You are on page 1of 12

PENGARUH PEMBERIAN TEH HIJAU (Camellia assamica) DAN DEFEROKSAMIN TERHADAP KADAR VITAMIN C PADA TIKUS PUTIH YANG

MEMILIKI KADAR FERRITIN TINGGI Bangkit Pank Buminata1 ABSTRAK

Latar Belakang : Peningkatan kadar ferritin disebabkan oleh peningkatan zat besi bebas dalam tubuh, sedangkan penurunan kadar vitamin C disebabkan oleh peningkatan radikal bebas yang dihasilkan ferritin sehingga meningkatkan kebutuhan vitamin C. Deferoksamin merupakan obat untuk kelasi besi. Teh hijau (Camellia assamica) merupakan minuman yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Kandungan catechin dalam teh hijau memiliki fungsi sebagai khelator zat besi, antioksidan dan meregenerasi vitamin C. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian deferoksamin dan teh hijau (C.assamica) terhadap vitamin C pada tikus putih yang memiliki kadar ferritin tinggi. Metode : Penelitian eksperimental ini menggunakan metode pre and post test with control group design. Sampel 24 ekor tikus putih yang diinduksi FeSO 4 selama 30 hari dibagi kedalam 6 kelompok : 1 kelompok kontrol positif, 4 kelompok perlakuan yang diberi ekstrak teh hijau dosis 1,6 gram/kgBB, 2,4 gram/KgBB, 3,2 gram/KgBB dan 6,4 gram/KgBB, dan 1 kelompok deferoksamin selama 30 hari yang kemudian diukur kadar ferritin dan vitamin C. Analisis statistika digunakan uji ANOVA (Analysis of varians) dilanjutkan dengan Pos hoc Tukey HSD Hasil : Hasil analisis bivariat menunjukkan p 0,000. Kesimpulan : Hal ini menunjukkan pemberian ekstrak teh hijau (C.assamica) dan deferoksamin menurunkan kadar ferritin dan meningkatkan kadar vitamin C. __________________________________________________________________ Kata kunci : skor memori jangka pendek, epilepsi, kelompok normal

1.

Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman

THE EFFECT OF GIVING GREEN TEA (Camellia assamica) AND DEFEROXAMINE TOWARD VITAMIN C LEVELS IN WHITE RATS WHICH HAVE A HIGH FERRITIN LEVELS Bangkit Pank Buminata ABSTRACT

Background: Elevated levels of ferritin are caused by an increase of free iron in the body, while decreasing levels of vitamin C due to the increase in free radicals produced ferritin and increasing the need for vitamin C. Deferoxamine is a drug for iron chelation. Green tea (Camellia assamica) is a beverage consumed by many people. Catechins in green tea has a function as chelator iron, antioxidants and regenerate vitamin C. Objective: The aim of this study was to determine the effect of giving deferoxamine and green tea (C.assamica) toward vitamin C levels in white mice which have high ferritin levels. Method: This experimental study using pre and post test design with control group. Sample of 24 white rats induced FeSO4 for 30 days were divided into 6 groups: a positive control group, four treatment groups that were given green tea extract dose of 1.6 g / kg, 2.4 g / kg, 3.2 g / kg and 6.4 g / kg, and a group deferoxamine for 30 days and then measured levels of ferritin and vitamin C. Statistical analysis used ANOVA test (Analysis of variance) followed by Tukey HSD post hoc Result: The result showed that p-value was < 0,00. Conclusion: This result showed that green tea extract (C.assamica) and deferoxamine lower levels of ferritin and increase levels of vitamin C. _________________________________________________________________ _ Keywords: Short-term memory score, epilepsy, normal group

1.

School of medicine, Faculty of Medicine and Health Science, Jenderal Soedirman University

