Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Secara umum kekeringan di Indonesia dapat diprediksi berdasarkan intensitas El Niño yang didefinisikan
berdasarkan deret waktu anomali suhu permuaan laut di Pasific (SSTA 3.4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
untuk intensitas El Niño kuat lebih dai 65% daerah di Indonesia mengalami hujan di bawah normal (Indonesia
kering). Korelasi antara intensitas El Niño yang kuat dengan persentase hujan di bawah normal di Indonesia
sangat besar , namun ketika intensitasnya rendah korelasinya menurun. Ini menunjukan bahwa ketika intensitas El
Niño rendah mekanisme lain, misalnya Dipole Mode di lautan India dapat memberi kontribusi besar. Pengaruh
lebih rinci terhadap wilayah iklim di Indonesia masih harus dikembangkan. Pengelompokan wilayah iklim
berdasarkan himpunan samar atau relasi samar pola curah hujan bulanan yang dikenal sebagai fuzzy clustering
atau pengelompokan dengan JNA seperti yang dilakukan Kohonen dapat dipakai di sini. Ternyata daerah Indonesia
dapat dikelompokan berdasarkan pola hujan yang dipengaruhi kuat oleh Monsun Australia Utara Indonesia
(NAIM), dan pola hujan yang khas daerah khatulistiwa yang dikenal sebagai Benua Maritim (MC). Gagasan
pengelompokan wilayah iklim ini dilandasi pemikiran bahwa untuk membahas pengaruh ENSO dan IOD kita harus
membahas dinamika atmosfir dalam skala regional sehingga pengelompokan wilayah iklim harus berlandaskan
tinggi geopotensial atau pola hujan bulanan rata-rata. Ternyata Benua Maritim (MC) timur dan NAIM dipengaruhi
kuat oleh ENSO, MC barat khususnya Sumatra Selatan dan Jawa Barat dipengaruhi juga oleh Dipole Mode yang
terjadi di lautan India.
Kata kunci : pengelompokan samar, himpunan samar, relasi samar, ENSO, IOD, kekeringan, monsun, benua
maritim
Abstract
In general drought in Indonesia can be predicted from intensities of El Niño that can be defined by using time series
of sea surface anomaly on Pacific Ocean (SSTA 3.4). It can be shown that when El Niño with strong intensities
occur then more than 65% regions in Indonesia the precipitations are below normal (drought in Indonesia). The
correlation between strong El Niño intensities and percentages of regions in Indonesia with precipitations below
normal are high, but when the intensities are weak the correlations are low. In this case other phenomena such as
on Indian Ocean Dipole Mode (IOD) can contribute to drought in Indonesia. Clustering of climatic regions in
Indonesia based on monthly rainfall pattern using fuzzy set, fuzzy relations or Kohonen’s neural network will help
to clarify drought on these regions. It can be shown that climatic regions in Indonesia can be clustered based on
monthly rainfall patterns that are strongly influence by Australian monsoon which is known as North Australia
Indonesian Monsoon (NAIM) and Maritime Continent (MC) which has equatorial precipitation characteristic. The
climatic clustering is based on the ground that ENSO and IOD are regional atmospheric dynamic so the clustering
should be based on average monthly pattern or geopotential height. The east MC and NAIM will be influence
strongly by ENSO and the western MC especially south Sumatra and west Java is influence also by IOD.
Keywords : fuzzy clustering, fuzzy set, fuzzy relations, ENSO, IOD, drought, monsoon, maritime continent
57
58 JMS Vol. 8 No. 2, Juni 2003
Jika didekati dengan regresi linear hasilnya (X1n, X2n, ……..X12n), Xkn = rata-rata hujan bulan ke k
sbb. ini, korelasi keseluruhan ialah R=0,57 , atau R2= untuk derah n dikurangi dengan rata-rata hujan
0,32 tetapi terlihat jelas dalam grafik tsb. bahwa bulananya. Koefisien kemiripan S didefinisikan
sebetulnya korelasinya besar ketika intensitas El Niño sebagai berikut10)
tinggi dan rendah ketika intensitasnya rendah. Ini S(X(n),X(m)) = X(n).X(m)/|X(n)||X(m)|
berarti bahwa intensitas El Niño tinggi akan
-1< S< +1
menyebabkan kekeringan di Indonesia, tetapi ketika
Dengan metoda pengelompokan ini kita dapat
intensitas El Niño rendah pengaruh lain dapat menjadi
memperoleh wilayah berdasarkan koefisien kemiripan
dominan sehingga mungkin saja kekeringan terjadi
pola hujannya . Secara umum hasil pengelompokanya
sesuai dengan pengelompokan yang dilakukan oleh
Murakami et al6) yaitu
a. SEAM (South East Asia Monsoon)
b. MC (Maritime Continent)
c. NAIM (North Australia-Indonesian Monsoon),
dengan tambahan kita mempunyai koefisien
kemiripan untuk setiap tempat sehingga analisa
korelasinya dengan intensitas El Niño dapat dilakukan
dengan lebih rinci. Arti koefisien korelasi dengan
suatu wilayah iklim merupakan koefisien korelasi
rata-ratanya. Koefisien korelasi sebagai fungsi dari
posisi masih bergantung dari koefisien kemiripannya.
