You are on page 1of 65

Agama di Jepang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Butsudan (altar keluarga) Penganut agama di Jepang menurut Kementerian Pendidikan Jepang: Shinto sekitar 107 juta orang, agama Buddha sekitar 89 juta orang, Kristen dan Katolik sekitar 3 juta orang, serta agama lain-lain sekitar 10 juta orang (total seluruh penganut agama: 290 juta orang). Total penganut agama di Jepang hampir dua kali lipat dari total penduduk Jepang. Penganut agama Shinto dan Buddha dalam berbagai sekte saja sudah mencapai 200 juta.[1] Total penganut agama di Jepang melebihi jumlah penduduk disebabkan cara pengumpulan data dan tradisi beragama orang Jepang.

Statistik disusun berdasarkan angket yang diisi secara sukarela oleh organisasi keagamaan yang dengan sengaja mengisi jumlah penganut yang dimiliki masing-masing organisasi secara berlebih-lebihan. Sebagian besar orang Jepang menganut lebih dari satu agama dan sepanjang tahunnya mengikuti ritual dan perayaan dalam berbagai agama. Mayoritas orang Jepang dilahirkan sebagai penganut Shinto, merayakan Shichi-Go-San, hatsumde, dan matsuri di kuil Shinto. Ketika menikah, sebagian di antaranya menikah dalam upacara pernikahan Kristen. Penghormatan terhadap arwah leluhur dinyatakan dalam perayaan Obon, dan ketika meninggal dunia dimakamkan dengan upacara pemakaman agama Buddha.

Di luar dua agama tradisional tersebut, saat ini banyak orang Jepang beralih ke berbagai gerakan keagamaan populer, yang biasa dikelompokkan dengan nama "Agama-agama Baru" (Shinshky). Agama-agama ini memiliki unsur-unsur Shinto, Buddha, dan takhayul lokal, dan sebagian telah berkembang untuk memenuhi kebutuhan sosial kelompok-kelompok masyarakat. Salah satu yang terkenal adalah Sokka Gakkai, suatu aliran Buddha yang didirikan pada tahun 1930 dan memiliki moto kedamaian, budaya, dan pendidikan. Agama-agama baru lainnya, antara lain adalah Aum Shinrikyo, Gedatsu-kai, Kiriyama Mikkyo, Kofuku no Kagaku, Konkokyo, Oomoto, Laboratorium Gelombang-Pana, PL Kyodan, Seicho no Ie, Sekai Mahikari Bunmei Kyodan, Sekai kysei ky, Shinreikyo, Sukyo Mahikari, Tenrikyo, dan Zenrinkyo.

Shinto
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Sebuah torii di Kuil Itsukushima

Shinto ( Shint?, secara harfiah bermakna "jalan/jalur dewa") adalah sebuah agama yang berasal dari Jepang. Dari masa Restorasi Meiji hingga akhir Perang Dunia II, Shinto adalah agama resmi di Jepang. Shinto sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti jalan para dewa, pemujaan para dewa, pengajaran para dewa, atau agama para dewa. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi. Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang

dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.

Daftar isi

1 Pengertian 2 Sumber Penulisan 3 Sejarah 4 Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto o 4.1 Kepercayaan agama Shinto o 4.2 Peribadatan agama Shinto 5 Ritual Shintoisme o 5.1 Matsuri 6 Dewa Dewi 7 Kitab Suci 8 Tujuan Agama Shinto 9 Referensi

Pengertian
Shinto adalah kata majemuk daripada Shin dan To. Arti kata Shin adalah roh dan To adalah jalan. Jadi Shinto mempunyai arti lafdziah jalannya roh, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata To berdekatan dengan kata Tao dalam taoisme yang berarti jalannya Dewa atau jalannya bumi dan langit. Sedang kata Shin atau Shen identik dengan kata Yin dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata Yang. Dengan melihat hubungan nama Shinto ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.

Sumber Penulisan

Pertama sumber luar (asing) yang banyak ditemukan pada sejumlah buku atau site seperti wikipedia misalnya, menjelaskan dengan cukup detail tentang agama ini. Kedua, ajaran Shinto menurut versi negara terutama saat agama ini ditetapkan sebagai agama resmi jaman Meiji dahulu. Doktrin dan ajaran mulai ditulis yang sepertinya lebih difokuskan pada ajaran kesetiaan pada negara dan kaisar. Ketiga, sumber dari lembaga pendidikan seperti Encyclopedia Shinto. Dan yang terakhir adalah sumber dari masyarakat itu sendiri.

Sejarah
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah. Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhienya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok. Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewadewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi. Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan Badsudo (jalannya Buddha) dengan Kami (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya. Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.

Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto


Kepercayaan agama Shinto

Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan Kami. Istilah Kami dalam agama Shinto dapat diartikan dengan di atas atau unggul, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata Kami dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan Dewa (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata Kami tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain. Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah Yao-Yarozuno Kami yang berarti delapan miliun dewa. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angkaangka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka dengan bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan Kami. Pengikut-pengikut agama Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi Kami negara no mishi yang artinya : tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada Kami daripada benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada Kami alam raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kamakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian. Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni Kami versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra. Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :

Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.

Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.

Peribadatan agama Shinto

Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto. Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.

Ritual Shintoisme
Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti festival, perayaan atau hari libur perayaan. Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi. Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan
Matsuri

Matsuri berasal dari kata matsuru (matsuru? menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan

Amano Iwato. Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jing merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta. Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius

Dewa Dewi
Dewi matahari Shinto disebut Tensho Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami. Amaterasu adalah Ratu dari seluruh Kami, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa Pencipta dari mitologi Jepang). Keluarga Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan langsung dari garis keturunan Dewi Amaterasu. Oleh karena itu maka para Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan para dewa. Kamus Istilah dan Konsep Buddhis menyertakan informasi berikut berkaitan dengannya: Dewi Matahari yang terdapat dalam mitologi Jepang, yang belakangan diadopsi menjadi seorang dewa pelindung dalam Buddhisme. Menurut catatan sejarah tertua, Kojiki (Catatan tentang Hal-hal Kuno) dan Nihon Shoki (Sejarah Negeri Jepang), ia adalah pemimpin mahkluk gaib dan juga leluhur dari keluarga kerajaan. Dalam banyak tulisannya, Nichiren Daishonin memandang Tensho Daijin sebagai personifikasi dari perbuatanperbuatan yang melindungi kemakmuran orang-orang yang memiliki hati kepercayaan dalam Hukum Sejati.

Kitab Suci
Kitab suci agama Shinto yang paling tua ada dua buah, yang disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM) yang merupakan kaisar Jepang yang pertama, yaitu; Kojiki (Catatan dari hal-hal Kuno) yang mencatat peristiwa-peristiwa purbakala yang disusun pada 712 M, dan Nihongi (Sejarah Jepang) yang ditulis pada 720 M oleh seorang pangeran Jepang . Kemudian terdapat dua karya kemudian, yakni Yengishiki (Lembaga-lembaga pada masa Yengi), dan Manyoshiu yaitu kumpulan dari 10.000 daun adalah karya utama, tapi ini tidak dianggap sebagai kitab suci yang diwahyukan.

Tujuan Agama Shinto


Tujuan utama dari Shinto adalah mencapai keabadian di antara mahluk-mahluk rohani, Kami. Kami dipahami oleh penganut Shinto sebagai satu kekuasaan supernatural yang suci hidup di atau terhubung dengan dunia roh. Agama Shinto sangat animistik, sebagaimana kebanyakan keyakinan timur, percaya bahwa semua mahluk hidup memiliki satu Kami dalam hakikatnya. Hakikat manusia adalah yang paling tinggi, karena mereka memiliki Kami yang paling banyak. Keselamatan adalah hidup dalam jiwa dunia dengan mahluk-mahluk suci ini, Kami. Jalan Untuk Mencapai Tujuan Dalam Shinto keselamatan dicapai melalui pentaatan terhadap semua larangan dan penghindaran terhadap orang atau obyek yang mungkin menyebabkan ketidak sucian atau

polusi. Persembahyangan dilakukan dan persembahan dibawa ke kuil untuk para Dewa yang dikatakan ada sejumlah 800 miliar di alam semesta. Manusia tidak mempunyai Tuhan tertinggi untuk ditaati, tapi hanya perlu mengetahui bagaimana menyesuaikan diri dengan Kami dalam berbagai manifestasinya. Kami seseorang tetap hidup setelah kematian, dan manusia biasanya menginginkan untuk berharga dan dikenang dengan baik oleh keturunannya. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban adalah unsur yang paling penting dari Shinto.

Tenrikyo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Tenrikyo

Pembentukan Jenis Keanggotaan Tokoh kunci

1838 Monoteisme 1,75 (Jepang) 2 juta (dunia) Miki Nakayama

Kantor pusat Tenrikyo, di Tenri, Nara

Tenrikyo (bahasa Jepang: Tenriky) adalah suatu agama monoteisme di Jepang, yang berkembang berdasarkan ajaran Miki Nakayama, yang juga dikenal sebagai Oyasama oleh para pengikutnya.[1] Para pengikut Tenrikyo percaya bahwa Tuhan, yang dikenal dalam berbagai nama antara lain Tenri-O-no-Mikoto, telah menyatakan kehendak ilahi-Nya melalui Nakayama

yang berperan sebagai "Kuil Suci Tuhan". Pada tingkatan yang lebih rendah, peran tersebut juga dipegang oleh Izo Honseki Iburi dan para pemimpin lainnya agama ini. Tujuan duniawi Tenrikyo ialah untuk mengajarkan dan menganjurkan "Hidup Suka Cita" (yki yusan atau yki gurashi), yang dicapai melalui tindakan amal dan kesadaran pikiran yang disebut hinokishin. Kegiatan utama Tenrikyo saat ini termasuk pengelolaan 16.833 rumah ibadah lokal di Jepang,[2] Jiba (pusat dunia Tenrikyo) di Kota Tenri, oyasato-yakata (kompleks komunitas Tenrikyo yang terdiri dari Universitas Tenri University, Rumah Sakit Tenri, Sekolah Agama Tenri, Gedung Pertemuan Besseki, Shuyoka (pendidikan singkat), asrama, dan Sekolah Menengah Atas Tenri), dan berbagai organisasi lainnya yang berfokus pada komunitas. Agama ini memiliki 1,75 juta pengikut di Jepang,[2] dan kira-kira lebih dari 2 juta di seluruh dunia.[3] Dalam sastra populer Jepang, Tenrikyo diklasifikasikan sebagai shinshky (gerakan keagamaan baru), karena ia didirikan pada abad ke-19.

Daftar isi

1 Urutan waktu 2 Pusat Tenrikyo di luar Jepang 3 Referensi 4 Pranala luar

Urutan waktu

18 April 1798 - Miki Nakayama lahir. 12 Desember 1838 (26 Oktober kalender lunar) - Tuhan menampakkan kepada Miki Nakayama di Kuil Mishima. 1854 - Nakayama mulai memberikan "Karunia untuk Aman Melahirkan", dan mulai merekrut para pengikut awalnya. 1866 - Bab-bab pertama Ofudesaki (kitab ajaran Tenrikyo) selesai dibuat. 26 Januari 1887 - Miki Nakayama wafat.