PENDAHULUAN Tubuh menyimpan besi secara primer bentuk ferritin. Ferritin adalah suatu kompleks besi yang disimpan dalam tubuh berupa protein larut air dengan berat molekul 465.000 dalton. Sebagian kecil ferritin disimpan dalam plasma. Besi disimpan dalam bentuk ferri sebelum direduksi menjadi ferro dengan bantuan vitamin C untuk dapat diedarkan ke seluruh tubuh. Semakin banyak penumpukan besi maka kadar ferritin dalam darah akan meningkat. Penimbunan dapat terjadi karena absorbsi berlebihan atau transfusi darah kronik karena setiap 500 ml darah transfusi mengandung 250 mg besi (Hoffbrand, 2005). Pada penderita thalasemia yang mendapat terapi transfusi maka kadar ferritin akan mengalami peningkatan. Kadar ferritin kurang dari 2500 g/L memiliki potensi hidup 91% pada pasien dengan penyakit jantung, sedangkan kadar lebih dari 2500 g/L hanya memiliki potensi hidup 20% setelah 15 tahun. Sehingga ferritin yang berlebih harus dikeluarkan dari tubuh (Mazzone, 2009). Kualitas hidup dapat meningkat ketika kadar ferritin dalam tubuh rendah. Salah satu antioksidan alami dalam tubuh adalah vitamin C atau asam askorbat. Beberapa mekanisme kerja asam askorbat yang diketahui adalah sebagai antioksidan umum dan terbukti adanya peningkatan bermakna penyerapan besi oleh vitamin C (Mayes, 2003). Teh hijau (Camellia assamica) dikenal mengandung polifenol yang banyak memiliki efek di dunia kesehatan. Senyawa polifenol utama dalam teh hijau adalah katekin, epigallocatechin gallate (EGCG) dan epicatechin gallate (EGC) yang berpengaruh dalam absorbsi besi. Katekin dapat berperan untuk khelasi besi (Pinyou, 2010). Alternatif bahan untuk mengeliminasi besi berlebih sangat dibutuhkan mengingat biaya yang cukup tinggi. Konsumsi teh hijau sebagai antioksidan perlu diketahui seberapa besar pengaruhnya terhadap kadar vitamin C dalam darah yang mampu mengubah besi menjadi bentuk yang mudah diserap tubuh, sebagai alternatif khelasi besi alami pada penderita thalassemia.

Menurut Rombos et al. (2000), saat ini obat yang efektif sebagai pengikat besi adalah deferoxamine atau desferal. Deferoksamin akan mengikat besi bebas tersebut terlebih dahulu untuk dikeluarkan dari dalam tubuh sehingga kadar besi yang terikat ferritin tidak akan mengalami peningkatan (Brent, 2005). METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan desain penelitian Completed Randomized Design (CRD). Penelitian dilakukan pada bulan oktober sampai desember 2011. Binatang yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, galur wistar. Umur tikus kurang lebih 2-3 bulan dengan berat badan 150-250 gram yang diperoleh dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada. Jumlah hewan coba (tikus putih) berdasarkan perhitungan rumus Federer yaitu (n-1) (t-1) 15 dengan n = besar sampel dan t = besar kelompok sampel. Penelitian ini dilakukan pada 6 kelompok perlakuan, sehingga dari perhitungan didapatkan jumlah sampel tiap kelompok perlakuan minimal terdiri dari 4 ekor. Total sampel dari penelitian ini adalah 24 ekor tikus putih. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah deferoksamin dengan dosis tetap dan teh hijau dengan dosis berbeda. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar ferritin dan kadar vitamin C serum tikus putih (Rattus norvegicus). Variabel-variabel penelitian diukur menggunakan analisis bivariat dan multivariat. Analisis data univariat digunakan untuk mengukur distribusi dan persentase satu variabel dalam satu waktu. Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antarvariabel yaitu variabel bebas dan terikat. uji parametrik ANOVA (Analysis of variance) untuk mengetahui perbedaan antar kelompok dan analisis Post Hoc Tukey HSD untuk mengetahui kelompok yang paling berpengaruh pada pelitian yang dilakukan.

HASIL Pemeriksaan kadar ferritin dan vitamin C plasma dilakukan sebelum perlakuan ekstrak teh hijau (Camellia assamica) dan deferoksamin sehingga didapat hasil data pre test. Perlakuan selanjutnya adalah pemberian teh hijau dengan 4 dosis yang berbeda yaitu 1,6 gram, 2,4 gram, 3,2 gram, dan 6,4 gram/kgBB dan deferoksamin 5 gram/kgBB. Pengukuran ferrtin dan vitamin C plasma post test dilakukan setelah 30 hari perlakuan. Data rerata, standar deviasi, dan uji normalitas data dengan Saphiro-Wilk dari hasil pengukuran kadar ferritin tiap kelompok terinci pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil pengukuran dan uji normalitas kadar ferritin Perlakuan Kontrol positif Dosis teh 1,6 gram Dosis teh 2,4 gram Dosis teh 3,2 gram Dosis teh 6,4 gram Deferoksamin 5 gram Pre test (ng/L) Mean SD 3,93 0,65 5,05 0,42 4,98 0,56 5,18 0,39 4,95 0,84 5,50 0,78 Post test (ng/L) Mean SD 6,78 0,63 2,28 0,41 1,20 0,15 1,34 0,43 1,24 0,07 1,56 0,74 Selisih (ng/L) Mean SD 2,85 1,10 2,78 0,51 3,78 0,70 3,84 0,76 3,71 0,90 3,93 0,75 Saphiro-Wilk (p) 0,085 0,594 0,801 0,200 0,554 0,138

