You are on page 1of 31

CHAPTER 4

TRANSLATE OF WILLIAM GYNECOLOGY

CHAPTER 4

Page 1

Bab 4. Kelainan Jinak Saluran Reproduksi Bawah KELAINAN JINAK SALURAN REPRODUKSI BAWAH : PENGANTAR Saluran reproduksi bawah terdiri dari vulva, vagina, dan serviks yang dapat menjadi wilayah yang luas untuk munculnya penyakit neoplasma jinak, premaligna, dan ganas. Karekteristik lesi sering tumpang tindih, dan membedakan antara varian normal, penyakit neoplasma jinak, dan lesi yang berpotensi gawat dapat menjadi tantangn. Namun demikian, lesi jinak saluran reproduksi bawah adalah hal yang umum, dan pada praktik ginekologi, penguasaan identifikasi dan perawatan adalah hal yang penting. LESI VULVA Kulit vulva lebih permeabel daripada jaringan di sekitarnya dikarenakan adnaya perbedaan struktur, hidrasi, oklusi, dan kerentanan terhadap gesekan (Farage, 2004). Akibatnya, kelainan patologis di vulva adalah hal yang umum terjadi, meskipun memperkirakan insidensinya adalah hal yang sulit karena kurangnya laporan dari pasien dan misdiagnosis klinisi. Lesi yang muncul dapat diakibatkan oleh infeksi, trauma, neoplasia, atau respon kekebalan tubuh. Sebagai akibatnya, gejala yang timbul dapat bermacam-macam termasuk nyeri, gatal, disparenia, perdarahan, dan discharge. Terapi yang efektif tersedia untuk sebagian besar penyakit, namun rasa malu dan takut dapat menjadi penghalang yang signifikan bagi kebanyakan wanita untuk menjalani perawatan. Dermatosis Nonneoplastik pada Vulva Klasifikasi kelainan neoplastik pada kulit dan mukosa vulva telah mengalami berbagai pengulangan selama lebih dari 30 tahun terakhir dalam rangka mengkatagorikan temuan histologik dan klinik dengan akurat. International Society for the Study of Vulvovaginal Disease (ISSVD) pertama kali mengadakan konvensi pada tahun 1970 sebagai komunitas internasional, multidisiplin yang berdedikasi terhadap penelitian penyakit vulva. Pada 1987, ISSVD mengadopsi nomenklatur berdasarkan perubahan hitopatologik dan gambaran lesi yang tampak (Tabel 4-1). Untuk penyakit-penyakit yang dapat menunjukkan gambaran histologik yang bervariasi, beberapa kali biopsi vulva dapat diperlukan untuk klasifikasi yang tepat. Tabel 4-1. Klasifikasi Dermatosis Vulva Menurut International Society for the Study of Vulvovaginal Disease 1. Hiperplasia sel skuamus 2. Liken sklerosus 3. Dermatosis lainnya a. Inflamasi b. Lesi bulosa c. Lesi ulseratif Dari Kiryu, 1990, dengan persetujuan.

CHAPTER 4

Page 2

HIPERPLASIA SEL SKUAMUS (LIKEN SIMPLEKS KRONIK) Trauma kronik akibat gosokan atau garukan dapat menimbulkan likenifikasi, sebuah respon pertahanan lapisan kulit yag terlibat. Penebalan lapisan epidermis (akantosis) dan stratum corneum (hyperkeratosis) menghasilkan karakteristik penebalan yang dapat diraba dengan peninggian batas kulit. Sebagian besar lesi hiperplasia sel skuamus bersifat simetris bilateral dan dapat meluas hingga di bawah labia mayor. Faktor resiko perilaku untuk berkembangnya hiperplasi sel skuamus termasuk gosokan persisten, garukan kronik, dan perkembangan siklus gatal-garuk kronik (Lynch, 2004). Adanya banyak faktor pemicu, termasuk substansi kimia yang terdapat dalam produk higienitas dan obat topical (Virgili, 2003). Pemeriksaan fisik dari daerah yang terpapar menunjukkan adanya ekskoriasi dengan latar belakang kulit eritematus. Korelasi temuan fisik tersebut dengan informasi riwayat biasanya cukup untuk sampai pada diagnosis. Perawatan termasuk memutus siklus gatal-garuk. Salep steroid topical membantu mengurangi inflamasi, sementara lubrikan dan cuci sitz membantu mengembalikan fungsi barier kulit. Jika gejala tidak membaik dalam 1 hingga 3 minggu, biopsi menjadi indikasi untuk menyingkirkan kelainan patologik lainnya. LIKEN SKLEROSUS Sejak adanya laporan kasus pertama dalam literatur pada akhir 1980an, liken sklerosus telah terkacaukan oleh terminologi yang membingungkan yang semuanya mengarah pada proses yang sama: liken sklerosus et atrofikus, liken albus, kraurosis vulva Briesky, dan balanitis xerotika obliterans. Friedrich (1976) pertama kali menyarankan bahwa proses histologiknya lebih dari sekedar atrofi. Akibatnya, ISSVD mengadopsi istilah liken sklerosus secara resmi untu mendefinisikan kondisi inflamasi kulit kronik tersebut yang mempengaruhi kulit anogenital secara predominan (Moyal-Barracco, 2004). Insidensi Liken sklerosus secara klasik muncul pada wanita post-menopause, meskipun ditemukan pula kasus serupa pada wanita pre-menopause, anak-anak, dan bahkan pria (usia 30 hingga 50). Pada klinik dermatologi rujukan, liken sklerosus ditemukan anatara 1:300 dan 1:1000 kasus dengan kecenderungan pada orang Kaukasia (Wallace, 1971). Lainnya memperkirakan insidensi liken sklerosus pada kanak-kanak sekitar 1:900 (lihat Bab 14, Liken Sklerosus) (Powell, 2001). Patofisiologi Meskipun penyebab liken sklerosus masih belum diketahui, etiologi genetik, infeksi, hormonal, dan autoimun telah dimungkinkan. Kurang lebih 20 hingga 30 persen pasien dengan liken sklerosus memiliki proses autoimun lainnya, pada penyakit tiroid tertentu dan diabetes mellitus (Goolamali, 1974; Meyrick Thomas, 1988). Sebagai tambahan, hampir 75 persen pasien memiliki autoantibodi yang bersirkulasi dalam tubuh (Harrington, 1981). Perbedaan hormonal telah ditelaiti oleh sumber lain. Friedrich dan Kalra (1984) membandingkan level androgen serum dan estrogen pada wanita dengan liken sklerosus dengan kelompok kontrol
CHAPTER 4 Page 3

yang usianya sesuai. Baik level dihidrotestosteron (DHT) maupun androstenedion lebih rendah secara signifikan pada wanita dnegan liken sklerosus, dan berimplikasi pada aktivitas lokal dari 5-reduktase yang menurun. Akibat penelitian ini, salep testosterone 2-persen mulai dilirik untuk perbaikan liken sklerosus dan liken sklerosus yang disertai hiperplasia sel skuamus (Friedrich, 1985; Kaufman, 1974). Sayangnya, hasil tersebut belum dilanjutkan dalam penelitian lanjutan dan testosterone tidak lagi direkomedasikan dalam perawatan liken sklerosus (Bornstein, 1998; Cattaneo, 1996; Sideri, 1994). Meskipun terdapat bermacam-macam mekanisme yang dikemukakan, penyebab liken sklerosus tampa disebabkan oleh multifactor. Resiko Selain diklasifikasikan sebagai dermatosis nonneoplastik, pasien dengan liken sklerosus telah menunjukkan peningkatan resiko keganasan vulva. Sel atipik yang dibuktikan melalui biopsi khas mengawali diagnosis karsinoma sel skuamus invasive. Sehingga, wanita dengan liken sklerosus seharusnya diperiksa setiap 4 hingga 6 bulan dan lesi yang baru atau berubah sebaiknya dibiopsi. Gejala Liken Sklerosus Selain beberapa wanita menunjukkan asimtomatik lengkap, sebagian besar wanita dengan liken sklerosus akan mengeluhkan gejala anogenital. Gejala yang menjadi hallmark, meskipun nonspesifik, adalah pruritus pada vulva dan dianggap berasal dari inflamasi local serabut saraf terminal. Garukan yang timbul karena pruritus menciptakan siklus yang buruk yang menimbulkan ekskoriasi dan selanjutnya menimbulkan penebalan kulit vulva. Gejala lambat dapat termasuk dispareni akibat perubahan arsitektur, tenesmus, disuria, dan anorgasmia. Diagnosis Banding Meskipun temuan klinik dapat mengarah pada liken sklerosus, konfirmasi histologik membantu pemilihan terapi yang tepat. Liken planus dan vulvar intraepithelial neoplasia (VIN) dapat disingkirkan secara histologik melalui biopsi. Meskipun vitiligo menimbulkan pola depigmentasi yang hamper sama dengan liken sklerosus, arsitektur vulva masih tetap intak pada vitiligo. Atrofi akibat defisiensi estrogen akan menimbulkan penipisan epidermis dengan adhesi labial dan dispareni akibat hal tersebut. Tidak adanya perkembangan dengan terapi estrogen lokal, biopsi vulva akan membantu identifikasi penyakit yang mendasari. Pada anak-anak, liken sklerosus merupakan kepentingan untuk mengidentifikasi kemungkinan pelecehan seksual sebelumnya. Pelecehan seksual dan trauma telah dianggap sebagai provokator yang mungkin pada liken sklerosus pada individu yang memiliki predisposisi genetic (Ridley, 1993; Weiss, 2002). Diagnosis
CHAPTER 4 Page 4

Karakteristik gambaran klinik dan konfirmasi histologik yang khas akan mengarahkan pada diagnosis. Sayangnya pada kasus yang sudah berlangsung lama, gambaran histologik yang muncul dapat tidak spesifik, dan pertimbangan klinik dengan surveilans yang ketat akan mengarahkan rencana pemberian terapi. Pemeriksaan Fisik Seperti yang telah dsebutkan sebelumnya, perkembangan vulva dan perianal terlihat pada hampir 85 persen kasus. Papula khas yang berwarna putih dan atrofi dapat bergabung menjadi plak berwarna putih porselen dan menimbulkan regresi labia minor, penutupan klitoris, obstruksi uretra, dan stenosis introitus. Sepanjang perjalanan lesi dapat menyebar ke perineum dan anus dan membentuk gambaran angka-8 atau bentuk jam pasir (Gbr. 4-1) (Clark, 1967). Pemeriksaan Laboratorium Hubungan yang konsisten antara liken sklerosus dan kelainan autoimun seperti penyakit Graves, diabetes mellitus tipe 1 dan 2, sistemik lupus eritematosus, dan aklorhidria, dengan atau tanpa anemia pernisiosa, telah dilaporkan pada pasien dengan liken sklerosus (Bor, 1969; Helm, 1991; Kahana, 1985; Poskitt, 1993). Dari hal tersebut, pemeriksaan yang dilakukan bersama-sama pada kelainan ini diindikasikan jika terdapat temuan sugestif lainnya. Biopsi Vulva Plak putih yang menebal pada vulva secara khas akan mendorong dilakukannya biopsi vulva untuk menyingkirkan lesi pre-invasif dan invasive. Untuk melakukan biopsi, perlengkapan yang ditunjukkan pada Gbr. 4-2 harus dipersiapkan. Daerah yang akan dibiopsi pertama kali dibersihkan dengan cairan antimikroba dan diinfiltrasi dengan larutan lidocaine 1 atau 2 persen. Biopsi dikerjakan dengan instrumen punch biopsy Keyes. Peralatan tersebut memiliki ujung terbuka, melingkar, dan tajam yang didesain untuk menyingkirkan inti jaringan vertikal ketika ditekan ke kulit. Sekali dermis telah dipotong, gunting diseksi halus digunakan untuk memotong biopsi yang melingkar dan membebaskannya. Keyes punch tersedia dalam berbagai diameter, berkisar antara 2 hingga 6 mm, dan pemilihan ukuran secara khas berdasarkan dimensi lesi. Setelah eksisi, perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung, batang perak nitrat, atau larutan Monsel. Perawatan Jika tidak terdapat solusi penyembuhan, tujuan perawatan untuk liken sklerosus termasuk meringankan gejala, pencegahan perubahan anatomik yang progresif, dan deteksi dini perubahan keganasan. Pendekatan multidisiplin termasuk edukasi pasien, perubahan perilaku, dukungan psikologik, dan terapi farmakologi pada klinik vulva yang resmi memberikan hasil yang optimal. Edukasi Pasien

