You are on page 1of 46

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Transportasi adalah pemindahan manusia, hewan atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia dan atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Timbulnya transportasi berdasarkan pada persoalan; pertama, kebutuhan manusia akan barang, jasa dan informasi dalam proses kehidupannya. Kedua, barang, jasa dan informasi tidak berada dalam satu kesatuan dengan tempat tinggalnya. Dua hal pokok tersebut menyebabkan terjadinya arus manusia, barang dan informasi dari suatu zona asal menuju ke zona tujuan melalui berbagai prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia1. Transportasi darat merupakan salah satu sektor teknologi yang terus mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dan jenis kendaraan yang semakin banyak dan arus lalu lintas yang dari hari ke hari semakin padat. Inovasi dalam bidang ini berjalan terus-menerus seiring dengan kebutuhan manusia akan daya jangkau dan jelajah yang semakin besar. Dengan bertambahan penduduk yang disertai pula peningkatan perekonomian, maka tingkat mobilitas baik orang maupun barang akan meningkat pula keadaan ini harus diimbangi dengan penyediaan sarana prasarana transportasi yang memadai. Dengan demikian

Arif Budiarto dan Mahmudah, Rekayasa Lalu Lintas, Penerbit : UNS Press, 2007, h. 1.

pertumbuhan penduduk akan mempunyai dampak langsung terhadap kebutuhan sarana dan prasarana transportasi. Sarana transportasi melalui jalan merupakan transportasi yang dominan dibandingkan dengan transportasi lainnya. Tamin2 menyatakan terbatasnya bahan bakar minyak (BBM) secara temporer bukanlah permasalahan yang parah, tetapi peningkatan arus lalu lintas serta kebutuhan akan transportasi telah menghasilkan kemacetan, tundaan, kecelakaan dan permasalahan lingkungan yang sudah berada di atas ambang batas. Permasalahan lalu lintas sangatlah kompleks, dari diseluruh dunia kecelakaan lalu lintas saja setiap tahunnya kurang lebih sekitar 1.200.000 jiwa melayang mati sia-sia akibat kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia setiap tahunnya lebih dari 12.000 korban. Sedangkan di Polda Metropolitan Jakarta Raya angka kematian mencapai 999 orang korban.3 Permasalahan pelanggaran lalu lintas menunjukkan angka yang semakin berkembang baik dari segi kuantitas dan kualitas, ditinjau dari segi kuantitas tingkat pelanggaran dari tahun ke tahun menunjukkan pertambahan pelanggaran baik kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat, sedangkan ditinjau dari segi kualitas pelanggaran yang terjadi menunjuk kepada jumlah korban kecelakaan lalu lintas baik jumlah korban dan kerugian. Kenyataan ini tentu sangat berdampak sistemik dalam upaya program pembangunan, dikatakan demikian karena tingginya angka pelanggaran lalu

2 3

Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB, Bandung, 1997, h.4 Direktorat Lalu Lintas Tahun 2007.

lintas akan mengganggu jalannya roda perekonomian dan pembangunan yang hendak dicapai. Dalam menyikapi permasalahan peningkatan pelanggaran lalu lintas, maka penanggulangan secara konvensional dipandang sudah tidak sesuai lagi untuk itu diperlukan suatu sistem dan metode dengan pendekatan teknologi guna meningkatkan kinerja penyidikan perkara lalu lintas dalam rangka menumbuhkembangkan kesadaran pengguna jalan. Lebih lanjut pemanfataan teknologi dalam negara yang sedang membangun menjadi mutlak diperlukan, termasuk dalam kaitannya dengan upaya Polri untuk mewujudkan iklim berkendara di jalan raya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian melalui daya dukung sistem teknologi ini diharapkan dapat menekan angka pelanggaran yang selama ini terjadi sekaligus juga sebagai bagian dari edukasi terhadap masyarakat pengguna jalan. Memasuki abad informasi berarti memasuki dunia dengan teknologi baru, yakni teknologi informasi. Mempergunakan teknologi informasi

seoptimum mungkin berarti harus merubah mindset. Merubah mindset merupakan hal yang teramat sulit untuk dilakukan, untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum yang berbasis pada pendekatan teknologi dalam kerangka sistem peradilan pidana. Penerapan sistem teknologi dan informasi dalam sistem peradilan

