You are on page 1of 22

BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.

1 Definisi Suatu penyakit yang disebabkan oleh panas, arus listrik atau bahan kimia yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan lebih dalam. 1.2 Epidemiologi Terdapat sekitar 1,2 juta orang menderita luka bakar setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 6000 orang dirawat di rumah sakit dan 5000 orang meninggal. Angka mortalitas akibat luka bakar menurun sejak tahun 1971 hingga 40%. 1 Hal ini terjadi karena kemajuan pengetahuan tentang resusitasi, perawatan luka, pengendalian infeksi, dan penatalaksanaan cedera inhalasi.2 1.3 Etiologi Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis penyebab, antara lain : 1. Luka bakar karena api 2. Luka bakar karena air panas 3. Luka bakar karena bahan kimia 4. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi 5. Luka bakar karena sengatan sinar matahari. 6. Luka bakar karena tungku panas/udara panas 7. Luka bakar karena ledakan bom. 1.4 Patofisiologi Pada luka bakar terjadi perubahan lokal berupa nekrosis koagulatif pada epidermis, dermis dan jaringan di bawahnya, dengan kedalaman tergantung pada temperatur bahan dan durasi pajanan.2 Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan bahan penyebab dan kedalaman luka. Bahan yang dapat menyebabkan luka bakar adalah api, sclad (cairan panas), kontak dengan bahan padat yang panas, bahan kimia, dan listrik. Sedangkan kedalaman luka dapat dibagi menjadi :

Derajat 1 Derajat 2 superfisial Derajat 2 dalam Derajat 3

: luka terbatas pada epidermis (eritema) : luka pada epidermis hingga dermis superfisial atau papila dermis (bullae). : luka pada epidermis hingga dermis dalam atau reticular dermis (bullae). : luka mencapai seluruh dermis dan jaringan subkutan di bawahnya. (warna kulit putih hingga coklat kehitaman, tanpa bullae).

Tabel 1. Penilaian derajat luka bakar4

Gambar 1. Penampang kedalaman luka bakar4 Pada luka yang melibatkan sebagian tebal lapisan kulit (derajat 1 dan 2) bisertai rasa nyeri, sedangkan derajat 3 biasanya rasa nyeri minimal atau tidak ada. 1 Berdasarkan gambaran histologis, pada luka bakar terdapat tiga zona yaitu zona koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia. Pada zona koagulasi terjadi nekrosis jaringan dan kerusakan yang ireversibel. Zona stasis berada di sekitar zona koagulasi,

dimana terjadi penurunan perfusi jaringan dengan kerusakan dan kebocoran vaskuler. Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable dan proses penyembuhan berawal dari zona ini.1,2,5

Gambar 2. Zona luka bakar Jackson dan efeknya terhadap resusitasi adekuat dan inadekuat5 Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu berlanjut dengan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi mikro. Berdasarkan konsep SIRS, paradigma penatalaksanaan luka bakar fase akut berubah, semula berorientasi pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.6 Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka bakar memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut anatara lain berupa:5 Gangguan Kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke interstitial. Terjadi vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan perifer. Kontraktilitas miokardium menurun, kemungkinan disebabkan adanya TNF.

Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi, dan pada luka bakar yang berat dapat timbul respiratory distress syndrome Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3 kali lipat. Hal ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic menyebabkan dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan katabolisme dan mempertahankan integritas saluran pencernaan. Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang mempengaruhi sistem imun humoral dan seluler. Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi dibagi menjadi:6 1. Fase akut 2. Fase subakut 3. Fase lanjut : deteriorasi airway, breathing, circulation; berlangsung selama 0-48 jam (72 jam) : SIRS dan MODS, berlangsung sampai 21 hari. : jaringan parut (hipertrofik, keloid, kontraktur),

berlangsung sampai 8-12 bulan. Masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan dengan gangguan jalan napas (cedera inhalasi), gengguan mekanisme bernapas dan gangguan sirkulasi. Ketiga hal tersebut menyebabkan gangguan perfusi jaringan yang dapat menyebabkan kematian.6 Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran napas akibat kontak dengan sumber termis, toxic fumes, dan zat toksik lainnya. Dugaan kuat mengenai adanya cedera inhalasi bila dijumpai riwayat luka bakar yang disebabkan api, terperangkap di ruang tertutup, luka bakar pada wajah dan leher, bulu hidung terbakar, sputum dan air liur mengandung karbon. 2 Kerusakan mukosa dapat pula disebabkan oleh minyak panas, air panas, bahan kimia yang mengenai muka, leher, dada bagian atas. Pada cedera inhalasi terjadi edema mukosa dari orofaring dan laring hingga membran alveoli. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi yang ditandai dengan stridor, suara serak, sulit bernapas, gelisah. Bronkospasme dapat terjadi bila reaksi inflamasi melibatkan otot polos bronkus.6