Buddhisme di Jepang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Sejarah perkembangan ajaran Buddha di Jepang dapat dibagi ke dalam tiga periode: periode Nara (hingga 784), periode Heian (794-1185), dan pasca-periode Heian (tahun 1185 hingga sekarang). Pada masing-masing periode diperkenalkan ajaran-ajaran baru dan terjadi pasangsurut pada masing-masing sekte. Pada zaman modern, aliran Buddhisme yang populer adalah Jdoky, Buddhisme Nichiren, Shingon, dan Zen. Asal kata untuk Buddhisme dalam aksara kanji, bukky (?) berasal dari (butsu, Buddha) dan (ky, keyakinan, kepercayaan).[1]

Sejarah

Hry-ji (kuil yang dibangun pada abad ke-7)

Agama Buddha diperkenalkan di Jepang pada abad ke-6 setelah ketika para bhiksu Cina melakukan perjalanan ke Jepang sembari membawa banyak kitab-kitab suci dan karya seni. Agama Buddha lalu dipeluk menjadi agama negara pada abad selanjutnya. Karena secara geografis terletak pada ujung Jalur Sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika agama ini mulai hilang dari India dan ditindak di Asia Tengah serta Tiongkok. Dari kurang lebih tahun 710 banyak sekali kuil dan vihara dibangun di ibu kota Nara, seperti pagoda lima tingkat dan Ruang Emas Horyuji, atau kuil Kofukuji. Banyak sekali lukisan dan patung dibuat sampai tak terhitung dan seringkali dengan sponsor pemerintah. Pembuatan seni

Buddha Jepang mencapai masa keemasan antara abad ke-8 dan abad ke-13 semasa pemerintahan di Nara, Heian-ky, dan Kamakura. Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran ini oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari China. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-e dan ens) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik". Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting lain sastra derivatif seperti upacara minum teh atau ikebana. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual dan estetika, pertama-tama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik pertempuran (seni beladiri). Agama Buddha sampai sekarang tetap masih aktif di Jepang. Sekitar 80.000 kuil-kuil Buddha masih dipelihara secara teratur

Panteon Buddhis Jepang


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Beberapa perwakilan utama dari panteon Buddhis di Muse Guimet, Paris.

Panteon Buddhis Jepang ditujukan untuk beragam (Panteon) Buddha, Bodhisattva dan dewadewi yang lebih rendah tingkatannya dan tokoh agama utama dalam Buddhisme. Dalam aliran Mahyna, Panteon Buddhis ada hingga tingkatan tertentu, tetapi lebih ditujukan kepada karakterisasi Buddhisme esoterik seperti Vajrayana, termasuk agama Buddha Tibet dan khususnya agama Buddha Shingon, yang mengkhususkannya pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada Panteon Buddhis Jepang kuno, terdapat lebih dari 3.000 Buddha atau dewa, walau sekarang ini beberapa kuil lebih memusatkan pada satu Buddha dan beberapa Bodhisattva.[1]

Daftar isi

1 Sejarah 2 Struktur hirarki panteon Buddhis o 2.1 Tingkat 1: Buddha (Nyorai-bu) 2.1.1 Lima Buddha Kebijaksanaan o 2.2 Tingkat 2: Bodhisattva (Bosatsu-bu) o 2.3 Tingkat 3: Raja Bijaksana (My-bu) 2.3.1 Lima Raja Bijaksana 2.3.2 Raja Bijaksana Lainnya o 2.4 Tingkat 4: Dewa-dewi (Ten-bu) o 2.5 Tingkat 5: kemunculan tidak langsung (Suijakushin) o 2.6 Tingkat 6: tokoh agama (KsSoshi) 3 Referensi

Sejarah

Mandala Jepang mengenai Buddha Dhyani, Bodhisattva lainnya, mengelilingi Buddha Mahavairocana.

Awalnya, Buddhisme pra-sekte tidak menegaskan dengan pasti keberadaan dan pengaruh dewadewa. Tentunya, Buddhisme seringkali dianggap menganut kepercayaan atheistik oleh karena penolakannya akan keberadaan tuhan pencipta dan tanggung jawab pribadi akan diri sendiri. Akan tetapi, hampir seluruh mazhab Buddhis modern menerima keberadaan tuhan-tuhan dalam keadaan tertentu; pokok utama perbedaan dikarenakan pengaruh-pengaruh tuhan-tuhan tersebut. Dari mazhab-mazhab utama, Theravada cenderung meniadakan keberadaan tuhan sedangkan Mahayana dan Vajrayana tidak. Keragaman Panteon Buddhis dari Buddhisme di bagian utara berasal dari Vajrayana dan Tantrisme.[2] Asal-mula penyembahan Buddhis panteisme sepertinya dimulai dari periode

Kerajaan Kushan.[3] Pernyataan tegas pertama kali mengenai Panteon Buddis tampak dalam Guhyasamja sekitar abad ke-3 dan ke-4 masehi, dimana lima Buddha disebutkan, kemunculan yang membentuk sebuah keluarga:[4][5]

Lima Kula yakni Dvesa, Moha, Rga, Cintmani, dan Samaya, yang menghasilkan pencapaian seluruh keinginan dan pembebasan Guhyasamja.[6]

Pada abad ke-9 masehi, dibawah kepemimpinan raja Dharmapala dari Kekaisaran Pala, Panteon Buddhis sudah berkembang menjadi sekitar 1.000 Buddha.[7] Di Jepang, Kkai memperkenalkan Buddhisme Esoterik Shingon dan Panteon Buddhis-nya, juga pada abad ke-9.[8]

Struktur hirarki panteon Buddhis


Dalama kepercayaan Buddhisme di Jepang, Panteon Buddhis dijelaskan dalam struktur hirarki dimana Buddha berada pada kategori tertinggi, diikuti oleh beragam Bodhisattva, Raja Bijaksana (Sanskerta: vidyarja), Dewa-dewi, "Kemunculan tidak langsung" dan terakhir patriark dan tokoh agama terkenal.[9]
Tingkatan Tingkat 1 Buddha Tingkat 2 Bodhisattva Tingkat 3 Raja Bijaksana Tingkat 4 Dewa-Dewi Kategori Istilah Jepang Nyorai-bu (?) Bosatsu-bu (?) My-bu (?) Ten-bu (?)

Tingkat 5 Kemunculan tidak langsung Gongen (?) Tingkat 6 Tokoh agama Ks - Soshi (?)

Sebuah kelompok patung terkemuka, Mandala berada di kuil T-ji di Kyto, menunjukkan beberapa elemen utama dan struktur dalam Panteon Buddhis. Mandala dibuat pada abad ke-9 masehi dan dipersembahkan kepada Kkai.[10] Sebuah duplikat dibawa ke Paris, Perancis, oleh Emile Guimet pada akhir abad ke-19, dan sekarang berada di Muse Guimet.[11] Buddhisme di Jepang menggabungkan banyak sekali dewa-dewi Shint dalam panteon-nya dan begitu pula sebaliknya. Kepercayaan Shingon Jepang juga memiliki kategori lain, seperti

Tigabelas Buddha.[12] akan tetapi Buddhisme Zen dengan jelas menolak tegak penggambaran musyrik mengenai Buddhisme ortodoks.[13]
Tingkat 1: Buddha (Nyorai-bu)

Hsh Nyorai/ Buddha Ratnasambhava. Lima Buddha Kebijaksanaan Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nyorai dan Lima Buddha Kebijaksanaan

Lima Buddha Kebijaksanaan () diletakkan mengelilingi Vairocana (Bahasa Jepang: Dainichi Nyorai, ), Buddha yang tertinggi. Satu dari empat Buddha lainnya menempati posisi tetap sesuai mata angin. Masing-masing dari mereka merupakan perwujudan dari ke-Buddha-an, dan aktif dalam berbagai periode-dunia dimama mereka mewujudkan diri mereka di antara Bodhisattva dan manusia.[14]

Lima Buddha Kebijaksanaan, dilindungi oleh empat Bodhisattva Intan Agung dimasing-masing sudutnya. Buddha yang berada di depan, di Selatan dan adalah Ratnasambhava. Fukjju Nyorai

(utara)
Amida Nyorai Dainichi Nyorai Ashuku Nyorai

(barat)

(dewa utama)
Hsh Nyorai

(timur)

(selatan) "Buddha Dhyani" ini membentuk sistem inti panteisme Buddhis, yang oleh karenanya berkembang menjadi beragam bentuk.[15] Di Muse Guimet, lima Buddha dikelilingi oleh Boddhisattva pelindung.[16] Juga terdapat beragam Buddha lain, seperti Yakushi, Buddha obat.
Tingkat 2: Bodhisattva (Bosatsu-bu) Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bodhisattva

Bodhisattva Kong-Haramitsu/ Vajraparamita.

Bodhisattva adalah tokoh yang berada pada tingkat memasuki ke-Buddha-an tetapi menunda penyempurnaannya guna membantu mahluk lain untuk mencapai pencerahan. Bodhisattva merupakan teladan welas-asih yang dianut dalam kepercayaan Buddhisme Mahayana. Dalam Panteon Buddhis, disamping Buddha terdahulu dan akan datang, terdapat pula banyak Boddhisattva.[17] Terkadang, lima Boddhisattva "Acuan" utama telah ditetapkan (), dikelompokkan mengelilingi Bodhisattva yang diletakkan di tengah, Kong-Haramitsu () sebagaimana didapati pada kuil Tji.[18]

Lima Bodhisattva Acuan, dijaga pada bagian kanan depan oleh Raja Langit Jikoku, dan kanan belakang oleh Raja Langit Tamon, Muse Guimet. Miroku

(utara)
Kannon Kong-Haramitsu Fugen

(barat)

(dewa utama) (timur)


Monju

(selatan) Selain lima Bodhisattva utama ini, juga terdapat sejumlah besar Bodhisattva lainnya, semua mahluk hidup yang menunda pencapaian pencerahan guna membantu umat manusia.

Kongh Bosatsu/ Vajraratsa.

Daizuigu.

Jiz.

Kokz.

Seishi.
Tingkat 3: Raja Bijaksana (My-bu) Artikel utama untuk bagian ini adalah: Raja Bijaksana

Raja Bijaksana Gundari merupakan satu perwujudan dari Lima Buddha, Ratnasambhava/ Hsh Nyorai.

Raja Bijaksana (Vidyrja) pada awalnya adakan ketuhanan dalam Buddhisme Esoterik, tetapi kemudian dianut sepenuhnya oleh agama Buddha Jepang. Tuhan-tuhan ini dilengkapi dengan pengetahuan dan kekuatan tinggi yang memberikan mereka pengaruh baik ke kenyaataan di dalam atau diluar. Raja-raja ini menjadi obyek perwujudan, baik itu dalam wujud tenang-damai guna perwujudan kewanitaan, dan wujud murka untuk penggambaran wujud pria. Agresivitas mereka menggambarkan keinginan mereka untuk menghapus kekuatan negatif dalam diri pemuja maupun di dunia. Oleh karena itu, mereka merupakan perwujudan belas kasih Buddha akan seluruh mahluk hidup.[19]
Lima Raja Bijaksana Artikel utama untuk bagian ini adalah: Lima Raja Bijaksana

Lima Raja Bijaksana. Bagian kiri depan adalah dewa pelindung: Raja Langit Zch, dan satu lagi di kiri belakang: Raja Langit Kmoku.

