You are on page 1of 163

MEMPERKOKOH DEMOKRASI UNTUK KEADILAN, KEMAKMURAN DAN PERSATUAN

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL:

Departemen Dalam Negeri 2009

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

KATA SAMBUTAN
Selama satu dekade terakhir sejalan dengan proses reformasi sejak tahun 1998, perkembangan kehidupan bernegara bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Proses demokrasi tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat dalam berbagai aspek kehidupan, baik di bidang politik, pemerintahan maupun kemasyarakatan. Perubahan sistem politik, baik sistem kepartaian, kelembagaan legislatif, sistem pemilu dan Pilkada telah membawa proses politik menjadi lebih dinamis dan demokratis. Tatanan penyelenggaraan pemerintahan juga mengalami perubahan dan penyesuaian melalui reformasi birokrasi, seperti penataan kelembagaan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi. Penataan sistem pemerintahan juga dilakukan melalui penyelenggaraan otonomi daerah untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat ke seluruh wilayah dan lapisan masyarakat. Penanganan sosial kemasyarakatan, seperti masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan antar daerah juga ditingkatkan dengan dukungan pembangunan daerah yang lebih intensif. Berbagai perubahan tersebut telah menciptakan kondisi yang lebih baik dalam berbagai bidang, namun masih perlu terus ditingkatkan dan disempurnakan dalam proses pelaksanaannya. Misalnya penguatan kelembagaan politik dan optimalisasi peran partai politik dalam pendidikan politik masyarakat, penguatan sistem presidensial, peningkatan penegakan hukum, percepatan proses reformasi birokrasi dan peningkatan pemberdayaan masyarakat serta menjaga dan memperkuat wawasan kebangsaan. Juga perlu diwaspadai terhadap pemahaman makna demokrasi yang kurang tepat, seperti sikap arogansi yang lebih mementingkan kepentingan kelompok, ego sektoral dan kedaerahan, sikap anarkisme dalam menyampaikan pendapat iii

iv

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dan sebagainya. Pada saat ini kita juga masih menghadapi persoalan perekonomian akibat krisis global yang membawa tantangan dan ancaman bagi upaya pemberdayaan dan perwujudan kesejahteraan masyarakat. Keseluruhan permasalahan tersebut dapat menimbulkan kondisi yang kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa dan keutuhan NKRI. Menyikapi hal tersebut, Departemen Dalam Negeri melaksanakan analisis dan proyeksi dengan kajian mendalam terhadap arah perkembangan kedepan yang dituangkan dalam buku Analisis dan Proyeksi Strategis Nasional: Memperkokoh Demokrasi Untuk Keadilan, Kemakmuran dan Persatuan. Buku ini disusun dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai perkembangan proses kehidupan bernegara selama satu dekade terakhir, terutama terkait dengan ruang lingkup tugas dan fungsi Departemen Dalam Negeri. Semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca, terutama bagi para pengambil kebakan di lingkungan Departemen Dalam Negeri maupun pihak-pihak lain yang juga memiliki perhatian dalam penanganan isu-isu strategis tersebut. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan dan penerbitan buku ini melalui berbagai masukan, pemikiran dan saran pendapat kami ucapkan terima kasih, khususnya kepada Tim Penulis, para pakar dan para praktisi yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu. Demikian pula atas dukungan oleh Pemerintah Republik Federasi German melalui Deutsche Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ), kami menyampaikan apresiasi dan terima kasih, semoga kerja sama kedua pihak akan terus berlanjut dan lebih baik di masa yang akan datang. Buku ini kami sadar masih jauh dari sempurna, kritik dan saran dari berbagai pihak akan sangat bermanfaat dalam rangka mendukung tercapainya tujuan dan sasaran penulisan buku ini. Jakarta, Maret 2009

MENTERI DALAM NEGERI

H. MARDIYANTO

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN .............................................................................. BAB BA I. PENDAHULUAN ................................................................ II. DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK ...... A. Realita Demokrasi di Indonesia ....................................... 1. Latar Belakang ............................................................... 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan............................. a. Mengoptimalkan Elemen-elemen Demokrasi .... b. Dinamika Era Reformasi........................................ c. Fenomena Stagnasi Demokrasi dan Melemahnya Kepercayaan Sosial ......................... 3. Pilihan Kebakan ......................................................... B. Sistem Kepartaian dan Masalah Keterwakilan ............... 1. Latar Belakang ............................................................... 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan............................. a. Membangun Sistem Multi Partai Sederhana .... b. Keterwakilan: Sistem Dapil dan Sistem Daftar Semi Terbuka ............................................... c. Partisipasi Politik ................................................... d. Keterwakilan: Sistem Quota .................................. 3. Pilihan Kebakan .......................................................... C. Sistem Pemerintahan dan Hubungan Eksekutif-Legislatif .............................................................. 1. Latar Belakang ............................................................... 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan.............................

iii 1 9 9 9 11 11 14 15 16 17 17 20 20 24 26 28 31 33 33 34

vi

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

a. Efektivitas Pemerintahan ....................................... b. Alternatif Tradisional ............................................. 3. Pilihan kebakan ...........................................................

34 37 40

BAB III. MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM ................................................................................. 43 1. Latar belakang .............................................................. 2. Kondisi Aktual dan Perumusan Masalah ................. a. Menegaskan Sistem Pemerintahan Presidensial b. Pembenahan Model Lembaga Legislatif ............. c. Pembenahan Model Kekuasaan Kehakiman ...... d. Pola Pemerintahan Daerah Berdasar Desentralisasi dan Otonomi .................................. e. Penegakan HAM ..................................................... 3. Pilihan Kebakan ......................................................... BAB IV. DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI..... A. Desentralisasi dan Otonomi Daerah ................................. 1. Latar Belakang ............................................................... 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan............................. a. Penyelenggaraan Kewenangan Daerah ............... b. Pengelolaan Keuangan Daerah ............................. c. Penyediaan Pelayanan Umum .............................. d. Pemanfaatan Sumber daya alam dan sumber daya buatan ............................................... e. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ............................................. 3. Pilihan Kebakan .......................................................... B. Pemekaran Wilayah: Masalah dan Solusi ........................ 1. Latar Belakang ............................................................... 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan............................. a. Dinamika Pemekaran Wilayah ............................. b. Pemekaran Wilayah: Antara Harapan dan Kenyataan ................................................................. 3. Pilihan Kebakan ......................................................... 43 45 52 54 55 57 60 61 63 63 63 64 64 67 69 71 72 74 76 76 78 78 80 82

DAFTAR ISI

vii

C. Otonomi Khusus Bagi Papua ............................................ 1. Latar Belakang .............................................................. 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan............................. a. Akar Konik dan Ketegangan ............................. b. Meningkatnya Insentif Ekonomi ......................... c. Otonomi Khusus: Peluang dan Tantangan ......... 3. Pilihan Kebakan .......................................................... D. Otonomi Khusus bagi Aceh ............................................... 1. Latar Belakang .............................................................. 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan............................. 3. Pilihan Kebakan .......................................................... E. Penanganan Wilayah Perbatasan Antar Negara ............. 1. Latar Belakang ............................................................... 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan ........................... a. Kawasan Perbatasan Darat .................................... b. Kawasan Perbatasan Laut ................................... 3. Pilihan Kebakan .......................................................... F. Reformasi Birokrasi ............................................................. 1. Latar Belakang ............................................................... 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan ........................... a. Netralitas Birokrasi. ................................................ b. Kualitas Pelayanan ................................................ c. Rekrutmen Pegawai ............................................... d. Sistem Penggajian .................................................. e. Pengembangan Karir .............................................. f. Komisi Kepegawaian Negara ............................... 3. Pilihan Kebakan .......................................................... BAB

83 83 84 84 85 86 87 88 88 89 91 92 92 94 94 100 104 105 105 106 106 108 112 115 115 118 119

V. PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN.......................... 121 1. Latar Belakang ............................................................... 121 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan ........................... 122 3. Pilihan Kebakan .......................................................... 136

BAB VI. PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN .................. 139 1. Latar Belakang ............................................................... 139 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan............................. 139

viii

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

a. Diversitas Ekspresi Wawasan Kebangsaan ....... b. Lemahnya Pengelolaan Wawasan Kebangsaan: Suatu Bentuk Disorientasi Wawasan Kebangsaan ............................................ c. Apakah Terjadi Erosi Wawasan Kebangsaan yang Makin Dalam? ............................................... 3. Pilihan Kebakan ..........................................................

141

145 147 150

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 153

Bab I PENDAHULUAN

ndonesia dengan wilayah yang sangat luas, penduduk yang padat serta dengan suku dan budaya yang beragam selama enam dekade terakhir mengalami perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat cepat dan dinamis. Setelah mengalami stagnasi ekonomi selama masa pemerintahan Orde Lama, pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru mencapai hasil yang mengesankan baik dari tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan angka kemiskinan. Titik balik kehidupan politik, sosial dan ekonomi terjadi pada tahun 1998 ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang kemudian menyeret Indonesia ke dalam krisis multidimensi yang parah sehingga mengakibatkan kemunduran di berbagai bidang. Namun pada akhir dekade 90an tersebut Indonesia juga mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pergantian pemerintahan pada tahun 1998 telah memberikan momentum bagi perubahan sistem politik yaitu terwujudnya pemerintahan yang lebih demokrasi dan terdesentralisasi. Semangat untuk mempercepat proses demokrasi membuka peluang bagi masyarakat untuk menyuarakan tuntutan secara lebih tegas sehingga aspirasi dan keinginan mereka dapat direpresentasikan secara lebih baik dan direspon pemerintah secara memadai. Tuntutan terhadap penegakan keadilan, perbaikan pelayanan publik, peningkatan dan pemerataan kesejahteraan serta perasaan aman dan terlindungi juga semakin menguat. Untuk menjawab tuntutan di atas, selama satu dasa warsa terakhir telah dilakukan berbagai upaya dan pembenahan seperti implementasi kebakan desentralisasi dalam bentuk pelaksanaan
1

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

otonomi daerah yang membuka peluang bagi pertumbuhan dan pembangunan daerah, menyediakan mekanisme check-and balance dalam hubungan eksekutif-legislatif serta mendorong masyarakat agar berperan lebih aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Proses demokrasi menjadi semakin menguat yang ditandai dengan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat, kebebasan berorganisasi serta kebebasan mendirikan partai politik. Dengan suasana yang lebih demokratis penyelenggaraan Pemilu tahun 1999 dan Pemilu langsung tahun 2004 berjalan dengan lancar. Terkait dengan pembenahan di bidang hukum telah dilakukan perubahan konstitusi melalui empat kali amandemen yang kemudian menghasilkan konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan seiring dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat. Sementara itu pembangunan di bidang ekonomi selama sepuluh tahun terakhir juga telah berhasil memberikan pakan ekonomi yang kuat. Walaupun telah banyak perbaikan dan kemajuan yang dicapai, tantangan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat masih cukup besar. Demokrasi yang menjadi landasan kehidupan sosial politik belum kokoh benar. Keberadaan kelompok yang terkadang memaksakan kehendak terhadap kelompok lain melalui kekerasan dan penolakan atas realitas keberagaman dalam masyarakat serta praktekpraktek yang mengedepankan primordialisme, elitis dan otoritarian , jelas bertentangan dengan semangat demokrasi. Juga masih terdapat kritik masyarakat terhadap praktek demokrasi yang sampai hari ini dianggap belum dapat memperbaiki kehidupan mereka. Hal lain yang menjadi tantangan adalah bahwa sistem perwakilan yang ada dinilai belum mampu mewakili aspirasi masyarakat. Selain itu harus pula diakui bahwa pemerintahan yang efektif dan akuntabel belum sepenuhnya terwujud. Selanjutnya, hubungan antara legislatif dan eksekutif masih perlu ditingkatkan efektivitasnya, terutama dalam pembuatan kebakan publik yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak. Pemerintahan yang efektif dan akuntabel diperlukan agar mampu menghasilkan kebakan publik yang baik, memberikan pelayanan publik secara maksimal, mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga mampu meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi dan proses politik yang ada.

PENDAHULUAN

Dibidang penegakan hukum pemberian perlindungan hukum dan keadilan maupun pemerataan pelayanan hukum bagi masyarakat masih perlu ditingkatkan. Dilakukannya empat kali amandemen terhadap konstitusi tidak serta merta menyelesaikan semua permasalahan yang ada sebab harus diakui amandemen dilakukan secara ad hoc dan parsial dengan mengikuti arus perubahan yang terjadi. Akibatnya masih terdapat hal-hal substansial dalam sistem perundangan-undangan kita yang masih perlu dibenahi terutama untuk memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan Negara dan jaminan perlindungan hukum bagi setiap warga negara. Sementara implementasi kebakan desentralisasi telah mendatangkan banyak perubahan dan kemajuan, secara bersamaan juga masih menyisakan berbagai persoalan. Diantaranya adalah praktek pelaksanaan kewenangan yang belum sepenuhnya berjalan sebagaimana dirumuskan dalam kebakan pembagian urusan pemerintahan. Hal ini kemudian mengakibatkan terjadi distorsi antara kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta dapat menimbulkan konik kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu, kekeliruan pemahaman atas makna hubungan hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota telah menimbulkan masalah koordinasi antar tingkat pemerintahan. Masih adanya ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah paska desentralisasi juga bertolak belakang dengan tujuan kebakan desentralisasi yang diarahkan untuk mencapai pemerataan pembangunan ekonomi. Persoalan ikutan lainnya adalah meningkatnya keinginan melakukan pemekaran daerah pada tingkat kabupaten/kota dan wilayah pemerintahan dibawahnya (kecamatan dan desa/kelurahan). Hal ini mendatangkan kekhawatiran atas diabaikannya faktor esiensi ekonomi dan masalah ukuran serta kapasitas suatu daerah. Kekhawatiran juga muncul terkait dengan kemungkinan perluasan penyalahgunaan wewenang, dan besarnya ketergantungan keuangan daerah kepada transfer keuangan dari pemerintah pusat. Di bidang ekonomi, setelah sepuluh tahun reformasi, beberapa capaian perlu dicatat seperti peningkatan upaya pemberantasan korupsi, menguatnya sektor keuangan, tingkat pertumbuhan ekonomi

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

yang relatif tinggi pada kisaran 6 persen serta nilai tukar rupiah yang relatif stabil. Meskipun demikian Indonesia masih harus berjuang mengatasi dampak krisis ekonomi 1998, mengatasi dampak krisis global, masalah kemiskinan dan pengangguran yang persisten. Selain itu pemerintah masih perlu memperbaiki infrastruktur, membangun iklim investasi yang kondusif serta memperbaiki distribusi sumberdaya yang tidak merata antar daerah. Masalah lain yang perlu dicermati adalah sinyalemen semakin memudarnya wawasan kebangsaan yang merapuhkan semangat persatuan dan kebersamaan dalam mencapai cita-cita kehidupan dan tujuan nasional. Padahal wawasan kebangsaan yang merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik merupakan perekat yang mempersatukan suatu bangsa. Melemahnya wawasan kebangsaan ditengah potensi disintegrasi yang nampak dalam politisasi suku, agama, persaingan etnis, sentimen kedaerahan dan persaingan politik harus dilihat sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan bangsa. Terlebih ditengah perubahan lingkungan strategis internasional di mana Indonesia menjadi bagian didalamnya, wawasan kebangsaan dan semangat kebangsaan diperlukan agar bangsa Indonesia mampu mempertahankan eksistensinya, secara politik, ekonomi dan sosialbudaya. Wawasan kebangsaan yang kuat juga diperlukan untuk menghadapi ancaman yang muncul akibat terjadinya perubahan di dalam negeri maupun internasional. Ancaman yang dimaksud bukan hanya ancaman tradisional seperti serangan militer tetapi juga ancaman non tradisional seperti terorisme, penyelundupan senjata, perdagangan narkoba maupun perdagangan manusia. Menghadapi berbagai permasalahan diatas maka diperlukan suatu strategi yang menjadi dasar bagi langkah-langkah yang akan dan harus dalankan guna menghadapi setiap situasi dan persoalan yang muncul. Untuk membangun strategi atau langkah antisipasi yang baik maka diperlukan suatu proyeksi dan analisis tentang kondisi, keadaan serta permasalahan yang kemungkinan besar akan muncul dimasa yang akan datang. Dalam hal ini proyeksi merupakan aktivitas pembuatan gambaran masa depan secara logis, yang merupakan kombinasi antara estimasi tentang apa yang mungkin terjadi serta asumsi tentang apa yang dapat terjadi. Dengan

PENDAHULUAN

demikian ketepatan proyeksi tentang masa depan sangat ditentukan pada ketepatan dalam melakukan analisis yang mengidentikasikan kecenderungan-kecenderungan pokok yang akan muncul dimasa depan. Dengan proyeksi dan analisis permasalahan yang tepat akan dapat dirumuskan kebakan atau respon yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Buku ini berisi analisis dan proyeksi strategis tentang permasalahan penting dan mendasar yang diproyeksikan akan muncul di tahuntahun mendatang, yang memerlukan prioritas dalam penanganannya. Analisis dan proyeksi strategis ini diperlukan oleh Departemen Dalam Negeri dan juga Departemen maupun institusi lainnya untuk dapat mempersiapkan langkah-langkah kebakan antisipatif guna menjawab persoalan maupun tantangan yang akan datang. Percepatan demokratisasi yang dilakukan melalui penguatan sendi-sendi demokrasi, perbaikan sistem perwakilan melalui penyederhanaan partai politik maupun pelaksanaan sistem pemilu yang konsisten, penataan hubungan eksekutif dan legislatif agar lebih produktif serta mengedepankan kepentingan rakyat merupakan persoalan pokok yang memerlukan perhatian serius. Penanganan yang tepat pada bidang-bidang tersebut tidak hanya akan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia tetapi juga meningkatkan kualitas pemerintahan di dalam menjalankan mandatnya terutama di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tuntutan masyarakat bagi penegakan hukum yang terus menguat perlu direspon melalui penataan lembaga, termasuk penataan lembaga legislatif agar optimal dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan disamping menunjukkan konsistensi pelaksanaan sistem Bikameral. Pembenahan atas banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang bermasalah juga menjadi prioritas agar pembangunan di daerah dapat dilaksanakan secara maksimal. Dalam jangka menengah penyelesaian persoalan-persoalan yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah termasuk masalah pemekaran serta otonomi khusus bagi Aceh dan Papua akan terus diprioritaskan. Hal ini menjadi penting agar kebakan strategis otonomi daerah dapat mencapai tujuannya dan tidak justru menjadi sumber permasalahan di daerah. Demikian pula dengan keinginan

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik yang lebih baik, akan segera dipenuhi dengan memperbaiki kualitas atau kemampuan birokrat melalui perbaikan sistem rekrutmen pegawai yang berdasar sistem merit serta reformasi birokrasi. Masih tingginya angka kemiskinan dan angka pengangguran menunjukkan bahwa kebakan yang tepat serta upaya pemerintah yang terus-menerus untuk mengatasi masalah ini masih sangat diperlukan. Tantangan ini akan semakin berat ketika terdapat potensi gangguan dari krisis ekonomi global seperti ketidakseimbangan global (global imbalance) yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi global dan juga stabilitas ekonomi nasional. Krisis yang berawal dari krisis gagal bayar kredit perumahan di AS (suprime morgage), telah menjalar menjadi krisis energi dan krisis pangan yang semakin mempersulit kehidupan rakyat. Akibatnya ongkos produksi dan biaya hidup menjadi lebih besar, tingkat kemiskinan meningkat dan pembiayaan subsidi pemerintah menjadi semakin besar. Selanjutnya, pengalaman Aceh dan Papua menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan dan kemakmuran telah memicu ketidakpuasan dan juga kecemburuan daerah. Hal ini menjadi lingkungan yang kondusif bagi munculnya gerakan separatisme dan perpecahan Negara. Oleh karena itu selain persoalan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan daerah, pelaksanaan kebakan otonomi daerah juga menjadi masalah strategis yang akan segera diselesaikan pula. Kekhawatiran akan adanya wawasan kebangsaan yang melemah serta ancaman atas keamanan nasional menambah deretan tugas pemerintah yang harus segera ditangani. Dua hal ini menjadi semakin penting mengingat pemberian perlindungan dan rasa aman bagi rakyat merupakan kewajiban Negara. Selain itu keberlangsungan Negara sangat ditentukan oleh kemauan dan kesediaan warganya untuk menjaga dan menjamin eksistensi negaranya dan berarti tergantung pada kesadaran berbangsa atau wawasan kebangsaan yang dimiliki setiap warga negaranya. Berdasarkan penjelasan di atas maka isu strategis yang diidentikasikan dan dibahas dalam buku ini akan menyangkut dinamika demokrasi dan sistem politik, penegakan keadilan melalui reformasi hukum dan perundang-undangan, desentralisasi dan reformasi

PENDAHULUAN

birokrasi, penanggulangan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan daerah serta penguatan wawasan kebangsaan dan reformasi keamanan. Pembahasan masalah strategis diatas, dimulai dengan penjelasan tentang latar belakang, kondisi aktual dan perumusan masalah serta pilihan kebakan. Proyeksi tentang isu strategis disajikan secara komprehensif dengan memberikan gambaran latar belakang, sejarah maupun data-data penunjang. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan persoalan yang secara nyata saat ini sedang dihadapi pemerintah dan masyarakat secara menyeluruh dengan berbagai implikasinya. Selain memformulasikan dan membahas persoalan strategis yang akan dihadapi bangsa Indonesia secara analitis, buku ini juga mengidentikasi pilihan-pilihan kebakan yang harus diprioritaskan pelaksanaannya guna menjawab tantangan strategis yang ada. Mengingat kompleksnya persoalan, maka pilihan kebakan yang tersedia juga merupakan langkah-langkah yang kompleks dan komprehensif yang membutuhkan keikutsertaan berbagai pihak. Dengan kata lain untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks tidak bisa jika hanya diselesaikan dan ditangani oleh satu departemen saja misalnya Departemen Dalam Negeri sendiri. Hal ini bukan hanya karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh Depdagri akan tetapi juga karena beberapa pilihan kebakan yang ada menjadi kewenangan departemen atau institusi atau pihak lain. Dengan demikian identikasi permasalahan dan pilihan kebakan strategis yang dikemukakan dalam buku ini memberi gambaran tentang langkah-langkah yang perlu dilakukan yang menjadi kewenangan Depdagri serta bidang-bidang yang perlu ditangani oleh Departemen lain atau ditangani secara koordinatif antar Departemen. Hal ini berarti koordinasi dan sinergi antar departemen perlu ditingkatkan di dalam menangani permasalahan bangsa yang menjadi tanggung jawab bersama. Kiranya buku ini dapat berguna juga bagi semua komponen bangsa yang peduli dan mau bekerja bagi upaya-upaya perbaikan demokrasi dan peningkatan kemakmuran serta persatuan bangsa Indonesia.

Bab II DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

A. REALITA DEMOKRASI DI INDONESIA 1. Latar Belakang

aat ini, gelombang demokratisasi melanda berbagai negara di dunia, termasuk negara-negara berkembang. Fenomena demokratisasi ini akan terus bergulir hingga mencapai momentum konsolidasi atau mungkin justru menuju arah sebaliknya yaitu terjadi pelemahan demokrasi pada negara-negara yang sedang melakukan reformasi politiknya. Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia, sebagai negara yang memiliki wilayah luas, penduduk besar dan berada di Asia, Indonesia tengah berjuang melakukan konsolidasi demokrasi di segala bidang kehidupan. Perubahan politik yang luar biasa di Indonesia sejak dimulainya era reformasi, oleh para pakar politik sering disebut sebagai amazing change, yaitu sebuah fase perubahan yang ditandai dengan terjadinya proses demokrasi di berbagai bidang kehidupan, tidak saja pada lingkup politik tetapi juga ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, pendidikan, kebudayaan dan lain-lain. Meskipun belum optimal namun ada beberapa indikator yang menunjukkan proses demokrasi di Indonesia telah berjalan pada jalur yang benar. Hal ini misalnya tampak pada pelaksanaan Pemilu dengan sistem multi partai serta pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota yang dilakukan secara langsung disertai partisipasi politik warga yang tinggi. Demokratisasi yang berjalan di Indonesia juga ditandai dengan kebakan desentralisasi dan otonomi daerah, amandemen UUD 45,

10

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

desakralisasi lembaga kepresidenan, reformasi lembaga-lembaga negara, penegakan supremasi hukum, serta pemberantasan korupsi. Dampak lain dari proses demokrasi di Indonesia adalah adanya kebebasan mengemukakan pendapat baik ditingkat nasional maupun lokal sehingga terjadi proses penguatan masyarakat warga (civil society). Penguatan solidaritas horisontal (pada ranah etnis, suku dan agama) memberikan dorongan kepada pemerintah untuk lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Proses demokrasi yang berjalan di Indonesia juga memberikan kebebasan pers yang ditandai dengan tidak adanya pengekangan atas media sehingga fungsi media sebagai instrumen kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan dan pilar keempat atau fourth estate suatu negara berjalan optimal. Dalam hal ini media mampu memberikan analisa dan kajian terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan sistem politik secara cepat, transparan dan konstruktif. Keberhasilan gelombang reformasi yang melahirkan proses demokrasi di Indonesia juga tampak pada keberhasilan pemerintah Indonesia paska reformasi dalam menekan separatisme di Aceh dan Papua melalui dialog dan diskusi panjang yang menghasilkan suatu kesepakatan yang tertuang dalam bentuk Undang-Undang Otonomi Khusus. Undang-Undang Otonomi Khusus tersebut mengatur hak dan kewajiban pemerintah pusat terhadap kedua wilayah tersebut secara adil dan transparan. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka disparitas ataupun kesenjangan dalam hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dan ke dua wilayah itu yang selama ini menjadi sumber sengketa dapat diperkecil atau bahkan dihilangkan. Distribusi hasil eksplorasi sumber daya alam yang selama ini dipandang cenderung menguntungkan pusat, sekarang telah diubah dengan penentuan prosentase yang memberikan keuntungan lebih besar kepada daerah. Sistem bagi hasil yang dilakukan itu diharapkan berimplikasi pada terjadinya penguatan ekonomi daerah, sehingga roda perekonomian daerah berjalan optimal. Namun tidak berarti bahwa proses demokrasi di Indonesia berjalan tanpa rintangan. Dari pengamatan atas kondisi aktual, dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah gejala dan peristiwa yang mengindikasikan bahwa apa yang diharapkan belum sepenuhnya dapat terwujud. Hal

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

11

ini bila dibiarkan berlarut-larut akan sangat merugikan pemerintah dan masyarakat karena akan menjadi penghambat bagi tercapainya cita-cita demokrasi di Indonesia. Untuk itu beberapa instrumen demokrasi yang seharusnya menjadi pilar negara demokratis perlu diperkuat yaitu : a. Birokrasi yang esien dan tidak korup; b. Elit politik yang berkemauan dan mampu memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi; serta c. Adanya kebakan yang dirancang dengan baik untuk mencapai tujuan pembangunan. (Sorensen, 2003). Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pilar-pilar demokrasi di atas belum sepenuhnya dapat ditegakkan. Untuk itu diperlukan pengkajian guna mengetahui faktor-faktor penyebabnya dan selanjutnya diformulasikan solusi yang tepat agar unsur-unsur demokrasi yang diperlukan dapat dibangun. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya demokrasi beku (frozen democracy) yang dapat mengakibatkan melemahnya demokratisasi. 2. a. Kondisi Aktual dan Permasalahan Mengoptimalkan Elemen-elemen Demokrasi

Demokrasi adalah konsep yang saat ini dianggap paling mampu memberikan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan dalam segala bidang kehidupan masyarakat di suatu negara. Hal itu dapat terwujud karena demokrasi politik yang baik akan menjadi lingkungan yang kondusif bagi percepatan demokrasi secara menyeluruh. Lingkungan yang kondusif tersebut menurut Marko (2002) antara lain : 1). Para pemimpin tidak menggunakan kekerasan yaitu polisi dan militer untuk menarik atau mempertahankan kekuasaannya; 2). Adanya organisasi masyarakat pluralis yang modern dan dinamis; 3). Potensi konik dalam pluralisme struktural dipertahankan pada tingkat yang masih dapat ditoleransi;

12

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

4). Dalam masyarakat, khususnya yang aktif dalam politik terdapat budaya politik dan sistem keyakinan yang mendukung ide dan lembaga politik demokratis. Kondisi itulah yang diharapkan dapat menjamin iklim demokrasi berjalan pada koridor yang semestinya. Dengan empat elemen demokrasi diatas maka partisipasi politik masyarakat akan memiliki porsi yang lebih besar, intervensi negara ditekan sampai level minimal yakni sampai batas yang dapat ditoleransi sedangkan budaya politik masyarakat memperoleh ruang gerak yang leluasa namun tetap pada aturan dan standar moral yang telah disepakati. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam prakteknya konsep demokrasi yang diimplementasikan di Indonesia masih mengalami berbagai kendala. Hal ini terlihat pada masih berlakunya sekat-sekat politik, budaya, maupun agama. Aspirasi politik dalam beberapa kasus cenderung diraih dan diwujudkan dengan tindakan kekerasan. Kesenjangan komunikasi lintas budaya masih merupakan potensi konik yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi konik horisontal yang memakan korban. Masalah lain adalah bahwa keberagaman entitas di Indonesia sejalan dengan bergulirnya kebakan otonomi daerah dan desentralisasi memunculkan politik etnis kedaerahan. Hal ini menjadikan upaya pembangunan negara bangsa ke depan menghadapi situasi sangat dilematis. Memang benar bahwa pada satu sisi pengakuan atas rasa identitas (sense of identity) memberikan rasa aman, menumbuhkan harga diri, kebanggaan, kehormatan dan lain-lain, bahkan beberapa ahli menekankan pentingnya pengakuan atas identitas kultural sebagai modal pembangunan yang penting. Akan tetapi pada sisi yang lain bila dikaitkan dengan beragamnya etnisitas di Indonesia, penguatan atas rasa identitas etnis sering mengakibatkan tumbuh kembangnya semangat hidup yang mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Hal ini akan memudahkan terjadinya eksklusivitas sosial dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas yang berujung pada terjadinya konik dan kekerasan komunal (Masoed, 2000). Beberapa kasus konik yang terjadi menunjukkan bahwa konik yang muncul karena sentimen etnis, ideologi ataupun agama sangat

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

13

sulit didamaikan dan memiliki implikasi yang luar biasa. Terjadinya konik merupakan pengingkaran terhadap roh demokrasi yang dengan sekuat tenaga sedang diperjuangkan di Indonesia. Faktor intrusi lain yang dapat memperlemah iklim demokrasi di Indonesia adalah persoalan yang berakar pada keyakinan atau agama. Harus diakui bahwa pasca reformasi 1998, muncul kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang cenderung menjadi True Believers. Kelompok-kelompok ini ketika berbenturan dengan kelompok fundamentalis dari agama lain memicu konik dan kekerasan yang berimplikasi secara luas dan merugikan. Situasi ini tentu saja akan menghambat tumbuh kembangnya konsep demokrasi di Indonesia. Secara konseptual substansi demokrasi yang dapat menciptakan kedamaian hidup menyangkut upaya-upaya menegakkan akuntabilitas vertikal dari pemimpin pada masyarakat selain akuntabilitas horisontal diantara masyarakat serta akuntabilitas internasional. Substansi konsep demokrasi yang hakiki itu sampai saat ini masih banyak mengalami distorsi. Sementara itu, di bidang ekonomi terjadinya krisis ekonomi di Asia tahun 1998 sangat merugikan khususnya masyarakat di daerah pedesaan. Krisis yang berkepanjangan telah mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin akibat pemutusan hubungan kerja diberbagai sektor formal. Banyak keluarga hidup secara paspasan dan bebannya akan semakin bertambah jika ada salah seorang anggota keluarga mereka yang sakit. Ini menunjukkan bahwa praktik demokrasi di Indonesia yang idealnya mengarah pada terjadinya perubahan struktural pada bidang ekonomi masih perlu perbaikan lebih lanjut sehingga dapat memberikan manfaat riil pada masyarakat secara menyeluruh. Padahal dalam struktur sosial ekonomi yang timpang upaya membangun iklim demokrasi politik dan kemudian menginternalisasikannya kedalam masyarakat akan sulit. Untuk itu, pemerintah bersama politisi saat ini sedang mengubah paradigma politiknya dengan lebih mengutamakan pada aspek keadilan sosial dan demokrasi ekonomi (kerakyatan). Dalam hal ini kebakan dan langkah yang diambil diorientasikan pada upaya memberdayakan serta memberikan akses dan peluang usaha selain melakukan redistribusi atas pertumbuhan ekonomi khususnya bagi masyarakat bawah

14

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

atau mereka yang miskin. Kebakan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat akan terus dikembangkan sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD45. b. Dinamika Era Reformasi

Dalam era transisi menuju konsolidasi demokrasi saat ini harus diakui masih terdapat potensi-potensi pemicu konik. Realitas konik yang terjadi di Indonesia bukanlah semata karena terjadinya reformasi, tetapi sudah merupakan bagian sejarah panjang republik ini. Konik baik yang berdimensi vertikal maupun horisontal banyak mewarnai dinamika sosial politik di Indonesia. Ketika angin reformasi terjadi dan demokratisasi berlangsung, warga berharap bahwa stabilitas politik, sosial, ekonomi akan terwujud. Salah satu harapan yang mengemuka adalah terciptanya stabilitas dalam segala bidang dan hilangnya konik serta praktek kekerasan lainnya. Namun ternyata demokratisasi belum sepenuhnya dapat mewujudkan harapan itu. Kalau dicermati konik yang ada seperti yang terjadi di Poso, Ambon maupun Sampit berawal dari adanya kesenjangan ekonomi antara suku yang mendominasi sumberdaya ekonomi dengan suku lain yang mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial. Disparitas ekonomi yang menimbulkan kesenjangan tingkat kesejahteraan antar etnis ataupun suku yang berdomisili di satu daerah memicu tumbuhnya konik terselubung yang berpotensi memunculkan konik horisontal di antara warga masyarakat. Konik ini dapat berkembang menjadi konik yang lebih luas akibat penggunaan simbol-simbol keagamaan ataupun simbol primordial lainnya. Seiring dengan diberlakukannya kebakan desentralisasi dan otonomi daerah, disamping menghasilkan dampak positif yaitu terjadinya penguatan proses demokrasi di tingkat lokal ternyata juga memiliki efek samping yang bersifat negatif dan potensial menjadi pemicu konik. Salah satu akibat kebakan otonomi dan desentralisasi, yang negatif adalah berkembangnya sentimen kedaerahan. Politik etnis kedaerahan ini kemudian memunculkan istilah putra daerah sebagai cerminan rasa identitas atau sense of identity daerah. Akan tetapi rasa identitas kedaerahan yang menguat dapat mendorong berkembangnya semangat hidup masyarakat yang mementingkan

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

15

diri sendiri (self-centered life) atau kelompoknya. Jika hal itu terjadi maka akan terjadi eksklusi sosial dan akhirnya mendorong terjadinya konik dan kekerasan komunal. Berbagai peristiwa kekerasan komunal di tanah air seperti kekerasan sosial anti cina, kerusuhan etnis di Kalimantan dan konik kekerasan komunal lainnya di daerah-daerah di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan hal itu. Meskipun identitas kultural merupakan kebutuhan dan hak-hak dalam hidup yang harus diakui dan dihormati akan tetapi untuk mencegah terjadinya eksklusivisme sosial, pendekatan keberagaman perlu didorong. Untuk mencegah menguatnya etnosentrisme di daerah-daerah maka kebakan multicultural yang ditopang oleh sistem ekonomi yang adil dan sisitem politik yang demokratis termasuk penguatan masyarakat civil juga perlu terus diperkuat. c. Fenomena Stagnasi Demokrasi dan Melemahnya Kepercayaan Sosial

Dengan melihat berbagai fakta yang ada, yaitu implikasi kontra produktif yang muncul seiring dengan dinamika demokrasi, maka demokratisasi di Indonesia perlu dikawal dengan hati-hati. Iklim demokrasi yang mengalami musim semi di Indonesia harus dihindarkan dari involusi (kemandegan), sebab proses involusi demokrasi memunculkan fenomena stagnasi demokrasi atau dikenal juga dengan istilah demokrasi beku (frozen democracy) yang ditandai dengan perilaku masyarakat yang anarkis, cenderung melawan hukum (civil disobedience/pembangkangan sipil) serta kurang menghargai simbolsimbol kedaulatan negara. Kecenderungan aksi-aksi yang mencederai proses demokratisasi perlu dicegah untuk mempercepat upaya pembentukan the civilizing proccess atau proses penciptaan ketertiban sosial yang memunculkan penguatan masyarakat warga. Untuk mendorong terjadinya social and political trust yang diperlukan untuk memperkokoh integrasi sosial, maka langkah-langkah dan kebakan pemerintah diarahkan untuk mewujudkan: 1). Stabilitas ekonomi baik pada tingkat lokal maupun nasional yang ditujukan untuk meringankan beban hidup masyarakat.