CHAPTER 4

Page 5

Kebersihan vulva adalah salah satu dasar penatalaksanaan liken sklerosus (Tabel 4-2). Modifikasi yang dilakukan dipusatkan untuk meminimalkan baik iritasi kimia dan tekanan pada kulit. Tabel 4-2. Rekomendasi Vulvar Hygiene Hindari penggunaan gel, produk cuci beraroma, tisu dengan pelembab, dan sabun, karena mungkin mengandung bahan iritan Gunakan krim berbahan dasar air untuk membersihkan vulva Hindari penggunaan handuk yang kasar untuk mengelap vulva Usap vulva perlahan untuk mengeringkan Hindari penggunaan celana dalam ketat Disarankan memakai celana dalam berbahan katun putih Hindari mencuci pakaian dalam dengan menggunakan deterjen cuci pakaian. Cuci dan keringkan secara terpisah. Lakukan proses pengeringan bertahap dengan air dingin untuk membersihkan deterjen yang tersisa. Gunakan rok dan tanpa pakaian dalam ketika di rumah dan pada malam hari untuk menghindari gesekan dan membantu tetap kering Sebagai tambahan, kronisitas liken sklerosus dan kurangnya penyembuhan secara alami menimbulkan emosi pada individu. Kelompok pendukung internasional yang berdedikasi pada liken sklerosus, seperti yang ditemukan pada www.lichensclerosus.org, dapat memerlukan dukungan psikologis lebih banyak. Kortikosteroid Topikal Terapi lini pertama untuk liken sklerosis adalah preparat kortikosteroid topical ultrapoten seperti clobetasol propionate 0,05 persen (Termovate, GlaxoSmithKline, Philadelphia, PA), atau halobetasol propionate 0,05 persen (Ultravate, Bristol-Myers Squibb, New York, NY). Formulasi salep dapat ditoleransi dengan lebih baik karena bahan alergenik yang minimal, meskipun beberapa praktisi lebih memilih produk berbahan dasar krim (Tabel 4-3). Selain resiko supresi aksis hipofisis-adrenal secara teoritis dan sindroma Cushing iatrogenik jika dihunakan dalam dosis yang besar untuk jangka waktu yang diperpanjang, clobetasol propionate diyakini memiliki efek anti-inflamasi, anti-pruritik, dan bahan vasokonstriktif yang efektif (Paslin, 1996). Tabel 4-3. Pedoman Pengobatan Topikal Kelas Steroid Nama Generik Potensi lemah

Merk Dagang dan (sediaan)

Aclometasone dipropionate Aclovate (krim, salep) 0,05% Betamethasone valerate Vallisone (krim, lotion) 0,01%

Dosis (pemakaian tipis) 2x atau 3x sehari 1x atau 2x sehari

CHAPTER 4

Page 6

Flucinolone acetonide 0,01% Synalar (larutan) Hydrocortisone base atau Versi generik 1% [OTC] atau aceate 1%, 2,5% Hytone, Hycort, atau Caldecort 1%, 2,5% (krim, salep, lotion) Potensi menengah Betamethasone valerate 0,1% Valisone (krim, lotion, salep) Desonide 0,05% DesOwen (krim, salep, lotion) Flucinolone acetonide Synalar (krim, salep) 0,025% Flurandrenolide 0,025%, Cordran (krim, salep) 0,05% Fluticasone 0,005%, 0,05% Cutivate 0,005% (salep), 0,05% (krim) Hydrocortisone butyrate 0,1% Locoid (krim, salep, larutan) Hydrocortisone valerate 0,2% Westcort (krim, salep) Prednicarbate 0,1% Dermatop (krim, salep) Triamcinolone 0,025%, 0,1% Aristocort, Kenalog (krim, salep, lotion) Potensi kuat Amcinonide 0,1% Betamethasone dipropionate Diprolene, Diprosone (krim) 0,05% Desoximethasone 0,05%, Topicort (krim) 0,25% Diflorasone diacetate 0,05% Psorcon (krim, salep) Fluocinonide 0,05% Lidex (krim, gel, salep) Flucinolone acetonide 0,2% Synalar-HP (krim) Halcinonide 0,1% Halog (krim, salep, larutan) Ultrapoten Triamcinolone 0,5% Aristocort, Kenalog (krim, salep) Betamethasone dipropionate Diprolene (salep, gel) augmented 0,05% Clobetasol propionate 0,05% Temovate (krim, gel, salep) Diflorasone 0,05% Psorcon (krim, salep) Halobetasol propionate Ultravate (krim, salep) 0,05% OTC = over the counter

2x atau 3x sehari 3x atau 4x sehari

1x atau 2x sehari 2x atau 3x sehari 2x atau 3x sehari 2x atau 3x sehari 1x atau 2x sehari 2x atau 3x sehari 2x atau 3x sehari 2x sehari 2x sehari

1x atau 2x sehari 2x sehari 2-3x sehari 2x atau 3x sehari 2x atau 3x sehari 1x atau 3x sehari 3x atau 4x sehari 1x atau 2x sehari 2x sehari 2-4x sehari 2x sehari

Salah satu uji coba prospektif yang terdahulu oleh Bracco dan kawan-kawan (1993) menemukan bahwa clobetasol propionate 0,05% lebih baik daripada testosterone topikal 2 persen dan
CHAPTER 4 Page 7

progesterone 2 persen. Rangkaian penelitian selanjutnya memperkuat temuan tersebut (Cooper, 2004). Inisiasi perawatan direkomendasikan dalam 2 tahun onset gejala untuk mencegah perlukaan yang signifikan. Jadwal pengaturan dosis obat yang direkomendasikan saat ini oleh British Association of Dermatologists adalah clobetasol propionate 0,05 persen sekali tiap malam selama 4 minggu, diikuti dengan pemberian berselang malam selama 4 minggu, dan akhirnya dikurangi perlahan sampai dua kali seminggu selama 4 minggu. Pada wanita yang terpapar, setelah rangkaian terapi awal, rekomendasi untuk terapi pemeliharaan bervariasi dan berkisar anatara penggunaan kortikosteroid hanya jika diperlukan hingga terapi dua kali seminggu. Liken sklerosus vulva pre-menarche juga telah memperlihatkan respon yang baik terhadap salep clobetasol propionate topikal (liaht Bab 14, Liken Sklerosus) (Smith, 2001). Rangkaian terapi yang lebih singkat (2 hingga 4 minggu) disarankan, dan rangkaian terapi yang lebih panjang dipersiapkan untuk kasus resistensi. Kortikosteroid Intralesi Terdapat suatu penelitian pada delapan pasien yang mengevaluasi kemanjuran infiltrasi 25-30 mg triamcinolone hexacetonide intralesi sekali sebulan yang dibagi sama rata untuk 3 bulan. Skor keparahan berkurang pada seluruh kategori termasuk gejala, gambaran klinik, dan temuan histopatologik (Mazdinian, 1999). Estrogen Topikal Terapi estrogen diindikasikan untuk perubahan atrofik seperti pruritus, penipisan epidermis, fusi labial, dan dispareni. Namun demikian, terapi estrogen topikal tidak direkomendasikan sebagai terapi primer untuk liken sklerosus. Retinoid Tretinoin topical mengurangi hiperkeratosis,, memperbaikai perubahan displastik, menstimulasi kolagen dan sintesis glikosaminoglikan dan menginduksi angiogenesis lokal (Eichner, 1992; Kligman, 1986a, 1986b; Varani, 1989). Virgili dan kawan-kawan (1995) mengevaluasi efek tretinoin topikal 0,025 persen (Retin-A, Ortho Dermatological, Skillman, NJ; Avita, Mylan Pharmaceuticals, Morgantown, WV) yang digunakan sekali sehari, lima hari seminggu selama 1 tahun. Remisi lengkap dari gejala terlihat pada lebih dari 75 persen wanita. Namun demikian, lebih dari seperempat pasien mengalami iritasi kulit, yang umum terjadi pada penggunaan retinoid (lihat Bab 17, Retinoid Topikal) (Virgili, 1995). Tacrolimus Tacrolimus, (Prtootpic, Astellas Pharma, Deerfield, IL), adalah inhibitor calcineurin topikal yang diindikasikan unuk eksim moderat hingga parah, telah menjadi agen yang menarik akhir-akhir ini. Obat tersebut bekerja secara menghambata aktivitas sel T yang spesifik antigen dan produksi sitokin pada proses proinflamasi terkait. Assmann (2003) melaporkan perawatan yang sukses
CHAPTER 4 Page 8

pada liken sklerosis vulva dnegan menggunakan tacrolimus 0,1 persen dua kali sehari. Keuntungan tacrolimus jika dibandingkan dengan kortikosteroid adalah secara teori, untuk menghindari perubahan atrofik karena sintesis kolagen tidak terpengaruh (Assmann, 2003 ; Kunstfeld, 2003). Namun demikian, sehubungan dengan perhatian Food and Drug Administration (FDA) A.S akan kaitannya dengan berbagai kanker, klinisi akan berlatih berhatihati ketika meresepkan pengobatan untuk penggunaan yang diperpanjang (Food and Drug Administration AS, 2006). Terapi Fotodinamik Para penilai telah mengevaluasi efek dari fototerapi setelah pre-perawatan dengan menggunakan asam 5-aminoleulinat pada satu seri penelitian kecil terhadap 12 wanita post-menopausae dengan liken sklerosis tahap lanjut. Pengurangan gejala yang signifikan pada pasien dengan perbaikan yang terus-menerus hingga selama 9 bulan telah disadari (Hillemanns, 1999). Pembedahan Intervensi pembedahan sebaiknya dipersiapkan untuk kasus keganasan atau sequelae yang signifikan post-inflamasi. Sebagai contoh, Rouzier dan kawan-kawan (2002) mendeskripsikan perbaikan yang disadari pada dispareni dan kualitas hubungan seksual jika dilakukan perineoplasti pada permukaan stenosis introitus (Bagian 41-9, Vestibulektomi). Prosedur Fenton yang dimodifikasi, yaitu reseksi forset posterior, adalah sebuah pilihan untuk pasien dengan perlukaan pada bagian tersebut. Akhirnya, adhesi litorikal dapat di-diseksi melalui pembedahan untuk membebaskan penutup glans. Re-aglutinasi dapat dihindari dengan menggunakan penghalang aglutinasi seperti Surgicel (Ethicon, Piscataway, NJ) dikombinasikan dengan pemakaian salep steroid topikal ultrapoten dimalam hari (Breech, 2000). Dermatosis Lainnya INFLAMASI Dermatitis Kontak Iritan primer atau substrat alergik dapat menimbulkan inflamasi pada kulit vulva yang disebut sebagai dermatitis kontak (Gbr. 4-3). Kondisi tersebut adalah hal yang umum dan pada kasus pruritus vulva dan inflamasi yang tidak bisa dijelaskan, dermatitis kontak iritan didiagnosis pada sebanyak 54 persen pasien (Fischer, 1996). Dermatitis kontak iritan secara klasik muncul sebagai rasa terbakar dan menyengat yang muncul tiba-tiba akibat pajanan terhadap agen penyebab. Sebaliknya, pasien dengan dermatitis kontak alergika mengalami onset lambat dan rangkaian pruritus yang intermiten dan eritema yang terlokalisasi, edema, dan vesikel atau bula (Margesson, 2004). Riwayat yang terperinci akan membantu dalam membedakan antara dua hal yang berkaitan tapi terpisah. Pemeriksaan terhadap bahan kebersihan baru, produk kebersihan pribadi, douches, metode kontraseptif, pengobatan topikal, atau parfum dapat membantu mengidentifkasi sumber baru alkohol, antiseptik, atau surfaktan (Tabel 4-4) (Crone, 2000; Fischer, 1973; Marren, 1992).
CHAPTER 4 Page 9