Lima Raja Bijaksana () merupakan perwujudan Buddha dan melindungi mereka. Mereka biasanya diwujudkan sebagai mahluk yang ganas. Mereka mewakilkan sifat bertentangan, dan sepertinya berasal dari Yaksa kuno dan tradisi Brahmanikal.[20]
Kong-Yasha

(utara)
Daiitoku Fud-My Gosanze

(barat) (dewa utama) (timur)


Gundari

(selatan) Selain lima raja-raja utama, juga terdapat Raja Bijaksana lain dengan beragam peran.
Raja Bijaksana Lainnya

Raja-raja Bijaksana lainnya juga terdapat dengan beragam kegunaan. Pada umumnya, Raja-raja Bijaksana dipandang sebagai penjaga para Buddha dan para Bodhisattva.

Ususama.

Hayagriva.

Mahamayuri.

Tingkat 4: Dewa-dewi (Ten-bu) Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dewa (Buddhisme)

Dewa-dewi, walau mendapatkan keuntungan akan panjang usia yang luar biasa, akan tetapi tetap terikat dengan lingkaran kehidupan kembali, dan berada diluar dunia pencerahan dan Nirwana. Akan tetapi mereka tetapi bertujuan untuk mencapai Nirwana, dan oleh karena hal itulah mereka berusaha keras membantu agama Buddha dan umatnya.[21] Menurut kosmologi Buddhis, yang diambil dari kosmologi India, Dewa-dewi hidup dia Tiga Dunia dan ditempatkan menurut hirarki berdasarkan kedudukan mereka sesuai dengan poros kosmik Gunung Sumeru. Brahma tinggal jauh di atas gunung, pada puncaknya terdapat Tigapuluh Tiga Dewa-dwi dengan Indra sebagai raja mereka, dan pada pertengahan ketinggian tersebut terdapat Raja-raja Tuhan dari Oriental, dan dibawahnya terdapat dewa-dewi bawah.[22] Beragam dewa-dewi termasuk dalam Panteon Buddhis. Istilah Ten () sama dengan Dewa India dan ditujukan kepada dewa tertinggi dari Empat Raja Langit. Istilah Jin () ditujukan kepada dewa tingkatan yang lebih rendah.[23] Empat Raja Langit merupakan bagian penting dari dewa-dewi ini.

Empat Raja Langit Zch.

Bonten ()/ Brahma.

Raja Nanda, salah satu the Hachi Dairy ()/ Nagaraja.

Marishi-Ten ()/ Marici.

Ugajin (), bentuk maskulin.

Ugajin (), bentuk feminim.


Tingkat 5: kemunculan tidak langsung (Suijakushin) Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar dewa-dewi Jepang, Shint, Gongen, dan Shinbutsu shg

Izuna Gongen (), kemunculan tidak langsung di Gunung Izuna ().

Walaupun dewa-dewi dianggap sebagai subyek hukum ketidak kekalan, akan tetapi agama Buddha menganggap bahwa manusia harus menempatkan diri dibawah perlindungan mereka. Ketika agama Buddha masuk ke Jepang pada abad ke-6, beragam dewa-dewi Shint (kami) juga terdapat di kepulauan di Jepang, walau mereka tidak memiliki ikonografi. Kelompok shuijakushin lebih ditujukan kepada Jepang dan tersedia untuk penggabungan kedalam agama Buddha dari kami Shint. Istilah Buddhis "Gongen" (, "Avatar" (berarti memiliki kemampuan para Buddha dan Bodhisattva untuk mengubah penampilan mereka layaknya kami Jepang untuk mempermudah pengalihan agama bagi orang-orang Jepang) ) yang oleh karenanya digunakan sehubungan dengan dewa-dewi ini. Dewa-dewi Shint dianggap sebagai perwujudan lokal dari para Buddha dan Bodhisattva asing (suijakushin ( tuhan-tuhan yang muncul secara tidak

langsung?).[24] Dengan demikian, beragam bentuk Shinto diserap sebagai dewa-dewi Buddhis.[25] Terkadang hal ini juga berlawanan, dalam hal Benzaiten Buddhis dan Ugajin Shinto kami. Penyatuan aliran ini secara resmi dihapus dengan keberadaan Raja Meiji tahun 1868 dan Perintah Pemisahan Shinto dan Buddhisme (, juga Shinbutsu Konk Kinshi).[26]

Kemunculan tidak langsung Gunung Atago (), dalam wujud Jendral Jiz.

Kompira Daigongen (), ketuhanan dari Daratan laut dan perahu-perahu.

Samb Kjin (), Ketuhanan Api. Menggunakan kekuatan api untuk kepentingan umat Buddhis

Za Gongen (), kemunculan tidak langsung dari Gunung Yoshino.

Tingkat 6: tokoh agama (KsSoshi)

Bodhidharma "Daruma Daishi", pendiri Buddhisme Zen.

Agama Buddha juga menciptakan ikonografi dari tokoh-tokoh suci yang membantu penyebarannya. Tokoh-tokoh ini merupakan mahluk sejarah, walau beberapa elemen sejarah dapat dilekatkan pada mereka. Beberapa, seperti Kb-Daishi, pendiri Budhisme Shingon, merupakan subyek kesetiaan setara dengan kesetiaan terhadap para Buddha dan Bodhisattva. Beberapa juga memiliki sifat sebagai roh pelindung, seperti Battabara pelindung tempat pemandian, atau Fudaishi, pelindung perpustakaan monastik. Daftar dari tokoh-tokoh agama mencakup mereka yang berasal dari "Tiga Negara" dimana agama Buddha dilahirkan dan kemudian berkembang sepanjang Jalur Sutera: India, Cina, Jepang.[27] Tujuh Belas Arahat, para santo buddhis yang juga merupakan pendahulu atau pengikut Buddha, juga merupakan bagian dari kategori ini.

Prince Shtoku.

Master Kb Daishi pendiri Buddhisme Shingon.

Ingada sonja, satu dari Enam Belas Arahat.

Battabara sonja, , pelindung tempat pemandian.

Fudaishi, , pencipta Tendai dan Zen, juga menciptakan perpustakaan berputar untuk para pendoa.

Nichiren Shnin, , pendiri sekte Nichiren.

Satori
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini. Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan.[tampilkan]
Bagian dari serial

Agama Buddha

Sejarah Garis waktu Dewan-dewan Buddhis Konsep ajaran agama Buddha Empat Kesunyataan Mulia Delapan Jalan Utama Pancasila Tuhan Nirvana Tri Ratna Ajaran inti Tiga Corak Umum Samsara Kelahiran kembali Sunyata Paticcasamuppada Karma Tokoh penting Siddharta Gautama Siswa utama Keluarga Tingkat-tingkat Pencerahan Buddha Bodhisattva Empat Tingkat Pencerahan Meditasi Wilayah agama Buddha Asia Tenggara Asia Timur Tibet India dan Asia Tengah Indonesia Barat Sekte-sekte agama Buddha

Theravada Mahayana Vajrayana Sekte Awal Kitab Suci Sutta Vinaya Abdhidahamma

Satori (?) (Cina: ; pinyin: w; Korea: ) adalah istilah dalam Buddhisme di Jepang yang berarti pencerahan. Kata itu sendiri secara harafiah berarti pengertian. Satori diterjemahkan sebagai lintasan kesadaran yang seketika, atau Pencerahan individual, dan seraya Satori berasal dari tradisi buddhis zen, Pencerahan dapat secara bersamaan dianggap langkah awal atau titik keberangkatan menuju Nirwana Satori seringkali dipadankan dengan Kensho, yang secara harafiah berarti "melihat asal-usul diri" atau "diri yang hakiki". Pengalaman yang diraih pada pelaksanaan Kensho lebih bersifat sekilas, sedangkan satori lebih memberikan pengalaman spiritual yang mendalam. Satori juga merupakan pengalaman yang bersifat intuisi dan dapat dianggap sama pada saat kita bangun suatu hari dengan sepasang tangan tambahan, dan pada saat kemudian kita belajar untuk menggunakannya.

Pencapaian Satori
Praktisi Buddisme Zen mencapai satori melalui pengalaman pribadi. Cara tradisionil untuk mencapai satori, dan merupakan cara yang khas yang diajarkan kepada murid-murid Zen di dunia barat, adalah melalui penggunaan koan seperti yang didapati pada sebuah kumpulan naskah yang dikenal sebagai Gerbang tak berpintu (GatelessGate), yang juga dikenal dengan sebutan Mumonkan. Koan merupakan tebakan indah menyerupai teka-teki yang digunakan oleh para murid untuk membantu perwujudan satori; kata-kata dan kalimat tersebut juga digunakan oleh guru-guru Zen terdahulu. Gerbang tak berpintu (Gateless Gate) dikumpulkan pada awal abad ke 13 oleh seorang guru Zen dari China Wumen Hui-kai (). Guru Zen Yuelin Shiguan (; Romaji Jepang: Gatsurin Shikan) (1143-1217) memberikan Wumen sebuah koan Anjing Zhaozhou, yang dengannya Wumen berjuang selama enam tahun sebelum mendapatkan kesadaran. Setelah pengertiannya disetujui oleh Yuelin, Wumen menuliskan puisi pencerahan berikut:
Petir pada cuaca cerah Seluruh mahluk hidup di bumi membuka mata mereka; Semua dibawah langit merunduk bersama; Gunung Sumeru melompat dan menari.

Sangatlah berharga untuk mempertimbangkan bahwa apapun kata yang digunakan untuk menjelaskan pencerahan, hal tersebut mengacu pada pengalaman mula-mula dengan kata-kata berbeda untuk menggambarkan pengalaman semudah mengalihkan perhatian dari perjalanan yang mengarah pada kemungkinan menjadi avatar dimana terdapat satu lintasan dan tidak untuk

dibedakan atau dipisahkan dari ia yang melakukan perjalanan. Para ahli akan menyamakan pencerahan, satori, nirwana atau kesadaran kosmik sebagai Ledakan Besar yang mana kebanyakan dari peneliti tidak menduga bahwa cahaya dari bintang-bintang tidaklah dikenali melalui kesadaran mereka bahwa hal tersebut berasal dari tempat yang sama.

Satori dan Kensho

Simbol dalam bahasa Jepang untuk Satori

Satori seringkali digunakan secara tidak langsung menggantikan kata Kensho, tetapi Kensho menunjuk pada persepsi pertama akan Sifat-Buddha atau Sifat-Alam, seringkali mengacu pada penyadaran. Makna terpisah dari Kensho, yang bukan merupakan keadaan tetap dari pencerahan tetapi pandangan sekilas yang jelas akan asal-usul keberadaan, Satori digunakan untuk mengacu pada suatu keadaan pencerahan yang "dalam" atau bertahan. Sator dalam tradisi Zen tidak secara acak terjadi pada setiap individu, praktisi Buddisme Zen berupaya untuk mencapat kondisi tercerahkan. Oleh karena itu penggunaan kata satori sangat beragam, bila dibandingkan dengan Kensho, ketika mengacu pada keadaan Pencerahan Buddha dan Para Pemimpin (Patriarchs) dengan Bodhisattva yang mengenali "semua mahluk memiliki benih Buddha" (All things are Buddha things) and oleh karena itu, perpisahan antara diri dan alam semesta adalah merupakan ilusi. D. T. Suzuki menyatakan,

Satori adalah segala sesuatu-nya dari Zen, yang tanpa-nya tidak ada Zen. Oleh karena itu setiap rekaan, tata-tertib dan azas, diarahkan kepada Satori.[1]

Nichiren Shoshu
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Nichiren Shsh () adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepang. Pendiri ajaran ini, bernama Nichiren Daishonin, dianggap oleh penganut aliran ini sebagai Sang Buddha pokok[rujukan?]. Sekte ini merupakan salah satu dari sekian banyak sekte Nichiren yang ada di Jepang. Sekte Nichiren Shoshu ini berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang. Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai pendiri sekte Nichiren Shoshu.

