You are on page 1of 8

SEBUAH GARIS PERJALANAN Oleh: Ishak Salim 27 Nopember 2009, sebuah kunjungan ke Jakarta yang kemudian membawaku ke tempat

ini. tanahnya masih merah, dan nisan kayu yang diukir sederhana masih menuliskan nama ibuku, Hanis, tepatnya Hj. Hanis Salim. Saat kusentuh tanah merah itu, anganku melambung pada peristiwa tiga tahun lalu di akhir Oktober 2006. Suasana kamar sunyi. Tak ada yang memberi suara. Kakakku tak melanjutkan surat al-Imran yang sedang dibacanya dan ibu berbaring menatap tembok kamar yang putih kusam. Beasiswa IFP yang kuperoleh tak kusangka menjadi beban yang berat hari ini. Tentu bukan satu dua orang yang memberi nasehat, bahwa dalam keadaan seperti ini, memperoleh beasiswa adalah sebuah berkah dan berangkat menuntut ilmu adalah pilihan final yang tak perlu dipikirkan lagi. Saat itu, ibu sedang sakit keras. Sebuah serangan tekanan darah tinggi membuat tubuhnya lumpuh sebelah. Aku masih di Salemba saat kakakku menelepon mengabari. Saat itu, aku masih bergulat dengan amunisi yang bernama bahasa Inggris. Beberapa hari kemudian tibatiba semuanya sudah beres. Aku sudah siap berangkat ke Amsterdaam dan melanjutkan ke kota kecil Maastricht untuk mengikuti Pre-Academic Training di sana. Pergilah, ibu akan mahfum. Begitu saudaraku menasehati dan tentu kalian juga akan berpikir demikian. Dan ketika ibu hanya mampu memberikan senyum saat koper terakhir hendak kuraih dari kamar sempit di mana ibu terbaring akupun menguatkan diri untuk memilih pergi. Tentu saja itu keputusan sulit, dan belakangan aku harus menikmati kepahitan yang amat sangat saat aku hanya bisa bersedih, menangis, dan kehilangan sentuhan akhir atau mungkin kata-kata penting, bahkan doa untuk bekalku di sisa hidup ini. Ibuku meninggal saat aku dihantui oleh puluhan artikel berbahasa Inggris di meja belajarku di Den Haag. Aku memang pulang esoknya dan menempuh 16 jam perjalanan menuju Jakarta. Tapi, aku hanya sekedar pulang menyaksikan sisa tangis. Kakak-kakakku yang berjuang menjaga ibu masih kulihat lelahnya di wajah mereka. Dan aku hanya bisa menunduk tak bisa berkata apaapa. Anak-anak laki-laki ibu tak menangis saat perjumpaan itu karena semua tangis telah tumpah di hari sebelumnya. Sekali lagi aku hanya pulang sekedar memperlihatkan kebodohan dan kehilangan tapak kaki yang surganya selalu kurindukan. Biarlah itu milik kakak-kakakku yang hari demi hari menyuapi, membersihkan, memandikan, memeluknya, dan akhirnya mengafani. Semua kebahagiaan itu tak sedikitpun untukku. Bukankah itu sebuah penyesalan yang sangat membebani? ***** Setelah kejadian itu, aku tak punya pilihan lain selain harus kembali ke Den Haag. Waktu yang tersisa tak memadai sama sekali untuk sebuah refleksi atas kepergian ibu. Waktu yang

tersisa untuk menuntaskan beasiswa ini masih panjang. Perlahan-lahan, aku mulai menyadari bahwa ternyata menuntut ilmu memang adalah sebuah perjuangan yang dalam Islam nilainya teramat agung, jihad. Setiba di Den Haag, saat duka belum jua terasa lapang, aku harus bergelut dengan aneka bacaan lagi dan kendala bahasa yang belum tuntas kuselesaikan. Tak kusangka begitu lemahnya kecerdasan bahasa yang kumiliki sehingga perkembangan atau kelancaran bahasaku belum membuatku senyaman orang-orang Asia lainnya, seperti kawan dari Philipina, Vietnam dan China yang berbahasa Inggris dengan lancar. Begitu bodohnya diriku, nilai TOEFL yang berhasil kuraih setelah enam bulan di Salemba UI hanyalah 482 dan hanya bisa menembus poin enam koma nol untuk IELST test di kota Maastricht. Untunglah ada tugas bacaan nyaris lima artikel setiap harinya. Benar-benar hidup yang penuh beban. Suatu hari, 4 Desember 2006, di kamarku, asrama