You are on page 1of 3

PENGEMIS JALANAN SEBAIKNYA KITA APAKAN Oleh: Juman

Konon dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche tokoh eksistensialis Jerman abad 19 yang ateistis menulis bahwa pengemis itu seharusnya ditiadakan karena serba menjengkelkan: diberi salah tidak diberi juga salah. Pengemis memang idealnya jangan sampai ada; bukan karena mereka menjengkelkan, tapi karena mereka merupakan bukti nyata ketidakmerataan kesejahteraan masyarakat. Mengambil sikap yang bulat dan konsekwen terhadap pengemis memang tidak mudah. Banyak orang berfikir bahwa menyantuni pengemis sama dengan melestarikan keberadaan mereka. Tidak mendidik tapi malah menyuburkan. Tetapi bagi saya yang tinggal di Jakarta yang setiap hari berpapasan dengan puluhan pengemis, tidak mungkin menutup mata dan menganggap mereka tidak ada. Kita sudah terlanjur beretika dan beragama: nurani kita sensitif, hati kita mudah tersentuh. Tidak tega melihat anak-anak dibawah umur dan perempuan tua yang bongkok dan keriput mengemis diterik matahari. Lebih dari itu kita mendustai agama jika menolak anjuran memberi makan orang miskin. Pengemis orang miskin bukan? Pokoknya membenci pengemis dosanya

segunung. Karena Friedric Nietzsche tidak mengenal dosa dan agama, hak dia lah untuk mmemilih opsi ditiadakan saja. Meskipun kita bukan pengikut Nietzsche dan sadar bahwa agama menganjurkan untuk menyantuni kaum miskin, memberikan uang receh kepada pengemis tetap banyak yang tidak suka. Saya memilih bersikap mendua: kalau ingin memberi ya saya beri, kalau tidak ya tidak. Meskipun sikap mendua menandakan kelemahan. Dua orang kakak saya berbeda sikap terhadap pengemis sejak muda sampai akhir hayat mereka. (Mbakyu Saya Berbeda Partai). Mungkin saya membenarkan kedua-duanya. Ada kalanya saya merasa senang, rela dan bersemangat menderma untuk pengemis jalanan. Baik yang tua dan keriput, yang nampak bersih dan masih sehat, yang masih usia SD maupun sudah senja. Mereka mengemis karena tidak ada cara lain yang mereka miliki atau mereka ketahui. Pasti bukan semata-mata karena malas. Saya sengaja mengumpulkan uang receh buat mereka. Mereka itu orang-orang yang suka damai, tidak pernah membuat gaduh, merampas atau mencuri. Itu adalah nilai-positip dan terpuji yang tidak pernah mereka pamerkan. Mereka tidak memilih potongan baju, ukuran maupun warna, semuanya cocok untuk mereka. Ketika saya tidak punya receh, senyum dan kata maaf pun mereka terima. Kebanyakan mereka membalas dengan senyum juga. Ada kalanya saya pilih-pilih pengemis juga. Kalau sisa recehan tinggal sedikit saya pilih berikan kepada pengemis kecil yang ceria daripada yang tua dan menyedihkan. Saya juga merasa lebih tertarik kepada pengemis yang mengingatkan pada orang yang pernah saya kenal. Nenek saya dikampung dulu misalnya, teman main masa anak-anak atau tetangga. Saya merasa bersahabat dengan mereka. Samasama makhluk yang lemah, sama-sama punya penderitaan. Bukan penampilan dan kekayaan tetapi akhlak dan hati yang lebih penting. Ketika seseorang tertimpa musibah atau bencana yang parah sampai makan sehari-hari pun kesulitan, ada tiga jalan yang mungkin ia tempuh. Ia dapat bekerja keras memeras otak dan tenaga untuk bangkit kembali. Ini merupakan jalan yang terhormat dan bermartabat. Tetapi sangat sulit dan berat untuk ditempuh karena sarat dengan kendala. Atau ia memilih jalan sewenang-wenang dan membabi-buta dengan dengan dengan mencuri atau merebut jatah orang lain. Atau menjadi pengemis jalanan. Mengemis lebih terhormat dan sopan daripada mencuri karena pengemis menerima atas belas kasihan dan keihlasan dari pemberinya. Mencuri dan merebut justru dukutuk orang banyak, atau dipukuli bila tertangkap. Menjadi mengemis merupakan solusi yang paling layak dan aman. Semoga orang mau tahu itu.

Tetapi ada saatnya datang versi lain dalam pikiran saya yang sama absahnya dengan bermurah hati pada pengemis. Pemgemis ada kalanya memang keterlaluan. Meminjam bayi orang yang masih merah. Dibawah terik matahari dipamerkannya didepan mata kita untuk merangsang rasa kasihan, seolah-olah untuk bayi itulah dia mengemis. Mungkin hasilnya nanti ia bagi dengan ibu sibayi. Rasanya dinegeri lain jarang ada kezaliman seperti ini. Jangan keliru: anak-anak kecil mengemis bukanlah inisiatif sendiri. Kebanyakan mereka suruhan. Bila anda jeli, dekat tiang listrik sana ada boss meraka yang duduk menunggu dan mengawasi hasil kerja anak-anak itu. Lebih parah lagi, sebagian pengemis termasuk orang yang kecukupan dikampungnya, punya sawah dan rumah tembok yang permanen. Sambil menunggu musim panen mereka pergi ke Jakarta untuk mengemis. Kalau anda beri baju bagus, tidak bakal dipakainya karena akan mengurangi karismanya sebagai pengemis. Ada pula pengemis yang pandai menempelkan koreng buatan dikakinya, persis seperti luka yang meradang dengan obat merah dipinggir-pinggirnya, yang berpura-pura pincang, semuanya untuk menaikkan hasil mengemisnya. Pengemis sekarang makin terorganisir dan membentuk sindikat. Alangkah bodohnya menderma untuk perempuan kejam yang menjemur bayi diterik matahari. Betapa kelirunya menyumbang orang yang mempekerjakan anak-anak mengemis untuk mereka. Bodoh sekali berbagi dengan orang kaya yang mengemis hanya untuk menunggu musim panen datang. Membuang-buang tenaga, menyedot emosi dan jelas tidak mendidik. Kita tidak berhutang sepeserpun kepada mereka, mengapa susahsusah membantu mereka! Silahkan anda pikir, jangan tergesa-gesa memutuskan karena pengemis akan tetap ada dimana-mana sampai akhir zaman.

You might also like