Tabel 2. Tanda dan Gejala cedera inhalasi7 Gangguan mekanisme bernapas pada luka bakar dapat terjadi pada pasien dengan eskar melingkar di dada yang menyebabkan gangguan proses ekspansi rongga toraks sehingga compliance paru berkurang.2,6 Gangguan sirkulasi pada luka bakar terjadi melalui mekanisme perubahan integritas membran mikrovaskuler, perubahan hukum Starling, gangguan perfusi (syok seluler), dan evaporative heat loss. Setelah cedera termis, terjadi pelepasan histamin diikuti pelepasan histmain dan aktivasi komplemen yang menyebabkan perlekatan leukosit PMN dengan endotel. Endotel inflamatif akan melepaskan radikal bebas yang diikuti oleh peroksidasi lipid yang mengaktivasi asam arakidonat. Hal ini menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin (IL 1, IL6, TNFa). Proses inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi endotel dan peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler ini mengakibatkan perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang interstisium.6 Gangguan perfusi merupakan penyebab hipoksemia. Kerusakan organ yang terjadi sangat tergantung pada waktu karena tiap organ memiliki batas toleransi tertentu untuk kondisi hipoksia. Sel-sel glia memiliki waktu 4 menit, sel-sel tubulus ginjal memiliki waktu iskemik 8 jam, sel otot polos 4 jam, otot lurik 8-10 jam.6 1.5 Sistem skoring Perhitungan luas luka bakar diperlukan untuk petunjuk pemberian volume cairan resusitasi. Untuk dewasa, metode Wallace rule of nines merupakan metode yang sederhana dan akurat untuk menentukan luas luka bakar. Pada anak-anak, Lund and Browder chart lebih akurat karena metode ini menghitung proporsi tubuh yang berbeda pada bayi dan anak.1,2

Rule of nine

Lund and Browder

Gambar 3. Kriteria rule of nine dan Lund and Browder1,2

1.6 Tatalaksana 1.6.1 Prehospital Hal pertama yang harus dilakukan jika menemuikan pasien luka bakar di tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan keselamatan diri sendiri. Kemudian lepaskan semua bahan yang dapat menahan panas (pakaian, perhiasan, logam), hal ini untuk mencegah luka yang semakin dalam karena tubuh masih terpajan dengan sumber. Bahan yang meleleh dan menempel pada kulit tidak boleh dilepaskan.2,8 Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15 menit sejak kejadian, namun air dingin tidak boleh diberikan untuk mencegah terjadinya hipotermia dan vasokonstriksi.2,9 1.6.2 Resusitasi jalan napas Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang adekuat. Pada luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. 3,9 Sebelum dilakukan intubasi, oksigen 100% diberikan menggunakan face mask.2 Intubasi bertujuan untuk mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas pemeliharaan jalan napas (penghisapan sekret) dan bronchoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih menjadi diperdebatkan karena dianggap terlalu agresif dan morbiditasnya lebih besar dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus yang diperkirakan akan lama menggunakan endotracheal tube (ETT) yaitu lebih dari 2 minggu pada luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi. 6 Kemudian dilakukan pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui pipa endotrakeal. Terapi inhalasi mengupayakan suasana udara yang lebih baik di saluran napas dengan cara uap air menurunkan suhu yang menigkat pada proses inflamasi dan mencairkan sekret yang kental sehingga lebih mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi dengan Ringer Laktat hasilnya lebih baik dibandingkan NaCl 0,9%.6 Dapat juga diberikan bronkodilator bila terjadi
7