mahasiswa ISS yang bernama Bazarlaan, aku ditimbuni bacaan-bacaan yang harus kutuntaskan untuk menghadapi ujian termin pertama. Malangnya, siang itu aku mengantuk sekali. Ingin rasanya rebah di manapun aku duduk, lalu tertidur pulas dan bermimpi tentang apa saja. Aku berusaha untuk itu tapi kantuk ini seperti bermain-main saja dengan mataku. Tubuh ini tak jua mau kehilangan kesadaran, padahal sepertinya aku sudah berada di gelombang theta dan sebentar lagi tertidur. Bacaanbacaan itu masih menghantuiku dan terus berusaha mengembalikan aku ke dalam suasana betha. Tapi aku melawannya. Aku mengangkut semuanya ke meja makan di dapur dan berusaha mencari posisi duduk yang baik untuk membaca. Kuselonjorkan kaki ini di atas meja makan. Berusaha mencari posisi senyaman mungkin. Mataku memandang laptop tepat di depanku dan artikel-artikel itu. Huhh, aku menarik nafas, menyadari betapa bacaan-bacaan itu menghantuiku. Seperti kehilangan daya lagi mengikuti iramanya, semakin banyak saja, dan semakin sulit saja. Ah, aku mau tidur. Mataku begitu lelah dan pikiranku seperti mengembara sendiri dalam kantuk ini. Aku menatap keluar dari balik jendela dapur yang tanpa gorden. Melihat pohon-pohon musim dingin yang telanjang. Autumn, dan aku mengantuk sekali siang ini. Ada burung dara tiba-tiba melintas dan hinggap di taman kecil tepat di samping kamarku. Ah burung ini selalu saja datang. Aku mengenalnya. Biasanya dia datang dengan pasangannya dan mematukmatuk rumput yang mulai kering karena begitu dinginnya. Pasti ada makanan di sana, bathinku. Benar saja. Pasangannya datang mengikuti dan langsung mematuk-matuk tanah. Aku masih mengantuk, tapi tak jua bisa tidur. Aku berusaha membaca lagi artikel yang lain. Judulnya Political underdevelopment: what causes 'bad governance. Di tengah halaman setiap lembar ada penanda di situ, namanya watermarks. Banyak mahasiswa yang juga melakukannya. Biasanya mereka menandakan dengan namanya, seperti Niklas, Martha, Bing, dan lain-lain. Itu karena biasanya mencetak artikel harus antri dan terkadang kita kehilangan artikel, mungkin tertukar atau mungkin ada yang sengaja mengambilnya. Akhirnya sekarang banyak mahasiswa menuliskan namanya dalam format kata yang transparan.

Tapi aku tidak menuliskan dengan namaku, aku menuliskan nama-nama yang cukup dikenal di Indonesia dan kebetulan artikel ini tertulis di sana "Bang Ben", Nama Benyamin Suaib yang melegenda dan tak ada gantinya. Di artikel lain aku meminjam nama Asmuni, pelawak Madura yang benar-benar kocak atau Tukul dan Jojon yang khas dengan rambut cepak dan kumis Hitler-nya. Aku masih saja mengantuk siang ini, tak mungkin aku membacanya. Aku tak tahan lagi. Mataku masih berusaha menatap artikel itu tapi tak kuasa menangkap kata-kata yang ada. Kata-kata itu memilih beterbangan dalam anganku, tertata tak menentu di batok kepala dan menimbulkan kebingungan demi kebingungan. Apa sih maksud artikel ini? Tiba-tiba saja, tanpa kusadari ada Karim Knioketua Jurusan Governance and Democracy di mana aku terdaftar sebagai mahasiswa ISSberdiri di depanku. Hah... Karim kok ada di dapurku? Hi, what are you doing here? Aku menyapanya tak percaya. Hi Ishak. Dia balik menyapaku. Aku mempersilahkannya duduk. Please, sit down, Karim. Wah aku jadi malu, karena ada sebotol wine di meja makan ini dan rokok Dji Sam Soe yang baru saja diantar pak Heri. Katanya dari Ayu, batch sebelumnya yang memiliki stock rokok Indonesia yang cukup banyak. Hmm, memang dia sudah lama berjanji untuk memberikan rokok Dji Sam Soe-nya kepadaku. "I am coming here with Eric Ross, but he is talking with a student outside." Karim membuatku terkejut. Hah, ngapain si Marxist