You are on page 1of 15

Peran dan Kedudukan

(Dewan) Wali Sanga1

Cin Pratipa Hapsarin

Peran Dewan Sembilan dalam menegakkan kerajaan Islam pertama di Jawa sangatlah
besar. Banyak berita simpang siur mengenai keberadaan mereka, asal mula mereka,
wilayah kerja, ‘keajaiban-keajaiban’ yang mereka ciptakan bahkan termasuk benar ada
atau tidaknya mereka.2

Wali Sanga adalah kelompok syiar – dakwah Islam (Mubaligh) yang kerap juga disebut
dengan Walilullah atau ‘wakil Allah’. Menurut Saksono (1996: 17-19), awalnya kata ini
berasal dari bahasa Arab, wala atau waliya yang berarti qaraba, dekat, yang dapat
dipadankan dengan kerabat, pelindung, teman dan lainnya. Mengenai kata songo, Moh.
Adnan berpendapat jika sebenarnya kata itu telah mengalami penyimpangan pelafalan.
Menurutnya, songo berasal dari kata sana, atau dalam bahasa Arab, tsana yang berarti mulia
(sepadan dengan mahmud – terpuji). Pendapat lain datang dari R. Tanojo, menurutnya kata
itu dapat diartikan sebagai sana, yang dalam Jawa Kuno berarti menunjuk nama tempat atau
daerah. Namun, umum tetap berpendapat bahwasanya songo berarti sembilan. Kata itu,
pertama dianggap mengacu pada sistem koordinasi atau pembagian kerja yang ada pada
Lembaga Dakwah Dewan Wali. Yang kedua dianggap ‘memang harus berjumlah sembilan’
karena berasal dari anggapan pencerapan esensi sembilan sebagai nilai-angka tertinggi.

Di Jawa, mereka yang duduk dalam Dewan Wali tidak hanya berkuasa dalam bidang agama,
tapi juga dalam pemerintahan dan politik. Jumlah Wali sendiri tidaklah seperti yang
selamanya ini diyakini orang, yakni sembilan, melainkan selalu berubah dari waktu ke
waktu. Namun demikian kepercayaan masyarakat Jawa mengenai hal ini sulitlah diubah,
bagi mereka Wali Sanga tetaplah Sembilan Wali yang terdiri dari Maulana Malik Ibrahim,

1
Bagian ini dikutip dari berbagai sumber, diantaranya Simon, Hasanu. 2004. Misteri Syekh Siti Jenar:
Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Saksono, Widji.
1996. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan;
http://www.seasite.niu.edu/Indonesian;
http://www.javapalace.org/sejarah_singkat_karaton-karaton_lama_jawa/
2
Lih. Sjamsudduha, 2006, Wali Sanga Tidak Pernah Ada: Menyingkap Misteri Para Wali dan Perang
Demak - Majapahit, Telaah Naskah Pegon Badu Wanar dan Drajat. Surabaya: JP Books.
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati.3

“Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana
Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti
juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan
Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan
Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati
adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
meninggal” (http://www.seasite.niu.edu/Indonesian).

Kebanyakan dari mereka tinggal di pantai utara Jawa, khususnya di sepanjang wilayah
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta
Cirebon di Jawa Barat.

Profil Para Wali

Maulana Malik Ibrahim / Syekh Magribi


Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy (dalam lidah Jawa sering
disebut dan dikenal sebagai Asmarakandi, Syekh Magribi ataupun Kakek Bantal).
Diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah dan wafat 1419. Makamnya kini terdapat di
kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

v Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq (sering disebut juga Syekh Wali Lanang
– ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah Sunan Giri atau Raden Paku)
adalah anak seorang ulama Persia – Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di
Samarkand. 4 Ia diyakini adalah keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu
Kanjeng Nabi.

