You are on page 1of 8

PRAKTIS KEJANG DEMAM Diagnosis dan tatalaksana

PRAKTIS KEJANG DEMAM Diagnosis dan tatalaksana Dwi P. Widodo Subbagian Neurologi Anak Ilmu Kesehatan Anak FKUI Poin-poin penting 1. Sebagian besar anak dengan kejang demam adalah baik, dan rIsiko untuk mendapatkan epilepsi rendah. 2. Makin muda usia anak mengalami kejang demam pertama, makin besar kemungkinan berulangnya kejang demam. 3. Tes diagnostik bukan merupakan hal rutin. Neuropencitraan sangat jarang diindikasikan. 4. Meningitis harus selalu disingkirkan, baik secara klinis atau dengan pungsi lumbal. 5. Pengobatan belum dapat mengurangi risiko epilepsi dikemudian hari. Definisi Di Unit Kerja Neurologi Anak IDAI, kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (380 C, rektal), biasanya terjadi pada bayi dan anak antara umur 6 bulan dan 5 tahun yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium dan tidak terbukti adanya penyebab tertentu. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam tidak termasuk. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disertai penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistim susunan saraf pusat. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Dahulu livingston membagi kejang demam menjadi dua golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered off by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa risiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang diperkirakan. 1,2 Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit, umum dan tunggal, dan kejang demam kompleks yang berlangsung lebih lama dari 15 menit, atau fokal, dan atau multiple (terjadi 2 kali kejang atau lebih dalam 24 jam) 1,34,5 Disini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau riwayat kejang demam atau kejang tanpa demam dalam keluarga. Epidemiologi Kejadian kejang demam diperkirakan 2% 4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di negara Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 80%, dan mungkin mendekati 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. 3 Beberapa studi prospektif telah menentukan bahwa kira-kira

20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering pada anak laki-laki. Faktor risiko kejang demam pertama Studi telah memperlihatkan bahwa tingginya temperatur merupakan faktor risiko untuk terjadinya kejang demam, seperti adanya riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung. Perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, dan anak dalam perawatan khusus juga merupakan faktor risiko. Rendahnya kadar natrium serum juga mempunyai korelasi dengan kejadian kejang demam (tabel 1). 1,5 Tabel 1. Faktor risiko kejang demam pertama 1. Riwayat keluarga dengan kejang demam 2. Pemulangan neonatus > 28 hari 3. Perkembangan terlambat 4. Anak dengan pengawasan 5. Kadar natrium rendah 6. Temperatur yang tinggi Bila seorang anak mempunyai 2 atau lebih faktor risiko ini, maka risiko untuk mendapatkan kejang demam kira-kira 30%. 5 Rekurensi Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Makin muda anak ketika kejang pertama kalinya, makin besar kemungkinan rekurensinya. 50% rekurensi terjadi dalam 6 bulan pertama, 75% berulang pada tahun pertama dan 90% rekurensi terjadi pada tahun ke dua. 6,7 Risiko rekurensi juga berhubungan dengan cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, dan rendahnya temperatur. Riwayat keluarga dengan kejang demam juga merupakan faktor risiko. Riwayat keluarga dengan epilepsi dilaporkan juga sebagai risiko oleh beberapa peneliti tetapi tidak oleh peneliti lain. Usia dini saat kejang demam dan riwayat kejang dalam keluarga merupakan faktor risiko yang kuat untuk timbulnya rekurensi. Rekurensi lebih sering bila serangan pertama terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun, yaitu sebanyak 50%, dan bila terjadi pada usia lebih dari 1 tahun risiko rekurensi menjadi 28% (tabel 2).8 Tabel 2. Faktor risiko rekurensi kejang demam. 1. 2. 3. 4. 5. Usia muda Riwayat keluarga kejang demam Cepat kejang setelah demam Temperatur yang rendah saat kejang Riwayat keluarga epilepsi (mungkin)