16

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

2). Mempercepat proses pembentukan masyarakat warga (civil society) dalam pengertian civility (ketertiban sosial) 3). Mendorong konsolidasi sosial politik elit secara optimum. 4). Mempercepat penyelesaian masalah sosial, politik . Untuk itulah perlu dilakukan suatu reeksi dan evaluasi ulang tentang langkah-langkah pembentukan masyarakat warga sebagai ciri menguatnya iklim demokrasi. Pembentukan civil society sebagai basis munculnya civility yang merupakan syarat mutlak terjadinya ketertiban dan kedamaian harus dipertahankan dan jangan sampai berbelok pada bentuk-bentuk anarkhi sosial. Sehingga upaya untuk menggapai kehidupan politik yang demokratis dan mendatangkan keadilan sosial bukan hanya akan sebatas utopia, tetapi benar-benar dapat mendorong bangsa ini mampu mengangkat derajat hidupnya setara dengan bangsa-bangsa lain yang memiliki tradisi civilty yang lebih baik dan terpelihara. 3. Pilihan Kebakan

Untuk mendorong agenda reformasi yang mencita-citakan terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang berbudaya, berkeadilan sosial dan sejahtera, maka prioritas langkah kedepan adalah sebagai berikut: Pertama, perubahan struktural pada ranah sosial ekonomi sehingga memiliki keberpihakan pada masyarakat bawah. Hal ini menjadi dasar perjuangan dan landasan gerak perubahan dan pembaharuan yang dilakukan. Disparitas ekonomi dipersempit agar proses internalisasi konsep demokrasi berlangsung dengan baik. Ini berarti bahwa gerak reformasi tetap difokuskan pada upaya penciptaan keadilan sosial dan demokrasi ekonomi. Kedua, melakukan penguatan masyarakat sipil sebagai target utama dan sebagai landasan terbangunnya kultur demokrasi yang kuat dan berakar. Untuk itu ide dan gagasan demokrasi yang substantif perlu diwujudkan dalam bentuk tata pemerintahan yang bersih, negara yang dipercaya dan berwibawa serta masyarakat sipil yang sejahtera. Menguatnya bangunan masyarakat sipil akan menjadi

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

17

sarana efektif dalam mengontrol pelaksanaan demokrasi disegala bidang. Ketiga, konsolidasi sosial politik diperkuat sehingga tidak bersifat semu. Konsolidasi sosial politik yang kokoh akan membantu terbentuknya masyarakat warga yang tertib yang menghormati dan mentaati institusi hukum. Aturan hukum tidak dipahami sebagai penghambat kebebasan rakyat tetapi sebagai instrumen yang mengatur keberadaban masyarakat. Secara bersamaan aturan hukum dan aparat pemerintah menjadi berwibawa dimata warga, Keempat, pelaksanaan reformasi partai politik agar Parpol tidak terjebak pada karakter feodalistik, otoriter dan elitis. Parpol yang bermakna bagi rakyat adalah parpol yang memiliki spirit populis, berlandaskan pada ideologi kerakyatan dan diterjemahkan dalam program kerja yang langsung berhubungan dengan kepentingan rakyat. Kelima, meningkatkan penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia (HAM), dan perjuangan melawan korupsi secara menyeluruh. Langkah lain adalah memperkokoh supremasi hukum dan menciptakan tradisi good governance yang efektif dan esien. Keenam, menangani ego sektoral dan sikap primordialisme yang kuat menjadi sinergitas dalam komitmen berbangsa dan bernegara, sekaligus mencegah usaha mengedepankan kepentingan-kepentingan sempit, sesaat dan kepentingan kelompok Jika keenam pokok pikiran diatas dapat direalisakan niscaya jalan lurus dan pendek menuju demokrasi semakin jelas. B. SISTEM KEPARTAIAN DAN MASALAH KETERWAKILAN 1. Latar Belakang

Di dalam negara modern, demokrasi perwakilan (representative democarcy) merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Di samping untuk menjaga terlaksananya gagasan demokrasi, adanya wilayah yang cukup luas dan jumlah penduduk yang cukup besar menjadi acuan gagasan bahwa keberadaan demokrasi perwakilan menjadi hal yang mutlak. Di dalam demokrasi

18

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

perwakilan terdapat sekelompok kecil orang yang berfungsi sebagai wakil (representatives) untuk menjalankan roda pemerintahan, dan terdapat banyak orang (represented) yang memilih para wakil itu. Para wakil itu sering disebut sebagai elite, dan para terwakil itu disebut sebagai rakyat. Di dalam demokrasi perwakilan, Pemilu merupakan instrumen penting untuk memilih para wakil rakyat. Melalui pemilu secara bebas dan adil (free and fair) para calon anggota legislatif (kontestan) memperebutkan suara para pemilih yang kemudian ditransfer ke dalam perolehan kursi di lembaga perwakilan (DPR/D). Dalam hal ini partai politik menjadi institusi modern yang dadikan kendaraan para calon legislatif atau caleg untuk memperebutkan kursi di dalam pemilu. Karena itu, keberadaan partai politik juga merupakan keniscayaan yang harus ada di dalam negara demokrasi modern ketika hendak mengisi jabatan-jabatan (elected ocials) di lembaga perwakilan. Sistem pemilu yang dipakai di dalam pemilu memiliki konsekuensikonsekuensi terhadap sistem kepartaian dan potret keterwakilan. Sistem proporsional, misalnya, cenderung menghasilkan sistem multi partai dan sistem keterwakilan yang mampu menampung banyak kelompok, termasuk kelompok-kelompok minoritas dan perempuan. Sebaliknya, sistem distrik cenderung menghasilkan sistem dua-partai, atau paling tidak sistem multi partai sederhana, dan sistem perwakilan yang hanya melibatkan kelompok-kelompok tertentu saja. Berkaitan dengan hal tersebut, disain sistem kepartaian dan keterwakilan tidak bisa dilepaskan dari disain sistem pemilu. Hanya saja, diskusi mengenai hal demikian tidak cukup mengemuka di awal-awal masa reformasi. Yang lebih mengedepan adalah bagaimana membuat Indonesia ini menjadi lebih demokratis melalui pemberian kebebasan berekspresi, berorganisasi, dan adanya pemilu yang bebas dan adil. Yang pertama terlihat dari adanya kebebasan pers, yang kedua tereeksi dari kebebasan mendirikan partai politik, dan yang terakhir ditunjukkan oleh adanya pemilu yang cukup bebas dan adil pada Tahun 1999 dan Tahun 2004. Meskipun demikian, upaya untuk membangun sistem politik yang demokratis masih belum membawa hasil yang maksimal. Tiga

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

19

bentuk kebebasan yang telah disebutkan diatas, contohnya, masih belum mampu menghasilkan pemerintahan demokratis yang stabil. Salah satu masalah yang sering dikemukakan adalah karena jumlah partai di Indonesia terlalu banyak. Padahal, partai-partai yang secara riel memperoleh kursi yang berarti di DPR/D sebenarnya tidak terlalu banyak. Di samping itu, pemilu juga masih belum mampu menghasilkan para wakil yang benar-benar mewakili kepentingan masyarakat artinya kesenjangan antara para wakil dan terwakil (disconnect electoral), masih terjadi. Permasalahan yang muncul dari pelembagaan demokrasi pada 10 tahun terakhir adalah bahwa sekalipun partisipasi politik masyarakat Indonesia dalam pemilu tergolong cukup tinggi, namun seperti ditunjukkan pada Tabel 1 ada kecenderungan tingkat partisipasi pemilih di dalam pemilu (turn out) semakin menurun. Selain itu biaya (cost) di dalam pelaksanaan pemilu menjadi besar. Kecenderungan pertama terlihat dari tingkat partisipasi yang menurun pada Pilpres tahun 2004 putaran kedua, dan pelaksanaan pilkada di banyak daerah. Sedangkan biaya pemilihan, bukan hanya yang secara resmi dikeluarkan oleh pemerintah melalui KPU/D melainkan juga yang dikeluarkan oleh masing-masing pasangan calon, jumlahnya sangat besar. Bab ini membahas disain kelembagaan di dalam pemilu dan implikasinya terhadap sistem kepartaian dan sistem keterwakilan. Tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang upaya untuk membangun sistem multi partai sederhana melalui mekanisme electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT). Setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan mengenai tingkat keterwakilan kewilayahan melalui sistem pendapilan (Dapil) dan sistem quota untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Terakhir adalah membahas beberapa pemikiran terkait dengan upaya meningkatkan tingkat partisipasi pemilih serta mengurangi biaya di dalam pelaksanaan pemilu.

20

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

2. a.

Kondisi Aktual dan Permasalahan Membangun Sistem Multi Partai Sederhana

Gagasan tentang perlunya multi partai sederhana di Indonesia didasari oleh keinginan untuk membangun pemerintahan demokratis tetapi stabil. Di dalam negara demokrasi, pemerintahan yang stabil diperlukan agar memiliki kemampuan menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan (governability). Di dalam pemerintahan demikian, prosesproses politik untuk merumuskan dan membuat kebakan-kebakan publik akan lebih mudah tercapai, dan pemerintah juga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengimplementasikan kebakankebakan publik yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemerintah yang ada tidak hanya dituntut untuk mempertanggungjawabkan apa yang dalankan (government responsibility) tetapi juga memiliki kekuasaan dan otoritas yang cukup untuk menjalankan pemerintahan (government power). Dalam tataran teoritis memang terdapat dua pandangan yang berseberangan tentang keterkaitan antara sistem kepartaian dengan stabilitas suatu pemerintahan. Maurice Duverger (1954) merupakan salah satu pendukung kuat dari argumentasi bahwa sistem dua partai itu lebih cenderung memiliki kesempatan bagi terbangunnya pemerintahan demokratis yang stabil. Sebaliknya, sistem multi partai dianggap tidak cocok bagi pemerintahan demikian karena selain bisa merangsang konik politik yang lebih intens juga membuat proses-proses politik berlangsung lebih lama. Pandangan demikian didasarkan pada pengalaman negara-negara demokratis lain yang demokrasinya terlembaga berdasarkan sistem dua partai. Pandangan seperti itu ditolak oleh Arend Lphart (1977). Berdasarkan studi yang dilakukannya Lphart berpendapat bahwa masyarakat plural yang menganut sistem multi partai bisa saja memiliki kesempatan untuk memiliki sistem pemerintahan demokratis yang stabil. Prasyarat utama yang dikemukakan oleh Lphart adalah manakala negara-negara itu mengembangkan demokrasi konsensus (consociational democracy). Di dalam pandangan Lphart, terdapat empat karakteristik dari consociational democracy. Pertama adalah adanya koalisi besar antara pemimpin politik dengan semua

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

21

segmen masyarakat pluralis. Kedua, adanya veto yang seimbang atau peraturan/kewenangan mayoritas. Ketiga, adanya proporsionalitas sebagai standar utama bagi perwakilan politik. Terakhir, adanya tingkat kewenangan yang tinggi bagi setiap elemen untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Artinya pengaruh dan campur tangan luar terhadap masalah internal institusi dibatasi. Meskipun demikian, perdebatan itu, dalam taraf tertentu sebenarnya memiliki titik temu manakala dikaitkan dengan sistem pemerintahan. Sistem multi partai, contohnya, lebih mungkin bisa menghasilkan pemerintahan yang stabil di dalam sistem parlementer daripada di dalam sistem presidensial. Sistem yang terakhir ini lebih cocok menggunakan sistem dua partai atau minimal sistem multi partai sederhana di dalam membangun pemerintahan yang stabil. Indonesia adalah negara yang secara alamiah memiliki masyarakat yang plural, dan secara politik telah berketetapan menganut presidensial sebagai sistem pemerintahan, sebagaimana tertuang di dalam konstitusi. Masyarakat plural cenderung menghasilkan sistem multi partai. Masing-masing kelompok berusaha membentuk partai politik untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan politiknya. Sejarah politik Indonesia telah mencatat kecenderungan demikian. Manakala pemilu diadakan secara demokratis, seperti pemilu 1955, 1999, dan 2004, selalu diikuti oleh banyak partai. Tetapi, sejarah juga mencatat bahwa jumlah partai yang memperoleh suara berarti di dalam setiap pemilu demokratis itu jauh lebih kecil kalau dibandingkan dengan jumlah partai yang mengikuti pemilu. Pemilu 1955 diikuti oleh 172 partai, organisasi dan perorangan. Tetapi, di dalam pemilu ini hanya mampu menghasilkan empat partai yang memperoleh dukungan berarti (memperoleh dukungan suara lebih dari lima belas persen), dan empat partai lagi yang memperoleh dukungan kurang berarti (memperoleh dukungan antara dua sampai tiga persen). Kalau menggunakan kerangka Markku Laakso dan Rein Taagepera (1979) tentang jumlah partai efektif yang dihasilkan oleh pemilu, pemilu 1955 itu hanya mampu menghasilkan 6,36 jumlah efektif partai politik (Maran, 2007). Hal serupa tidak jauh berbeda dengan pemilu 1999 dan 2004. Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai. Bedanya, pada pemilu 1955

22

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

menghasilkan empat partai yang memperoleh dukungan di atas lima belas persen. Sementara itu, pada pemilu 1999 hanya dua partai saja yang memperoleh dukungan setingkat ini, yaitu PDIP dan Golkar, yang masing-masing memperoleh dukungan 33,7 persen dan 22,4 persen. Akan tetapi, secara keseluruhan, dalam pemilu 1999 terdapat lima partai besar yang memperoleh dukungan yang relatif berarti atau di atas tujuh persen yaitu: PDIP, Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Partai-partai lainnya memperoleh suara kurang dari dua persen. Sementara itu, kalau dilihat dari jumlah efektif partai yang dihasilkan hanya 5,06. Pada pemilu 2004, jumlah partai peserta pemilu berkurang menjadi 24. Distribusi perolehan suaranya relatif lebih merata ke sejumlah partai, karena itu jumlah efektif partainya bertambah menjadi 8,56. Pada pemilu 2004 itu, di samping 5 partai yang memperoleh suara berarti pada pemilu 1999, juga menambah dua partai pendatang yang memperoleh suara berarti yaitu PKS dan Partai Demokrat. Realitas seperti itu bermakna bahwa, apabila dilihat dari jumlah partai, pemilih sebenarnya menghendaki sistem multi partai sederhana. Di dalam sistem ini jumlah partai tidak terlalu besar, berada pada kisaran 4 sampai 9 partai. Keinginan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana juga dilakukan melalui disain kelembagaan, yaitu melalui ET dan PT. ET diberlakukan pada pemilu 1999 dan 2004. Yang dimaksud ET di dalam disain di dua pemilu itu adalah ambang batas prosentase perolehan suara dari partai untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Pada pemilu 1999 ditetapkan 2 persen dan pemilu 2004 besaran ET dinaikkan menjadi 3 persen. Tetapi, implementasi dari ET pada dua pemilu itu tidak cukup efektif. Pada pemilu 1999 yang lolos ET hanya 5 partai, tetapi jumlah peserta pemilu 2004 masih mencapai 24 partai. Artinya, terdapat sekitar 80 persen partai yang tidak termasuk yang lolos ET yang mengikuti pemilu. Realitas demikian terjadi karena didapati partai-partai yang tidak lolos ET tetapi masih bisa mengikuti Pemilu berikutnya setelah melakukan metamorfosis melalui perubahan nama. Selain itu, juga terdapat partai-partai baru yang secara esensial merupakan partaipartai sempalan dari partai-partai yang sudah ada.

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

23

ET pada pemilu 2004 malah tidak jelas efektivitasnya. Pada kenyataannya otoritas pembuat dan yang menetapkan UU Pemilu masih membuka peluang kompromi, sehingga dalam implementasinya cenderung kurang konsisten dengan desain yang ditetapkan. Di dalam UU Pemilu 2008 disebutkan, partai-partai yang tidak lolos ET pada pemilu 2004 diperbolehkan mengikuti pemilu 2009 asal memiliki kursi di DPR, berapapun jumlah kursinya. ET hanya diberlakukan pada partai-partai yang tidak memiliki kursi sama sekali. Keputusan demikian memang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi, keputusan MK itu tidak berlaku surut karena KPU telah terlebih dahulu menetapkan partai-partai peserta pemilu 2009, termasuk yang sebenarnya tidak lolos ET. Pada pemilu 2009 tidak lagi dipakai ET, melainkan PT, yaitu ambang batas prosentase perolehan suara bagi partai untuk memperoleh kursi di DPR, kecuali untuk pemilu lokal di Aceh, masih tetap menggunakan ET. PT pada pemilu 2009 adalah 2,5 persen. Partaipartai yang tidak lolos PT tidak bisa memperoleh kursi di DPR tetapi masih boleh mengikuti pemilu berikutnya. Secara alamiah disain kelembagaan demikian diharapkan secara perlahan bisa mengurangi jumlah partai di masa yang akan datang. Meskipun demikian, harapan seperti itu bisa jadi lebih sulit diwujudkan karena PT hanya diberlakukan di tingkat nasional. Partai-partai yang tidak lolos PT masih memiliki kesempatan untuk memperoleh kursi di DPRD (propinsi maupun kabupaten/kota). Ini berarti partai masih memiliki insentif untuk terus bertahan. Partaipartai demikian memiliki peluang untuk terus mengikuti pemilu berikutnya. Konsekuensinya, keinginan untuk mengurangi jumlah partai secara alamiah menjadi sulit terlaksana, karena insentif bagi partai politik masih diberlakukan, yaitu berkemungkinan memperoleh kursi di DPRD. Insentif itu bertambah manakala partai-partai itu juga memperoleh dana pembinaan dari pemerintah (daerah). Disain diatas hanya bisa efektif kalau PT juga diberlakukan di DPRD. Di antara implikasi dari pelaksanaan ET yang tidak konsisten adalah besarnya partai yang mengikuti pemilu 2009, yaitu 38 partai di tingkat nasional, dan 6 partai lokal di Aceh. Memang, di antara partai-partai itu juga terdapat partai-partai baru. Para elite politik

24

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

yang kecewa terhadap partai-partai lama yang diikuti sebelumnya kemudian membentuk partai-partai baru. Besarnya minat untuk mendirikan partai baru tidak semata-mata didasari oleh niat untuk meramaikan demokrasi, melainkan karena masih melihat ada peluang untuk memperoleh kekuasaan melalui partai-partai baru. ET sendiri masih diberlakukan di Aceh untuk partai-partai lokal. Besarannya adalah 5 persen. Artinya, ketika ada partai lokal yang tidak mampu memoperoleh suara 5 persen, tidak diperbolehkan mengikuti pemilu berikutnya. Besar kemungkinan ET seperti ini juga tidak akan efektif manakala tidak diberlakukan secara konsisten sebagaimana ET di dalam pemilu nasional 1999 dan 2004. b. Keterwakilan: Sistem Dapil dan Sistem Daftar Semi Terbuka

Salah satu problem yang dihadapi oleh perwakilan politik adalah bagaimana menciptakan para wakil yang dapat mencerminkan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat dan adanya relasi yang baik antara wakil dan terwakil. Dalam hal yang pertama, Indonesia secara politik telah menggunakan sistem pemilu proporsional. Di dalam sistem demikian dimungkinkan adanya perwakilan politik yang distribusi kursinya mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Sistem demikian memungkinkan adanya wakil dari partai-partai minoritas. Tetapi, sistem proporsional juga memiliki kelemahan. Di antaranya adalah menciptakan relasi yang tidak terlalu kuat antara wakil dengan daerah pemilihannya, atau antara para wakil dengan konstituen yang diwakilinya. Di dalam sistem demikian, para wakil biasanya dipilih dari daerah pemilihan (Dapil) yang cukup besar, karena masing-masing dapil menyediakan banyak kursi untuk diperebutkan (multi member district). Konsekuensinya, cakupan kerja Dapil anggota DPR/D luas. Untuk DPR pada pemilu 1999, misalnya, yang menjadi Dapil adalah propinsi. Karena itu, ketika hendak membangun relasi dengan konstituen, masing-masing anggota tidak memiliki fokus yang cukup jelas. Sebagai kebutuhan untuk menciptakan relasi yang lebih baik antara wakil dan terwakil, pada pemilu 2004 diberlakukan sistem Dapil yang lebih mengerucut. Multi member district yang menjadi ciri sistem

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

25

proporsional memang masih diberlakukan tetapi, besaran daerah pemilihan (district magnitude) diperkecil, yaitu antara 3 sampai 12. Di dalam sistem ini memang masih ditemui Dapil yang berbasis pada propinsi, seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua propinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Sedangkan, di propinsi-propinsi lainnya satu propinsi terbagi atas sejumlah Dapil. Akan tetapi, besaran Dapil semacam ini juga dianggap masih terlalu besar. Karena itu, pada UU Nomor 10 tahun 2008, Dapil lebih diperkecil, antara 3-10. Perubahan besaran Dapil dari pemilu 2004 ke pemilu 2009 sebenarnya tidak terlalu bermakna. Pengurangan 2 kursi dari setiap Dapil tidak akan banyak berpengaruh terhadap terjadinya relasi yang lebih erat antara wakil dan terwakil. Lain masalahnya kalau besaran Dapil dipangkas menjadi maksimal 5 kursi, misalnya. Para wakil yang mewakili daerah mana akan lebih jelas lagi. Akan tetapi, semakin kecil Dapil juga memunculkan masalah lain. Tingkat keterwakilan kelompok menjadi lebih kecil. Semakin kecil besaran Dapil semakin memungkinkan adanya dominasi partaipartai tertentu. Di dalam situasi demikian, besaran Dapil untuk Indonesia ke depan lebih diarahkan pada besaran Dapil yang moderat, misalnya antara 2 sampai di bawah 10. Disain besaran Dapil ini juga akan berseiring dengan disain untuk membangun sistem multi partai sederhana. Di samping memperkecil besaran Dapil, upaya lain yang telah dilakukan untuk memperbaiki relasi antara wakil dan terwakil adalah melalui struktur penyuaraan (ballot structure). Pada pemilu 1999, para pemilih hanya dihadapkan pada pilihan daftar partai peserta pemilu. Para pemilih tidak secara langsung bisa menentukan para wakil yang akan mewakili partai duduk di DPR/D. Pada pemilu 2004 dilakukan perubahan, yaitu diberlakukannya sistem proporsional semi daftar terbuka (semi-open-list PR). Di dalam sistem demikian, selain dihadapkan pilihan pada partai, para pemilih juga dimungkinkan untuk memilih para calon yang diajukan oleh partai. Melalui sistem demikian, dimungkinkan adanya calon bernomor urut tidak jadi (non-winnable positions) untuk memperoleh kursi asalkan perolehan

26

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

suaranya mampu memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP). Lebih dari itu, para pemilih lebih mengetahui secara lebih pasti tentang calon-calon yang akan mewakili Dapil mereka. Tetapi, perubahan diatas tidak membawa hasil yang cukup berarti. Pada pemilu 2004 hanya terdapat 2 calon yang mampu memenuhi BPP untuk DPR. Itu pun keduanya masuk di dalam posisi calon jadi (winnable position). Dengan kata lain, sangat sulit bagi para calon yang tidak masuk calon jadi untuk terpilih. Oleh karena itu, pada pemilu 2009 dilakukan perubahan lagi yaitu dengan menggunakan suara terbanyak yang merupakan Sistem proporsional daftar terbuka (openlist PR), sehingga semua caleg memiliki peluang yang sama untuk terpilih. c. Partisipasi Politik

Masalah lain berkaitan dengan adanya fenomena penurunan tingkat partisipasi pemilih di dalam pemilu (turn out) dan besarnya biaya di dalam pelaksanaan pemilu. Sebagaimana terlihat di dalam tabel 1, jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya pada pemilu pasca pemerintahan Orde Baru semakin tinggi. Prosentase rendahnya tingkat partisipasi di dalam pemilu semakin besar di dalam pilkada secara langsung yang dimulai 1 Juni 2005 (Maran 2006). Tabel 1: Tingkat Partisipasi Pemilih di Indonesia, 1955-2004
Tahun Pemilu 1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004 Terdaftar 43,104,464 58,558,776 69,871,092 82,134,195 93,737,633 107,565,697 124,740,987 117,815,053 148,000,369 Suara Sah 37,785,299 54,669,509 63,998,344 75,126,306 85,869,816 97,789,534 112,991,150 105,786,661 113,462,414 Tidak Hadir 5,319,165 3,479,696 6,380,406 6,502,944 8,156,137 9,776,163 11,749,837 12,028,392 23,580,030 Tidak Menggunakan hak pilih dan suara tidak sah Jumlah 5,319,165 3,889,267 5,872,748 7,007,889 7,867,817 9,776,163 11,749,837 12,028,392 34,537,995 %* 12,34 6,64 8,40 8,53 8,39 9,09 9,42 10,21 23,34

Fenomena semakin rendahnya tingkat partisipasi politik memang bukan hanya khas Indonesia. Di negara-negara lain, kecenderungan rendahnya tingkat partisipasi politik juga semakin tinggi. Tetapi,

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

27

karena Indonesia sedang berproses menuju demokrasi, masalah jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilihnya menjadi isu yang lebih serius diperbincangkan. Bagaimanapun juga, demokrasi itu tidak lepas dari keterlibatan warga secara aktif di dalam proses-proses politik. Ketika banyak pemilih yang tidak berpartisipasi dalam pemilu, keterlibatan warga di dalam proses politik menjadi berkurang. Satu penjelasan yang sering dikemukakan terhadap semakin rendahnya tingkat partisipasi politik adalah adanya penurunan kepercayaan para pemilih terhadap elite politik, partai, dan lembaga perwakilan. Penjelasan ini dikaitkan dengan argumentasi pemilih, ada atau tidak ada elite baru di pemerintahan, tidak membawa perubahanperubahan yang berarti!. Lambannya penyelesaian permasalahan ekonomi di dalam sepuluh tahun terakhir, termasuk di dalamnya adalah kemiskinan dan pengangguran, sering dirujuk sebagai faktor pokok penurunan tingkat kepercayaan itu. Selain itu, faktor-faktor lain juga memiliki sumbangan terhadap semakin rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu. Pertama adalah faktor kejenuhan di dalam mengikuti Pemilu. Kalau dihitung, para pemilih memiliki peluang mengikuti 8 (delapan) kali pemilu, yaitu 2 (dua) kali pilkada di kabupaten/kota, 2 (dua) kali pilkada di propinsi, pileg, dan 2 (dua) kali pilpres. Banyaknya pemilu memang memberi ruang yang lebih besar kepada para pemilih untuk ikut menentukan pemimpin-pemimpin yang dikehendaki. Akan tetapi, banyaknya pemilu juga bisa membuat pemilih jenuh, khususnya para pemilih yang memiliki distrust atau rasa kurang percaya yang tinggi kepada para elite. Tingkat partisipasi pemilih erat berkaitan dengan masih rumitnya sistem kependudukan, dan masalah-masalah teknis kepemiluan lainnya. Di setiap pemilu, baik pileg, pilpres maupun pilkada, penyelenggara pemilu (KPU/D) selalu mendapati masalah tentang validitas para pemilih. Misalnya saja ditemui adanya orang yang tidak berhak memilih tetapi terdaftar sebagai pemilih, dan sebaliknya, adanya pemilih yang memiliki hak memilih tetapi tidak terdaftar, atau adanya pemilih yang tidak memperoleh kartu pemilih. Selain kecenderungan semakin rendahnya tingkat partisipasi pemilih pada dua pemilu terakhir, masalah lain adalah berkaitan

28

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dengan besarnya biaya di dalam pemilu. Masalah ini muncul tidak lepas dari banyaknya pemilu yang dilaksanakan. Melalui pengurangan jumlah pemilu, secara otomatis, juga mengurangi biaya penyelenggaraan pemilu, baik yang ditanggung oleh pemerintah (daerah) maupun oleh para calon. Kalau melihat pelaksanaan pilkada yang diselenggarakan sejak 2005, terdapat kecenderungan biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon itu semakin lama semakin besar. Para calon yang bertarung sejak awal sudah berusaha melakukan kampanye, meskipun bukan kampanye resmi. Konsekuensinya, biaya yang dikeluarkannya semakin tinggi. Biaya itu semakin besar apabila dikaitkan dengan corak perilaku para kontestan baik secara kelembagaan oleh parpol maupun secara individual oleh para calon yang cenderung menggunakan materi atau uang untuk menarik suara pemilih (transaksional material). Di dalam perilaku demikian, pemilih tidak secara sukarela memberikan dukungan. Mereka bersedia memberikan dukungan manakala memperoleh imbalan material tertentu. Implikasinya, para kontestan juga harus mengeluarkan banyak uang untuk diberikan kepada pemilih tersebut dan proses pemilu yang demikian merupakan perilaku politik uang (money politic), yang juga bermakna mengajarkan masyarakat berbuat curang serta tidak menggunakan akal sehatnya dalam menentukan pilihan politiknya. d. Keterwakilan: Sistem Quota

Permasalahan lain yang berkaitan dengan keterwakilan adalah kontribusi kelompok perempuan. Di banyak negara di berbagai belahan dunia, tingkat keterwakilan perempuan di dalam politik masih rendah (under-representation). Di Indonesia, jumlah perempuan di lembaga perwakilan, dari pemilu ke pemilu, masih relatif kecil, seperti terlihat di dalam tabel 2. Meskipun jumlah pemilih perempuan cukup besar, separuh dari pemilih, tetapi jumlah wakil perempuan di lembaga perwakilan sangat rendah. Capaian tertinggi bagi perempuan di lembaga perwakilan terjadi pada pemilu 1987. Ketika itu, pemilu menghasilkan 65 perempuan duduk di DPR atau 13 persen dari keseluruhan anggota DPR. Di luar itu, persentase

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

29

perempuan tergolong rendah. Pencapaian itu bahkan masih sangat jauh dari angka kritis, yang oleh banyak orang dirumuskan sebesar 30 persen. Tabel
Periode 1950-1955 (DPRS) 1955-1960 1956-1959 (Konstituante) 1971-1977 1977-1982 1982-1987 1987-1992 1992-1997 1997-1999 1999-2004 2004-2009

2: Jumlah Perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat (19502009)


Jumlah Perempuan 9 17 25 36 29 39 65 62 54 45 63 Total 236 272 488 460 460 460 500 500 500 500 560 % 3,8 6,3 5,1 7,8 6,3 8,5 13 12,5 10,8 9 11,5

Sumber: Siregar (2005)

Berkaitan dengan realitas seperti itu, menjelang pemilu 2004 terdapat upaya serius dari aktivis perempuan untuk memperbesar jumlah perempuan di parlemen. Langkah strategis yang dilakukan adalah berjuang melalui aturan main, di dalam UU. Seperti halnya di negaranegara lain, mereka menginginkan adanya kebakan quota terhadap perempuan sebesar 30 persen. Pada akhirnya langkah itu berhasil dilakukan setelah para politisi di DPR menyetujui dicantumkannya kebakan quota di dalam UU mengenai Pemilu, No 12 tahun 2003. Di dalam pasal 65 disebutkan, Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Sifat dari quota ini memang masih berupa anjuran. Tetapi, ini merupakan tonggak awal memperjuangkan kebakan quota di dalam bentuk perundang-undangan. Paling tidak, terdapat upaya dari partai peserta pemilu 2004 memenuhi quota sebesar 30 persen tersebut. Hasil dari upaya itu memang belum tercermin di dalam pemilu. Seperti terlihat di dalam tabel 2, pemilu 2004 hanya mampu menghasilkan 63 perempuan anggota DPR atau 11,5 persen dari total anggota DPR. Jumlah ini masih berada di bawah hasil pemilu 1987

30

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dan pemilu 1992. Hal demikian bisa terjadi karena sebagian besar calon perempuan berada di dalam posisi yang tidak jadi di dalam daftar calon. Upaya untuk memperjuangkan kebakan quota memperoleh momentum yang lebih berarti setelah para aktivis perempuan berhasil memperjuangkannya di dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu yang baru. Untuk kepengurusan partai di tingkat nasional wajib mencantumkan 30 persen perempuan. Sementara itu, untuk daftar calon, mereka wajib mencantumkan 30 persen calon perempuan. Bahkan, setiap 1 (satu) dari 3 (tiga) calon di setiap Dapil wajib terdapat calon perempuan. Melalui kebakan seperti itu, jumlah perempuan di DPRD diharapkan bisa meningkat. Meskipun kebakan quota sudah merupakan kewajiban bagi setiap partai politik, sanksi dari kebakan ini masih belum kuat. Konsekuensinya, bisa saja terdapat partai politik yang tidak memenuhinya. Di samping itu, model zip system di dalam kebakan quota itu belum tentu menghasilkan minimal 30 persen anggota DPR/D dari kalangan perempuan, karena bisa saja calon perempuan selalu ditempatkan pada posisi ketiga urutan. Dengan demikian kebakan quota itu perlu dilanjutkan. Hanya saja, sanksinya harus tegas. Ketika ada partai yang tidak mampu memenuhi sistem quota di dalam satu Dapil, misalnya, partai tersebut tidak diperkenankan mengikuti pemilu di dalam Dapil tersebut. Namun demikian dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU/2008 yang pada intinya memutuskan penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak (bukan nomor urut) berimplikasi pada melemahnya efektivitas upayaupaya diatas. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian terhadap sistem perwakilan perempuan untuk mendapatkan formula-formula yang mampu meningkatkan jumlah kursi yang diperoleh calon legislatif perempuan. 3. Pilihan Kebakan

Pertama, alternatif kebakan utama yang perlu diambil untuk membangun sistem multi partai sederhana adalah melalui konsistensi pelaksanaan PT untuk tingkat nasional dan daerah. Kebakan demikian memang tidak serta merta mengurangi jumlah partai politik, karena

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

31

yang tidak lolos masih tetap bisa mengikuti pemilu berikutnya. Akan tetapi, dalam jangka panjang, kebakan seperti ini bisa lebih efektif untuk menekan jumlah partai politik setelah partai-partai itu secara terus menerus tidak mampu memperoleh kursi akibat tidak lolos PT. Di samping itu, kebakan demikian tetap demokratis karena memberi kesempatan partai-partai bertarung di dalam pemilu. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri mendorong munculnya kebakan PT yang konsisten itu di dalam perundang-undangan yang ada. Mengingat RUU Pemilu dan Partai Politik yang ikut dirancang oleh Departemen Dalam Negeri itu acapkali mengalami perubahanperubahan mendasar setelah dibahas di DPR, Departemen Dalam Negeri perlu menyusun naskah yang komprehensif dan meyakinkan tentang pentingnya PT guna membangun sistem multi partai sederhana. Melalui cara demikian, diharapkan, Departemen Dalam Negeri bisa meyakinkan DPR untuk mendukung kebakan PT yang konsisten itu. Kedua, kedepan perlu juga dipertimbangkan kemungkinan untuk meniadakan dana pembinaan parpol yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini disatu sisi dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan parpol kepada pemerintah, yang sekaligus memberikan dorongan bagi kemandirian partai politik di masa mendatang. Disisi lain hal tersebut memang akan mengurangi antusiasme pembentukan partai politik baru yang selama ini dimotivasi oleh tersedianya dana dari pemerintah bagi partai politik. Ketiga, untuk meningkatkan partisipasi pemilih, ada beberapa desain kelembagaan yang bisa dilakukan yakni: (a) Meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada calon yang akan dipilih. Langkah ini, misalnya, bisa dilakukan dengan cara mendorong dibangunnya keeratan antara platform dan ideologi partai (calon) dengan pilihanpilihan kebakan yang dimiliki, atau antara voice dan choice. Keeratan demikian akan memungkinkan para elite terpilih untuk berkomitmen memenuhi janji-janji yang telah diucapkan; (b) Mengurangi jumlah pemilu. Ruang dua putaran di dalam pilkada (provinsi dan kabupaten/ kota), misalnya, ditutup dengan memberlakukan sistem pluralitas di dalam penentuan pemenang. Di dalam sistem demikian, pasangan calon yang memperoleh suara tertinggi dinyatakan sebagai pemenang;

32

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

(c) Memperbaiki sistem kependudukan melalui satu identikasi setiap penduduk. Dengan demikian, validitas para pemilih tidak diragukan lagi. Terakhir adalah melalui pendidikan politik kepada warga negara, bahwa memilih merupakan suatu hak tetapi ikut di dalam pemilihan akan meminimalisasi kesalahan di dalam menentukan pemimpinpemimpin. Keempat, alternatif kebakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi biaya pemilu antara lain dengan mengurangi jumlah pemilu, dari 8 (delapan) menjadi sesedikit mungkin melalui pemilu serentak. Selain itu, perlu adanya kebakan besaran batas maksimal biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon melalui sistem auidit awal. Audit tidak hanya diberlakukan sejak pasangan calon itu resmi menyatakan mencalonkan diri, melainkan juga sejak calon itu melakukan aktivitas untuk memperoleh dukungan dari para pemilih. Alternatif kebakan lainnya yang bisa diambil adalah, perlunya penghitungan secara menyeluruh tentang kebutuhan dana proses pelaksanaan pemilu di daerah. Setelah diketahui besarannya, para calon secara bersamasama memikul biaya itu, tepatnya biaya-biaya yang tidak seharusnya ditanggung oleh KPU/D. Kelima, untuk mengatasi kecenderungan perilaku transaksi material, perlu dilakukan pendidikan politik. Bahwa politik itu memang tidak lepas dari transaksi. Tetapi, transaksi antara wakil dan terwakil merupakan transaksi kebakan. Para calon menyampaikan kebakan-kebakan terbaik untuk pemilih yang ditawarkan secara terbuka kepada pemilih, sedangkan para pemilih akan memberikan dukungannya manakala mereka tertarik pada kebakan-kebakan yang ditawarkan tersebut. C. SISTEM PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN EKSEKUTIFLEGISLATIF 1. Latar Belakang

Konsisten dengan pembahasan terdahulu, dapat dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini berjalan paralel dengan munculnya apatisme dan pesimisme sebagian kelompok masyarakat terhadap

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

33

proses politik. Ada antipati terhadap demokrasi yang sampai hari ini dianggap belum dapat memperbaiki kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, membangun pemerintah yang efektif dan akuntabel sangat penting, karena hanya pemerintah yang efektif dan akuntabel yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi dan proses politik yang ada. Namun situasi politik di Indonesia masih sangat rentan terhadap hubungan yang kolusif dan tidak kondusif antara eksekutif dan legislatif. Berdasarkan pengalaman dua kali periode pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu demokratis, menjelang pemilu hubungan antara eksekutif dan legislatif berpotensi menjadi tidak kondusif karena terjadi konik kepentingan antara elit politik. Akibatnya kebakan yang dihasilkan cenderung lambat seperti tampak dalam kasus kenaikan BBM. Hal inilah yang akan menjadi tantangan di tahun 2009 dengan diselenggarakannya pemilu dan juga menjelang pemilu 2014. Sebagaimana ada sebagian pihak yang menilai bahwa setelah pemilu tantangan yang muncul adalah adanya hubungan yang berpotensi menjadi kolutif antara eksekutif dan legislatif. Penyebabnya adalah bahwa setelah pemilu insentif elit politik untuk membela kepentingan rakyat menjadi rendah karena elit politik tidak lagi membutuhkan suara dukungan rakyat. Akibatnya kebakan yang dihasilkan cenderung kurang berpihak kepada rakyat. Hubungan antara eksekutif dan legislatif sangat penting karena kedua institusi inilah yang berpartisipasi dalam proses pembuatan undang-undang dan kebakan. Hubungan yang kondusif; yaitu hubungan antara eksekutif dan legislatif yang harmonis; dan tidak kolusif antara kedua lembaga ini akan memperlancar pembuatan kebakan, meningkatkan kinerja pemerintah, dan menghasilkan kebakan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Membuat hubungan eksekutif dan legislatif di Indonesia yang kondusif dan tidak kolusif tidaklah mudah. Tantangan dalam membentuk pemerintahan yang kondusif tetapi imun terhadap kolusi antara lembaga berangkat dari masalah dasar sistem-sistem yang tersedia, yaitu kecenderungan adanya trade o. Artinya sistem atau struktur yang imun terhadap kolusi cenderung tidak kondusif, sementara sistem kondusif yang mendukung hubungan antar lem-

34

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

baga cenderung rentan terhadap kolusi. Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang mendasar adalah bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural dan belum substansial. Singkatnya, demokrasi di Indonesia belum mampu mengubah logika politik elit untuk berpihak pada kepentingan publik. Berdasarkan permasalahan diatas maka sangat perlu dilakukan pengkajian tentang bagaimana bisa dikembangkan sistem pemerintahan yang kondusif tapi tidak kolusif. Pertama-tama perlu diketahui mengapa sistem pemerintahan Indonesia saat ini berpotensi deadlock dimana pemerintah sulit melaksanakan kebakannya pada periode mendekati pemilu, dan berpotensi kolutif setelah pemilu. Selanjutnya perlu dipahami potensi permasalahan dan usulan-usulan yang ada untuk membentuk hubungan eksekutif dan legislatif yang kondusif, maupun hubungan eksekutif dan legislatif yang tidak kolutif. Setelah itu perlu dikemukakan alternatif pemecahan yang diharapkan bisa menghindari dan mengurangi trade-o kebakan yang ada, antara lain dengan membuat sistem pemerintahan yang memiliki akuntabilitas horizontal yang kuat, dan juga akuntabilitas vertikal yang efektif. Akuntabilitas horisontal yang dimaksud adalah akuntabilitas antar lembaga, sementara akuntabilitas vertikal adalah akuntabilitas antara pemerintah dengan rakyat. 2. a. Kondisi Aktual dan Permasalahan Efektivitas Pemerintahan

Secara formal, sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial. Namun dalam prakteknya presiden masih sangat bergantung pada partai. Sistem presidensialisme yang multipartai memang sangat rentan terhadap deadlock. Menurut Mainwaring (1993) potensi deadlock lebih besar dalam sistem multipartai presidensial dibandingkan multipartai parlementer karena di dalam sistem presidensialisme yang multipartai, jarang sekali presiden terpilih didukung oleh majoritas pemegang kursi parlemen sehingga seringkali oposisi di parlemen jumlahnya besar, bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan partai pendukung presiden. Pertanyaan selanjutnya adalah, bukankah bisa dibangun koalisi untuk mendukung presiden?