bronkokonstriksi seperti pada cedera inhalasi yang disebabkan oleh bahan kimiawi dan listrik.10 Pada cedera inhalasi perlu dilakukan pemantauan gejala dan tanda distres pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak, gelisah, takipnea, pernapasan dangkal, bekerjanya otot-otot bantu pernapasan, dan stridor. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial dan foto toraks.10 1.6.3 Resusitasi cairan Syok pada luka bakar umum terjadi dan merupakan faktor utama berkembangnya SIRS dan MODS.6 Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah: Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival seluruh sel Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.6 1.6.3.1 Jenis cairan Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid (isotonik), cairan hipertonik dan koloid. Larutan kristaloid Larutan kristaloid terdiri dari cairan dan elektrolit. Contoh larutan kristaloid adalah Ringer laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya dalam plasma atau memiliki osmolalitas hampir sama dengan plasma. Pada keadaan normal, cairan ini tidak banya dipertahankan di ruang intravaskuler karena cairan ini banyak keluar ke ruang interstisial. Pemberian 1L Ringer laktat akan meingkatkan volume intravaskuler 300 ml.3 Larutan hipertonik Larutan hipertonik dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid.Larutan garam hipertonik tersedia dalam beberapa konsentrasi yaitu NaCl 1,8%, 3%, 5%, 7,5% dan

10%. Osmolalitas cairan ini melebihi cairan intraseluler sehingga akan cairan akan berpindah dari intraseluler ke ekstravaskuler. Larutan garam hipertonik meningkatkan volume intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler.6

Larutan koloid Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES, Hetastarch, Hespan, Hemacell) dan Dextran. Molekul koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi membran kapiler, oleh karena itu sebagian besar akan tetap dipertahankan di ruang intravaskuler. Pada luka bakar dan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga molekul akan berpindah ke ruang interstisium. Hal ini akan memperburuk edema interstisium yang ada. HES merupakan suatu bentuk hydroxy-substituted amilopectin sintetik, HES berbentuk larutan 6% dan 10% dalam larutan fisiologik. T1/2 dalam plasma selama 5 hari, tidak bersifat toksik, memiliki efek samping koagulopati namun umumnya tidak menyebabkan masalah klinis.6 HES dapat memperbaiki permeabilitas kapiler dengan cara menutup celah interseluler pada lapisan endotel sehingga menghentikan kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian terakhir mengemukakan bahwa HES memiliki efek antiinflamasi dengan menurunkan lipid protein complex yang dihasilkan oleh endotel, hal ini diikuti oleh perbaikan permeabilitas kapiler. Efek antiinflamasi ini diharapkan dapat mencegah terjadiinya SIRS.6 1.6.3.2 Dasar pemilihan cairan Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah efek hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas kapiler, oxygen carrier, pH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi, praktis dan efisiensi.6,8 Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi klinis masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian orang berpendapat kristaloid adalah cairan yang paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis tertentu. Sebagian berpendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga sulit untuk mengambil keputusan untuk diterapkan secara umum sebagai protokol.6

Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompartemen interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.6

1.6.3.3 Penentuan jumlah cairan Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1L cairan kristaloid akan meningkatkan volume intravaskuler 300ml. Kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac outout dan memperbaiki transpor oksigen.6 Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat, menggunakan beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau kasus luka bakar >25-30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam <4 jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak 3[25%(70%x BBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan tubuh, sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat menimbulkan gejala klinik sindrom syok.3 Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas <25-30%, tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan dihitung berdasarkan rumus Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB.3 Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid. Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak terlalu luas dan tanpa keterlambatan.2,3,4 Pemberian cairan menurut formula Parkland adalah sebagai berikut: Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak, dan orang tua, kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4ml ditambah 1% dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan cairan ditambah 1% dari kebutuhan.

10

Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis 3 mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5%, jumlah teteasan dibagi rata dalam 24 jam.

Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral (minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah produksi urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5-1ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2 ml/kgBB/jam). Jika produksi urin <0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam maka jumlah cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.

Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan sedimen) Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas cairan lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml tidak ada gangguan pasase lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400ml gangguan berat.10

Penatalaksanaan 24 jam kedua Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam 24 jam. Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau 10% 1500-2000ml. Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat edema interstisial. Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah produksi urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah mencukupi namun produksi urin <1-2ml/kgBB/jam, berikan vasoaktif sampai 5mg/kgBB. Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.10 Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4ml/kgBB/jam), hemoglobin dan hematokrit.10 1.6.4 Perawatan luka Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas, mekanisme bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi debridement, nekrotomi dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka adalah mencegah degradasi luka dan mengupayakan proses epitelisasi.10 Untuk bullae ukuran kecil tindakannya Penatalaksanaan setelah 48 jam

