You are on page 1of 2

Mengapa Memberi Makan kepada Orang yang Telah Kenyang?

Suatu pagi, ketika saya mengikuti Ekaristi, seorang Romo mengakhiri homilinya dengan sebuah kesimpulan jika Allah saja sudah begitu baik terhadap kita yang kecil ini, maka mengapa kita juga tak menabur kebaikan bagi lingkungan di sekitar kita?. Bagi saya, inilah makna hidup yang sesungguhnya. Untuk apa kita hidup? Untuk menjadi berkah bagi sekitar kita tentunya. Suatu ketika, saya pun ngobrol-ngobrol dengan sahabat dekat saya. Menurut saya, dia adalah contoh sosok muslimah yang luar biasa seusianya. Sebenarnya, kami ngobrol tentang masalah akademik atau perkuliahan, tapi entah mengapa tiba-tiba dia mensharingkan sesuatu yang dia peroleh dari pengajiannya di salah satu pesantren dekat kampus kami. Hal yang dia dapatkan dari pengajiannya itu intinya tak jauh beda dengan apa yang saya dapatkan dari Ekaristi beberapa minggu sebelumnya. Berbuat baik itu mudah, kok. Senyum paling mudah, dilanjutkan dengan sapa, tanyakan kabar, dan selanjutnya terserah kita. menghargai orang lain, tentu dengan berbagai cara yang tepat, itu pun contoh menabur kebaikan di sekitar kita. Tapi, kadang saya pun tergelitik dengan apa yang kebanyakan orang lakukan (termasuk saya sendiri kerap melakukannya). Lihatlah bagaimana cara kita menghargai orang, selanjutnya lihatlah siapa orang yang lebih cenderung kita hargai. Orang yang cenderung lebih kita hargai adalah orang yang memang banyak dihargai orang. Secara kasarnya, beliau-beliau yang kita hargai adalah atasan kita atau orang-orang yang memang berada di atas. Selalu banyak senyum yang terlempar kepada mereka dari begitu banyak orang, selalu banyak sapa yang mereka terima dari orang-orang yang mereka temui, dan selalu banyak kata-kata mereka yang kita dengarkan dengan penuh perhatian. Lalu, coba pandanglah orang yang berada di bawah kita. Seberapa seringkah kita melempur senyum kepada mereka? Seminggu sekali? Sebulan sekali? Seberapa banyak sapaan yang mereka terima dari kita? Lalu, rupanya kata-kata dan kesulitan mereka hanya menjadi angin lalu bagi kita. Kita sering begitu amat mengacuhkan mereka dan apa yang mereka perlukan. Padahal, rupanya mereka amat kelaparan akan sikap peka kita terhadap mereka. Tentu saja, itu bukanlah contoh taburan perbuatan baik yang dimaksud dalam Ekaristi dan pengajian di atas. Perbuatan baik kita, kepada setiap orang, baik itu atasan, sesama kita, ataupun bawahan kita adalah cerminan dari sejauh mana kita memaknai makna hidup yang Sang Hyang Widi berikan kepada kita. Hanya saja, saya tidak tahu, mengapa ketika seumpama kita mempunyai sepuluh piring nasi, kita lebih cenderung memberikan delapan piring nasi kepada orang yang sudah kenyang dan hanya dua piring nasi yang kita berikan kepada orang yang kelaparan? Atau bahkan kita tak memberi sepiring nasi pun kepada mereka yang kelaparan? Apakah nasi (di piring hati kita) itu yang memilih sendiri siapa yang boleh menyantap dirinya? Atau tangan budi kita yang terlalu jijik untuk

meletakkan nasi-nasi tersebut di hadapan mereka yang kecil dan kelaparan? Padahal, Sang Hyang Widi tak pernah membiarkan kita (yang hanya bagaikan sebuah titik di alam semesta ini) kelaparan sedetik pun.

You might also like