ISS itu datang ke sini? memangnya dia mau ajak aku berbincang tentang si jenggot Karl Marx. "Are you coming here deliberately or just take a peek?" Aku berusaha menyembunyikan kekagetanku. Mampus gue, aku bergumam dalam hati. "We came to discuss with you. We know that you have a problem with reading and maybe discussion can help you to be more understood". Karim menatapku dengan senyum khasnya. "Oh God." Dan benar saja, tiba-tiba bel ku berdering, Kriiing. "That's Eric." Karim berkata "Let me open the door" Aku bilang ke Karim yang sudah siap berdiri. Benar saja, Uh, dadaku berdebar-debar. Sorot mata Eric dan rambutnya yang berantakan membuatku gentar dan kehilangan daya. "Coming, please." aku membuka pintu dan dia hanya menyapa, "Ishak?" "O, you know my name, I am glad you come." Aku membiarkan dia berjalan di depanku dan melihat jalannya yang membungkuk layaknya seorang kutu buku. Aku semakin berdebar saja, apa yang mau mereka lakukan di dapurku ini. Kenapa mereka tahu kalau aku tidak

mampu memahami bacaan-bacaan itu. Aku berharap jarak dari pintu ini ke dapurku begitu jauh sehingga aku bisa berpikir agak lama dan apa yang harus kuucapkan. Bahasa Inggrisku menjadi kehilangan structure seperti lidahku yang tiba-tiba kelu. Tapi, kami sudah di dapur dan Karim Knio sedang menuang botol wine itu ke tiga gelas kosong. "Ishak." Eric menyapaku. Aku merasakan betul namaku disapanya. Apa yang harus kukatakan. Masih seperti itu saja aku membathin. "Thanks for coming here, but it's unbelievable for me. But it's ok, both of you are here now and I dont know what is the topic to discuss about. Aku menerima gelas yang sudah berisi wine dari Karim. Mengantukku sudah hilang dan aku berada dalam posisi betha sekarang, fokus dan siap dengan kondisi apapun dari kedatangan dua ilmuwan sosial ISS ini. "Hi Ishak, relax, you looks very serious. We just come here to give you some suggestions, we dont have much time." Aku meminum wine itu. "What kind of suggestion you will give to me." Tiba-tiba kepalaku pusing, seperti ada sesuatu di minuman ini. Racunkah? Aku seperti kehilangan kesadaran. Samar-samar kulihat Eric memberi kode ke Karim untuk memegang tubuhku, aku berusaha meronta tapi tak kuasa. Eric berdiri dan meraih sesuatu di balik kantong celana jeansnya. Jarum suntik. Hah, apa yang mereka mau lakukan? Eric, what are you doing? Dia memegang kepalaku dan berusaha menginjeksinya dengan serum berwarna merah itu. "You know Ishak, we don't want you fail studying here, you have to know more and more and became Marxist like all of us. Ha ha ha keduanya tertawa terbahak-bahak. Aku tak kuasa, tapi masih berusaha meronta begitu jarum itu mulai menusuk di belakang kepalaku dan sesuatu yang hangat mengalir ke otakku. Ahhh lepaskan aku! Aku tak kuat lagi. Tiba-tiba aku mendengar suara gelas terbanting dan pecah berkeping-keping. Astagfirullah. Ya Allah, ternyata aku bermimpi. Oh, botol wine itu masih ada dan laptopku yang masih melantunkan lagu-lagu Iwan Fals. Aku sendiri saja, di mana Eric dan Karim? Aku menatap keluar. Hujan turun dengan lembut. Pohon-pohon yang nyaris gundul dan berwarna hitam basah. Beberapa helai daun jatuh, melambai-lambai sebelum menyentuh tanah. Aku tak mengantuk lagi. Artikel-artikel itu masih berserakan di meja dapur ini sebelum akhirnya aku menyadari bahwa ternyata tadi aku sudah tertidur dan bermimpi. Dalam keadaan tertekan, aku selalu menelepon istriku di Makassar. Menanyakan kabar Mahatma Arrayyan yang baru berusia setahun. Aku telah kehilangan dan masih akan melepaskan momen-momen indah anakku selama di kota ini. Seharusnya aku memang tak perlu kuliah sejauh ini. Seandainya aku tidak sebodoh ini pastilah aku lebih memilih Jogjakarta ketimbang Den Haag. Tapi aku seperti sudah terpenjara di kota kecil ini, tak bisa lagi memutar balik waktu dan mengubah keputusan. Menikmati penjara kota di Den Haag