Daftar isi

1 Sejarah 2 Nichiren Shoshu di Indonesia o 2.1 Perpecahan Nichiren Shoshu di Indonesia 3 Pranala luar

Sejarah
Agama Buddha menyebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea lalu masuk ke Jepang. Berbeda dengan agama lain, agama Buddha sangat terbuka alias terus terang mengungkapkan dasar pokok pendirian sektenya, atau alasan Buddhaloginya. Dalam teriminologi buddhisme dinamakan dasar sutra. Sutra adalah catat catatan tertulis dari ajaran sang Buddha Sakyamuni, dan jumlahnya mencapai puluhan ribu buah. Secara logika tentunya teramat sulit untuk mengetahui apa lagi memahami dan menguasai semua sutra-sutra itu. Sehingga secara aktual penganut awan Buddhisme biasanya mengacu kepada Bhikku sebagai guru dharma pribadi masing-masing. Setelah Sang Buddha Sakyamuni moksa, Air Dharma diwariskan kepada Ananda, dan Ananda mewariskan kepada penerus-penerus berikutnya antara lain Nagarjuna, Vashubandu, Tien Tai, Dengyo dan seterusnya. Kalau dilihat dari dasar buddhalogi, Nichiren Shoshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, serta Sastra Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, karya maha guru Tien Tai, maha guru Mio Lo, maha guru Dengyo. Sastra adalah penjelasan, penguraiaan,

pemaknaan dari sebuah sutra. Kumarajiva adalah seorang bhikku dari India yang menyebarkan agama Buddha ke Tiongkok. Beliau adalah salah satu peterjemah sutra dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa yang sangat terkenal dan terpercaya. Kumarajiva diyakini mampu "memindahkan" makna sutra dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa dan karya agung beliau tersebut sampai saat ini masih ada dan masih diterbitkan dalam buku di Jepang dan Taiwan. Sebagai "bukti" hal tersebut, ketika beliau wafat dan di kremasi, lidah beliau, tidak bisa terbakar. Di Tiongkok, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra. Dalam bahasa Tionghoa Saddharma Pundarika Sutra disebut Miao Hua Lien Hwa Cing dan dalam bahasa Jepang dibaca Myohorengekyo. Sutra Saddharma Pundarika adalah ajaran Buddha Sakyamuni mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, Myohorengekyo atau Saddharmapundarika-sutra lalu disebarkan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo. Buddha Nichiren Daishonin terlahir dengan nama Zennichi Maro pada tanggal 16 Februari 1222 di desa kecil Kominato, Provinsi Awa (sekarang daerah Chiba) Jepang. Sejak usia 12 tahun Zennichi Maro masuk ke kuil untuk menjadi bhikkhu. Pada usia 16 tahun dia ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan nama Zesho-bo Renco. Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka beliau berkesimpulan hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan sebagai ajaran terpokok dari Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sejak itu beliau menyebut diri Nichiren.

Nichiren Shoshu di Indonesia


Nichiren Shoshu mulai berkembang luas di Jepang, setelah Perang Dunia II di bawah pendudukan tentara Amerika, yang membebaskan kehidupan beragama. Para penganut membentuk organisasi massa umat awan bernama Sokagakai dan kemudian menjadi wadah dan motor penggerak penyiaran agama ini. Shintaro Noda, pegawai Nissho Iwai, sejak tahun 1920-an telah menetap di Indonesia, sempat menjadi tawanan tentara sekutu di Jawa dan Australia, dan karena itu menderita berbagai penyakit, akhirnya dipulangkan tentara sekutu ke Jepang. Di Jepang beliau bergabung dengan Sokagakkai dan menganut Nichiren Shoshu berhasil sembuh dari penyakit. Pada akhir tahun 1940 akhir Shintaro Noda, anggota Sokagakkai, pegawai Nissho Iwai kembali bertugas di Indonesia dan sekaligus menjadi penyiar agama Nichiren Shoshu sekaligus pimpinan Nichiren Shoshu di Indonesia sampai awal tahun 1970-an dan secara organisatoris berafiliasi kepada Sokagakkai dan kemudian hari membentuk Sokagakkai internasional. Pemerintahan Orde Baru yang diskriminatif, mengkategorikan semua agama Buddha sebagai unsur-unsur budaya Tionghoa yang tidak boleh berkembang dan segala kegiataanya harus diawasi menimbulkan berbagai goncangan. Terpaksa dibuat Yayasan Nichiren Shoshu Indonesia pada tahun 1967, yang sebenarnya dipimpin oleh bukan umat Nichiren, melainkan saudara sepupu dari seorang penganut. Kondisi ini akhirnya menimbulkan kekacauan kepemimpinan karena pimpinan de facto Shintaro Noda yang berkewarganegaraan Jepang tidak dapat menjadi

pemimpin de jure. Akhirnya pada awal tahun 1970-an Shintaro Noda disingkirkan dari kepemimpinan, dan munculah pimpinan baru, Senosoenoto, suami dari Keiko Sakurai seorang anggota sokagakkai. Di kemudian hari Senosoenoto berhasil mengajak kawannya Ir Soekarno, seorang mantan menteri pada masa Orde Lama, menjadi penganut dan kemudian menjadi salah satu pucuk pimpinan NSI. Soekarno sangat aktif dalam organisasi agama buddha di Indonesia, mewakili NSI menjadi pendiri organisasi yang sekarang bernama WALUBI. Soekarno wafat pada tahun 1981.
Perpecahan Nichiren Shoshu di Indonesia

Sejak akhir tahun 1970 sampai pertengahan tahun 1980, NSI berkembang dan mencapai puncak kejayaannya. Sebagaimana umumnya pekembangan organisasi, bilamana telah berkembang pesat, maka pada tahap-tahap tertentu muncul masalah rule of the game, management asset/financial, dan mekanisme pertanggungjawabab kepemimpinan organisasi. Tahun 1986 muncul usulan dan tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI, yang memang belum ada. Draf AD ART disusun dan dibuat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto, yang dikemudian hari dikenal sebagai kelompok 9. Inisiatif kelompok sembilan ini tidak terakomodasi, mereka disingkirkan, AD ART NSI tak kunjung terwujud, mereka lalu membuat Yayasan Visistacaritra pada tgl 16 Februari 1987. Sehubungan dengan ketentuan undang-undang tentang yayasan di kemudian hari dibentuk yayasan Visistacaritra, yang dimaksudkan untuk melanjutkan kegiatan Visistacaritra sampai saat ini,dan secara subyektif berorientasi pada Sangha Nichiren Shoshu. NSI sendiri sepeninggalan almarhum Senosoenoto,terpecah 2 karena adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum berikutnya, antara kubu pendukung wakil ketua umum Johan Nataprawira dan kubu wakil ketua umum Keiko Senosoenoto. Dalam Kongres Luar Biasa yang diadakan di kompleks Vihara Sadhaparibhuta Megamendung yang merupakan pusat pendidikan/pelatihan NSI, dan diikuti dari seluruh wakil-wakil pengurus daerah se Indonesia, terpilih Herwindra Aiko Senosoenoto sebagai Ketua Umum. Namun pihak-pihak yang tidak puas kemudian memilih Suhadi Sendjaja dari kubu Johan Nataprawira dan saat ini masih menjadi ketua umum PBDNSI. Namun keberadaan kelompok Suhadi ini menentang dan tidak patuh terhadap bimbingan/policy Sangha Nichiren Shoshu. Diantaranya, Suhadi dan PBDNSI-nya mendatangkan Sado Kasamatsu, seorang eks biksu yang sudah keluar dari Sekte Nichiren Shoshu. Akibatnya sampai sekarang ini Suhandi Senjaya dikeluarkan dari Nichiren Shoshu dan organisasi NSI tidak diakui sebagai ormas penganut Nichiren Shoshu di Indonesia. Kubu Keiko Senosoenoto mendirikan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (BDI), dan mengangkat anak perempuannya, Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum sampai sekarang ini. BDI kemudian sekitar tahun 2000-an ,bersama Sangha Nichiren Shoshu membentuk Yayasan Pendidikan Sangha Nichiren Shoshu Indonesia yang diketuai oleh Rusdy Rukmarata.

Yayasan Sangha ini "memiliki" memiliki dua buah kuil, Myogan-ji terletak di Megamendung dan Hosei-ji teletak di Jakarta. Kedua Kuil tersebut dipimpin Kepala Kuil Bhikku dari Kuil Pusat Taiseki-ji Jepang. Pada tahun 1992 terjadi pertikaian antara Sangha Nichiren Shoshu (di Jepang) dengan Sokagakkai / Sokagakkai internasional, dan berakibat Sokagakkai membentuk sekte tersendiri dan diberi nama Nichiren Sekai Shu. Kejadian ini juga berimbas ke Indonesia, sebagian umat Nichiren Shoshu yang ada membentuk kelompok baru bernama Sokagakkai Indonesia yang berpusat di Kemayoran Jakarta, dan menjadi penganut sekte Nichiren Sekai Shu, yang tentu saja didukung oleh Sokagakkai internasional dan Shintaro Noda.

Zen
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari
Bagian dari serial

Agama Buddha

Zen
Lima Kelompok Caodong / St Linji / Rinzai Fayan / Hgen Guiyang / Igy Yunmen / Unmon Tata cara Meditasi duduk Samdhi Pencerahan Pelatihan Kan Naskah utama Lakvatra Stra Diamond Stra Stra Hati ragama Stra Platform Stra Kumpulan Kan Agama Buddha Mahyna

Garis besar agama Buddha


(Kategori)

lihat bicara sunting

Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana. Kata Zen adalah bahasa Jepang yang berasal dari bahasa mandarin "Chan". Kata "Chan" sendiri berasal dari bahasa Pali "jhana" atau bahasa Sanskerta dhyana( ). Dalam bahasa vietnam Zen dikenal sebagai thin dan dalam bahasa korea dikenal sebagai seon. Jhana atau Dhyna adalah sebuah kondisi batin yang terpusat yang ditemui dalam meditasi. Meski secara semantik, kata Chan sendiri berasal dari kata dhyna (sansekerta) atau jhana (pali). Zen tidak bertujuan pada pencapaian jhana. Ini sekadar menunjukkan bahwa ajaran Zen sangat menekankan pada aspek meditasi atau samadhi.

Guru-guru Zen
Aliran Zen dianggap bermula dari Bodhidharma. Ia berasal dari India dan merupakan murid generasi ke-28 setelah Mahakassapa (dalam Bahasa Pali; bahasa Sanskerta:Mahakasyapa). Sekitar tahun 520 dia pergi ke Tiongkok Selatan di kerajaan Liang. Dia kemudian bermeditasi selama 9 tahun menghadap dinding batu di vihara di Luoyang. Di sinilah juga dipercayai berdirinya vihara Shaolin (). Aliran Zen asli kemudian diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng. Setelah itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang.
1. 2. 3. 4. 5. 6. Bodhidharma (atau Damo ) lahir sekitar 440 - meninggal sekitar 528 Dazu Huike () lahir 487 - meninggal 593 Jianzhi Sengcan () lahir ? - meninggal 606 Dayi Daoxin () lahir 580 - meninggal 651 Hung Ren () lahir 601 - meninggal 674 Hui Neng () lahir 638 - meninggal 713

Seni Zen
Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran ini oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari Tiongkok. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik". Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting lain sastra derivatif seperti Chanoyu (upacara minum teh) atau Ikebana; seni merangkai bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual

dan estetika, pertama-tama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik pertempuran (seni beladiri).