3
Namun demikian tidak semua versi mengatakan hal yang sama. Misalkan saja pada Serat Centini
bagian 2, edisi Bahasa Indonesia (1992: 160-161), dijelaskan jika Wali hanya berjumlah delapan.
Mereka yang disebut Wali Wolu Tanah Jawa ini adalah Sunan Ampel Gading, Sunan Gunung Jati,
Sunan Ngundung, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Sunan Kalijaga. Adapun lainnya
disebut Wali Nujebba atau susulan. Satu nama yang disebut dan diberi tempat khusus adalah Sultan
Agung. Ia disebut sebagai Wali Nurbuat, ‘Cahaya Kenabian’, yang menjadi wali penutup atau yang
terakhir.
4
Samarakand adalah daerah Sunni yang menganut paham sunnah mutasyaddidah (ekstrem) karena
pada rentang waktu tertentu ia menjadi daerah bawahan dawlah Sunniyin, terutama semenjak masa
Abbasiyah, Seljuq, Sassan hingga Gaznawiyah. Oleh karena itu boleh jadi paham keilmuwan Maulana
Jumadil Kubro, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung mengikuti
mahzab yang sama.
v Sempat bermukim di Campa (sekarang Kamboja) selama tiga belas tahun (sejak
tahun 1379) dan menikahi putri raja. Dua putranya adalah Raden Rahmat (Sunan
Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Tahun 1392 M Maulana Malik
Ibrahim dipercaya hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
v Sesampai di Jawa ia sempat berdagang dengan harga sangat murah dan menjadi
tabib yang sohor. Ia juga mengajarkan cara baru bercocok tanam pada masyarakat
kasta bawah Hindu dan membangun-menata pondokan tempat belajar agama di
Leran.
v Ia adalah guru bagi putra dan kemenakannya: Sunan Ampel, Sunan Gresik dan
Sunan Majagung.

Sunan Ampel Denta / Raden Rahmat


Putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus,
di masa kecil dikenal dengan nama Raden Rahmat. Lahir di Campa pada 1401 Masehi
(walaupun hal ini sulit dipahami karena ayahnya, Maulana Malik Ibrahim dikatakan
meninggalkan Campa tahun 1392. Dua kemungkinan adalah, Malik Ibrahim sempat kembali
ke Campa atau kemungkinan kecil lainnya adalah Sang Puteri Campa yang menyusul sang
suami ke Jawa). Diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di
sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

v Menurut beberapa versi Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M
bersama Sayid Ali Murtadho, saudaranya. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka
singgah dulu di Palembang selama tiga tahun. Setelah itu mereka bermaksud
menemui bibi mereka, Puteri Darawati, isteri Brawijaya – Raja Majapahit dan
kemudian berlabuh di Gresik. Raden Rahmat menikah dengan putri adipati Tuban.
Penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
v Bermukim di Ampel Denta (yang kini menjadi bagian dari Surabaya – Wonokromo
sekarang) dan membanggun pesantren di atas tanah rawa yang dihadiahkan Raja
Majapahit. Pada pertengahan Abad 15 pesantren itu menjadi sentra pendidikan
berpengaruh di Nusantara maupun manca.
v Turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa dan menunjuk Raden
Patah sebagai Sultan Demak I tahun 1475 M.
v Penganut fikih mahzab Hanafi, yang ditekankan pada penanaman akidah – ibadah
dan mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh
madat, moh madon).
v Sunan Giri, Bonang, Drajat, Ngundung dan Raden Patah adalah sekian diantara
santrinya.
Sunan Bonang / Raden Makdum Ibrahim
Ia anak Sunan Ampel (cucu Maulana Malik Ibrahim) dari Nyi Ageng Manila, puteri seorang
adipati di Tuban. Diperkirakan lahir 1465 M dan meninggal pada tahun 1525, Jenazahnya
dimakamkan di Tuban.

v Lepas dari Pesantren Ampel Denta, Sunan Bonang (bersama Sunan Giri) sempat
meneruskan studi ke Pasai dan Malaka. Di sana mereka berguru kepada Maulana
Ishaq untuk memperdalam ilmu tassawuf. Disamping itu keduanya mempelajari fiqh,
terutama mengenai al-ahkam al-shulthaniyah dan tauhid yang bersandar pada kitab
Jawhar mu’min (pengetahuan mengenai Hakikat Tuhan, Sejatinya Muhammad dan
nukad gaib). Selepas itu keduanya berencana meneruskan perjalanan ke Makkah.
Tetapi mengikuti saran Maulana Ishaq akhirnya mereka memilih kembali ke Jawa
dan berdakwah ke berbagai pelosok penjuru Jawa.
v Sunan Bonang sendiri awalnya menuju Kediri dan di sana ia sempat mendirikan
Masjid Sangkal Daha. Ia juga sering mengunjungi daerah terpencil di Tuban, Pati,
Madura maupun Pulau Bawean, lalu menetap di Bonang – desa kecil di Lasem, Jawa
Tengah. Di sana ia membangun tempat pesujudan / zawiyah sekaligus pesantren
yang dikenal dengan nama Watu Layar.
v Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis
salaf ortodoks (dan ini berbeda dengan gaya Sunan Giri yang lugas dalam fikih). Ia
menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur.
v Inti ajaran: filsafat ‘cinta’(‘isyq): Cinta sama dengan Iman, Pengetahuan Intuitif
(Makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin (tidak berbeda
dengan kecenderungan Jalalludin Rumi).
v Melahirkan karya sastra. Salah satunya dikenal dan dipercaya sebagai karyanya
adalah Het Book van Mbonang (saat ini disimpan di Leiden). Selain itu adalah
“Suluk Wijil” yang mungkin dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr
(RIP 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut
(mirip pendekatan yang digunakan Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi maupun
Hamzah Fansuri).
v Menggubah gamelan Jawa menjadi seperti sekarang dan menambahkan instrumen
bonang. Gubahannya memiliki nuansa dzikir. “Tombo Ati” adalah salah satu contoh
tembang karyanya yang dikenal hingga hari ini.
v Masyarakat mempercayai Sunan Bonang adalah seorang piawai yang dapat mencari
sumber air di tempat gersang.
v Ia merupakan Imam resmi pertama Kasultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi
panglima tertinggi.
v Walau demikian dalam Darmo Gandhul ia justru digambarkan sebagai orang ‘kasar’
yang tidak dapat menghormati peninggalan leluhur kecuali hanya kepada mereka
yang telah insyaf dan berada di jalan Rasul.

