You are on page 1of 22

BAB I PENDAHULUAN

Seorang Penderita bernama Ny. N dengan usia 29 tahun datang ke IGD (Instalansi Gawat
Darurat) RSUD Raden Mattaher pada tanggal 5 september 2010. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien baru saja melahirkan dengan dukun, Kemudian terjadi perdarahan yang terus menerus dan tidak berhenti. Kemudian oleh keluarga dipanggil seorang bidan, kemudian bidan menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan counjungtiva pasien yang anemis dan tanda-tanda vital pasien seperti TD = 110/70, Nadi 92 x/menit, RR = 22 x/menit, dan suhu = 370C. Kemudian di dapatkan juga luka robekan dan perdarahan pada jalan lahir. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah rutin. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ditegakkan diagnosa perdarahan post partum et causa laserasi portio. Kemudian pasien di terapi di IGD.

BAB II STATUS RESUSITASI UNTUK MAHASISWA PSPD UNJA BAGIAN ANESTESIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Umur Ruang Berat Badan : Ny. S : Perempuan : 29 tahun : IGD : 50 kg

ANAMNESIS Keluhan Utama Kronologis : Perdarahan setelah melahirkan yang tidak berhenti, :Sekitar 3 jam sebelum masuk rumah sakit penderita melahirkan seorang bayi yang ditolong oleh dukun. Kemudian terjadi perdarahan setelah melahirkan yang tidak berhenti, darah terus keluar melalui jalan lahir. Oleh bidan, penderita di suruh dibawa ke rumah sakit. Riwayat Penyakit Dahulu : Darah Tinggi dan kencing manis disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalisata 1. Keadaan Umum : Lemah

2. Kesadaran 3. Tekanan Darah 4. Nadi 5. RR 6. Suhu 7. BB B. Pemeriksaan Fisik 1. Kepala Bentuk Mata

: : : : : :

Composmentis (GCS 15) 110/70 mmhg 92 x/menit 22 x/menit 37C 53 kg

: Mesosefal : Conjungtiva Anemis +/+, Sklera Ikterik -/-, pupil isokor, reflex cahaya +/+

Leher 2. Thorax Pulmo

: JVP(5-2) cmH20,pembesaran kelenjar getah bening (-)

:simetris kanan dan kiri, sonor disemua lapangan paru, vesikuler disemua lapangan paru.

Cor

:Ictus cordis tidak terlihat, ictus cordis teraba di ics V, BJ I, II murni, reguler. Gallop (-), Murmur (-).

Abdomen

:Datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, (+) normal.

timpani, bising usus

3. Extrimitas

:Acral hangat, edema pretibial (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium Darah Rutin Hb Ht Leukosit Trombosit : 9,2 gr/dl (11-16,5) : 29,1 L % (35-50) : 24,03 /mm3 (3,5-10) : 225.103 /mm3 (150-390)

Eritrosit PCT

: 3,21.103/mm3 (3,8-5,8). 103/mm3 : .174

Golongan Darah Bleeding Time Clotting Time

:O : 3 : 4

DIAGNOSIS : Haemorhagic post partum ec Laserasi portio

THERAPY

: IVFD RL 2 line gtt 30 Oksigen kanul 2l/menit Pemberian metergin 0,2 mg IM Pemberian pitogin 20 IU IM Pemberian As.Traneksamat 500mg Pemberian antibiotik cefotaxime 1 gr Pantau vital sign secara ketat Jahit jalan lahir Pasang tampon

Jam 18..30 18.50

Cairan (kolf) RL I (cor)+ RL II RL III

T/D 110/80 120/90

Nadi 90 98

Intake

Output

1500

Perdarahan di IGD 200 cc Perdarahan saat persalinan 500 cc

MONITORING 1. Pantau keadaan umum pasien dan tanda- tanda vital seperti tekanan darah, nadi, RR, dan suhu perlu di awasi. 2. Pantau balance cairan , dengan cara melihat jumlah cairan yang masuk dan yang keluar.