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

35

Koalisi pendukung presiden di dalam sistem presidensialisme adalah tidak stabil yang disebabkan karena dua hal. Pertama, koalisi pemerintahan dan koalisi untuk pemilu seringkali berbeda. Ini berarti parpol dalam koalisi pemerintahan tidak ikut mengusung presiden dalam pemilu sehingga ada kecenderungan parpol meninggalkan presiden di saat presiden tidak lagi populer. Kedua, ketika mendekati saat pelaksaan pemilu presiden, partai politik berusaha sedapat mungkin menjaga jarak dengan kebakan-kebakan presiden, yang mungkin baik, tapi tidak populis. Untuk kasus Indonesia, teori Mainwaring tepat untuk menggambarkan situasi menjelang pemilu. Jika periode pemerintahan di Indonesia masih didasarkan pada waktu pelaksanaan pemilu, teori Mainwaring dapat menggambarkan politik Indonesia semasa menjelang pemilu namun tidak setelah pemilu. Berdasarkan pengalaman saat ini, menjelang pemilu 2009, banyak terjadi konik antara eksekutif dan legislatif1. Meskipun ada koalisi yang sering diidentikan dengan koalisi pendukung Presiden terpilih, menjelang pemilu 2009 partai partai politik yang ada dalam koalisi tersebut mulai secara aktif menjaga jarak terhadap kebakan kebakan yang tidak populis. Sebagai contoh, dalam kasus BBM yang lalu dimana partai politik yang merupakan bagian dari koalisi pendukung pemerintah, akhirnya justru menyetujui penggunaan hak angket untuk BBM. Namun untuk masa setelah pemilu, teori Mainwaring tidak terlalu tepat digunakan untuk menggambarkan keadaan di Indonesia. Teori Mainwaring berpendapat bahwa pemerintahan yang menggabungkan presidensialisme dan multipartai tidak akan stabil dan akan rentan terhadap terjadinya deadlock. Namun dalam kasus Indonesia periode pemerintahan presiden SBY-JK menunjukkan hal yang lain. Liddle dan Mujani mencatat beberapa keberhasilan yang penting dalam pemerintahan SBYJK diantaranya keberhasilan membawa perdamaian di Aceh, menurunkan subsidi BBM, meningkatkan keamanan, dan juga perbaikan dalam hal memberantas korupsi. Keberhasilan yang disebutkan tidak lepas dari esiensi kerja pemerintah karena hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif.
1 Ancaman angket dan interpelasi dalam berbagai isu yang menyangkut masyarakat banyak

36

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Untuk melengkapi Mainwaring, bisa digunakan teori Dan Slater (2004) yang menggambarkan sistem politik Indonesia sebagai sistem kartel atau bisa disebut sebagai sistem koalisi inklusif. Deskripsi ini patut diperhitungkan karena memang Indonesia memilik sistem pemerintahan partai. Dalam sistem politik yang demikian, oposisi sangat lemah, dan presiden sangat bergantung pada partai politik yang membentuk koalisi inklusif tersebut. Hal ini bisa terlihat dari kabinet-kabinet yang terbentuk semasa pemerintahan Gus Dur, Megawati, maupun SBY. Kabinet-kabinet para presiden ini diisi oleh berbagai individu dari partai-partai politik dengan menggunakan nama kabinet pelangi, kabinet gotong royong, dan lain sebagainya. Dalam situasi ini, bisa dikatakan siapapun yang menang dalam pemilu tidak terlalu berarti karena baik yang kalah maupun yang menang mendapatkan potongan kue dalam pembagian kekuasaan. Adanya koalisi inklusif di Indonesia sepertinya bisa menjelaskan mengapa kombinasi presidensialisme dan multipartai di Indonesia bisa berjalan stabil selama masa pemerintahan SBY-JK dan kekhawatiran terjadinya deadlock tidak terbukti. Ini karena di dalam sistem koalisif inklusif, dimana hampir semua elit politik menjadi bagian dari institusionalisasi politik deadlock kemungkinan besar memang dapat dihindari. Dalam sistem yang juga bisa disebut sebagai sistem oligarki, akuntabilitas vertikal menjadi lemah karena siapapun yang dipilih oleh rakyat dalam pemilu, pemerintah yang terbentuk akan diisi oleh para elit baik yang dipilih maupun yang ditolak oleh rakyat dalam pemilu. Hal ini menghasilkan hubungan yang cederung kolusif antara eksekutif dan legislatif. Sementara itu menjelang pemilu, stabilitas oligarki menjadi goyah karena adanya peningkatan bobot kepentingan publik dimata elit mengingat pemilu merupakan suatu proses yang mengharuskan elit berkompetisi membela aspirasi rakyat. Dalam kondisi ini hubungan eksekutif dan legislatif yang tadinya kondusif menjadi kompetitif dan penuh konik, yang kemudian menjadi sangat rentan terhadap deadlock.

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

37

b.

Alternatif Tradisional

Di awal masa reformasi, salah satu agenda utama dalam pembentukan sistem politik Indonesia adalah menciptakan pemerintahan yang akuntabel. Terutama, bagaimana menciptakan pemerintahan dengan check-and-balance antar lembaga. Agenda ini muncul karena pada masa Orde Baru kekuatan berpusat di tangan presiden. DPR/ MPR hanya berperan sebagai legitimator eksekutif, dan meski mempunyai fungsi untuk memilih presiden, DPR/MPR cenderung tunduk kepada eksekutif. Oleh karena itu, di awal masa reformasi, dibentuklah parlemen yang relatif kuat dimana presiden dipilih oleh parlemen, presiden harus memberikan laporan pertanggung jawaban kepada parlemen, dan adanya mekanisme di dalam parlemen untuk mengganti presiden jika pertanggung jawaban presiden tidak memuaskan. Dengan demikian di awal reformasi situasi berbalik 180 derajat sebab bisa dikatakan bahwa DPR/MPR merupakan pusat kekuatan politik. Partai-partai politik di DPR memainkan peranan, fungsi, dan hak DPR secara maksimal. Sebagai contoh meski PDI-P memperoleh dukungan terbanyak dalam pemilu legislatif, Megawati gagal menjadi presiden karena majoritas DPR berhasil berkoalisi dan menempatkan Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia pertama hasil pemilu demokratis tahun 1999. Kekuatan politik DPR juga terlihat jelas dengan keberhasilan mereka menurunkan Gus Dur sebagai presiden dan mengangkat Megawati, calon yang awalnya berhasil disisihkan, untuk menjadi pengganti Gus Dur. Berdasar kenyataan diatas terdapat dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, usaha menciptakan mekanisme check-and-balances telah mendorong pembagian kekuasaan antara lembaga yang relatif condong memperkuat kekuasaan parlemen. Kedua, kuatnya parlemen relatif terhadap eksekutif berpotensi mendorong terciptanya kondisi politik yang tidak stabil dan pemerintahan yang tidak esien. Oleh karena itu muncul keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih kuat dan efektif. Melihat potensi instabilitas politik ke depan, para elit politik perlu mulai menggerakkan aturan sistem politik yang lebih memperkuat eksekutif. Meski tetap mempertahankan sistem multipartai untuk

38

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

mengakomodasi berbagai aktor dan kekuatan sosial politik, sistem pemerintahan Indonesia harus terus didorong ke arah sistem presidensial. Dua perubahan penting dalam Undang-Undang adalah ditetapkannya Pemilu Presiden sebagai Pemilu langsung. Presiden tidak lagi dipilih oleh DPR, melainkan langsung oleh rakyat. Perubahan penting kedua adalah dipersulitnya proses penggantian presiden diluar mekanisme Pemilu. DPR/MPR tidak lagi dapat menurunkan presiden seperti di awal reformasi. Presiden hanya dapat diturunkan jika melakukan pelanggaran hukum yang berat. Salah satu usulan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan adalah dengan pembentukan koalisi permanen. Alasan perlu dibentuknya koalisi permanen adalah untuk menjamin dukungan penuh partai politik terhadap pemerintah dan menghindari dukungan yang sifatnya sesaat sehingga menciptakan pemerintah yang kuat. Namun demikian, koalisi permanen yang akan memformalkan tendensi politik kartel merupakan ancaman terhadap demokratisasi dan representasi karena akuntabilitas vertikal menjadi lemah. Lama kelamaan rakyat akan menjadi semakin skeptis terhadap kemampuan demokrasi untuk menghasilkan pemimpin dan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. Kemungkinan efek lain dari koalisi permanen di Indonesia adalah justru semakin menurunnya kinerja pemerintah karena akuntabilitas vertikal yang rendah ditambah formalisasi kartel, insentif bagi para elit untuk memperhatikan kepentingan publik menjadi minimal. Elit tidak lagi merasa perlu memperhatikan kepentingan publik karena dalam mekanisme dimana publik bisa menghukum elit, yaitu dalam pemilihan umum, efeknya tidak akan terlalu besar bagi para elit yang akhirnya akan kembali masuk ke dalam kartel politik. Hal ini akan berbeda sepenuhnya dengan harapan dan tujuan pembentukkan koalisi permanen. Bagaimana dengan usulan penyederhanaan partai dengan mengurangi jumlah partai politik? Yang diharapkan dari pengurangan jumlah partai politik adalah semakin mudahnya para elit membentuk koalisi untuk mendukung pemerintah. Pemerintah menjadi lebih stabil dan efektif. Pembatasan jumlah partai secara langsung sulit dilakukan di alam demokrasi Indonesia saat ini. Oleh karena itu paling tidak ada dua cara untuk mengurangi jumlah partai. Pertama dengan

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

39

meningkatkan parliamentary threshold dan yang kedua meningkatkan electoral threshold. Electoral threshold yang tinggi akan mempersulit partai-partai yang dukungannya rendah di dalam pemilu untuk mengikuti pemilu selanjutnya. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya, parpol yang gagal dalam pemilu akan dengan mudah mengganti nama dalam pemilu berikutnya. Selain itu, meningkatkan electoral threshold tidak akan mencegah dibentuknya partai-partai politik baru dalam pemilu berikutnya. Jadi peningkatan electoral threshold tidak cukup esien untuk mengurangi jumlah partai. Sementara itu untuk meningkatkan parliamentary threshold akan dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah partai yang duduk di parlemen, bukan partai yang mengikuti pemilu. Dalam usaha menciptakan pemerintahan yang efektif, jumlah partai yang mempunyai kursi di parlemen, merupakan prasyarat yang lebih penting daripada jumlah partai yang mengikuti pemilu. Semakin tinggi parliamentary threshold, semakin sedikit jumlah partai yang akan duduk di parlemen. Selain itu, dengan semakin sulitnya partai politik untuk duduk di parlemen, semakin rendah pula insentif untuk membentuk partai politik mengingat salah satu tujuan utama dibentuknya parpol adalah untuk mendapatkan kursi di parlemen. Jadi dalam jangka panjang, peserta pemilu pun akan berkurang jumlahnya. Yang menjadi masalah dengan tingginya parliamentary threshold adalah tingginya potensi konik karena akan banyak suara partai politik yang hangus karena kemungkinan partai politik memperoleh suara dan kursi dari dapil tertentu namun gagal mencapai parliamentary threshold yang tinggi sangat besar. Karena potensi ini, peningkatan parliamentary threshold perlu diikuti oleh dukungan dan komitmen parpol dalam menerima hasil pemilu dan juga perlu dibuat mekanisme penyelesaian konik pasca pemilu untuk menghindari instabilitas politik. Dari usulan-usulan yang ada, usaha menciptakan pemerintahan yang efektif tetapi tidak kolusif sepertinya merupakan hal yang bertolak belakang. Jika untuk menciptakan pemerintahan yang kondusif, dilakukan pengurangan aktor guna mempercepat proses dalam pemerintahan maka hal ini akan mengurangi elemen checkand-balances. Sementara itu, semakin banyaknya pemain, memang baik untuk membangun check-and-balances, namun membuat proses

40

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

pemerintahan berjalan lambat. Dalam kondisi seperti ini, apakah mungkin menciptakan sistem pemerintahan yang efektif dan juga tidak kolusif? Untuk menjawab hal ini perlu dilihat adanya permasalahan mendasar yang kurang mendapatkan perhatian. Yang terjadi adalah dengan parlemen yang relatif lebih kuat terhadap eksekutif, fungsi check-and-balance sangat lemah karena hubungan antar lembaga cederung bersifat kolutif, terutama masa-masa setelah pemilu. Bahkan menjelang pemilu pun, fungsi check-and-balances cenderung bersifat politis, dalam arti cenderung dimanfaatkan untuk memotong kepentingan politik lawan dan untuk memajukan kepentingan politik sendiri. Jadi singkatnya, pemerintahan yang lebih ramping tidak serta merta menciptakan esiensi, melainkan juga dapat menimbulkan hubungan yang kolutif. Pemerintahan yang terdiri dari banyak aktor bukannya dapat menciptakan mekanisme check-and-balance tetapi juga berpotensi menimbulkan instabilitas dan menciptakan banyak ruang untuk berdagang politik. Untuk itu, perlu dibangun mekanisme akuntabilitas yang independen terhadap kepentingan politik elit, yaitu akuntabilitas vertikal. Yang perlu dicatat adalah, usaha ini tidak dapat dilakukan dalam sekejap tetapi harus menjadi agenda jangka panjang disertai keseriusan dan komitmen yang kuat untuk meningkatkan esiensi pemerintah tanpa membuka peluang terjadi praktek yang kolutif. 3. Pilihan kebakan

Berdasarkan kondisi aktual serta permasalahan diatas maka prioritas kebakan akan dirahkan pada hal-hal sebagai berikut: Pertama, peningkatan akuntabilitas vertikal dan horisontal yang diarahkan untuk meningkatkan insentif kepada elit guna meningkatkan kinerjanya. Akuntabilitas publik akan mendorong lembaga eksekutif dan legislatif agar secara serius memperbaiki mekanisme akuntabilitas horisontal yang diperlukan untuk peningkatan kinerja. Jika elit tidak melakukan kedua hal ini dan gagal meningkatkan kinerjanya, akan ada hukuman dari bawah (masyarakat) pada saat pemilu. Disamping itu juga perlu adanya mekanisme atau proses di mana akuntabilitas bisa diimplementasikan secara lebih efektif lewat pemilu

DINAMIKA DEMOKRASI DAN SISTEM POLITIK

41

dan jalur non-pemilu seperti hak recall partai politik. Permasalahan yang ada sekarang adalah rendahnya pendidikan politik publik sehingga publik seringkali tidak mempunyai informasi politik yang cukup, tidak mempunyai kapabilitas organisasi, tidak mempunyai akses efektif untuk menyalurkan aspirasinya, dan tidak mempunyai jalur atau mekanisme menghukum wakilnya yang gagal selain lewat pemilu. Realitas inilah yang mendorong adanya kecenderungan kolusif antar lembaga dan aktor politik dimasa setelah pemilu, dan adanya konik politik menjelang pemilu. Kedua, dibutuhkan suatu peraturan atau undang-undang yang lebih jelas mengatur pelaksanaan kampanye, terutama peraturan yang mendorong acara-acara kampanye yang lebih mengarah pada pendidikan politik seperti debat, dan diskusi publik. Hal ini terkait dengan salah satu fungsi utama partai politik yaitu untuk melakukan pendidikan politik publik dan salah satu jalur utamanya adalah lewat kampanye. Selama ini, kampanye politik parpol lebih merupakan acara rekreasi daripada pendidikan politik. Kampanye politik lebih identik dengan makanan, dan musik daripada dengan orasi dan diskusi yang substantif. Dalam Undang-Undang no. 10 tahun 2008 pasal 80 tertulis bahwa materi kampanye harus berisikan visi, misi, dan program parpol. Namun dalam pelaksanaan kampanye, jikapun ketiga hal ini ada dalam materi, pembahasannya sangat dangkal. Juga seringkali pesan yang tersampaikan kepada peserta kampanye justru bukan visi, misi, dan program, tetapi lebih kepada simbol, gur, dan acara yang rekreatif. Dalam hal ini kontribusi lembaga-lembaga swadaya masyarakat akan terus didukung oleh pemerintah karena saat ini mereka mempunyai peranan yang sangat penting dalam pendidikan politik publik. Ketiga, peningkatan partisipasi dalam Pemilu dan Pilkada. Mekanisme akuntabilitas lewat pemilu seharusnya berjalan cukup efektif mengingat Indonesia bukan hanya memiliki pemilu nasional tetapi juga pilkada yang sudah mulai mengakomodasi calon independen. Pemilih mempunyai banyak kesempatan dalam waktu mendatang untuk mengkontrol parpol lewat pilkada. Misalkan, rakyat dapat menolak mendukung calon dalam pilkada yang didukung oleh

42

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

parpol yang kinerja anggotanya lemah berdasarkan pemilu nasional. Sayangnya, kecenderungan yang terjadi saat ini adalah semakin rendahnya tingkat partisipasi politik. Ke depan, dengan adanya calon independen ataupun munculnya wajah-wajah baru pola semakin menurunnya tingkat partipasi politik dalam pilkada diharapkan akan berkurang karena pilkada dapat dadikan sarana akuntabilitas vertikal diluar pemilu nasional yang hanya berlangsung 5 tahun sekali. Keempat, memaksimalkan hak recall partai politik. Partai politik perlu didorong untuk membuat semacam mekanisme untuk mengukur dan menilai kinerja para anggotanya di parlemen secara periodik. Partai politik juga perlu didorong untuk membuka lebih banyak kesempatan atau bahkan secara aktif mengumpulkan penilaian publik terhadap kinerja anggotanya. Berdasarkan hal-hal tersebut, parpol perlu mempertimbangkan perlunya pergantian anggota/wakilnya di parlemen tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bab III MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

1.

LATAR BELAKANG

etika reformasi dimulai pada tahun 1998, reformasi hukum termasuk penyempurnaan konstitusi menjadi komitmen dan prioritas agenda nasional. Hal ini menjadi semakin penting karena pasca empat kali perubahan konstitusi, bangunan sistem hukum Indonesia belum terlalu kokoh. Reformasi hukum sangat erat kaitannya dengan perbaikan sistem politik, sistem ekonomi dan pelbagai sistem lainnya, sebab perbaikan terhadap berbagai sistem tersebut akan berpeluang lebih besar dalam mencapai keberhasilan jika disertai dengan perbaikan regulasinya. Regulasi yang baik adalah jika regulasi tersebut diterima dan ditaati oleh masyarakat serta mampu memenuhi rasa keadilan karena memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada seluruh masyarakat. Reformasi hukum yang antara lain mencakup penyempurnaan konstitusi maupun perbaikan pilar hukum yang lain pada dasarnya bermuara pada kehendak menegakkan hukum, memberikan kepastian hukum dan pada akhirnya memberikan keadilan pada seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mencapai hal diatas perlu dibangun kesepakatan yang dirumuskan dalam konstitusi yang meliputi 3 hal yakni: Pertama, kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Karenanya dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama dan melibatkan pelaku-pelaku utama kehidupan berbangsa
43

44

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dan bernegara. Kedua, kesepakatan yang berkenaan dengan: (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Ketiga, konsitusi juga merupakan kesepakatan yang berkenaan dengan cita-cita bersama seluruh rakyat yang sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara (Asshiddiqie, 2004). Selain itu perlu pelibatan seluruh rakyat secara lebih massif dan subtansi perubahan juga harus dapat membangun dasar serta menjadi pilar hukum Indonesia ke depan sesuai dengan cita-cita kenegaraan Indonesia. Dengan demikian keseluruhan perbaikan dan reformasi hukum berada dalam bingkai agenda perbaikan konstitusi. Konstitusi adalah semua asas hukum, aturan hukum dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan susunan dan arah perkembangan kehidupan bersama yang terorganisasi secara kenegaraan. Oleh karena itu, bagian terpenting dari suatu cita-cita reformasi hukum adalah reformasi konstitusi sebab konstitusi merupakan dasar tertib hukum nasional (the constitution is the highest within national law) dan menjadi dasar dari segala jenis peraturan hukum. Untuk dapat menjadi dasar dari semua peraturan hukum, dibutuhkan konstitusi yang mampu menjadi dasar sendi kehidupan bangsa dan dasar bagi sistem pemerintahan pusat dan daerah yang bertumpu pada kebakan desentralisasi. Dalam pengertian diatas struktur pemerintahan pusat, kedudukan presiden dan berbagai lembaga negara lainnya ditempatkan kembali secara benar dalam sistem pemerintahan presidensial dengan model parlemen dua kamar (bicameral) seperti yang dicita-citakan selama ini. Selain itu hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bertumpu pada kebakan desentralisasi dan otonomi ditata secara lebih baik dalam kerangka reformasi hukum. Hal itu dilaksanakan melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bergantinya aturan yang melandasi pola desentralisasi dan otonomi juga menjadi hal penting untuk dianalisis sebagai bagian dari upaya reformasi hukum. Upaya reformasi hukum harus juga dipahami dalam

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

45

kerangka penegakan hukum subtantif yang mampu memerankan hukum yang responsif, berkeadilan dan berkemanfaatan. 2. KONDISI AKTUAL DAN PERUMUSAN MASALAH

Pasca empat kali amandemen (tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002), konstitusi Indonesia telah menampakkan wajah konstitusionalisme yang lebih baik. Meskipun demikian sejauh ini masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menginginkan dilakukan penyempurnaan. Perubahan pertama terhadap UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Umum MPR pada bulan Oktober 1999. Perubahan pertama ini menunjukkan bahwa konstitusi (UUD 1945) bukanlah suatu hal yang keramat dan oleh karenanya dapat diamandemen sebagaimana yang dilakukan di berbagai negara lain. Beberapa aspek penting dari perubahan tersebut antara lain perbaikan sistem kepresidenan dengan segala hak, kewajiban dan pemilihannya. Hal ini tampak dalam perubahan pasal yang mengatur tentang pembatasan periode masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi maksimal dua kali masa jabatan secara berurutan. Amandemen pertama juga mengurangi secara mendasar kecenderungan executive heavy yang sebelumnya terdapat dalam UUD 1945. Hal tersebut misalnya dilakukan dengan mengamandemen pasal-pasal yang terkait dengan wewenang DPR. Dalam hal pengangkatan Duta Besar, dan memberikan Amnesti serta Abolisi misalnya, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR. Perubahan kedua dilakukan dengan mengubah rumusan dan atau dengan menambah beberapa ayat dari pasal yang bersangkutan pada perubahan yang pertama. Misalnya, mengenai pertahanan dan keamanan terdapat lebih banyak ayat yang mengaturnya dibandingkan jumlah ayat-ayat pada konstitusi terdahulu. Selain itu, perubahan juga mengatur berbagai hal baru yang sebelumnya tidak pernah diatur dengan memberikan titik tekan pada tiga hal. Pertama, memberikan landasan yang lebih kokoh terhadap keberadaan daerah dan pemerintahan daerah. Kedua, melanjutkan usaha penguatan terhadap peranan DPR dalam proses penyelenggaraan Negara. Ketiga,

46

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

memberikan penambahan yang lebih luas terhadap ketentuan hak asasi manusia yang dirasakan amat terbatas dalam UUD 1945. Pada perubahan ketiga, antara lain diatur tentang hal-hal yang bersifat mendasar, seperti penegasan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Disamping itu juga dilakukan pemindahan terkait dengan ketentuan tentang Indonesia sebagai negara hukum dari Penjelasan UUD 1945 ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Pada perubahan yang ketiga ditetapkan pula kewenangan-kewenangan MPR, mekanisme putaran pertama sistem pemilihan Presiden secara langsung, mekanisme pemakzulan (impeachment) Presiden, Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan Umum, dan Badan Pemeriksa Keuangan, serta diatur tentang kehadiran lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Perubahan keempat memprioritaskan penyelesaian terhadap bagian-bagian yang masih tersisa dalam amandemen sebelumnya, seperti ketentuan mengenai penetapan pasangan calon presiden bila tidak terdapat pasangan calon yang memenuhi 50 persen suara, pengaturan mengenai pelaksana tugas kepresidenan secara bersama-sama oleh Mendagri, Menlu, dan Menhan bila Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, pengaturan mengenai perlunya persetujuan DPR bila presiden menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, pengaturan mengenai badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, perluasan pengaturan mengenai pendidikan dan kebudayaan, serta pengaturan mengenai prosedur perubahan UUD. Meskipun materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan substantif secara signikan terdapat penilaian dari sekelompok masyarakat bahwa empat kali amandemen konstitusi Indonesia tidak melalui cetak biru yang memadai, yaitu baik yang bersifat subtansial, maupun redaksional yang dapat menimbulkan kesalahan penafsiran. Pertama, terkait dengan pelaksanaan sistem presidential. Meskipun dinyatakan bahwa dalam bidang eksekutif Indonesia menganut sistem presidensial, namun pengaturannya dalam konstitusi masih

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

47

perlu dipertegas. Hal ini tercermin dari adanya beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Presiden yang ternyata tidak sesuai dengan sistem presidensial. Dengan kata lain peran presiden dalam legislasi tidak mengikuti model bikameral yang selama ini dicita-citakan. Kedua, terkait dengan perubahan posisi maupun kewenangan MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan menjadi lembaga negara yang kedudukannya sama dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal kewenangan, saat ini terjadi pemangkasan kewenangan MPR yang tidak lagi memilih Presiden tetapi hanya melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Kewenangan untuk menetapkan GBHN juga dihapuskan seiring dengan penghapusan GBHN. Namun demikian MPR masih berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD. MPR kemudian tetap hadir sebagai kamar tersendiri, selain dari dua kamar yang ada yakni DPR dan DPD. Keadaan ini mengesankan adanya tiga kamar (threecameral). Ketiga, beberapa pakar menyatakan bahwa Pasca reformasi, kelahiran Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) ternyata belum diikuti dengan penataan pola hubungan antara lembaga-lembaga tersebut. Walau KY diidealkan melakukan pengawasan terhadap semua hakim, namun ternyata Putusan MK telah menyatakan bahwa hakim konstitusi bukanlah berada dalam ranah pengawasan KY. Peran MK sebagai court of law dan Mahkamah Agung (MA) sebagai court of justice juga belum terlalu nampak. Hal diatas menunjukkan diperlukannya pembenahan kewenangan antara kedua pemegang kekuasaan yudikatif ini. Keempat, perubahan konstitusi telah menempatkan pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diperjelas, yakni bahwa NKRI terdiri dari daerah provinsi-provinsi dan kemudian daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Disamping memperjelas mengenai daerah-daerah yang terdapat di Indonesia, juga delaskan mengenai pola pemerintahan di daerah yaitu, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam kaitannya dengan Peraturan Daerah (Perda), Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa Pemerintah

48

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Perda itu sendiri menurut Astawa (2008) dibuat untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah, sedangkan pemerintahan daerah adalah satuan pemerintahan teritorial tingkat lebih rendah yang berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah bersumber pada otonomi dan tugas pembantuan. Dikemukakan lebih lanjut oleh Astawa bahwa dalam konteks tata pemerintahan, otonomi diartikan sebagai mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri yang bermakna kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Ini berarti kebebasan yang dimiliki oleh daerah otonom bersifat terbatas dan merupakan pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Penjelasan UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya dapat menetapkan kebakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam Perda, Peraturan Kepala Daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Kebakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, serta peraturan daerah lain. Berdasarkan pemikiran diatas, meskipun kepada daerah otonom diberikan kebebasan dan kemandirian atau keleluasaan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya dan menetapkan kebakan yang antara lain dengan Peraturan Daerah, namun kebebasan dan kemandirian tersebut tetap terbatas sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang. Pembatasan tersebut adalah: Pertama, peraturan daerah atau Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, Perda tertentu yang mengatur pajak daerah, APBD, perubahan APBD, dan tata ruang, berlaku setelah melalui tahapan evaluasi oleh pemerintah. Ketiga, Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Ketentuan seperti ini dimaksudkan sebagai pengontrol untuk mencegah timbulnya Perda bermasalah. Permasalahannya adalah bahwa meskipun sudah ada ramburambu yang cukup jelas, tetapi Peraturan Daerah yang dibuat oleh

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

49

pemerintah daerah seringkali menyalahi aturan yang ada. Hal inilah yang mendatangkan begitu banyak persoalan pelik dan serius. Persoalan-persoalan yang dimaksud antara lain adalah seperti berikut: a. Pasal 145 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban menyampaikan Perdaperda yang sudah disahkan kepada Pemerintah Pusat. Tetapi harus diakui bahwa belum semua Perda disampaikan kepada Pemerintah Pusat. Data antara tahun 2001Maret 2006 menunjukkan bahwa Perda-perda yang dilaporkan ke Departemen Dalam Negeri baru sebanyak 5.054 buah. Sementara itu, sampai saat penulisan buku ini menurut data di Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI) Departemen Keuangan, Departemen Keuangan baru menerima 7.510 buah Perda. Sekalipun begitu, tidak ada sanksi apapun bagi Pemda yang tidak menyampaikan Perda yang telah mereka keluarkan kepada Pemerintah Pusat. Ketentuan mengenai sanksi bagi Pemerintah daerah itupun tidak diatur dalam peraturan perundangan. Pasal 218 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah dan meliputi pula pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Namun pelaksanaan atas kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah terkait dengan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah saat ini dirasakan belum berjalan secara efektif. Hal itu tampak dari terbitnya Perda-perda bermasalah dan adanya kenyataan bahwa tidak seluruh Perda yang dikeluarkan disampaikan oleh Pemda kepada Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 218 ayat (1) huruf b UU Nomor 32 Tahun 2004 pemerintah akan mengoptimalkan pengawasan terhadap perda-perda yang bermasalah termasuk mengambil sikap yang tegas kepada pemerintah daerah yang tidak menyampaikan perdanya kepada pemerintah. Perda-perda yang telah diterima oleh Pemerintah Pusat itupun, setelah dilakukan evaluasi, banyak diantaranya yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan di atasnya bahkan

b.

50

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

sebagian berpeluang menghambat iklim investasi, membebani masyarakat maupun pelaku usaha serta tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Sebelum berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 sudah terdapat sekitar 8.000 Perda tentang Pajak dan Retribusi yang dibuat daerah tetapi lebih dari 3.000 Perda tersebut terindikasi bermasalah. Terbitnya begitu banyak Perda bermasalah seperti tersebut di atas kemungkinan besar disebabkan kurangnya pemahaman aparat penyusun Perda tentang asas-asas dan rambu-rambu penyusunan Perda. Kelemahan yang lain adalah pengalaman para anggota DPRD dalam menyusun Perda relatif terbatas. Input dari masyarakat pada umumnya bersifat protes terhadap kebakan teknis sehingga tidak dapat menjadi masukan bagi perumusan rancangan Perda. Kemungkinan lainnya adalah terbatasnya penyuluhan dan pelatihan penyusunan Perda yang baik dan benar secara sosiologis maupun secara yuridis oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Terhadap terbitnya Perda-perda bermasalah tersebut, sejak 2001 hingga Mei 2008, Menteri Keuangan telah menyampaikan rekomendasi kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan 1.651 Perda soal Pajak dan Retribusi Daerah. Sampai dengan akhir Juni 2008, 973 Perda sudah dibatalkan dan 250 Perda dalam proses pembatalan. Memang harus diakui bahwa kelambatan dalam proses penanganan Perda bermasalah terutama disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas mereview puluhan ribu Perda yang sudah terbit. Hal ini akan menjadi perhatian Depdagri di masa-masa mendatang. c. Sekalipun prinsip dasar bahwa Indonesia adalah negara kesatuan sudah dinyatakan nal oleh Pasal 37 ayat 7 UUD 1945, dan Pasal 145 ayat (2) UU No. 32/2004 menegaskan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, tetapi prinsip tersebut menjadi bermasalah oleh adanya ketentuan Pasal 145 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 32/2004.

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

51

Dalam konsep yang diterapkan saat ini, Pemerintah Pusat merupakan pusatnya daerah dan dengan demikian seharusnya pemerintah daerah tidak mengambil sikap yang berseberangan dengan pemerintah, termasuk jika Pemerintah Pusat membatalkan Perda yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. Tetapi Pasal 145 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 32/2004 menyatakan bahwa apabila provinsi/kabupaten/kota tidak menerima keputusan pembatalan Perda, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung, dan apabila keberatan kepala daerah tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung, maka pembatalan Perda melalui Peraturan Presiden tersebut dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dimasa mendatang perlu dilakukan pengkajian terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut untuk menjamin adanya sinkronisasi kebakan antara pemerintah dan pemerintah daerah. Meski amandemen konstitusi bukanlah suatu hal yang sakral, tetapi perubahan yang dilakukan terhadapnya haruslah benarbenar substantif dan koheren. Mengacu pada pemikiran tersebut di atas terkandung arti bahwa melaksanakan amandemen konstitusi bukanlah hal yang mudah. Subtansi perubahan tersebut harus dapat membangun dasar serta pilar hukum Indonesia ke depan sesuai dengan cita-cita kenegaraan Indonesia. Dalam berbagai analisis yang dilakukan oleh para pakar dan akademisi serta diskusi-diskusi pada beberapa forum, berkembang wacana mengenai masih perlu pembenahan secara subtantif antara lain mencakup: perlunya penegasan sistem pemerintahan presidensial, perlunya pembenahan model lembaga legislatif, pembenahan model kekuasaan kehakiman, pola pemerintahan daerah berdasarkan desentralisasi dan otonomi, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Berbagai wacana tersebut sengaja diangkat dalam buku ini untuk merangkum suara masyarakat terhadap kehidupan konstitusional bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai referensi bagi proses pembelajaran kehidupan berbangsa kedepan. Beberapa wacana dimaksud antara lain sebagai berikut:

52

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

a.