Sunan Drajat / Raden Qosim


Anak Sunan Ampel (dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang). Bergelar Raden
Syaifuddin. Diperkirakan lahir tahun 1470 M.

v Mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik,
melalui laut. Ia sempat terdampar di Dusun Jelog – pesisir Banjarwati (atau
Lamongan sekarang). Setahun berikutnya ia berpindah 1 kilometer ke selatan lalu
mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,
Pacitan-Lamongan.
v Dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia
banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

Sunan Giri / Raden Paku


Ia memiliki nama kecil Muhammad Ainul Yakin dan kadang disebut Jaka Samudra. Lahir di
Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ia adalah putera Syekh Wali Lanang atau
Maulana Ishaq (saudara Maulana Malik Ibrahim) dan Puteri Raja Blambangan, Dewi
Sekardadu. Waktu bayi Jaka Samudara sempat dibuang ke laut dan kemudian dipungut anak
oleh Nyai Semboja (lih. Babad Tanah Jawi versi Meinsma). Ayahnya pergi berkelana hingga
ke Samudra Pasai, meninggalkan Blambangan setelah berhasil meng-Islamkan isterinya
namun gagal meng-Islamkan sang mertua.

v Menuntut ilmu di pesantren Ampel. Sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah
merasa cukup ilmu, membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti,
Selatan Gresik. Selain menjadi pusat pengembangan masyarakat, pesantren itu juga
menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton (Raja Majapahit—
konon karena khawatir Sunan Giri akan mencetuskan pemberontakan—justru
memberi keleluasaan pada Sunan itu untuk mengatur pemerintahan). Sebagai
pemimpin pemerintahan, Sunan Giri disebut juga Prabu Satmata.
v Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran
Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri dikenal sebagai penyebar
Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku,
Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Giri yang berasal dari Minangkabau.
v Ia adalah penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak ketika Raden Patah
melepaskan diri dari Majapahit (tercatat dalam Babad Demak dan selanjutnya
Demak tak pernah lepas dari pengaruh Sunan Giri).
v Diakui pula sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
v Pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih, menyebabkan ia dijuluki Sultan Abdul
Fakih.
v Dikenal juga sebagai pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti
Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri.
Termasuk pula Gending Asmaradana dan Pucung bernuansa Jawa yang syarat
dengan ajaran Islam.

Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah


Diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja
Pajajaran, Raden Manah Rarasa atau menurut Tjarita Tjaruban adalah Prabu Siliwangi.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Sunan Gunung Jati menikah dengan saudari
perempuan Trenggana. Pada tahun 1568 M, wafat dalam usia 120 tahun di Caruban
(Cirebon) dan dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, 15 kilometer sebelum
kota Cirebon dari arah barat.