Berdasarkan pengukuran kadar ferritin terdapat perbedaan rerata selisih kadar ferritin antarkelompok dari hasil perhitungan. Peningkatan kadar ferritin paling tinggi adalah kelompok perlakuan deferoksamin 5 gram/kgBB yaitu dengan nilai selisih 3,93. Hasil pengukuran post test lebih tinggi dari pada pre test pada kelompok kontrol, sedangkan pada kelompok perlakuan teh hijau (C.assamica) dan deferoksamin, kadar ferritin post test mengalami penurunan. Berdasarkan hasil uji normalitas Saphiro-Wilk diketahui data tiap kelompok terdistribusi normal dengan p>0,05 Tabel 4.2 Hasil pengukuran dan uji normalitas kadar vitamin C Pre test Post test Selisih Saphiro-Wilk Perlakuan (mg/100mL) (mg/100mL) (mg/100mL) (p) Mean SD Mean SD Mean SD Kontrol positif 0,30 0,03 0,28 0,05 -0,06 0,02 0,272 Dosis teh 1,6 gram 0,34 0,06 0,70 0,04 0,37 0,02 0,488 Dosis teh 2,4 gram 0,33 0,08 0,73 0,07 0,40 0,11 0,419

Dosis teh 3,2 gram Dosis teh 6,4 gram Deferoksamin 5 gram

0,29 0,06 0,38 0,05 0,46 0,08

0,70 0,08 0,70 0,05 0,66 0,47

0,41 0,07 0,32 0,07 0,20 0,06

0,094 0,514 0,056

Rerata selisih dan standar deviasi kadar vitamin C terdapat pada tabel 4.2. Peningkatan dosis teh hijau yang dilakukan pada hewan coba tidak diikuti dengan peningkatan nilai rerata kadar vitamin C. Hasil post test pada kelompok perlakuan terdapat perbedaan signifikan dengan kelompok kontrol positif. Hasil uji normalitas semua kelompok adalah p>0,05, sehingga diketahui bahwa sebaran data normal dengan uji Saphiro-Wilk. Data kadar ferritin dan vitamin C telah diketahui memiliki sebaran data normal, maka selanjutnya dilakukan analisis bivariat dengan uji parametrik ANOVA (Analysis of varian). Hasil uji ANOVA kadar ferritin adalah p=0,0001 dengan nilai F hitung 63,046, sedangkan kadar vitamin C adalah p=0,0001 dengan nilai F hitung 21,803. Nilai F tabel 2,74 (=5%) lebih kecil dari F hitung dan nilai ANOVA p<0,05 maka diketahui terdapat perbedaan signifikan rerata antar kelompok. Analisis dilanjutkan dengan uji Post hoc Tukey HSD untuk mengetahui perbedaan rerata pengaruh antar kelompok tersebut (Tabel 4.3). Tabel 4.3 Hasil uji beda kadar ferritin dan vitamin C antar kelompok Uji antar kelompok Kontrol positif Perlakuan 1 Kontrol positif Perlakuan 2 Kontrol positif Perlakuan 3 Kontrol positif Perlakuan 4 Kontrol positif Perlakuan 5 Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 1 Perlakuan 3 Perlakuan 1 Perlakuan 4 Perlakuan 1 Perlakuan 5 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 2 Perlakuan 4 Perlakuan 2 Perlakuan 5 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Perlakuan 3 Perlakuan 5 Perlakuan 4 Perlakuan 5 Ferritin (p) 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,262 0,207 0,327 0,229 1,000 1,000 0,999 1,000 1,000 0,997 Vitamin C (p) 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,978 0,915 0,896 0,390 1,000 0,514 0,010 0,362 0,006 0,321