11

konservatif sedangkan untuk ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapis epidermis di atasnya. Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau perfusi dilakukan eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan pasien dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan kasa lembab steril dengan atau tanpa krim pelembab. Perawatan luka tertutup dengan oclusive dressing untuk mencegah penguapan berlebihan. Penggunaan tulle berfungsi sebagai penutup luka yang memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka.10 2.4.5 Penggunaan antibiotik Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai profilaksis infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis masih merupakan suatu kontroversi.4 Dalam 3-5 hari pertama populasi kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif non-patogen. Sedangkan hari 5-10 adalah bakteri Gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine 10%, gentamicin sulfate, mupirocin, dan bacitracin/polymixin.2,10

Tabel 3. Agen penybab infeksi pada luka bakar.7 2.4.6 Tatalaksana nutrisi Pemberian nutrisi enteral dini melalui pipa nasogastrik dalam 24 jam pertama pascacedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukos usus. Pemberian

12

nutrisi enteral dilakukan dengan aman bila Gastric residual volume (GRV) <150ml/jam, yang menandakan pasase saluran cerna baik.6 Penentuan kebutuhan energi basal (Harris-Benedict): Laki-laki Perempuan Keterangan: AF: aktivitas fisik (peningkatan persentase terhadap keluaran energi, tirah baring/duduk 20%, aktivitas ringan 30%, sedang 40-50%, berat 75%) FS: faktor stress besarnya sesuai dengan luas luka bakar Penentuan kebutuhan nutrien: Protein : 1,5-2,15 g/kgBB/hari Lemak : 6-8 g/kgBB/hari Karbohidrat: 7-8 g/kgBB/hari.10 Tabel 4. Penghitungan kalori dengan rumus Harris Benedict10 Namun ada metode penghitungan kebutuhan kalori yang lebih mudah dengan menggunakan quick methode yaitu 25-30 kkal / kgBB/ hari. Metode ini lebih mudah dan praktis serta menghindari jumlah kalori yang berlebihan jika menggunakan rumus Harris -Benedict. Metode lainnya dalah modifikasi rumus Harris-Benedict yang dilakukan oleh Long:a Men BMR = (66.47 13.75 weight 5.0 height = 6.76 age) x (activity factor) x (injury factor) Women BMR = (655.10 9.56 weight + 1.85 height = 4.68 age) x (activity factor) x (injury factor) Activity factor Confined to bed: 1.2 Out of bed: 1.3 Injury factor : 66,5 + 13,7 BB + 5TB 6,8 U : 65,5 + 9,6 BB + 1,8 TB 4,7 U

Kebutuhan energi total = KEB x AF x FS

13

Minor operation: 1.20 Skeletal trauma: 1.35 Major sepsis: 1.60 Severe thermal burn: 1.5 Tabel 5. Modifikasi Long terhadap Harris-Benedict3 1.6.7 Eksisi dan grafting Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami penyembuhan spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang sudah mati ini akan menjadi fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan grafting saat ini dilakukan oleh sebagian besar ahli bedah karena memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement serial.2 Setelah dilakukan eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit pasien sendiri. Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan dalam satu kali operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness yang diambil dari bagian tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah melakukan eksisi pada minggu pertama, biasanya dalam satu kali operasi dapat dilakukan eksisi seluas 20%. Eksisi tidak boleh melebihi kemampuan untuk menutup luka baik dengan autograft, biologic dressing atau allograft.2 1.6.8 Komplikasi Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan grafting.1 Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan MODS. Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa , motilitas usus menurun dan ileus. Pada ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal yang menurun. Skin graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan parut berupa jaringan parut hipertrofik, keloid dan kontraktur.1,2

14

BAB 2 LAPORAN KASUS


A. Identitas Nama Jenis kelamin Usia Alamat Agama Pekerjaan Tanggal masuk RS No. Rekam Medis B. Anamnesis Keluhan Utama : Luka bakar pada wajah, leher kiri, tungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan dan kiri sejak 3 jam SMRS. Riwayat penyakit sekarang : Pasien terkena rebusan yang berisi air dan minyak yang mengenai muka dan kaki tangannya 3 jam SMRS. Pasien mengeluh kesakitan dan dibawa ke RSUD Ambarawa. Riwayat penyakit dahulu: Penyakit jantung, paru, diabetes mellitus, asma, dan alergi disangkal. Riwayat penyakit keluarga: Penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, asma, dan alergi disangkal. Riwayat pemberian obat: Belum diobati luka bakarnya Riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan, gaya hidup : Tn. MA : Laki-laki : 41 tahun : Banyubiru : Islam : swasta : 2 Juli 2013 : 038923-2013