v Mendalami ilmu agama sejak usia 14 tahun dari para ulama Mesir dan sempat
berkelana ke berbagai negara, salah satunya Makkah. Diduga ia memiliki ilmu yang
terkandung dalam kitab Ibrahim Arki, Syaik Sabti, Syaik Muhyidin Ibnu ‘Arabi,
Syaikh Abu Yajid Bastami, Syaikh Rudadi dan Syaikh Samangun ‘Asarani. Oleh
karena itu dalam berdakwah ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
v Menurut beberapa pendapat, Sunan Gunung Jati beraliran Syi’ah karena ia memiliki
rantai silsilah dari Syi’iyin. Tetapi ia cenderung dekat dengan aliran Syi’ah Zaidiyah,
yakni satu aliran yang dianggap paling murni dari bid’ah dan dekat dengan paham
ahlus sunnah wal jama’ah sebagai prinsip.
v Ia adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Menyusul
berdirinya Kesultanan Demak Bintara, atas restu kalangan ulama, Gunung Jati
mendirikan Kasultanan Cirebon yang dikenal dengan nama Kasultanan Pakungwati.
v Memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran, ia menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Bersama putranya,
Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk
Umum, menyerahkan secara ‘sukarela’ penguasaan atas wilayah Banten yang kelak
menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati
mundur dari jabatannya untuk menekuni dakwah semata. Kekuasaannya diserahkan
pada Pangeran Pasarean.
v Banyak kisah seputar Sunan Gunung Jati. Diantaranya bahwa ia pernah mengalami
perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj dan bertemu Rasulullah SAW, Nabi Khidir
dan menerima wasiat Nabi Sulaeman (Babad Cirebon, Naskah Klayan hal.xxii).

Sunan Kudus / Jaffar Shadiq


Putra pasangan Sunan Ngudung (putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa) dan
Syarifah (adik Sunan Bonang – anak Nyi Ageng Malaka).

v Sebagaimana ayahnya, ia pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak dan


menjadi konsolidator kelompok penghulu bersenjata.
v Awalnya ia tinggal di Demak namun kemudian ia berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Pada akhirnya
Sunan Kudus memutuskan untuk mendirikan Kota Kudus yang dipadankan dengan
Al Quds, yakni kota suci – Baitul Mukadis. Disana ia membangun Masjid yang
diberi nama persis dengan Masjid Al Quds, al-Manar atau al-Aqsa (Kudus awalnya
disebut juga Tajug atau Ngundung). Diduga kepergian ini berangkat dari
perselisihan Sunan Kudus dengan Sultan Demak berkait dengan penetapan awal
Ramadhan. Namun berdasar sumber lisan, de Graaf & Pigeaud menyatakan bahwa
kepergian Sunan Kudus berkait dengan masuknya Sunan Kalijaga dari Cirebon ke
Demak akibat rekomendasi Sunan Gunung Jati, mertua Kalijaga.5
v Jenis ulama ulung yang tidak segan menggunakan cara kekerasan dalam kerjanya.
Banyak kisah mengenai hal ini:
- Memimpin serangan ketiga untuk menjatuhkan ‘kafir Majapahit’.
- Membungkam ‘empat serangkai suci’, Tingkir, Butuh, Ngerang bahkan
membunuh Kebo Kenanga.
- Melakukan kekerasan kepada guru mistik yang dicap bi’dah, Siti Jenar yang
berakhir dengan kematian.
- Menyingkirkan Prawata melalui tangan Arya Panangsang walaupun dalam
perang ia diketahui membantu Prawata.6

5
de Graaf & Pigeaud mengatakan bukan tak mungkin Sunan Kudus ‘iri’ dengan keberadaan Kalijaga.
Bagaimanapun Sunan ini berasal dari keluarga bangsawan lama yang dihormati sehingga lebih mudah
diterima oleh berbagai kalangan.
6
Pembunuhan Sunan Prawata oleh Arya Panangsang diduga berkat hasutan Sunan Kudus. Alasan
bagi pembunuhan ini adalah tidak layak jika seseorang berguru pada dua guru sekaligus disaat
bersamaan (Serat Kandha menyebutkan jika pada suatu ketika Sunan Prawata mengatakan kalau
Kalijaga adalah juga gurunya. Seperti diketahui baik Sunan Prawata maupun Panangsang adalah
- Hampir menghukum Syekh Jangkung hanya karena mau mendirikan Masjid
tanpa seijinnya. Hukuman ini dilimpahkan kepada pengikut Syekh Jangkung
berkat peran Kalijaga. Sejak itu Syekh Jangkung mengucap kaul kekal, dendam
selama kepada pengikut – keturunan Kudus.
- Diduga membunuh Syekh Maulana dari Krasak, murid Sunan Gunung Jati,
hanya karena pernah dianggap membuat malu pada sebuah pertemuan. Saat itu
Syekh Maulana dari Krasak menerangkan perkara jalan mistik yang tidak dapat
diterima Sunan Kudus.
- Merubah wujud suami-isteri Ki dan Ni Mulak, murid-muridnya sendiri, menjadi
anjing hitam hanya karena keduanya dianggap menjengkelkan dirinya.
v Dari Serat Cabolek (Soebardi, 2004: 42-43) digambarkan bahwa Ketib Anom dari
Kudus bersengketa dengan Haji Mutamakin yang dianggap mengikuti jalan sesat Siti
Jenar. Ketib Anom bersama dengan 11 ulama yang dipilih dari 142 ulama pesisir
membuat mahkamah tertutup dengan maksud menyidang Mutamakin. Namun
hukuman yang dimaksud ditolak Paku Buwana II karna ia mengganggap jalan mistik
Muatamakin adalah untuk dirinya sendiri dan tidak dimaksudkan untuk mengubah
dasar akidah seluruh masyarakat Jawa. Dari gambaran ini terlihat bagaimana
keturunan atau pengikut Kudus begitu ‘tegas’ mengikuti syariat atau setidaknya
menolak apapun jalan mistik, meski sesama agama Nabi.
v Namun demikian Sunan ini dipercaya banyak menggubah cerita-cerita ketauhidan
yang disusun berseri macam cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Selain itu ia mendekati masyarakat Kudus dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu-Budha (terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran / padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha).