yang pemerintah dan kongsi dagangnya (VOC) pernah meluluh lantakkan Benteng terbesar kami, Somba Opu, pada tahun 1667 dengan meriam dan Cornelis Speelman sang komandan perang yang licik memanfaatkan perseteruan dua Negara besar saat itu, kerajaan kembar Gowa-Tallo yang beretnis Makassar dan kerajaan Bone yang merupakan etnis Bugis. Kekalahan dalam Perang Makassar 340 tahun lalu masih kupanggul padahal entah sudah generasi keberapakah aku ini. Itu menyebabkan aku seolah menderita inferiority complex di nyaris setiap langkahku di sini. Ah, sebuah perasaan yang menyebalkan. Pernah suatu kali, dalam study trip di London, Inggris, aku mendengar kawan Belandaku, menyebut kata inlander dalam percakapannya dengan dosen pendamping kami di sebuah kereta yang membawa kami ke gedung Transparency International. Saat menyebut kata itu, ingin sekali aku menegurnya kenapa kata itu ia ucapkan sambil tertawa pula. Puih! Adakah dia sedang membicarakan kami bertiga dari Indonesia ini dan mempersonifikasikan kami sebagai inlander? Aku merasa muak menyesali diri tak sempat menanyakan itu kepadanya. Siapa suruh hanya memiliki pengetahuan bahasa yang pas-pasan! ***** Sebuah malam, 31 Desember 2009, di sebuah desa yang bernama Tassese di dataran Tinggi Gowa, Sulawesi Selatan, anak-anak sekolah baik siswa SD maupun SMP duduk berdesakdesakan di ruang kelas mereka menantikan pemutaran film Laskar Pelangi dan Denias Melangkah di atas Awan. Aku, istri dan dua anakku, Mahatma Arrayyan (kini berusia 4 tahun) dan Mutiara Aisyah (satu tahun) larut bersama mereka. Menikmati sebuah perayaan tahun baru yang riuhnya berbeda dengan riuh kota. Wajah-wajah mereka merekah seperti bunga yang baru mekar. Dan aku seperti menemukan bahagia di desa Tassese ini. Desa Tassese adalah salah satu desa di kecamatan Manuju. Konon, saat sebelum negeri kecil ini masuk dalam kesatuan negara bangsa yang bernama Indonesia, mereka menyebut desa mereka sebagai Toddok, Gallarang, Kampong dan kemudian Karaeng. Saat itu Gowa belum berada dalam kerangka negara kesatuan RI, melainkan masih dalam wujudnya sebagai kerajaan yang dipimpin oleh Somba atau raja. Sistem ini mulai tergerus sejak Soekarno, presiden pertama RI, mencanangkan penghapusan sistem pemerintahan swapraja yang hirarkis dan berbasis kebangsawanan menjadi sistem swatantra yang lebih egaliter dan demokratis. Tahun 1957, Kerajaan Gowa berubah menjadi Kabupaten Gowa, dan Raja Gowa yang bernama Somba Andi Ijo tinggal menjadi bupati Gowa. Pun Kekaraengan Manuju menjadi sekelas dengan kecamatan dan Kampong mengikuti pola Jawa sekaitan dengan sistem pemerintahan di desa. Hal ini semakin diperkuat melalui regulasi untuk menyeragamkan semua model pemerintahan di setiap level di seluruh Indonesia. Program di desa ini adalah salah satu inisiasi dari kawan-kawan di Active Society Institute (AcSI), organisasi non-pemerintah tempat aku dan kawan-kawan bekerja setelah kepulangan dari studi di negeri Kincir Angin. Sebuah lembaga yang kudirikan bersama teman-teman alumni Ilmu Politik Universitas Hasanuddin tahun 2005 lalu. Selain mengurusi masalah perlindungan dan pemberdayaan pasar lokal (tradisional) kami juga mengunjungi desa-desa yang membutuhkan sentuhan sukarelawan. Salah satunya di desa Tassese ini. Sebuah desa