15

Bekerja swasta C. Pemeriksaan Fisik Primary survey Airway Breathing Circulation : bebas : spontan, 19x/ menit : tekanan darah 140/100 mmHg, N = 88x/menit, teratur,

kedalaman cukup, akral hangat Secondary survey Kepala Wajah Rambut Mata THT Paru Jantung Abdomen Ekstremitas Status Lokalis Kepala Muka Leher Trunkus anterior Trunkus posterior Ekstremitas atas dextra Ekstremitas bawah dextra Ekstremitas bawah sinistra Bokong :0% :0% : 4,5 % grade II superfisial :0% :0% : 4,5 % grade II superfisial : 4,5 % grade II dalam : 4,5 % grade II dalam : 2% grade II superfisial : bentuk normocephal : luka bakar di wajah dan leher bagian kiri : warna hitam dan sudah ada uban, distribusi merata dan tidak mudah dicabut : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), dan pupil isokor 4mm/4mm : kelainan (-), edema (-) : simetris, fremitus ka=ki, vesikuler +/+, rhonki (-/-), wheezing (- /-) : BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-) : Datar, lemas, NT (-), BU (+) normal : akral hangat, edema (-)

16

D. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah rutin dan kimia klinik E. Diagnosis Combustio grade II-III dengan luas 24,5% F. Terapi IVFD RL 2450 ml dalam 8 jam pertama dengan jumlah tetesan 75 tetes permenit dilanjutkan dengan 38 tetes permenit untuk 16 jam berikutnya Ceftriaxon 2 x 1 gr Ketorolac 3 x 30 mg Ranitidin 2 x 1 gr Konsul ke bagian gizi

17

BAB III PEMBAHASAN Pasien laki-laki berusia 41 tahun dengan combustio derajat dua-tiga dengan luas 24,5%. Penentuan derajat luka bakar pada pasien ini didasarkan berdasarkan kedalaman luka bakar dan luas luka bakar. Kedalaman luka bakar pada pasien diperkirakan berada pada derajat 2 superfisial, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan bahwa luka bakar tersebut bewarna kemerahan dengan dasar dermis, serta nyeri. Hal ini sesuai dengan kedalaman luka bakar derajat 2A, di mana luka bakar hanya meliputi epidermis dan sebagian dermis. Sehingga pembuluh darah dan serabut saraf yang berada di dalam lapisan dermis yang lebih dalam dapat terselamatkan. Pembuluh darah ini akan memberikan warna kemerahan pada kulit (luka), kontras halnya dengan derajat 2B atau 3 yang umumnya lebih pucat. Sensasi nyeri pada pasien juga mengindikasikan bahwa kedalaman luka bakar ini belum mencapai lapisan dermis bagian dalam. Penentuan luas luka bakar pada pasien didasarkan pada kriteria Lund dan Browder sehingga diperoleh luas luka bakar 24,5%. Pasien memiliki indikasi rawat seperti luka bakar di daerah tangan dan kaki, dan luka bakar sirkumferensial di ekstrimitas. Penyulit lain pada fase akut pasien juga telah diidentifikasi dan disingkirkan. Salah satunya adalah tidak adanya trauma inhalasi pada pasien meskipun terdapat luka bakar pada daerah wajah pasien. hal ini diketahui dari klinis pasien di mana tidak terdapat sesak napas, suara serak, dan jelaga pada lubang hidung. Riwayat terbakar pada ruang tertutup pun disangkal oleh pasien. Selama perawatan, dilakukan monitoring keadaan umum pasien. hal ini dikarenakan banyaknya penyulit yang seringkali timbul pada kasus luka bakar. Komplikasi yang sering terjadi antara lain adalah gangguan compliance dinding dada akibat adanya esker (pada pasien tidak ditemukan adanya luka bakar sirkumferensial di daerah dada), sepsis, gangguan sirkulasi yang berdampak pada ARF dan hipoperfusi splanknik, dan gangguan nutrisi, stress ulcer dan lainnya. Monitoring sirkulasi diberikan pada pasien ini dengan IVFD RL 20 tetes per menit dan kebutuhan cairan 2450 ml/ 8 jam pertama. Jumlah ini sudah sesuai dengan rumus Parkland /Baxter. Rumus ini menggunakan prinsip pemberian cairan 4
18