Untuk NAIM (Gambar 2), ketika koefisien kemiripan
bertambah rendah maka koefisien korelasinya juga
akan turun7).
Berdasarkan pengelompokan samar7) kita dapat
membagi wilayah iklim Indonesia menjadi tiga
Gambar 1. Korelasi antara persentase daerah hujan di wilayah yaitu SEAM (South East Asia Monsoon)
bawah normal (Y) dengan intensitas El Niño (X) (Gambar 3) yang pola hujannya dipengaruhi secara
kuat oleh tekanan di atas benua Asia, NAIM (North
Mode Dipole India atau dikenal sebagai IOD Australia Indonesia Monsoon) (Gambar 2) yang pola
(Indian Ocean Dipole Mode) yang merupakan anomali hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas
temperatur permukaan laut India dapat juga memberi benua Australia dan MC(Maritime Continent) yang
kontribusi pada kekeringan di Indonesia, sehingga mempunyai pola hujan ekuator. Dari besar koefisien
untuk mengungkapkan mekanisme kekeringan di kemiripan dapat dilihat bahwa tidak ada daerah
Indonesia kita harus mempelajari interaksi antara El kepulauan Indonesia yang mempunyai koefisien
Niño dengan IOD. kemiripan lebih besar daripada 0.5 untuk dapat
Berdasarkan hasil ini dari prediksi SSTA Niño dinyatakan terkelompok sebagai SEAM. Pulau Jawa,
3.4 untuk tahun 20021), intensitas El Niño akan lemah- Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan terkelompok
sedang sehingga kekeringan di Indonesia lebih sebagai NAIM. Kepulauan lainya akan terkelompok
dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya IOD. Penelitian sebagai MC.
lebih lajut masih diperlukan untuk dapat Metoda pengelompokan lain misalnya dengan
mengungkapkan faktor tsb., pendaerahan wilayah c-means fuzzy clustering atau pengelompokan dengan
iklim yang lebih rinci berdasarkan himpunan JNA menurut Kohonen2,10) dapat saja dipakai dan
samar/relasi samar atau JNA2-4) perlu dikembangkan, perbandingan berbagai metoda ini diharapkan
sehingga diperoleh cara prediksi yang lebih baik. memperkaya cara penafsiran wilayah iklim Indonesia
Gagasan pengelompokan wilayah iklim ini dilandasi dan meningkatkan prediksi kekeringan untuk berbagai
pemikiran bahwa untuk membahas pengaruh ENSO wilayah itu.
kita harus membahas dinamika atmosfir dalam skala
regional sehingga pengelompokan wilayah iklim harus
berlandaskan tinggi geopotensial 700 mb5) atau pola
hujan bulanan rata-rata.
2. Pengelompokan Wilayah Iklim Regional
Pengelompokan wilayah iklim dapat dilakukan
berdasarkan relasi kemiripan pola hujan bulanan rata-
rata. Dalam cara pengelompokan ini data hujan
bulanan harus di rata-ratakan dahulu untuk jangka 12
tahun atau lebih jadi kita mempunyai vektor X(n) =
JMS Vol. 8 No. 2, Juni 2003 59
Gambar 2. Pengelompokan wilayah iklim berdasarkan acuan pola hujan bulanan rata-rata di Darwin.
Tanda bintang lima menunjukan wilayah iklim mirip Darwin dengan koefisien kemiripan > 0,5
Gambar 3. Pengelompokan wilayah iklim berdasarkan acuan pola hujan bulanan rata-rata di Bangkok.
Tanda bintang lima menunjukan wilayah iklim mirip Bangkok dengan koefisien kemiripan > 0,5
60 JMS Vol. 8 No. 2, Juni 2003
0.75
0.5
SSTA (der.C)
0.25
-0.25
-0.5
1961
1962
1963
1964
1965
1966
1967
1968
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Tahun
Gambar 4. Pita hitam menunjukan Indonesia kering tahun El Niño, pita merah menunjukan Indonesia dinyatakan
kering ketika bukan tahun El Niño. Dua pita merah (tahun 1966 dan 1980) dapat dijelaskan karena pengaruh DMI
positif