pidana, khususnya dalam pelanggaran lalu lintas menjadi suatu kebutuhan

mutlak yang diharapkan dapat memberikan kemanfaatan selain aspek keadilan dan kepastian yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri. Selain itu, penerapan sistem teknologi dan informasi menunjukkan kepada masyarakat pengguna jalan raya bahwa Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Ditlantas Polda Metro Jaya telah berupaya mengembangkan pelayanan modern bagi pengguna kendaraan bermotor yang terkait dengan edukasi, penindakan langsung (Electronic Traffic Law Enforcement) dan penyidikan kecelakaan lalu lintas dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pada saat ini salah satu produk unggulan Ditlantas Polda Metro Jaya yang digunakan adalam menggunakan program (software) PC Rect dan PC Crash yang disinkronisasikan dengan CCTV, yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan, namun tidak menutup kemungkinan pada masa mendatang menggunakan program lain yang sifatnya up to date dan akuntabel seiring dengan perkembangan zaman. Pemberlakuan sistem Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) atau penindakan langsung oleh Ditlantas Polri ini telah dimulai sejak bulan April 2011 yang lalu. Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) merupakan sebuah sistem elektronik pengawasan dan penegakan hukum lalu lintas yang bentuk fisiknya dapat kita jumpai di beberapa persimpangan Jalan protokol di Jakarta. Contoh sensor pengawasannya adalah berupa sinar laser berwarna hijau di perempatan sarinah-thamrin yang bersinar tepat sejajar garis putih, batas berhenti kendaraan. Siapa pun yang melanggar/melewati sinar laser tersebut

akan langsung difoto. Data ini akan dikirim ke Pusat Traffic And Management Control (TMC) dalam hal ini TMC Polda Metro Jaya. Data yang masuk akan menjadi bukti penilangan, yang surat tilangnya akan dikirim ke rumah sang pelanggar. Ini merupakan sebuah ikhtiar perubahan dan perbaikan Jajaran Penegak hukum yang patut dihargai dan didukung oleh kita bersama. Selain itu, sisitem ini disinyalir akan menghindari kontak langsung antara pelaku pelanggaran lalu lintas dengan Polisi sehingga potensi kolusi diantara keduanya pun dapat diminimalisasi. Dengan sistem ini transparasi publik terhadap jajaran Kepolisian akan semakin meningkatkan kepercayaan terhadap jajaran penegak hukumnya. Penerapan tilang elektronik ini memiliki aturan dasar hukum yang jelas, yakni dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tepatnya pada Pasal 272, yang berbunyi: Pasal 272 (1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik. (2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Penjelasan Ayat (1) Pasal 272 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan peralatan elektronik adalah alat perekam kejadian untuk menyimpan informasi.

Ketentuan yang menyebutkan alat peralatan elektronik yang dapat merekam kejadian untuk menyimpan informasi terhadap pelanggaran lalu lintas dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik4. Penggunaan alat bukti ini, merupakan suatu proses yang kompleks dan panjang, mulai dari pengambilan dan pengolahan informasi atau dokumen elektronik di tingkat penyidikan, penggunaan informasi dan elektronik tersebut sebagai alat bukti elektronik di tingkat penuntutan, dan pemeriksaan alat bukti tersebut di tingkat persidangan. Penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) dalam

meminimalkan angka pelanggaran lalu lintas ini didasarkan kepada faktorfaktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas, yakni faktor manusia (pengemudi), faktor kendaraan, faktor jalan dan faktor lingkungan. Faktor manusia (pengemudi) merupakan faktor utama, sehingga alat perekam kejadian yang menyimpan informasi terhadap pelanggaran lalu lintas sangat efektif untuk menindak pelaku pelanggaran selain

menumbuhkembangkan kesadaran berlalu lintas dengan aman dan tertib sebagai bagian edukasi bagi masyarakat pengguna jalan raya.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, telah meletakkan dasar terhadap pengakuan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah. Pengakuan tersebut didasarkan pada Pasal 5 jo Pasal 44 yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Dapat disimpulkan bahwa penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) dengan penggunaan PC Rect dan Program PC Crash yang disinkronisasikan dengan CCTV dalam sistem peradilan dapat menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki budaya berlalu lintas di Indonesia yang tertib dan aman selain meningkatkan modernisasi (kinerja) penyidikan dan meminimalkan angka kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Polda Metro Jaya.

B. Permasalahan Dalam penulisan makalah ini, pokok permasalahan yang akan dilakukan pengkajian lebih lanjut adalah, bagaimanakah penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) dengan penggunaan PC Rect dan Program PC Crash yang disinkronisasikan dengan CCTV sistem peradilan pidana?

C. Tujuan Penulisan Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk menunjukkan pelaksanaan penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) dan penggunaan Program PC Rect, PC Crash yang disinkronisasikan dengan CCTV dalam kaitannya dengan upaya meminimalkan angka pelanggaran lalu lintas melalui penegakan hukum dengan daya dukung sistem informasi dan teknologi sekaligus sebagai sarana edukasi terhadap masyarakat pengguna jalan raya. dan

C. Metode Penulisan Pendekatan penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah metode deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktik pelaksanaanya yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder berupa hukum positif dan bagaimana praktik pelaksanaan Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) dengan program PC Rect, PC Crash dan CCTV dan aspek hukum yang terkait termasuk fungsi penyidikan dan hukum pembuktiannya. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut yaitu penelitan kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber data sekunder yang terdiri dari: bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan nasional, bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan hukum primer, seperti: tulisan para ahli, buku-buku yang berkaitan, dan lain sebagainya. Dan bahanbahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, anatara lain artikel, majalah, dan koran. Metode analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah metode analisis normatif kualitatif.

BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka 1. Teori Sistem Penegakan Hukum dan Penyidikan Perkara Pidana Hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Lili Rasjidi menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu menarik dan tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum atau stelsel hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-pemikiran baru - sekalipun di luar disiplin hukum - selalu dapat membawa pengaruh kepada system hukum.5 Penegakan hukum atau yang dalam bahasa populernya sering

disebut dengan istilah law enforcement, merupakan ujung tombak agar tercipta tatanan hukum yang baik dalam masyarakat. Soerjono Soekanto, memberikan istilah penegakan hukum, sebagaimana tercantum di bawah ini, yakni:6 "Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup."

Penegakan hukum pada dasarnya berkaitan dengan upaya untuk menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum atau penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku di masyarakat. Penegakan hukum harus mewujudkan
5 6

Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia. PT. Radjagrafindo Persada, Jakarta, 1996, 149. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1986, h.2

jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang berkonflik. Disini dibutuhkan aparat penegak hukum yang profesional, berkualitas, berintegritas moral yang tinggi, dan bebas dari pengaruh pihak manapun. Menurut Soerjono Soekanto7, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut: 1. 2. Faktor hukumnya sendiri (termasuk faktor undang-undang). Faktor penegak hukum (dimasukkan di sini, baik para pembentuk maupun penerap hukum). 3. 4. 5. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Faktor masyarakat, yakni masyarakat di mana hukum tersebut diterapkan. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dari kutipan-kutipan tersebut di atas menunjukkan faktor penegak hukum merupakan salah satu faktor yang mesti selalu dibenahi jika kita menginginkan agar suatu penegakan hukum dapat dilakukan dengan benar dan baik. Sedangkan menurut Lawrence M. Friedman8 ada tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu: Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan - aspek sistem yang berada di sini kemarin (atau bahkan pada abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka panjang.

7 8

Ibid. Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction Second Edition ( Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Tatanusa, Jakarta, 2001, h.7-9.

10

Inilah struktur sistem hukum - kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang member semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Aspek lain sistem hukum adalah substansinya, yaitu aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada hukum hukum yang hidup (living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law books). Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdayaguna. Penyidikan secara etimologis merupakan padanan kata Bahasa Belanda: "opsporing", dari Bahasa Inggris "investigation'' atau dari Bahasa Latin "investigatio. Apabila ditinjau aspek penahapannya, sebelum melakukan suatu penyidikan diperlukan adanya gradasi tertentu, lazim disebut dengan istilah penyelidikan. Jadi, konkretnya berbicara visi penyidikan tidak akan menjadi lengkap dan mendapatkan deskripsi memadai apabila tanpa menyinggung pengertian penyelidikan. 9

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007, h. 54.

11

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dari ketentuan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 5 KUHAP dapat dirinci terhadap fungsi dan wewenang penyelidik adalah: 1. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan hukum dapat berupa: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. c. mencari keterangan dan barang bukti; menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; dan d. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan perintah penyidik dapat berupa: a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, dan penyitaan; b. c. d. pemeriksaan dan penyitaan surat; mengambil sidik jari dan memotret seorang; dan membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. penggeledahan

12

3.

Apabila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik: a. b. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

dilakukannya tindakan jabatan; c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.

Sedangkan mengenai pengertian penyidikan atau "opsporing" itu menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Adapun bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara pidana menurut Andi Hamzah adalah:10 1. 2. 3. 4.
10

Ketentuan-ketentuan tentang alat-alat penyidikan. Ketentuan-ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik. Pemeriksaan di tempat kejadian. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
Andi Hamzah, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum , Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, h.96.

13

5. 6. 8. 9. 10. 11.

Penahanan sementara. Penggeledahan. Berita Acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat). Penyitaan. Penyampingan perkara. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempumakan. Adapun kalau dilihat fungsi dan wewenang penyidik berdasarkan

ketentuan Pasal 7 KUHAP, dapat berupa: 1. Penyidik Pejabat Polisi Negara Rl karena kewajibannya

mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dan seseorang tentang adanya tindak pidana; b. c. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; . menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; e. f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

14

g.

mendatangkan ahli

yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara; h. i. mengadakan penghentian penyidikan; dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2. Penyidik wewenang Pejabat Pegewai Negeri Sipil tertentu yang diberi

khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang:

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP sesuai dengan undang undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam

pelaksanaannya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Kalau melalui visi tugas dan wewenang, sebenarnya antara Penyelidikan dan Penyidikan merupakan fungsi yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan salah satu cara atau metode yang menyatu dengan fungsi penyidikan sebagaimana

ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini: "Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dan fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Latar belakang, motivasi dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan, antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, sebelum melangkah lebih
15

lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa, perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindak penyelidikan.'' Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu penyidikan diperlukan adanya taktik dan teknik sehingga apa yang terjadi modus operandi dari tindak pidana tersebut dapat diungkap sekaligus dengan tersangkanya. Pada taktik penyidikan (opsporingstactiek) dan teknik penyidikan