PLANNING Cek darah rutin, transfusi darah jika Hb < 8 L g/dl

BAB III TEORI DAN PEMBAHASAN Perdarahan post partum ( post partum hemorrhage) adalah kehilangan lebih dari 500 cc darah setelah kelahiran pervaginam atau 1000 cc post operasi caesar (SC). Early post partum hemorrhage terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran dan late post partum hemorrhage terjadi antara 24 jam sampai dengan 6 minggu setelah kelahiran1. Pada kasus ini, perdarahan pasien 600 cc setelah persalinan pervaginam dan termasuk early post partum hemorrhage karena terjadi setelah 1 jam setelah kelahiran. Penyebab perdarahan post partum adalah atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta, tertinggalnya sebagian plasenta, inversio uteri, endometritis2. Pada kasus ini, penyebabnya adalah robekan jalan lahir (laserasi portio). Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum. Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.3 Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan

pengunaan cairan Ringer Laktat.3 Jenis cairan ini mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan kehilangan cairan berikutnya ke dalam ruang interstisial dan intraseluler.4 Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial.3 Berikan RL atau Nacl fisiologis sebanyak 2-3 x darah yg keluar dgn tetesan cepat selama 20-30 menit.2 Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilangan darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.3 Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.3 Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat. PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.3 Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penjenda.3

Jenis uteronika dan cara pemberian Jenis dan Cara Dosis dan cara pemberian awal Oksitosin IV: 20 U dalam 1 L larutan garam fisiologis dengan tetesan cepat IM: 10 U Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1 L larutan garam fisiologis dengan 40 tetes/menit Dosis maksimal per hari Kontraindikasi atau hati-hati Tidak lebih dari 3 L larutan fisiologis Pemberian IV secara cepat atau bolus Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4 jam Total 1 mg (5 dosis) Total 1200 mg atau 3 dosis Nyeri kontraksi Asma 400 mg 2-4 jam setelah dosis awal Ergometrin IM atau IV (lambat): 0,2 mg Misoprostol Oral atau rektal 400 mg

Preeklampsia, vitium kordis, hipertensi

Dalam batas tertentu, produksi urine dapat digunakan sebagai pemantauan aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa.5 1. Etika kedokteran Berdasarkan falsafah dasar saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien maka semua kegiatan di ICU bertujuan dengan berorientasi untuk dapat secara optimal memperbaiki kondisi kesehatan pasien.

2. Indikasi yang benar Pasien yang dirawat di ICU adalah yang memerlukan : a. Pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan, sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan terapi titrasi. b. Pemantauan kontinyu terhadap pasien pasien dalam keadaan kritis yang dapat mengakibatkan terjadinya dekompensasi fisiologis c. Intervensi medis segera oleh tim intensive care

3. Kerjasama multidisipliner dalam masalah medis komplek Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin dengan tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang dapat memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerjasama dalam tim, dengan dipimpin oleh seorang intensivist sebagai ketua tim.

4. Kebutuhan pelayanan kesehatan pasien Kebutuhan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi fungsi vital seperti Airway (jalan napas), breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak), dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif.

5. Peran koordinasi dan integritas dalam kerjasama tim Dengan mengingat keadaan pasien seperti yang tersebut dalam butir 2 dan 4 di atas, maka pembagian kerja tim multidisiplin adalah sebagai berikut : a. Dokter yang merawat pasien sebelum masuk ICU melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau usulan terapi. b. Intensivist, selaku ketua tim, melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya. c. Ketua tim berkonsultasi pada konsultasi lain dengan mempertimbangkan usulan usulan anggota lain.

6. Hak dan kewajiban dokter Setiap dokter dapat memasukkan pasien ke ICU sesuai dengan indikasi masuk ICU, karena keterbatasan jumlah tempat tidur ICU, maka berlaku asas prioritas dan indikasi masuk.

7. Sistem manajemen peningkatan mutu terpadu Demi tercapai koordinasi dan peningkatan mutu pelayanan di ICU, diperlukan tim kendali mutu yang anggotanya terdiri dari beberapa disiplin ilmu, dengan tugas utamanya memberi masukan dan bekerjasama dengan staf struktural ICU untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan ICU.