Sunan Muria / Raden Prawoto


Ia putra Dewi Saroh (adik kandung Sunan Giri, anak Syekh Maulana Ishaq) dengan Sunan
Kalijaga.

v Cara dan gaya dakwahnya banyak meniru ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
demikian ia berbeda dengan sang ayah. Ia lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota, macam Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus
juga Pati dan bergaul dengan rakyat kebanyakan sambil mengajarkan keterampilan

murid Sunan Kudus tetapi Arya Panangsang adalah murid kesayangannya. Dalam sejarah padepokan,
hubungan guru dan murid adalah sekali untuk selamanya, sehingga tabu sifatnya jika seseorang
melanggar—dalam arti menduakan—hal tersebut. Hal ini sudah menjadi semacam tradisi bahkan
semenjak masa pra Islam).
bercocok tanam, berdagang dan melaut. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni
adalah lagu Sinom dan Kinanti.
v Dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu sehingga kerap dipercaya menjadi penengah dalam konflik
internal di Kesultanan Demak periode 1518-1530.

Sunan Kalijaga / Raden Said


Memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau
Raden Abdurrahman. Lahir sekitar tahun 1450 Masehi dan setelah wafat dimakamkan di
Kadilangu-selatan Demak. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban—keturunan
tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam.

v Menurut cerita tutur, nama Kalijaga berasal dari kegiatannya yang senang kungkum
(berendam) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa
nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon (Kalijaga memang pernah tinggal di
Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati). Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai
“penghulu suci” Kasultanan.
v Dikabarkan jika ia tidak saja berguru pada Sunan Bonang, namun juga kepada Sunan
Gunung Jati dan Sunan lainnya sehingga ilmunya adalah cakupan ilmu para Wali.
Beberapa cerita malahan menyebut jika Kalijaga juga sempat berguru dengan Nabi
Khidir, a.s. Pada initnya, setelah berguru ke Dara Petak di Palembang, Kalijaga
meneruskan perjalanan ke Pulau Upih (Malaka) untuk berguru kepada Syaikh
Sutabris.7
v Sempat pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung
Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
v Pola dakwahnya sama dengan guru sekaligus sahabatnya, Sunan Bonang. Paham
keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” – bukan sufi panteistik (pemujaan
semata). Jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

7
Syaikh Sutabris, menurut Hoesein Djajadiningrat adalah pseudo dari Syamsu Tabriz atau Syamsu
Alt-Thabriz. Penulis Persia ini adalah guru teologi dan mistik sekaligus sahabat Jalaluddin Rumi, yang
menulis Kitab Diwan-i Syam-i Tabriz. Dalam penyelidikan mengenai kitab itu ditemukan ide-ide
artisik Socrates yang cenderung menitikberatkan ukuran-ukuran rasa atau yang interior. Ia adalah
darwis pengembara sekaligus sufi fakir yang wafat akibat pembunuhan kejam yang dilakukan lawan
mahzabnya, tahun 645 H (1247 M). Dengan demikian Kalijaga yang sebenarnya hidup beberapa abad
setelah wafatnya Tabriz mungkin hanya berguru kepada pengikut Tabriz di Upih. Ide dan gagasan
yang turun kepada Kalijaga dari ‘kedekatannya’ dengan Tabriz adalah laku kembara dan yang paling
nyata adalah kecenderungannya sebagai seorang socratesian (Saksono, 1996: 70-75).
v Untuk itu ia memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah:
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Metode ini sangat
efektif. Dialah pencipta Baju taqwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang
Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karyanya.8
v Sebagian besar Adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga (di
antaranya Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang –
sekarang Kotagede, Yogya).
v Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan
demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang
yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati.