Butsudan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Butsudan yang dihias indah dengan pintu terbuka menampilkan patung Buddha yang disimpan di dalamnya.

Butsudan ( atau ?, secara harfiah berarti "altar Buddha") adalah ruang suci kecil yang biasanya ditemukan pada kuil dan rumah penduduk dalam budaya Buddhisme di Jepang.[1] Butsudan merupakan sebuah altar berbentuk lemari kayu dengan pintu untuk menyimpan suatu gohonzon atau benda keagamaan, biasanya patung maupun lukisan Buddha dan Bodhisatwa, atau suatu naskah gulungan mandala. Pintunya dibuka untuk menampilkan benda yang disucikan selama hari raya keagamaan, dan ditutup sebelum matahari terbenam. Suatu butsudan biasanya menjadi tempat menyimpan seperangkat alat-alat keagamaan, disebut butsugu, misalnya lilin, dupa, genta, dan nampan untuk menempatkan sesajen seperti buah-buahan, teh, atau nasi. Beberapa sekte Buddhisme menambahkan ihai, yaitu papan nama untuk mengenang anggota keluarga yang telah meninggal dunia, dan menempatkannya di dalam atau di luar butsudan.[2]

Daftar isi

1 Penyusunan 2 Hubungan sosial-spiritual 3 Lihat pula 4 Catatan kaki 5 Referensi

Penyusunan
Penyusunan dan jenis benda di dalam atau di luar butsudan dapat bervariasi tergantung sekte yang diikuti. Suatu butsudan biasanya menyimpan suatu patung atau lukisan Buddha atau dewadewi Buddha, meskipun gulungan naskah mantra dan sutra yang disulam juga biasa didapati. Benda perlengkapan atau sarana keagamaan yang biasa ditemukan dekat butsudan meliputi sesajen (teh, air, makananbiasanya buah-buahan atau nasi), dupa, lilin, bunga, lentera, dan bunga hijau abadi.[3] Sebuah rin gong atau mangkuk persembahyangan biasanya didapati pada butsudan, yang senantiasa diketuk selama peribadatan atau pembacaan doa. Pengikut beberapa sekte Buddha menempatkan ihaipapan ukiran nama anggota keluarga atau sanak saudara yang telah meninggal duniadi dalam atau di depan butsudan. Sekte Buddha lainnya, contohnya Jdo Shinsh, biasanya tidak demikian. Butsudan umumnya ditempatkan dalam lemari besar yang di dalamnya juga tersimpan surat/dokumen dan sertifikat berharga milik keluarga bersangkutan.[4]

Hubungan sosial-spiritual
Umumnya butsudan dipandang sebagai bagian esensial dalam kehidupan keluarga tradisional Jepang karena merupakan pusat keyakinan spiritual dalam rumah tangga, terutama menyangkut kematian sanak saudara atau mengenang para leluhur. Hal ini tidak jarang ditemukan pada wilayah pedesaan, yang setiap rumah didapati memiliki butsudan bahkan dengan persentase lebih dari 90%, bertolak belakang dengan wilayah pemukiman perkotaan dan pinggiran kota, dengan tingkat keberadaan butsudan dapat anjlok hingga kurang dari 60%.

Islam di Jepang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Sebuah mesjid di Tokyo.


Artikel ini merupakan bagian dari seri

Islam menurut negara

Afrika[tampilkan] Asia[tampilkan]

Eropa[tampilkan] Amerika[tampilkan] Oseania[tampilkan]


Kotak ini: lihat bicara sunting

Islam di Jepang biasanya dianut oleh orang Turki, Arab, Melayu, dan Indonesia yang pendidikan/bekerja di Jepang.[rujukan?] Islam dalam bahasa Jepang adalah (bahasa Jepang: isuramukyou)

Daftar isi

1 Antara 1877 dan Perang Dunia II 2 Setelah Perang Dunia II 3 Persatuan Muslim Jepang 4 Orang Jepang Muslim 5 Dakwah di Jepang 6 Referensi o 6.1 Catatan kaki o 6.2 Bacaan lanjutan 7 Pautan luar

Antara 1877 dan Perang Dunia II

Hubungan Islam dengan Jepang ini masih terbilang belia jika dibandingkan hubungan agama ini dengan negara-negara yang lain di seluruh dunia. Tidak terdapat sebuah hitungan yang nyata tentang hubungan-hubungan antara agama Islam dengan Jepang atau cerita sejarah tentang Islam di Jepang melalui penyebaran agama, kecuali beberapa hubungan tersembunyi antara penduduk-penduduk Jepang dengan orang-orang Muslim dari negara lain sebelum tahun 1868. Agama Islam diketahui untuk pertama kali oleh penduduk Jepang pada tahun 1877 sebagai sebagian pemikiran agama barat dan pada sekitar tahun itu, kehidupan Nabi Muhammad diterjemahkan dalam Bahasa Jepang. Ini membantu agama Islam menempatkan diri dalam pemikiran intelek orang Jepang, tapi hanya sebagai satu pengetahuan dan pemikiran. Lagi satu hubungan yang penting dibuat pada tahun 1890 ketika Turki Usmaniyah mengirim utusan yang menumpang sebuah kapal yang dinamakan "Ertugrul" ke Jepang untuk tujuan menjalin hubungan diplomatik antara kedua negara serta untuk saling memperkenalkan orang

Muslim dan orang Jepang. Kapal itu yang membawa 609 orang penumpang dalam pelayaran pulang ke negara mereka tenggelam dengan 540 penumpang tewas. Dua orang Jepun Muslim pertama yang diketahui ialah Mitsutaro Takaoka yang memeluk Islam pada tahun 1909 dan mengambil nama Omar Yamaoka setelah menunaikan haji di Mekah, serta Bumpachiro Ariga yang pada masa yang lebih kurang sama telah pergi ke India untuk berdagang dan kemudian memeluk Islam di bawah pengaruh orang-orang Muslim di sana serta mengambil nama Ahmad Ariga. Bagaimanapun, kajian-kajian ini telah membuktikan bahwa seorang Jepang yang dikenali sebagai Torajiro Yamada mungkin merupakan orang Jepang Muslim yang pertama ketika ia melawat negara Turki disebabkan turut berduka cita dengan korban tewas dalam kecelakaan maut Ertugrul. Beliau mengambil nama Abdul Khalil dan mungkin pergi ke Mekah untuk naik haji. Bagaimana pun, kehidupan komunitas Muslim yang benar tidak bermula sehingga beratus-ratus pelarian Muslim Turki, Uzbekistan, Tajikistan, Kirghizstan, Kazakhstan dan Tatar Turki yang lain dari Asia Tengah dan Rusia, pengaruh Revolusi Bolshevik semasa Perang Dunia I. Orangorang Muslim ini yang diberikan perlindungan di Jepang menetap di beberapa pelabuhan utama di sekitar Jepang dan mendirikan komunitas-komunitas Islam. Segelintir orang Jepang memeluk Islam melalui hubungan mereka dengan orang-orang Muslim ini. Dengan pembentukan komunitas-komunitas Muslim ini, beberapa buah masjid telah didirikan. Masjid yang paling penting di antaranya ialah Masjid Kobe yang didirikan pada tahun 1935, dan Masjid Tokyo yang didirikan pada tahun 1938. Bagaimanapun, orang Jepang Muslim tidak mengambil bagian dalam pengelolaan masjid-masjid ini dan tidak terdapat orang Jepang yang menjadi imam, dengan pengecualian Syaikh Ibrahim Sawada, imam pada Ahlulbayt Islamic Centre di Tokyo.[1]
Setelah Perang Dunia II

Gerbang muka Mesjid Kobe.

Saat Perang Dunia II, satu "Ledakan Islam" telah dimulai oleh kelompok tentara di Jepang melalui pendirian pusat-pusat penyelidikan untuk mengkaji Islam dan Dunia Muslim. Telah dikatakan bahwa pada waktu itu, melebihi 100 buah buku dan jurnal mengenai Islam telah diterbitkan di Jepang. Bagaimanapun, Pusat-pusat penyelidikan ini sama sekali tidak diketuai atau diurus oleh orang-orang Muslim dan tujuannya bukan untuk penyebaran Islam. Tujuan yang sebenarnya adalah untuk menambah wawasan tentara dengan pengetahuan yang diperlukan mengenai Islam dan orang Muslim karena terdapat komunitas-komunitas Muslim yang besar di kawasan-kawasan yang diduduki oleh angkatan tentara Jepang di negara RRC dan negara-negara Asia Tenggara. Oleh itu, dengan berakhirnya perang pada tahun 1945, pusat-pusat penyelidikan ini menghilang sama sekali. Ada lagi satu "Ledakan Islam", kali ini selepas krisis minyak 1973. Media massa Jepang telah memberi penerbitan yang besar tentang Dunia Muslim, dan khususnya kepada Dunia Arab, selepas menyadari kepentingan negara-negara ini terhadap ekonomi Jepang. Dengan penerbitan ini, banyak orang Jepang yang tidak mempunyai secuil pengetahuan tentang Islam mempunyai peluang untuk melihat rukun Islam ke-5, Haji di Mekah serta untuk mendengar panggilan Azan (panggilan Islam untuk salat) dan pembacaan Al-Quran. Selain daripada banyak orang Jepang yang memeluk Islam secara terang-terangan ketika itu, terdapat juga banyak upacara Islamisasi ramai-ramai yang terdiri daripada berpuluh-puluh ribu orang. Bagaimanapun, selepas krisis minyak selesai, kebanyakan pemeluk Islam meninggalkan agama itu. Orang-orang Turki merupakan komunitas Muslim yang terbesar di Jepang sehingga akhir-akhir ini. Pilot-pilot Jepang yang pergi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia sebagai tentara semasa Perang Dunia II diajarkan/diajak mengungkapkan "La ilaha illa Allah" ketika pesawat-pesawat mereka ditembak jatuh di kawasan-kawasan ini supaya mereka tidak dibunuh. Sebuah pesawat Jepang telah dikatakan ditembak jatuh dan pilotnya diamankan oleh penduduk setempat. Apabila pilot itu mengucap kata-kata "ajaib" itu, ia terasa terharu ketika pendudukpenduduk itu berubah sikap terhadapnya, dan memperlakukannya dengan baik.
Persatuan Muslim Jepang

Serangan Jepang terhadap China dan negara-negara Asia Tenggara semasa Perang Dunia II menghasilkan hubungan-hubungan antara orang-orang Jepang dengan orang-orang Muslim. Mereka yang memeluk agama Islam melalui hubungan-hubungan itu kemudian mengasaskan Persatuan Jepang Muslim di bawah pimpinan Allahyarham Sadiq Imaizumi pada tahun 1953. Persatuan tersebut ialah organisasi Jepang Muslim yang pertama. Ketua kedua persatuan ini ialah Allahyarham Umar Mita. Mita merupakan orang Islam yang tipikal bagi generasi tuanya yang mempelajari Islam di wilayah-wilayah yang diduduki oleh Kekaisaran Jepang. Melalui hubungan-hubungannya dengan orang-orang Cina Muslim, beliau memeluk Islam di Beijing. Saat Mita kembali ke Jepang selepas perang, beliau menunaikan haji, dan merupakan orang Jepang pertama sesudah peperangan untuk berbuat demikian. Mita juga

membuat terjemah Al-Quran bahasa Jepang untuk pertama kali. Oleh itu, hanya selepas Perang Dunia II baru terdapat sebuah komunitas di Jepang.
Orang Jepang Muslim