(opsporingstechniek) merupakan aspek yang berkorelasi erat dan merupakan bagian dari ilmu penyidikan atau "opsporingsteer". Pada dasarnya, secara singkat dapat dikatakan bahwa taktik penyidikan (opsporingstactiek) itu adalah suatu pengetahuan yang mendalami serta mempelajari ruang lingkup permasalahan-permasalahan taktis dalam bidang penyidikan suatu perkara pidana pada umumnya. Hingga untuk itu diperlukan adanya kesigapan dan kecepatan, ketentuan teknis dan tertib pemeriksaan, kemudian harus mempunyai persepsi tentang permasalahan yang diperkirakan timbul dan dicari solusi pemecahannya. Menurut pandangan R. Soesilo,11 yang termasuk bidang taktik penyidikan itu antara lain adalah: a. b. tindakan pertama di tempat kejadian perkara; ilmu jiwa kriminil, khususnya yang digunakan dalam mendengar keterangan saksi-saksi dan tersangka;
11

R. Soesilo, Taktik & Teknik Penyidikan Perkara (Criminal), Bogor: Penerbit Politeia, 1974, h.10.

16

c. d.

hubungan dengan spion dan bermacam-macam informan; taktik penangkapan, menggeledah badan, menggeledah rumah,

konfrontasi dan menyamar; e. f. g. h. i. j. pembunuhan; modus operandi (kebiasaan kerja para pelaku kejahatan); pengumuman tentang terjadinya kejahatan-kejahatan dan pers; baik buruknya memberikan hadiah dalam mencari kejahatan; gunanya banyak membaca buku-buku cerita detektif; pengertian tentang bahasa sandi para penjahat, tahayul, jimat, guna-guna dan sebagainya. Dalam melakukan taktik penyelidikan, diperlukan adanya sistem yang bersifat baku dan konsisten. Walaupun modus operandi kejahatan lebih variatif dan canggih, tetapi menurut pandangan para doktrina ilmu Hukum Pidana dalam melakukan penyidikan perkara secara universal dikenal adanya sistem "7-kah", yaitu: a. b. c. d. e. f. g. Apakah yang terjadi? (persoalan macam peristiwa). Di manakah perbuatan itu dilakukan? (tempatnya). Kapankah perbuatan itu dilakukan? (waktunya). Dengan apakah perbuatan itu dilakukan? (alatnya). Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan? (caranya). Mengapakah perbuatan itu dilakukan? (alasan-alasannya). Siapakah yang melakukannya? (pelakunya).

17

Pada bagian taktik penyidikan (opsporingstactiek) atau bagian hukum pidana, pada umumnya keterangan saksi, alat bukti lain, keterangan terdakwa memegang peranan penting sehingga diperlukan adanya cara dan taktik agar para saksi mau dan dapat memberi keterangan yang benar dan jujur sehingga kesaksian tersebut merupakan salah satu bukti menentukan di persidangan: a. Pemeriksaan saksi dilakukan pada tempat dan waktu yang sesuai dan layak. Hal ini dimaksudkan agar saksi dapat memberikan dengan baik, tenang dan tanpa tekanan psikologis.

keterangan b.

Pemeriksaan dilakukan dengan ramah sehingga menimbulkan rasa simpati dan pertanyaan hendaknya dilakukan secara singkat, tegas dan sesuai materi perkara.

c.

Apabila

saksi

tidak

mempunyai

pendidikan

agar

diusahakan

dibantu mengemukakan tentang apa yang ia alami, ia lihat ataupun ia dengar tentang peristiwa tersebut dengan kata-kata sederhana dan sesuai dan dapat dimengerti olehnya. d. Hendaknya pemeriksaan terhadap saksi jangan diajukan pertanyaan dengan sifat menjerat atau pertanyaan dengan adanya kesimpulan jawaban di dalamnya. e. Diajukan adanya barang bukti, dapat diminta ketegasan keterangan saksi tersebut apabila berbeda jauh dengan keterangan saksi lainnya dan sebagainya.

18

Sedangkan mengenai teknik penyidikan (opsporings-techniek) pada dasarnya suatu pengetahuan tentang teknik identifikasi dan sinyalemen pengetahuan tentang alat dan sarana-sarana teknis dan bekas-bekas materiel dengan bantuan ilmu pengetahuan lainnya sehingga dengan mengetahui siapa pelaku dari tindak pidana tersebut. Dari bagian taktik dan teknik penyidikan ini pada dasarnya bermanfaat dalam melakukan suatu penyidikan kecelakaan lalu lintas khususnya yang menyebabkan matinya orang. 2. Teori Sistem Pembuktian Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst 12 mendefinisikan pembuktian sebagai "pembuktian suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Menurut doktrin, terdapat empat sistem pembuktian, yaitu sebagai berikut. a. Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim

(conviction intime). Dalam sistem ini, penentuan seorang terdakwa bersalah atau tidak hanya didasari oleh penilaian hakim. Hakim dalam melakukan penilaian memiliki subjektifitas yang absolut karena hanya

12

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditia Bakti, 2005, h.106.