Tabel 4-4. Agen Penyebab yang Umumnya Ditemukan pada Dermatitis Kontak Alergika Ethylene diamine Neomycin Framycetin Clobetasol propionate Sodium betabisulfite (ditemukan dalam preparat antifungal topikal) Benzocaine (reaksi silang dengan obat berbahan dasar sulfa) Lanolin Thiuram (ditemukan dalam kondom lateks) 4-phenylene diamine (ditemukan dalam pewarna hitam celana dalam) Bahan kosmetik Pembalut Disusun dari Crone, 2000, Fisher, 1973, dan Marren, 1992, dengan ijin. Pada dermatitis kontak alergika, patch test dapat membantu dalam identifikasi alergen yang terlibat. Kondisi terkait seperti kandidiasis, psoriasis, hiperplasia sel skuamus, dermatitis seboroik, dan karsinoma sel skuamus dapat disingkirkan melalui penggunaan biopsy yang tepat dan kultur. Perawatan untuk kedua hal tersebut melibatkan penghindaran agen penyebab dan/atau lahraga, pengembalian barier pelindung alami kulit, mengurangi inflamasi, dan menghindari garukan (Tabel 4-5) (FArage, 2004; Margesson, 2004). Tabel 4-5 Algoritma Perawatan Dermatitis Kontak pada Vulva 1. Hentikan kontak dengan agen penyebab dan/atau olahraga 2. Fungsi barier kulit vulva yang benar a. Cuci Sitz dua kali sehari dengan air biasa b. Aplikasi minyak plain 3. Obati setiap infeksi penyebab a. Terapi antifungal oral b. Pemberian antibiotik oral 4. Mengurangi inflamasi a. Steroid topikal dua kali sehari selama 1 hingga 3 minggu i. Salep clobetasol propionate 0,05% ii. Salep triamcinolone 0,1% b. Sterois sistemik untuk iritasi berat 5. Putus siklus gatal-garuk a. Kompres dingin (Bukan kompres es, karena dapat melukai kulit) b. Yogurt dingin, plain pada pembalut selaa 5 sampai 10 menit c. Berikan SSRI (sertraline 50-100 mg) atau antihistamin
CHAPTER 4 Page 10

(hydroxyzine 25-100 mg) SSRI = selective serotonin-reuptake inhibitors. Diadaptasi dari Margesson, 2004, dengan ijin. Intertrigo Gesekan antara permukaan kulit lembab yang berlawanan menimbulkan kondisi kronik ini. Meskipun sebagian besar terlihat pada aspek paha sisi dalam dari lipatan genitocruris, kelinan pada kulit juga dapat ditemukan pada regio inguinal dan intergluteal. Infeksi sekunder bakteri dan jamur dapat menjadi komplikasi proses penyakit tersebut. Fase eritema awal, jika tidak ditangani, dapat berembang menjadi inflamasi intens yang disertai dengan erosi, eksudasi, fissura, maserasi, dan krusta (Mistiaen, 2004). Hiperpigmentasi yang menyertai dan perubahan berbentuk veruka dapat terlihat. Gejala khas yang muncul termasuk rasa terbakar dan gatal. Perawatannya memerlukan agen pengering seperti kanji jagung dan aplikasi kortikosteroid topikal ringan pada permukaan inflamasi. Jika kelainan kulit tidak memberikan respon, maka dermatitis seboroik, psoriasis, dermatitis atopik, pemfigus vegetans, atau bahkan skabies sebaiknya ditegakkan. Jika superinfeksi dengan bakteri atau jamur muncul, maka diperlukan terapi yang sesuai yang berdasarkan hasil kultur. Untuk mencegah outbreak terulang, pasien obesitas dimotivasi untuk mengurangi berat badan jika memungkinkan. Rekomendasi pencegahan lainnya termasuk memakai pakaian longgar, ringan yang dibuat dari serat alami (Janniger, 2005). Eksim Atopik Secara klasik muncul pada 5 tahun pertama kehidupan, dermatitis atopic muncul sebagai dermatitis pruritik berat yang mengikuti episode relaps dan kronik. Gambaran serupa sisik dengan fissura dapat ditemukan pada pemeriksaan. Eksim atopik dikeluhkan pada 10 hingga 20 persen anak-anak di Amerika Serikat, dan anak-anak tersebut dapat berkembang menjadi rhinitis alergika dan asma (SPergel, 2003). Steroid topikal dan yang tidak biasa dipakai, imunomodulator, seperti tacrolimus, dapat digunakan untuk mengatasi flare (Leung, 2004). Pada kondisi kulit kering, hidrasi lokal dengan menggunaan emollient dan minyak cuci dapat meredakan keluhan. Psoriasis Kurang lebih 1 sampai 2 persen populasi Amerika Serikat mengalami psoriasi, sebuah kondisi yang diatandai dengan daerah kulit yang mengalami penebalan, berwarna merah tertutup sisik perak pada permukaan ekstensor (Gbr. 4-4). Lebih dari dekade trakhir, pandangan mengenai pathogenesis yang dimediasi sel T telah merevolusi pemahaman mengenai penyakit ini (Chamian, 2004). Dirasakan bahwa reaksi inflamasi tipe 1 yang dimediasi sel T pada kulit berhubungan dengan hiperproliferasi keratinosit (Lebwohl, 2003 ; Zhou, 2003). Penelitian ini telah membentuk kerangka konsep untuk imunoregulator biologik yang menjadi target sel T. Alefacept (Amevive, Astellas Pharma,
CHAPTER 4 Page 11

Astellas Pharma, Deerfield, IL), efalizumab (Raptiva, Genetech, South San Fransisco, CA), dan infliximab (Remicade, Centocor, Horsham, PA) disetujui oleh FDA untuk perawatan psoriasis (Ristchin, 2006). Psoriasis dapat mengalami eksaserbasi oleh stres dan menstruasi denga remisi yang dialami selama bulan musim panas dan pada kehamilan. Pruritus dapat muncul minimal atau tidak ada sama sekali, dan psoriasis sering didiagnosis hanya melalui temuan pada kulit. Perawatan untuk gejala yang berat tersedia untuk psoriasi, dan recalcitrant hingga kortikosteroid topikal dikelola paling baik oleh seorang dermatologis. Kortikosteroid topikal digunakan secara luas untuk onset aksi cepat dan keefektivan. Analog vitamin D seperti calcipotriene (Dovonex, Warner Chilcott, Rockaway, NJ), meskipun mirip dengan kortikosteroid poten dalam hal kemanjuran, berkaitan dengan iritasi loal, yang terlihat pada lebih dari 20 persen pasien (Smith, 2006). Fototerapi dengan sinar ultraviolet B dan fotokemoterapi (psoralen plus sinar ultraviolet A, PUVA) memberikan pengurangan gejala jangka pendek, namun perencanaan perawatan jangka panjang memerlukan pendekatan tim multidisiplin (Griffiths, 2000). Agen biologik yang lebih baru seperti efalizumab, alefacept, dan infliximab, masih kekurangan data dalam kemanjuran dan keamanan penggunaan jangka panjang (Smith, 2005). LIKEN PLANUS Insidensi dan Etiologi Liken planus, sebuah penyakit yang tidak umum yang melibatkan baik permukaan kutan dan mukosa, yang dapat muncul pada pria dan wanita berusia antara 30 dan 60 tahun (Mann, 1991). Meskipun sebagian besar etiologi liken planus tidak diketahui, diyakini bahwa hal tersbut terkait dengan autoimunitas yang terkait sel T pada basal keratinosit (Goldstein 2005). Diagnosis Wanita secara khas mengeluh adanya discharge vagina kronik dengan pruritus yang intens, dispareni, dan perdarahan paska senggama. Pada pemeriksaan fisik, papula yang umumnya terlihat dengan liken planus berwarna lembayung, datar, berkilau dengan bentuk segi banyak dan sering muncul pada permukaan fleksor ekstremitas, badan, atau mukosa pipi (Gbr 4-5) (Goldstein, 2005; Zellis, 1996). Sebagai tambahan, striae putih (striae Wickham) sering ditemukan pada sambungan papula, dan dapat ditemukan distrofi kuku. Liken planus pada vulva dapat muncul sebagai satu dari tiga varian berikut: (1) liken planus erosif, (2) liken planus papuloskuamus, dan (3) liken planus hipertrofi. Tabel 4-6 merangkum gambaran liken planus yang umum. Lesi likenoid akibat obat juga telah diimplikasikan (Tabel 47).

el 4-6 Diagnosis Banding Liken Planus as Liken Planus Kondisi Mimicking en planus erosif Liken sklerosus

Gambaran kunci Kondisi Mimicking Tidak melibatkan vagina; dikonfirmasi melalui pemeriksaan histologik
Page 12

CHAPTER 4

Pemfigus vulgaris atau pemfigus Ulserasi erosif dangkal dengan keterlibatan membran mukosa jinak vagina yang jarang ; dikonfirmasi melalui imunofluoresensi histologi (Catatan : biopsi pada epitel normal sekitar Penyakit Behasset Tidak melibatkan vagina; akan melibatkan mata; inflamasi perivaskuler Vulvitis sel plasma Jarang; tidak ada lesi mulut Eritema multiforme mayor / Sindroma Steven-Johnson gejala sistemik Desquamative inflammatory Discharge vagina akan meningkatkan pH, vaginitis jumlah sel darah putih, dan sel parabasal en planus papuloskuamus Molluscum contagiosum Konfirmasi biopsi Kutil genital Konfirmasi biopsy en planus hipertrofi Karsinoma sel skuamus Konfirmasi biopsy Disusun dari Goldstein, 2005, Kaufman, 1974, dan Moyal-Barracco, 2004, dengan ijin Tabel 4-7 Liken Planus yang Diinduksi Obat-obatan Bukti cukup untuk mencari penyebab -bloker Methyldopa Penicillamine Quinidine Quinine Agen anti inflamasi non steroid Bukti tidak cukup untuk mencari penyebab Angiotensin-converting enzyme inhibitor Emas Lithium Carbamazepine Agen sulfonilurea Disusun dari Thompson, 1994, dengan ijin. Wanita dengan lesi genital curiga ke arah liken planus memerlukan survei dermatologik yang menyeluruh untuk mencari lesi ekstragenital dan sebaliknya (Belfiore, 2007). Hampir seperempat wanita dengan lesi mulut akan mengalami keterlibatan vulvovaginal, dan sebagian besar wanita dengan liken planus vulvovaginal erosif akan mengalami keterlibatan oral (Pelisse, 1989). Perawatan Liken Planus pada Vulva
CHAPTER 4 Page 13