Tidak terdapat sensus yang bisa dilihat tentang bilangan orang Jepang Muslim di Jepang. Sebagian orang menyatakan bahwa bilangannya hanya dalam beberapa ratus. Ketika ditanya, Abu Bakr Morimoto manjawab, "Berbicara jujur, hanya seribu. Dalam pengertiannya yang paling umum, jika kita memasukkan mereka yang memeluk Islam tetapi tidak mengamalkan agama ini, umpamanya hanya untuk perkawinan, bilangannya mungkin dalam beberapa ribu.". Tetapi terdapat juga kelemahan dari segi orang-orang Islam Jepang sendiri juga. Terdapat perbedaan orientasi antara generasi yang tua dengan generasi yang baru. Bagi generasi yang tua, Islam disamakan dengan orang Islam Malaysia, Indonesia, China, dan sebagainya. Tetapi bagi generasi baru, negara-negara Asia Tenggara tidak begitu menarik hati disebabkan orientasi barat mereka dan oleh itu, mereka lebih dipengaruhi oleh Islam di negara-negara Arab. Ketika melawat negara-negara Muslim, kata-kata bahwa orang-orang Muslim Jepang adalah kumpulan agama minoritas sering menimbulkan masalah daripada para hadirin, "Berapakah jumlah orang Muslim di Jepang?" Jawaban ketika ini: "Satu daripada seratus ribu."
Dakwah di Jepang

Statistik menunjukkan bahwa di sekitar 80% daripada jumlah penduduk Jepang adalah penganut Buddha atau Shinto, sedangkan hanya 0,095% atau hanya berjumlah 121.062 orang. Bilangan pendakwah yang berpotensi dalam komunitas Muslim di Jepang adalah amat kecil, dan terdiri daripada para pelajar dan berbagai jenis pekerjaan yang bertumpu di kota besar seperti Hiroshima, Kyoto, Nagoya, Osaka dan Tokyo. Terdapat keperluan yang lanjut untuk orang-orang Muslim bertahan daripada tekanan-tekanan dan godaan-godaan gaya hidup modern yang lebih gairah. Orang-orang Muslim juga menghadapi kesusahan terhadap komunikasi, perumahan, pendidikan anak, makanan halal, serta kesusasteraan Islam, dan semua ini menghalang kegiatan-kegiatan dakwah di Jepang. Tanggapan salah terhadap ajaran Islam yang diperkenalkan oleh media-media barat perlu dibetulkan dengan cara yang lebih cekap dan yang mengambil kira ciri penting masyarakat Jepang sebagai salah satu negara yang paling tidak buta huruf di dunia. Bagaimanapun, disebabkan persebaran orang Muslim yang amat sedikit, terjemah Alquran dalam bahasa Jepang juga tidak mudah didapati. Hampir tidak adanya kesusasteraan Islam di dalam toko-toko buku atau perpustakaan-perpustakaan umum, kecuali beberapa esai dan buku dalam bahasa Inggris yang dijual pada harga yang agak mahal. Oleh itu, tidaklah mengejutkan untuk mendapati bahwa pengetahuan orang Jepang yang biasa tentang agama Islam hanya dihadapkan kepada beberapa istilah yang berkaitan dengan poligami, Sunni dan Syiah, Ramadhan, Haji, Nabi Muhammad, dan Allah. Dengan kesan-kesan yang semakin terang tentang kesadaran kewajiban komunitas-komunitas Islam serta penilaian yang

rasional, Umat Muslim telah menunjukkan tanggungan yang lebih kuat terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan dakwah dengan cara yang lebih teratur. Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia! [tutup]

Masjid Kobe
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Tampak depan Masjid Kobe. Masjid Kobe ( Masjid Kbe?), juga dikenal sebagai Masjid Muslim Kobe ( Masjid Muslim Kbe?), didirikan pada bulan Oktober 1935 di Kobe dan merupakan masjid pertama di Jepang.[1] Pembangunannya didanai oleh sumbangan dari Komite Islam Kobe dan dimulai sejak tahun 1928 hingga dibuka pada tahun 1935.[2] Masjid ini sempat ditutup oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang pada tahun 1943, tetapi sekarang sudah aktif dipakai kembali sebagai masjid. Karena memiliki ruang bawah tanah dan struktur bangunan yang kuat, masjid ini selamat dari bencana gempa bumi besar Hanshin pada tahun 1995. Masjid ini terletak di distrik Kitano di Kobe. Arsitekturnya dibangun dalam gaya Turki tradisional oleh arsitek Ceko Jan Josef vagr (1885-1969), seorang arsitek yang juga membangun sejumlah bangunan peribadatan Barat di seluruh Jepang.

Aum Shinrikyo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari Aleph (sebelumnya Aum Shinrikyo) Pembentukan Jenis Keanggotaan Pemimpin Tokoh kunci 1984 Pengkultusan destruktif 1.650 Fumihiro Joyu Shoko Asahara

Aleph, sebelumnya Aum Shinrikyo ( mu Shinriky?), adalah sebuah gerakan agama baru Jepang. Nama "Aum Shinrikyo" berasal dari suku kata bahasa Sanskerta Aum (yang melambangkan alam semesta), diikuti kata Shinrikyo dalam huruf kanji, kira-kira berarti "Agama Kebenaran". Dalam media massa berbahasa Inggris, "Aum Shinrikyo" umumnya diterjemahkan sebagai "Kebenaran Tertinggi". Pada bulan Januari 2000, organisasi ini mengubah namanya menjadi Aleph, yang merujuk pada huruf pertama abjad Fenisia.

Daftar isi

1 Ajaran 2 Serangan gas sarin 3 Oposisi internasional 4 Perpecahan 5 Referensi 6 Lihat pula 7 Pranala luar

Ajaran
Aum Shinrikyo didirikan oleh Shoko Asahara pada tahun 1984. Asahara mengajarkan sebuah ramalan mengenai hari kiamat, termasuk tentang akan terjadinya Perang Dunia Ketiga yang berujung pada kehancuran nuklir. Asahara menggunakan istilah "Armageddon", yang ia ambil dari Kitab Wahyu.[1] Selain untuk menyebarkan "firman keselamatan", misi Aum adalah juga

untuk bertahan hidup ini "masa-masa akhir" tersebut. Asahara pernah memperkirakan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun 1997.[1]

Serangan gas sarin


Kelompok ini menimbulkan kehebohan berskala internasional pada 20 Maret 1995, ketika beberapa anggotanya melaksanakan serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo, yang menewaskan 12 orang, membuat 54 orang sakit parah, serta memengaruhi lebih dari 980 orang. Banyak pula korban yang enggan untuk mengungkapkan diri, sehingga angka pasti jumlah korban sulit didapatkan.[2] Pada penggeledahan di kantor pusat kelompok ini di Kamikuishiki, Yamanashi, yang terletak di kaki Gunung Fuji, polisi menemukan bahan peledak, senjata kimia dan biologi, seperti kultur Anthrax dan Ebola, dan helikopter militer Rusia Mil Mi-17.[1] Virus Ebola mereka peroleh dari Zaire, pada tahun 1994.[3] Pada tanggal 30 Maret 1995, Takaji Kunimatsu, kepala Badan Kepolisian Nasional Jepang, ditembak empat kali di dekat rumahnya di Tokyo, sehingga mengalami luka serius. Sankei Shimbun menuliskan bahwa banyak pihak memperkirakan Aum terlibat dalam penembakan tersebut dan Hiroshi Nakamura diduga adalah pelaku kejahatannya, namun tidak ada orang yang menjadi terdakwa.[4]

Oposisi internasional
Pada tanggal 11 Desember 2002, pemerintah Kanada memasukkan Aum ke dalam daftar kelompok teroris yang dilarang.[5] Uni Eropa telah menyatakan Aum Shinrikyo sebagai organisasi teroris,[6] begitu pula Amerika Serikat juga tetap memasukkan Aum pada daftar kelompok teroris asing.

Perpecahan
Pada tanggal 8 Maret 2007, mantan jurubicara Aum Shinrikyo dan kemudian salah satu pemimpin kelompok ini, Fumihiro Joyu, secara resmi mengumumkan perpecahan kelompoknya.[7] Kelompok Joyu, yang bernama Hikari no Wa (Cincin Cahaya), mempunyai komitmen untuk menyatukan sains dan agama, dengan demikian menciptakan 'ilmu baru pemikiran manusia'.

Sejarah Kekristenan di Jepang


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Kiri: Seorang Kirishitan yang menetap di Jakarta setelah diberlakukannya Sakoku. Agama Kristen ditandai dengan topinya. Kanan: Orang yang sama tampak di sebelah kanan bagian depan. The Castle of Batavia, lukisan karya Andries Beeckman, circa 1656. Misionaris Kristen disebut bateren (bahasa Portugis: padre; bahasa Indonesia: pastor, romo, padri) atau iruman (bahasa Portugis: irmo, bruder). Kirishitan (, , , ?, dari bahasa Portugis: cristo) adalah istilah kuno untuk agama Katolik Roma dalam bahasa Jepang, dan dipakai sebagai istilah historiografi untuk menunjuk agama Katolik Roma di Jepang pada abad ke-16 dan abad ke-17. Transkripsi dalam aksara kanji: dan dipakai selama Periode Edo ketika Kekristenan dinyatakan sebagai agama terlarang di Jepang. Kedua transkripsi tersebut memiliki konotasi negatif. Istilah kirishitan hanya dipakai dalam kata daimyo kirishitan yang berarti daimyo beragama Kristen, dan Kakure Kirishitan yang merujuk kepada penganut Katolik Roma di Jepang yang membuat gerakan bawah tanah setelah Pemberontakan Shimabara. Kapal-kapal Portugis tiba di Jepang pada tahun 1543,[1] dan kegiatan misionaris Katolik di Jepang sudah dimulai paling tidak sekitar tahun 1549. Kegiatan penyebaran Kristen di Jepang terutama dilakukan oleh Yesuit yang disponsori Portugis hingga kedatangan misionaris ordo Fransiskan dan Dominikan yang disponsori Spanyol. Di antara 95 Yesuit yang bekerja di Jepang

hingga tahun 1600, 57 orang adalah orang Portugis, 20 orang Spanyol, dan 18 orang Italia.[2] Francisco Xavier,[3][4] Cosme de Torres (seorang pendeta Yesuit), dan Romo John Fernandes adalah misionari pertama yang tiba di Jepang. Mereka tiba di Kagoshima dengan tujuan menyebarkan Kekristenan dan Kekatolikan di Jepang. Pada abad ke-17, agama Katolik secara resmi dilarang di beberapa daerah, dan berubah menjadi gerakan bawah tanah. Meskipun demikian, bukti-bukti arkeologis membuka kemungkinan tentang kedatangan misionaris Nestorianisme di Jepang pada tahun 199 Masehi. Mereka diperkirakan singgah di Jepang setelah melakukan perjalanan melalui India, Cina, dan Korea sebelum akhirnya tiba di Dinasti Tang. Gereja pertama di Jepang kemungkinan sudah didirikan pada akhir abad-4 di Nara.[5]

Pemberontakan Shimabara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Pemberontakan Shimabara Bagian dari awal zaman Edo