19

keyakinan dan penilaian subjektif hakim lah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Mengenai dari mana hakim mendapat keyakinannya, bukanlah suatu permasalahan dalam sisitem ini. Hakim dapat memperoleh keyakinannya dari mana saja. b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (La Conviction Raisonee/Conviction Raisonee). Dalam hal sistem pembuktian ini, faktpr keyakinan hakim telah dibatasi. Keyakian hakim dalam sistem pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction intime karena keyakinan hakim harus disertai alasan logis yang dapat diterima akal sehat. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie) . c. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) . Sistem pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian conviction in time. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam undangundang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti

20

yang sah menurut undang-undang. Sistem ini berusaha menyingkirkn semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras . d. Sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori) . Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undangundang. 13 Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori) .

13

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika, 2001, h.245.

21

3. Teori Sistem Kemanfaatan Hukum Dalam Penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) Dengan Penggunaan Program PC Rect, PC Crash dan CCTV Hukum juga harus memberikan suatu manfaat bagi seseorang, dalam hal kemanfaatan hukum ini teori utilitas (utility) menganjurkan the greatest happiness principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan, atau

masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya. Kebahagiaan berarti kesenangan atau ketiadaan kesengsaraan, ketidakbahagiaan berarti kesengsaraan dan ketiadaan kesenangan. Setiap orang dianggap sama derajatnya oleh teori utilitas. Aliran utilitas yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat.

Penekanannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan alatnya. Adanya negara dan

hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas masyarakat. Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan. Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan. Kebaikan

22

adalah kesenangan atau penyebab kesenangan.14 Adapun yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan seorang individu adalah yang cenderung memperbanyak jumlah kebahagiaan itu. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang membentuk masyarakat itu15. Bahwa tujuan hukum adalah untuk melengkapi penghidupan,

mengendalikan kelebihan, memajukan persamaan dan menjaga kepastian. Hukum harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dengan cara melengkapi kehidupan, mengendalikan kelebihan, mengedepankan persamaan dan menjaga kepastian. Dengan demikian, hukum itu pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Dapat

disimpulkan menurut teori ini, bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik ataa buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut prinsip utilitarian Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif,
14

15

Bentham, Jeremy, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh Nurhadi, Nusamedia & Nuansa, Bandung, 2006, h.26. Ibid.

23

karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah jumlah terbesar(the greatest happiness of the greatest number). Jadi, menurut Bentham prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara kuantitatif belaka.

B. Analisis 1. Pemanfataan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam

Pembuktian Perkara Pidana Pada Umumnya Pemanfataan teknologi informasi di era digital telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendorong perubahan sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Pada hakekatnya sistem informasi secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dengan mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya mencakup fungsi input, process, output, storage, dan communications. Dengan berlakunya rezim Informasi dan Transaksi Elektronik yang dituangkan didalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 maka kita telah memasuki babak kehidupan baru yang berbasis pada pemanfaatan teknologi informasi, media dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Sistem elektronik juga dipergunakan

24

untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara tehnis dan manajemen sebenarnya adalah merupakan perwujudan penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kabutuhan pada organisasi tersebut dan sesuai dangan tujuan peruntukannya. Pembuktian data elektronik adalah salah satu penyelesaian perkara yang menguatkan seorang hakim untuk menguatkan argumennya untuk memberikan sanksi kepada terdakwa di pengadilan. 2. Penggunaan Program PC Rect, PC Crash dan CCTV Dalam Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas Proses penyidikan secara konvensional yang selama ini dilakukan sudah tidak memadai lagi. Dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas saat ini memerlukan waktu yang lama dalam proses TPTKP yang berdampak pada kemacetan arus lalu lintas. Selain itu, hanya mengandalkan kemampuan penyidik untuk dapat menuangkan fakta yang terjadi di TKP ke dalam BAP. Lebih lanjut, berbagai kondisi yang dihadapi penyidik dalam melakukan penyidikan kecelakaan lalu lintas dapat dijelaskan sebagai berikut:

25

1).

Situasi dan kondisi TKP kecelakaan lalu lintas pada saat akan dilakukan Olah TKP selalu berubah, berdampak pada tahap persiapan awal bagi penyidik / koordinasi, alat, sarana dan lain-lain;

2).

Dihadapkan pada kepentingan proses Olah TKP dengan kepentinagn kelancaran arus lalu lintas;

3).

Dalam proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP), tersangka, saksi, saksi ahli, tidak selalu diperoleh data yang akurat;

4).

Keamanan informasi pada tahap proses penyimpanan dan reproduksi data BAP belum maksimal; dan

5).