Dari tiga varian liken palnus, liken planus erosif adalah yang paling sulit untuk dirawat. Terapi farmakologi masih tetap menggunakan lini pertama pada kondisi tersebut. Perawatan tambahan termasuk meningkatkan kebersihan vulva, pemberian dukungan psikologis, dan menghentikan pengobatan terkait dengan adanya perubahan likenoid. Cooper dan Wojnarowska (2006) mengevaluasi secara prospektif mengenai rangkaian gejala klinik pada 114 wanita dengan liken planus erosif yang dirawat dengan kortikosteroid topikal ultrapoten. Selain lebih dari 70 persen wanita yang menunjukkan respon terapi yang baik pada pemberian dua kali sehari selama 3 bulan yang dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan, hanya 9 persen mencapai remisi tanda erosif yang lengkap. Selain itu, lebih dari 90 persen wanita yang dirawat dengan preparat yang mengandung clobetasol butirat 0,05 persen, oxytetrasiklin 3 persen, dan nistatin 100.000 U/g terbebas dari gejala selama perawatan awal. Antibiotik sering digunakan pada dermatosis karena efek anti inflamasi dan antimikrobanya. Agen lain tampak penting pada serial kasus kecil termasuk kortikosteroid sistemik, salep tacrolimus topikal, cyclosporine topikal, dan retinoid oral (Elsen, 1990; Hersle, 1982; LozadaNur, 1997; Morrison, 2002; Pelisse, 1989). Terapi untuk Liken Planus Kutan Nonvulva Laurberg dan pekerjanya (1991) melakukan uji control palsebo untuk membandingkan acitretin, 30 mg per hari secara oral (Soriatane, Connetics, Palo Alto, CA) dengan palsebo pada 65 pasien dan mendapatkan perbaikan yang signifikan dalam hampir 65 persen pasien. Acitretin adalah sebuah retinoid yang diberikan per oral setiap hari. Selain itu, ada pengalaman yang tidak dipublikasikan yang mendeskripsikan perbaikan gejala dengan menggunakan kortikosteroid topikal (Cribler, 1998; Oliver, 1993). Terapi Liken Planus pada Vagina Anderson dan kawan-kawan (2002) menemukan penggunaan kortikosteroid suppositoria vagina berupa hidrokortisone 25 mg dua kali sehari dengan penurunan dosis bertahap untuk pemeliharaan perbaikan gejala telah menunjukkan perbaikan simtomatik dan klinik pada lebih dari 75 persen wanita. Penggabungan terapi kortikosteroid lokal dengan dilator vagina dapat membantu memulihkan fungsi persenggamaan paa pasien dengan sinekia vagina moderat. Pembedahan adhesiolisis adalah solusi terakhir. Penyakit Fox-Fordyce Pruritus yang hebat, lesi papula yang berubah-ubah, berbentuk kubah yang embatasi muara kelenjar apokrin keringat pada usia reproduksi wanita dikenal sebagai penyakit Fox Fordyce. Adanya sumbatan keratotik pada sisi atas folikel rambut menimbulkan obstruksi dan rupture merupaan salah satu gambaran patofisiologi pada penyakit ini. Mekanisme dibalik eksaserbasi yang diakibatkan oleh hormonal dan emosi masih belum jelas, namun wanita sering mengeluh pruritus yang hebat pada aksila dan vulva sebelum dan sesudah menstruasi dan setelah adanya peristiwa emosional. Kortikosteroid topikal, antibiotic, fototerapi ultraviolet, tretinoin topikal,
CHAPTER 4 Page 14

dan bahkan kontrasepsi oral telah digunakan dengan hasil yang bervariasi (Feldmann, 1992; GIaobetti, 1979; Tkach, 1979). Hidradenitis Suppurativa Di dalam daerah intertrigo, lesi papula rekuren yang melibatkan kelenjar apokrin menimbulkan epitel folikuler jenis hidradenitis suppurativa. Sedikit yang mengetahui penyakit ini secara predominan mempengaruhi wanita (Parks, 1997). Lebih dari seperempat pasien akan memiliki riwayat keluarga yang terkait dengan penyakit tersebut, dan beberapa penulis memperkirakan adanya pola pewarisan autosomal dominan (der Werth, 2000). Meskipun Mortimer dan kawankawan (1986) menemukan konsentrasi androgen plasma yang lebih tinggi pada wanita dengan hidradenitis suppurativa, yang lain tidak dapat melakukan verifikasi temuan tersebut (Barth, 1996). Superinfeksi bakteri dengan Staphylococcus aureus dan staphylococci koagulase-negatif merupakan hal yang umum namun teelihat berdiri sendiri pada proses penyakit yang ada (Brook, 1999; Jemec, 1996). Sebaliknya pada wanita sehat, hidradenitis suppurativa berkembang sebagai ketidaknyamanan yang tersembunyi yang diikuti dengan adanya papula atau formasi nodul (Gbr . 4-6). Seiring berjalannya waktu, proses terebut berulang dengan nodul yang muncul membentuk abses yang luas. Ruptur dan resolusi mengarah kepada fibrosis dan formasi saluran sinus yang mengeringkan jaringan kutan hingga permukaan kulit. Edema pada luka dan edema sekitar struktur mengarahkan pada pembatasan fungi dan menurunkan kualitas hidup (der Werth, 2001). Dalam hal ini biopsi tidak diperlukan dalam diagnosis. Perawatan fase awal termsuk antibiotic sistemik, antiseptik lokal, dan kompres hangat untuk membantu memulihkan barier kulit. Sejak superinfeksi hidradenitis supurativa disebabkan oleh polimikroba, kultur aerob dan anaerob membantu mengarahkan seleksi antibiotik. Namun demikian, pemakaian clindamycin secara empiric yang dipadukan dengan quinolone merupakan hal yang beralasan. Sawers dan kawan-kawan (1986) menemukan antiandrogen, cypoterone acetate 50 mg, yang disambung dengan penggunan ethynil estradiol 50g, keduanya diminum setiap hari secara oral, menunjukkan kemanfaatan. Infliximab, sebuah antibodi monoklonal TNF, telah memberikan hasil yang baik pada seri laporan kasus (Adams, 2003; Sullivan, 2003). Korelasi spesifik antara inhibisi TNF dan mekanisme dimana infliximab menunjukkan efek kliniknya masih belum diketahui. Efek anti inflamasinya yang poten diduga sebagai kemanjurannya. Namun demikian, infliximab telah dikaitkan dengan efek samping yang serius ketika digunakan untuk perawatan rheumatoid arthritis, penyakit Crohn, dan psoriasis. Terlebih lagi, pada laporan kasus yang mendeskripsikan penggunaannya pada pasien dengan hidradenitis suppurativa, reaksi infus, infeksi, reaksi alergi, dan neuropati muncul sebagai komplikasi, bahkan selama penggunaan jangka pendek (Fardet, 2007; Fernandez-Vozmediano, 2007). Sesuai hal tersebut, penelitian prospektif yang lebih besar diperlukan. Eksisi pembedahan dipersiapkan untuk kasus resistensi berat terhadap intervensi medik. Sebelum tindakan pembedahan untuk mengangkat jaringan dilakukan, seluruh saluran sinus yang luas harus ditelusuri dengan jelas. Pemilihan pembedahan lainnya termasuk
CHAPTER 4 Page 15

marsupialisasi abses soliter atau eksisi dengan laser CO2 pada epitel yang terlibat diikuti dengan penyembuhan dengan intensi sekunder (Finley, 1996). Pasien sebaiknya diingatkan bahwa rekurensi paska operasi apat muncul, dan diperlukan adanya pengawasan ketat. Lesi Bulosa ERITEMA MULTIFORME MAYOR (SINDROMA STEVEN-JOHNSON) Semenjak deskripsi awal oleh Steven dan Johnson pada 1922, kebingungan berlanjut untuk klasifikasi lesi kulit bulosa dengan keterlibatan mukosa dan kutan. Sindroma Steven-Johnson atau Eritema Multiforme Mayor (EMM) adalah sebuah kondisi yang tidak umum dijumpai dengan usia onset rata-rata 25 tahun (Bagot, 1993; Strom, 1991). Meskipun pasien dengan antigen HLA-Bw44 dianggap lebih rentan untuk mengalami EMM, waktu antara pajanan obat dan pola klinik memberikan korelasi terbaik (Mondino, 1982). Antibiotik merupakan penyebab EMM tersering, diikuti oleh analgetik, obat anti inflamasi non steroid (OAINS), psikoepileptik, dan obat yang digunakan untuk mengobati gout. Paien awalnya menunjukkan gejala lesi target yang khas yang terlihat seperti tiga cincin: cincin dalam merah terang, cincin tengah pink yang lebih terang, dan sinsin luar pink yang lebih gelap. Demam disertai dengan malaise, sakit kepala, dan batuk mendahului temuan yang dominan berupa kulit yang mengelupas (Letko, 2005; Power, 1996). Hampir seluruh pasien akan menunjukkan beberapa bentuk keterlibatan mukosa, berkisar antara erosi oral dan okuler hingga pulmoner, gastrointestinal, atau bahkan keterlibatan ginjal. Kondisi lain yang dihipotesis sebagai varian proses penyakit yang sama adalah toxic epidermal necrolysis (TEN) (Letko, 2005). Kondisi tersebut berkembang pada populasi yang lebih tua (usia rata-rata 45 hingga 60 tahun) dan memberikan tingkat mortalitas yang lebih tinggi, diperkirakan sebanyak 10 hingga 70 persen (Revuz, 1987). Defek kutan dan mukosa serupa dengan EMM dengan kunci perbedaan terletak pada tidak adanya lesi target yang khas, namun diganti oleh eritema yang intens yang berkembang dengan cepat menjadi epidermolisis (Heimbach, 1987). Pengelolaan baik pada EMM akut dan TEN adalah penghentian obat yang menimbulkan reaksi dan peraatan suportif untuk mengelola komplikasi yang sering muncul: hipovolemi dari peningkatan kehilangan kesadaran, bronkiolitis obliterans, diare berdarah, dan peningkatan infeksi akibat kehilangan barier kulit (Tsunoda, 1990). PEMFIGUS VULGARIS Gambaran blister pada rongga mulut dan kulit adalah cirri khas pada gangguan autoimun yang jarang ini yang mempengaruhi individu yang berusia antara 40 hingga 60 tahun (Bystryn, 2005). Diperkirakan mempengaruhi kurang dari 5 kasus per satu juta tiap tahunya, penyakit langka ini jika tidak dirawat akan selalu berakibat fatal. Secara klinik, pemfigus vulgaris biasanya dimulai dengan ulkus yang menyakitkan, dan sulit sembuh pada mukosa pipi, meskipun lesi dapat ditemukan pada labia, palatum, dan lidah. Lesi bersifat multipel, berbentuk ireguler, dan superficial (Bystryn, 2005). Pemeriksaan imunofluoresen untuk antibodi yang berada pada jaringan dan yang bersirkulasi intraseluler
CHAPTER 4 Page 16