Epilepsi

Meskipun telah dilaporkan bahwa 15% kasusu epilepsi didahului dengan kejang demam, kejadian kejang demam ternyata lebih sering dibandingkan kejadian epilepsi, dan kurang dari 5% anak kejang demam berkembang menjadi epilepsi. Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik-klonik umum, dan partial kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam. National Institute of Neurologic Disorder and Stroke (NINDS) Perinatal Collaborative Project (NCPP) melaporkan tingginya risiko epilepsi diantara anak-anak dengan perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat orang tua atau saudara kandung dengan epilepsi, dan anak dengan kejang demam kompleks (tabel 3). 60% anak dengan kejang demam tanpa satupun faktor risiko diatas, 2% akan berkembang epilepsi sebelum usia 7 tahun. 34% anak dengan satu faktor risiko, 3% akan menjadi epilepsi, dan jika mempunyai 2 atau 3 faktor risiko, maka kejadian epilepsi menjadi 13 %. 5,9 Tabel. 3. Faktor risiko untuk mendapatkan epilepsi 1. 2. 3. Genetik Faktor genetik tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya belum jelas tetapi autosomal dominan sederhana banyak yang disebut-sebut. Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui cara diturunkannya. Anak dengan kejang demam sering dijumpai keluarganya mempunyai riwayat kejang demam. Tingginya kejadian epilepsi dalam keluarga yang mempunyai anak dengan kejang demam tidak sepenuhnya terbukti. Risiko epilepsi juga tinggi pada saudara kandung yang mempunyai kejang demam, tetapi tidak untuk saudara yang lain. Orang tua mungkin menanyakan kemungkinan risiko kejang demam untuk anak yang lainnya, dan ini kira-kira 10% 20%, dan akan lebih tinggi jika orang tuanya mempunyai riwayat kejang demam. Patofisiologi : etiologi Mengapa seorang anak yang menderita demam dapat mengalami kejang sedangkan anak yang lain tidak, hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, faktor suhu, infeksi dan umur secara bersamaan memegang peranan yang penting. Berbagai hipotesis telah diajukan, antara lain mengatakan bahwa secara genetika ambang kejang pada anak berbeda-beda dan akan turun pada kenaikan suhu tubuh. 10,11 Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh infeksi yang umum terdapat pada anak seperti tonsilitis, infeksi traktus respiratorius (38% 40% kasus), otitis media (15% 23%), dan gastroenteritis akut (7% 9%). Anak usia prasekolah sering kali mendapat infeksi ini dan disertai demam, yang bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan mudah mendapatkan kejang. Hanya 11% anak dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,90C, 14% - 40% kejang terjadi pada temperatur antara 380C dan 38,90C, dan 40% - 56% pada temperatur antara 390C dan 39,90C. Manifestasi klinis Perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama Riwayat keluarga dengan epilepsi Kejang demam kompleks

Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Sering diperkirakan bahwa cepatnya peningkatan