8. Kemitraan profesi Kegiatan pelayan pasien di ICU disamping multi disiplin juga interprofesi, yaitu profesi medik, profesi perawat dan profesi lain agar dicapai hasil optimal maka perlu ditingkatkan mutu SDM secara berkelanjutan, menyeluruh dan mencakup semua kelompok profesi.

9. Efektifitas, keselamatan dan ekonomis Unit pelayanan ICU mempunyai ciri biaya tinggi, teknologi tinggi, multidisiplin dan multi profesi berdasarkan atas efektivitas, keselamatan dan ekonomis.

10. Kontinuitas pelayanan Untuk efektifitas, keselamatan dan ekonomisnya pelayanan ICU, maka perlu dikembangkan unit pelayanan tingkat tinggi (high care unit). HCU fungsi utamanya menjadi unit perawatan antara bangsal rawat dan ICU. Di HCU tidak diperlukan peralatan canggih seperti ICU, yang diperlukan utamanya adalah kewaspadaan yang lebih tinggi. BAB III INTENSIVIST

Definisi Intensivist Seorang intensivist adalah seorang dokter yang memenuhi standar kompetensi sebagai berikut : A. Terdidik dan bersertifikasi sebagai seorang spesialis intensive care medicine (KIC, konsultan intensive care) melalui program pelatihan dan pendidikan yang diakui oleh perhimpunan profesi yang terkait B. Mununjang kualitas pelayanan di ICU dan menggunakan sumber daya ICU secara efisien. C. Mendarma baktikan lebih dari 50% waktu profesinya dalam pelayanan ICU D. Bersedia berpartisipasi dalam suatu unit yang memberikan pelayanan 24 jam/hari, 7 hari seminggu E. Mampu melakukan prosedur kritikal care biasa, antara lain : a. Mempertahankan jalan napas termasuk intubasi trakeal dan ventilasi mekanis b. Pungsi arteri untuk mengambil sampel arteri c. Memasang kateter intravaskuler dan peralatan monitoring termasuk kateter arteri, kateter vena perifer, kateter vena central, kateter arteri pulmonalis. d. Pemasangan kabel pacu jantung transvenous temporer e. Resusitasi kardiopulmoner f. Pipa thoracostomy

F. Melakukan dua peran utama : a. Pengelolaan pasien Mampu berperan sebagai pemimpin tim dalam memberikan pelayanan di ICU, menggabungkan dan melakukan titrasi layanan pada pasien berpenyakit kompleks atau cidera termasuk gagal organ multisistem. Intensivist memberi pelayanan sendiri atau dapat

berkolaborasi dengan dokter pasien sebelumnya. Mampu mengelola pasien dalam kondisi yang biasa terdapat pada pasien sakit kritis seperti : a. Hemodinamik tidak stabil b. Gangguan atau gagal napas dengan atau tanpa memerlukan tunjangan ventilasi mekanis c. Gangguan neurologis akut termasuk mengatasi hipertensi intrakranial d. Gangguan atau gagal ginjal akut e. Gangguan endokrin dan atau metabolik akut yang mengancam nyawa f. Kelebihan dosis obat, reaksi obat atau keracunan obat

g. Gangguan koagulasi h. Infeksi serius i. Gangguan nutrisi yang memerlukan tunjangan nutrisi

b. Manajemen unit Intensivist berpartisipasi aktif dalam aktivitas aktivitas manajemen unit yang diperlukan untuk memberi pelayanan pelayanan ICU yang efisien, tepat waktu dan konsisten pada pasien. Aktivitas aktivitas tersebut meliputi antara lain : a. Triage, alokasi tempat tidur dan rencana pengeluaran pasien b. Supervisi terhadap pelaksanaan kebijakan kebijakan unit c. Partisipasi pada kegiatan kegiatan perbaikan kualitas yang berkelanjutan termasuk supervisi koleksi data d. Berinteraksi seperlunya dengan bagian bagian lain untuk menjamin kelancaran jalannya ICU