Menegaskan Sistem Pemerintahan Presidensial

Fungsi utama kekuasaan eksekutif adalah melaksanakan pemerintahan dengan berpegang pada pengaturan yang ada dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Di Indonesia kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden. Kekuasaan Presiden di Indonesia mencakup fungsi sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan. Presiden selaku kepala negara fungsinya bersifat simbolik yang mencakup juga hak prerogatif. Fungsi yang bersifat simbolik tercermin dalam kewenangan presiden untuk memberikan gelar ataupun tanda jasa sedangkan hak prerogatif presiden mencakup kewenangan berupa pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan bersenjata, menyatakan perang dan keadaan bahaya, membuat perjanjian internasional, memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi serta berwenang mengangkat duta dan konsul. Meskipun Indonesia dalam bidang eksekutif menganut sistem presidential, namun menurut beberapa pihak apabila dilakukan pencermatan terhadap konstitusi maka terlihat bahwa pengaturan yang terkait dengan sistem presidensial masih kurang jelas. Hal ini tercermin dari beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Presiden yang tidak sesuai dengan sistem presidensial. Karenanya, ada beberapa hal yang dapat didorong dalam kerangka menguatkan sistem presidensial ini. Pertama, perubahan kewenangan Presiden selaku kepala pemerintahan yaitu kewenangan mengajukan serta ikut terlibat dalam pembahasan RUU untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Dalam usulan ini peran Presiden sebagai eksekutif hanya mengesahkan RUU menjadi undang-undang. Presiden dapat mengajukan RUU mengenai APBN serta ikut dalam pembahasan RUU hanya apabila terjadi usulan perubahan terhadap RUU mengenai APBN oleh DPR dan/atau DPD. Namun, Presiden mempunyai hak tolak terhadap suatu RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan DPD untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam konsep sistem presidential pembahasan bersama RUU antara legislatif dan eksekutif adalah tidak lazim baik secara praktik maupun teori ketatanegaraan. Oleh sebab itu membiarkan adanya proses pembahasan bersama antara

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

53

legislatif dan eksekutif dalam pembahasan RUU menimbulkan suatu kerancuan secara konseptual mengenai sistem apa yang diterapkan di Indonesia. Dalam proses legislasi Presiden juga perlu diberikan kewenangan tambahan berupa hak tolak (veto). Hak penolakan sering disebut hak veto Presiden terhadap suatu RUU untuk disahkan menggambarkan adanya sistem checks and balances yang lebih baik antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR dan DPD) sehingga dapat saling mengontrol. Selama ini mekanisme checks and balances dalam proses legislasi masih lemah. Hal ini disebabkan adanya proses pembahasan bersama antara legislatif dan eksekutif sehingga menghilangkan mekanisme veto. Apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah RUU disetujui, presiden tidak menandatangani RUU maka RUU tetap jadi UU, bentuk seperti ini sering diistilahkan sebagai pocket veto. Kedua, perubahan yang menyangkut peran Presiden sebagai kepala negara. Dalam hal kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang berdampak luas serta menimbulkan beban APBN presiden tidak hanya harus meminta persetujuan dari DPR tetapi juga harus juga meminta persetujuan dari DPD. Perubahan ini terkait dengan perubahan yang terjadi dalam kekuasaan legislatif dimana kekuasaan legislatif kedepan akan dipegang oleh dua lembaga secara seimbang, yaitu DPR dan DPD. Ketiga, perubahan kewenangan dalam fungsi Presiden sebagai kepala negara dan juga hak prerogatif Presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Dalam kewenangan sebagai kepala negara, tidaklah diperlukan adanya pertimbangan DPR karena dalam pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi pertimbangan politis bukan merupakan hal yang penting, tetapi yang lebih penting adalah pertimbangan hukum. Oleh sebab itu lembaga yang dapat memberi pertimbangan dalam pemberian grasi, amesti, abolisi dan rehabilitasi adalah Mahkamah Agung sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini terutama untuk mengesiensikan fungsi-fungsi lembaga. Selain itu pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Agung berkaitan dengan pemberian

54

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi merupakan pelaksanaan fungsi kepenasehatan (advisory function) di bidang hukum yang dimilikinya. Keempat, perubahan yang terkait dengan proses pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Sebaiknya ada penegasan peran DPD sebagai lembaga yang juga memegang fungsi pengawasan terhadap presiden. Pemberhentian Presiden tidak dapat dilakukan hanya atas persetujuan DPR melainkan harus juga dengan persetujuan DPD. b. Pembenahan Model Lembaga Legislatif

Pilihan jumlah kamar yang bikameral di lembaga legislatif sebaiknya ditegakkan dengan membuatnya menjadi sistem bikameral yang efektif. Dalam sistem ini, hanya terdapat dua lembaga yang merepresentasikan bidang legislatif, yaitu DPR dan DPD. Tujuan dari bikameral efektif ini agar tercipta hubungan antar kamar yang tidak saling melemahkan hubungan kedua lembaga sekaligus juga tidak memunculkan deadlock dalam hubungan tersebut. Sistem bikameral yang efektif yang dimaksud menjamin terjadinya checks and balances yang dinamis antara DPR dan DPD dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang dimilikinya. Dalam sistem bikameral yang efektif ini, MPR tidak merupakan sebuah lembaga permanen melainkan hanya menjadi sebuah joint session atau gabungan antara DPR dan DPD dalam hal-hal tertentu saja. Apalagi secara de facto, tugas MPR hanyalah bersifat insidentil, yakni; untuk mengubah dan menetapkan UUD; memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atas usul DPR; memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan; memilih Wakil Presiden ketika Wakil Presiden menggantikan Presiden dalam hal terjadi kekosongan Presiden; serta mengambil sumpah Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatannya. Sistem bikameral efektif juga menggambarkan bahwa fungsi legislasi hanya dilakukan oleh lembaga legislatif dan tidak mengikutsertakan lembaga eksekutif yaitu Presiden seperti praktik yang ada di Indonesia selama ini. Hal penting lain yang perlu dikemukakan adalah bahwa prinsip bikameralisme menekankan pentingnya pelibatan dua kamar yang

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

55

ada dalam proses legislasi. Pada saat ini, pembahasan RUU untuk ditetapkan menjadi undang-undang hanya dilakukan oleh DPR dengan badan eksekutif yaitu pemerintah. Untuk masa yang akan datang kewenangan yang dimiliki oleh DPR sejajar dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPD. Sehingga dalam bidang legislasi DPR haruslah bekerjasama dengan DPD dalam pengertian bahwa dalam pembahasan RUU DPR harus memperoleh persetujuan DPD dan bukan persetujuan dari Presiden. Apabila terdapat suatu RUU yang sedang dibahas dan tidak disetujui oleh DPD maka RUU tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai undang-undang. Dalam usulan ini, Presiden tidak ikut terlibat dalam proses legislasi, pengecualian hanya terdapat pada proses legislasi RUU mengenai APBN yaitu apabila APBN yang diusulkan oleh Presiden tidak disetujui oleh DPR ataupun DPD maka DPR dan DPD membentuk panitia bersama yang mengikutsertakan Presiden dalam pembahasan RUU APBN tersebut. Dengan keinginan menegaskan prinsip bikameralisme yang efektif, maka penguatan peran dan fungsi DPD menjadi hal yang sangat penting. DPR dan DPD harus dipola secara lebih sejajar dengan memiliki persamaan hak dalam fungsi legislasi, persamaan hak dalam fungsi anggaran, fungsi pengawasan, pengisian jabatan publik, persamaan hak yang dimiliki oleh anggota, serta persamaan hak dalam fungsi tertentu bersama Presiden. Penegasan model bikameralisme yang efektif dengan dua kamar yang cenderung equivalen ini bukan saja untuk menegaskan sistem parlemen yang lebih sesuai secara praktik maupun teoritik, tetapi juga diidealkan menciptakan sistem checks and balances dalam kamar di lembaga legislatif. c. Pembenahan Model Kekuasaan Kehakiman

Dalam upaya pembenahan kekuasaan kehakiman, dua pelaku kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus tetap kuat dan mandiri. Karenanya, kewenangan antara kedua lembaga tersebut harus dirapihkan dalam upaya menghindari tumpang tindih dan ketidaktepatan penempatan kewenangan di antara kedua lembaga tersebut. Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan adalah sebagai berikut.

56

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Pertama, mengeluarkan Komisi Yudisial dari bab Kekuasaan Kehakiman dan diletakkan pada bab tersendiri yaitu Komisi Negara. Keberadaan Komisi Yudisial (KY) tentu saja penting untuk tetap dipertahankan. Namun, keberadaan KY yang berada pada satu bab dengan kekuasaan kehakiman tidak terlalu tepat secara struktur konstitusi. Kedua, dihapuskannya kewenangan MA untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Penghapusan wewenang Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dimaksudkan untuk memberikan pembagian wewenang yang tegas antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yaitu Mahkamah Agung berwenang sebagai court of justice sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang sebagai court of law. Kewenangan untuk pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dadikan bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai court of law. Alasan lainnya adalah ketidakefektifan rezim pengujian peraturan ketika dibedakan secara kelembagaan antara UU dengan yang dibawah UU. Fakta menunjukkan seringkali tercipta peraturan di bawah UU yang masih berlaku, padahal UU yang memayunginya telah dibatalkan di MK. Dengan menyatukan kewenangan ini di MK, maka MK diharapkan dapat merapihkan peraturan UU maupun di bawah UU yang diuji di MK. Ketiga, menambahkan beberapa kewenangan MK yakni memutus permohonan pengujian peraturan perundang-undangan satu atap seperti yang telah dikemukakan di atas. Keempat, menambahkan kewenangan pada MK untuk memeriksa pengaduan konstitusional (constitutional complaint). Pengaduan Konstitusional adalah pengadilan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh penyelenggara negara setelah semua upaya hukum melalui peradilan di Mahkamah Agung ditempuh. Pengaduan Konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ini hanya dapat terjadi apabila semua upaya hukum yang terdapat dalam mekanisme peradilan di wilayah peradilan Mahkamah Agung

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

57

telah dilakukan dan MK tidak boleh mengadili perkara pengaduan konstitusional dimana kasus pelanggaran HAM tersebut sedang ditangani oleh peradilan di lingkungan Mahkamah Agung. Dengan hal ini, maka kasus pelarangan Ahmadiyah dan berbagai friksi berdasarkan hak dapat diselesaikan dengan landasan hukum yang lebih kuat dan jelas. Kelima, Mahkamah Konstitusi juga perlu diberi kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang. Kewenangan ini merupakan perluasan dari kewenangan MK yang semula hanya dapat memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Namun, karena dalam praktiknya ternyata sangat dimungkinkan adanya sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan UUD, melainkan diberikan hanya oleh UU. Hal inilah yang membutuhkan mekanisme penyelesaian sengketa yang dimaksud dan karenanya MK menjadi lembaga yang tepat untuk menyelesaikannya d. Pola Pemerintahan Daerah Berdasar Desentralisasi dan Otonomi

Pola hubungan antara pusat dan daerah menganut asas desentralisasi dan otonomi kecuali yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Asas desentralisasi merupakan kontinuum dari asas sentralisasi karena kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan (asas desentralisasi) bersumber dari kewenangan pemerintah pusat (asas sentralisasi). Artinya dalam pelaksanaan desentralisasi, meskipun pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sangat luas untuk mengembangkan daerahnya, namun tidak boleh bertentangan dengan pengaturan yag telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jadi hubungan hirarkis antara pusat dan daerah hanya menyangkut halhal tertentu yang secara tegas telah diatur dalam undang-undang. Dalam penegasan hubungan pusat dan daerah yang berdasarkan desentralisasi dan otonomi tersebut perlu dipilih pola pemerintahan daerah yang tepat. Dalam hal ini termasuk mempertimbangkan kembali kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah, yang idealnya merupakan legislatif lokal. Tidak dapat dipungkiri

58

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

adanya beragam pendapat yang terkait dengan pilihan pola pemerintahan ini. Akan tetapi, apapun pilihan yang ditetapkan, yang lebih penting adalah adanya kesamaan pola pandang dan pemikiran antara pemerintah pusat dan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan negara secara keseluruhan. Implikasi terbesar dari pola penataan hubungan pusat dan daerah adalah pada produk peraturan daerah yang memiliki kedudukan dan arti yang sangat strategis dalam penyelengaraan negara. Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda merupakan salah satu produk hukum yang hierarkinya berada di bawah Peraturan Presiden. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut selengkapnya adalah: (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Undang-undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; (5) Peraturan Daerah. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 7 UU No. 10/2004. Sekalipun Perda berada di posisi paling bawah dalam tata urut Peraturan Perundang-undangan, tetapi Perda memiliki kedudukan yang amat strategis bagi daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerahnya seperti diamanatkan oleh peraturan perundangan di atasnya. Penjelasan Umum angka 7 UU No. 32/2004 antara lain menegaskan bahwa Perda pada dasarnya merupakan kebakan daerah dalam melakanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah atas kuasa yang diberikan oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi. Pasal 136 UU No. 32/2004 juga menegaskan bahwa Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Fungsi lain dari Perda adalah sebagai instrumen yuridis yang secara sah diberikan kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Tanpa adanya Perda, kebakan-kebakan Pemerintah Daerah di wilayah kerjanya akan dinilai illegal dan karena itu dapat menjadi bahan pertentangan di kalangan masyarakat di daerah tersebut. Jika kondisi seperti itu terjadi, maka akan timbul

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

59

instabilitas di berbagai bidang kehidupan di daerah tersebut dan akhirnya berimplikasi pada terjadinya instabilitas nasional. Karena itulah Penjelasan Umum angka 7 UU No. 32/2004 antara lain juga menegaskan bahwa Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, Perubahan APBD, dan tata ruang diberlakukan setelah melalui tahapan evaluasi oleh Pemerintah Pusat. Maksudnya antara lain adalah untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan/atau Peraturan Daerah lainnya. Pasal 137 UU Nomor 32/2004 menyatakan bahwa Perda dibentuk berdasarkan asas-asas berikut: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; (g) keterbukaan. Sedangkan materi muatan Perda dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, menurut Pasal 6 UU No. 10/2004 beserta penjelasannya dan Pasal 138 UU No. 32/2004 haruslah mengandung 10 asas-asas berikut: (1) pengayoman, yakni bahwa setiap peraturan perundang-perundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat; (2) kemanusiaan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; (3) kebangsaan, maksudnya adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus mencerminan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) kekeluargaan, yakni bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan; (5) kenusantaraan, maksudnya adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus senantiasa memperhatikan kepentingn seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila; (6) bhinneka tunggal ika, yaitu bahwa materi muatan

60

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (7) keadilan, yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali; (8) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yakni bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial; (9) ketertiban dan kepastian hukum, maksudnya adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum; (10) keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yaitu bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Mengacu pada uraian-uraian di depan, adanya Perda yang melanggar rambu-rambu yang ditentukan misalnya tidak sesuai dengan Undang-undang di atasnya, lebih-lebih jika bertentangan dengan UUD 1945 akan mengganggu hubungan herarkis antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Munculnya Perda-perda yang terlalu membebani rakyat dan menghambat masuknya investasi juga telah menghambat tujuan memajukan kesejahteraan umum. e. Penegakan HAM

Penegakan hukum dan HAM merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Jaminan atas hak azasi manusia juga meningkat seiring dengan harapan demokratisasi dan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, dalam hal isyu hak azasi manusia, memasukkan beberapa hak penting yang belum diatur dalam konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin penegakan hukum dan HAM. Beberapa hak penting, misalnya hak kebebasan pers dan media, hak menerima dan menyampaikan ide, kreatitas seni, kebebasan akademik dan ilmiah, hak perempuan, serta hak

MENEGAKKAN KEADILAN MELALUI REFORMASI HUKUM

61

anak sangatlah penting untuk diagregasi dalam kerangka menambah kuatnya pemihakan terhadap agenda penegakan HAM. 3. PILIHAN KEBAKAN

Pertama, hal yang perlu memperoleh perhatian dari semua komponen bangsa adalah melakukan kajian secara mendalam terhadap pemikiran dari sebagian masyarakat yang mewacanakan amandemen konstitusi untuk memperbaiki struktur ketatanegaraan yang diharapkan sudah dapat dilaksanakan oleh pemerintahan hasil pemilu 2009. Harapan ini tentunya hanya dapat terwujud jika didukung oleh sumbangan pemikiran dan kebakan dari semua pihak, baik legislator, para praktisi hukum serta masyarakat luas. Kedua, untuk menuntaskan perda bermasalah, diperlukan perbaikan langkah koordinatif dengan pemerintahan daerah sebagai bagian dari pengawasan terhadap perda-perda yang bermasalah . Fungsi koordinatif ini tentunya juga akan menghilangkan sifat saling curiga antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka pengawasan perda. Selain itu perlu disusun modul tentang prosedur penyusunan Perda serta pelatihan legal drafting kepada Pemda dan DPRD. Ketiga, sebelum terlanjur ditetapkan menjadi Perda, Ranperda perlu dikoordinasikan dalam bentuk konsultasi dengan Pemerintah Pusat dan publik untuk memperoleh masukan. Guna mempercepat proses penyelesaian evaluasi dan putusan akhir Perda-perda bermasalah, perlu ditambah sumber daya manusia yang memadai baik jumlah maupun kapabilitasnya. Keempat, mendukung langkah yang diambil Presiden sebagai kepala negara dalam kaitannya dengan agenda pembaharuan hukum dan konstitusi. Inpres Pemberantasan Korupsi Tahun 2005 yang dikeluarkan Presiden harus dapat diimplementasikan. Di tengah maraknya korupsi di daerah, maka upaya mendorong ke arah pencegahan maupun pemberantasan korupsi juga harus dilaksanakan. Pola pengawasan internal di instasi yang berada dalam otoritas Depdagri diperkuat untuk melengkapi pengawasn eksternal yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan fungsional.

62

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Kelima, vonis Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan sebagian maupun seluruh pasal yang diperkarakan akan membawa implikasi yang luas pula, antara lain, undang-undang tersebut harus direvisi. Munculnya serangkaian pengajuan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konsitusi seperti diuraikan di depan, mengidikasikan adanya kemungkinan bahwa materi muatan UU yang bersangkutan memang mengandung unsur pelanggaran terhadap UUD 1945. Dalam negara yang menganut supremasi Undang Undang Dasar sebagai sebagai hukum dasar yang tertinggi, pelanggaran tersebut seharusnya memang tidak boleh terjadi. Munculnya gugatan-gugatan atas UU terhadap UUD 1945 tersebut sekali lagi menunjukkan pentingnya pendidikan hukum di masa depan, khususnya kesadaran untuk memegang teguh UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi. Sebab munculnya begitu banyak gugatan pengujian UU terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi tersebut akan berimplikasi pada ketidakstabilan hukum. Hal itu pada gilirannya akan sangat menyulitkan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut. Lebih-lebih jika para penegak hukumnya justru terjerat masalah-masalah korupsi. Keenam, pola eksekutif review yang seringkali dilawan dengan judicial review harus dicarikan jalan keluarnya agar tidak mengganggu kinerja pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini didasarkan pada prinsip negara kesatuan yang menganut supremasi Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah, sehingga Pasal-pasal dalam peraturan perundangan yang memberikan hak kepada Kepala Daerah untuk mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung terhadap pembatalan Perda dengan Peraturan Presiden perlu ditinjau kembali.

Bab IV DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

A. DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH 1. Latar Belakang

ebakan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan yang ditetapkan di dalam UU. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengatur 3 (tiga) asas penyelenggaraan pemerintahan, yaitu: (a) dekonsentrasi, yakni pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu; (b) devolusi (desentralisasi)2, yakni penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (c) tugas pembantuan, yakni penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Implikasi dari kebakan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan tersebut adalah bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah akan tampil dalam dua entitas (meskipun tetap merupakan satu kesatuan sistem pemerintahan nasional), yakni: (a) penyelenggaraan otonomi daerah (local self government); dan (b) penyelenggaraan pemerintahan di daerah (local state government).3
2 3 Pengertian desentralisasi yang ditetapkan di dalam di UU. Nomor 32 Tahun 2004 sama dengan pengertian devolusi dalam literatur akademik. Konstruksi local state government di dalam UU. Nomor 32 Tahun 2004 diwujudkan dalam kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan keberadaan beberapa Instansi Vertikal di wilayah tertentu.

63

64

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Mengenai makna otonomi daerah, UU. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menetapkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, mengingat penyelenggaraan otonomi daerah merupakan implikasi dari implementasi asas devolusi (desentralisasi) dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional, maka senantiasa terdapat hubungan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Mencemati ketentuan-ketentuan di dalam UU. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setidak-tidaknya terdapat 5 (lima) hubungan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yakni: hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pelayanan umum, hubungan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, serta hubungan pembinaan dan pengawasan. Sejauh Ini di dalam imlementasinya masih terdapat berbagai kendala, tantangan dan hambatan yang perlu terus disempurnakan. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencermati berbagai permasalahan serta pilihan kebakan yang dapat ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut ditinjau dari aspek penyelenggaraan kewenangan daerah, pengelolaan keuangan daerah, penyediaan pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. 2. a. Kondisi Aktual dan Permasalahan Penyelenggaraan Kewenangan Daerah

Kebakan operasional yang mengatur tentang hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, difokuskan pada aspek pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Di dalam ketentuan pasal 10 UU. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa terdapat 6 (enam) urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang tidak

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

65

didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah, yakni urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan skal nasional; dan agama. Di luar dari 6 (enam) urusan pemerintahan tersebut, terdapat urusan pemerintahan lainnnya yang dalam pelaksanaannya bersifat urusan bersama (concurrent function) antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Kebakan ini diatur di dalam PP. Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, dengan menetapkan 31 (tiga puluh satu) urusan pemerintahan yang dapat diserahkan kepada Pemerintahan Daerah, yakni: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum; perumahan; penataan ruang; perencanaan pembangunan; perhubungan; lingkungan hidup; pertanahan; kependudukan dan catatan sipil; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan keluarga sejahtera; sosial; ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; koperasi dan usaha kecil dan menengah; penanaman modal; kebudayaan dan pariwisata; kepemudaan dan olahraga; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa; statistik; kearsipan; perpustakaan; komunikasi dan informatika; pertanian dan ketahanan pangan; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; kelautan dan perikanan; perdagangan; dan perindustrian. Mengingat urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah bersifat urusan wajib (yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat setempat) dan urusan pilihan (yang ditujukan untuk mengembangkan perekonomian daerah bagi peningkatan kesejahteraan rakyat), maka dari ketiga puluh satu urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan tersebut, telah ditetapkan urusan pemerintahan tertentu yang bersifat urusan wajib dan urusan pemerintahan tertentu yang bersifat urusan pilihan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan wajib Pemerintah Daerah, meliputi: pendidikan; kesehatan; lingkungan hidup; pekerjaan umum; penataan ruang; perencanaan pembangunan; perumahan;

66

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

kepemudaan dan olahraga; penanaman modal; koperasi dan usaha kecil dan menengah; kependudukan dan catatan sipil; ketenagakerjaan; ketahanan pangan; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan keluarga sejahtera; perhubungan; komunikasi dan informatika; pertanahan; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa; sosial; kebudayaan; statistik; kearsipan; dan perpustakaan. Sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi urusan pilihan Pemerintah Daerah, meliputi: kelautan dan perikanan; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; pariwisata; industri; perdagangan; dan ketransmigrasian. Pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan pemerintahan daerah tersebut berimplikasi terhadap penataan kelembagaan daerah atau Organisasi Perangkat Daerah serta penataan personil/ aparatur daerah untuk mengisi formasi jabatan yang tersedia di dalam organisasi perangkat daerah tersebut. Kebakan operasional mengenai Organisasi Perangkat Daerah telah diatur di dalam PP. Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Sedangkan kebakan operasional mengenai penataan personil daerah diatur di dalam serangkaian kebakan yang mengatur mengenai pegawai negeri sipil. Mengingat penelaahan mengenai hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah berimplikasi terhadap penataan organisasi perangkat daerah dan penataan personil/ aparatur daerah, maka beberapa kondisi aktual dan permasalahan yang dihadapi saat ini meliputi: 1) Urusan pilihan Pemerintah Daerah yang tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (seperti urusan ketransmigrasian) tidak ditetapkan sebagai urusan pilihan Pemerintah Daerah (khususnya bagi daerah otonom yang kaya sumber daya alam, namun terbatas sumber daya manusia), pada hal melalui pelaksanaan urusan transmigrasi (mendatangkan para transmigran dari daerah padat penduduk, namun miskin sumber daya alam) dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah (dan juga sebagai perekat negara kesatuan).

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

67

2) Urusan wajib Pemerintah Daerah yang ditetapkan di dalam UU. Nomor 32 Tahun 2004 dan PP. Nomor 38 Tahun 2007, diinterpretasi oleh Pemerintah sebagai rincian kewenangan daerah yang harus dilaksanakan oleh setiap organisasi perangkat daerah. Akibatnya sejumlah Pemerintah Daerah cenderung membentuk sebanyak mungkin Organisasi Perangkat Daerah, yang berimplikasi terhadap sosok Organisasi Perangkat Daerah yang kaya struktur namun miskin fungsi. Pada hal, sosok Organisasi Perangkat Daerah yang diharapkan adalah miskin struktur, namun kaya fungsi. b. Pengelolaan Keuangan Daerah

Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan implikasi dari adanya hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hubungan keuangan tersebut diwujudkan dalam bentuk desentralisasi skal yang secara operasional ditetapkan di dalam UU. Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kewenangan otonom (otonomi daerah) Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, berimplikasi pula terhadap kewenangan otonom Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah. Dalam hal ini, keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut. Setiap Pemerintah Daerah memiliki sumber-sumber keuangan daerah atau penerimaan daerah. Di dalam ketentuan pasal 5 UU.Nomor 33 Tahun 2004 ditetapkan bahwa penerimaan daerah dalam rangka desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri dari: (1) pendapatan asli daerah, terdiri atas Pajak Daerah, Retribusi Daerah,hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah; (2) dana perimbangan, terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum,

68

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dan Dana Alokasi Khusus; dan (c) lain-lain pendapatan, yang terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat. Sedangkan penerimaan pembiayaan terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran Daerah, penerimaan Pinjaman Daerah, Dana Cadangan Daerah, dan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Sejalan dengan pinsip money follows function atau uang mengikuti fungsi, maka penggunaan keuangan/anggaran daerah harus diarahkan pada pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan daerah. Prioritas penggunaan anggaran daerah pada urusan wajib daerah harus ditujukan untuk meningkatkan pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat setempat (seperti pelayanan dasar di bidang ekonomi dan di bidang sosial), sedangkan prioritas penggunaan anggaran daerah pada urusan pilihan daerah harus ditujukan ditujukan untuk mengembangkan perekonomian daerah bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Seluruh sumber keuangan daerah harus dikelola secara efektif dan esien dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang untuk setiap tahun anggaran ditetapkan di dalam APBD. Pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan proses kegiatan yang meliputi perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah. Melalui pencermatan terhadap proses pengelolaan keuangan daerah tersebut, maka beberapa kondisi aktual dan permasalahan yang dihadapi saat ini meliputi: 1) Pada tahap perencanaan dan penganggaran yang menghasilkan RAPBD, sering mengalami keterlambatan penetapan RAPBD, yang disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan antara Kepala Daerah dan DPRD dalam penetapan skala prioritas program pemerintahan daerah; 2) Pada tahap pelaksanaan dan penatausahaan anggaran daerah, hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional menunjukkan masih adanya salah kelola dalam aspek administrasi keuangan maupun dalam aspek pemanfaatan

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

69

anggaran, yang disebabkan oleh belum tepatnya pemahaman aparat pelaksana mengenai ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pengelolaan keuangan daerah; 3) Pada tahap pelaporan dan pertanggungjawaban, hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional menunjukkan bahwa sejumlah provinsi dan kabupaten/ kota belum mampu menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah secara benar, sehingga sangat banyak daerah yang dikategorikan sebagai wajar dengan pengecualian dan disclaimer (tidak berpendapat), dan sangat sedikit daerah yang dikategorikan sebagai wajar tanpa syarat. c. Penyediaan Pelayanan Umum

Tugas utama Pemerintah Daerah adalah pelayanan (untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat), pemberdayaan (untuk meningkatkan kemandirian masyarakat), dan pembangunan (untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat). Dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, setiap Pemerintah Daerah diharapkan memiliki kebakan dan program prioritas yang tepat sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Terdapat dua bentuk pelayanan Pemerintah Daerah kepada masyarakat, yakni: 1) Pelayanan civil (civil services) untuk memenuhi kebutuhan warganegara secara individual (seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, dokumen catatan sipil, dll); Mengingat pemberian pelayanan civil tersebut merupakan kewajiban negara sesuai amanat konstitusi UUD 1945 (state obligation) serta hak warganegara untuk memilikinya tanpa kebebasan memilih, maka seharusnya bentuk-bentuk pelayanan civil diperoleh secara gratis atau tanpa bayar oleh warga negara; 2) Pelayanan publik (public services) untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga negara (seperti air bersih, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dll ); Mengingat pemberian pelayanan publik tersebut merupakan kewenangan negara (state authority) sesuai amanat konstitusi UUD 1945 serta hak warganegara

70

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

untuk memilikinya dengan kebebasan memilih, maka setiap warga negara wajib membayar atas perolehan pelayanan publik tersebut, seperti melalui pembayaran pajak. Belakangan ini sejumlah Pemerintah Daerah telah menetapkan kebakan pelayanan civil (seperti KTP dan Kartu Keluarga) yang diperoleh secara gratis oleh setiap warga Negara dan bahkan ada sejumlah Pemerintah Daerah yang memberikan pelayanan pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin (seperti Pemda Kota Bekasi Jawa Barat, Pemda Kabupaten Jembrana-Bali, untuk sekedar menyebut contoh). Namun, masih banyak Pemerintah Daerah yang membebankan biaya kepada warga negara dalam memperoleh pelayanan civil maupun pelayanan publik, bahkan dadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah, dengan pola pelayanan yang lamban, sehingga memberi kesan kurang kompeten dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Melalui pencermatan terhadap bentuk-bentuk pelayanan umum yang wajib diberikan Pemerintah Darah kepada setiap warganegara, maka beberapa kondisi aktual dan permasalahan yang dihadapi saat ini meliputi: 1) Sejumlah Pemerintah Daerah belum menetapkan Standard Pelayanan Minimal/ SPM, termasuk penetapan Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indicators) untuk setiap bentuk/ jenis pelayanan, sehingga kinerja pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum dapat diukur secara jelas; 2) Masih adanya keluhan masyarakat terhadap lambanannya pelayanan, sehingga tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Pemerintah Daerah masih rendah; 3) Sejumlah Pemerintah Daerah masih menetapkan tarif tertentu pada beberapa bentuk pelayanan dokumen untuk kepentingan perorangan warganegara, pada hal pelayanan dokumen tersebut merupakan kewajiban negara dan hak setiap warganegara; 4) Belum memadainya penyediaan pelayanan infrastruktur kepada publik (seperti jalan, air bersih, transportasi).

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

71

d.

Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan

Indonesia memiliki kekayaan potensi sumber daya alam yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Dalam pengelolaan kekayaan potensi sumber daya alam tersebut, konstitusi UUD 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan amanat konstitusional tersebut, maka telah diatur kewenangan pengelolaan potensi sumber daya alam antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan porsi kewenangan terbesar pada Pemerintah Pusat. Sebagai contoh, dalam pengelolaan potensi bahan tambang dan kehutanan, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dalam pengelolaan bahan tambang bidang energi dan mineral (bahan tambang kategori A dan kategori B), sedangkan Pemerintah Daerah diberi kewenangan mengelola bahan tambang kategori C (seperti batu, kerikil, pasir, dll). Mengingat potensi sumber bahan tambang di bidang energi, mineral atau kehutanan berada dalam suatu wilayah administrasi Daerah Otonom, maka di setiap Daerah otonom yang satuan wilayahnya memiliki pengelolaan sumber daya alam tersebut, memperoleh bagian dari Dana Perimbangan dalam bentuk Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA). Tujuan pemberian DBH-SDA tersebut adalah agar Pemerintah Daerah dapat menggunakan dana tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta merehabilitasi kerusakan lingkungan hidup akibat dari pengelolaan bahan tambang dan hutan pada areal yang dikelola. Dalam perkembangan saat ini, beberapa Pemerintah Daerah cenderung mengklaim sebagai Daerah Penghasil sumber daya alam agar memperoleh DBH-SDA dari Pemerintah Pusat, yang berimplikasi pada munculnya sengketa wilayah pada kawasan perbatasan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam. Di sisi lain, pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah maupun pengelolaan oleh masyarakat, mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan sebagaimana ditunjukkan oleh

72

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

bencana alam tanah longsor, banjir, dll. Melalui pencermatan terhadap pola dan proses pengelolaan potensi sumber daya alam yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, beberapa kondisi aktual dan permasalahan yang dihadapi saat ini meliputi: 1) Cenderung terjadi sengketa wilayah pada perbatasan daerah otonom yang memiliki potensi sumber daya alam, agar memperoleh dana perimbangan dalam bentuk DBH-SDA sebagai daerah penghasil; 2) Terjadi kerusakan lingkungan yang semakin meluas di sejumlah daerah, yang menunjukkan bahwa pengelolaan potensi sumber daya alam tidak dikendalikan secara proprosional oleh Pemerintah Daerah; 3) Terjadi dis-koordinasi antar Daerah dalam pengelolaan potensi sumber daya alam pada kawasan lintas wilayah administratif daerah otonom tertentu, akibat adanya ego kedaerahan. e. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan upaya yang dilakukan Pemerintah dan/atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan teknis fungsional sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing, sedangkan Menteri Dalam Negeri berperan dalam melakukan koordinasi secara nasional dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sejalan dengan hirakhi penyelenggaraan pemerintahan secara nasional, maka Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah mengkoordinasikan pembinaan pemerintahan daerah kabupaten/kota, sedangkan Bupati/Walikota mengkoordinasikan pembinaan pemerintahan desa dan kelurahan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan secara esien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

73

yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, Pemerintah melakukan 2 (dua) cara sebagai berikut : 1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur mengenai pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan Rencana Umum Tata Ruang yang sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur untuk Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. Cara pengawasan ini merupakan pengawasan preventif. 2) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku. Cara pengawasan ini disebut pengawasan represif. Di sisi lain, juga dilakukan pemeriksaan (audit) dalam rangka mengetahui kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dilakukan dalam dua fokus pemeriksaan, yakni audit manajemen pemerintahan daerah (management audit) dan audit keuangan daerah (nancial audit). Sesuai dengan ketentuan di bidang pemeriksaan keuangan negara, bentuk pemeriksaan ini dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Khusus untuk pemeriksaan keuangan daerah (yang merupakan bagian dari keuangan negara), juga dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya

74

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, Pemerintah juga berkewajiban untuk memberikan penghargaan kepada penyelenggara pemerintahan daerah yang menunjukkan kinerja terbaik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Melalui pencermatan terhadap pola dan proses pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, beberapa kondisi aktual dan permasalahan yang dihadapi saat ini meliputi: 1) Sejumlah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota cenderung menetapkan peraturan daerah mengenai retribusi daerah yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi dunia usaha, sehingga Pemerintah Pusat perlu memperketat pelaksanaan evaluasi peraturan daerah mengenai retribusi daerah. 2) Pemerintah Daerah Provinsi cenderung tidak melakukan klarikasi (pengawasan) secara cermat terhadap penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pemekaran kecamatan dan desa, sehingga terjadi perubahan data wilayah (penambahan jumlah kecamatan dan desa) secara sangat cepat pada satu kabupaten/kota. Implikasinya adalah penetapan peraturan daerah kabupaten/ kota mengenai pemekaran kecamatan dan desa sering menimbulkan masalah dalam aspek batas desa dalam wilayah kabupaten bahkan ada pula yang menimbulkan sengketa batas wilayah antar desa antar kabupaten. 3. Pilihan Kebakan Pertama, penyelenggaraan kewenangan daerah: 1) Mendorong Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kewenangan daerah di bidang urusan pilihan guna mendorong

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

75

perkembangan perekonomian daerah dalam jangka panjang melalui pemberdayaan masyarakat yang lebih intensif; 2) Penetapan peraturan daerah mengenai Organisasi Perangkat Daerah harus dimasukkan dalam kategori pengawasan preventif sehingga sebelum disahkan oleh Kepala Daerah dan DPRD harus terlebih dahulu dievaluasi oleh Pemerintah Pusat, untuk mencegah pembentukan organisasi perangkat daerah yang tidak sesuai dengan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat serta meningkatkan esiensi penggunaan keuangan daerah. Kedua, pengelolaan Keuangan Daerah Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan esiensi pengelolaan keuangan daerah, perlu ditingkatkan pembinaan terhadap pengelolaan keuangan daerah, termasuk peningkatan kemampuan aparatur pengelola keuangan daerah. Hal ini diperlukan karena hasil audit BPK terhadap pengelolaan keuangan daerah menunjukkan bahwa sejumlah Pemerintah Daerah berada dalam kategori wajar dengan pengecualian dan disclaimer (tidak berpendapat), dan sangat sedikit daerah yang dikategorikan sebagai wajar tanpa syarat. Ketiga, Penyediaan Pelayanan Umum: 1) Depdagri perlu meningkatkan koordinasi dalam penetapan Standard Pelayanan Minimal/SPM, termasuk penetapan Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indicators) untuk dadikan rujukan bagi Pemerintah Daerah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. 2) Memfasilitasi Pemerintah Daerah untuk mempermudah pelayanan perinan kepada masyarakat melalui kebakan pelayanan satu pintu (one stop service). 3) Mendorong Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pelayanan civil (seperti KTP, Kartu Keluarga, dan dokumen catatan sipil lainnya) secara gratis kepada masyarakat, karena merupakan kewajiban negara untyuk menyediakannya dan hak masyarakat untuk memilikinya.

76

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Keempat, Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan: 1) Meningkatkan fasilitasi terhadap penyelesaian konik pengelolaan sumber daya alam pada wilayah perbatasan; 2) Mendorong pelaksanaan kerjasama antar daerah dalam pemanfaatan potensi sumber daya alam di kawasan perbatasan antar daerah, agar dapat didayagunakan bersama secara optimal dan asing menguntungkan; 3) Mendorong Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pengendalian pemanfaatan potensi sumber daya alam serta melakukan upaya pelestarian lingkungan hidup untuk mencegah dan mengatasi kerusakan lingkungan yang semakin banyak terjadi saat ini yang mengakibatkan terjadinya bencana alam. Kelima, Pembinaan dan Pengawasan: 1) Meningkatkan evaluasi peraturan daerah mengenai retribusi daerah yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi dunia usaha, agar terjadi peningkatan investasi di daerah untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan penyerapan tenaga kerja; 2) Penetapan peraturan daerah mengenai pembentukan kecamatan baru dan desa baru (pemekaran kecamatan dan desa) harus dimasukkan dalam kategori pengawasan preventif sehingga sebelum disahkan oleh Bupati dan DPRD harus terlebih dahulu dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi, untuk mencegah pembentukan kecamatan dan desa yang tidak sesuai dengan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat serta meningkatkan esiensi penggunaan keuangan daerah. B. PEMEKARAN WILAYAH: MASALAH DAN SOLUSI 1. Latar Belakang

Pemekaran wilayah yang telah membentuk cukup banyak daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota menjadi isu

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

77

penting yang menyertai demokratisasi di Indonesia sejak 1998. Peluang pemekaran wilayah dimungkinkan seiring dengan restrukturisasi sistem pemerintahan yang sebelumnya bercorak sentralistik menuju sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan revisi dari UU No. 22/1999, merupakan acuan hukum bagi pemekaran wilayah. Jumlah pemekaran daerah/pembentukan daerah otonom baru hingga saat ini sudah mencapai 191 daerah otonom, terdiri dari 7 provinsi, 153 Kab dan 31 Kota. Keseluruhan daerah otonom sudah sangat besar yaitu 510 daerah otonom, terdiri dari 33 Provinsi, 386 Kabupaten dan 91 kota. Kecenderungan pemekaran wilayah diperkirakan masih akan terus meningkat di masa-masa yang akan datang. Sejumlah undang-undang yang mengatur pemekaran wilayah, mulai dari UU No. 5/1974, UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, memberikan perhatian yang sama tentang faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu daerah otonomi baru, seperti: potensi ekonomi, sumber kekayaan alam, kemampuan nansial suatu daerah, kondisi geogras, serta permasalahan kependudukan. Namun demikian pemekaran wilayah tidaklah dirumuskan dan diimplementasikan dalam ruang politik yang hampa. Dalam realitasnya, perubahan ekonomi dan politik merupakan aspek yang tak dapat diabaikan pengaruhnya terhadap dinamika dan perkembangan pemekaran wilayah. Gelombang demokratisasi yang ditopang oleh peran media massa yang lebih terbuka (media exposure) sejak 1998, misalnya, telah membuka perhatian dan kesadaran kolektif masyarakat di daerah yang lebih besar terhadap isu-isu pembangunan di daerah. Liberalisasi politik juga telah mendorong meningkatnya partisipasi masyarakat lokal dalam mempengaruhi perkembangan pemekaran wilayah secara lebih terbuka. Sehubungan dengan itu, wacana otonomi daerah dan pemekaran wilayah dipandang sebagai intrumen untuk mendekatkan masyarakat (local people) dalam proses pembangunan di daerah. Demikian pula, perubahan ekonomi, seperti: tantangan yang dihadapi Indonesia untuk keluar dari kesulitan ekonomi hingga beban anggaran yang semakin berat juga merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam proses perkembangan

78

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

pemekaran wilayah. Sub bab ini dimaksudkan untuk: (1) Mengkaji kecenderungan pemekaran wilayah di masa yang akan datang; (2) Mengidentikasi sejumlah tantangan dari perkembangan pemekaran wilayah selama ini; serta (3) Merumuskan kebakan strategis dalam mengatasi tantangan pembentukan daerah otonom baru. 2. a. Kondisi Aktual dan Permasalahan Dinamika Pemekaran Wilayah

Konstitusi negara yaitu UUD 1945, termasuk hasil amandemen yang telah dilakukan selama empat kali menjelang tahun 2000-an, tidak mengatur secara rinci tentang pembagian wilayah administrasi di Indonesia. Kecuali Pasal 18 UUD 1945 yang secara garis besar menetapkan bahwa negara Indonesia terbagi dalam provinsi, dan setiap provinsi terdiri dari kabupaten dan kota. Bahkan, sejak terbentuknya negara Indonesia hingga kini belum pernah ada dokumen, kajian atau grand design tentang penataan wilayah administratif pemerintahan Indonesia, dengan mempertimbangan perkembangan berbagai aspek, seperti: ekonomi, politik, demogra, sosial-budaya, dan geogras hingga pertahanan dan keamanan. Pembentukan wilayah atau daerah otonom selama ini lebih bersifat ad hoc dan karenanya sangat rentan terhadap manuver kepentingan politik jangka pendek. Secara teknis-administratif, pembentukan wilayah atau daerah otonom baru (provinsi, kabupaten / kota) dapat ditempuh melalui penggabungan (merging) wilayah dan pemekaran wilayah (splitting). Dalam realitas, pembentukan wilayah / daerah otonom baru lebih banyak dilakukan melalui pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonom baru (Provinsi, dan Kabupaten / Kota) sesungguhnya bukan fenomena yang baru. Pembentukan daerah otonom dapat diamati sejak awal kemerdekaan. Ada sejumlah fenomena menarik yang menyertai pembentukan wilayah atau daerah otonom baru itu. Dari perspektif sejarah politik pemerintahan di Indonesia diketahui bahwa fenomena kecenderungan pembentukan daerah otonomi jatuh bersamaan dengan perubahan politik yang menyertai pergantian suatu pemerintahan. Pada masa awal kemerdekaan, wilayah Indonesia hanya terdiri dari

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

79

delapan provinsi, yaitu Sumatera, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Pembentukan wilayah atau daerah otonom baru, khusus provinsi meningkat tajam pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959). Provinsi Sumatera, misalnya, dipecah menjadi Sumatera Utara (termasuk Aceh), Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Dalam perkembangannya, Sumatera Tengah dipecah kembali menjadi Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Peralihan dari era Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-1966) juga diikuti bertambahnya jumlah wilayah atau daerah otonom baik pemerintahan provinsi maupun pemerintahan kabupaten / kota. Meningkatnya pembentukan wilayah atau daerah otonom baru itu-pun terjadi pada masa peralihan dari era Demokrasi Terpimpin menuju Orde Baru (1966-1998). Demikian pula, fenomena meningkatnya pembentukan wilayah atau daerah otonom baru itu berkembang subur sejak berakhirnya masa Orde Baru hingga saat ini. Terdapat sejumlah alasan yang umumnya menjadi bahan pertimbangan yang menyertai pemekaran wilayah, seperti: memacu pembangunan daerah, mendorong pemerataan pembangunan maupun sebagai respon terhadap gejolak politik-keamanan. Pemekaran yang mendorong pembentukan provinsi Aceh pada tahun 1959 yang sebelumnya merupakan bagian dari propinsi Sumatera Utara dan pembentukan propinsi Irian Barat pada tahun 1962, yang kemudian menjadi propinsi Papua pada tahun 1999- terkait dengan tuntutan sekelompok masyarakat untuk melepaskan diri dari negara kesatuan republik Indonesia. Kebakan pemekaran yang dipicu oleh masalah keamanan membawa implikasi yang lebih kompleks dibanding dengan kebakan pemekaran yang hanya dilatar-belakangi oleh tujuan pemerataan pembangunan ekonomi. Demokratisasi juga telah mendorong perubahan hubungan sipilmiliter dalam menangani isu-isu stabilitas politik-keamanan di daerah. Pendekatan keamanan tidak lagi diperlukan dalam mendukung politik pemekaran wilayah sebab peran TNI hanya diperlukan dalam menghadapi ancaman bersenjata baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

80

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

b.