temperatur merupakan pencetus untuk terjadinya kejang. Meskipun belum ada data yang menunjangnya. Umumnya serangan kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis, kemudian tidak sadar dan timbul kekakuan otot. Selama fase tonik, mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian diikuti fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya anak setelah kejang latergi atau tidur. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Serangan dalam bentuk absens atau mioklonik sangat jarang. Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari menit, dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit, dan 4% kejang berlangsung lebih dari 30 menit. Jadi umumnya anak tidak kejang lagi pada waktu dibawa ke dokter. Bila anak kejang lagi perlu diindentifikasi apakah ada penyakit lain yang memerlukan pengobatan tersendiri. Perlu juga diketahui mengenai pengobatan sebelumnya, ada tidaknya trauma, perkembangan psikomotor, dan riwayat keluarga dengan epilepsi atau kejang demam. Deskripsi lengkap mengenai kejang sebaiknya didapat dari orang yang melihatnya. Dari pemeriksaan fisik , derajat kesadaran, adanya meningismus, ubun-ubun besar yang tegang atau membonjol, tanda Kernig atau Brudzinski, kekuatan dan tonus, harus diperiksa dengan teliti dan dinilai ulang secara periodik. Kira-kira 6% anak akan mengalami rekurensi dalam 24 jam pertama, namun belum diketahui kasus yang mana akan cepat mengalami kejang kembali. Penyebab lain dari kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya ensefalitis atau meningitis. Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis, dan jika pasien telah mendapat antibiotik maka perlu pertimbangan lumbal pungsi. Tanda klinis meningitis yang tipikal biasanya sulit diperoleh pada bayi kurang dari 12-18 bulan, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 12 bulan dan dianjurkan pada penderita berumur kurang dari 18 bulan.19 Secara umum pungsi lumbal ini tidak sering dikerjakan. Jika dijumpai peninggian tekanan intrakranial, pungsi lumbal sebaiknya dikerjakan oleh dokter yang berpengalaman, mengingat risiko pungsi lumbal dan keterlambatan diagnosis meningitis. Penyebab lain dari kejang yang disertai demam selain meningitis dan ensefalitis adalah gastroenteritis Shigella, obat-obat tertentu seperti diphenhidramin, antidepresan trisiklik, amfetamin, cocain dan dehidrasi yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air-elektrolit. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi. Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang dikerjakan dan tidak rutin. Elektroensefalogram (EEG) tidak memperlihatkan kegunaannya dalam mengevaluasi kejang demam. EEG yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang demam dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan di posterior. 95% kasus kejang demam EEGnya abnormal bila dikerjakan segera setelah kejang demam. Kira-kira 30% penderita akan memperlihatkan perlambatan di posterior dan akan menghilang 7 sampai 10 hari kemudian. 12 Walaupun ada abnormalitas gambaran EEG yang tinggi pada anak dengan kejang demam, namun EEG tidak dapat memprediksi rekurensi atau risiko untuk terjadinya epilepsi dikemudian hari. 2,5,13 AAP (american Academi of paediatric)19 tidak menganjurkan untuk melakukan EEG pada penderita dengan kejang demam sederhana atau kompleks. Penatalaksanaan Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu : (1) Pengobatan pada fase akut; (2) mencari dan mengobati penyebab; (3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam. 14 Pengobatan fase akut

Pada sebagian besar kasus kejang demam, sering kali kejang berhenti sendiri. Dalam hal demikian tindakan yang perlu dilakukan ialah mencari penyebab demam, dan memberikan pengobatan yang adekuat terhadap penyebab tersebut. Untuk mencegah agar kejang tidak berulang kembali sebaiknya diberikan profilaksis antikonvulsan, karena kejang masih dapat kambuh selama anak masih demam. Pada anak yang sedang mengalami kejang, dilakukan perawatan yang adekuat. Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut. Jalan nafas dijaga agar tetap terbuka, agar suplai oksigen tetap terjamin. Bila perlu diberikan oksigen. Fungsi vital, keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran perlu diikuti dengan seksama. Suhu yang tinggi harus segera diturunkan dengan kompres dan pemberian antipiretika. Kejang harus segera dihentikan, ini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi kerusakan pada otak atau meninggalkan gejala sisa atau bahkan kematian. Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Dosis intravena 0,30,5 mg/kg diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 12 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Apabila sukar mencari vena dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5/kg atau 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari 10 kg. Apabila kejang belum berhenti, 5-10 menit kemudian dapat diulangi lagi pemberian diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Bila kejang tidak berhenti, diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kg/per drip selama 20-30 menit setelah dilarutkan dalam cairan NaCl fisiologis. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-24 jam setelah dosis awal. Setelah kejang berhenti harus ditentukan apakan perlu pengobatan profilaksis atau tidak, tergantung jenis kejang demam dan faktor risiko yang ada pada anak tersebut. Pengobatan profilaksis Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, karena serangan kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan dan mencemaskan bagi orang tua. Dikenal 2 cara profilaksis, yaitu : (1) profilaksis intermiten pada waktu demam; (2) profilaksis terus menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari. Profilaksis intermiten Obat antikonvulsan hanya diberikan pada waktu penderita demam dengan ketentuan orang tua atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada penderita. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Diazepam dapat diberikan secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis atau intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari 10 kg, setiap penderita menunjukkan suhu 38,50C atau lebih. Efek samping diazepam (38%) ialah ataksia, mengantuk dan hipotoni. Obat antipiretika sering dianjurkan meskipun tidak terbukti dapat mengurangi risiko rekurensi, tetapi efektif menurunkan suhu sehingga dapat membuat anak menjadi tenang. 15,16 Dengan mempertimbangkan antar khasiat obat dan efek sampingnya, American Academy of Pediatrics merekomendasikan, untuk tidak memberikan profilaksis intermiten apalagi profilaksis terus menerus pada kejang demam sederhana pertama atau yang berulang tanpa faktor risiko. 19 Profilaksis terus menerus Kontroversi masih berlanjut mengenai pemberian profilasis terus menerus pada anak dengan kejang demam. Mengingat sebagian besar penderita kejang demam mempunyai prognosis yang baik dan sangat rendahnya komplikasi yang diakibatkan kejang demam serta pertimbangan akan efektifitas dan efek samping obat antikonvulsan, maka pemberian profilaksis terus menerus hanya diberikan secara individual atau pada kasus tertentu saja. 1,2,5,12,16,17

