling sedikit 30% sel blas leukemia di sumsum tulang diperlukan untuk diagnosis LMA. Analisis morfologi dan sitologi (pengecatan histokimia mieloperoksidase positif, Sudan hitam , atau esterse nonspesifik) blas leukemia biasanya cukup untuk membedakan LMA dan LLA. Namun dalam MLA, morfologi mungkin bervariasi. Untuk klasifikasi dan terapi kontemporer AML, sel blas leukemia harus dikarakterisasi atas dasar ekspresi antigen permukaan sel (imunofenotip) dan dengan analisis kromosom (kariotif). Sistem FAB membagi LMA menjadi 8 subtife, MO sampai M7, yang sangat bersesuaian dengan galur hematopoesis. Diantara anak, jumlah kasus dengan subtipe M0, M1, dan M2 kira-kira sama dengan jumlah penderita dengan M4 dan M5; tipe FAB ini bertanggung jawab atas 80% dari LMA masa kanak-kanak. Subtife M3 danM7 lebih jarang, dan M6 langka. Sistem klasifikasi ini memudahkan penelitian mengenai perjalanan klinis dan memungkinkan membandingkan berbagai terapi. Penemuan yang hampir selalu tetap pada subtife M3 adalah translokasi materi genetik antara kromosom 15 dan 17, ini menghasilkan gen fusi yang meliputi gen yang menyandi reseptor asam ritoneat a. Asam retinoat dapat secara efektif menginduksi remisi pada penderita ini. Translokasi antara kromosom 8 dan 21, khas terdapat pada M2,

berikatan erat dengan kloroma. Inversi material genetik di kromosom 16 dapat dijumpai pada M4, dimana eosinofilia merupakan gambaran yang menonjol. Terapi Terapi LMA telah semakin baik tetapi tetap tidak memuaskan. Antara 70-80% penderita mencapai remisi setelah terapi dengan regimen kemoterapi yang meliputi antrasiklin (daunomisin, idarubisin) dan sitarabin. Perawatan suportif optimal penting untuk membantu penderita agar cukup waktu untuk berespons terhadap terapi karena kebanyakan penderita yang tidak responsif meninggal akibat infeksi atau toksisitas oleh kemoterapi. Remisi mungkin terjadi dalam 2-3 minggu setelah terapi dimulai tetapi juga memerlukan 8-12 minggu atau lebih lama dan memerlukan rangkaian kemoterapi. Penderita yang tidak berespons terhadap terapi induksi merupakan calon untuk transplantasi allogenik. Prognosis Dengan terapi agresif, 40-50% penderita mencapai remisi akan hidup lama (3040% angka kesembuhan keseluruhan).

Daftar Pustaka Behrman, Richard E; Robert M. Kliegman; Ann M. Arvin; Ilmu Kesehatatan Anak Nelson, Vol 3. Ed.15, Jakarta: EGC, 2000.hal:1772-1776

You might also like