Syekh Siti Jenar


Satu tokoh yang tidak dapat tidak disebut walaupun sering kali dianggap ‘Wali yang bukan
Dewan Wali’, adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh
Siti Jenar, Syekh Lemah Abang atau Sitibrit.

v Menurut beberapa sumber ia diyakini sebagai putera Resi Bungsu, seorang raja
pendeta dari Hindu-Budha. Dalam kisah ini, Syekh Lemah Abang konon ditulah
menjadi cacing oleh ayah kandungnya tersebut dan dibuang ke dalam sungai. Pada
suatu ketika, Sunan Bonang sedang memberi wejangan berupa ilmu hakikat kepada
Sunan Kalijaga. Demikian penting atau rahasianya wejangan itu sampai-sampai
harus diberikan di tempat sunyi. Maka keduanyapun berada di atas perahu, di tengah
laut. Namun perahu bocor, Sunan Kalijagapun berusaha menambal perahu dengan
tanah merah. Saat keadaan kembali tenang, Sunan Bonang akhirnya memberi
wejangan. Pada saat itulah, tanpa diduga, tanpa dinyana, cacing yang terikut dalam
tanah untuk menambal perahu tadi berubah menjadi manusia karna mendengar ilmu
hakekat Sunan Bonang. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Lemah
Abang (lemah: tanah; abang: merah). Alhasil, diangkatlah baik Sunan Kalijaga
maupun Syekh Lemah Abang sebagai murid Sunan Bonang.

8
Salah satu karyanya yang cukup terkenal hingga hari ini adalah tembang Ilir-ilir: Lir ilir lir ilir
tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar, Cah angon cah angon penekno
blimbing kuwi, Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro-dodotiro, Dodotiro-dodotiro kumitir
bedhah ing pinggir, Domono jlumotono kanggo seba mengko sore, Mumpung jembar kalangane
mumpung padhang rembulane, Yo surako surak horee.
v Ajaran Siti Jenar adalah kesatuan tunggal dengan Allah atau Manunggaling Kawula
Gusti. Pada titik-titik terekstremnya, perwujudan dari pemahaman filosofis itu
adalah pengakuan bahwa diriNya sendiri adalah Allah. Dan Allah tiada lain dari
dirinya.

Ya, ingsun iki Allah


Ingsun iki jatining Pangeran Mulya
Syekh Siti Jenar iku wajahing Pangeran Jati

Artinya,

Ya Aku inilah Allah


Aku ini Hakikat Yang Maha Kuasa
Syekh Siti Jenar (adalah) wajahNya Tuhan Jati
(Huda, 2005: 268).

v Pada akhirnya, tidak berbeda dengan Al Hallaj (858-922), Siti Jenar dihukum oleh
Dewan Wali. Konon ia diesekusi di Mesjid Demak. Namun beberapa versi
menyebutnya diesekusi di Masjid Agung Kasepuhan Cirebon. Setelah menjalani
hukuman maka terdengarlah suara Siti Jenar. Darmo Gandhul menyebutkan jika
Jenar berkata kelak ia akan kembali dan menuntut balas. Bukan di akhirat tetapi di
dunia yang nyata ini. Tubuh Jenar sendiri terangkat. Ia tidak meninggalkan apapun
kecuali bau harum. Melihat keajaiban itu, paniklah para wali. Mereka kemudian
bersepakat meletakkan bangkai anjing sebagai ganti jasad Jenar sekaligus contoh
manusia sesat yang tercela kepada masyarakat. Dengan pencitraan demikian
diharapkan ajaran Jenar tidak berkembang luas.
v Sebuah Tarekat yang menyatakan diri sebagai penerus ajaran Jenar didirikan di
Kediri, tahun 1527 (walau tidak dapat dipastikan tetapi beberapa sumber
menyebutkan jika tarekat itu didirikan sendiri oleh Jenar, sebelum wafatnya). Tujuan
tarekat itu adalah Manunggaling Kawula Gusti dengan syarat melepas basyar
(badan) dan hal ini dilakukan dalam kemerdekaan penuh. Artinya tidak diperlukan
hukum atau batasan: guru-murid, waktu shalat, jumlah dzikir, dll. Selama nafas
terhirup selama itulah Allah patut disebut. Dalam tiap situasi, dalam tiap apapun.
v Pengaruh Jenar sendiri waktu itu sangat besar dan berkembang di beberapa daerah
seperti, Ngawi, Salatiga, Klaten, Luragung-Jawa Barat, Banten dan sepanjang
Sumatera. Tarekatnya konon hingga kini tetap berkembang dalam bentuk kelompok-
kelompok kecil yang tidak saling berhubungan dan berada di sekitar Nganjuk,
Banyuwangi, Malang, Kediri dan Tulung Agung-Jawa Timur.
v Jenar sendiri dipercaya memiliki beberapa keturunan yang keberadaannya tetap
dirahasiakan hingga hari ini. Menurut Huda (2005: 266) diantaranya adalah Abdul
Qadir atau Datuk Bardut yang setelah kematian Jenar menetap di daerah Cirebon dan
Abdul Qahar alias Datuk Fardun – menetap di Lamongan, Jawa Timur.
v Sahabat dan ‘pengikutnya’ antara lain Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga), Ki
Ageng Tingkir (kelak disebut Hadiwijaya – Sultan Pajang), Sunan Panggung, Haji
Mutamakin, Amongrogo dan Ki Bebeluk dari Pajang.