Kelompok kontrol positif memiliki perbedaan bermakna kadar ferritin terhadap tiap kelompok perlakuan dengan p=0,001, sedangkan masing-masing kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan bermakna dengan nilai p>0,05 (Tabel 4.3). Dalam Tabel 4.3 terinci bahwa perbedaan rerata kadar vitamin C antara kontrol positif dengan semua kelompok perlakuan adalah signifikan (p<0,05). Hasil uji beda antar kelompok perlakuan adalah tidak signifikan dengan nilai p>0,05 namun ada yang signifikan yaitu perlakuan 2 terhadap perlakuan 5 dan perlakuan 3 terhadap perlakuan 5. Data uji post hoc tukey HSD dapat dirinci pada Tabel 4.4. Uji post hoc Tukey HSD digunakan untuk mengetahui kelompok yang paling berpengaruh dan perbedaan antar kelompok perlakuan. Tabel 4.4 Hasil uji post hoc tukey HSD dosis efektif teh hijau (C.assamica) terhadap penurunan rerata kadar ferritin Perlakuan Kontrol positif Teh dosis 1,6 gram Teh dosis 6,4 gram Teh dosis 2,4 gram Teh dosis 3,2 gram Deferoksamin 5 gram = 0.05 N 4 4 4 4 4 4 1 -3.1750 2 2.7750 3.7075 3.7725 3.8375 3.9375

Hasil uji post hoc Tukey HSD adalah kontrol positif memiliki perbedaan bermakna terhadap kelompok perlakuan (Tabel 4.4). Sedangkan pada masingmasing perlakuan tidak terdapat perbedaan bermakna. Kelompok perlakuan deferoksamin dengan dosis 5 gram/kgBB/hari menyebabkan penurunan kadar ferritin tertinggi. Tabel 4.5 Hasil uji post hoc tukey HSD dosis efektif teh hijau (C.assamica) terhadap rerata kadar vitamin C Perlakuan Kontrol positif Deferoksamin 5 gram Teh dosis 6,4 gram N 4 4 4 1 -0.0550 = 0.05 2 0.2025 0.3175 3

0.3175

= 0.05 Teh dosisPerlakuan 1,6 gram Teh dosis 2,4 gram Teh dosis 3,2 gram N 4 4 4 0.3650 0.3975 0.4100

Hasil uji post hoc Tukey HSD kadar vitamin C yang terinci dalam tabel 4.5 adalah kelompok kontrol positif memiliki perbedaan yang bermakna terhadap semua kelompok perlakuan dan antarkelompok perlakuan teh hijau tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Deferoksamin dosis 5 gram tidak memiliki perbedaan bermakna dengan teh hijau dosis 6,4 gram, namun deferoksamin dosis 5 gram memiliki perbedaan bermakna dengan teh hijau dosis 1,6 gram, 2,4 gram, dan 3,2 gram. Dosis pemberian teh hijau (C.assamica) yang mampu menyebabkan peningkatan kadar vitamin C tertinggi adalah 3,2 gram/kgBB/hari. PEMBAHASAN Ferritin dalam darah merupakan penanda cadangan besi dalam tubuh yang cukup sensitif. Kadar ferritin yang tinggi merupakan indikator proses perjalanan suatu penyakit (Yang, 2000). Peningkatan ferritin salah satunya disebabkan oleh terapi transfusi pada penderita thalassemia. Besi berlebih dalam tubuh harus dieliminasi dengan obat kelasi besi. Alternatif bahan untuk mengeliminasi besi berlebih sangat dibutuhkan karena biaya obat kelasi besi yang cukup tinggi (Health Technology Asessment Indonesian, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran konsumsi teh hijau (C.assamica) sebagai antioksidan dalam darah yang merupakan alternatif kelasi besi dan defekosamin sebagai obat kelasi besi. Penilaian kadar vitamin C sebagai antioksidan alami dalam tubuh juga perlu dilakukan untuk mengetahui hubungannya dengan kadar ferritin tubuh. Hasil penelitian pengaruh pemberian teh hijau (C.assamica) berbagai dosis dan deferoksamin terhadap kadar ferritin menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan rerata antarkelompok dengan nilai p=0,001 (p<0,05) dari uji ANOVA. Hal ini menjelaskan bahwa pemberian teh hijau (C.assamica) dan deferoksamin berpengaruh terhadap kadar ferritin dalam tubuh.