hingga antigen keratinosit permukaan adalah pemeriksaan diagnostic yang paling spesifik (Nisengard, 1975). Mortalitas pada kasus yang tidak ditangani cukup tinggi dan awalnya berasal dari infeksi dan komplikasi metabolic. Terapi awal ermasuk kortikosteroid sistemik (prednisone oral 60 hingga 80 mg setiap hari), dan dosis milligram ditingkatkan hingga formasi lesi baru menghilag dan mulai adanya penyembuhan luka. Plasmaferesis dan immunoglobulin intravena (IVIG) telah diteliti dan ditentukan sebagai agen lini kedua (Harman, 2003). Terapi jangka panjang termasuk pemutusan bertahap pengobatan sistemik dan transisi penggunaan kortikosteroid topikal untuk menekan lesi baru. Lesi Ulseratif APHTHOUS ULCERS Hampir 25 persen wanita pada dekade kedua dan ketiga kehidupan akan mengalami lesi mukosa self-limiting ini. Secara klasik ditemukan pada mukosa oral nonkeratin, aphthous ulcers dapat pula berkembang pada permukaan vulvovaginal. Lesi bersifat nyeri dan dapar muncul kembali sekali setiap beberapa bulan. Meskipun etiologi aphthous ulcers masih belum diketahui, beberapa ahli ada yang yang mengemukakan teori asal mulanya sebagai kerusakan sel epitel yang dimediasi imunologi (Rogers, 1997). Yang lainnya mendeskripsikan faktor pemicu termasuk trauma, malnutrisi, infeksi, dan fluktuasi hormonal. Sebagai tambahan, defisiensi vitamin B12, folat, besi, dan zinc telah dilaporkan sebagai penyebab (Torgerson, 2006). Selain sifat proses penyakit yang selflimiting, lesi yang bertahan selama lebih dari 14 hari dapat menimbulkan perlukaan yang menyakitkan (Rogers, 2003). Pengelolaan diagnosis aphthous ulcers pada saat onset ulserasi dapat diobati dengan kortikosteroid topikal berpotensi kuat. Kortikosteroid sistemik yang diminum per oral dapat membantu mengurangi inflamasi pada kasus resistensi awal terhadap kortikosteroid topikal. Pada akhirnya, colchicines, dapsone, dan thalidomide telah menunjukkan keefektivannya. PENYAKIT BEHASSET Ini adalah proses inflamasi multisistem yang langka dan kronik yang memengaruhi pasien pada usia dua puluhan dan tiga puluhan. Kondisi ini ditandai dengan lesi mukokutan khas dengan disertai inflamasi okuler dan sistemik. Meskipun etiologi pasti dari penyakit Behasset masih belum diketahui, kepemilikan alel HLAB51 memberikan predisposisi genetik pada beberapa populasi. Pemicu infesi telah diperiksa, meskipun agen definitif belum diidentifikasi. Pada kasus dengan keterlibatan multiorgan, vaskulitis dengan kerusakan inflamasi menjelaskan proses patogeniknya. Penyakit Behasset menimbulkan lesi yang secara umum sembuh dalam 7 hingga 10 hari tanpa meninggalkan bekas luka mayor. Namun demikian, nyeri yang terkait dapat membuat tubuh menjadi lemah. Proses tersebut memiliki variasi kejadian selama kehamilan namun tidak ada

CHAPTER 4

Page 17

hasil buruk pada maternal ataupun janin yang telah dilaporkan (Marsal, 1997). Pengobatan untuk lesi serupa dengan pengobatan pada aphthous ulcers. Lesi dengan Pigmentasi HIPERPIGMENTASI Beberapa teori menjelaskan spektrum kelainan hiperpigmentasi: predisposisi genetik, toksin lingkunga, sequelae penyakit kronik, dan reaksi obat (Grimes, 2006). Akantosis Nigrikans Plak yang berwarna coklat, seperti beludru, dan tidak jelas batasnya berada pada fleksura, khususnya leher, aksila, dan lipatan genitocrural, merupakan karakteristik akantosis nigrikans. Akantosis nigrikans adalah komplikasi dermatologik yang umum dari obesitas, dengan insidensi diperkirakan hingga 75 persen (Hud, 1992; Azosipovitch, 2007). Hubungan signifikan juga telah dilaporkan antara derajat obesitas dan konkurensi hiperinsulinemia (lihat Bab 17, Akantosis Nigrikans) (Garcia-Hidalgo, 1999). Mekanisme dibalik formasi akantosis nigrikans berawal dari resistensi sel terhadap insulin yang menimbulkan kompesasi berupa hiperinsulinemia. Insulin terikat pada reseptor insulin-like growth factor (IGF) pada jaringan perifer yang menimbulkan proliferasi keratinosit dan fibroblast dermal (Cruz, 1992; Hermanns-Le, 2004). Pengobatan termasuk koreksi hiperinsulinemia. Kehilangan berat badan dapat memperbaiki resistensi insulin yang mengakibatkan pengurangan kompleks reseptor insulin/IGF dan selanjutnya timbul perbaikan lesi kulit. Analog vitamin D3, calcipotriene menghambat proliferasi dan meningkatkan diferensiasi keratinosit, menimbulkan pembersihan akantisis nigrikans (Bohm, 1999). Melanoma Ini merupakan keganasan vulva tersering kedua dan berjumlah hingga 10 persen dari seluruh kanker vulva. Namun demikian, melanoma yang berkembang pada vulva terdiri dari hanya 1 hingga 2 persen dari seluruh kasus kanker melanoma. Gejala yang muncul termasuk sensasi terbakar, nyeri, pruritus, massa perdarahan, diskolorasi lokal atau ulserasi, dan bahkan disuria (Trimble, 1992). Diagnosis dan perawatan lesi tersebut didiskusikan pada Bab 31, Melanoma (Ragnarsson-Olding, 1999; Wechter, 2004; Weinstock, 1994). Nevus Nevi yang didapat umumnya berkembang pada remaja pada area yang terpapar matahari, meskipun kulit vulva tidak kebal (Krengel, 2005). Sebaliknya, nevi kongenital dapat ditemukan pada seluruh permukaan kulit pada usia berapapun. Nevi berpigmen memerlukan perhatian serius, karena lebih dari separuh melanoma muncul dari nevi yang sudah ada sebelumnya. Nevi diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama: junctional, campuran, dan intradermal. Nevi junctional diameternya kurang dari 1 cm, datar dengan elevasi permukaan minimal, dan berasal
CHAPTER 4 Page 18

dari melanosit di dalam epidermis. Warnanya sama dan tepi lesi berbatas tegas. Nevi junctional adalah nevi yang paling sering menjadi ganas. Nevi campuran melibatkan dermis dan epidermis. Lesi memiliki batas yang rata dan berukuran antara 4 hingga 10 mm. Pada usia timbulnya lesi, lesi tersebut dapat berkembang menjadi nevi intradermal, yang seluruhnya terletak dalam dermis dan dapat menjadi papula atau pedunkulus. Terapi untuk nevi utamanya adalah konservatif dengan pengawasan ketat pada individu yang asimtomatik. Ketika lesi menjadi dapat diraba degan iritasi yang menyertai dan timbul perdarahn, eksisi pembedahan memberikan peran dalam diagnostik dan terapi. DEPIGMENTASI Vitiligo Hilangnya melanosit epidermis pada daerah kulit yang mengalami depigmentasi disebut sebagai vitilig (Gbr. 4-7). Prevalensi global pada penyakit ini bervariasi dari 1,0 higga 0,2 persen, dengan puncak insidensi pada dekade kedua. Tidak ada populasi ras, etnik, ataupun sosioekonomi yang memiliki kecenderungan lebih tinggi pada penyakit ini, meskipun penyakit ini lebih berakibat buruk pada kelompok etnik orang berkulit gelap (Grimes, 2005). Faktor genetik telah menjadi penyebab utama dari vitiligo (Zhang, 2005). Meskipun pola pewarisannya yang kompleks tidak sepenuhnya dimengerti, kurang lebih 20 persen pasien memiliki setidaknya kerabat tingkat pertama yang memiliki penyakit tersebut. Vitiligo juga dapat memberikan gambaran patogenesis seperti kelainan autoimun lainnya, seperti tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, diabetes mellitus, arthritis rematoid, dan bahkan psoriasis (Boissy, 1997). Pada umumnya, depigmentasi bersifat menyeluruh dan simetris, meskipun distribusinya dapat juga ditemukan pada akral, akrofasial, terlokalisasi, dan segmental. Perkembangan lesi berjalan lambat selama bertahun-tahun. Akhir-akhir ini, telah ada sejumlah kemajuan dalam pengobatan vitiligo, termasuk fototerapi UV-B narrow-band, terapi sinar target, dan imunomodulator topikal (Grimes, 2005; Yones, 2007). Manifestasi Dermatologik pada Penyakit Sistemik CROHN DISEASE Inflamasi granulomatosa transmural yang mempengaruhi submukosa dimanapun sepanjang saluran gastrointestinal merupakan cirri khas dari Crohn disease. Empat tipe keterlibatan kutan berkaitan dengan Crohn disease da termasuk: (1) ekstensi langsung dari usus yang terlibat; (2) keterlibatan intraintestinal pada vulva, penis, dinding abdomen, ekstremitas, dan area submammaria; (3) pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan eritema multiforme; dan (4) lesi kulit akibat defisiensi nutrisi (Burgdorf, 1981; Kim, 1992). Terlihat pada hampir seperempat wanita dengan Crohn disease, ulkus klasik pada perineum dan sisi dalam vulva, seperti celah potongan pisau yang terlihat pada inguinal, genitocrural, dan lipatan interlabial yang

CHAPTER 4

Page 19

melambangkan keterlibatan ekstraintestinal (Donaldson, 1978). Lesi seperti itu dapat mendahului gejala gastrointestinal (Patton, 1990). Terapi yang digunakan untuk mengobati manifestasi gastrointestinal Crohn disease juga akan memberi efek baik pada metastasis lesi Crohn. Pembedahan genital yang luas dapat dihindari dengan kebersihan vulva yang sesuai, nutrisi yang tepat, dan kolaborasi yang baik dengan ahli gastroenterologi yang familiar dengan terapi terbaru Crohn disease. Pada kejadian dimana pengelolaan pembedahan diperlukan, eksisi saluran berfistel diperlukan, sementara mempersiapkan vulvektomi total untuk penyakit ekstensif. Tumor Solid Vulva Sebagian besar tumor vulva bersifat junak dan muncul dari jaringan lokal. Lebih jarang dijumpai lesi ganas yang muncul pada vulva dan secara khas berasal dari epitel sel skuamus. Jarang terjadi tumor solid vulva yang berkembang sebagai lesi metastatic (Gbr. 4-8). Sesuai hal tersebut, banyak pertumbuhan yang memerlukan biopsi jika sifatnya tidak dapat ditentukan dengan jelas melalui inspeksi visual. EPIDERMAL Akrokordon Lebih dikenal sebagai skin tag, akrokordon merupaka lesi fibroepitel polipoid jinak. Lesi tersebut paling sering terlihat pada sisi leher, aksila, atau inguinal, dan diameternya berkisar antara 1 hingga 6 mm. Menurut catatan, laporan terbaru telah menemukan adanya kaitan antara akrokordon dan diabetes mellitus (Demir, 2002). Proliferasi fibroblast yang dimediasi insulin dapat menjelaskan hubugan ini. Secara klinik, akrokordon adalah sebuah sessile lunak atau masa berpedunkulus yang biasanya berwarna serupa kulit dan tanpa rambut. Pembengkakan atau ulserasi dapat ditemukan mengikuti iritasi kronik atau trauma. Pengangkatan pembedahan direkomendasikan pada kasus iritasi kronik atau untuk alas an kosmetik. Lesi tersebut mudah diangkat dengan anestesi lokal pada kondisi tempat kerja sehari-hari. Keratosis Seboroik Terkadang, manifestasi keratosis seboroik pada vulva dapat ditemukan pada wanita dengan keartosis seboroik pada leher, wajah, atau badan. Secara khas, keratosis seboroik terlihat sebagai lesi veruka dengan batas tegas dan sedikit meninggi dengan tampilan gelap berminyak. Potensi keganasan pada lesi yang tumbuh lambat ini masih minimal. Sehingga eksisi disarankan pada kasus yang disertai rasa tidak nyaman atau kecacatan. Keratoakantoma Keratoakantoma adalah keganasan derajat rendah yang cepat berkembang yang berasal dari kelenjar pilosebaseus. Lesi dimulai dari gambaran papula yang bulat dank eras yang berkembang menjadi nodul bentuk kubah dengan kawah di bagian tengah. Jika tidak dirawat, lesi tersebut
CHAPTER 4 Page 20