Pemekaran Wilayah: Antara Harapan dan Kenyataan

Semangat otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang berkembang seiring dengan proses demokrasi telah membawa pengaruh yang luas terhadap dinamika politik di daerah termasuk pemekaran wilayah yang memberi harapan baru bagi kemajuan daerah. Bahkan, pemekaran wilayah diyakini sebagai solusi yang cepat untuk mengatasi keterbelakangan ekonomi suatu daerah. Pembentukan daerah otonom baru, dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan, mulai dari ketepencilan geogras, melindungi identitas budaya, hingga sebagai strategi untuk mengatasi konik. Pemekaran wilayah sering dipandang sebagai alat efektif untuk mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan ketertinggalan daerah dan karena itu menjadi agenda yang diperjuangkan oleh masyarakat daerah. Satu hal yang sulit diingkari bahwa pertimbangan politik dalam proses pemekaran wilayah cenderung lebih dominan daripada pertimbangan teknis-administratif, seperti: potensi ekonomi suatu daerah, kemampuan nansial, hingga pertimbangan jumlah penduduk. Hal ini menghadirkan kekhawatiran terhadap masalah esiensi ekonomi, masalah ukuran dan kapasitas yang optimal, kemungkinan perluasan korupsi, mahalnya biaya pembentukan sistem pemerintahan daerah yang baru, dan besarnya ketergantungan keuangan daerah terhadap bantuan keuangan dari pusat. Dalam prakteknya gagasan pemekaran wilayah yang semula diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan sosial-ekonomi belum sepenuhnya tercapai. Masyarakat di sejumlah daerah hasil pemekaran masih merasakan belum optimalnya pelayanan publik di sektor pendidikan, kesehatan dan kependudukan. Di beberapa daerah dampak pemekaran wilayah baru terlihat sebatas pada pembangunan sarana dan prasarana phisik. Ironisnya dampak pembangunan sarana dan prasarana yang menghabiskan anggaran belanja (APBD) yang cukup besar tidak diikuti oleh meningkatnya kesejateraaan sosial-ekonomi masyarakat. Di beberapa daerah lainnya, pemekaran yang semula dilihat sebagai solusi untuk mengatasi konik pada kenyataannya justru melahirkan

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

81

konik yang dipicu oleh faktor etnis dan faktor agama yang semakin mempertajam fragmentasi masyarakat. Persoalan lain dalam proses pemekaran wilayah, adalah kurangnya pelibatan masyarakat. Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa pada umumnya usulan pemekaran datang dari elit lokal yang berkepentingan terhadap terbentuknya daerah otonom baru tanpa dukungan yang memadai dari masyarakat. Kalaupun ada, dukungan dari masyarakat hanya sekedar formalitas. Proses pemekaran wilayah yang bersifat elitis semacam ini pada akhirnya tidak akan memberikan keuntungan optimal bagi masyarakat. Selain tidak partisipatif, proses pembentukan daerah otonom baru yang terkadang merupakan manifestasi dari vested interest aktor-aktor yang berkepentingan diwarnai oleh adanya penyimpangan. Keadaan ini diperburuk oleh lemahnya koordinasi dan komunikasi antara daerah induk dengan daerah baru hasil pemekaran. Lemahnya koordinasi dan komunikasi kadang-kadang memunculkan ketegangan antara daerah induk dan daerah baru hasil pemekaran yang disebabkan oleh adanya konik dalam penetapan batas wilayah, konik pembagian DAU, pembagian asset daerah, dan mutasi pegawai dari daerah induk ke daerah baru. Berbagai ketegangan ini pada akhirnya dapat melemahkan kemampuan pemerintahan daerah pemekaran. Pelaksanaan pemekaran wilayah selama ini belum sepenuhnya didasarkan pada ketentuan dalam UU No. 22/1999 yang ditindaklanjuti dengan PP 129 Tahun 2000 dan belum sepenuhnya diimplementasikan sesuai UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditindaklanjuti dengan PP 78 Tahun 2007. Peraturan perundangan tersebut di atas mengatur bahwa proses pemekaran wilayah hanya melalui pemerintah (DPOD). Pada kenyataannya, proses pemekaran wilayah ditempuh melalui berbagai jalur, yaitu: jalur pemerintah dan jalur legislative (DPR dan DPD). Berbagai fenomena menunjukan bahwa proses pemekaran yang gagal ditempuh melalui jalur pemerintah seringkali berhasil diperjuangkan kembali melalui jalur legislatif, terutama DPR. Meskipun secara ideal kebakan pemekaran wilayah dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan bahkan juga dapat menjadi solusi konik, pada kenyataannya dalam

82

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

beberapa kasus, pemekaran daerah belum dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik secara optimal. Oleh karena itu opsi pemekaran perlu dipertimbangkan secara mendalam sebelum benarbenar diimplementasikan. Dengan kata lain opsi pemekaran hanya akan diambil setelah melalui pertimbangan yang mendalam sebab pemekaran daerah tidak selalu menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul di daerah. 3. Pilihan Kebakan

Dengan kondisi diatas, beberapa langkah yang perlu dilakukan kedepan terkait dengan opsi pemekaran daerah: Pertama, pemerintah perlu memprioritaskan penyusunan grand design pemekaran daerah sebagai pedoman penataan daerah baik untuk melakukan pemekaran maupun penggabungan daerah yang diharapkan menjadi panduan kebakan yang dilaksanakan segera setelah pemilu 2009. Kedua, implementasi pemekaran daerah harus dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (UU 32 Tahun 2004 dan PP 78 Tahun 2007), termasuk mekanisme pengusulan pemekaran daerah hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah (DPOD). Ketiga, menyempurnakan regulasi bagi implementasi pemekaran daerah, khususnya kriteria pemekaran daerah. Dalam hal kriteria diantaranya memberikan penghormatan terhadap hak masyarakat adat, serta menyempurnakan kebakan skal bagi daerah otonom, memprioritaskan bobot penilaian kelayakan pemekaran daerah dari aspek ekonomi dan potensi sumber daya alam setempat dan kemampuan keuangan daerah. Keempat, melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap daerah-daerah otonom baru yang terbentuk sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan sekaligus menyusun strategi serta program supervisi untuk meningkatkan kinerja daerah otonom baru tersebut. Kebakan dukungan yang diperlukan diantaranya menyediakan infrastruktur yang memadai, meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM dan memberikan dukungan pembiayaan.

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

83

Kelima, segera menyelesaikan berbagai konik yang terjadi di daerah pemekaran. Seperti konik batas, konik sumber daya alam maupun konik pembiayaan, prasarana dan personil. Keenam, perlu adanya political will dari para pihak untuk memposisikan pertimbangan teknis lebih dominan dalam bobot penilaian kelayakan pemekaran suatu daerah ketimbang pertimbangan politik. Ini berarti bahwa pemekaran wilayah lebih dimaknai sebagai instrumen pemberdayaan dan penguatan kesejahteraan masyarakat ketimbang untuk memenuhi kepentingan poltik para elit. Ketujuh, merubah kebakan skal pembiayaan daerah otonom. Diantaranya bahwa sistem subsidi melalui DAU dan DAK maupun sistem pembiayaan melalui dekonsentrasi tidak menggunakan persyaratan dan kriteria yang seragam untuk seluruh daerah otonom, serta bagi daerah otonom baru (hasil pemekaran) seyogyanya tidak otomatis mendapatkan DAU, DAK maupun dana Dekonsentrasi. C. OTONOMI KHUSUS BAGI PAPUA 1. Latar Belakang

Proses demokratisasi yang menyertai perubahan politik Indonesia sejak 1998 telah membawa perubahan penting bagi perkembangan politik pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Aceh. Dua wilayah ini rentan terhadap pergolakan politik dan karenanya menghadapi banyak tantangan dalam membangun hubungannya dengan pemerintah. Penetapan otonomi khusus bagi provinsi Aceh dan provinsi Papua diharapkan tidak saja mengakhiri konik yang berkepanjangan, tetapi juga membawa harapan baru dalam membangun kemakmuran dan kesejahteraan sosial-ekonomi di kedua provinsi itu. Sub-bab ini dimaksudkan untuk mengidentikasi isu-isu penting yang menyertai pelaksanaan otonomi khusus serta merumuskan kebakan dan program untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan sosial-ekonomi di kedua provinsi itu Otonomi Khusus bagi Papua yang ditetapkan melalui UU No. 21/2001 menjadi tonggak sejarah yang penting dalam menyelesaikan

84

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

persoalan Papua yang sangat kompleks, yaitu membangun kerjasama yang konstruktif antara pemerintah dengan propinsi Papua serta menjadi fondasi dalam membangun kesejahteraan masyarakat Papua. Sehubungan dengan itu, pertanyaan mendasar yang menarik untuk diajukan adalah apakah pemberian otonomi khusus sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 21/2001 itu menjawab substansi persoalan, yaitu memperbaiki kesejahteraan masyarakat Papua. 2. a. Kondisi Aktual dan Permasalahan Akar Konik dan Ketegangan

Provinsi Papua yang memiliki luas wilayah 421.981 kilometer persegi dan penduduk sebesar 2,2 juta (pada tahun 2007) awalnya ditetapkan menjadi wilayah koloni Belanda. Melalui New York Aggreement 1962 dan diperkuat dengan Resolusi PBB No. 2504 / 1962, Papua (yang saat itu bernama Irian Barat) dinyatakan sebagai wilayah Republik Indonesia. Status pembentukan Provinsi Irian Barat diperkuat dengan UU No. 1 / 1962. Pembentukan Irian Barat bagi Presiden Soekarno saat itu menjadi simbol nasionalisme dalam mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Pada saat yang bersamaan terdapat sekelompok kecil masyarakat yang tergabung dalam kelompok garis keras yang selalu mempersoalkan integrasi Papua ke dalam NKRI. Pembangunan ekonomi dan sosial di Papua tidak dengan serta merta menghapuskan tuntutan separatisme. Ketimpangan pembangunan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam yang dianggap berlebihan belum memberikan perbaikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini misalnya terlihat antara lain dari Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index yang rendah. Sampai tahun 2007, misalnya, kemiskinan mutlak (absolute poverty) di Papua mencapai 40,7 persen, angka itu jauh di atas kemiskinan nasional sebesar 16,5 persen. Tingginya angka pengangguran dan rendahnya beberapa indikator kesejahteraan lain menjadi sumber kekecewaan sekelompok masyarakat di Papua. Kondisi dan perkembangan di Papua, memerlukan prioritas dan perhatian dalam penanganannya agar keinginan dis-integrasi sebagian

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

85

kelompok masyarakat dapat dihapuskan. Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan sejak tahun tujuh puluhan untuk menegakkan stabilitas politik dan keamanan termasuk didalamnya memberikan kewenangan serta sumber daya ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat Papua melalui implementasi otonomi khusus yang diharapkan dapat mendorong pembangunan di Papua. b. Meningkatnya Insentif Ekonomi

Pengesahan dua undang-undang, yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tidak saja mempengaruhi format hubungan pusat daerah , tetapi juga mendorong dinamika perubahan politik di daerah. UU No 22 Tahun 1999 mengatur tentang penyerahan sejumlah kewenangan yang lebih besar dari pemerintah pusat kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah. Sedangkan UU No.25 Tahun 1999 memberikan dukungan nansial bagi daerah dalam menjalankan sejumlah kewenangan yang diserahkan dari pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 tahun 1999, Papua, seperti daerah lainnya, memperoleh kewenangan yang lebih besar dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, kecuali: kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, skal dan moneter, dan agama. Penyerahan kewenangan yang lebih besar itu juga didukung oleh pembiayaan yang ditransfer dari pemerintah pusat ke daerah. Tawaran pemerintah pusat melalui kebakan desentralisasi sebagaimana yang diberlakukan secara nasional dipandang belum cukup untuk menjawab berbagai persoalan Papua yang demikian kompleks. Dengan sumber daya alam yang dimilikinya, masyarakat Papua menuntut pembagian sumber daya alam yang lebih adil melalui suatu incentive ekonomi yang diformulasikan dalam skema bagi hasil sumber kekayaan alam yang menguntungkan. Hal ini diperlukan agar Papua dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah-daerah lain di Indonesia sekaligus untuk menjawab tuntutan gelombang demokratisasi di Papua. Sebenarnya Provinsi Papua dipastikan memperoleh dukungan nansial yang lebih besar dari hasil pengelolaan sumber-sumber

86

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

kekayaan alamnya. Sesuai dengan formula UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Pusat dan Daerah, Provinsi Papua memperoleh 70 persen dalam hasil pengelolaan sumber-sumber kekayaan alamnya dalam bentuk dana bagi hasil. Namun pemberian insentif ekonomi tersebut mengalami kendala dalam implementasinya sehingga masyarakat Papua tidak merasakan adanya peningkatan kesejahteraannya. Tuntutan peningkatan kesejahteraan inilah yang sebenarnya mengemuka dengan beragam manifestasinya. Respon pemerintah terhadap tuntutan ini salah satunya dengan memberikan otonomi khusus kepada masyarakat Papua yang ditetapkan melalui UU No. 21/2001. c. Otonomi Khusus: Peluang dan Tantangan

Otonomi Khusus merupakan salah satu pilihan kebakan yang diambil untuk memenuhi harapan rakyat Papua sekaligus untuk mengakhiri konik yang ada. Selain memberikan insentive ekonomi, otonomi khusus juga memberikan perlindungan terhadap budaya masyarakat Papua. Salah satu isu penting dari kebakan otonomi khusus yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada adalah pembentukan Majaleis Rakyat Papua (MRP). Akan tetapi gagasan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di Papua melalui kebakan otonomi khusus dalam implementasinya ternyata juga menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Bahkan MRP sebagai representasi kultural masyarakat Papua, lebih banyak melakukan retorika politik ketimbang penguatan dan pemberdayaan kultural melalui masyarakat adat secara nyata. Harapan untuk segera dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diformulasikan dalam otonomi khusus ternyata tidak mudah diwujudkan. Tantangan terbesar dalam implementasi otonomi khusus di Papua sebenarnya adalah meningkatkan rasa saling percaya atau mutual trust antara Pemerintah dan masyarakat agar setiap kebakan yang dibuat dapat dilaksanakan dan diapresiasi dengan baik. Penolakan sebagian kelompok masyarakat terhadap penetapan UU No. 45/1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat dan Pembentukan Pemerintahan Kabupaten: Pinai, Mimika, Puncak Jaya

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

87

serta Kota Sorong menunjukkan perlunya harmonisasi hubungan yang lebih baik antara Pemerintah dengan masyarakat Papua. Tantangan lain yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua adalah terkait dengan akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana otonomi khusus (dana otsus). Pemerintah pusat telah menyalurkan dana otsus dalam jumlah yang besar akan tetapi lemahnya kemampuan dan transparansi dalam pengelolaan dana tersebut mendorong terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan keuangan daerah. Akibatnya tingkat kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Papua tetap rendah. 3. Pilihan Kebakan

Kebakan strategis yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang telah disebutkan diatas antara lain adalah: Pertama, mengefektifkan fungsi pemerintahan bagi seluruh pemerintahan daerah di wilayah Papua agar dapat mendayagunakan sumber daya untuk memberikan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Kedua, meningkatkan dan mengembangkan komunikasi yang lebih konstruktif antara pusat dan daerah maupun antara pemerintah daerah dan masyarakat, termasuk mengembangkan etika politik dan birokrasi yang lebih baik di masa mendatang. Hal demikian diharapkan akan dapat meningkatkan saling percaya diantara berbagai pihak. Ketiga, menyelenggarakan sosialisasi untuk membangun persamaan persepsi tentang Otsus. Hal ini diperlukan agar berbagai kebakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan pelaksanaan otonomi khusus dapat diimplementasi dengan persepsi yang sama oleh pelaksananya dilapangan untuk mendukung tercapainya tujuan kebakan otonomi khusus. Keempat, pelaksanaan Otsus secara konsisten. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa ketidaksepahaman yang muncul antara pemerintah dan pemerintah provinsi dalam melaksanakan otonomi khusus sering disebabkan oleh adanya inkonsistensi kebakan. Orientasi untuk mendahulukan kepentingan dan kemakmuran

88

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

masyarakat merupakan satu pedoman penting untuk mencegah terjadinya inkonsistensi kebakan. Kelima, menyikapi secara proporsional dan proaktif terhadap pemekaran Papua. Kebakan pemerintah dengan penetapan Perpu No. 1/2008 menjadi acuan penting dalam mencari solusi penyelesaian status hukum daerah otonom di wilayah Papua, dengan memfasilitasi atau menjembatani antara pihak yang pro dan kontra terhadap pemekaran di wilayah Papua Keenam, evaluasi dan supervisi yang lebih intensif dari Pemerintah melalui pengkoordinasian intensif dengan pemerintah provinsi termasuk upaya-upaya pengembangan kapasitas aparatur dan sistem manajemen pemerintahan moderen. D. OTONOMI KHUSUS BAGI ACEH 1. Latar Belakang

Aceh, seperti halnya Papua, merupakan provinsi yang memiliki dinamika politik sangat tinggi. Oleh sebab itu Aceh memerlukan penanganan pemerintah secara cermat dan hati-hati. Seperti hal nya di Papua, pergolakan yang terjadi di Aceh terkait dengan kondisi sosial ekonomi yang belum memuaskan masyarakat. Pembangunan ekonomi serta kehadiran perusahaan multinasional yang mengolah sumber kekayaan alam Aceh dipandang belum membawa kemajuan yang berarti bagi penduduk Aceh. Provinsi Aceh tetap merupakan wilayah yang relatif tertinggal (under-develop) dibanding provinsi lainnya, meskipun Aceh menyumbangan kontribusi yang cukup berarti dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Perubahan politik nasional seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998 telah membuka peluang perubahan politik di Aceh. Proses perubahan politik di Aceh ditandai dengan menguatnya aspirasi penegakan HAM serta penghentian operasi militer. Selain itu disahkannya UU No. 18/2001 menandai diberlakukannya otonomi khusus di Aceh, yang diharapkan menjadi solusi damai dalam mengatasi berbagai persoalan Aceh. Dalam mendukung pelaksanaan otsus, pemerintah RI dan GAM melakukan perundingan di Geneva,

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

89

Swiss. Perundingan yang difasiltasi oleh Henry Dunand Center itu kemudian melahirkan Kesepakatan Penghentian Permusuhan pada 9 Desember 2002. Suatu komite keamanan bersama-pun dibentuk mengawal kesepakatan itu. Upaya untuk mewujudkan perdamaian di Aceh dengan mengakhiri konik bersenjata antara TNI dan kelompok GAM dapat diwujudkan meskipun terkadang diwarnai dengan terjadinya pelanggaran kesepakatan (CoHA) yang telah dibuat. Tsunami yang menghantam wilayah Aceh pada bulan Desember tahun 2004 mengakibatkan ratusan ribu orang tewas dan melumpuhkan seluruh kegiatan dan fungsi pemerintahan di Aceh. Pemulihkan Aceh sebagai dampak kerusakan akibat bencana alam tidak saja telah mendorong keterlibatan yang besar sejumlah lembaga donor internasional, tetapi juga menumbuhkan momentum untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara menyeluruh dan permanen. Kesepakatan damai (MoU Helsinki) antara Pemerintah RI dan GAM akhirnya ditanda-tangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Kesepakatan inilah yang mendorong lahirnya UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menjadi pakan penting bagi penataan dan pembangunan Aceh di masa depan. 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan

MoU Helsinki merupakan kesepakatan yang dibuat oleh Pemerintah RI dan GAM untuk mengakhiri konik di Aceh secara damai. Sejumlah pokok kesepakatan penting dari perjanjian Helsinki antara lain: (i) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh; (ii) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh, (iii) Kebakan-kebakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh. Hal lain yang perlu memperoleh perhatian dalam MoU itu adalah adanya otoritas pemerintahan Aceh untuk menetapkan suku bunga yang berbeda

90

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dengan suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Sentral Indonesia. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri, dan Aceh berhak menguasai tujuhpuluh persen dari sumber kekayaan alam yang dieksplorasinya. Lahirnya UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, memperkuat kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian Helsinki diatas. Salah satu fenomena perkembangan politik penting di Aceh yang terjadi sejak diberlakukannya UU Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah tumbuhnya partai politik lokal yang akan ikut bersaing dalam pemilihan kepala daerah (Gubenur, Bupati / Walikota) serta dalam pemilu legislatif lokal (DPR-D). Setidaknya ada enam partai lokal telah terbentuk di Aceh, yaitu: (i) Partai GAM, (ii) Partai Rakyat Aceh, (iii) Partai Aliansi Rakyat Aceh, (iv) Partai Serambi Persada Nusantara Serikat, (v) Partai Pemersatu Muslim Aceh, dan (vi) Gabthat. Persaingan politik sejak UUPA diberlakukan telah membuka peluang bagi tokoh-tokoh masyarakat Aceh memenangkan pilkada (provinsi, kabupaten / kota). Selain pertumbuhan partai politik lokal, perkembangan politik yang juga penting adalah bahwa dalam waktu yang relatif singkat, masyarakat Aceh berhasil menyelenggarakan sembilanbelas pilkada. Pemilihan Gubernur Aceh dimenangkan oleh Irwandi Yusuf yang tidak lepas dari adanya mobilisiasi dukungan di daerah-daerah pedesaan. Meskipun demikian berbagai persoalan memperlambat efektitas Pelaksanaan Otsus yang diputuskan melalui UU No.11 Tahun 2006. Hal ini nampak dari masih munculnya gangguan keamanan dan terjadinya konik senjata. Disamping itu masih terjadi kampanye terselubung untuk memperjuangkan kepentingan aliran politik tertentu. Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat akibat konik dan tsunami belum sepenuhnya pulih. Meningkatnya dinamika dan kegiatan politik di Aceh juga belum mendatangkan perubahan yang berarti dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis (good governance). Patronase sebagai karakterisrik yang telah lama mewarnai hubungan bisnis dan politik di Aceh masih tetap kuat. Pemerintah Aceh NAD masih dihadapkan pada tantangan stabilitas politik dan keamanan. Praktek-praktek pemerasan terhadap penduduk dan pejabat sipil (premanisme), pe-

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

91

rampokan bersenjata, illegal logging serta perdagangan obat terlarang masih terjadi. Masalah lain yang muncul adalah yang terkait dengan pemekaran wilayah provinsi Aceh yaitu pembentukan provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS) dan provinsi Aceh Lauser Antara (ALA). Pertentangan dalam masyarakat Aceh terjadi karena adanya dua persepsi yang berbeda terkait dengan masalah ini. Sekelompok masyarakat menghendaki adanya pemekaran karena mereka merasa bahwa selama ini pelayanan yang diberikan belum memadai sedangkan kelompok lain menolak dengan alasan untuk menjaga keutuhan wilayah Aceh. Menghadapi persoalan ini pemerintah perlu mengambil sikap professional dan proporsional yaitu memutuskan bahwa pemekaran wilayah dapat dilakukan jika telah mengikuti prosedur serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 3. Pilihan Kebakan

Stabilitas politik dan keamanan merupakan faktor yang penting untuk menjaga kelangsungan perdamaian di Aceh. Kebakan strategis perlu difokuskan terhadap hal-hal sebagai hal-hal sebagai berikut: Pertama, menjaga stabilitas politik dan keamanan. Aksi-aksi perampokan, pemerasan yang selama ini dilakukan oleh pihak tertentu perlu diatasi dengan tindakan tegas pihak kepolisian sehingga memburuknya situasi di Aceh yang sebenarnya telah banyak mengalami kemajuan sejak UU Pemerintahan Aceh disahkan dapat dicegah. Kedua, membangun kepercayaan antara tokoh-tokoh masyarakat di Aceh merupakan kunci kelangsungan perdamaian di Aceh. Ketiga, pemerintah mendorong proses demokrasi di Aceh berlangsung secara damai dengan memberikan fasilitasi yang diperlukan dalam pembuatan regulasi-regulasi daerah seperti Qanun. Keempat, pemerintah memberikan bantuan penguatan kelembagaan dan personil agar mampu mengimbangi penguatan tuntutan dan aspirasi masyarakat maupun percepatan proses demokrasi. Kelima, sosialisasi secara terus menerus untuk menyebarkan pemahaman yang seragam atas makna perdamaian, otonomi khusus,

92

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dan UU Pemerintahan Aceh untuk mencegah penyimpangan ataupun kekeliruan dalam implementasinya. E. PENANGANAN WILAYAH PERBATASAN ANTAR NEGARA 1. Latar Belakang

Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang memiliki nilai dan posisi yang sangat strategis bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disatu sisi wilayah perbatasan merupakan garis terdepan bagi eksistensi teritorial negara dan disisi lain dengan berbagai potensi diwilayah tersebut sekaligus memiliki tantangan dan permasalahan yang cukup besar. Sementara pada era otonomi daerah sekarang ini, kebakan dan kewenangan pengelolaan wilayah perbatasan, diluar aspek pertahanan dan keamanan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Secara geogras Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 km, memiliki kawasan yang berbatasan dengan 10 (sepuluh) Negara, baik wilayah darat maupun laut. Wilayah darat Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste, sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Kawasan perbatasan darat Indonesia berada di tiga pulau, yaitu Pulau Kalimantan, Papua, dan Pulau Timor, serta tersebar di empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan yang berbeda-beda. Kawasan perbatasan laut Indonesia meliputi : (1) Batas Laut Teritorial (BLT), (2) Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), (3) Batas Landas Kontinen (BLK), (4) Batas Zona Tambahan (BZT), dan (5) Batas Zona Perikanan Khusus (Special Fisheries Zone/SFZ). Ketiga batas laut pertama diukur jaraknya dari titik dasar/garis pangkal kepulauan, yang penetapannya bergantung pada keberadan pulau-pulau terluar yang jumlahnya saat ini paling tidak sebanyak 92 pulau, termasuk beberapa pulau kecil yang beberapa

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

93

diantaranya hingga kini memerlukan penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena memiliki potensi untuk dipermasalahkan oleh negara tetangga. RPJMN 2004-2009 telah menyebutkan pembangunan kawasan perbatasan menjadi beranda depan negara. Sampai dengan tahun 2005 kawasan perbatasan belum mendapat perhatian yang memadai. Garis batas antarnegara di Kalimantan, Papua, NTT dan Sulawesi Utara yang tidak jelas telah menimbulkan kesalahpahaman antar masyarakat dan kegiatan ilegal di sekitar perbatasan. Hasil-hasil yang dicapai pada tahun 2005 antara lain: tersusunnya konsep rencana induk dan lembaga pengelola wilayah perbatasan; penetapan PERPRES No. 78 TAHUN 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar; terlaksananya upaya pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara terpadu di beberapa wilayah (Pulau Wetar di Maluku, Pulau Enggano di Bengkulu); terlaksananya upaya reklamasi pulau kecil terluar yang terancam hilang (Pulau Nipah di Kepulauan Riau); pelaksanaan pemetaan, survei delineasi, demarkasi, dan densikasi serta investigasi, rekonstruksi dan pemeliharaan batas darat; tersusunnya konsep rencana tata ruang wilayah perbatasan negara. Komitmen pemerintah melalui produk hukum ini pada kenyataannya belum dapat menghasilkan capaian sebagaimana mestinya karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya. Sebagian besar kawasan perbatasan di Indonesia masih merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan di masa lalu, bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Akibatnya kawasan perbatasan di beberapa daerah menjadi daerah yang tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan masyarakatnya menjadi miskin. Sehingga, secara ekonomi wilayah ini lebih berorientasi kepada negara tetangga. Misalnya, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan di koridor perbatasannya

94

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Dengan berlakunya perdagangan bebas internasional dan kesepakatan serta kerjasama ekonomi, regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di beberapa kawasan perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan kawasan tersebut. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan sub-regional Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga tidak tertinggal dari negara-negara tetangga. Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan sub-regional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya. 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan

Setiap kawasan perbatasan memiliki ciri khas masing-masing, dengan potensi yang berbeda antara satu kawasan dan kawasan lainnya. Potensi yang dimiliki oleh kawasan perbatasan yang bernilai ekonomis cukup besar adalah potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, serta perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan sekitar kawasan perbatasan. Sebagian besar dari potensi sumberdaya alam tersebut belum dikelola, dan sebagian lagi merupakan kawasan konservasi atau hutan lindung yang memiliki nilai sebagai world heritage yang perlu daga dan dilindungi. a. Kawasan Perbatasan Darat

Kawasan perbatasan darat Indonesia berada di 3 (tiga) pulau, yaitu Pulau Kalimantan, Papua, dan Pulau Timor, serta tersebar di 4 (empat) provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan NTT. Setiap kawasan perbatasan memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain. Kawasan perbatasan di Kalimantan berbatasan dengan Negara Malaysia yang masyarakatnya lebih sejahtera. Kawasan perbatasan di Papua masyarakatnya relatif setara dengan masyarakat

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

95

PNG, sementara dengan Timor Leste kawasan perbatasan Indonesia masih relatif lebih baik dari segi infrastruktur maupun tingkat kesejahteraan masyarakatnya. 1) Kawasan Perbatasan Darat di Kalimantan Pulau Kalimantan memiliki kawasan perbatasan dengan Malaysia di 8 (delapan) kabupaten yang berada di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Wilayah Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan wilayah Sarawak sepanjang 847,3 yang melintasi 98 desa dalam 14 kecamatan di 5 kabupaten, yaitu Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Kabupaten Bengkayang. Wilayah Kalimantan Timur berbatasan langsung dengan wilayah Sabah sepanjang 1.035 kilometer yang melintasi 256 desa dalam 9 kecamatan dan 3 kabupaten yaitu di Nunukan, Kutai Barat, dan Kabupaten Malinau. Dari kelima kabupaten di Kalimantan Barat dan tiga kabupaten di Kalimantan Timur, hanya terdapat 3 (tiga) pintu perbatasan (border gate) resmi, yaitu di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang di Kalimantan Barat, serta Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur. Kabupaten Sanggau dan Nunukan memiliki fasilitas Custom, Imigration, Quarantine, and Security (CIQS) dengan kondisi yang relatif baik, sedangkan fasilitas CIQS di tempat lainnya masih sederhana serta belum didukung oleh aksesibilitas yang baik karena kondisi jalan yang buruk. Kawasan perbatasan daerah lain seperti di Kabupaten Sintang, Sambas, Kapuas Hulu, Malinau dan Kutai Barat masih belum memiliki pintu perbatasan resmi dan masih dalam tahap pembangunan. Sesuai kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo, sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara bertahap di beberapa kawasan perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Sambas, Sintang dan Bengkayang. Namun demikian, masyarakat di sekitar perbatasan sudah menggunakan pintu-pintu perbatasan tidak resmi sejak lama sebagai jalur hubungan tradisional dalam rangka kekeluargaan atau kekerabatan. Pos-pos keamanan dan pertahanan yang tersedia di sepanjang jalur tradisional tersebut

96

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

masih sangat terbatas, demikian pula dengan kegiatan patroli keamanan yang masih menghadapi kendala berupa minimnya sarana dan prasarana transportasi. Potensi sumberdaya alam kawasan perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung, dan danau alam yang dapat dikembangkan menjadi daerah wisata alam (ekowisata) serta sumberdaya laut yang ada di sepanjang perbatasan laut Kalimantan Timur maupun Kalimantan Barat. Beberapa sumberdaya alam tersebut saat ini berstatus taman nasional dan hutan lindung yang perlu daga kelestariannya seperti Cagar Alam Gunung Nyiut, Taman Nasional Bentuang Kerimun, Suaka Margasatwa Danau Sentarum di Kalimantan Barat, serta Taman Nasional Kayan Mentarang di Kalimantan Timur. Saat ini beberapa areal hutan tertentu yang telah dikonversi tersebut berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta nasional bekerjasama dengan perkebunan Malaysia. Seiring dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di kawasan tersebut, maka berbagai kegiatan ilegal telah terjadi seperti pencurian kayu atau penebangan kayu liar (illegal logging) yang dilakukan oleh oknum-oknum di negara tetangga bekerjasama dengan masyarakat Indonesia. Kegiatan penebangan kayu secara liar oleh orang-orang Indonesia ini dipicu oleh kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar perbatasan, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di kawasan tersebut. 2) Kawasan Perbatasan di Papua Sebelum mengalami pemekaran kabupaten, kawasan perbatasan di Papua terletak di 4 (empat) kabupaten yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawaya, dan Kabupaten Merauke. Setelah adanya pemekaran wilayah kabupaten, maka kawasan perbatasan di Papua terletak di 5 (lima) wilayah kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Merauke, serta 23 (dua puluh tiga) wilayah kecamatan

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

97

(distrik). Dari kelima kabupaten tersebut, Kabupaten Keerom, Pegunungan Bintang dan Boven Digoel merupakan kabupaten baru hasil pemekaran. Garis perbatasan darat antara Indonesia dan PNG di Papua memanjang sekitar 760 kilometer dari Skouw, Jayapura di sebelah utara sampai muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Garis batas ini ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada tanggal 16 Mei 1895. Jumlah pilar batas di kawasan perbatasan Papua hingga saat ini masih sangat terbatas, yaitu hanya 52 buah. Jumlah pilar batas ini tentu sangat tidak memadai untuk suatu kawasan perbatasan yang sering dadikan tempat persembunyian dan penyeberangan secara gelap oleh kelompok separatis kedua negara. Kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidaktahuan masyarakat di sekitar perbatasan terhadap garis batas yang memisahkan kedua negara, bahkan diantara penduduk tersebut banyak yang belum memiliki tanda pengenal atau identitas diri seperti kartu tanda penduduk atau tanda pengenal lainnya. Pintu atau pos perbatasan di kawasan perbatasan Papua terdapat di Distrik Muara Tami Kota Jayapura dan di Distrik Sota Kabupaten Merauke. Kondisi pintu perbatasan di Kota Jayapura masih belum dimanfaatkan secara optimal sebagaimana pintu perbatasan di Sanggau dan Nunukan, karena fasilitas CIQS-nya belum lengkap tersedia. Pada umumnya aktitas pelintas batas masih berupa pelintas batas tradisional seperti yang dilakukan oleh kerabat dekat atau saudara dari Papua ke PNG dan sebaliknya, sedangkan kegiatan ekonomi seperti perdagangan komoditas antara kedua negara melalui pintu batas di Jayapura masih sangat terbatas pada perdagangan barang-barang kebutuhan sehari-hari dan alat-alat rumah tangga yang tersedia di Jayapura. Kegiatan pelintas batas di pintu perbatasan di Marauke relatif lebih terbatas dibanding dengan Jayapura, dengan kegiatan utama arus lintas batas masyarakat kedua negara dalam rangka kunjungan keluarga dan perdagangan tradisional. Kegiatan perdagangan yang relatif lebih besar justru terjadi dipintu-pintu masuk tidak resmi yang

98

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

menghubungkan masyarakat kedua negara secara ilegal tanpa adanya pos lintas batas atau pos keamanan resmi. Kawasan perbatasan Papua memiliki sumberdaya alam yang sangat besar berupa hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman nasional yang ada di sepanjang perbatasan. Kondisi hutan yang terbentang di sepanjang perbatasan tersebut hampir seluruhnya masih belum tersentuh atau dieksploitasi kecuali di beberapa lokasi yang telah dikembangkan sebagai hutan konversi. Selain sumberdaya hutan, kawasan ini juga memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar dari sungaisungai yang mengalir di sepanjang perbatasan. Demikian pula kandungan mineral dan logam yang berada di dalam tanah yang belum dikembangkan seperti tembaga, emas, dan jenis logam lainnya yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Secara sik kondisi kawasan perbatasan di Papua bergunung dan berbukit yang sulit ditembus dengan sarana perhubungan biasa atau kendaraan roda empat. Sarana perhubungan yang memungkinkan untuk mencapai kawasan perbatasan adalah pesawat terbang perintis dan pesawat helikopter yang sewaktuwaktu digunakan oleh pejabat dan aparat pemerintah pusat dan daerah untuk mengunjungi kawasan tersebut. Sebagaimana di daerah lainnya kondisi masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan Papua sebagian besar masih miskin, tingkat kesejahteraan rendah, tertinggal serta kurang mendapat perhatian dari aparat pemerintah daerah maupun pusat. Kondisi masyarakat Papua di sepanjang perbatasan yang miskin, tertinggal dan terisolir ini tidak jauh berbeda dan relatif setara dengan masyarakat di PNG. Melalui bantuan sosial yang banyak dilakukan oleh para misionaris yang beroperasi dalam rangka pelayanan kerohanian menggunakan pesawat milik gereja, banyak masyarakat yang tertolong dan dibantu dalam pemenuhan kebutuhan sehariharinya. Fasilitas perhubungan milik misionaris ini bahkan dimanfaatkan oleh para pejabat daerah dalam melakukan kunjungan kerjanya di kawasan perbatasan.