Katekin berperan sebagai antioksidan terhadap reactive oxygen species (ROS). Berdasarkan Schweigert (2001) diketahui bahwa terdapat mekanisme komplek ikatan antara katekin dengan Fe2+, sedangkan Ryan (2007) menguraikan mekanisme bahwa Fe3+ berikatan dengan gugus -OH katekin dan dapat direduksi menjadi Fe2+ . Hasil penelitian Pinyou (2010) adalah ekstrak teh hijau mengurangi kemampuan Fe3+ menjadi Fe2+. Kesimpulan dari beberapa penelitian tersebut adalah katekin dalam teh hijau (C.assamica) dapat berikatan dengan Fe3+ dan Fe2+, tetapi Fe3+ memiliki daya ikat dengan katekin yang lebih besar. Polifenol juga mengikat ion logam, sehingga mencegah ion tersebut berperan pada reaksi peroksidasi (Yang, 2000). Penderita thalassemia yang diterapi dengan transfusi darah rutin akan mengalami peningkatan kadar besi bebas dalam darah. Pada kondisi tersebut, kadar ferritin di dalam serum juga meningkat karena kadar ferritin di serum dengan di jaringan berada dalam kondisi yang seimbang (Ghader et al, 2007). Menurut Thenawijaya (2005), deposit ferritin banyak terdapat di hati, limpa, jantung serta sumsum tulang. Peningkatan kadar ferritin di jantung dapat menjadi indikator terjadinya gagal jantung kongestif. Deferoksamin akan bekerja mengikat besi bebas sebelum berikatan dengan ferritin sehingga kadar ferritin yang merupakan timbunan besi dalam tubuh akan tetap rendah. Analisis uji beda untuk melihat perbedaan rerata pengaruh antar kelompok tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna (p=0,001) antara kelompok kontrol positif terhadap tiap kelompok perlakuan pada kadar ferritin, sedangkan masing-masing kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan bermakna (p>0,05). Perbedaan kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian teh hijau (C.assamica) dan deferoksamin memberikan perubahan kadar ferritin, tetapi antar kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ferritin setelah perlakuan. Penelitian Gibson (1999) menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara konsumsi teh dengan status besi, hal ini didukung dengan data dari National Diet and Nutrition Survey (NDNS) of United Kingdom pada tahun 2000. Korelasi negatif menggambarkan penurunan kadar ferritin ketika tubuh mendapatkan konsumsi teh hijau (C.assamica) maupun deferoksamin.

Terdapat perbedaan bermakna kadar ferritin pada kontrol positif terhadap kelompok perlakuan dari hasil uji post hoc Tukey HSD dengan =0,05. Kelompok kontrol positif mengalami kenaikan kadar ferritin terus menerus karena induksi FeSO4 selama 60 hari. Pada masing-masing perlakuan tidak terdapat perbedaan kadar ferritin bermakna. Deferoksamin dapat menyebabkan penurunan kadar ferritin tertinggi dibandingkan kelompok perlakuan lain. Penurunan tertinggi kadar ferritin dapat dilihat dari kelompok pelakuan deferoksamin yang memiliki nilai paling besar dibandingkan kelompok perlakuan yang lain. Perbedaan yang tidak bermakna menunjukkan bahwa perbedaan pemberian dosis teh hijau (C.assamica) maupun pemberian deferoksamin dalam penelitian ini tidak berbeda pengaruhnya. Hasil uji ANOVA pada kadar vitamin C didapatkan nilai p=0,001. Nilai p<0,05 menunjukkan bahwa pemberian teh hijau (C.assamica) dan deferoksamin berpengaruh terhadap kadar vitamin C. Beberapa antioksidan penting dalam mekanisme untuk menghambat kerusakan oksidatif akibat radikal bebas adalah gluthathion peroksidase, vitamin C dan vitamin E (Hellen, 2000). Menurut Dawn (2000), sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi dengan superoksida dan anion hidroksil, serta berbagai hidrogen peroksida lemak. Mekanisme lain adalah sebagai antioksidan pemutus reaksi radikal berantai dan memungkinkan untuk melakukan regenerasi bentuk vitamin E tereduksi (Sulistyowati, 2006). Antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p<0,05. Perbedaan yang bermakna terjadi karena pengaruh pemberian teh hijau (C.assamica) dengan berbagai dosis pada keempat kelompok perlakuan dan pemberian deferoksamin. Vitamin C mempunyai kemampuan antioksidan karena mampu melepas elektron menjadi radikal askorbil, bereaksi dengan reactive oxygen species (ROS), terutama dengan radikal hidroksil (OH) dan anion superoksida (O2-), serta meregenerasi vitamin E menjadi bentuk aktif sehingga berperan menjadi antioksidan (Zarianis, 2006). Uji post hoc Tukey HSD dilakukan setelah diketahui uji beda antar kelompok. Tabel 4.5 menunjukkan bahwa kelompok positif memiliki perbedaan yang bermakna terhadap semua kelompok perlakuan, tetapi antar kelompok perlakuan memiliki perbedaan yang tidak bermakna. Kelompok perlakuan deferoksamin 5