akan mengalami regresi spontan dalam 4 hingga 6 bulan, dan hanya meninggalkan bekas luka agak cekung. Dikarenakan potensi keganasannya yang sedikit dan kemiripannya dengan karsinma sel skuamus, disarankan untuk eksisi pembedahan ketika tepi lesi berukuran 3 hingga 5 mm. LEIOMIOMA Leiomioma pada vulva merupakan tumor yang sangat langka yang dianggap muncul dari otot polos dalam jaringan erektil vulva ataupun transmigrasi melalui ligament rotundum. Disarankan untuk eksisi pembedahan untuk menyingkirkan leiomiosarkoma (Nielsen, 1996). FIBROMA Fibroma adalah tumor jinak yang langka pada vulva dengan insidensi yang dilaporkan sebanyak 0,03 persen (Chen, 1004). Fibroma muncul dari jaringan ikat profunda melalui proliferasi fibroblast. Lesi awalnya ditemukan pada labia mayor, dan diameter ukurannya berkisar antara 0,6 hingga 8 cm. Lesi yang lebih besar sering menjadi berpedunkulus dengan tangkai panjang dan dapat menimbulkan nyeri atau dispareni. Eksisi pembedahan merupakan terapi utama untuk lesi simtomatik. LIPOMA Massa berukuran besar, dengan sessile lunak atau berpedunkulius yang terdiri dari sel adipose matur disebut sebagai lipoma. Serupa dengan fibroma, pengamatan masih beralasan jika tidak ada keluhan pasien, sementara gejala dapat mempercepat eksisi pembedahan. Lesi tersebut tidak memiliki kapsul jaringan ikat fibrosa dan diseksi total dapat memberikan komplikasi berupa perdarahan sehingga memerlukan insisi yang lebih luas. Sesuai hal tersebut, eksisi pembedahan pada sebuah unit pembedahan outpatient dengan anestesi dan alat yang sesuai merupakan hal yang penting. Tumor Kistik Vulva KISTA DAN ABSES DUKTUS KELENJAR BARTHOLINI Mucus diproduksi untuk melumasi vulva sebagian berasal dari kelenjar Bartholini. Obstruksi pada duktus kelenjar tersebut dapat menimbulkan pembesaran kistik yang hampir berjumlah 2 persen dari seluruh kunjungan ginekologik yang baru (Gbr. 4-9). Kista tersebut dapat terinfeksi, dan dapat menjadi purulen pada perkembangan menjadi abses. PATOFISIOLOGI Infeksi Kista duktus bartholini dibentuk sebagai respon langsung terhadap obstruksi aliran duktus. Selain pemahaman tersebut, alasan utama dari pembentukan kista masih belum diketahui. Pemebntukan abses cenderung berkembang pada populasi dengan profil demografik serupa dengan pasien dengan resiko tinggi infeksi menular seksual (Aghajanian, 1994). Sesuai riwayat, wanita dengan
CHAPTER 4 Page 21

kista duktus kelenjar Bartholini bilateral dianggap telah terinfeksi Neisseria gonorrhoeae. Namun demikian, penelitian terbaru telah menunjukkan spektrum organisme yang lebih luas pada kista tersebut dan abses yang muncul. Sebagai contoh, Tanaka dan kawan-kawan (2005) memeriksa 224 pasien dan kurang lebih 2 spesies bakteri diisolasi dari setiap kasus. Mayoritas disebabkan oleh bakteri aerob, dimana Escherichia cole merupakan bakteri yang paling banya terisolasi. Yang menarik, hanya lima kasus yang melibatkan N. Gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis (Tanaka, 2005). Teori lain untuk obstruksi duktus termasuk perubahan konsistensi mukus, trauma mekanik dari perbaikan episiotomi yang buruk, atau bahkan duktus yang sempit kongenital. Ketika retensi mukus menimbulkan distensi kista, ukuran dan kecepatan perkembangan dipengaruhi oleh stimulasi seksual. Sehingga, akumulasi yang cepat didapatkan selama peningkatan nafsu seksual. Keganasan Setelah menopause, kista duktus kelenjar Bartholini dan abses adalah hal yang jarang ditemukan dan harus mengarahkan kecurigaan kepada neoplasia. Karsinoma kelenjar Bartholini adalah hal yang langka, dan insidensinya kurang lebih 0,1 per 100.000 wanita (Visco, 1996). Mayoritas lesi merupakan karsinoma skuamus atau adenokarsinoma (Copeland, 1986). Dengan kecenderungan kanker yang jarang, eksisi kelenjar Bartholini secara khusus tidak diindikasikan. Secara alternative, pada wanita berusia lebih dari 40 tahun, drainase kista dan biopsi dinding kista yang dicurigai cukup untuk menyingkirkan keganasan (Visco, 1996). Gejala Sebagian besar kista kelenjar Bartholini adalah kista yag kecil dan asimtomatik kecuali didapatkan sedikit ketidaknyamanan selama peningkatan nafsu seksual. Ketika sebuah lesi menjadi lebih besar atau terinfeksi, wanita dapat mengalami nyeri vulva yang berat yang kemudian menghalangi mereka untuk berjalan, duduk, atau melakukan aktivitas seksual. Diagnosis Pembesaran kelenjar Bartholini dapat menyerupai beberapa massa vulvovaginal. Sebagian besar kista bersifat unilateral, bulat atau oval, dan kencang. Abses secara khas terlihat eritema di sekitar lesi dan tegang pada palpasi. Massa biasanya terdapat pada sisi posterior labia mayor atau vestibulum inferior. Sementara sebagian besar kista dan abses menimbulkan asimetri anatomi labia, beberapa kista yang lebih kecil dapat hanya dideteksi melaui palpasi. Abses Bartholini pada batas dekompresi spontan akan menampakkan daerah pelunakan dimana sering timbul rupture. Perawatan Kista kecil, asimtomatik tidak memerlukan intervensi kecuali untuk menyingkirkan neoplasia pada wanita yang berusia lebih dari 40 tahun. Beragam tehnik ada untuk mengelola kista yang menimbulkan gejala penekanan yang signifikan atau terinfeksi. Hal tersebut termasuk insisi dan
CHAPTER 4 Page 22

drainasi, marsupialisasi, dan eksisi kelenjar Bartholini, dan dideskripsikan dan diilustrasikan pada Bagian 41-6, Insisi dan Drainasi Duktus Kelenjar Bartholini hingga 41-8, Bartholinektomi. KISTA DAN ABSES KELENJAR SKENE Oklusi duktus kelenjar Skene, yang mana merupakan kelenjar para urethra yang terbesar dan berada pada distal urethra, dapat menimbulkan pembesaran kistik dan kemungkinan pembentukan abses (Bab 26, Klasifikasi). Etiologinya masih belum diketahui, meskipun banyak yang berspekulasi bahwa infeksi atau trauma dapat menjadi faktor predisposisi. Gejala utama termasuk obstruksi saluran kemih, dispareni, dan nyeri. Perawatan utama untuk pembesaran kelenjar yang tidak signifikan ini adalah eksisi. Dengan adanya abses akut, lesi tidak sebaiknya dieksisi dampai infeksinya reda. DIVERTIKULUM URETRA Penyakit ini merupaka pembesaran kistik kelenjar parauretra. Secara khas ditemukan sepanjang dinding inferior uretra, kantung tersebut berhubungan secara langsung dengan uretra da membesar ke dinding anterior vagina (lihat Gbr. 26-3) (Lee, 2005). Meskipun postvoid dribbling menjadi keluhan klasik, wanita juga merasakan nyeri, dispareni, atau gejala perkemihan. Pada pemeriksaan fisik, divertikulum uretra dapat dipalpasi sumbatan ringan sepanjang uretra. Drainase urin atau purulen dapat muncul pada penekanan. Divertikulum uretra dibahas lebih lanjut pada Bab 26, Divertikulum Uretra dan ilustrasi pengelolaan pembedahannya ada di Bagian 42-9, Perbaikan Divertikulum Uretra. KISTA INKLUSI EPIDERMIS VULVA Penyakit ini merupakan kista vulva yang umum, sering disebut sebagai kista sebaseus, yang timbul dari lipatan epitel skuamus vulva dibawah epidermis. Kista ini keras, dapat digerakkan, berupa lesi nodul, dan terisi materi kaseosa putih atau kuning. Secara umum, kista inklusi bersifat asimtomatis dan tidak memerlukan terpi. Lesi simtomatik dan tidak terinfeksi dapat dihilangkan dengan eksisi luas pada seluruh kista atau dengan punch biopsy pada lesi dengan ekstrusi isi kista dan dinding kista melalui pembukaan biopsi (Moore, 2007). Lee dan kawankawan (2006) menemukan kemiripan tingkat rekurensi yang rendah dan penyembuhan yang lebih baik dengan tehnik punch pada penelitian prospektif randomized pada 60 pasien Vulvodinia Pada bulan Oktober 2003, Kongres Dunia ISSVD ke-17 spenuhnya setuju untuk mendefinisikan vulvodinia sebagai ketidaknyamanan pada vulva, lebih sering dideskripsikan sebagai rasa nyeri terbakar, yang muncul tanpa disertai temuan kasat mata yang televan atau kelainan neurologik yang spesifik dan dapat diidentifikasi secara klinik (Tabel 4-8) (Moyal-Baracco, 2004). Nyeri vulvodinia dideskripsikan sebagai nyeri spontan (tidak diprovokasi) atau dipicu oleh tekanan fisik (terprovokasi) seperti kontak seksual, pemasangan tampon, atau tekanan dengan jari.