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

99

3) Kawasan Perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) Kawasan perbatasan antarnegara dengan Timor Leste di NTT merupakan kawasan perbatasan antarnegara yang terbaru mengingat Timor Leste merupakan negara yang baru terbentuk dan sebelumnya adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Perbatasan antarnegara di NTT terletak di 3 (tiga) kabupaten yaitu Belu, Kupang, dan Timor Leste Utara (TTU). Garis batas antarnegara di NTT ini terletak di 9 (sembilan) kecamatan, yaitu 1 (satu) kecamatan di Kabupaten Kupang, 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten TTU, dan 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Belu. Pintu perbatasan di NTT terdapat di beberapa kecamatan yang berada di tiga kabupaten tersebut, namun pintu perbatasan yang relatif lengkap dan sering digunakan sebagai akses lintas batas adalah di Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Fasilitas perbatasan yang ada seperti CIQS, sudah cukup lengkap walaupun masih darurat, seperti kantor kantor bea cukai yang belum dilengkapi dengan alat detektor/scan bagi barang yang masuk dan keluar NTT, kantor imigrasi yang masih sangat sederhana, karantina hewan dan tumbuhan, serta pos keamanan yang juga masih sederhana. Kondisi masyarakat di sepanjang perbatasan umumnya miskin dengan tingkat kesejahteraan yang rendah dan tinggal di wilayah terisolir. Sumber mata pencaharian utama masyarakat di kawasan perbatasan adalah kegiatan pertanian lahan kering yang sangat tergantung pada hujan. Kondisi masyarakat di wilayah Indonesia ini saat ini pada umumnya bahkan masih relatif lebih baik dari masyarakat Timor Leste yang tinggal di sekitar perbatasan. Dengan demikian, kawasan perbatasan di NTT khususnya di lima kecamatan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste maupun daerah NTT secara keseluruhan perlu diperhatikan secara khusus karena dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan yang cukup tajam antara masyarakat NTT di perbatasan dengan masyarakat Timor Leste, khususnya penduduk Belu yang sebagian besar masih miskin.

100

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

b.

Kawasan Perbatasan Laut

Kawasan perbatasan laut Indonesia meliputi Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Batas Landas Kontinen (BLK), Batas Zona Tambahan (BZT), dan Batas Zona Perikanan Khusus (Special Fisheries Zone/SFZ). Ketiga garis batas laut pertama ditentukan lebarnya oleh keberadaan pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan yang diperlukan untuk penentuan titik dasar/garis pangkal kepulauan. Oleh karena itu, keberadaan pulau-pulau terluar, yang jumlahnya paling sedikit 92 pulau yang tersebar di 17 Provinsi mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sampai Papua, sangat strategis. Pulau-pulau kecil terluar tersebut berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu dengan India (3 pulau), Malaysia (22 pulau), Singapura (5 pulau), Malaysia dan Vietnam (1 pulau), India dan Thailand (1 pulau), Filipina (11 pulau), Vietnam (2 pulau), Australia (24 pulau), Palau (8 pulau), dan Timor Leste (6 pulau), sementara 9 pulau lainnya berbatasan langsung dengan laut lepas. Potensi pulau-pulau terluar di perbatasan laut cukup besar dan bernilai ekonomi dan lingkungan yang tinggi. Beberapa pulau di Kepulauan Riau misalnya, dapat dikembangkan sebagai kawasan konservasi penyu dan kawasan wisata bahari karena kondisi alamnya yang indah. Selain itu, cukup banyak pula pulau yang memiliki potensi perikanan sehingga dapat dikembangkan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, tidak seluruh pulau dapat dikembangkan karena kondisi alam yang tidak memungkinkan. Dari keseluruhan pulau-pulau terluar yang ada, hanya 33 pulau yang dihuni oleh manusia. Pulau-pulau yang tidak dapat dihuni pada umumnya berupa pulau berbatu atau pulau karang dengan luasan yang kecil sehingga sulit untuk didarati oleh kapal. Karena jauhnya keterjangkauan dari pulau utama, pulau-pulau kecil terluar ini berpotensi bagi sarang perompak dan berbagai kegiatan ilegal. Disamping itu, sebagai kawasan perbatasan, sebagian besar pulau kecil terluar belum memiliki garis batas laut yang jelas dengan negara lain serta rawan terhadap ancaman sosial budaya, pertahanan, dan keamanan.

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

101

Diindikasikan pula, terjadi penurunan kualitas lingkungan dan sumber daya alam akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali seperti penambangan pasir maupun degradasi lingkungan secara alamiah (abrasi) serta belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan terancamnya keberadaan dan fungsi pulau-pulau kecil terluar. Tidak berkembangnya pulau-pulau terluar di perbatasan Indonesia, dapat menyebabkan lunturnya wawasan kebangsaan dan nasionalisme masyarakat setempat, terancamnya kedaulatan negara karena hilangnya garis batas negara akibat abrasi atau pengerukan pasir laut, terjadinya penyelundupan barang-barang ilegal, pencurian ikan oleh nelayan asing, adanya imigran gelap dan pelarian dari negara tetangga, hingga ancaman okupasi oleh negara asing. Dari keseluruhan pulau-pulau kecil terluar yang ada, terdapat 13 pulau terluar yang diprioritaskan penanganannya oleh pemerintah, karena memiliki arti strategis bagi pembangunan baik di bidang ekonomi, konservasi maupun pertahanan dan keamanan. Pulaupulau tersebut tersebar di delapan provinsi, yaitu NAD, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Papua, NTT, dan Maluku Tenggara. Menurut Departemen Pertahanan dan Keamanan daftar pulau-pulau terluar yang diprioritaskan pengembangannya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pulau-Pulau Terluar Prioritas
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Nama Pulau P. Rondo P. Berhala P. Nipah P. Sekatung Kepulauan Anambas P. Sebatik P. Marore P. Miangas P. Fani P. Fanildo P. Asubutun P. Batek P. Wetar Kabupaten/ Kota Sabang Deli Serdang Batam Natuna Natuna Nunukan Sangihe Talaud Sorong Biak MTB Kupang MTB Provinsi NAD Sumatera Utara Riau Riau Riau Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Utara Papua Papua Maluku Tenggara NTT Maluku Tenggara Negara yang berbatasan India Malaysia Singapura Vietnam Malaysia Malaysia Philipina Philipina Palau Palau Australia Timor-Timur Timor-Timur

102

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Secara spesik, setiap pulau-pulau kecil terluar tersebut memiliki permasalahan yang khas, bergantung kepada kondisi geogras dan keterkaitan dengan pulau utamanya, serta pengaruh dari negara tetangga yang berbatasan langsung dengannya. Pulau-pulau yang berbatasan dengan Negara Malaysia, Singapura, dan Filipina kondisi sosial ekonominya lebih baik karena pengaruh dari negara tetangga. Selain itu, terdapat pula pulau-pulau di kawasan perbatasan yang rendah ancaman ipolekesosbudnya, seperti pulau-pulau di perbatasan India, Vietnam, dan Palau. Namun demikian pengembangan pulaupulau yang rendah potensi sengketanya tersebut tetap signikan untuk mengurangi berbagai kegiatan ilegal dan untuk mempertegas titik-titik yang menjadi acuan bagi penetapan batas-batas wilayah negara. Dari 92 pulau-pulau terluar yang berada di kawasan perbatasan laut, hanya beberapa pulau saja yang memiliki fasilitas perbatasan CIQS. Beberapa pulau tersebut antara lain Pulau Miangas di Kabupaten Talaud dan Pulau Marore di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang berdekatan dengan wilayah Filipina Selatan. Pos penjagaan perbatasan yang ada di pulau ini hanya berupa pos lintas batas beserta kantor imigrasi, sedangkan kantor bea dan cukai serta karantina belum dibangun. Kondisi masyarakat yang umumnya nelayan dan pedagang relatif miskin harus mengeluarkan biaya hidup yang cukup tinggi. Kebutuhan pangan dan sandang kedua kepulauan ini banyak disediakan dari Manado dengan biaya transport yang tinggi. Uang yang beredar di pasaran setempat adalah campuran antara mata uang Filipina (peso) dan Indonesia (rupiah). Kondisi sosial ekonomi masyarakat di kedua pulau ini cukup berbeda dengan kondisi masyarakat Filipina Selatan yang sedikit lebih baik dari pada penduduk kedua pulau ini. Ancaman yang dihadapi oleh kedua pulau perbatasan terpencil ini adalah menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat akibat minimnya infrastruktur sosial ekonomi serta menurunnya rasa cinta tanah air dan bela negara karena kurangnya informasi dan komunikasi. Sebagaimana halnya dengan Sulawesi Utara, kawasan perbatasan laut di Riau merupakan pulau-pulau kecil. Pintu masuk lintas batas antara Indonesia Singapura dan Indonesia Malaysia hanyalah

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

103

di Pulau Batam, sedangkan pulau lainnya hanya memiliki patok batas antarnegara yang dadikan sebagai titik koordinat perbatasan. Ancaman yang dihadapi saat ini adalah keberadaan pulau-pulau tersebut berpotensi hilang karena penambangan pasir yang hampir menenggelamkan pulau-pulau tersebut. Apabila pulau-pulau kecil ini hilang maka permasalahan yang lebih besar akan muncul adalah terancamnya garis batas dan kaburnya titik koordinat ketiga negara (Indonesia, Singapura dan Malaysia). Permasalahan lain adalah dadikannya pulau-pulau ini sebagai sarang perompak kapal, basis penyelundupan barang perdagangan ilegal, penyelundupan manusia untuk tenaga kerja ilegal di Malaysia dan Singapura. Penanganan kawasan perbatasan antarnegara, baik perbatasan darat maupun perbatasan laut, selama ini belum diatur dan diarahkan melalui kebakan dan strategi pengembangan kawasan perbatasan yang bersifat nasional dan menyeluruh. Penanganan beberapa kasus atau masalah antara kedua negara yang terjadi selama ini dilakukan melalui pembicaraan bilateral oleh instansi terkait, seperti melalui Departemen Luar Negeri atau lembaga-lembaga yang bersifat sementara (temporer). Namun untuk pengembangan kawasan perbatasan yang melibatkan semua stakeholders (pemerintah daerah, masyarakat serta dunia usaha), masih belum terkoordinasi. Upaya kearah penyusunan kebakan dan strategi pengembangan kawasan perbatasan bukanlah belum pernah dilakukan, sebab paling tidak sudah ada beberapa instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang telah mengupayakan penyusunan kebakan dan strategi pengembangan kawasan perbatasan melalui rapat-rapat koordinasi maupun kajian atau studi. Namun hingga kini upaya tersebut belum menghasilkan suatu dokumen legal yang dapat dadikan sebagai acuan bagi pengembangan perbatasan. Sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, Pemerintah daerah memiliki peran dan tanggung jawab semakin besar dalam pembangunan wilayah perbatasan antar negara. Sementara kendala dan tantangan penanganan wilayah perbatasan sangat besar, akan sangat berat jika beban tanggung jawab sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu

104

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

perlu ada sinkronisasi dan sinergitas dalam penanganan wilayah perbatasan ini, baik lintas daerah maupun antara pusat dan daerah. 3. Pilihan Kebakan

Visi dan misi pengembangan kawasan perbatasan yang disusun, didasarkan pada faktor-faktor lingkungan dominan yang strategis dan diperkirakan akan mempengaruhi perkembangan kawasan perbatasan dimasa yang akan datang. Visi ini merupakan pandangan ke depan, yang diharapkan mampu mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang tercipta akibat adanya perubahan internal, regional dan global. Beberapa hal tersebut antara lain adalah: Pertama, Mengembangkan konsep pembangunan wilayah perbatasan dengan mengedepankan penjagaan atas kedaulatan dan keutuhan NKRI serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan dengan mendukung kelancaran pergerakan orang dan barang secara legal antar negara; Kedua, Memposisikan wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara, dengan konsep pembangunan yang mengedepankan prosperity approach disamping security approach dan kemudian dilaksanakan secara terpadu (integrated development): lintas sektor, lintas daerah, lintas strata pemerintahan, dan lintas negara. Serta dengan melakukan penetapan konsentrasi wilayah pembangunan (Area Focus) dan program pembangunan berbasis kearifan lokal; Ketiga, Mengupayakan percepatan pembangunan infrastruktur dan penataan administrasi kependudukan yang lebih baik; Keempat, Penanganan Garis Batas dengan mengupayakan percepatan penyelesaian permasalahan titik batas, Pembangunan Toponimi dan Penataan pos-pos lintas batas; Kelima, Penguatan Wawasan Kebangsaan dengan pembinaan ideologi dan cinta tanah air dengan pengembangan sistem kewaspadaan dini masyarakat, penguatan pemahaman sejarah bangsa dan nilai kejuangan pahlawan, membangun aliansi strategis diantara seluruh komponen bangsa, serta peningkatan pemahanan mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara dan;

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

105

Keenam, Menjaga Kelestarian lingkungan dengan peningkatan program reboisasi dan penertiban HPH serta penyuluhan pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. F. 1. REFORMASI BIROKRASI Latar Belakang

Globalisasi dan liberalisasi perdagangan yang mendorong terjadinya persaingan internasional pada dekade 80-an telah menuntut diberlakukannnya prinsip-prinsip administrasi modern yang menekankan esiensi dan efektivitas pada setiap penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat nasional. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pemerintah sebagai aktor penting yang menjalankan fungsi regulasi, pembuat kebakan makro, pemberian perlindungan, serta perancang kebakan yang lain perlu mendorong agar seluruh institusinya bekerja secara optimal melalui kerangka penegakan good governance. Penegakan Good governance yang mensyaratkan bekerjanya elemen transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi perlu didukung oleh kemampuan untuk merencanakan, memformulasikan, serta melaksanakan kebakan. Disinilah peran pegawai negeri menjadi penting, karena sebagai kepanjangan tangan pemerintah mereka melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. Mengingat peran penting pegawai negeri dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan, upaya penataan pegawai negeri termasuk peningkatan kemampuan dan kapasitas agar dapat bekerja secara efektif dan esien selalu menjadi bagian penting dalam upaya reformasi birokrasi yang lebih luas. Pembahasan tentang penataan kepegawaian sebagai bagian dari reformasi birokrasi secara keseluruhan tidak terlepas dari perumusan dasar-dasar kebakan tentang kepegawaian Negara yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang perubahan UU No.8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. UU Pokok-Pokok Kepegawaian pada dasarnya berisi kebakan dasar tentang manajemen sistem kepegawaian di Indonesia. Manajemen kepegawaian sipil merupakan keseluruhan upaya-upaya untuk me-

106

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

ningkatkan esiensi, efektivitas, dan derajat profesionalisme penyelenggaraan, tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. UndangUndang ini menjadi acuan bagi seluruh peraturan tentang pegawai negeri baik pegawai negeri sipil, anggota TNI, maupun anggota POLRI. Perubahan UU No.8 Tahun 1974 kedalam UU No.43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian selain mengatur elemen-elemen penting yang terkait seperti pelaksanaan manajemen kepegawaian juga menjadi isyarat adanya keinginan untuk melakukan perubahan pengelolaan sistem kepegawaian. Bab ini menyoroti beberapa isu penting terkait dengan reformasi birokrasi yang secara khusus memberikan perhatian terhadap penataan kepegawaian. Pertama membahas upaya untuk membangun netralitas birokrasi, yaitu menjadikan birokrasi sebagai institusi yang netral secara politik. Kedua, berkaitan dengan upaya membangun kapasitas pegawai yang bekerja secara efesien dan efektif melalui pelatihan, perbaikan sistem penggajian, penataan lembaga dan penataan sistem karir. 2. a. Kondisi Aktual dan Permasalahan Netralitas Birokrasi.

Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang menjadi dasar penataan pegawai terutama ditujukan untuk menciptakan aparatur negara yang profesional, netral dari kegiatan dan pengaruh politik, berwawasan global, mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, serta memiliki tingkat kesejahteraan material dan spiritual. Dalam undang-undang tersebut juga terdapat pengaturan yang tegas dalam hal netralitas pegawai negeri, pemisahan yang jelas antara jabatan karir dan jabatan politis serta pembentukan lembaga pembuat kebakan di bidang kepegawaian yang independen. Netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem dimana pelayanan yang diberikan berdasarkan profesionalisme dan bukan karena kepentingan politik. Jadi pelayanan yang diberikan oleh PNS tidak membedakan unsur ras, agama dan golongan tertentu terhadap

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

107

siapapun yang dilayani. Hal ini untuk mencegah fragmentasi politik dalam tubuh PNS. Untuk menegakkan prinsip tersebut, pemerintah mengeluarkan PP No 6 Tahun 1970 yang berisi pelarangan pegawai negeri menjadi anggota dan aktif di dalam partai politik, serta keharusan memiliki monoloyalitas kepada pemerintah. Pasal 3 UU No. 43 Tahun 1999 menyatakan bahwa pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Pegawai negeri memang masih memiliki hak pilih di dalam pemilu. Meskipun demikian, mereka dilarang menggunakan simbol-simbol dan fasilitas-fasilitas pegawai negeri manakala hendak menggunakan hak pilihnya itu. Sebagai contoh Pegawai negeri, dilarang ikut kampanye partai politik ketika masih memakai atribut pegawai negeri. Di samping itu, PNS tidak dibenarkan terlibat atau aktif dalam partai politik. PNS yang menjadi anggota atau pengurus partai politik harus berhenti sebagai PNS. Demikian pula ketika hendak mencalonkan diri di dalam memperebutkan jabatan politik seperti di dalam pemilihan gubernur, bupati/wali kota, pegawai negeri itu harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatan struktural yang dimilikinya. Undang-Undang yang sama juga menguatkan netralitas pegawai negeri melalui kebakan mengenai perlunya suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karir baik mengenai tata cara rekrutmennya maupun kedudukan, tugas, wewenang, fungsi, dan pembinaannya. Secara teoritis terdapat kerawanan ketika birokrasi terlibat di dalam politik. Pertama, munculnya intervensi politik di dalam penempatan jabatan-jabatan di dalam birokrasi. Kedua, keterlibatan birokrat di dalam politik dikhawatirkan memunculkan penyalahgunaan atas sumber-sumber keuangan dan fasilitas-fasilitas publik. Ketiga, keterlibatan birokrasi di dalam politik juga dikhawatirkan dapat menjadi pendorong terjadinya pemihakan-pemihakan kepada kelompokkelompok yang sealiran politik dengan para birokrat itu. Hal ini dapat mereduksi posisi birokrasi sebagai lembaga publik menjadi lembaga yang lebih menguntungkan sebagian kelompok masyarakat saja.

108

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Dengan demikian ketentuan yang mengatur netralitas birokrasi dimaksudkan agar manajemen dan pembinaan kepegawaian bebas dari pengaruh partai politik. Ketentuan ini sekali lagi menekankan orientasi fungsi PNS yang diarahkan bagi pemberian pelayanan kepada masyarakat secara optimal. b. Kualitas Pelayanan

Di samping netralitas birokrasi, masalah lain yang perlu memperoleh perhatian adalah kualitas pelayanan yang diberikan kepada publik. Pandangan umum yang sering berlaku adalah bahwa pelayanan yang diberikan oleh birokrasi tidak esien. Karena itulah, dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Upaya yang pertama adalah dengan menggunakan pendekatan New Public Management (NPM) yang menekankan esiensi. Ketidakpuasan masyarakat dalam mengapresiasi kehidupan sosial politik serta pelayanan yang diberikan, kuncinya, terletak pada kekecewaan terhadap kinerja pemerintah yang belum bertumpu pada ekspektasi atau harapan masyarakat. Hal ini terkait dengan kemampuan teknis institusi pemerintah yang sangat dibebani rigiditas kinerja, berorientasi pada pendekatan birokratik legalistik, dan dilakukan melalui pengaturan struktur organisasi yang mekanistis. Pendekatan ini di masa lampau memang dianggap paling sesuai untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah, sebab sistem dan organisasi publik bergerak tidak terlalu cepat untuk menjaga kestabilan. Pada saat sekarang, pendekatan semacam itu ternyata justru menghasilkan kinerja yang tidak eksibel dalam menghadapi tuntutan-tuntutan masyarakat yang selalu berkembang. Disamping itu, kebakan-kebakan progresif yang pada awalnya menjanjikan perubahan seperti penghapusan KKN, pembenahan aparat hukum, maupun peningkatan pelayanan publik ternyata belum dapat diikuti dengan langkah lanjutan yang memadai. Agenda-agenda ini memang belum terlalu fokus dan tidak disertai dengan energi yang cukup untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Selain persoalan kemampuan dan kemauan untuk melakukan perubahan, tantangan terbesar dalam mengubah sikap birokrat ini adalah kerelaan birokrasi pemerintah untuk berada di bawah

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

109

kehendak dan kepentingan masyarakat. Resiko untuk tersingkir dari jabatan setiap saat jika tidak perform harus diterima sebagai sebuah konsekuensi rasional. Sebab dalam mekanisme ini evaluasi dan penilaian yang jelas dan terukur akan secara jelas pula menunjukkan kemampuan dan ketidakmampuan suatu institusi atau pemerintahan secara umum. Untuk mengatasi persoalan di atas sebenarnya konsep enterpreneural government sebagai paradigma baru dalam pelaksanaan fungsi pegawai pemerintah telah lama diperkenalkan. Konsep tersebut pada intinya memperkenalkan suatu transformasi mendasar dari sistem dan organisasi publik kearah sistem dan organisasi wirausaha (enterpreneural system) yaitu meningkatkan orientasi terhadap pelanggan atau customer driven dengan meningkatkan pelayanan. Dalam pengertian ini masyarakat sebagai penerima layanan diperlakukan sebagai pelanggan atau customer dan pelayanan terhadap masyarakat yang diberikan oleh pemerintah adalah sebaik pelayanan yang diberikan oleh pihak swasta. Terlebih dengan adanya globalisasi yang meningkatkan persaingan antar negara dalam memperebutkan pasar maka customer guest focussed dan service oriented menjadi suatu keharusan. Ini memerlukan perbaikan kinerja birokrat tradisional ke arah pemberian pelayanan yang lebih responsive dan berkualitas. Transformasi ini menuntut esiensi, adaptasi, dan inovasi pemerintah. Jadi, badan-badan yang memberikan pelayanan publik harus memandang masyarakat sebagai pelanggan yang berhak memperoleh pelayanan terbaik sesuai dengan kebutuhannya. Bukankah pelayanan yang diberikan juga tidak gratis? Selain membayar iuran bulanan untuk beberapa jenis pelayanan yang diterima, mereka juga membayar pajak. Dalam lingkungan yang mirip pasar ini (marketlike environment), mula-mula diperlukan perubahan kinerja sistem organisasi publik yang mengharuskan lembaga-lembaga publik menguji kembali kinerja dan hubungan mereka dengan pelanggan (governing system) dan memperbaiki sistim administrasi agar dapat memberdayakan organisasi dan institusi pemerintah (organizational empowerment). Dalam hal ini perubahan paradigma diperlukan untuk mengubah fungsi PNS dari implementor menjadi fasilitator dan penyedia layanan masyarakat dengan segala konsekuensinya.

110

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Artinya, menjadi PNS merupakan suatu pilihan profesi dan tidak lagi semata-mata dilihat sekedar sebagai sebuah mata pencaharian. Sampai saat ini, melalui kebakan yang dikeluarkan pemerintah telah menekankan pentingnya kualitas dan fokus pada pelayanan. Akan tetapi masih harus diperinci pelayanan seperti apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena fungsinya sebagai fasilitator, pendorong, dan regulator perlu digunakan secara maksimal.. Faktor lain yang juga penting adalah pemberdayaan masyarakat sebagai konsumen, antara lain dengan menawarkan berbagai pilihan pada masyarakat dalam memperoleh pelayanan. Monopoli pelayanan yang ada selama ini hanya mengakibatkan ketidakberdayaan publik untuk selalu menerima bentuk pelayanan dengan kualitas apapun karena tidak mempunyai pilihan. Ini artinya harus dibuka peluang bagi pihak swasta untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan jasa pelayanan publik agar terbangun suasana kompetisi yang sehat sehingga sebagian tugas-tugas pemerintah diserahkan kepada swasta. Masyarakat juga memerlukan kesadaran dan kemampuan untuk melakukan gugatan dan penolakan jika yang menjadi hak-haknya dilanggar. Oleh sebab itu, perlu didorong keberadaan semacam lembaga yang menangani komplain masyarakat atas pelayanan publik yang buruk. Gagasan yang dapat dikembangkan adalah adanya lembaga-lembaga khusus yang menampung dan menyuarakan keluhan masyarakat karena pelayanan yang buruk seperti administrative tribunal maupun public inquiries. Pada administrative tribunal masyarakat bisa membuat pengaduan bilamana dirugikan oleh pegawai atau aparat pemerintah, misalnya yang menyangkut tunjangan pensiun, perumahan, dan pelayanan keimigrasian. Public inquiries adalah semacam forum bagi public hearing yang digunakan untuk menyatakan keberatan masyarakat jika terdapat kebakan pemerintah atau pembangunan yang mengganggu kepentingan publik. Model lain yang dapat dipakai untuk mengembangkan kualitas pelayanan adalah participative governent, yang mementingkan pelibatan semua pihak yang ada di dalam birokrasi. Model ini dipengaruhi oleh pandangan communitarian atau tentang kebersamaan, karena itu street-level bureauctracy atau birokrasi tingkatan operasional,

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

111

dipandang memiliki peran yang sangat penting. Di dalam penataan organisasi, model ini memberi resep penataan organisasi secara datar dan Total Quality Manajement (TGM). Semua ini dimaksudkan agar semua pihak bisa bekerja bersama-sama. Proses pembuatan keputusan, misalnya, didasarkan pada konsultasi dan keterlibatan semua pihak. Dengan demikian, tidak hanya para birokrat di tingkat operasional saja yang dilibatkan, melainkan juga pihak-pihak yang terkena langsung oleh kebakan-kebakan itu. Selain itu, jika elemen eksibilitas yang akan dikembangkan maka model exible government menjadi pilihan yang dapat digunakan. Dalam model ini struktur organisasi, contohnya, disusun berdasarkan realitas yang benar-benar dibutuhkan dengan menekankan koordinasi dan biaya rendah di dalam memberikan pelayanan kepada publik. Yang terakhir adalah model deregulated government. Di dalam model ini, terdapat pandangan bahwa permasalahan pokok dari birokrasi adalah karena banyaknya aturan. Munculnya red tape, pengurusan yang berbelit-belit, merupakan konsekuensi dari adanya aturan yang beragam itu. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian utama dari model ini adalah perlunya penyederhanaan aturan atau deregulasi. Meskipun demikian, model ini tidak menawarkan adanya struktur tertentu di dalam membenahi birokrasi, karena yang terpenting adalah bahwa birokrasi itu dikelola secara bebas, berdasarkan adanya keterpaduan antara manajemen gaya pemerintahan dan swasta, serta prinsip kreativitas dan aktivitas ketika berhubungan dengan publik. Kalau kita cermati, pada awal-awal 1980-an sampai berakhirnya pemerintahan Orde Baru, upaya untuk memperbaiki reformasi birokrasi lebih mengarah kepada model deregulated government. Pada kurun waktu itu, konsep deregulasi dan debirokratisasi acapali dipakai sebagai resep untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang muncul pada saat itu. Hal ini dilakukan untuk mendorong bergeraknya dunia usaha. Meskipun demikian, upaya ini kurang membawa hasil yang berarti. Pasca pemerintahan Orde Baru, model market government terlihat lebih banyak dipakai. Di samping itu, pada saat yang bersamaan, Indonesia menganut kebakan desentralisasi. Melalui kebakan ini sebagian besar urusan pemerintahan ditransformasikan ke daerah.

112

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Pegawai yang sebelumnya sebagian besar merupakan pegawai pemerintah pusat, juga ditransfer ke daerah. Karena itu, pada tahun 2005 dari keseluruhan pegawai negeri yang berjumlah 3.741.495, 68,2 persen atau sebanyak 2.549.887 pegawai merupakan pegawai negeri kabupaten/kota, dan 8,2 persen atau 304.815 adalah pegawai negeri propinsi. Pegawai negeri pusat sendiri tinggal 23,7 persen atau sebanyak 886 793 (BPS 2006). Dengan kata lain, kebakan desentralisasi telah diiringi oleh perubahan-perubahan yang sangat berarti terhadap status pegawai negeri kalau dilihat dari relasi pusat dan daerah. Adanya kebakan seperti itu tidak lepas dari pandangan bahwa birokrasi akan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat manakala rentang kerja yang dilakukannya diperpendek. Birokrasi akan mengetahui lebih jelas tentang apa saja yang benarbenar dibutuhkan oleh masyarakat yang hendak dilayani di dalam sistem desentralisasi. Implementasi kebakan desentralisasi itu sendiri telah mendorong munculnya inisiatif dan kreativitas di daerah di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Contohnya, di beberapa daerah ditemukan adanya lembaga One Stop Service di dalam memberikan pelayanan perinan. Hal ini dilakukan untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat, esiensi dan efektivitas pelayanan. Melalui lembaga demikian, anggota masyarakat yang mengurus in cukup ke satu instansi saja, tidak berbelit-belit dan memakan waktu lebih lama sebagaimana sebelumnya. Meskipun demikian, argumentasi teoritis bahwa desentralisasi akan melahirkan persaingan antar daerah di dalam meningkatkan pelayanan masing-masing daerah kepada publik pada kenyataannya belum terbukti secara jelas. Di beberapa daerah memang sudah ditemukan upaya untuk memperbaiki pelayanan publik. Tetapi, di banyak daerah lainnya, kerumitan birokrasi juga masih terjadi. c. Rekrutmen Pegawai

Beberapa studi dan pengalaman negara berkembang juga menunjukkan bahwa akar dari rendahnya kualitas pelayanan publik tidak terlepas dari buruknya penyelenggaraan rekruitmen dan

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

113

seleksi. Kualitas pegawai yang rendah sebagai akibat rekrutmen dan seleksi yang tidak berdasarkan merit sistem, misalnya, diungkapkan Toha (1990) bahwa dari sekitar 3.960.000 pegawai negeri sipil di Indonesia, yang eektif hanya 60% atau sekitar 2,5 juta dengan tingkat kesejahteraan yang memprihatinkan. Rekrutmen dan seleksi yang buruk tidak dapat menjaring calon pegawai yang mempunyai motivasi kuat maupun kemampuan yang memadai, akibatnya yang didapat hanyalah calon dengan motivasi mencari jaminan kelangsungan kerja atau job security yang dapat diperolehnya jika bekerja sebagai pegawai negeri. Buruknya sistem rekrutmen dan seleksi juga berakibat pada terpilihnya calon dengan latar pendidikan formal dan pelatihan yang tidak memadai untuk mendukung posisi yang diduduki. Studi yang dilakukan oleh Stein Kristiansen dan Muhid Ramli (2006) mengungkapkan bahwa para pelamar yang diterima menjadi pegawai negeri rata-rata hanya 1-5 persen. Secara teoritis, realitas demikian seharusnya menghasilkan para pegawai negeri yang berkualitas tinggi, karena direkrut secara ketat. Tetapi, hal itu tidak menjadi kenyataan karena terdapat praktek korupsi di dalam proses rekruitmennya. Pelamar yang tidak bermutu, seharusnya tersingkir di dalam proses seleksi. Pada akhirnya, kualitas pelayanan yang diberikan menjadi rendah dan keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan publik yang esien, responsif dan akuntabel tidak terpenuhi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem kepegawaian yang menekankan rekrutmen berdasar kompetensi menjadi strategi utama dalam memperbaiki kinerja sektor publik secara keseluruhan. Sebenarnya, kebakan tentang rekrutmen dan seleksi di Indonesia telah dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam implementasinya sampai dengan awal tahun 90-an upaya-upaya penataan dibidang kepegawaian yang menyentuh proses rekrutmen dan seleksi belumlah signikan. Sementara praktik dilapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan rekrutmen dan seleksi pegawai negeri sipil di Indonesia perlu ditingkatkan karena terkadang diwarnai oleh pemberian uang, pertemanan, dan aliasi. Problem perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga belum terbebas dari masalah KKN dan mengabaikan prinsip sistem

114

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

merit. Kuatnya egoisme daerah dan masih menonjolnya hubunganhubungan persaudaraan dan aliasi, juga telah menyebabkan proses rekrutmen tidak menghasilkan pegawai negeri yang memenuhi syarat kualikasi yang baik. Bahkan kecenderungan untuk mengutamakan putra daerah dalam perekrutan PNS semakin menonjol. Suatu bahasan mengenai reformasi kepegawaian di Indonesia menyatakan bahwa berbagai langkah penataan dibidang kepegawaian tanpa disertai pembenahan secara serius dibidang rekrutmen mungkin menjelaskan mengapa reformasi kepegawaian yang sudah dilakukan selama lebih dari 30 tahun di Indonesia belum menampakkan hasil yang optimal. Merujuk pada fenomena di atas, tantangannya adalah bagaimana melakukan perbaikan kebakan rekrutmen dan seleksi sehingga kualitas pegawai negeri dapat ditingkatkan. Prinsip umum yang selalu ditegakkan dalam setiap proses rekrutmen dan seleksi adalah sistem merit. Pengertian sistem merit telah diinterpretasikan secara beragam. Salah satu penjelasan tentang sistem merit menekankan adanya kompetensi terhadap pekerjaan dan menolak patronase terkait dengan koneksi politik dan loyalitas. Jadi pada dasarnya sistem merit merupakan prinsip-prinsip yang melandasi model reformasi universal, yang berlandaskan pada equality dan quality. Artinya, peluang untuk melamar pekerjaan dibuka seluas mungkin sehingga memungkinkan semua orang dapat melamar, namun hanya yang terbaik yang terpilih dengan mengabaikan personal bias atau bias pribadi. Dalam prinsip-prinsip sistem merit yang diartikan secara luas, bahkan juga mencakup perlindungan terhadap pekerja dalam situasi khusus. Jadi, rekrutmen berdasarkan sistem merit diartikan sebagai netralitas, persamaan, keadilan, dan kompetensi. Tolok ukur utama rekrutmen dan seleksi yang berdasarkan sistem merit adalah pengangkatan calon yang memenuhi kriteria efektivitas dan esiensi dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, tanpa mengabaikan etika pegawai. Agar memenuhi prinsip dasar di atas maka persyaratan yang ditetapkan dalam rekrutmen dan seleksi biasanya cukup ketat yang meliputi persyaratan umum, keahlian, bakat, temperamen, karakter, motivasi dan moral. Selain itu, juga dirumuskan standar kompetensi pegawai, perilaku, dan tanggung

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

115

jawab moral berkaitan dengan otoritas yang dimiliki, serta posisinya sebagai pegawai yang melayani masyarakat.Ini menunjukkan bahwa pelaksanakan rekruitmen dan seleksi yang transparan, akuntabel, dan berdasarkan kompetensi diharapkan secara perlahan-lahan dapat meningkatkan kemampuan para aparat pemerintah. Hanya dengan sistem rekrutmen dan seleksi yang berdasarkan sistem merit, calon pegawai yang mempunyai kompetensi tinggi dapat diperoleh. Artinya, dengan tingkat kompetensi atau kemampuan yang tinggi, dapat terbentuk pegawai pemerintah yang independen dalam pelayanan dan mendorong keseimbangan antara tekanan politik dan pengembangan karir serta mampu menghilangkan korupsi dan nepotisme. d. Sistem Penggajian

Selain pelaksanaan rekrutmen berdasarkan sistem merit dan pemberian pelatihan, persyaratan lain untuk meningkatkan kapasitas pegawai adalah dengan memperbaiki sistem penggajian. Kebakan ini dimaksudkan untuk mengatasi paradoksi di dalam birokrasi di Indonesia. Kalau dilihat dari sisi pendidikan, birokrasi di Indonesia sudah cukup bagus. Dari tahun ke tahun, tingkat pendidikan pegawai negeri di Indonesia mengalami peningakatan yang cukup berarti. Akan tetapi meningkatnya tingkat pendidikan pegawai negeri tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan. Salah satu sebabnya adalah karena masih rendahnya gaji pegawai negeri. Argumentasi yang dipakai adalah, dengan gaji yang memadai, para pegawai negeri akan merasa terjamin kehidupannya. Kepuasan demikian akan berimplikasi pada munculnya etos kerja yang lebih baik pula. Perbaikan sistem penggajian juga diperlukan untuk menarik calon pelamar pegawai yang berkualitas. Sebab tanpa imbalan yang memadai calon pelamar yang berkualitas baik akan memilih bekerja di tempat lain (swasta) yang memberikan gaji serta imbalan yang lebih menarik. e. Pengembangan Karir

Pasal 12 ayat 2 UU No 43 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pembinaan pegawai dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan

116

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

sistem karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Dalam penjelasan Undang-Undang disebutkan bahwa pembinaan ini dimaksudkan untuk memberi peluang bagi PNS yang berprestasi untuk meningkatkan kemampuannya secara profesional dan berkompetisi secara sehat. Pernyataan ini selain menekankan prinsip netralitas yang telah dibahas sebelumnya, juga menekankan adanya prinsip profesionalisme pegawai. Dalam hal ini pegawai negeri bisa bekerja mulai dari bawah sampai memperoleh jabatan paling atas. Untuk ini pendidikan berjenjang untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pegawai menjadi sangat penting. Pada kenyataannya, tidak semua jabatan bisa mudah dipenuhi oleh pegawai negeri yang tersedia. Karena itu, di samping sistem karier yang sudah ada, perlu dibuka sistem yang lain, yakni rekrutmet di tengah jalan untuk kualikasi tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh pegawai. Kebakan seperti ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan riel tenaga yang berkualitas. Melalui PP No 41 tahun 2007 struktur organisasi perangkat daerah lebih dirampingkan sesuai dengan karakteristiknya sendiri-sendiri. Besaran organisasi di daerah, misalnya, ditentukan oleh jumlah penduduk, luas wilayah, dan APBD yang dimiliki. Tetapi, kriteria penilaiannya berbeda antara yang diberlakukan di Jawa dan di luar Jawa. Melalui perubahan seperti ini, birokrasi diharapkan akan lebih esien dan efektif. Manakala kebakan demikian dilakukan secara konsisten, struktur organisasi pemerintah daerah memang akan nampak lebih ramping. Akibat restrukturisasi itu akan terdapat banyak pegawai negeri yang tidak memiliki posisi di jabatan struktural. Untuk itu mengatasi masalah diatas, paling tidak, ada dua alternatif kebakan. Pertama, adalah kebakan untuk menawarkan pensiun dini terhadap pegawai negeri yang tidak memiliki jabatan. Kedua, adalah memperbesar jumlah jabatan-jabatan fungsional. Selama ini, jabatan fungsional sebagian besar (sekitar 80 persen) adalah guru, di susul oleh paramedis (sekitar 6 persen), dan dosen (sekitar 3,5 persen). Jabatan fungsional juga bisa dikembangkan di lingkungan pemerintah daerah. Selain itu penataan pegawai yang diarahkan pada peningkatan karir berdasarkan prinsip professionalisme dapat dilakukan dengan

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

117

memisahkan secara tegas antara pengangkatan politik atau political appointments pada berbagai jabatan negara di pemerintahan dengan jabatan profesi yang harus netral dari kegiatan politik serta jabatan lainnya. Dalam etika birokrasi pemerintahan negara, kedua jabatan ini harus dibedakan secara tegas karena memiliki kedudukan, peran, dan fungsi yang berbeda. Jabatan karier terdiri dari pejabat yang diangkat untuk menduduki jabatan tetap yang diatur dalam aturan birokrasi pemerintah sehingga hanya bisa diduduki oleh PNS. Adapun jabatan politik diartikan sebagai jabatan yang diperoleh melalui pemilihan rakyat atau memerlukan persetujuan DPR. Jabatan politik menyertakan mandat kepada para pejabatnya untuk merepresentasikan kepentingan para pemilihnya atau menjalankan mandat pemilihnya ketika mereka sudah duduk dipemerintahan. Mandat dari masyarakat ini kemudian dabarkan dalam kebakan dan program untuk kemudian dalankan oleh para birokrat karir yang profesional. Dengan demikian, dalam suatu pemerintahan, kedua format jabatan tersebut memang akan selalu ada, dengan pola rekrutmen serta tugas dan fungsi yang berbeda; yang penting adalah bahwa hubungan antara keduanya perlu diatur melalui pemisahan yang tepat. Seharusnya yang dapat diangkat oleh pejabat politik adalah posisi-posisi khusus yang diperlukan untuk membantu para pejabat politik dalam melakukan tugasnya. Orang-orang yang diangkat adalah orang-orang terdekat dan memiliki aspirasi politik yang sama dengan para pejabat yang mengangkatnya. Masa kerja untuk pembantu-pembantu khusus sama dengan masa jabatan para pejabat politik yang menjadi patronnya. Dengan demikian, ketika pejabat politik mengakhiri jabatannya maka pembantu-pembantu atau staf khusus yang diangkat juga harus berhenti. Kelompok ini berbeda dengan jabatan karir yang hanya dapat diduduki oleh PNS yang memiliki keahlian untuk jabatan-jabatan tersebut. Batas antara kedua jabatan yang saat ini masih agak kabur dapat mendorong timbulnya politisasi birokrasi dan pengabaian merit sistem. Pengaturan yang berbeda-beda antara UU No 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No 96 Tahun 2000, PP No 98 Tahun 2000 tentang siapa yang

118

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dimaksud dengan pembina kepegawaian perlu segera dibenahi untuk menjamin adanya konsistensi kebakan terkait dengan rekrutmen maupun karir pegawai. f. Komisi Kepegawaian Negara

Gagasan lain yang mengemuka dalam pembuatan UndangUndang Pokok-Pokok Kepegawaian UU No 43 Tahun 1999 adalah terkait dengan penataan lembaga. Di dalam UU tersebut, khususnya pada BAB III yang mengatur tentang manajemen PNS dikatakan bahwa untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebakan manajemen PNS dan memberikan pertimbangan tertentu dibentuk Komisi Kepegawaian Negara (KKN) yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden (pasal 13 ayat 3). Komisi kepegawaian semacam ini juga dibentuk di negaranegara lain dengan nama Civil Service Commision atau Public service Commission. Di beberapa negara komisi ini sangat berperan dalam pelaksanaan reformasi kepegawaian. Gagasan untuk membangun komisi independen yang juga diamanatkan oleh Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ternyata sampai sekarang belum terbentuk. Telaah terhadap berbagai dokumen menunjukkan bahwa kerumitan dalam pengaturan lembaga atau institusi yang berwenang dalam manajemen kepegawaian tidak bisa dilepaskan dari persoalan pengaturan kewenangan dan kesepakatan serta kesepahaman elit terhadap gagasan pengaturan lembaga. Padahal pendirian Komisi Kepegawaian Negara sebenarnya diperlukan sebagai bagian dari penataan institusi-institusi yang terkait dengan pengaturan di bidang kepegawaian. Hal ini didasarkan pada beberapa argumen. Pertama, agar manajemen kepegawaian negara ditangani oleh lembaga yang bebas dari pengaruh politik. Keberadaan lembagalembaga kunci yang berperan dalam pengelolaan kepegawaian negara saat ini berpotensi membuka peluang bagi masuknya intervensi dari luar terutama terhadap kebakan-kebakan yang dihasilkan. Kedua, penataan institusi termasuk gagasan pendirian KKN dapat dimanfaatkan untuk memperingan tugas BKN, sehingga badan ini dapat lebih terfokus pada tugas-tugas pokoknya secara lebih terarah dan strategis.

DESENTRALISASI DAN REFORMASI BIROKRASI

119

Ketiga, dengan adanya Komisi Kepegawaian Negara maka pola hubungan antara lembaga-lembaga yang terkait dengan kepegawaian negara dapat di tata ulang sehingga hubungan kerja antara lembagalembaga tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi seperti yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan. Sementara itu, upaya untuk melakukan pelayanan publik juga terus dilakukan. Reformasi birokrasi di Indonesia, masih membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai tujuannya. Angan-angan untuk memiliki birokrasi yang profesional dan mampu memberikan pelayanan publik yang lebih baik, tidak mungkin direalisasi di dalam waktu yang cepat. 3. Pilihan Kebakan

Langkah-langkah pembenahan perlu dilakukan dengan pilihan kebakan sebagai berikut Pertama, membangun kesepakatan nasional untuk menegakkan merit sistem dalam rekrutmen dan seleksi, termasuk menegakkan netralitas pegawai dan penataan kelembagaan. Kedua, membangun menajemen kepegawaian yang terintegrasi secara nasional, dengan pertimbangan bahwa PNS adalah salah satu instrumen perekat kesatuan bangsa dan kinerja PNS merupakan totalitas kinerja pemerintah secara nasional. Dalam hal ini, peran dan kewenangan pemerintah untuk menata dan mengelola kepegawaian negara harus diberi porsi yang besar, seperti rekruitmen, penempatan, tour of duty dan keputusan pengangkatan pejabat struktural tertinggi di daerah tetap perlu persetujuan Pusat. Sedangkan pemerintah daerah lebih tepat diberikan peran untuk pemanfaatan dan pengembangan karier pegawai pada lingkup pemerintahannya masing-masing. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan ego kedaerahan dalam pengelolaan kepegawaian yang sekaligus untuk menghindari terkotak-kotaknya PNS dalam lingkup kedaerahan ataupun lingkup instansional/sektoral. Ketiga, menghentikan kebakan yang dapat menimbulkan dampak pembunuhan karakter bagi para pegawai secara individual ataupun kelompok, yaitu sikap dan penilaian yang menggeneralisir

120

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

seluruh pegawai atas hal-hal negatif yang terjadi dilingkungan kepegawaian. Untuk itu perlu diberikan kepastian hukum dan menjamin hak pegawai secara profesional melalui sistem reward and punishment, termasuk kesempatan berkarir. Keempat, meningkatkan kesejahteraan pegawai dan memberikan kehidupan yang layak dengan memperbaiki sistem penggajian dan pemberian imbalan lain secara memadai serta adil. Dalam pengertian tidak membedakan sistem penggajian antar instansi atau lembaga dan mencakup semua golongan pegawai. Perbaikan kesejahteraan pegawai tidak hanya diperlukan untuk meningkatkan kinerja dan loyalitas pegawai tetapi juga untuk menghindarkan praktek-praktek penyimpangan keuangan termasuk kolaborasi dengan pihak luar yang semata-mata dimaksudkan untuk memperoleh tambahan pendapatan akibat gaji yang tidak mencukupi. Dengan tingkat kesejahteraan yang damin oleh negara pegawai dapat memfokuskan perhatiannya pada pelayanan masyarakat dan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini pada akhirnya juga akan meningkatkan kewibawaan dan martabat pegawai di mata masyarakat . Kelima, menata manajemen pemerintahan yang lebih profesional, esien dan berdayaguna. Hal ini diperlukan agar seluruh usaha dan kegiatan dilakukan beserta biaya yang dikeluarkan dapat mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang ditetapkan secara efektif dan esien. Keenam, dilakukan penataan struktur kelembagaan untuk menghindari tumpang tindih diantara berbagai instansi atau unit kerja. Selain itu juga diperlukan penataan tugas fungsi yang dibebankan pada masing-masing unit kerja agar tidak terjadi tarik menarik kepentingkan melainkan tercipta sinergitas diantara seluruh instansi pemerintah. Ketujuh, mendorong pendirian Komisi Kepegawaian Negara.

Bab V PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

1.

LATAR BELAKANG

ebagai negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat atau pemerintah nasional, yang berimplikasi pula bahwa pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, bertumpu pada kondisi dan kekhususan daerah (kearifan lokal), pembangunan daerah diselenggarakan selaras dan sinergis dengan kebakan dan tujuan pembangunan nasional. Keselarasan dan sinergitas pembangunan daerah dan pembangunan nasional sangat penting dilakukan agar tujuan dan sasaran pembangunan menjadi lebih terarah, optimal dan berdaya guna. Sejalan dengan cita-cita nasional yaitu untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, tujuan pembangunan yang diselenggarakan adalah untuk memberikan pelayanan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Demikian halnya dengan pembangunan daerah, tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di daerahnya yang sangat tergantung pada kondisi dan perkembangan perekonomian di daerah tersebut. Semakin maju perekonomian di suatu daerah, semakin besar pula peluang masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pada saat ini sejalan dengan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, peluang dan peran daerah untuk mengembangkan perekonomiannya semakin terbuka, karena berbagai kewenangan telah diberikan kepada daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki.
121

122

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Oleh karena itu, tanpa mengabaikan pembangunan di berbagai bidang lainnya, pembangunan di bidang ekonomi perlu dikedepankan dalam kebakan dan strategi pembangunan daerah, karena berkaitan langsung dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemikiran ini didorong oleh kondisi yang dihadapi, yaitu tingginya angka kemiskinan dan pengangguran serta besarnya kesenjangan antar lapisan masyarakat maupun antar daerah. Permasalahan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sudah merupakan masalah nasional, namun peran dan dukungan pemerintah daerah melalui kebakan dan program pembangunan ekonomi yang tepat dan kontekstual sesuai permasalahan dilapangan, akan sangat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa pengembangan potensi ekonomi daerah harus lebih mendapat perhatian, karena kemajuan perekonomian daerah dapat berfungsi sebagai sabuk pengaman perekonomian nasional, terutama di kala krisis perekonomian global seperti saat ini. 2. KONDISI AKTUAL DAN PERMASALAHAN

Selama enam dekade terakhir, sejak merdeka hingga saat ini, kondisi sosial-ekonomi bangsa Indonesia mengalami dinamika yang sangat tinggi. Setelah mengalami stagnasi ekonomi selama masa pemerintahan Orde Lama, pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde baru telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun sebesar 7,4 persen dan pendapatan perkapita berhasil mencapai tingkat US$906 pada tahun 1997, atau meningkat empat kali lipat sejak 1968. Tingkat kemiskinan absolut menurun dari 40,08 persen pada tahun 1976 menjadi 11,34 persen pada tahun 1996. Namun krisis ekonomi 1998 telah menyeret Indonesia ke dalam krisis multidimensi yang sangat parah dan mengakibatkan kemunduran di bebagai bidang. Perekonomian mengalami kontraksi hingga -13.7 persen. Tingkat harga naik hingga 78 persen. Tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 4,68 persen pada tahun 1997 menjadi 5,44 persen pada tahun 1998. Tingkat kemiskinan meningkat dari 11 persen pada tahun 1996 menjadi 19,9 persen pada tahun 1998.

PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

123

Krisis ekonomi yang berlangsung hingga saat ini ditambah pengaruh krisis keuangan global sejak 2008 pada sektor riil dan moneter memberi gambaran adanya beberapa kelemahan dalam pengelolaan ekonomi nasional. Berbagai distorsi yang terjadi pada masa lalu telah melemahkan ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi ancaman krisis, menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial dan menghambat kemampuan untuk mengatasi krisis dengan cepat. Selama sepuluh tahun terakhir, pemerintah telah melakukan serangkaian kebakan dan program untuk mengatasi dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997/1998 yang telah menimbulkan berbagai dampak sosial ekonomi. Sebagian upaya ini telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Persentase angka kemiskinan yang pada saat krisis mencapai sekitar 24 persen, misalnya pada tahun 2008, turun menjadi 15,4 persen. Meskipun demikian, angka ini masih tergolong tinggi karena setara dengan 34,9 juta jiwa penduduk miskin. Belum lagi jika diperhitungkan jumlah penduduk yang tergolong rentan, yakni kelompok masyarakat yang tingkat pengeluarannya berada di sekitar garis kemiskinan maka jika terjadi gejolak, jumlahnya bisa hampir dua kali lipat dari angka kemiskinan tersebut4. Tingkat kemiskinan yang masih tinggi antara lain disebabkan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan masih kurang efektif. Dalam hal ini, permasalahan yang paling krusial dan sering muncul adalah kekurangcakupan (undercoverage) dan kebocoran (leakage). Beberapa masalah lainnya mencakup: programprogram penanggulangan kemiskinan yang masih bersifat sektoral dan kurang terintegrasi sehingga mengakibatkan efektivitas dan esiensi program rendah. Selain itu, kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan sinergi terhadap program-program yang beragam masih belum optimal, aspek monitoring dan evaluasi masih lemah; dan program umumnya bersifat sementara atau tidak
4 Perkiraan ini didukung antara lain oleh data SUSENAS 2006. Misalnya, kemiskinan yang diukur dengan PPP US$1 per hari besarnya adalah 4,8%, bila diukur dengan garis kemiskinan nasional (GKN) meningkat menjadi hampir empat kali lipatnya (17,75%), dan bila diukur dengan PPP US$2 per hari meningkat menjadi hampir sepuluh kali lipatnya (43,4%).

124

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

berkelanjutan sehingga efektitasnya terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin tidak optimal. Sasaran program penanggulangan kemiskinan umumnya seragam, padahal penduduk miskin bersifat heterogen dan masingmasing memiliki respon berbeda terhadap berbagai jenis program. Kelompok miskin kronis dan persisten lebih memerlukan bantuan sosial, sedangkan kelompok miskin sementara (transient poor) memerlukan program-program yang bersifat pemberdayaan dan pemberian kesempatan. Pada saat yang sama tetap diperlukan perlindungan terhadap guncangan ekonomi. Bank Dunia memperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008 yang berpendapatan US$ 2/hari akan berkurang sebanyak 4,6 juta orang, dan yang berpendapatan US$ 1/hari akan menurun sebanyak 5,9 juta orang. Namun demikian, adanya kenaikan harga pangan, gejolak harga minyak dunia, dan terjadinya krisis keuangan global, saat ini akan terus memperburuk kondisi ekonomi kelompok rentan akibat inasi yang terjadi pada hampir semua kebutuhan pokok. Tingkat inasi yang tinggi berdampak langsung pada penurunan daya beli masyarakat sehingga menyebabkan penurunan konsumsi. Mengingat jumlah penduduk yang tergolong rentan cukup tinggi, maka faktorfaktor tersebut berkemungkinan besar akan membuat mereka jatuh ke dalam kemiskinan. Dengan kata lain, jika tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan riil, maka jumlah penduduk miskin akan meningkat.Selain itu, krisis global juga akan menyebabkan insiden kenaikan jumlah penduduk miskin seperti pada kasus krisis 1997, terutama yang disebabkan oleh adanya pemutusan hubungan kerja di sektor formal. Peningkatan kemiskinan akibat krisis ekonomi pada tahun 1997/98 memberikan pembelajaran perlunya mengembangkan sistem perlindungan sosial untuk mengurangi kelompok rentan menjadi miskin jika terjadi goncangan (shocks). Program perlindungan sosial tidak hanya diperlukan untuk mengurangi kemiskinan, tetapi juga harus mampu melindungi penduduk yang rentan miskin, serta penduduk yang bekerja di sektor informal yang selama ini belum diikutsertakan dalam sistem perlindungan sosial formal.

PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

125

Selain masalah kemiskinan, Indonesia juga menghadapi persoalan pengangguran yang masih cukup tinggi. Pada tahun 2008 angka pengangguran mencapai lebih dari 8 persen atau sekitar 9 juta orang. Tingkat pengangguran yang tinggi tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang tidak mampu menciptakan lapangan kerja. Faktor yang menyebabkannya antara lain adalah karena investor enggan menanamkan modalnya akibat iklim investasi yang belum kondusif. Bahkan banyak investor yang menutup usahanya atau mengalihkan usahanya ke negara lain. Penutupan usaha, yang berarti penutupan lapangan kerja yang telah tersedia, merupakan akibat dari makin mahalnya biaya investasi per unit tenaga kerja. Persoalan ini muncul karena berbagai penyebab, seperti masih lemahnya birokrasi dan kerawanan korupsi, kurangnya insentif pajak serta penegakan hukum yang lemah. Faktor penyebab lainnya adalah kenaikan upah minimum yang cepat dan terus-menerus, keharusan memberikan uang pesangon yang tinggi pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja, dan pembatasan yang ketat terhadap penggunaan tenaga kerja kontrak. Kebakan ketenagakerjaan yang demikian menjadi disinsentif bagi dunia usaha untuk menciptakan kesempatan kerja baru karena biayanya dinilai sangat tinggi. Hal lain yang menyebabkan masih belum kondusifnya pasar ketenagakerjaan adalah rendahnya tingkat produktivitas, dibandingkan dengan 14 negara di Asia, misalnya, produktivitas tenaga kerja Indonesia menempati urutan ke sepuluh. Rendahnya produktivitas tidak terlepas dari rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Menurut Depnakertrans (2007), indeks kualitas SDM Indonesia hanya menduduki peringkat ke 112 dari 175 negara. Hingga saat ini tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Data Sakernas memperlihatkan bahwa pada tahun 2006, tenaga kerja yang bependidikan sekolah menengah pertama (SMP) ke bawah mencapai 76 persen, sedangkan tamatan diploma, akademi, dan universitas hanya 5,6 persen. Hal ini pada gilirannya menyebabkan sulit berkembangnya sektor produksi formal, sebab sektor ini mensyaratkan pekerja dengan tingkat keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi. Tanpa ada perbaikan yang berarti dari tingkat pendidikan rata-rata pekerja, maka di masa datang upaya untuk

126

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

mengembangkan lapangan kerja formal tetap merupakan hal yang sulit. Tingkat penguasaan ketrampilan tinggi yang disyaratkan oleh sektor modern kerap tidak dapat dipenuhi oleh tenaga kerja di sektor tradisional (pertanian). Faktor ini semakin memperkecil pengalihan dan penyerapan tenaga kerja ke sektor industri. Dengan argumentasi seperti itu, timbulah apa yang dikenal sebagai pertumbuhan tanpa pemerataan (growth without equality). Semua tambahan pendapatan dan pertumbuhan output dibagikan kepada sekelompok kecil pemilik modal dalam jumlah besar, sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dari sebagian besar tenaga kerja tetap tidak berubah, bahkan cenderung memburuk. Persoalan ketenagakerjaan Indonesia ke depan tidak terlepas dari sektor ekonomi utama yang menciptakan dan menyerap tenaga kerja saat ini, yaitu pertanian, industri manufaktur, dan perdagangan dan jasa. Sebagai salah satu negara agraris, sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar, namun sayangnya, produktitasnya rendah. Perubahan struktur ekonomi yang terjadi selama tiga dekade terakhir menyebabkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menurun dan diperkirakan akan terus menurun. Pada tahun 1971 sektor pertanian menyerap 66,8 persen tenaga kerja dan pada tahun 2002 turun menjadi hanya sekitar 40 persen. Pada saat bersamaan, sektor industri dan jasa berperan penting dalam menyerap migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian. Namun, yang perlu diantisipasi adalah pertumbuhan ekonomi yang tertumpu pada sektor jasa tidak selalu diikuti oleh penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar. Padahal pola pertumbuhan penduduk Indonesia memerlukan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah telah membuat jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) mengalami perkembangan cukup pesat. Selama 1980-2006, penduduk usia kerja meningkat 74,1 juta orang, yakni dari 86,7 juta (1980) menjadi 160,8 juta pada 2006, atau meningkat 2,4 persen per tahun. Pada periode yang sama, jumlah angkatan kerja meningkat sebanyak 56 juta orang, dari 50,4 juta (1980) menjadi 106,4 juta (2006), atau meningkat 2,9 persen per tahun. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) juga meningkat

PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

127

meskipun dengan kenaikan yang relatif kecil. Pada tahun 1980, TPAK hanya 58,2 persen, dan pada 2006 meningkat menjadi 66,2 persen. Penggunaan teknologi produksi yang semakin canggih yang mengurangi penggunaan tenaga kerja (labor saving technologies) juga akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja untuk menghasilkan tiap unit output semakin berkurang. Akibatnya, elastisitas kesempatan kerja terhadap pertumbuhan (employment elasticity of growth) mengecil. Sebelum krisis ekonomi 1998, elastisitas kesempatan kerja terhadap pertumbuhan diperkirakan sekitar 400.000 orang, namun setelah krisis angkanya hanya sekitar 225.000 orang (Suryadarma et al., 2006). Semakin mengecilnya angka elastisitas tersebut mengakibatkan munculnya fenomena pertumbuhan ekonomi tanpa penciptaan kesempatan kerja (jobless growth). Dengan pola pertambahan penduduk dan penggunaan teknologi tersebut diatas, masalah pengangguran dalam kurun waktu 5 tahun ke depan akan tetap menjadi masalah penting yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Selain masalah pengangguran yang kemungkinan masih tinggi, sektor ketenagakerjaan ke depan akan menghadapi tantangan persaingan global yang ketat. Fenomena globalisasi yang semakin kuat akan memperketat persaingan (langsung dan tidak langsung) antara tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja luar negeri. Persaingan langsung adalah semakin terbukanya pasar tenaga kerja Indonesia terhadap tenaga kerja dari luar negeri sebagai konsekuensi dari perjanjian kerjasama regional yang telah disepakati, khususnya AFTA (ASEAN Free Trade Area). Kesepatan internasional tersebut juga mengakibatkan semakin terbukanya pasar barang dan jasa Indonesia terhadap produk dari luar negeri. Keadaan ini menjadi tantangan besar bagi daya saing tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia. Dampak krisis yang mengakibatkan terjadinya peningkatan informalisasi pasar kerja akan menjadi beban tersendiri bagi kinerja perekonomian nasional. Proporsi tenaga kerja yang berkerja di sektor informal meningkat dalam kurun waktu lima tahun. Pada tahun 2006, angkanya mencapai 69 persen lebih tinggi dibandingkan tahun 2001 yang 67.7 persen Terjadinya informalisasi pasar kerja mengindikasikan banyak orang yang kehilangan pekerjaan di sektor formal dan mereka

128

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

tidak dapat memperoleh pekerjaan lain di sektor formal, sehingga mereka terpaksa masuk ke sektor informal. Masalah lain yang menyertai angka kemiskinan dan pengangguran tersebut adalah adanya kesenjangan kesejahteraan penduduk antar wilayah yang juga masih tinggi. Indikasinya, di antara 10 provinsi dengan tingkat penduduk miskin tertinggi, 7 provinsi di antaranya berada di kawasan timur Indonesia (NTB 23,8 persen, NTT 25,6 persen, Sulawesi Tenggara 19,5 persen, Sulawesi Tengah 20,8 persen, Gorontalo 24,9 persen, Maluku 29,7 persen dan Papua 37,1 persen).5 Selain itu, dimensi kemiskinan non-income, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi dan air bersih, juga memperlihatkan distribusi yang belum merata antarkelompok dan antarwilayah. Sebelum krisis ekonomi 1998, pembangunan ekonomi selama Orde Baru bukan hanya telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi juga disertai dengan distribusi pendapatan secara nasional relatif merata dan cukup stabil dalam beberapa dekade. Sejak tahun 1980an hingga sebelum krisis keuangan tahun 1998, koesien gini pengeluaran berada pada tingkat sekitar 33 persen dan koesien gini pendapatan bertahan pada tingkat sekitar 44 persen, menjadi sedikit menurun selama periode krisis, dimana rasio gini konsumsi turun menjadi 31,7 persen pada tahun 1999. Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini ketimpangan pendapatan meningkat dibandingkan sebelum krisis. Pada tahun 2004 tingkat koesien gini pada tahun 2004 sekitar 34,8 persen, atau lebih tinggi 3,1 persen dibandingkan tahun 1999. Ketimpangan pendapatan di Indonesia yang paling nyata di Indonesia adalah ketidakmerataan pendapatan antar wilayah geogras dan ketimpangan antar kelompok dalam masyarakat. Secara nasional terdapat ketimpangan antar daerah di Indonesia, yaitu antara daerah di Jawa dan Bali versus daerah di luar Jawa dan Bali, dan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Indonesia bagian barat terdiri Jawa, Bali, Sumatra, dan Kalimantan, sedangkan Indonesia bagian timur terdiri dari Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku dan Papua. Dalam banyak hal,
5 Tingkat kemiskinan tahun 2008, BPS (2008).

PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

129

seperti aktitas ekonomi, ketersediaan infrastruktur dan jumlah dan kualitas penduduk, Indonesia bagian barat, khususnya Jawa dan Bali, sangat lebih maju dibandingkan Indonesia bagian timur. Pada awal tahun 2000-an, misalnya, tingkat perdapatan regional perkapita di propinsi terkaya, Kalimantan Timur, mencapai 16 kali lebih besar dibanding dengan di propinsi termiskin, Maluku. Tingkat pendapatan regional per kapita di Riau dan Kalimantan timur, dua daerah penghasil minyak dan gas, 20 kali lebih besar dibanding Maluku atau Nusa Tenggara Timur (NTT). Senada dengan itu, tingkat kemiskinan antar daerah juga sangat bervariasi, yaitu berkisar dari 3,4 persen di Jakarta hingga 42 persen di Papua (Hill, Resosudarmo dan Vidyattama, 2008). Tingkat kemiskinan berkisar dari 3,2 persen di DKI Jakarta hingga 27,9 persen di Nusa Tenggara Timur. Lebih lanjut, di beberapa kota, seperti Denpasar, Bali, dan Bekasi (Jawa Barat), tingkat kemiskinan berada di bawah 3 persen, sedang di Manokwari (Irian Jaya Barat) dan Puncak Jaya (Papua), misalnya, tingkat kemiskinan berada di atas 50 persen. Di saat bersamaan, tingkat gini rasio di Jawa/ Bali lebih tinggi dibanding di Luar Jawa/Bali, yaitu masing-masing berkisar 47 persen dan 40 persen. Besar dan kompleksnya dampak krisis ekonomi 1998, beserta berbagai perubahan sosio-ekonomi yang mengikutinya, telah membuat masalah ketimpangan pembangunan antar daerah menjadi semakin berat dan kompleks. Berdasarkan pertimbangan itu maka kebakan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antar daerah memerlukan pendekatan yang bersifat multidimensi, lintas sektor, dan komprehensif. Ketimpangan antar daerah di Indonesia juga terjadi pada aspekaspek non-pendapatan dan hal ini secara umum memiliki keterkaitan erat dengan apa yang terjadi pada ketimpangan dari sisi pendapatan. Dari sisi pendidikan, pada tahun 2004 walaupun 90 persen anak usia sekolah dasar telah memiliki akses terhadap sekolah dasar, tingkat partisipasi netto (nett enrollment rates) untuk sekolah dasar berkisar antara 80 persen di Papua hingga 95 persen di Kalimantan Tengah. Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama, angkanya bervariasi dari 41 persen di Papua hingga 77 persen di Yogyakarta, dan pada tingkat Sekolah Menengah Atas angkanya berkisar dari 20 persen di Sulawesi Barat hingga 62 persen di Yogyakarta.

130

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Ketimpangan antar daerah juga terjadi dibidang kesehatan dan kualitas pembangunan manusia. Tingkat kematian ibu melahirkan di dua propinsi termiskin, Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur 5 kali lebih tinggi dibanding propinsi-propinsi yang paling maju di Indonesia. Walaupun kebanyakan propinsi di Indonesia berada di bawah atau sedikit di atas 40 kematian per setiap 1000 kelahiran, terdapat sembilan propinsi yang memiliki tingkat kematian balita di atas 60 persen, dengan Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo memiliki tingkat kematian balita 90 hingga 100 persen. Sementara itu, tingkat kualitas sumber daya manusia antara daerah pun juga berbeda. Pada tahun 2002 misalnya, secara nasional ratarata Index Pembangunan Manusia (Human Development Index (HDI) sebesar 0,66, tingkat HDI pada tingkat kabupaten berbeda-beda dari yang terendah sebesar 0,47 di Kabupaten Jayawaya hingga 0,76 di Jakarta Timur (Bank Dunia, 2007). Ketimpangan pada kualitas sumber daya manusia antar daerah ini berkaitan erat dengan tidak meratanya akses terhadap pelayanan publik dan ketersediaan infrastruktur. Hanya 89 persen dari desadesa di Indonesia yang memiliki sekolah dasar, hanya 31 persen yang memiliki sekolah menengah pertama, dan hanya 14 persen yang memiliki sekolah menengah atas. Lebih lanjut, banyak sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan memiliki banyak guru, tapi 66 persen dari sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan guru. Sementara itu, perbedaan akses terhadap sumber air bersih untuk penduduk berpendapatan terendah di Papua dibanding dengan penduduk berpendapatan terendah di Jawa/bali berkisar 55 persen. Pada akses terhadap sanitasi, ketimpangan terbesar terjadi di Papua, dimana hanya 10 dari penduduk termiskin dapat memiliki akses terhadap sanitasi sementara 70 persen dari penduduk terkaya mampu menikmati akses tersebut (Bank Dunia, 2007). Sementara itu, ketersediaan infrastruktur sik yang mendukung kegiatan ekonomi di tiap daerah juga sangat beragam. Pada tahun 2006 hanya kurang dari 50 persen dari 240.946 km panjang jalan kabupaten dalam keadaan baik atau cukup dan hanya 52 persen yang telah di aspal, bandingkan dengan 91 persen jalan nasional yang telah di aspal dan 81 persennya berkondisi baik atau cukup. Lebih parah

PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

131

lagi, beberapa daerah termiskin di Indonesia bagian timur belum memiliki akses Jalan. Kondisi yang sama terjadi pada infrastruktur listrik dan komunikasi. Hanya sekitar 70 persen desa-desa di luar Jawa-Bali yang telah menikmati listrik, bandingkan dengan lebih dari 96 persen desa-desa di Jawa-Bali yang telah dialiri listrik. Pada tahun 2005 sekitar dua pertiga dari desa-desa di Indonesia, khususnya daerah Indonesia bagian timur, masih belum memiliki akses pada jaringan telekomunikasi, bandingkan dengan tingkat teledensitas tertinggi di daerah Jabotabek yang mencapai 12,5 persen untuk jaringan tetap (xed-line) dan 22,3 persen untuk jaringan bergerak (mobile telecommunication) (Aswicahyono dan Friawan, 2007). Fenomena ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah paska desentralisasi ini berseberangan dengan tujuan kebakan desentralisasi yang menginginkan pemerataan pembangunan ekonomi. Ketimpangan ini sudah seharusnya ditanggulangi, mengingat dampaknya yang sangat luas yaitu pertama, ketimpangan dapat menimbulkan inesiensi pada perekonomian nasional. Kesenjangan, terutamanya jika disebabkan oleh diskriminasi atau kebakan pemerintah yang salah, akan membuat pengalokasian sumber daya ekonomi menjadi tidak optimal karena sumber daya ekonomi tidak diarahkan berdasarkan keunggulan komparatif tiap penduduk atau daerahnya; kedua, seperti yang telah terjadi pada periode pemerintahan sebelumnya, ketimpangan dapat melahirkan ketidakadilan sosial dan meningkatkan potensi konik vertikal ataupun horizontal; ketiga, akibat alasan yang pertama dan kedua, ketimpangan dalam jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di masa datang dan menyulitkan upaya pengurangan kemiskinan nasional. Ketiga fenomena di atas, yaitu kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan merupakan tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia sejak merdeka hingga saat ini, karena selama 60 tahun kemerdekaan Indonesia belum pernah bisa terbebaskan dari masalah tersebut. Dibanding dengan negara tetangga yang sesama negara berkembang Indonesia masih berada jauh dibawah kinerja negara-negara tersebut dalam mengatasi ketiga masalah diatas. Hal ini sekaligus menjadi indikator makro dari kinerja pembangunan nasional maupun pembangunan daerah.

132

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Untuk dapat menangani ketiga permasalahan tersebut diatas secara efektif perlu sinergitas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melalui kebakan dan program yang komprehensif, berkelanjutan dan fokus pada akar masalah yang dihadapi. Peran pemerintah daerah akan sangat menentukan, mengingat ketiga isu tersebut merupakan permasalahan yang dapat ditangani secara langsung oleh pemerintah daerah yang tentunya lebih mengetahui faktor-faktor spesik penyebab munculnya permasalahan. Disamping itu juga, Pemerintah pusat mempunyai keterbatasan untuk mengatasinya karena cakupannya yang sangat luas meliputi hampir seluruh daerah serta kondisi yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Bila dicermati faktor-faktor yang berpengaruh dan sekaligus sebagai penyebab terjadinya kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan, maka dapat dikatakan bahwa ketiga permasalahan tersebut muncul akibat akumulasi dari berbagai distorsi kebakan dan strategi pembangunan yang terjadi pada masa lalu sehingga perekonomian daerah tidak berkembang sebagaimana diharapkan dan sangat bergantung pada perekonomian nasional. Kedepan pengembangan dan penguatan perekonomian daerah harus lebih dikedepankan agar dapat merespon permasalahan-permasalahan spesik daerah terkait dengan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan tersebut. Pengembangan perekonomian daerah harus dimulai dengan memperbaiki kebakan dan strategi pembangunan yang telah dijalankan selama ini, karena telah terbukti kurang efektif dalam merespon berbagai permasalahan yang dihadapi, termasuk kerentanan dalam menghadapi pengaruh global seperti krisis ekonomi yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Salah satu kebakan yang harus dirubah adalah program pembangunan yang tidak terarah dan tidak sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki. Sebagaimana yang terjadi selama ini, kebakan dan program pembangunan dilaksanakan secara merata untuk semua bidang dan sektor, tidak ada program prioritas yang menangani sektor tertentu sesuai dengan potensi yang dimiliki, sehingga pembangunan tidak memberikan daya ungkit yang cukup signikan bagi kemajuan perekonomian daerah.

PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

133

Dari aspek kelembagaan juga terdapat kelemahan, yaitu lembaga/ unit kerja daerah yang dibangun dan dikembangkan selama ini cenderung besar dan gemuk sehingga terjadi pemborosan dan tidak efesien. Hal ini antara lain disebabkan pembentukan organisasi daerah dipaksa untuk menjadi turunan atau derivasi dari struktur kelembagaan pemerintah pusat. Di sejumlah daerah bahkan menyesuaikan jumlah badan atau dinas daerah dengan jumlah departemen atau lembaga pemerintah pusat. Padahal kondisi dan potensi daerah tidak sesuai atau kurang tercerminkan dengan struktur yang dibentuk tersebut, misalnya terdapat dinas kehutanan atau dinas pertanian, sementara daerah tersebut tidak memiliki sama sekali potensi dibidang tersebut. Sejalan dengan penataan kelembagaan, penguatan sumber daya manusia juga perlu diselaraskan dengan arah pengembangan daerah tersebut yang dicirikan oleh karakteristik dan potensi setempat. Kebakan berikutnya yang perlu disempurnakan adalah pola pengelolaan keuangan daerah. Dalam situasi kemampuan keuangan yang terbatas, selayaknya pemanfaatan keuangan tersebut harus efesien dan efektif. Kenyataan yang sering terjadi, bahwa keuangan daerah tidak diarahkan untuk pengembangan ekonomi produktif, tetapi terdistribusi secara merata diantara seluruh sektor sehingga tidak memberikan dampak positif bagi penguatan perekonomian daerah.Yang lebih memprihatinkan lagi, disamping pengelolaannya yang tidak efesien, juga anggaran yang ada lebih banyak terserap untuk biaya aparatur, bukannya belanja publik sebagai fungsi investasi ekonomi. Terkait dengan masalah keuangan, pemerintah daerah juga harus mampu menggali sumber-sumber keuangan secara cerdas agar tidak selalu tergantung pada subsidi pusat, baik melalui pendayagunaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan, maupun pengembangan ekonomi daerah secara efektif agar dapat mendukung dan menumbuhkan kekuatan keuangan daerah melalui sektor pajak dan retribusi. Dilain pihak perlu pula dicermati kebakan skal melalui Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah yang saat ini berjalan tetapi cenderung memperlebar gap antara daerah penghasil dan daerah non-penghasil, yang tentunya perlu dievaluasi oleh pemerintah pusat terutama agar terciptanya keseimbangan skal antar daerah.