Masalah validitas pembuktian pidana dalam penyidikan. Dalam rangka meningkatkan kinerja penyidikan kecelakaan lalu lintas, maka

Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya tengah mengembangkan Program PC Crash, sebagai bentuk kondisi yang diinginkan masyarakan sesuai dengan perkembangan zaman saat ini dan masa depan. Penggunaan PC Crash ini terkait dengan modernisasi penyidikan, aspek kemanusian, aspek keadilan, aspek keteraturan, aspek sosial, aspek transformasi, aspek edukasi serta aspek kepastian hukum. Lebih lanjut, penerapan sinkronisasi CCTV dengan Program PC Crash dalam peradilan dapat menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki budaya berlalu lintas di Indonesia. Terdapat beberapa keuntungan Program PC Crash, antara lain sebagai berikut: 1) Meminimalisir terjadinya kerusakan TKP;

26

2)

Olah TKP secara menyeluruh dapat dilaksanakan di kantor penyidik tanpa harus ke TKP;

3)

Keabsahan penyidikan seoptimal mungkin didasarkan pada TKP, (keterangan saksi sebagai pendukung);

4) 5)

Unsur pembuktian mudah di data dan di reproduksi ulang; Dapat menayangkan tayangan ulang peristiwa kecelakaan secara simulasi 3D;

6) 7) 8)

Dapat memperlihatkan avoiden theory/teori penghindaran kecelakaan; Validitas dapat dipertanggungjawabkan; Dapat disinkronisasikan dengan Program PC Rect dan CCTV. Sedangkan keuntungan menginput data gambar dari program PC Rect ke

dalam Program PC Crash dapat diuraikan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) Hemat waktu di TKP maupun dalam pembuatan sketsa TKP Mudah dalam pengukuran jarak di TKP tanpa harus berada di TKP; Pengukurat akurat; Informasi berbentuk digital, mudah untuk dikirim / diterima via komputer / email, mudah disimpan dan mudah untuk diproduksi ulang. Dalam menggunakan sinkronisasi CCTV dengan Program PC Crash, terdapat persyaratan sebagai berikut: 1) 2) 3) Kualitas CCTV; Pusat infolah data / TMC; Akurasi parameter yang akan di input;

27

4) 5)

Diperlukan kapabilitas dari pengguna; Diperlukan anggaran maintenance. Penggunaan PC Crash, dilakukan dalam 4 (empat) tingkatan penugasan,

dijelaskan sebagai berikut. Tingkat Pertama; 1) 2) 3) 4) 5) Kemampuan untuk mengamankan TKP; Memberikan tanda pada TKP; Memberikan informasi awal; Checklist Minded; Kemampuan memberikan solusi untuk kelancaran arus.

Tingkat Kedua; 1) 2) Kemampuan untuk merekam TKP dengan teknik fotogrametri; Kemampuan untuk melakukan hipotesa awal.

Tingkat Ketiga; 1) Kemampuan mengolah fotogrametri dengan Program PC Rect (PC Rect adalah software yang digunakan untuk mem-planarkan foto perspektif sehingga hasil foto menjadi gambar/objek yang terlihat dari atas) ; 2) Kemampuan menganalisa dan mengolah data secara manual dengan hukum fisika dasar; Tingkat Keempat; Kemampauan mensimulasikan kecelakaan berdasarkan parameter dan data yang ada dengan Program PC Crash berupa tayangan simulasi 3D secara ilmiah sesuai dengan

28

fakta di TKP. (Hasil rekaman simulasi dapat dilampirkan pada saat menyerahkan BAP yang sudah P21 kepada penuntut umum dan sebagai bahan pertimbangan Hakim di Pengadilan. 3. Alat Bukti Elektronik (Simulasi Visual Gambar 3D PC Crash) Dalam Pembuktian Pidana Dalam praktik hukum, penggunaan alat perekam dan hasil rekaman telah merupakan bagian dari proses projustisia perkara pidana. Di dalam KUHAP tidak diatur mengenai hasil rekaman sebagai alat bukti16 kecuali keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi danTransaksi Elektronik ditegaskan, alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dokumen elektronik dirumuskan, setiap

informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya,yang dapat dilihat,ditampilkan, dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik. KUHAP mendefinisikan, petunjuk, sebagai suatu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena perse-suaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi

16

Lihat: Pasal 184 KUHAP.

29

suatu tindak pidana dan siapa pelakunya17. Meski demikian, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk sepenuhnya diserahkan kepada hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya18. Pembentuk UU memasukkan

ketentuan ayat (3) tersebut karena alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang masih memerlukan alat bukti lain untuk kesempurnaan pembuktian. Kesempurnaan pembuktian dimaksud tersirat dalam KUHAP19 yang

menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Merujuk pada ketentuan mengenai bukti petunjuk di atas, jelas bahwa bagi seorang hakim diwajibkan untuk menggali alat bukti lain sebagaimana telah diuraikan di atas. Selain itu, terhadap alat bukti petunjuk dituntut kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam memberikan penilaiannya, terutama terhadap ada atau tidak adanya persesuaian antara suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Sudah tentu untuk kesempurnaan pembuktian melalui bukti elektronik (electronic evidence) sehingga hakim memiliki keyakinan atas

17 18 19

Lihat: Pasal 188 ayat 1 KUHAP. Lihat: Pasal 188 ayat 3 KUHAP. Lihat: Pasal 183 KUHAP.