Reruntuhan Kastil Hara

Tanggal Lokasi

Akhir 1637-awal 1638 Minamishimabara, Jepang Kemenangan Keshogunan Tokugawa; agama Kristen di Jepang menjadi gerakan bawah tanah Petani dan ronin berontak melawan peraturan pajak yang berat dan penindasan agama Kristen Pihak yang terlibat

Hasil

Casus belli

Keshogunan Tokugawa

Pemberontak lokal (penganut Kristiani dan lainnya)

Komandan Itakura Shigemasa, Matsudaira Nobutsuna, dan komandan tentara klan setempat

Amakusa Shir

Kekuatan lebih dari 125.000 antara 27.000 hingga 37,000[1] Korban 1900 tewas, 11.000 luka lebih dari 27.000 tewas

Pemberontakan Shimabara ( Shimabara no ran?) adalah pemberontakan bersenjata pada awal zaman Edo yang melibatkan kaum petani, orang Kristen dan ronin di wilayah Semenanjung Shimabara, Provinsi Hizen, Jepang. Pemberontakan berlangsung dari tahun 1637 hingga awal 1638, dan merupakan pemberontakan besar pertama sejak penyatuan Jepang di bawah kekuasaan Keshogunan Tokugawa.[2] Dalam rangka membangun istana baru milik klan Matsukura di Shimabara, pemerintah setempat menaikkan pajak secara berlebihan yang memicu kemarahan dari petani lokal dan para ronin. Ketidakpuasan terhadap pemerintah juga diperburuk dengan adanya penindasan terhadap orang Kristen setempat yang berakhir dengan pecahnya pemberontakan bersenjata pada tahun 1637. Keshogunan Tokugawa mengirimkan lebih dari 125.000 prajurit untuk mengepung para pemberontak yang bertahan di Istana Hara. Setelah pemberontakan dipadamkan, pemimpin pemberontak bernama Amakusa Shiro dipancung, dan Kekristenan semakin dilarang. Kebijakan negara tertutup semakin diperketat, dan pemburuan sewenang-wenang terhadap orang Kristen terus berlanjut hingga tahun 1850-an.

Daftar isi

1 Latar belakang 2 Pemberontakan o 2.1 Awal pemberontakan o 2.2 Pengepungan Kastil Hara o 2.3 Akhir pemberontakan o 2.4 Pihak-pihak yang bertempur di Shimabara 3 Pascapemberontakan 4 Budaya populer 5 Catatan kaki 6 Referensi 7 Bacaan selanjutnya 8 Pranala luar

Latar belakang
Shimabara pada zaman Sengoku adalah wilayah kekuasaan klan Arima yang penganut Kristen, sehingga sebagian besar penduduk telah menerima agama baru yang disebarkan oleh kaum misionaris Spanyol. Klan Arima kehilangan wilayah kekuasaannya pada tahun 1614, dan wilayah bekas milik klan Arima diberikan kepada Matsukura Shigemasa.[3] Shigemasa awalnya bersikap lunak pada orang-orang Kristen di Shimabara, namun belakangan mulai menindas mereka untuk meyakinkan kesetiaannya pada shogun. Pada pertengahan tahun 1630-an, petani di Semenanjung Shimabara dan Kepulauan Amakusa memberontak melawan para tuan tanah mereka. Pemberontakan ini terutama terjadi di wilayah yang dikuasai Matsukura Katsuie di Domain Shimabara, dan Terazawa Katataka di Domain Karatsu.[4] Walaupun sering disebut sebagai pemberontakan berlatar belakang agama, Pemberontakan Shimabara juga disebabkan ketidakpuasan terhadap beban pajak yang berlebihan dan penderitaan akibat paceklik. Tidak hanya di kalangan petani, ketidakpuasan juga dirasakan kalangan nelayan, perajin, dan pedagang. Setelah pemberontakan meluas, para ronin yang dulunya mengabdi untuk klan Amakusa, klan Shiki, klan Arima, dan kan Konishi juga ikut memberontak.[5] Untuk mencari muka pada shogun, Shigemasa ikut serta dalam berbagai proyek konstruksi, termasuk pembangunan dan perluasan Istana Edo, dan membangun istana baru di Shimabara.[6] Pembiayaan proyek-proyek berasal dari pajak yang harus dibayar oleh penduduk di wilayah kekuasaannya. Penduduk semakin marah setelah Shigemasa melakukan persekusi terhadap penganut Kristen di Shimabara.[7] Penindasan agama Kristen yang dilakukan Shigemasa bahkan membuat terkejut orang Belanda yang diizinkan berdagang di pos perdagangan Nagasaki. Shigemasa juga mengajukan proposal ambisius berupa penyerbuan ke Pulau Luzon, Filipina. Pada waktu itu, Spanyol menjadikan Luzon sebagai basis untuk menyebarkan agama Kristen ke Jepang. Setelah proposal itu mendapat persetujuan, Shigemasa segera melakukan persiapan dengan meminjam modal dari para pedagang di Sakai, Hirato, dan Nagasaki untuk membiayai

perang. Shogun Tokugawa Iemitsu akhirnya membatalkan rencana penyerangan Luzon dengan alasan belum siap dan situasi dalam negeri yang belum sepenuhnya stabil. Shigemasa meninggal tahun 1630 dan digantikan oleh putranya, Matsukura Katsuie yang mewarisi kebijakan dan utang ayahnya. Pajak dinaikkan secara drastis, dan tindakan Katsuie terhadap mereka yang tidak mampu membayar pajak bahkan lebih kejam daripada ayahnya. Banyak petani miskin yang tewas karena siksaan akibat tidak bisa membayar pajak. Penindasan terhadap orang Kristen pun semakin menjadi-jadi. Penduduk di Kepulauan Amakusa yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Konishi Yukinaga juga mengalami nasib serupa ditindas oleh klan Terazawa. Dalam kondisi tertekan, tersebar desas-desus di kalangan rakyat yang mengatakan bahwa akan muncul seorang Juru Selamat yang membebaskan mereka dari penderitaan.

Pemberontakan
Awal pemberontakan

Para ronin bekas pengikut daimyo bersama para petani mengadakan pertemuan rahasia untuk merencanakan pemberontakan. Pada musim gugur 1637[1], 16 orang petani ditangkap dan dijatuhi hukuman mati karena berdoa pada Tuhan Yesus. Kejadian tersebut membangkitkan kemarahan rakyat. Mereka menyerang dan membunuh petugas pajak Hayashi Hyzaemon. Pada waktu yang bersamaan, pemberontakan juga terjadi di Kepulauan Amakusa. Pemberontak menyerang kantor-kantor pemerintah dan kuil Buddha. Mereka juga membunuhi para pejabat, biksu dan biksuni. Potongan kepala korban diarak menuju Kastil Shimabara milik Matsukura Katsuie. Para pemberontak mengangkat Amakusa Shiro, putra Masuda Jinbei (mantan pengikut daimyo Konishi Yukinaga) yang masih berusia remaja, sebagai pemimpin mereka.[8]

Patung Jiz yang dirusak oleh pemberontak Kristen

Di Karatsu, rakyat ikut mengangkat senjata dan mengepung dua kastil milik klan Terazawa yaitu Kastil Hondo dan Kastil Tomioka. Ketika kedua kastil tersebut sudah dalam kondisi kritis, pasukan pemerintah yang didatangkan dari wilayah lain di Pulau Kyushu tiba, dan berhasil memaksa pemberontak untuk mundur. Pengepungan yang dipimpin Amakusa Shiro terhadap Kastil Shimabara juga berhasil dipatahkan. Pemberontak mundur dan memusatkan kekuatan mereka di Kastil Hara yang sudah dibongkar. Kastil Hara adalah kastil milik klan Arima sebelum

mereka dipindahkan ke Domain Nobeoka.[9] Hingga 3 Desember 1637, jumlah pemberontak yang berkumpul di Kastil Hara sudah mencapai 35.000 orang, mereka meliputi para ronin, petani pemberontak, serta rakyat sipil termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua. Mereka membangun pagar-pagar pertahanan dari kayu yang dibongkar dari kapal-kapal mereka. Persenjataan, amunisi, dan persediaan makanan pun cukup memadai. Mereka mendapat sebagian besar perbekalan dari hasil menjarah gudang-gudang milik klan Matsukura.[10]
Pengepungan Kastil Hara

Peta pengepungan Kastil Hara.

Kapal Belanda yang ikut mengepung Kastil Hara.

Pada 27 Desember 1637, para pemberontak mengalahkan gubernur Nagasaki, Terazawa Katataka. Dari 3000 pasukan yang dibawa Katataka hanya tersisa sejumlah 200 orang termasuk dirinya. Ia mundur dan meminta bantuan pada pemerintah pusat untuk menumpas pemberontak. Pada 3 Januari 1638, pasukan pemerintah di bawah pimpinan Itakura Shigemasa, dengan kekuatan lebih dari 30.000 prajurit, tiba di Shimabara dan berhasil mengalahkan para pemberontak dalam sebuah pertempuran. Pasukan pemerintah terus mengejar dan mengepung mereka di jantung kekuatan mereka, Kastil Hara. Pertahanan kastil itu terbukti sangat sulit ditembus, serangan pertama menjatuhkan banyak korban di pihak pemerintah termasuk Shigemasa sendiri.

Pasukan keshogunan asal domain-domain setempat di bawah pimpinan Itakura Shigemasa mulai melakukan pengepungan terhadap Istana Hara. Ahli pedang Miyamoto Musashi dikabarkan ikut sebagai penasihat Hosokawa Tadatoshi.[11] Matsuidara Nobutsuna, pengganti Shigemasa meminta bantuan dari orang Belanda yang mulanya memberikan mereka mesiu, namun kemudian juga memberikan meriam.[12] Nicolas Koekebakker, kepala pos perdagangan Belanda di Hirado memberi bantuan berupa mesiu dan meriam. Ketika tentara keshogunan meminta bantuan berupa kapal, Koekebakker juga menyanggupinya. Ia bahkan memimpin sendiri kapal de Ryp ke lepas pantai dekat Kastil Hara.[12] Kastil itu dibombardir dari darat dan laut, termasuk 20 meriam kapal de Ryp.[13]. Dalam pengepungan selama 15 hari, meriam-meriam tersebut menembakkan sekitar 426 peluru, namun tidak terlalu memberikan hasil berarti. Dua orang Belanda yang bertugas sebagai pengintai bahkan tertembak oleh para pemberontak.[14] Kapal Belanda akhirnya ditarik mundur atas permintaan keshogunan. Para pemberontak bahkan sempat mengirimkan pesan yang mengolok-olok tentara keshogunan:

Reruntuhan Kastil Hara, dilihat dari laut "Apa tidak ada prajurit-prajurit berani lainnya yang mau bertempur dengan kita, dan apakah mereka tidak malu meminta bantuan orang asing untuk melawan kita-kita ini yang jumlahnya hanya sedikit?"[15] Akhir pemberontakan

Itakura Shigemasa terbunuh dalam pertempuran merebut kastil. Keshogunan mendatangkan lebih pasukan tambahan di bawah pimpinan Matsudaira Nobutsuna yang naik pangkat menggantikan Itakura.[16] Walaupun demikian, pemberontak di Kastil Hara tetap bertahan di dalam kastil selama berbulan-bulan. Pasukan keshogunan yang mengepung mereka bahkan menderita korban besar. Kedua belah pihak mendapat kesulitan bertempur di tengah cuaca musim dingin. Pada 3 Februari 1638, serangan mendadak dari pihak pemberontak berhasil menewaskan 2.000 prajurit dari Domain Hizen. Namun akibat kemenangan kecil ini, pemberontak mulai kehabisan makanan, amunisi, dan perbekalan lainnya. Pada April 1638, lebih dari 27.000 pemberontak harus menghadapi sekitar 125.000 prajurit keshogunan.[17] Para pemberontak yang sudah putus asa melakukan serangan habis-habisan pada tanggal 4 April sehingga pasukan keshogunan harus mundur. Para pemberontak yang tertangkap dan pengkhianat dari pihak pemberontak yang diberitakan bernama Yamada Uemonsaku, mengaku para pemberontak di kastil sudah kehabisan makanan dan mesiu.