gram memiliki perbedaan yang tidak bermakna terhadap kelompok perlakuan dengan teh hijau (C.assamica) 6,4 gram, sedangkan terhadap kelompok perlakuan teh hijau (C.assamica) 1,6 gram, 2,4 gram, dan 3,2 gram memiliki perbedaan bermakna. Pada semua kelompok perlakuan dengan menggunakan teh hijau (C.assamica) tidak memiliki perbedaan bermakna. Kelompok perlakuan dengan teh hijau (C.assamica) dosis 3,2 gram lebih mampu menyebabkan peningkatan vitamin C daripada dosis yang lain, karena interaksi dengan katekin pada teh hijau dapat maksimal terjadi pada dosis ini. Teh hijau membantu peran vitamin C sebagai antioksidan sehingga vitamin C cenderung minimal digunakan. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan mengenai pengaruh pemberian teh hijau (C.assamica) dan deferoksamin pada tikus putih yang memiliki kadar ferritin tinggi maka diketahui hasil bahwa teh hijau (C.assamica) dapat menjadi alternatif terapi dalam menurunkan kadar ferritin dan menaikkan kadar vitamin C dalam tubuh. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menggunakan dana dari Program Hibah Kompetisi Peningkatan Kualitas Pendidikan Dokter (PHK-PKPD) DIKTI untuk penelitian ini. Dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Jenderal Soedirman, pembimbing skripsi penulis yaitu dr. Joko Setyono, M.Sc dan Dra. Hernayanti, M.Si serta penelaah skripsi penulis yaitu DR. Saryono, S.Kp, M.Kes. DAFTAR PUSTAKA Brent, J. 2005. Deferoxamine. Critical Care Toxicology: Diagnosis and Management of the Critically Poisoned Patient. Elsevier Health Sciences. 1511-4. Dawn, B.M., Allan, D.M., Smith, C.M. 2000. Biokimia kedokteran dasar: sebuah pendekatan klinis. Jakarta: EGC. 321-523. Health Technology Asessment Indonesian. 2009. Syndrome Thalassemia dan Pencegahannya. Dirjen Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan. Hal 1-18.

Hellen, W. and Lynn, E. 2000. Oxidative Stress and Antioxidant, Influence On Health and Brain Ageing. Departement of Nutrition and Dietetics, Kings College London, UK. Hoffbrand A.V., Pettit J.E., Moss, P.A.H. 2005. Anemia Hipokrom dan Penimbunan Besi. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC Ed.IV 25-37. Gibson, S. 1999. Iron intake and iron status of preschool children:associations with breakfast cereals, vitamin C and meat. Public Health Nutr.2, 521528. Mazzone, L., Battaglia, L., Andreozzi, F. 2009. Emotional impact in Thalassaemia major children following cognitive-behavioural family therapy and quality of life of caregiving mothers. Clinical Practic and epidemiology in mental health. 5:5 Pinyou, P., Kradtap, S., Jakmunee, J. 2010. Flow Injection Determination of Iron Ions with Green Tea Extracts as a Natural Chromogenic Reagent. The Japan Society for Analytical Chemistry. 26:619-23 Rombos, Y., Tzanetea, R., Konstantopoulos, K., Simitzis, S., Zervas, C., Kyriaky, P, et al. 2000. Chelation therapy in patients with thalassemia using the orally activeiron chelator deferiprone (L1). Haematologica , 85, 115117. Ryan, P. and Hynes, M.J. 2007. Flow Injection Determination of Iron Ions with Green Tea Extracts as a Natural Chromogenic Reagent. The Japan Society for Analytical Chemistry. 26:619-2 Sulistyowati, Y. 2006. Pengaruh Pemberian Likopen terhadap Status Antioksidan (Vitamin C. Vitamin E dab Cluthation Peroksidase) hiperkolesterolemik. Semarang: Universitas Diponegoro. Thenawijaya, M. 2005. Gizi Manusia. Lehninger: Dasar-dasar Biokimia Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga. 113. Yang, C.S and Landau, J.M. 2000. Effects of tea consumption on nutrition and health. Journal of Nutrition; 130(10): 2409-12. Zarianis. 2006. Efek Suplementasi Besi-Vitamin C dan Vitamin C Terhadap Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar yang Anemia di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Universitas Diponegoro.

You might also like