Untuk keperluan ini intensivist secara fisik harus berada di ICU atau rumah sakit dan bebas dari tugas tugas lainnya. G. Mempertahankan pendidikan yang berkelanjutan di critical care medicine : 1. Selalu mengikuti perkembangan mutakhir dengan membaca literatur kedokteran 2. Berpartisipasi dalam program program pendidikan kedokteran berkelanjutan 3. Menguasai standar standar untuk unit critical care dan standar of care di kritikal care H. Ada dan bersedia untuk berpartisipasi pada kegiatan kegiatan perbaikan kualitas interdisipliner

BAB IV PELAYANAN INTENSIVE CARE

1. Praktek kedokteran intensive care

Pelaksanaan pelayanan kedokteran intensive care adalah berbasis rumah sakit, diperuntukkan dan ditentukan oleh kebutuhan pasien yang sakit kritis. Tujuan dari pelayanan intensive care adalah memberikan pelayanan medik tertitrasi dan berkelanjutan serta mencegah fragmentasi pengelolaan. Pasien sakit kritis meliputi : a. Pasien pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan dokter, perawat, perawatan napas yang terkoordinasi dan berkelanjutan, sehingga memerlukan perhatian yang teliti, agar dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan titrasi terapi b. Pasien pasien yang dalam bahaya mengalami dekompensasi fisiologis dan karna itu memerlukan pemantauan konstan dan kemampuan tim intensive care untuk melakukan intervensi segera untuk mencegah timbulnya penyulit yang merugikan. Pasien sakit kritis membutuhkan pemantauan dan tunjangan hidup khusus yang harus dilakukan oleh suatu tim, termasuk diantaranya dokter yang mempunyai dasar pengetahuan, ketrampilan teknis, komitmen waktu, dan secara fisik selalu berada ditempat untuk melakukan perawatan titrasi dan berkelanjutan. Perawatan ini harus berkelanjutan dan bersifat proaktif, yang menjamin pasien dikelola dengan cara yang aman, manusiawi dan efektif dengan menggunakan sumber daya yang ada, sedemikian rupa sehingga memberikan kualitas pelayanan yang tinggi dan hasil yang optimal. 2. Pelayanan Intensive Care Pelayanan ICU harus dilakukan oleh intensivist yang terlatih secara formal dan mampu memberikan pelayanan tersebut dan yang terbebas dari tugas tugas lain yang membebani seperti kamar operasi, praktek atau tugas tugas kantor. Intensivist yang bekerja harus berpartisipasi dalam suatu sistem yang menjamin kelangsungan pelayanan intensive care 24 jam. Hubungan pelayanan ICU yang terorganisir dengan bagian bagian pelayanan lain di rumah sakit harus ada dalam organisasi rumah sakit. Bidang kerja pelayanan intensive care meliputi : pengelolaan pasien, administrasi unit,

pendidikan dan penelitian. Kebutuhan dari masing masing bidang akan bergantung dari tingkat pelayanan tiap unit. a. Pengelolaan pasien langsung

Pengelolaan pasien langsung dilakukan secara primer oleh intensivist dengan melaksanakan pendekatan pengelolaan total pada pasien sakit kritis, menjadi ketua tim dari berbagai pendapat konsultan atau dokter yang ikut merawat pasien. Cara kerja demikian mencegah pengelolaan yang terkotak kotak dan menghasilkan pendekatan yang terkoordinasi pada pasien serta keluarganya. b. Administrasi unit Pelayanan ICU dimaksudkan untuk memastikan suatu lingkungan yang menjamin pelayanan yang aman, tepat waktu dan efektif. Untuk tercapainya tugas ini diperlukan partisipasi dari intensivist pada aktivitas manajemen.