Dewan Wali

Hasanu Simon (2004: 50-55) mengutip keterangan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid yang
diambil dari Kitab Kanzul ‘Ulum karya Ibnul Bathuthah (yang kini tersimpan di
Perpustakaan Istana Kasultanan Ottoman, Istambul, Turki) mengatakan bahwa berdasar
laporan Saudagar Gujarat mengenai perkembangan Islam di Jawa, potensi alam maupun
berkuasanya dua kerajaan Hindu-Budha yang ada di sana (Majapahit dan Pajajaran), Sultan
Turki Muhammad I segera menyusun rencana untuk mengirimkan sebuah team yang dapat
melakukan syiar di Pulau itu. Sebagai persiapan, Sultan Turki menghubungi Amir di Afrika
Utara dan Timur Tengah untuk mempersiapakan anggota kelompok tersebut. Setelah melalui
beberapa pertimbangan, diantaranya kelengkapan ahli di masing-masing bidang yang bakal
bermanfaat di Jawa, maka diberangkatkanlah team tersebut ke Jawa (untuk memperlancar
niat, sebelum keberangkatan team itu Sultan Turki diduga sempat mengirim utusan kepada
Brawijaya).

Demikianlah susunan Dewan Wali menurut kitab Kanzul ‘Ulum Ibnul Bathuthah:

Dewan I tahun 1404 M


1. Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli tata negara, dakwah di Jawa Timur,
wafat di Gresik tahun 1419.
2. Maulana Ishaq, asal Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu
pindah dan wafat di Pasai (Singapura).
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo –
Triwulan Mojokerto.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, ahli irigasi, dakwah keliling,
makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465.
5. Maulana Malik Isroil, asal Turki, ahli tata negara, dimakamkan di Gunung Santri
antara Serang Merak di tahun 1435.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia / Iran, ahli pengobatan, dimakamkan
di Gunung Santri tahun 1435.
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462
di samping masjid Banten Lama.
8. Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462
di samping masjid Banten Lama.
9. Syeh Subakir, asal Persia / Iran, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat,
beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di persia tahun 1462.

Dewan II tahun 1436 M


1. Raden Rahmad Ali Rahmatullah, dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya), dari Cempa
Muangthai Selatan, datang tahun 1421, mengganti Malik Ibrahim yang wafat.
2. Sayyid Jafar Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus, dikenal
sebagai Sunan Kudus, menggantikan Malik Isroil.
3. Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 mengganti Ali Akbar yang wafat..

Dewan III tahun 1463 M


1. Raden Paku atau Syeh Maulana Ainul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai,
kelahiran Blambangan, putra Syeh Maulana Ishaq, berjuluk Sunan Giri dan dimakam di
Gresik.
2. Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, mengganti
Syeh Subakir yang kembali ke Persia.
3. Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang
menggantikan Hasanuddin yang wafat.
4. Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel mengganti
Aliyyuddin yang wafat.

Dewan IV tahun 1466 M


1. Raden Patah putra Brawijaya (tahun 1462 - adipati Bintoro, tahun 1465 - membangun
masjid Demak dan tahun 1468 menjadi raja) murid Sunan Ampel, mengganti Jumadil
Kubro yang wafat.
2. Fathullah Khan, putra Gunung Jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.