CHAPTER 4

Page 23

Sebagai tambahan, istilah vestibulitis dihapuskan dari terminology ISSVD semenjak perubahan inflamasi belum didokumentasikan secara konsisten. Tabel 4-8. Terminologi dan Klasifikasi Nyeri Vulva dari International Society for the Study of Vulvovaginal Disease (2003) A Nyeri vulva terkait kelainan spesifik Infeksi Inflamasi Neoplastik Neurologis B Vulvodinia Generalisata Terprovokasi Tidak terprovokasi Campuran C Terlokalisasi Terprovokasi Tidak terprovokasi Campuran Dimodifikasi dari Moyel-Barracco, 2004, dengan ijin. INSIDENSI Sayangnya, informasi yang ada mengenai jumlah wanita dengan vulvodinia terbatas. Hal ini sebagian dapat dijelaskan dengan penundaan rata-rata 4 tahun sebelum mencapai diagnosis yang sesuai, dan oleh pasien yang tidak mengeluhkan gejala akibat rasa malu psikoseksual (Graziottin, 2004). Pada penelitian populasi oleh Harlow dan Stewart (2003), 55 persen wanita dengan nyeri vulva kronik akan mencari pengobatan. Pada wanita tersebut, lebih dari 60 persen menemui tiga dokter atau lebih, sebagian besar tidak dapat memberikan diagnosis yang akurat. 80 persen wanita Hispanik lebih cenderung mengalami nyeri vulva yang kronik jika dibandingkan dengan wanita Afrika-Amerika dan Kaukasia. Terdapat variasi usia yang luas pada pola prevalensi penyakit ini. ETIOLOGI VULVODINIA Etiologi yang tepat untuk vulvodinia tidak diketahui. Meskipun banyak faktor telah diperiksa, sebagian besar setuju bahwa proses tersebut merupakan proses multifaktorial dan memerlukan pendekatan multidisiplin untuk pengobatan (Babula, 2004; Bouchard, 2002; Danielsson, 2001). PERUBAHAN NEUROPATI Sel neuroendokrin yang mengandung serotonin ditemukan pada berbagai tempat pada saluran genital wanita. Substansia P akson telah ditemukan pada duktus kelenjar vestibulum di dekat sel
CHAPTER 4 Page 24

tersebut. Hal ini merupakan hubungan penting untuk dua alas an. Yang pertama inflamasi neurogenik melalui peningkatan permeabilitas vaskuler dan vasodilatasi dianggap dimediasi oleh substansia P dan serotonin. Bukti peningkatan aliran darah ke daerah yang paling sakit pada mukosa vestibulum telah didokumentasikan dengan menggunakan pencitraan perfusi laser Doppler (Bohm-Starke, 2001). Kedua, hubungan tersebut dapat menjelaskan ketegangan pinpoint kelenjar vestibulum padawanita yang mengalaim vulvodinia tanpa disertai temuan fisik lainnya (Warner, 1996). DIAGNOSIS Algoritma yang sesuai evidence-based untuk diagnosis vulvodinia ditampilkan pada Gabr. 4-10 (Haefner, 2005). Dengan pertimbangan bahwa vulvodinia adalah sebuah diagnosis eksklusi, riwayat yang lebih panjang adalah penting untuk menegakkan diagnosis yang benar. Gejala Vulvodinia Vulvodinia mengarah pada ketidaknyamanan vulva pada setidaknya durasi 3 hingga 6 bulan tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi (Tabel 4-9). Lokasi dan pola waktu dispareni dapat membantu memprediksi diagnosis fisik (meana, 1997). Banyak wanita dengan vulvodinia yang terlokalisasi dapat menunjukkan gejala sensasi terbakar, gatal, atau nyeri seperti diiris dalam daerah yang terpapar (Bergeron, 2001). Nyeri dapat tibul akibat rangsang sentuhan (allodinia) seperti mengenakan pakaian ketat atau pakaian dalam atau selama pemeriksaan pelvis. Sensasi yang dirasakan intermiten dan bahkan episodik dengan eksaserbasi yang muncul pre-mentruasi (Arnold, 2006). Tabel 4-9. Pertanyaan yang Sesuai untuk Pemeriksaan Vulvodinia 1. Kapan nyeri mulai mincul? Apakah mendadak? Apakah ada gejala yang dirasakan sebelum keluhan muncul? 2. Bagaimanakah permulaan nyeri yang dirasakan? Apakah memberat? Akut? Spontan? 3. Deskripsikan nyerinya? Apakah terlokalisasi? Menyeluruh? Terprovokasi? Seberapa berat? 4. Faktor yang memperberat nyeri? Posisi? Sentuhan? 5. Faktor yang memperingan? Terapi yang sudah dilakukan? 6. Gejala yang menyertai? Perkemihan? Keluhan pada kulit? Gatal? 7. Dampak dari nyeri? Pertanyaan ini dapat membantu memperjelas tujuan pengobatan dan menjadi titik referensi untuk menentukan terapi. Pertanyaan harus diarahkan untuk emngidentifikasi kondisi komorbid terkait yang sering muncul atau faktor resiko lainnya, seperti sindroma irritable bowel, cystitis interstisial, gangguan psikologis, permasalahan dengan pasangan, atau penyakit infeksi yang mandahului seperti herpes simpleks atau zooster (Arnold, 2007). Dokumentasi prosedur pembedahan di masa lalu dapat
CHAPTER 4 Page 25

membantu mengidentifikasi cedera nervus pudendus. Riwayat seksual dapat memberikan petunjuk kekerasan di masal lau atau di masa kini, pola senggama yang tidak baik, dan pemilihan kontrasepsi yang dapat mengakibatkan vulvodinia. Sebagai tambahan, klinisi sebaiknya menanyakan mengenai kandidiasis berulang ; trauma genital sebelumnya, termasuk cedera yang terkait saat melahirkan; dan pola kebersihan saat ini, termasuk penggunaan produk kewanitaan, panty liner, sabun, pakaian dalam, dan parfum. Yang lebih penting, terapi sebelumnya sebaiknya didokumentasikan untuk menghindari pengulangan terapi yang tidak diperlukan. Pemeriksaan Fisik Berdasarkan definisinya, vulvodinia memiliki kekurangan petanda fisik. Sehingga pemeriksaan yang menyeluruh diperlukan pertama kali untuk menyingkirkan kemungkinan patologi lainnya. Inspeksi bagian luar vulva dilanjutkan dengan pemeriksaan jaringan vestibulun untuk mencari focus eritema. Pemeriksaan kolposkopi pada vulva dan biopsi langsung akan menyingkirkan patologi lainnya (lihat Bab 29, Kolposkopi). Pemetaan nyeri yang sistematik pada vestibulum, perineum, dan sisi dalam paha dilengkapi dan menjadi referensi untuk menentukan keberhasilan terapi (Gbr. 4-11). Apusan dengan kapas digunakan untuk memeriksa alodinia dan hiperestesia. Ujungnya pertama kali dapat tidak mengalami perlukaan dan membentuk gumpalan kapas. Selanjutnya, batang kayu dipatahkan untuk membentuk ujung tajam untuk memeriksa area yang sama. Keparahan nyeri dengan skala lima atau sepuluh poin sebaiknya dicatat dan diikuti perkembangannya. Pemeriksaan Laboratorium Walaupun tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat mendiagnosis vulvodinia, preparat basah secret vagina, penilaian pH vagina, penentuan sub-tipe jamur, dan tanda bakteri sangat membantu menyingkirkan vaginitis yang mendasari (lihat table 3-15). Lesi ulseratif sebaiknya disarankan untuk biopsy dan kultur untuk virus herpes simpleks. Serologi virus herpes dapat membantu membuktikan namun konseling pasien terhadapa hasil interpretasi sangat disarankan. TERAPI Pada ketiadaan uji klinis yang dirancang dengan baik, tidak ada terapi spesifik untuk vulvodyna yang dianggap unggul. Pada umumnya, kombinasi terapi medis mungkin diperlukan untuk menstabilkan dan memperbaiki symptom pasien. Pada ketiadaan perbaikan terapi medis, exsisi bedah adalah pilihan terakhir. TERAPI MEDIS Perawatan Vulva Langkah pertama adalah mengatasi kerusakan vulva termasuk perawatan vulva dengan baik. Sebagaimana ditunjukkan pada table 4-2, bahan celana dalam katun, menghindari iritasi vulva, memperbaiki fungsi pertahanan, dan lubrikasi yang tepat selama intercourse adalah cara utama untuk merawat vulva.
CHAPTER 4 Page 26

Biofeedback dan Terapi Fisis Jika komponen nyeri pinggang, spasme otot, atau vaginismus terlihat, seorang terapis fisik latihan vulva dapat memperbaiki symptom dan frekuensi koitus melalui penerapan pijat internal dan eksternal, teknik pengenduran myofasial, akupresure, dan latihan dasar panggul. Terapi perilaku Banyak kepercayaan bahwa vulvodyna lebih dari sekedar masalah psicoseksual. Dibandingkan dengan populasi umum, tidak ada perbedaan antara kepuasan pernikahan atau distress psikologi ditemukan. Namun, konseling awal sebaiknya melibatkan penilaian dasar fungsi seksual dan penawaran pendidikan terhadap cara main, posisi seks, lubrikasi/pelumas, dan alternative intercourse vagina. Pengobatan Topikal Salep lidokain 5 % dalam jumlah banyak yang diterapkan pada vestibulum 30 menit sebelum intercourse telah menunjukkan pengurangan dispareunia. Penggunaan jangka lama mungkin menyebabkan penyembuhan dengan meminimalkan feedback penguatan nyeri (lihat bag. 11. Nyeri neuropatik). Banyak preparat anestesi topical lain telah digunakan dan dilaporkan memiliki kesuksesan yang beragam. Perhatian utama, bagaimanapun, sebaiknya digunakan dengan benzocaine, yang berkaitan dengan peningkatan angka dermatitis kontak. Eva dkk menemukan penurunan ekspresi reseptor estrogen pada wanita dengan vulvodyna. Bagaimanapun, terapi estrogen topical atau intravagina telah menghasilkan hasil campuran. Pengobatan Oral Dua kelas utama pengobatan oral yang ditemukan untuk membantu pengobatan vulvodyna adalah antidepresan dan anticonvulsant. Antidepresan trisiklik (TCA) menjadi agen utama dalam terapi vulvodyna. Angka respon terhadap TCA yang dilaporkan mencapai 47 persen. Pada pengalaman kami, amitriptilin yang dimulai 5 dan 25 mg oral tiap malam hari dan meningkat sesuai kebutuhan menjadi 10 hingga 25 mg tiap minggu, memberikan hasil terbaik (lihat table 11-5). Dosis harian terakhir sebaiknya tidak melebihi 150 200 mg. Yang paling penting, wanita sebaiknya rela walaupun dalam 4 minggu terdekat memerlukan penghilang nyeri yang kuat. Kasus resisten dengan TCA dapat diatasi dengan antikolvunsan, gabapentin, atau karbamazepin (lihat table 11-5). Gabapentin dimulai dengan dosis 100 mg per oral 3 X sehari dan secara bertahap meningkat dalam 6 hingga 8 minggu sampai dosis maksimal sehari 3600 mg. Sekali dosis ini tercapai, nyeri harus dinilai ulang setelah 1 hingga 2 minggu. Injeksi Intralesi