BAB V STANDAR MINIMUM PELAYANAN INTENSIVE CARE UNIT

Tingkat pelayanan ICU harus disesuaikan dengan kelas rumah sakit. Tingkat pelayanan ini ditentukan oleh jumlah staf, fasilitas, pelayanan penunjang, jumlah dan macam pasien yang dirawat. Pelayanan ICU harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut : a. Resusitasi jantung paru b. Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan ventilator sederhana c. Terapi oksigen d. Pemantauan EKG, pulse oksimetri terus menerus e. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral f. Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh

g. Pelaksanaan terapi secara titrasi h. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien i. j. Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat alat portabel selama transportasi pasien gawat Kemampuan melakukan fisioterapi dada

1. Klasifikasi atau stratafikasi pelayanan ICU a. Pelayanan ICU primer (standar minimal) Pelayanan ICU primer mampu memberikan pengelolaan resusitatif segera untuk pasien sakit gawat, tunjangan kardiorespirasi jangka pendek dan mempunyai peran penting dalam pemantauan dan pencegahan penyulit pada pasien medik dan bedah yang beresiko. Dalam ICU dilakukan ventilasi mekanik dan pemantauan kardovaskuler sederhana selama beberapa jam. Kekhususan yang harus dimiliki :

1. Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang perawatan lain. 2. Memiliki kebijaksanaan atau kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan. 3. Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala 4. Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan melakukan resusitasi jantung paru 5. Konsulen yang membantu harus selalu dapat dihubungi dan dipanggil setiap saat. 6. Memiliki jumlah perawat yang cukup dan sebagian besar terlatih 7. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, rontgen, kemudahan diagnostik dan fisioterapi. b. Pelayanan ICU sekunder Pelayanan ICU sekunder memberikan standar ICU umum yang tinggi, yang mendukung peran rumah sakit yang lain yang telah digariskan, misalnya kedokteran umum, bedah, pengelolaan trauma, bedah saraf, bedah vaskuler,dll. ICU hendaknya mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama melakukan dukungan/bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks. Kekhususan yang harus dimiliki : 1. Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang perawatan lain 2. Memiliki ketentuan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan 3. Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila diperlukan 4. Memiliki seorang kepala ICU, seorang dokter konsultan intensive care, atau bila tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang bertanggungjawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan resusitasi jantung paru 5. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat (1:1) untuk pasien dengan ventilator, renal replacement therapy dan 2:1 untuk kasus kasus lainnya.

6. Memiliki lebih dari 50% perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau minimal berpengalaman kerja 3 tahun di ICU 7. Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam batas tertentu melakukan pemantauan invasif dan usaha usaha penunjang hidup. 8. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgent, kemudahan diagnostik dan fisioterapi selama 24 jam 9. memiliki ruangan isolasi atau mampu melakukan prosedur isolasi c. Pelayanan ICU tersier (tertinggi) Pelayanan ICU tersier merupakan rujukan tertinggi untuk ICU, memberikan pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan/bantuan hidup multi sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang tak terbatas. ICU ini melakukan ventilasi mekanis pelayanan dukungan/bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan kardivaskuler invasif dalam jangka waktu yang terbatas dan mempunyai dukungan pelayanan penunjang medik. Semua pasien yang masuk ke dalam unit harus dirujuk untuk dikelola oleh spesialis intensive care. Kekhususan yang harus dimiliki : 1. Memiliki ruangan khusus tersendiri didalam rumah sakit 2. Memiliki kriteria penderita masuk, keluar dan rujukan 3. Memiliki dokter spesialis yang dibutuhkan dan dapat dihubungi, datang setiap saat diperlukan. 4. Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensive care atau dokter ahli konsultan intensive care yang lain yang bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu resusitasi jantung paru. 5. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat (1:1) untuk pasien dengan ventilator, renal replacement therapy dan 2:1 untk kasus kasus lainnya. 6. Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau minimal berpengalaman kerja 3 tahun di ICU

7. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan/terapi intensif baik non invasif maupun invasif 8. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgent, kemudahan diagnostik dan fisioterapi selama 24 jam 9. Memiliki paling sedikit seorang yang mampu dalam mendidik tenaga medik dan paramedik agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien 10. Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian 11. Memiliki staf tambahan yang lain, misalnya tenaga administrasi, tenaga medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian. d. Prosedur pelayanan perawatan/terapi 1. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari. b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan pelaksanaan spesifik problema dasar. c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit,latrogenik d. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang nyawanya pada saat itu bergantung pada fungsi alat/mesin dan orang lain. e. Indikasi masuk dan keluar ICU Suatu ICU mampu menggabungkan teknologi tinggi dan keahlian khusus dalam bidang kedokteran dan keperawatan gawat darurat yang dibutuhkan untuk merawat pasien sakit kritis. Keadaan ini memaksa diperlukannya mekanisme untuk membuat prioritas pada sarana yang terbatas ini apabila kebutuhan ternyata melebihi jumlah tempat tidur yang tersedia di ICU.