Dewan V
1. Raden Umar Said (Sunan Muria), putra Kalijaga, menggantikan wali yang telah wafat.
2. Syeh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, mulai dari asal muasal, ajarannya yang
dianggap menyimpang dari Islam (tapi hingga saat ini masih dibahas di berbagai lapisan
masyarakat dan masih memiliki pengikut), cara kematiannya, termasuk dimana ia wafat
dan dimakamkan.
3. Sunan Tembayat atau Adipati Pandanarang, menggantikan Jenar yang dihukum mati.
Sebenarnya selain di Jawa, di Cina juga terdapat semacam kelompok Dewan Wali yang juga
beranggotakan sembilan orang. Menurut web Suarajumaat, pada masa Dinasti Ming,

“...kerajaan Islam mula terbentuk di sana dan penggagasnya adalah Chu Yuan
Chang. ... Menurut Ma Wen-Sheng dalam bukunya Secret History of Chinese
Muslim, sebaik sahaja Chu Yuan Chang menguasai tentera bapa mertuanya, satu
majlis rahsia telah ditubuhkan oleh beliau dan anggota majlis ini terdiri daripada
sembilan orang ahli yang semuanya adalah orang Islam. Walau bagaimana
pun,majlis ini tidak diketahui oleh orang ramai kecuali Ratu Ma. Anggota majlis itu
ialah: 1) Hsu Tah (1331-1385 M) dari Fengyang; 2) Ch'ang Yu -Chun (1330-1369
M) dari Huaiyuan; 3) Li Wenchung (1339-1384 M) dari Yu-i; 4) T'ang Ho (1325-
1395 M ) dari Fengyang; 5) Teng Yu (1336-1337 M) dari Ssuhi; 6) Hu Tah-hai
(m.1367 M) dari Ssuhi; 7) Hua Yun (1321-1360 M) dari Huaiyuan; 8) Ting Teh-
hsing (m.1367 M) dari Tingyuan; 9) Mu Ying (1344-1392 M) dari Tingtuan”.

Belum dapat ditarik kesimpulan apakah data mengenai Dewan Wali di Jawa dan di Cina ini
benar-benar otentik. Dan jika memang benar otentik, belum diketahui pula apakah keduanya
pernah bekerja sama dan secara organisatoris memang berada di bawah satu otoritas tunggal.
Yang pasti diketahui bahwasanya Turki adalah salah satu entitas Muslim yang sempat masuk
ke Cina tak lama setelah wafatnya Nabi. Salah satu yang terbesar selain akibat aktifitas
dagang adalah, sempat dikirimnya pasukan Muslim Turki dalam jumlah besar oleh Khalifah
Abbasid Mansur untuk membantu Liu Chen menghadapi musuh-musuhnya (760 M). Pasca
itu banyak Muslim Turki memilih menetap di sana dan segeralah Muslim Cina segera
berkembang.

Pembagian Kerja Dewan Wali

Mengenai pembagian kerja Dewan wali secara struktural, demikianlah hasil penelitian Widji
Saksono (1996: 97-100):

Sunan Ampel Mengurus susunan aturan syariat dan hukum perdata, khususnya
berkenaan dengan masalah nikah, talak, rujuk.
Sunan Bonang Merapikan aturan-aturan termasuk di dalamnya kaidah ilmu, selain
menggubah lagu, nyanyian maupun gamelan Jawa.
Sunan Gresik Merubah pola dan motif batik, lurik maupun perlengkapan berkuda.
Sunan Drajat Mengurus hal ikhwal pembangunan rumah maupun berbagai ragam
alat angkut.
Sunan Majagung Mengurus hal ikhwal perkara masakan (makanan) maupun alat tani
dan barang pecah belah lainnya.
Sunan Gunung Jati Selain bertugas memperbaiki doa, mantra bagi pengobatan bathin,
firasat, jampi-jampi bagi pengobatan lahir, ia juga mempunyai tugas
untuk membuka hutan, mengurus transmigrasi atau membuka desa
baru (perluasan wilayah).
Sunan Giri Bertugas menggubah perhitungan bulan, tahun, windu, lalu
menyusun dan merapikan segala perundang-undangan kerajaan,
termasuk urusan protokolernya. Secara teknis Sunan Giri bertugas
membuat kertas.
Sunan Kalijaga Bertugas mengurus bidang-bidang seni-budaya, misalkan
menggubah dan menciptakan langgam maupun gending.
Sunan Kudus Bertanggungjawab atas perlengkapan persenjataan, perawatan bahan
besi dan emas, juga membuat peradilan dengan undang-undang
syariat.

(bahan ini adalah bagian dari telaah atas “Politik Identitas Jawa-Cina:
Kajian Atas Ungkapan Tradisional ‘Jawa Safar Cina Sajadah’ Yang Terdapat Pada Tradisi Lisan Jawa”)

You might also like