Studi prospektif telah membuktikan bahwa profilaksis terus menerus dengan fenobarbital tidak lebih efektif dibandingkan plasebo dalam mencegah berulangnya kejang kembali, dan terlihat kelompok fenobarbital mempunyai IQ 8,4 angka lebih rendah dari kelompok plasebo. 3,18 Obat profilaksis terus menerus yang diberikan setiap hari adalah fenobarbital 3-5 mg/kg/hari, tetapi obat ini tidak efektif untuk profilaksis intermiten. Obat lain yang digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan fenobarbital, tetapi mempunyai efek samping hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari. Fenitoin dan karbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang demam. 5,14 Di Unit Kerja Neurologi Anak IDAI, pemberian profilaksis terus menerus direkomendasikan pada keadaan seperti dibawah ini yaitu bila ada salah satu dari kriteria dibawah ini : 20 1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau kelainan perkembangan yang nyata ( CP, MR, Mikrosefali) 2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap. 3. Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu episode demam, kejang demam > 4 kali / tahun. Lama pemberian profilaksis terus menerus yang dianjurkan ialah 1 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selam 1-2 bulan. Daftar Pustaka 1. Hirtz GH. Febrile seizure. Pediatr Rev 1997; 1(18):5-8. 2. Holmes GL.Epilepsi and other seizure disorders. Dalam: Bruce O.Berg, Ed. Principles of child neurology; edisi ke-1. New York: McGraw-Hill, 1996; 221-33. 3. Duchowny M. Febrile seizures in childhood. Dalam: Elaine W, Ed. The treatment of epilepsy : principle & Practice; edisi ke-2. Baltimore: William & Wilkins, 1996; 622-8. 4. Verity CM. Do Seizure damage the brain? The epidemiological evidence. Arsh Dis Child 1998; 78:78-84. 5. Camfield RP and Camfield SC. Management and treatment of febrile seizure. Curr prob Pediatr 1997; 27:6-13. 6. Hara M, Seki T. Clinical aspects of febrile convulsions. Asian Med. J 1995; 36(10): 533-43. 7. Aicardi J. Febrile convulsion. In: Aicardi J, Ed. Epilepsy in children; edisi ke-2. New York : Raven Press 1994; 253-75. 8. Nelson K, Ellenberg JH. Predictors of epilepsy in children who have experience febrile seizure. N Eng J Med 1976; 259:1029-33. 9. Vining EPG, Freeman JM. Seizure which are not epilepsy. Pediatric Annal 1985; 14: 711-16. 10. Milichap JC. Febrile convulsion. New York: Mc Millan, 1968; 89-110 (dikutip oleh Ismael S, 1983) 11. Ismael S. Kejang demam, dalam: Ismael, Lumbantobing: KPPIK-XI Kejang pada Anak, FKUI 1983: 1-16 12. Gonzales Del Rey JA. Febrile seizures. Dalam: Barkin RM, Ed. Pediatric emergency medicine: Concepts and clinical practice; edisi ke-2. St Louis: Mosby, 1997: 1017-19 13. Kuteree M, Emoto SE, Sofijanov N, et al. Febrile Siezure: Is the EEG a Useful predictor of recurrences ?. Clin Pediatrics 1997; 31-6. 14. Soetomenggolo TS. Kejang Demam dan Penghentian Kejang. Dalam: Pusponegoro HD, Passat J, Mangunatmadja, Widodo DP, Soetomenggolo TS, Ismael S, editor. Neurologi Anak dalam praktek: Sehari-hari. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995: 209-21