mL/kgBB/ persen luas luka bakar. Untuk memastikan bahwa sirkulasi secara umum adalah cukup perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratorium seperti fungsi ginjal mengingat ginjal merupakan organ yang sangat sensitif terhadap deplesi volume akibat syok. Selama perawatan, pasien diberikan antibiotik profilaksis terhadap sepsis berupa ceftriaxon 2 x 1 gr. Hal ini sendiri merupakan suatu perdebatan, di mana banyak sumber masih mempertanyakan apakah pemberian antibiotik memiliki suatu tempat dalam penatalaksanaan luka bakar awal. Namun mengingat sepsis merupakan salah satu penyebab kematian terbesar selain trauma inhalasi pada pasien luka bakar, maka pemberian antibiotic ini diberikan pada pasien. Selain monitoring sirkulasi dan sepsis, pasien juga dipantau terus mengenai fungsi organ secara umum lainnya. seperti ginjal (ARF), lambung (stress ulcer) dan sistem GI (hipoperfusi splanknik). Selama fase akut dan subakut ini juga dilakukan perawatan luka dengan membersihkan luka secara steril dan dilanjutkan dengan pemberian salep silver sulfadiazine yang juga berfungsi sebagai antiseptic dan antibiotic topikal guna mencegah infeksi. Perawatan luka juga mencakup eksisi kulit yang sudah mati untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Setelah luka mulai mengalami epitelisasi, maka pasien telah masuk ke dalam fase kronik yang tidak kalah pentingnya. Fungsi pasien dalam kehidupan sehari-hari erat kaitannya dengan fase ini, mengingat tingginya angka kontraktur dan parut hipertrofis pasca penyembuhan luka bakar. Sehingga direncanakan pada pasien dilakukan fisioterapi untuk mencegah hal tersebut dan mengurangi morbiditas pasien.

19

DAFTAR PUSTAKA 1. Burns J, Phillips L. Burns. In: McCarthy J, Galiano R, Boutros S,editors. Current Therapy in Plastic Surgery. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006. p. 71-6. 2. Wolf S, Herndon D. Burns. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL,editors. Sabiston Textbook of Surgery. Philadelphia: Saunders; 2004. p. 569-92. 3. Heimbach DM. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TL, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. Schwartzs principles of surgery, 8th ed. McGraw-Hill; 2007. 4. Hettiaratchy S, Papini R. ABC of burns; initial management of major burn: IIassesment and resuscitation. BMJ 2004;329:101-3. 5. Hettiaratchy S, Dziewulski P. Pathophysiology and types of burns. BMJ 2004;328:14279. 6. Moenadjat Y. Resusitasi: dasar-dasar manajemen luka bakar fase akut. Jakarta: Komite medik asosiasi luka bakar Indonesia; 2005. hal.5-20, 54-60. 7. Ansermino M, Hemsley C. ABC of burns; intensive care management and control of infection. BMJ 2004;329:2203. 8. Managing the ABCs in the burn patient. Diunduh dari www.burnsurgery.org diakses pada tanggal 17 Mei 2010. 9. Hettiaratchy S, Papini R. ABC of burns; initial management of major burn: Ioverview. BMJ 2004;328:15557. 10. Moenadjat Y. Petunjuk praktis penatalaksanaan luka bakar. Jakarta: Komite medik asosiasi luka bakar Indonesia; 2005. hal.4-20; 30-41. 11. Barret JP. ABC of burns; burns reconstruction. BMJ 2004;329:2746. 12. Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 1995. Jakarta: Binarupa Aksara. 13. Moenadjat Y. Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. 2003. edisi ke-2 (dengan perbaikan). Jakarta: Balai Penerbit FKUI 14. Peacock E E, Cohen I K.Plastic Surgery Vol I. USA: WB Saunders Company. 15. Chin GA, Mast BA. Hypertrophic Scars and Keloids. In: McCarthy JG, Galiano RD, Boutros SG. Current Therapy in Plastic Surgery. 2006. 1st edition. USA: WB Saunders.
20

16. Spector JA, Levine JP. Cutaneous Defects: Flaps, Grafts, and Expension. In: McCarthy JG, Galiano RD, Boutros SG. Current Therapy in Plastic Surgery. 2006. 1st edition. USA: WB Saunders. 17. Fraiberg A, Khan B, Tse R, McKay D. Plastic surgery. MCCQE 2000 review notes and lecture series.
18. Minas

Chrysopoulo.

2008.

Flaps,

Classification.

In

URL:

http://emedicine.medscape.com/article/1284474-overview

21

You might also like