yang memiliki satu SMP satu atap namun siswanya tak pernah sekalipun belajar bahasa Inggris dan tak pernah melihat komputer secara nyata, kecuali dalam buku pelajaran TIK mereka. Malam itu kami di sana setelah belasan kali pertemuan pengajaran bahasa Inggris kepada siswa-siswa yang sangat semangat dan antusias. Aku bisa maklum antusiasme mereka akan bahasa ini. Salah satu alasan kemaklumanku adalah bulan Maret 2010, siswa kelas tiga akan menempuh Ujian Nasional (UN) di mana salah satu mata pelajaran kunci adalah bahasa Inggris. Gagal meraih nilai baik dalam mata pelajaran ini pada UN mendatang berarti tidak lulus! Untuk itulah kami berada di sini. Termasuk merayakan malam tahun baru bersama mereka malam ini. Tiba-tiba aku teringat peristiwa dua tahun lalu saat menikmati tahun baru di Den Haag. Saat itu pukul 23.59 di 31 Desember 2006, di seluruh pelosok kota Den Haag orang-orang tersenyum. Hujan masih mengguyur, walau tak lagi sederas sebelumnya. Bayang-bayang kembang api di sana-sini dan dentumannya memekakkan telinga. Aku melangkah saja di antara rombongan mahasiswa Institute of Social Studies dari berbagai negara. Ada yang ingin disaksikan, walau mungkin hanya sesaat. Tapi, malam itu adalah sebuah perbedaan. Malam tahun baru di Belanda. Bagaimana rasanya? Bising! Dalam bayang-bayang peralihan tahun baru malam itu, aku menemukan diriku mengenang tahun baru 1993 di Tana Toraja, 13 tahun sebelumnya. Isaaaak! Tiba-tiba sekelumit ingatan membawaku pada suatu malam di tengah hutan. Bayangan senterku menyambar-nyambar tak tentu arah. Sudah dua hari kami berjalan, berusaha menembus pegunungan Quarless menuju Tana Toraja. Hujan. Tapi jauh lebih deras ketimbang di Den Haag. Dikejauhan kulihat sinar senter La Saling menyentuh pepohonan yang berbaris tak teratur dan bayang-bayangnya menyerupai raksasa yang berganti-ganti. Oii! Aku balas berteriak. Aku tahu kenapa dia memanggilku. Itu adalah kode untuk memastikan bahwa aku masih ada di belakangnya. Di depanya ada La Nure dan Lukman, sementara Daniel memandu perjalanan ini. Tak ada petir. Tak ada suara serangga. Hanya suara air menerpa pepohonan dan daun-daun. Kami masih berjalan. Sebentar lagi terompet tahun baru ditiup di Tana Toraja. Ah, perhitungan kami salah. Seharusnya ketika meninggalkan desa Mamasa (kini menjadi bagian Sulawesi Barat) dua hari yang lalu kami tak perlu terlalu lama beristirahat. Tapi sudah terlanjur. Aku tidak akan merasakan malam tahun baru di sana seperti yang selama ini kuimpikan. Sekarang sudah pukul 22.00 dan kami masih terjebak dalam hutan di wilayah Rantepao ini. Ini semua gara-gara orang di kampung Pana yang menakut-nakuti kami dengan keberadaan kerbau liar di tengah hutan. Mungkin bukan menakut-nakuti tapi lebih merupakan sebuah pesan untuk berhati-hati. Akhirnya kami bermalam di sana. Mematok pasak di tanah kering di bawah rumah panggungnya. Malam pertama ini kami istirahat saja. Betisku seperti

membatu. Berselonjor adalah pilihan terbaik setelah mengusap dan memijat sekedarnya dengan minyak tawon made in Makassar. Hmm, terasa hangat seperti dalam tenda merah ini. Aku merenung saja, membayangkan besok akan merayakan tahun baru di Tana Toraja. Suara hujan masih terdengar dan tatapku tersudut pada langit-langit tenda ini. Suara hujan, hawa dingin, dan bau rumput di bawah matrasku. Aroma yang sama saja yang kurasakan setahun sebelumnya di gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Hanya tak ada aroma belerang malam ini. Ketika itu aku hampir mati kedinginan sewaktu tiba-tiba angin kencang memporak porandakan tendaku. Untung ada beberapa pelajar pencinta alam yang juga memasok tendatenda mereka tidak jauh dari tempatku. Mereka bahu membahu membantu memasang kembali tenda merah ini. Lebih kuat. Dan malam itu, malam terasa jauh lebih panjang. Karena hujan tak jua berhenti. Semoga besok cerah dan aku bisa merasakan