30

terjadinya suatu tindak pidana dan seseorang adalah pelakunya, hakim memerlukan bantuan seorang ahli (keterangan ahli). Alat bukti adalah alat yang digunakan untuk dapat meyakinkan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan harus dapat membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah. Dalam pasal 183 KUHAP dijelaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari rumusan pasal diatas jelaslah bahwa keberadaan alat bukti mutlak harus ada dalam sebuah kasus pidana. Jika tidak ada alat bukti, maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang. Bahkan disebutkan dalam pasal di atas harus ada minimal dua bukti. Dalam teori pembuktian, KUHAP menggunakan sistem negatif Wettelijk yaitu hakim terikat pada alat bukti minimum ditambah keyakinan. Alat bukti di sini terikat pada apa yang ditentukan oleh undang-undang. Istilah negatif wettlijk berarti wettlijk adalah berdasarkan undang-undang sedang negatif artinya bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman, sebelum ia yakin akan kesalahan terdakwa. Alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP adalah Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, KUHAP

31

menggunakan sistem negatif wettlijk, artinya alat bukti yang sah hanyalah alat bukti yang tertera dalam undang-undang saja. Dalam undang-undang ini, macam alat bukti diperluas. Dalam Pasal 5 Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan sebagai berikut: Pasal 5 (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia Dari pasal-pasal diatas, tegas disebutkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang terdapat dalam KUHAP. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, alat bukti elektronik yang sebelumnya hanya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam pengadilan dalam tindak pidana tertentu saja seperti kasus korupsi, terorisme, dan money laundring juga dapat digunakan pada pengadilan pidana biasa, termasuk dalam tindak pidana lalu lintas. Namun bukan berarti data elektronik dapat begitu saja digunakan sebagai alat bukti.

32

Dokumen elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti juga haruslah dokumen yang dapat dijaga validitasnya dan dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dokumen elektronik sangat mudah untuk dimanipulasi sehingga tidak semua dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Dalam kaitannya dengan penggunaan Program PC Rect, PC Crash dan CCTV dalam penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas memiliki aturan dasar hukum yang jelas, yakni dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tepatnya pada Pasal 272, yang berbunyi: Pasal 272 (1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik. (2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Penjelasan Ayat (1) Pasal 272 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan peralatan elektronik adalah alat perekam kejadian untuk menyimpan informasi. Program PC Crah dapat menayangkan tayangan ulang peristiwa kecelakaan secara simulasi 3Dimensi, dan validitasnya dapat

33

dipertanggungjawabkan. Adapun hasil rekaman simulasi dilampirkan oleh Penyidik dengan hasil BAP yang sudah P21 kepada penuntut umum untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan Hakim di Pengadilan. 4. Kedudukan Program PC Crash (Simulasi Visual Gambar 3D) Pada Pembuktian di Pengadilan Dalam Criminal Justice Systems Dalam perspektif sistem peradilan pidana (criminal justice system) pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocesrecht) pada khususnya, aspek pembuktian memegang peranan untuk menentukan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Dikaji secara umum, pembuktian berasal dari kata "bukti" yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan,

menyaksikan dan meyakinkan20. Dikaji dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya Harahap pembuktian" adalah:21 "ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa."
20 21

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, 2005, h.252. Ibid.

34

Dalam penyidikan kecelakaan lalu lintas, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, dengan tolok ukur ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP, untuk dapat dilakukannya tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, bermula dilakukan dan penyidikan sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti. Proses pembuktian pada hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiel akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Seiring dengan perkembangan informasi, teknologi dan komunikasi di era digital saat ini, macam alat bukti telah diperluas dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan: (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
35

Selanjunya, dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, disebutkan alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan UndangUndang ini adalah sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Sedangkan yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) Adapun pengertian dari teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan,

menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. (Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). sedangkan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,

36

diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.22 Ketentuan di atas sejalan dengan ketentuan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 34 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan: sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penerimaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah dalam proses peradilan pidana merupakan langkah maju dalam rangka meningkatkan penegakan hukum (law enforcement). Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Ditlantas Polda Metro Jaya dalam mengemban misisnya yakni menunjukkan kepada masyarakat pengguna jalan raya dalam mengembangkan pelayanan modern dan sekaligus menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
22

Lihat: Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

37

Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya dalam penyidikan kecelakaan lalu lintas telah memiliki payung hukum yang jelas dalam penggunaan program PC Rect, PC Crash dan CCTV yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam Pasal 272 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, juga disebutkan dasar hukum penggunaan peralatan elektonik tersebut, yakni sebagai berikut: (1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik. (2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Selanjutnya, Penjelasan Ayat (1) Pasal 272 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan peralatan elektronik adalah alat perekam kejadian untuk menyimpan informasi. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik

dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

38

1.

dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;

2.

dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

3.

dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4.

dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

5.

memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk23. Program PC Crash dapat menayangkan tayangan ulang peristiwa

kecelakaan

secara

simulasi

3Dimensi,

dan

validitasnya

dapat

dipertanggungjawabkan. Program PC Rect, PC Crash yang disinkronisasikan dengan CCTV telah memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni: dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh, dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan
23

Tjahjono, T., Rancangan Buku Pengantar Analisis dan Prevensi Kecelakaan Lalu Lintas Jalan , Depok, Laboratorium Transportasi Departemen Teknik Sipil, FT UI, 2008, h.3.