Pada 12 April 1638, pasukan di bawah komando Kuroda Tadayuki dari klan Kuroda dari Domain Hizen melakukan serbuan untuk merebut pertahanan luar pemberontak.[14] Pemberontak tetap bertahan di dalam kastil, dan menyebabkan korban besar di pihak penyerbu hingga harus ditarik mundur pada tanggal 15 April.
Pihak-pihak yang bertempur di Shimabara

Patung Toda Ujikane, wakil panglima tentara keshogunan yang menumpas pemberontakan.

Pemberontakan Shimabara adalah operasi militer skala besar pertama setelah Pengepungan Osaka 1614-1615. Pihak keshogunan harus menggalang kekuatan pasukan gabungan dari pasukan milik beberapa domain sekaligus. Panglima pasukan gabungan, Itakura Shigemasa secara langsung membawahi 800 prajurit. Ketika ditunjuk sebagai penggantinya, Matsudaira Nobutsuna membawahi 1.500 prajurit. Wakil panglima Toda Ujikane membawa 2.500 prajurit. Di antara pasukan keshogunan juga terdapat 2.500 samurai dari Domain Shimabara. Sebagian besar tentara keshogunan berasal dari kekuatan militer domain-domain yang bertetangga dengan Domain Shimabara. Pasukan terbesar berasal dari Domain Saga yang mengirimkan lebih dari 35.000 prajurit di bawah komando Nabeshima Katsushige. Domain Kumamoto dan Domain Fukuoka merupakan pengirim pasukan terbesar nomor dua, masing-masing 23.500 prajurit di bawah pimpinan Hosokawa Tadatoshi dan 18.000 prajurit di bawah pimpinan Kuroda Tadayuki. Dari Domain Kurume didatangkan 8.300 prajurit di bawah pimpinan Arima Toyouji. Dari Domain Yanagawa didatangan 5.500 prajurit di bawah pimpinan Tachibana Muneshige. Terazawa Katataka membawa 7.570 prajurit dari Domain Karatsu, sementara Arima Naozumi membawa 3.300 prajurit dari Domain Nobeoka. Ogasawara Tadazane dan pengikut paling seniornya, Takada Matabei dari dari Domain Kokura mengerahkan 6.000 prajurit. Dari Domain Nakatsu, Ogasawara Nagatsugu mengerahkan 2.500 prajurit; dari Bungo-Takada sejumlah 1.500 prajurit di bawah pimpinan Matsudaira Shigenao, dan dari Domain Kagoshima, pengikut senior klan Shimazu, Yamada Arinaga mengerahkan 1.000 prajurit. Satu-satunya pasukan dari luar Kyushu (selain pasukan di bawah komando langsung panglima) adalah pasukan dari Domain

Fukuyama yang berjumlah 5.600 prajurit di bawah pimpinan Mizuno Katsunari,[18] Katsutoshi, dan Katsusada. Ada pula sejumlah kecil pasukan dari berbagai daerah lain, dan jumlahnya sekitar 800 prajurit. Pasukan keshogunan secara total beranggotakan lebih dari 125.800 prajurit. Di lain pihak, kekuatan pasukan pemberontak tidak diketahui secara jelas. Petempur di pihak pemberontak diperkirakan berjumlah di atas 14.000 orang, sementara warga sipil yang berlindung di dalam kastil selama pengepungan diperkirakan di atas 13.000 orang. Total kekuatan pemberontak diperkirakan antara 27 ribu hingga 37 ribu, jauh lebih sedikit dibandingkan kekuatan militer yang dikerahkan keshogunan.[19]

Pascapemberontakan
Setelah pemberontakan ditumpas, pemerintah keshogunan melakukan pembalasan dengan melakukan pemancungan massal 37.000 orang pemberontak dan simpatisannya. Potongan kepala Amakusa Shir dibawa ke Nagasaki dan dipertontonkan di muka umum. Kastil Hara dibakar habis bersama mayat para pemberontak yang berada di dalamnya.[18] Keshogunan mencurigai pihak-pihak penyebar agama Katolik dari Barat terlibat dalam pemberontakan, dan pedagang Portugis diusir dari Jepang. Kebijakan negara tertutup diperkeras pada tahun 1639.[20] Pelarangan agama Kristen dijalankan dengan tegas. Penganut Kristen dianiaya dan diburu. Mereka yang selamat hanya bisa mempraktekkan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi sebagai Kakure Kurishitan.[21]

Patung Amakusa Shiro di situs Kastil Hara

Sebagai ucapan terima kasih kepada klan-klan yang telah membantu mengirimkan pasukan, pemerintah keshogunan membebaskan mereka dari sumbangan biaya pembangunan yang sebelumnya dipungut dari pemerintah di daerah.[22] Matsukura Katsuie dipersalahkan karena tindakannya yang sewenang-wenang sehingga memicu pemberontakan itu. Ia diminta melakukan seppuku dan wilayahnya dialihkan pada Koriki Tadafusa.[14] Klan Terazawa luput dari hukuman dan tetap berkuasa, namun berakhir belasan tahun kemudian karena Katataka tidak memiliki pewaris.[23]

Seusai pemberontakan, kerusakan besar terjadi di Shimabara, dan penduduk di kota-kota berkurang secara drastis. Pemerintah memindahkan penduduk dari daerah lain di Jepang untuk dipekerjakan sebagai petani penggarap sawah dan ladang yang telantar. Semua penduduk diwajibkan mendaftarkan diri di kuil-kuil setempat, dan para biksu diharuskan memastikan agama mereka.[24] Setelah terjadinya Pemberontakan Shimabara, agama Buddha disebarluaskan secara gencar. Hingga kini, beberapa tradisi unik tetap bertahan di daerah ini. Kota-kota di Semenanjung Shimabara juga memiliki penduduk yang berbicara dalam berbagai dialek yang dibawa para leluhur mereka yang didatangkan dari daerah-daerah lain di Jepang. Selain pemberontakan petani yang sekali-kali berlangsung dalam skala kecil, Pemberontakan Shimabara adalah konflik bersenjata skala besar yang terakhir di Jepang hingga tahun 1860an.[25]

Fumie
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Gambar Kristus yang digunakan untuk mengungkap para penganut Katolik dan simpatisannya

Gambar Sang Perawan Maria yang digunakan untuk mengungkap para penganut Katolik dan simpatisannya Fumie (bahasa Jepang: , fumi 'menginjak' + e 'gambar') adalah citra Yesus atau Maria yang, oleh para petinggi keagamaan pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa di Jepang, diharuskan untuk diinjak oleh orang-orang yang dicurigai sebagai penganut agama Kristen

sebagai bukti bahwa mereka bukanlah anggota dari agama terlarang itu. Fumie mulai digunakan sejak penindasan umat Kristiani di Nagasaki pada 1629. Fumie secara resmi tidak lagi dipergunakan di pelabuhan-pelabuhan yang terbuka bagi orang asing pada 13 April 1856, tetapi masih dipergunakan di beberapa tempat sampai agama Kristen secara resmi dilindungi oleh negara pada Periode Meiji. Pemerintah Jepang menggunakan fumie untuk mengungkap para penganut Katolik dan simpatisannya. Fumie adalah gambar-gambar Perawan Maria dan Kristus. Para aparat pemerintah memaksa setiap orang untuk menginjak-injak gambar-gambar itu. Orang-orang yang enggan menginjak gambar-gambar ini dinyatakan sebagai orang-orang Katolik dan dikirim ke Nagasaki. Kebijakan pemerintahan Edo adalah membuat orang-orang ini berpaling dari iman mereka, yaitu agama Katolik. Apabila orang-orang Katolik ini menolak murtad dari agamanya, mereka akan disiksa. Namun karena banyak dari mereka yang menolak untuk murtad, maka mereka dibunuh oleh pemerintah. Eksekusi ini kadang-kadang berlangsung di Gunung Unzen di Nagasaki, beberapa dari orang-orang tersebut dibuang ke dalam kawah gunung api itu. Fumie biasanya dipahat dari batu, namun beberapa di antaranya dibuat dari lukisan dan cetakan kayu. Banyak, kalau bukan semua, fumie dibuat dengan cermat, dan menunjukkan standar seni yang tinggi pada periode Edo. Sangat sedikit fumie yang masih ada sampai saat ini karena kebanyakan telah dibuang atau diubah menjadi benda lain. Banyak teolog mencoba mengkaji peran fumie bagi umat Kristiani Jepang; beberapa di antara mereka melihat penginjakan fumie sebagai tanda cinta kasih dan pengampunan Yesus Kristus.[1] Pada bagian III dari Kisah Perjalanan Gulliver, Gulliver sempat singgah sebentar di Jepang, namun berhasil luput dari uji fumie.

Gereja Katolik di Jepang


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Mosaik Bunda Maria dan Kanak-Kanak Yesus ala Jepang, dalam gereja Anunsiasi, Nazareth (hadiah dari umat Katolik Jepang untuk gereja tersebut).

Gereja Katolik di Jepang adalah bagian dari Gereja Katolik sedunia, di bawah pimpinan rohani Sri Paus dan Kuria di Roma. Diperkirakan terdapat 509.000 jiwa umat Katolik di Jepang - di bawah 0,5% dari keseluruhan populasi.[1] Ada 16 keuskupan, termasuk 3 keuskupan agung[2] dengan 1.589 imam dan 848 paroki di seluruh Jepang.[1] Para uskup Jepang membentuk Konferensi Waligereja Katolik Jepang, Konferensi waligereja negara itu. Nuncio Apostolik untuk Jepang saat ini adalah Uskup Agung Alberto Bottari de Castello dari Italia. Archbishop Bottari de Castello merupakan duta besar Tahta Suci untuk Jepang sekaligus wakil Tahta Suci untuk Gereja Katolik setempat.

Daftar isi

1 Keuskupan Katolik di Jepang o 1.1 Provinsi Nagasaki o 1.2 Provinsi Osaka o 1.3 Provinsi Tokyo 2 Lihat pula 3 Referensi 4 Pranala luar

Keuskupan Katolik di Jepang


Provinsi Nagasaki

Batu nisan (kedua dari kiri), di Gereja St. Paulus Melaka, milik seseorang bernama Petrus (?), "uskup Jepang kedua", yang wafat pada Februari 1598

Keuskupan Agung Nagasaki Keuskupan Fukuoka Keuskupan Kagoshima Keuskupan Naha Keuskupan Oita

Provinsi Osaka

Keuskupan Agung Osaka Keuskupan Hiroshima Keuskupan Kyoto Keuskupan Nagoya Keuskupan Takamatsu

Provinsi Tokyo

Keuskupan Agung Tokyo

Keuskupan Niigata Keuskupan Saitama Keuskupan Sapporo Keuskupan Sendai Keuskupan Yokohama

You might also like