15. Uhari M, Rantala H, VainionpaaL, et al. Effectof acetaminophen and of low intermittent doses of diazepam on prevention of recurrences of febrile seizures. J Pediatr 1995; 126: 991-5 16. Walsh P. Febrile convulsions. The Aust Paediatr Rev 1996; 3(6): 1-2 17. Knudsen FU, Paerregaard A, Anderson R, et al. Long term out come for Febrile Convulsions. Arch Dis Child 1996; 74: 13-18. 18. Farwell JR, Lee YJ, Hirtz DG, Sutzbacher SI, Ellenberg JH, Nelson KB. Phenobarbital for febrile Seizures: effects on intelligence and on seizure recurrence. N Engl J Med 1990; 322: 364-9 19. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter: Long-term treatment of the child with simple febrile seizures. Pediatrics 1999; 103: 1307-9. 20. Consensus Development Panel: Febrile seizures: Long-term management of children with fever associated seizures. Pediatrics 1980; 66: 1009-12 Daftar Peserta yang hadir pada Pertemuan UKK Neurologi Anak IDAI 5 Maret 2004 7 Maret 2004-05-26 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. Dwi Putro Widodo, dr. Sp.A(K), Mmed Jakarta Hardiono D. Pusponegoro, dr. Sp.A(K) Jakarta Prof. dr. Sofyan Ismael, Sp. A(K) Jakarta Prof. dr. Taslim S. Soetomenggolo, Sp.A(K) Jakarta Prof. dr. Darto Saharso, Sp.A(K) Surabaya Irawan Mangunatmadja, dr. Sp.A(K) Jakarta Jimmy Passat, dr. Sp.A(K) Jakarta RA. Setyo Handryastuti, dr. Sp.A Jakarta Prof. dr. SM. Lumban Tobing, Sp. S(K) Jakarta Tidak hadir Lazuardi, dr. Sp.S(K) Jakarta Yetty Ramli, dr. Sp.S Jakarta Alinda Rubiati, dr. Sp.A Jakarta Ellen Sianipar, dr. Sp.A Jakarta Iramaswati Kamarul, dr. Sp.A Jakarta Amril Burhani, dr. Sp.A Jakarta Leonard Napitupulu, dr. Sp.A Jakarta Anna Tjandrajani, dr. Sp.A Jakarta Atilla, dr. Sp.A Jakarta Tidak hadir Suharleny, dr. Sp.A Jakarta Dedy Ria Saputra, dr. Sp.A Jakarta Tidak hadir I Komang Kari, dr. Sp.A Bali Anna Marita Gelgel, dr.Sp.S Bali Nurhayati Masloman, dr. Sp.A Manado Iskandar Syarif, dr. Sp.A Padang Syarif Darwin Ansori, dr. Sp.A(K) Palembang Alwi Shahab, dr. Sp.A Palembang Mustarsid, dr. Sp.A Surakarta Tjipta Bahtera, dr. Sp.A(K) Semarang Alifiani Hikmah Putranti, dr. Sp.A(K) Semarang Erny, dr. Sp.A Surabaya DR. dr. Sunartini Hapsara, Sp.A(K) Yogyakarta Elisabeth Siti Herini, dr. Sp.A(K) Yogyakarta Nelly Amalia, dr. Sp.A Bandung Poerboyo Solek, dr. Sp.A Bandung Dewi Hawani Alisyahbana, dr. Sp.A Bandung

36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.

Reggy M. Panggabean, dr. Sp.S(K) Bandung Siti Aminah, dr. Sp.S Bandung Sri Indayati Sowarjo, dr. Sp.A(K) Bandung Pit Nara, dr. Sp.A(K) Makasar Tidak hadir Hadia Anggraini, dr. Sp.A Makasar Prof. dr. Bistok Saing, Sp.A(K) Medan Tidak hadir Margaretta Damanik, dr. Sp.A Medan Masdar M, dr. Sp.AMalang

Related items

You might also like