39

sistem elektronik, dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik, dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik, dan memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. Kemudian secara teknis dalam proses penyidikan hasil rekaman simulasi dilampirkan oleh Penyidik dengan hasil BAP yang sudah P21 kepada penuntut umum untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan Hakim di Pengadilan.

40

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Dari hasil yang telah dilakukan, maka didapatkan kesimpulan, yakni sebagai berikut. Dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian, khususnya Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya telah dikembangkan pelayanan modern bagi pengguna jalan raya khususnya dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas secara ilmiah, dan penindakan langsung Electronic Traffic Law Enforcement, selain fungsi edukasi yang diharapkan dapat merubah mindset masyarakat pengguna kendaraan bermotor agar lebih tertib dan teratur di jalan raya. Produk unggulan yang kini diterapkan oleh Ditlantas Polda Metro Jaya adalah dengan menggunakan program PC Rect, PC Crash yang disinkronisasikan dengan CCTV. Sebagai sebuah inovasi dari informasi dan teknologi yang terus mengalami perkembangan zaman, maka program IT yang akan digunakan tentu juga akan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan yang sifatnya up to date dan akuntabel. Kesemuanya itu, dilakukan untuk tercapainya tujuan akhir yang ideal yakni mewujudkan polisi yang menjunjung tinggi hukum, memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia, terwujudnya transparansi dan akuntabilitas serta orientasi pada penghormatan kualitas hidup masyarakat.

41

Secara khusus pengembangan program PC Rect, PC Crash yang disinkronisasikan dengan CCTV, diharapkan dapat meminimalkan angka kecelakaan lalu lintas sebagai bagian fungsi preventif dengan meningkatkan program edukasi kepada masyarakat pengguna jalan raya, meningkatkan kinerja penyidikan dalam kerangka sistem peradilan pidana terpadu dan sekaligus meminimalkan angka kecelakaan lalu lintas. Maksimalnya penerapan program unggulan Ditlantas Polda Metro Jaya ini ditentukan oleh faktor-faktor yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan yakni, pertama; proses penyidikan menggunakan IT, kedua; hasil penyidikan dapat dibuktikan secara ilmiah dan ketiga; hukum diterapkan secara tegas oleh aparat. Ketiga faktor-faktor tersebut merupakan kunci keberhasilan dari program unggulan yang dikembangkan oleh Ditlantas Polda Metro Jaya.

B. Saran Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan sumbangsaran berkaitan dengan penulisan makalah ini, yakni: 1. Diperlukan peningkatan kemampuan penyidik pada Ditlantas Polda Metro Jaya dibidang penggunaan IT, agar proses dan hasil penyidikan secara ilmiah dengan penggunaan berbagai program (PC Rect dan PC Crash) dapat digunakan sebagai pembuktian yang sah di pengadilan. 2. Diperlukan sosialisasi lebih lanjut keberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, kepada

42

pengguna kendaraan bermotor dengan melibatkan berbagai instansi terkait agar terwujud perubahan mindset masyarakat dan

meminimalkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.

43

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku Abd. Choliq, Kapita Selekta Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika, 2001. ________, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Cet I, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. ________. Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. ________. Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Arif Budiarto dan Mahmudah, Rekayasa Lalu Lintas, Penerbit : UNS Press, 2007. Bentham, Jeremy, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh Nurhadi, Nusamedia & Nuansa, Bandung, 2006. Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia. PT. Radjagrafindo Persada, Jakarta, 1996. Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditia Bakti, 2005, h.106. Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Tatanusa, Jakarta, 2001. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1995. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, 1988.

44

Lilik

Mulyadi,

Hukum Acara Pidana Normatif,

Teoretis,

Praktik dan

Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007. Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB, Bandung, 1997. R. Soesilo, dan M. Karjadi, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politea, 1997. R. Soesilo, Taktik & Teknik Penyidikan Perkara (Criminal), Bogor: Penerbit Politeia, 1974. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1986. _________. Pengantar Penelitian Hukum, Ul.Press, Jakarta, 1986. _________. Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Tjahjono, T., Rancangan Buku Pengantar Analisis dan Prevensi Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, Depok, Laboratorium Transportasi Departemen Teknik Sipil, FT UI, 2008. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Republik Indonesia, Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

45

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

46

You might also like