hamparan eidelweiss di puncak Papandayan ini. Cerita tentang kerbau liar masih hangat dibicarakan oleh La Saling dengan Lukman di luar tenda yang sedang berjaga. Suara gemeretak kayu yang terbakar menambah kesan macho saja bagi petualangan ini. Aku mendengar saja perbincangan mereka. Yang lain tertidur. Aku mendengar dengkur kelelahan. Selalu saja sama suara dengkur itu. Mengapa aku harus berada di sini? Apa yang sedang kucari? Bukankah lebih asyik di kasur empuk dan di dalam kamar yang hangat sambil mempersiapkan buku-buku untuk sekolah esok harinya. Uh... bayang-bayang itu menghantuiku lagi. Apakah aku harus pulang ke Jakarta lagi? Setelah langkah demi langkah yang kutempuh dan kini membawaku berteduh di bawah sebuah rumah panggung Bugis di tengah hutan ini? Aku memilih untuk tidur. Sebelum matahari terbit kami harus berangkat lagi. Ujung desa kecamatan Rantepao tempat kami melanjutkan perjalanan menuju kota Makale masih jauh. Di sana ada Hartop yang digunakan oleh pedagang untuk masuk ke desa-desa terpencil tanpa aspal yang pasarnya mingguan dan mereka terus traveling sambil berdagang di desa yang berbeda-beda. Dan esok sudah tahun baru 1994. 23:59. Tiba-tiba seluruh pelosok kota Den Haag bergemuruh. Mercon dan kembang api berseliweran di mana-mana memenuhi angkasa mengundang kagum. Nyaris semua orang menghabiskan uang untuk mercon dan kembang api. Mereka melakukannya di jalanan, di lapangan terbuka. di atas jembatan. Dan panorama malam kehilangan gelapnya. Langit penuh warni bercampur dengan blitz dari berbagai merek kamera digital. Begitu ramai. Begitu mengesankan. Tapi, bukankah selalu seperti ini? Aku bergumam. Yang berbeda hanya lokasi dan teknologi kembang api yang membuat langit selalu lebih penuh warni dan sekaleng bir Heineken yang kutenggak untuk menghangatkan badan ini.

Bulan pasti malu-malu dibuatnya. Bersembunyi di balik awan tipis yang tadi berkumpul dan menyiram bumi. Tar. Ter Tor! 23:59 di desa Tassese. Anak-anak yang baru saja usai menonton Laskar Pelangi berhamburan ke lapangan sekolah mereka. Beberapa teman menyalakan kembang api dan mercon yang menghiasi langit malam itu. Seorang kawan menyesalkan aksi kembang api ini. tidak seharusnya kita membawa sedemikian banyak ikon kota ke desa yang terpencil dan tersisih ini ( Tassese berarti tersisih dalam bahasa Makassar). Cukuplah laptop dan LCD yang kami bawa dan tak perlu lagi menambah dengan budaya kembang api. Letupannya saja pasti membuat orang kaget. Aku sendiri membayangkan letupan sejenis terakhir kali mereka dengar saat tentara DI/TII pimpinan Kahar Mudzakkar beroperasi di desa ini di akhir 1950an. akupun jadinya menyayangkan aksi kembang api ini. kulihat wajah kepala sekolah, Haji Ruddin, berusaha maklum. Aku membayangkan Haji Ruddin bergumam mungkin warga desa ini memang perlu akrab dengan instrumen kota dan budaya masyarakat urban-moderen bila hendak maju. Aku merinding dengan asumsiku sendiri. Ini satu kesalahan, kami bersedia lebih berhati-hati dengan barang-barang dari kota. *** Oktober 1984, di kapal Pelni Kerinci aku dan kakakku mengapung menuju Pelabuhan Tanjung Priuk. Bayang-bayang metropolitan Jakarta bermain-main di sela pandanganku yang tertuju pada lautan luas dari balik jendela bulat tepat dimukaku. Tapi, aku tak punya bayangan lain selain rujukan gambar sketsa lokasi Jalan Thamrin berikuti Hotel Indonesia dan Air Mancurnya di salah satu buku SDku, Bahasaku. Hanya itu objek visual yang kupikirkan untuk membayangkan seperti apa Jakarta itu. Cerita bagaimana prosesnya Cerita silsilah keluarga Cerita keadaan rumah di Jakarta Cerita tentang dahlan Cerita tentang sekolah dan kawan bermain

You might also like