CHAPTER 4

Page 27

Pada kasus vulvodyna yang terlokalisasi, Penyuntikan dititik cetusan menggunakan kombinasi steroid dan anestesi , misal gabungan rasio 4 : 1 metilprednisolon acetat dan lidokain cloridat, dapat disuntikan langsung kedalam lesi. Terapi Bedah Wanita dengan vulvodyna yang gagal perbaikan secara klinis walaupun terapi medis telah agresif adalah kandidat untuk dilakukan intervensi bedah. Pilihannya termasuk excise local diantara lokus nyeri; reseksi lengkap vestibulum, disebut vestbulektomi ; atau reseksi vestibulum dan perineum; disebut sebagi perineoplasty. Ini diilustrasikan pada seksi 41-9, Vestbulektomi. Treas dkk melaporkan angka keberhasilan yang tinggi dengan vestibulektomi diantara wanita usia kurang dari 30 thn. Perineoplasty adalah prosedur paling luas dari ketiganya, dan insisinya meluas dari dibawah uretra ke corpus perineum, biasanya berakhir di bawah orifisium anal. Prosedur ini dapat dipilih jika luka perineal diduga berkontribusi menyebabkan dispareunia. Lesi Kongenital Struktur abnormal congenital tractus reproduksi bawah tidak umum terjadi dan termasuk penyebabnya adalah atresia organ, kegagalan jaringan untuk regresi atau berfusi dengan normal, dan abnormalitas sinyal hormone. Ini didiskusikan lebih detail di bagian 18. Lesi Infeksi Infeksi adalah penyebab umum penyakit vulva jinak dan bakteri, jamur, virus, atau parasit mungkin terlibat. Lesi ulseratif, proliferative, atau suppuratif dapat terjadi, dan masing-masing didiskusikan di Bab 3 Penyakit Preinvasif dan Keganasan Kanker dan neoplasma preinvasif dari vulva adalah tidak umum dan khasnya ditemukan sebagai lesi unifokal pada wanita usia tua. Bagaimanapun, kenaikan tinggi dari HPV yang berkaitan dengan vulvar intraepithelial neoplasia (VIN) multifocal saat ini telah ditemukan pada wanita usia muda. Simptom dapat beraneka macam dan termasuk pruritus berat, nyeri dan dispareuni. Karena massa yang well-defined tidak selalu terlihat, area vulva dengan penebalan epitel atau area ulserasi yang menetap, nyeri dan pruritus sebaiknya disarankan untuk biopsy. Kebanyakan lesi neoplasma berasal dari sel squamosa dan menghantarkan pada prognosis yang baik bila pengidentifikasian dan pengobatannya lebih awal (lihat Bab 29) Trauma Vulvogina TRAUMA TUMPUL Karena lokasi anatomi yang ada dan lapisan lemak dari labia mayora, cedera kecelakaan vulva dan vagina jarang terjadi. Sebaliknya, karena pada anak-anak lapisan lemak di area labia sedang berkembang, hal seperti palang sepeda, tiang gimnastik, dan jeruji bangku dapat meningkatkan

CHAPTER 4

Page 28

resiko straddle injuries. Sekuel trauma tumpul yang biasa pada vulva yang kaya pembuluh darah adalah hematoma. Sering diperlukan anestesi local, pemeriksaan melalui vulva dan vagina akan mempermudah memperkirakan stabilitas dan ukuran hematoma, dan integritas organ sekitar seperti usus, kandung kemihm uretra, dan rectum. Untungnya, bila tidak ada cedera organ terkait yang ditemukan, vena sebagai dasar hematoma vulva merupakan kandidat manajemen konservatif dengan pak dingin, drainase Foley pada kandung kemih, dan control nyeri yang cukup. Hematoma vagina yang lebih besar dari 4 cm harus dieksplor secara bedah untuk mengamankan perdarahan pembuluh darah. Pasien yang tak stabil dapat dikarenakan perdarahan retroperitoneal dari pembuluh darah yang retraksi. Secara postoperasi, pak vagina dapat membantu menampung kebocoran vena bila ada. LASERASI Trauma penetrasi dihitung sebagai cedera vagina tersering. Penyebab umum trauma termasuk fraktur pelvis, tekanan objek tak terlihat, koitus, tekanan hidraulik seperti pada mereka yang pernah melakukan ski air. Pemeriksaan dengan anesthesia sering diperlukan untuk melakukan penilaian dan untuk menyingkirkan bahaya intraperitoneal. Sasaran terapi termasuk pencapaian hemostasis dan restorasi anatomi normal. Irigasi, debridement, dan perbaikan primer sangat diperlukan. Kadang kala, infeksi dapat memerlukan penutupan laserasi dengan maksud sekunder. Pada akhirnya, teknik perbaikan trauma vulvovagina hampir sama dengan yang digunakan pada laserasi obstetric. Jika kavum peritoneum telah tertembus, eksplorasi transabdomen dengan laparotomi atau laparoskopi diperintahkan untuk menyingkirkan luka visceral karena ketidak-hati-hatian. CEDERA SEKS Membedakan straddle injury dengan sexual abuse sering menantang, karena pola cederanya tidak dapat dikonfirmasi secara tepat atau menyingkirkan trauma seksual. Diagnosisnya memerlukan penyelidikan yang hati-hati dan hubungan antara mekanisme cedera yang dijelaskan dengan temuan fisik. Karakteristik-karakteristik tertentu dapat merupakan red flag untuk sexual abuse. Pada bayi dan anak-anak, karakter ini termasuk trauma luas dan cedera pada daerah extragenital, sekresi genital, hubungan yang buruk antara riwayat dan temuan fisik, atau kondiloma akuminata. Selain itu, cedera-cedera di fourchette posterior, cedera hymen yang meluas dari posisi pukul 3 ke 9; atau vegina, rectum, atau perforasi peritoneum seharusnya meningkatkan dugaan seksual abuse. Kebalikannya, laserasi unilateral, tunggal, atau laserasi stelata atau lebam dengan bentuk yang sama dengan objek tumpul yang dideskripsikan mendukung diagnosis cedera yang tidak disengaja. Sebagai tambahan, straddle injury non penetrasi lebih umum pada kondisi tidak disengaja. Sehingga, laserasi atau abrasi labia minor, mons pubis, dan klitoris pada bagian anterior atau lateral dari hymen adalah khas untuk straddle injury.
CHAPTER 4 Page 29

LESI VAGINA Benda Asing Cedera vulvovagina dapat disebabkan karena trama oleh benda asing yang ditempatkan di vagina. Walaupun terlihat pada semua usia wanita, asal dari objek beragam sesuai dengan populasi yang terkena. Misalnya, objek kecil dapat berada di vagina anak-anak selama bermain atau karena memasukkannya sendiri atau seorang remaja dapat mengeluh tidak dapat mengambil kembali tampon yang terlupa atau kondom yang rusak. Petualangan seksual yang salah atau abuse biasanya dapat menerangkan etiologi objek yang ditemukan pada wanita dewasa. Dua hal yang berjanji akan didiskusikan khusus lebih lanjut : tampon yang terlupakan dan pessary vagina Wanita dengan tampon yang terlupa akan mengeluh bau discharge vagina yang busuk dengan beberapa pruritus yang berhubungan, tidak nyaman, atau ganguan fungsi perdarahan. Setelah didiskusikan lebih lanjut, riwayat percobaan pengambilan yang tidak berhasil mungkin diungkapkan. Ketiadaan leukosit, demam, atau bukti yang mendukung endometriosis atau salfingitis, pemindahan tampon yang sederhana diperlukan. Pembersih vagina untuk membersihkan vagina tidak diindikasikan, karena ini dapat meningkatkan resiko infeksi ascenderen. Pessary vagina umum digunakan untuk terapi konservatif prolapsed organ pelvis (lihat bag. 24). Epitel vagina atropi meningkatkan resiko ulserasi atau komplikasi erosi karena ukuran peralatan yang tidak sesuai. Krim estrogen intravagina dan evaluasi dokter yang dekat dengan waktu pemindahan penting untuk mencegah cedera semacam ini. Keluhan discharge darah atau bau yang busuk harus memerlukan inspeksi segera dari lengkung vagina. Kista Inclusi Epidermal Kumpulan sel epitel deskuamasi tak berkapsul dalam dinding epitel skuamos berlapis di dermis vagina dikenal sebagai kista inklusi epidermal. Kista inklusi beraneka ragam ukuran dan terlihat dalam mucus vagina sebagai massa putih bulat. Umumnya, kista terisi dengan cairan, pasir/serbuk, atau kandungan kaseosa yang berbau busuk yang menyerupai eksudat purulen. Seperti yang ditemukan di vulva, kista inklusi epidermal umumnya asimptomatik dan tidak memerlukan evaluasi lebih lanjut kecuali kasus infeksi, dimana incise dan drainase direkomendasikan. Abnormalitas Traktus Reproduksi karena Induksi Dietilstilbestrol Di pertengahan 1900, Dietilstilbestrol (DES), estrogen nonsteroid sintetik, diresepkan untuk banyak masalah kehamilan pada wanita di Amerika (lihat. Bag 18 ). Anak perempuan dari wanita ini, yang terpapar DES in utero, menunjukkan adenocarsinoma clear sel vagina yang meningkat dan perubahan tracktus reproduksi congenital. Perubahan ini termasuk septum vagina transversa, rigi melingkar dalam vagina dan serviks, dan kerah serviks (lihat gbr. 32-7). Tambahannya, area epitel kolumner dalam mukosa squamos vagina dapat ditemukan pada wanita ini, dan disebut adenosis vagina. Adenosis vagina khas nampak merah, ber-punctum, dan
CHAPTER 4 Page 30

granular. Simptom dan tanda umum khususnya perdarahan post coitus.

termasuk iritasi vagina, discharge, dan metroragi,

Kista Ductus Gartner Kista vagina yang tidak umum ini berkembang dari sisa ductus mesonefrik (wolffian) (lihat gbr. 18-2). Mereka khas asimptomatik dan biasanya ditemukan disebelah lateral dinding vagina selama pemeriksaan rutin. Pemeriksaan mengungkapkan kista keras yang dapat dipalpasi atau terlihat menonjol dibawah dinding vagina. Observasi saja sudah cukup untuk banyak kasus, walaupun marsupialisasi atau eksisi diperlukan untuk kista ductus Gartner yang simptomatik. LESI SERVIKS Eversi Squamocolumnar junction (SCJ) adalah perbatasan antara epitel kolumner endoserviks dan epitel squamos ektoserviks. Jaringan endoserviks pada beberapa wanita dapat pindah keluar dari kanalis endoserviks pada proses yang disebut Eversi (lihat gbr 29-2). Sebagai akibatnya, SCJ berada lebih jauh dari serviks eksternal penderita. Untuk melakukan pap smear yang adekuat, klinisi harus mengidentifikasi garis lingkar SCJ sebelum dilakukan sampling.

Kista Naboti Barisan sel kolumner yang mensekresi mukus melapisi kanalis endoserviks. Selama metaplasia skuamus, epitel skuamus dapat menutupi sarang sel kelenjar, mengakibatkan akumulasi sekresi mukus. Selama proses jinak ini berlanjut, peninggian kelenjar yang sedikit, jernih atau berwarna kuning dapat terlihat selama pemeriksaan rutin (Gbr. 4-12). Kista naboti tidak memerlukan terapi lebih lanjut. Polip Endoserviks Salah satu neoplasma jinak yang paling umum dijumpai pada serviks adalah proyeksi hiperplastik lipatan endoserviks yang dikenal sebagai polip endoserviks (Gbr. 4-13). Lesi mudah ditemukan selama pemeriksaan serviks rutin dan dapat berkaitan dengan leukore atau bercak paska senggama. Dengan adanya tangkai kecil, pengangkatan polip dapat diselesaikan dengan pemuntiran lesi dengan cincin forsep. Pemuntiran yang mengarah pada penutupan pembuluh darah yang menyokong dan avulsi massa. Polip dengan pedikel tebal paling baik diterapi dengan eksisi pembedahan. Eksisi polips serviks memerlukan evaluasi patologik untuk menyingkirkan keganasan.

CHAPTER 4

Page 31

You might also like