Dokter yang merawat pasien mempunyai tugas untuk meminta pasiennya dimasukkan ke ICU bila ada indikasi dan segera memindahkan ke unit yang lebih rendah bila kondisi kesehatan pasien telah memungkinkan. Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU. Bila kebutuhan masuk ICU melebihi tempat tidur yang tersedia, kepala ICU menentukan berdasarkan prioritas kondisi medik, pasien mana yang akan dirawat di ICU. Prosedur untuk melaksanakan kebijakan ini harus dijelaskan secara rinci untuk tiap ICU. Harus tersedia mekanisme untuk mengkai ulang secara retrospektif kasus kasus dimana dokter yang merawat tidak setuju dengan keputusan kepala ICU. f. Kriteria masuk ICU ICU memberikan pelayanan antara laian pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif didahulukan rawat ICU, dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan intensif dan pasien sakit kritis atau terminal dengan prognosis yang jelek untuk sembuh. Penilaian obyektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk pasien. Pasien prioritas 1 (satu) Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat obat vasoaktif kontinyu,dll. Contoh pasien kelompok ini antara lain pasca bedah kardiotoraksik atau pasien shock septik. Pasien prioritas 1 umumnya tidak mempunyai batas ditinjau dari macam terapi yang diterimanya. Pasien prioritas 2 (dua) Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien ini beresiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter sangat menolong. Contoh pasien ini antara lain mereka yang menderita penyakit jantung dasar, paru atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan mayor. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya, mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah. Pasien prioritas 3

Pasien jenis ini sangat kritis dan tidak stabil dimana status kesehatannya sebelumnya, penyakit yang mendasarinya atau penyakit akutnya baik masing masing atau kombinasinya sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, atau sumbatan jalan napas atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien pasien prioritas 3 mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru. Pengecualian Jenis pasien berikut umumnya tidak mempunyai kriteria yang sesuai untuk masuk ICU dan hanya dapat masuk dengan pertimbangan seperti pada keadaan luar biasa atas persetujuan kepala ICU. Lagi pula pasien pasien tersebut bila perlu harus dikeluarkan dari ICU agar fasilitas yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3. Pasien yang telah pasti mengalami brain death. Pasien pasien seperti itu dapat dimasukkan ke ICU bila mereka potensial donor organ, tetapi hanya tujuan untuk menunjang fungsi fungsi organ sementara menunggu donasi organ. Pasien pasien yang kompeten tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi perawatan yang nyaman saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah DNR. Sesungguhnya pasien pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya. Pasien dalam keadaan vegetatif permanen Pasien yang secara fisiologis stabil yang secara statistik resikonya rendah untuk memerlukan terapi ICU. Contoh contoh pasien kelompok ini antara lain pasien pasca bedah vaskuler yang stabil, pasien diabetic ketoacidosis tanpa komplikasi, keracunan obat tetapi sadar, concussion, atau payah jantung kongestif ringan. Pasien pasien semacam ini lebih disukai dimasukkan ke suatu unit intermediet untuk terapi definitif dan atau observasi G. Kriteria keluar ICU

Pasien prioritas 1 (satu) Pasien prioritas 1 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, atau bila terapi telah gagal dan prognosis jangka pendek jelek dengan kemungkinan kesembuhan atau manfaat dari terapi intensif kontinyu kecil. Contoh contoh hal terakhir adalah pasien dengan tiga atau lebih gagal sistem organ yang tidak berespon terhadap pengelolaan agresif. Pasien prioritas 2 Pasien prioritas 2 dikeluarkan bila kemungkinan untuk mendadak memerlukan terapi intensif telah berkurang. Pasien prioritas 3 Pasien prioritas 3 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kontinyu kecil. Contoh dari hal terakhir anta

You might also like