134

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Setelah memperbaiki arah kebakan pembangunan daerah, penataan kelembagaan dan peningkatan kapasitas SDM aparatur dan masyarakat serta peningkatan efektivitas pengelolaan keuangan daerah, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah merumuskan arah kebakan pengembangan perekonomian daerah sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Dalam hal ini kecermatan untuk memilih sektor dan komoditas unggulan yang akan dikembangkan sangat menentukan peluang bagi berkembangnya perekonomian suatu daerah. Konsep pemberdayaan ekonomi yang bertumpu pada kearifan dan sumber daya lokal (resource based development) perlu diwujudkan secara nyata. Banyak kasus diberbagai daerah menunjukkan bahwa arah kebakannya tidak selaras dengan sumberdaya yang dimiliki. Sebagai contoh, hampir seluruh daerah memiliki potensi yang besar di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, pariwisata dan di daerah-daerah tertentu bahkan memiliki sumberdaya mineral yang cukup besar. Semestinya kebakan dan program pengembangan perekonomian daerah disesuaikan dengan potensi tersebut. Untuk mendukung upaya pengembangan perekonomian daerah, pemerintah daerah perlu meningkatkan kerjasama dengan daerah sekitarnya. Selain itu, yang lebih penting dan strategis lagi adalah harus mampu membangun sinergitas dengan para pelaku ekonomi baik pada lingkup lokal, nasional bahkan internasional. Oleh karena itu, 3 (tiga) pilar pelaku ekonomi yaitu pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat perlu bergandeng tangan dalam membangun perekonomian daerah. Peran dan partisipasi dunia usaha dan masyarakat harus diberi ruang yang memadai dengan menciptakan iklim usaha/investasi yang kondusif, diantaranya memangkas jalur birokrasi yang tidak efesien, mempermudah proses perinan, menyediakan informasi yang memadai bagi peluang investasi, meningkatkan ketersediaan infastruktur pendukung, memperluas akses pemasaran, penguatan faktor-faktor produksi, meningkatkan akses permodalan, menghilangkan pungutan-pungutan yang tidak perlu, memberikan kepastian hukum serta menjaga keamanan dan ketentraman. Disamping upaya pengembangan ekonomi daerah secara luas dalam rangka mengatasi kemiskinan dan pengangguran, pemberdaya-

PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

135

an usaha masyarakat di segala bidang sesuai dengan kegiatan atau mata pencahariannya juga harus dilakukan oleh pemerintah daerah secara lebih intensif, seperti masyarakat petani, nelayan, peternak, industri rumah tangga (home industry) dan sebagainya. Pemberdayaan atau penguatan usaha masyarakat pada kelompok yang disebut terakhir ini sangat penting dilakukan karena merupakan bagian dari warga masyarakat yang berada di garis kemiskinan dan mengalami pengangguran. Adapun bentuk pemberdayaan pada kelompok ini lebih diutamakan dengan memberi dukungan pada faktor-faktor produksi, bantuan modal, peralatan, peningkatan keterampilan dan pengetahuan, dukungan teknologi dan dukungan pemasaran. Keberhasilan pemberdayaan kelompok masyarakat tersebut pada akhirnya juga akan berpengaruh positif bagi perkembangan perekonomian daerah dan secara langsung akan mengurangi jumlah penduduk miskin dan menganggur. Keseluruhan upaya tersebut diatas, baik dalam pengembangan perekonomian daerah secara luas maupun pemberdayaan dan penguatan semua sektor usaha masyarakat akan dapat meningkatkan kemampuan daya saing perekonomian daerah baik pada skala nasional, regional maupun internasional terutama dalam menghadapi globalisasi. Dalam hal mengatasi kesenjangan antar daerah, percepatan pembangunan daerah tertinggal dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perlu dilakukan secara terintegrasi. Sebagaimana kebakan pengembangan kawasan pusat pertumbuhan dan daerah tertinggal, RPJM 2004 2009 telah menetapkan suatu arah kebakan yaitu mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah strategis dan cepat tumbuh sehingga dapat mengembangkan berbagai daerah tertinggal disekitarnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi. Dalam upaya ini, pemerintah perlu meningkatkan anggaran pembangunan bagi daerah-daerah yang masih tertinggal melalui perubahan kebakan skal, misalnya melalui skema DAK kewilayahan, re-formulasi perhitungan DAU pada wilayah yang berbasis kepulauan serta pembangunan infrastruktur yang memadai. Juga perlu didorong peningkatan investasi swasta di daerah tertinggal dengan memberikan insentif kepada dunia usaha

136

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

dalam bentuk keringanan pajak dan peraturan-peraturan daerah yang mendukung ataupun bentuk dukungan lainnya. 3. PILIHAN KEBAKAN

Pertama, merumuskan arah kebakan pembangunan daerah melalui identikasi dan kajian secara cermat dan mendalam terhadap karakteristik, kondisi dan potensi daerah masing-masing yang selanjutnya ditetapkan sebagai sektor dan produk unggulan daerah untuk dadikan sebagai program prioritas atau merupakan tulang punggung pengembangan perekonomian daerah Kedua, melakukan upaya penguatan kelembagaan, manajemen dan aparatur pemerintah daerah secara fokus dan intensif pada unit kerja yang terkait langsung dengan arah kebakan dan program prioritas pengembangan perekonomian daerah sesuai dengan sektor dan produk unggulan yang telah ditetapkan; Ketiga, merumuskan program perberdayaan masyarakat secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan dalam bentuk kegiatan peningkatan pengetahuan dan keterampilan, meningkatkan akses pada faktor-faktor produksi seperti dukungan permodalan, peralatan, teknologi, manajemen, dukungan pemasaran hasil produksi masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana pendukung dan sebagainya; Keempat, memberikan perhatian khusus pada upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal (contoh daerah pedalaman, pesisir, perbatasan antar negara, pulau-pulau kecil terluar, daerah kritisminus dan daerah tertinggal lainnya) dengan menerapkan strategi pengembangan wilayah secara terpadu dan pengembangan pusatpusat pertumbuhan pada daerah yang memiliki sumberdaya alam yang potensial. Selanjutnya perlu meningkatan anggaran pembangunan bagi daerah-daerah yang masih tertinggal melalui perubahan kebakan skal, misalnya melalui skema DAK kewilayahan dan re-formulasi perhitungan DAU pada wilayah yang berbasis kepulauan. Kelima, melanjutkan dan memperluas cakupan program penanggulangan kemiskinan seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan program pengurangan beban pengeluaran keluarga miskin seperti program Beras untuk Masyarakat Miskin

PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK KEMAKMURAN DAN PEMERATAAN

137

(RASKIN), program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), Bantuan Langsung Tunai (BLT) terutama selama jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi pada masa krisis ekonomi seperti sekarang ini. Selanjutnya memperbaiki manajemen penanggulangan kemiskinan tersebut melalui perumusan kebakan/program secara terpadu dan tepat sasaran dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) serta meningkatkan pengawasan atas pelaksanaannya. Keenam, melakukan reformasi kebakan ketenagakerjaan untuk mendorong terciptanya pasar tenaga kerja yang terintegrasi antar sektor dan antar wilayah, termasuk penempatan tenaga kerja di luar negeri melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja dengan penyiapan tenaga kerja yang berkualitas (melalui pendidikan, pelatihan, pemagangan, dan sebagainya), melaksanakan program-program padat karya, dan memperbaiki iklim investasi untuk mendorong peningkatan investasi.

Bab VI PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN

1.

Latar Belakang

awasan Kebangsaan, meskipun dapat dianggap sebagai suatu konsep abstrak, tetapi masih sering diwacanakan. Hampir semua pihak dari politisi, birokrat, pelajar, maupun rakyat biasa, sibuk membicarakannya, apalagi dalam rangka peringatan HUT RI yang dirayakan setiap tahunnya. Agaknya esensi dari wacana yang berkembang diseputar wawasan kebangsaan bermuara dari alasan historis. Sejak jaman kolonial sampai kemerdekaan, wawasan kebangsaan dianggap sebagai pengikat-bangsa. Akan tetapi dengan berkembangnya jaman, masalahnya justru terletak pada (bagaimana) upaya untuk memanifestasikannya dalam kondisi yang nyata sesuai dengan perkembangan jaman. Dengan kata lain, apakah terjadi quo-vadis wawasan kebangsaan? Apakah masih relevan untuk dibicarakan? 2. Kondisi Aktual dan Permasalahan

Secara lebih jelas, dengan adanya perubahan jaman, maupun pengaruh dari globalisasi dan modernisasi, wawasan kebangsaan perlu dimaknai kembali agar tetap relevan dengan kondisi masa kini. Pertanyaannya adalah bagaimana memahami dan menerjemahkan wawasan kebangsaan yang sesuai dengan situasi, tuntutan baru dan perkembangan jaman. Ironisnya, meski jaman sudah berubah upaya mewacanakan wawasan kebangsaan tetap mengikuti makna wawasan kebangsaan di masa penjajahan dan kemerdekaan (dengan simbol-simbol seperti bendera, cinta tanah air, perjuangan pahlawan).
139

140

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Meski hal ini tidak salah, tetapi maknanya menjadi sempit karena upaya tersebut hanya membawa kita pada romantisme heroik masa lalu tetapi melupakan isu-isu krusial yang menjadi tantangan bangsa untuk diselesaikan. Dengan demikian, kalau wawasan kebangsaan hanya dimaknai sebatas pengertian aspek romantisme heroik masa lalu, maka konsep tersebut telah kehilangan roh, patut dipertanyakan relevansinya dan cenderung hanya menjadi jargon semata karena tidak berdaya guna mendukung penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Berkaitan dengan wacana wawasan kebangsaan, tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa ini sedang menghadapi erosi atau menipisnya dan bahkan memudarnya wawasan kebangsaan. Bukti empiris terjadinya erosi wawasan kebangsaan ini tidaklah sulit untuk dicari. Telah terjadi konik etnis, suku maupun agama di beberapa tempat di tanah air. Selain itu, muncul pula gerakan separatis serta menguatnya unsur-unsur primordialisme dalam aspek sosial, ekonomi dan politik. Menjamurnya pemekaran dapat juga dilihat dalam konteks primordial ini. Sikap hidup individualistis makin tinggi dan korupsi meraja-lela. Oleh karenanya sangatlah mendesak untuk melakukan pemaknaan kembali terhadap konsep tersebut dan sekaligus berupaya mencari manifestasinya yang jelas untuk mencegah indikasi terjadinya disintegrasi bangsa. Wawasan kebangsaan adalah suatu proyek yang besar dan dinamis dan berkembang sejalan dengan perkembangan jaman. Jadi wawasan kebangsaan merupakan suatu unnished project. Melihat indikasi ancaman disintegrasi dan masalah sosial, ekonomi dan politik lainnya yang sedang terjadi, upaya menterjemahkan wawasan kebangsaan dalam pola dan bentuk yang jelas hingga berguna untuk memecahkan persoalan bangsa menjadi tugas penting seluruh komponen bangsa dan bukan hanya menjadi tugas pemerintah. Tantangannya adalah karena konsep ini bersifat abstrak, maka terkadang sulit untuk mulai dari mana proyek ini mau dikerjakan baik dalam tataran redinisi maupun implementasi. Dalam wawasan kebangsaan terdapat tuntutan maupun keharusan berjuang demi tanah air, mencintai dan bangga terhadap tanah air sebagai kewajiban seorang warga negara. Lebih lanjut,

PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN

141

wawasan kebangsaan dapat mengandung makna yang pasif maupun aktif. Secara pasif, cinta dan bangga akan tanah air akan termanifestasi pada seseorang sebagai akibat dari proses dialetikal antara apa yang diberikan oleh negara pada seseorang dan apa yang dapat diberikan atau dilakukan seseorang untuk negaranya (bangsa). Sedangkan secara aktif, wawasan kebangsaan merupakan atau berkaitan dengan treatment dari negara (baca: pemerintah) terhadap setiap lapisan masyarakat yang bernaung dalam suatu nation. Selain pertanyaan bagaimana wawasan kebangsaan ini seharusnya dimaknai sehingga sesuai dengan tuntutan jaman, pertanyaan yang lain adalah apa yang salah dengan wacana wawasan kebangsaan saat ini? Dalam hal ini, Departemen Dalam Negri sebagai salah satu instansi pemerintah yang mempunyai peran yang sentral dan strategis dalam proses memaknai kembali wawasan kebangsaan akan meningkatkan upaya penguatan wawasan kebangsaan kedepan, baik dalam tataran teoritis maupun implementasi agar sesuai dengan tuntutan dan tantangan perkembangan jaman. Sebetulnya modal dasar untuk memaknai kembali wawasan kebangsaan ini sudah ada, seperti Pancasila, UUD 45 dan Bhinneka Tunggal Ika. Masalahnya kemudian adalah bahwa Pemerintah perlu mengolah modal-modal dasar ini sebagai dasar dari pemaknaan kembali wawasan kebangsaan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. a. Diversitas Ekspresi Wawasan Kebangsaan

Wawasan kebangsaan sering dilihat sebagai rasa kebanggaan dan cinta terhadap tanah air. Seorang pendaki gunung yang berhasil menancapkan bendera merah putih di atas gunung dianggap sebagai ekspresi dari kebanggaan terhadap tanah airnya. Anggota Paskibraka yang menangis sambil mencium bendera merah putih juga dianggap sebagai ekspresi terhadap wawasan kebangsaan. Pebulutangkis yang menangis waktu menjuarai All England di saat pengibaran bendera merah putih dan berkumandangnya lagu Indonesia Raya juga dianggap mengekspresikan wawasan kebangsaan. Contoh lainnya adalah sikap spontan warga untuk membela negara bila ada ancaman dari luar, seperti kasus Ambalat juga dianggap sebagai bagian dari wawasan kebangsaan. Selain itu, tingkat

142

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

kepedulian yang tinggi baik secara individual maupun kelembagaan untuk memlter atau menyeleksi pengaruh-pengaruh dari luar sebagai pengaruh negatif dari modernisasi dan globalisasi supaya tidak merusak tatanan nilai-nilai luhur bangsa juga merupakan ekspresi dari wawasan kebangsaan. Akhirnya, upaya membeli produk dalam negeri juga dianggap sebagai bagian dari wawasan kebangsaan. Dari contoh-contoh di atas, wawasan kebangsaan diekspresikan tidak saja melalui aspek simbolik, yaitu melalui bendera, lagu kebangsaan, dan mencintai produk buatan dalam negeri, serta sikap melindungi nilainilai luhur bangsa dari pengaruh negatif dari luar, tetapi juga melalui prestasi dan sikap bela negara seseorang yang dianggap sebagai upaya membela dan membanggakan tanah airnya. Seperti kata pepatah right or wrong is my country. Jadi ada semangat patriotisme dalam wawasan kebangsaan ini. Secara konseptual, wawasan kebangsaan adalah cara pandang sebuah bangsa terhadap eksistensi dirinya dan seluruh dinamika yang berkembang di dalamnya. Selanjutnya wawasan kebangsaan juga merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, muncul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme. Dalam hal ini wawasan kebangsaan menjadi perekat yang mempersatukan suatu bangsa. Jadi, wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya karena merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (Hadi, 2003). Ada unsur senasib, seperjuangan dan mewujudkan tujuan bersama. Terlepas dari pengertian wawasan kebangsaan yang cenderung abstrak secara konseptual, upaya menggambarkan makna tersebut di era penjajahan sampai terbentuknya negara Indonesia yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 agaknya lebih mudah. Disinilah letak makna wawasan kebangsaan secara aktif, yaitu mulai melihat bentuk pengelolaan oleh negara terhadap entitas dalam suatu bangsa (etnis, suku, agama, dan lain sebagainya). Pada masa tersebut, terdapat musuh bersama yang harus dihadapi yaitu penjajah dan ada cita-cita bersama yaitu kemerdekaan yang dianggap sebagai situasi yang senasib dan seperjuangan dan mendambakan adanya

PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN

143

Indonesia yang dikonstruksikan sebagai suatu imagined communities (Anderson, 2001). Melihat makna wawasan kebangsaan dari aspek yang aktif, tidak dapat dipungkiri bahwa esensi dari wawasan kebangsaan adalah terdapatnya berbagai atribut masyarakat dalam kerangka kemajemukan dari aspek etnis, suku, agama, golongan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang dikelola untuk meraih citacita bersama. Kemajemukan ini seringkali dilihat sebagai ancaman maupun asset bangsa oleh negara (pemerintah). Secara mengejutkan, kemajemukan pada era penjajahan tersebut tidak menjadi ancaman karena ampuhnya wawasan kebangsaan ini sebagai alat untuk mengelola kemajemukan demi meraih cita-cita bersama. Begitu banyak cerita heroik dimana orang mau disiksa ataupun mati demi kemerdekaan. Pada era paska kemerdekaan ancaman musuh bersama ini tetap didengungkan. Yang menjadi musuh bersama adalah ideologi dari luar yang dilihat sebagai ancaman bagi bangsa sehingga era tersebut dapat dilihat sebagai era ideology minded. Diversitas dalam konteks kemajemukan tetap dikelola melalui ideologi, misalnya Manipol Usdek, Nasionalisme, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ideologiideologi tersebut adalah ekspresi dari wawasan kebangsaan untuk menjaga persatuan bangsa. Meskipun paska kemerdekaan wawasan kebangsaan melalui era ideologisasi dianggap manjur menjaga persatuan bangsa, tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi ideologi tersebut dipaksakan dalam situasi kecamuk politik yang sangat melelahkan. Dengan demikian, patut dipertanyakan efektitas dari wawasan kebangsaan yang digunakan untuk mengelola kemajemukan di era tersebut. Bhinneka Tunggal Ika dalam prakteknya ternyata belum mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan, karena berdasarkan paradigma persatuan, perbedaan-perbedaan yang ada justru cenderung diseragamkan (Nurkhoiron, 2007). Pada masa Orde Baru, ideologi yang terkait wawasan kebangsaan tetap dalankan. Meskipun demikian kemajemukan yang dilihat sebagai obyek dari wawasan kebangsaan terkadang dinilai mempunyai potensi ancaman terhadap persatuan bangsa sehingga

144

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

perlu di kelola dengan ketat. Nurkhoiron (2007) menggambarkan dengan baik kondisi yang berkaitan dengan wawasan kebangsaan ini dalam masa tersebut. Menurutnya keharmonisan antar kelompok sering diukur dari kemampuan pemerintah mengendalikan suara yang berbeda yang ada di masyarakat. Doktrin ini agak mengabaikan politics of dierence karena menempatkan perbedaanperbedaan budaya hanya sebagai mozaik kekayaan budaya Indonesia yang terintegrasi. Politik peaceful coexistence sebagai dipahami dalam perspektif pluralisme cenderung menonjolkan penghormatan nilainilai normatif yang berbeda tanpa dibebani kewajiban memahami proses formasi sosial yang membentuk dan melahirkan perbedaanperbedaan budaya di masyarakat tersebut. Padahal pemikiran ini dapat menimbulkan pembiaran atas fenomena perbedaan di masyarakat. Pembiaran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat ternyata justru banyak menimbulkan masalah atau konik. Selanjutnya terkait dengan ideologi Bhinneka Tunggal Ika maupun pengelolaan kemajemukan, digambarkan oleh Al-Makassary (2007) sebagai berikut :
.pada masa pemerintahan Republik Indonesia, keragaman etnik tersebut oleh petinggi negara dipahami sebagai suatu asset kekayaan budaya yang mendukung kesatuan negara, yang tereeksi dalam slogan, Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda tetapi tetap satu jua). Sayangnya, dalam era selanjutnya, Tunggal Ika, sering dimaknai sebagai usaha penyeragaman atau penyatuan, dari pada memberi ruang atau merayakan kebebasan bagi diversitasnya......

Di era reformasi yang identik dengan era demokrasi, ekspresi wawasan kebangsaan juga teridentikasi. Ekspresi wawasan kebangsaan dapat dilihat pada kebebasan mengutarakan pendapat dengan bebas yang boleh diekspresikan berbagai entitas dalam nation ini. Selanjutnya, memang terjadi politics of recognition terhadap kemajemukan tersebut tetapi masih belum terjadi politics of accommodation terhadap kemajemukan. Dalam aspek kebakan, Otonomi Daerah- dimana Pemerintah melalui Depdagri mempunyai peran yang penting- adalah momentum yang baik untuk diletakkan sebagai bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat ditinjau dari aspek kemajemukan ini. Permasalahannya adalah bahwa otonomi daerah masih dipenuhi dengan berbagai tantangan

PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN

145

yang pelik dalam proses implementasinya, seperti masalah-masalah yang berbau primordial sehingga bertentangan dengan semangat wawasan kebangsaan. Dengan kata lain, otonomi daerah masih menghadirkan semangat otoritarianisme etnik. Dengan demikian diperlukan tindakan korektif supaya Otonomi Daerah dapat menjunjung aspek perwujudan kedaulatan rakyat yang berlandaskan keadilan dan kemajemukan. Secara garis besar, dalam era reformasi ini masalah-masalah besar yang selama ini berada di bawah permukaan justru dapat terlihat jelas di era ini. Munculnya separatisme dan pemekaran adalah salah satu manifestasi dari belum terwujudnya politics of accomodation terhadap kemajemukan dalam konteks wawasan kebangsaan ini, dapat pula dilihat sebagai bentuk tantangan dalam mengelola kemajemukan. b. Lemahnya Pengelolaan Wawasan Kebangsaan: Suatu Bentuk Disorientasi Wawasan Kebangsaan

Dari penjelasan di atas, wawasan kebangsaan ternyata mempunyai makna yang sangat luas. Wawasan kebangsaan bukan hanya sebagai suatu perilaku untuk bangga dan mencintai tanah air tetapi secara aktif merupakan suatu cerminan dari bagaimana negara memperlakukan maupun mengelola entitas yang majemuk dalam nation. Dengan demikian, tidak hanya warga yang dituntut untuk mencintai dan bangga terhadap bangsa dan negaranya, tetapi pemerintah pun mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pembangunan dan mengelola kemajemukan ini secara adil. Upaya memasyarakatkan wawasan kebangsaan perlu disertai upaya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh entitas yang hidup dalam sebuah nation. Usaha untuk membangkitkan wawasan kebangsaan perlu dilakukan dengan memperhatikan kaum miskin dan kaum marginal. Wawasan kebangsaan perlu ditegakkan tanpa menutup mata bahwa Indonesia memang masih bergelut melawan kemiskinan dan ketimpangan antar golongan masyarakat yang merupakan masalah-masalah pelik yang dapat mencoreng makna wawasan kebangsaan. Pertanyaannya kemudian, wawasan kebangsaan itu untuk siapa? Siapa yang bertanggung-jawab mengekspresikan wawasan

146

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

kebangsaan ini? Wawasan kebangsaan adalah buat seluruh warga negara dan seluruh warga negara mempunyai tanggung jawab yang sama untuk dapat mengimplementasikan wawasan kebangsaan ini dengan baik, termasuk para politisi dan birokrat serta para pengusaha yang sering mencerminkan perbedaan yang mencolok dalam tingkat kehidupan ekonomi dibandingkan beberapa golongan masyarakat lainnya. Harus diakui bahwa implementasi wawasan kebangsaan selama ini nampak berat sebelah sebagai tanggung jawab pemerintah dengan partisipasi yang rendah dari kelompok-kelompok di luar negara di dalam merumuskannya. Sebagai akibatnya wawasan kebangsaan identik dengan persepsi yang sempit yang cenderung melihat wawasan kebangsaan sebagai sebuah ideologi yang berakar historis di masa lampau tetapi belum maksimal dalam menerjemahkan ideologi tersebut sesuai dengan maknanya. Misalnya saja, butir-butir Pancasila yang merupakan modal dasar untuk memaknai kembali wawasan kebangsaan oleh masyarakat lebih dilihat sebagai jargon. Sebagai implikasinya, masyarakat sering merasa diperlakukan tidak adil, terdiskriminasi, dan belum sejahtera. Lebih jauh, Pancasila dipandang kurang ampuh untuk mengatasi persatuan yang terancam oleh konik. Bhinneka Tunggal Ika juga bernasib sama. Pengakuan terhadap kemajemukan dan diversitas masih terabaikan. Padahal seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah modal-modal dasar yang potensial untuk menopang wawasan kebangsaan, tetapi harus didukung dengan sikap keteladanan dari para tokoh masyarakat dan pejabat negara. Melihat kondisi yang demikian, wawasan kebangsaan cenderung menjadi suatu konsep yang diawang-awang, belum membumi dan bermakna sempit. Dalam hal ini yang diperlukan adalah suatu wacana kesetaraan untuk memaknai wawasan kebangsaan baik antara penguasa maupun masyarakat. Wawasan kebangsaan adalah suatu conditional stage yang akan tumbuh bila dia dibarengi dengan treatment lain yang tepat, misalnya bagaimana dapat mewujudkan pembangunan yang adil; bagaimana mewujudkan politics of accomodation dan recognition terhadap kemajemukan yang baik dan adil.

PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN

147

Pemaknaan wawasan kebangsaan yang diawang-awang, yang imaginatif, yang abstrak harus mulai diturunkan dan dikonkritkan dalam suatu pemaknaan yang jelas. Dengan kata lain, wawasan kebangsaan harus disandingkan dengan suatu kebakan yang konkrit. Misalnya, wawasan kebangsaan adalah tentang bagaimana melaksanakan pembangunan yang adil dan menyejahterakan, wawasan kebangsaan adalah tentang penegakkan hukum, wawasan kebangsaan adalah tentang pemberantasan korupsi, wawasan kebangsaan adalah tentang bagaimana pelanggaran hak asasi dapat diselesaikan dengan adil, dan wawasan kebangsaan adalah tentang bagaimana para wakil rakyat dapat benar-benar menjunjung kedaulatan dan kepentingan rakyat, yang kesemuanya harus ada konsistensi dalam implementasi melalui keteladanan yang baik. Inti dari wawasan kebangsaan adalah bagaimana keadilan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya dirasakan oleh masyarakat. Semakin kuat keadilan dirasakan, semakin kuat wawasan kebangsaan, tetapi bila keadilan semakin lemah, maka semakin melemah pula wawasan kebangsaan (Pranowo dan Darmawan, 2003). c. Apakah Terjadi Erosi Wawasan Kebangsaan yang Makin Dalam?

Untuk dapat mencermati mengenai terjadinya erosi wawasan kebangsaan, salah satu hasil penelitian pada tahun 1994 oleh Centre for the Study of Development and Democracy (CESDA-LP3ES) telah merangkum kesimpulan antara lain sebagai berikut: Sebagian terbesar (96 persen) responden mengatakan dirinya bangga sebagai orang atau bangsa Indonesia. Rasa bangga ini merata baik pada mereka yang berpendidikan tinggi maupun rendah, yang berusia tua maupun muda. Rasa bangga ini melekat pada diri responden (57 persen), atau muncul pada saat-saat tertentu seperti pada waktu Indonesia mendapat penghargaan internasional (32 persen), maupun pada waktu bertemu orang asing (5 persen) Jika dibandingkan dengan 5 tahun sebelum tahun 1994, sebagian besar responden (57 persen) merasa lebih bangga lagi sebagai orang Indonesia, yang 20 persen diantaranya

148

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

mengatakan karena merasa ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia yang semakin maju Dalam menjawab pertanyaan apakah responden pertamatama melihat diri mereka lebih sebagai bangsa Indonesia, atau sebagai orang Indonesia daripada suku bangsa, 32 persen melihat sebagai orang Indonesia, sekaligus dari salah satu suku bangsa. Hanya 5 persen yang melihat dirinya pertamatama sebagai orang dari salah satu suku Hal ini berbeda dengan identitas agama di mana mayoritas responden (53 persen) melihat dirinya sebagai orang Indonesia sekaligus sebagai orang dari salah satu agama, 30 persen melihat dirinya pertama-tama sebagai orang Indonesia daripada agama tertentu. Sedang 14 persen melihat bahwa mereka pertama-tama sebagai orang beragama tertentu lebih daripada orang Indonesia Tingkat kepedulian warga masyarakat terhadap masalahmasalah yang dihadapi Indonesia ternyata cukup tinggi. Dari 1000 responden, 73 persen responden mengatakan bahwa mereka peduli dengan masalah-masalah yang dihadapi Indonesia Menurut pendapat responden masalah terpenting yang dihadapi bangsa Indonesia yang harus segera diatasi adalah kemiskinan (36 persen), kesempatan kerja (21 persen), pendidikan (18 persen), korupsi (7 persen) dan hak-hak asasi manusia (4 persen) Solidaritas sosial bangsa Indonesia juga cukup tinggi. 60 persen responden mengatakan bahwa orang disekitarnya yang mampu cukup membantu. Sedangkan 30 persen mengatakan yang mampu kurang membantu.

Meskipun survey ini sudah lama, tetapi cukup memberi informasi yang menarik karena sejak era 1990an pun, (wawasan) kebangsaan sudah dimaknai dengan sangat luas. Artinya wawasan kebangsaan tidak saja menyangkut identitas seseorang dari aspek etnis, agama maupun sebagai bangsa Indonesia, tetapi juga menyangkut aspek solidaritas, kepedulian dan rasa empati dan tanggung jawab terhadap

PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN

149

masalah-masalah pelik yang dihadapi bangsa ini, seperti kemiskinan, kesempatan kerja dan lain sebagainya. Sayangnya, terjemahan dari makna kebangsaan sebagai suatu bentuk kepedulian, solidaritas dan bentuk tanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah pelik bangsa ini belum juga dilakukan. Kondisi ini sepertinya merupakan suatu trade-mark dari wacana wawasan kebangsaan saat ini. Artinya, wawasan kebangsaan masih berhenti di tataran konseptual dan belum ada manifestasinya dalam tataran implementasi. Apabila dibandingkan antara kondisi tahun 1994 sebagaimana kondisi hasil survey tersebut dengan kondisi terkini sebagaimana telah diuraikan diatas, ada kecenderungan terjadinya erosi wawasan kebangsaan. Permasalahan bangsa semakin banyak, seperti tingkat kemiskinan dan pengangguran, kesehatan, pendidikan serta korupsi yang belum sepenuhnya dapat ditangani dengan baik. Ironisnya, dalam kehidupan keseharian masyarakat pada saat ini terdapat kecenderungan bahwa tingkat kepedulian dan solidaritas terhadap masalah bangsa ini semakin melemah, tetapi sikap individualis justru semakin menguat. Dalam konsep wawasan kebangsaan yang lebih luas, mungkin kelemahan pengelolaan sumber daya ekonomi, misalnya yang menyangkut kontrak minyak dan gas yang dikatakan lebih menguntungkan pihak luar juga dapat dikatakan sebagai salah satu indikasi melemahnya wawasan kebangsaan tersebut. Sebagaimana selama ini beredar pendapat bahwa pihak luar cenderung diuntungkan dalam pemberian kontrak karya dengan alasan lemahnya sumber daya manusia dan lemahnya teknologi dalam negeri, sehingga pemerintah bergantung pada pihak luar dengan memberikan kontrak pengelolaan sumber daya ekonomi tersebut. Alasan ini belum tentu tepat sebab terdapat indikasi terjadinya conict of interest dalam proses negosiasi. Namun jika pada akhirnya pihak luar yang memperoleh keuntungan lebih banyak dibandingkan dengan bangsa Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam maka kebakan pemberian kontrak ini dapat dianggap sebagai bentuk kebakan yang kurang nasionalis dan jauh dari semangat wawasan kebangsaan. Oleh karena itulah pemerintah pada saat ini melakukan evaluasi terhadap berbagai kontrak karya yang telah berjalan selama ini.

150

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Disamping itu, merebaknya pemekaran di berbagai daerah dengan membawa atribut-atribut yang melambangkan identitas yang primordial sebagai suatu bentuk identity revival, juga perlu diwaspadai akan kemungkinan berkembang menjadi sekat-sekat kedaerahan yang tidak begitu menguntungkan bagi kepentingan NKRI. Sekalipun dari sisi ekonomi, pemekaran tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik yang lebih efektif sebagai upaya mengakomodasi tuntutan untuk memperoleh perhatian dan perlakuan yang lebih adil, akan tetapi dari sisi politik, pemekaran dapat menjadi bentuk polarisasi dari kepentingan kelompok atau ego kedaerahan ataupun bentuk-bentuk kepentingan sempit lainnya. Selain masalah-masalah di atas, fenomena perpindahan orangorang Indonesia yang memiliki kemampuan dan berpotensi ke luar negeri merupakan hal yang memprihatinkan. Pada saat ini terdapat kecederungan terjadi peningkatan migrasi orang-orang Indonesia yang berkualitas dan berprestasi ke luar negeri untuk bekerja. Motivasi orang untuk bermigrasi memang bermacam-macam, termasuk adanya motif ekonomi. Meskipun demikian ada aspek kebangsaan yang dipertanyakan disini mengapa orang yang seharusnya dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi masyarakatnya justru berpindah ke negara lain dan tidak mengabdi di negara sendiri. Dari pembahasan di atas, terindikasi bahwa memang terjadi erosi wawasan dan atau komitmen kebangsaan. Lebih lanjut perlu dicermati dan diwaspadai bahwa dampak melemahnya wawasan kebangsaan tersebut dapat menimbulkan kondisi yang kontraproduktif dalam proses penyelenggaraan negara. 3. Pilihan Kebakan

Pertama, perlu dilakukan reorientasi terhadap konsep dan strategi penguatan wawasan kebangsaan sejalan dengan proses kehidupan berbangsa dan bernegara pada kondisi yang terkini dengan tetap berdasarkan pada nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan segala kemajemukannya, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diantara opsi strategis yang dapat dilakukan adalah meninjau kembali aspek paradigma yang berkembang yang mendasari wawasan kebangsaan selama ini, seperti

PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN

151

monokulturalisme, pluralisme dan multikulturalisme serta strategi penguatan pemahaman dan perwujudan wawasan kebangsaan secara konkrit dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun pemahaman mengenai kemajemukan seyogyanya tidak dipahami sesempit pengertian etnisitas semata-mata, melainkan menjangkau dimensi-dimensi yang lainnya, religi, politik, pekerja (buruh), nelayan, anak-anak jalanan, perempuan, dan sebagainya di berbagai sektor kehidupan sosial yang lain. Disamping itu, konsep kemajemukan tidak semata dilihat dari aspek kuantitas dari suatu entitas tetapi juga mengacu pada akses, hak dan kewajiban yang dimiliki entitas tersebut Kedua, merumuskan strategi penguatan pemahaman wawasan kebangsaan dengan melibatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat melalui program-program pemahaman wawasan kebangsaan yang terintegrasi serta mendorong peran media massa untuk menyebarluaskan/mensosialisasikan paham wawasan kebangsaan dan ideologi bangsa. Ketiga, meningkatkan upaya penguatan rasa cinta tanah air dan komitmen kebangsaan dengan upaya mewujudkan wawasan kebangsaan bukan hanya pada level kognisi, akan tetapi bagaimana wawasan kebangsaan melekat pada budaya birokrasi (built in on bureaucratic behavior) supaya menyentuh setiap daur manajemen pembangunan yang dilaksanakan, mulai dari perencanaan sampai kepada pengawasan. Dengan demikian proses memaknai konsep wawasan kebangsaan tersebut tidak berhenti pada aspek ideologis saja tetapi juga secara langsung memberikan perubahan yang nyata bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, seperti mengatasi kesenjangan sosial, pemerataan ekonomi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan partisipasi politik masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Makassary, Ridwan (2007), Multikulturalisme: Review Teoritis dan Beberapa Catatan Kritis, dalam Mashudi Noorsalim, M. Nurkhoiron dan Ridwan Al. Makassary (ed). Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. The Interseksi Foundation, Jakarta. Anderson, Benedict. (2001), Imagined Communities: Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist. Komunitas-

Astawa, I Gede Pantja Astawa (2008), Beberapa Catatan Atas Peraturan Daerah Bermasalah, makalah disampaikan pada diskusi lanjutan pembahasan draf buku Proyeksi Strategis Nasional 2009-2014 Dan Langkah Antisipatif 2009, Hotel Red Top, Jakarta 10 September. Aswicahyono, Haryo, dan Deni Friawan (2007) The Study on Infrastructure Development in Indonesia, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia. Assidiqie, Jimly (2004). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI-PSHTN FHUI. Jakarta. BPS (2006). Statistika Indonesia 2005/2006, Jakarta. BPS (berbagai tahun), Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta. CESDA LP3ES (1994). Laporan Hasil Pengumpulan Pendapat Umum Masyarakat dan Kebangsaan. Depnakertrans (2007), Kebakan Three In One (Pelatihan, Sertikasi dan Penempatan), Direktorat Jenderal Pembinaan, Pelatihan dan
153

154

ANALISIS DAN PROYEKSI STRATEGIS NASIONAL

Produktivitas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta. Duverger, Maurice (1954). Political Parties: Their Organization and Activity in the Modern State, Metheun, London. Hill, Hal; Budy Resosudarmo, and Yogi Vidhyattama, (2008), Indonesias Changing Economic, Bulletin of Economic Studies. 44, (3), 2008. Laakso, Markku dan Rein Tagepera (1979), Eective Number of Parties: A Measure with Application to West Europe, Comparative Political Studies, 12 (1): 3-27. Lphart, Arend (1977), Democracy in Plural Societies: A Comparative Exploration, Yale University Press, New haven. Maran, Kacung (2006), Demokratisasi di Daerah: Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung, Eureka, Surabaya. Maran, Kacung (2007), Demokrasi dan Stabilitas Pemerintahan: Perbandingan Sistem Pemerintahan, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga. Marko, John, (2002), Gelombang Demokrasi Dunia (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Masoed, Mohtar, (2000), Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, P3PK, Yogyakarta. Mainwaring, Scott, (1993), Presidentialism, Multipartism and Democracy, Comparative Political Studies 26 (2). Pranowo, Bambang dan Darmawan (ed) (2003), Prawacana di buku Reorientasi Wawasan Kebangsaan di Era Demokrasi. Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. Nurkhoiron, M. (2007), Minoritasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan Awal, dalam Mashudi Noorsalim, M. Nurkhoiron dan Ridwan Al. Makassary (ed). Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. The Interseksi Foundation, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

155

Siregar, Wahidah (1995), Parlimentary Representation of Women in Indonesia: the Struggle for a Quota, Asian Journal of Womens Studies, 11 (3): 36-72. Sorensen, George (2003), Demokrasi dan Demokratisasi (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Slater, Dan (2204) Indonesias Accountability Trap, Indonesia (78). Suryadarma, Daniel, et al (2006) From Access to Income: Regional and Ethnic Inequality in Indonesia SMERU Working Paper. Toha,M. (1990) Netralisasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia, makalah seminar Politik Birokrasi di Indonesia, FISIPOL UGM. Jogyakarta. World Bank, (2007), Spending for Development Making the Most of Indonesias new opportunities. Washington D,C.

You might also like