You are on page 1of 36

Conjunctivitis ( konjungtivitis, pink eye ) merupakan peradangan pada konjungtiva ( lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak

mata ) yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-bahan kimia. Boleh dikata masyarakat kita sudah sangat mengenalnya. Penyakit ini dapat menyerang semua umur. Konjungtivitis yang disebabkan oleh mikro-organisme (terutama virus dan kuman atau campuran keduanya) ditularkan melalui kontak dan udara. PENYEBAB * Virus (pada umumnya adenovirus) * Bakteri or kuman ( staphylococcus dan streptococcus ) * Jamur (sangat jarang) * Chlamydia (Chlamydia trachomatis ) * Alergi (cuaca, debu, dll) * Bahan kimia ( polusi udara, sabun, kosmetik, chlorine, dll) * Benda asing. * Disebutkan pula bahwa parasit dapat menjadi penyebab konjungtivitis. Kali ini, kita akan membahas sedikit tentang conjungtivitis yang disebabkan oleh virus dan kuman. *supaya ga terlalu panjang, aslinya malas, hehehe* KELUHAN Keluhan yang biasa dialami penderita konjungtivitis, antara lain: mata merah, ngeres (berasa kayak ada pasir atau sesuatu yang mengganjal), gatal, rasa panas, nyeri (kemeng: bhs jawa) di sekitar mata, air mata nerocos (air mata keluar berlebihan). conjunctiva Keluhan-keluhan tersebut terjadi karena pembengkakan (edema) konjungtiva (bagian dalam kelopak mata: silahkan lihat gambar), serta pembesaran (hipertrofi) kelenjar di sekitar konjungtiva sehingga berasa seperti ada benda di dalam mata. Kondisi ini membuat tangan tak kuasa untuk tidak mengucek-ucek, akibatnya makin bengkak, makin nyeri, makin lengkaplah penderitaan. TANDA TANDA Manakala penderita pergi berobat, maka dokter akan memeriksa mata untuk memastikan tanda-tanda conjungtivitis, yakni: * Konjungtiva berwarna merah (hiperemi) dan membenkak. * Produksi air mata berlebihan (epifora) * Kelopak mata bagian atas nampak menggelantung (pseudoptosis) seolah akan menutup akibat pembengkakan konjungtiva dan peradangan sel-sel konjungtiva bagian atas.

* Pembesaran pembuluh darah di konjungtiva dan sekitarnya sebagai reaksi nonspesifik peradangan. * Pembengkakan kelenjar (folikel) di konjungtiva dan sekitarnya. * Terbentuknya membran oleh proses koagulasi fibrin (komponen protein) * Dijumpai sekret dengan berbagai bentuk (kental hingga bernanah) Dalam praktek sehari-hari, dokter dapat mengenali jenis konjungtivitis melalui pemeriksaan langsung berdasarkan ciri-ciri spesifik dari berbagai jenis konjungtivitis dan pola penyebarannya. Karenanya tidak diperlukan pemeriksaan Laboratorium untuk menegakkan diagnosa, kecuali pada kasus-kasus tertentu. PENGOBATAN Pada umumnya konjungtivitis sembuh sendiri (self limited) tanpa pengobatan dalam 10-14 hari. Jika diobati biasanya akan sembuh sekitar 3 hari. Pengobatan yang bersifat spesifik bergantung pada penyebabnya. Konjungtivitis yang disebabkan oleh bakteri, dapat menggunakan antibiotika topikal (obat tetes atau salep), misalnya Gentamycin 0,3%, Chloramphenicol 0,5%, dll. Adapun pengobatan pada konjungtivitis yang disebabkan virus, lebih ditujukan untuk mencegah infeksi sekunder. Di ndeso kami, kebanyakan penderita konjungtivitis mengobati sendiri dengan obat tetes mata yang dijual bebas sebagai langkah awal. Sebagian sembuh dan sebagian akan berobat ketika dirasa makin berat dan mengganggu. Pada konjungtivitis karena alergi, ditandai dengan mata merah, gatal, tanpa kotoran mata dan berulang di saatsaat tertentu (misalnya oleh paparan debu dan sejenisnya), dapat menggunakan obat tetes mata antihistamin (antazoline 0,5%, naphazoline 0,05%, dan sejenisnya), kortikosteroid (deksamethason 0,1%, dan sejenisnya) atau kombinasi keduanya. UPAYA PENCEGAHAN (up date ) Untuk mencegah makin meluasnya penularan konjungtivitis, kita perlu memperhatikan langkah-langkah berikut: * Usahakan tangan tidak megang-megang wajah (kecuali untuk keperluan tertentu), dan hindari mengucekngucek mata. * Mengganti sarung bantal dan handuk dengan yang bersih setiap hari. * Hindari berbagi bantal, handuk dan saputangan dengan orang lain. * Mencuci tangan sesering mungkin, terutama setelah kontak (jabat tangan, berpegangan, dll) dengan penderita konjungtivitis. * Untuk sementara tidak usah berenang di kolam renang umum. * Bagi penderita konjungtivitis, hendaknya segera membuang tissue atau sejenisnya setelah membersihkan kotoran mata.

Referat: Konjungtivitis Flikten


Posted on January 4, 2007 by Alhamsyah Blog Pendahuluan Konjungtivitis yang merupakan infeksi pada konjungtiva mata, terdiri dari: 1. Konjungtivitis alergi (keratokonjungtivits atopik, simple alergik konjungtivitis, konjungtivitis seasonal,

konjungtivitis vernal, giant papillary conjunctivitis) 2. Konjungtivitis bakterial (hiperakut, akut, kronik) 3. Konjungtivitis virus (adenovirus, herpetik) 4. Konjungtivitis klamidia 5. Bentuk konjungtivitis lain (Contact lens-related, mekanik, trauma, toksik, neonatal, Parinauds okuloglandular syndrome, phlyctenular, sekunder). Konjungtivitis flikten adalah suatu peradangan konjungtiva karena reaksi alergi yang dapat terjadi bilateral ataupun unilateral, biasanya terdapat pada anak-anak dan kadang-kadang pada orang dewasa. Penyakit ini merupakan manifestasi alergi endogen, tidak hanya disebabkan protein bakteri tuberkulosis tetapi juga oleh antigen bakteri lain seperti stafilokokus. Dapat juga ditemukan pada kandidiasis, askariasis, helmintiasis. Pada binatang percobaan ternyata flikten juga dapat ditemukan dengan penetesan tuberkuloprotein, bahan-bahan yang berasal dari stafilokokus, serum kuda dan bahan kimia pada sakus konjungtiva. Penderita biasanya mempunyai gizi yang buruk. Anatomi Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian: 1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra) 2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata) 3. Forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra dan bola mata). Meskipun konjungtiva agak tebal, konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea. Epidemiologi Di Indonesia penyakit ini masih banyak terdapat dan paling sering dihubungkan dengan penyakit tuberkulosis paru. Penderita lebih banyak pada anak-anak dengan gizi kurang atau sering mendapat radang saluran napas, serta dengan kondisi lingkungan yang tidak higiene. Pada orang dewasa juga dapat dijumpai tetapi lebih jarang. Meskipun sering dihubungkan dengan penyakit tuberkulosis paru, tapi tidak jarang penyakit paru tersebut tidak dijumpai pada penderita dengan konjungtivitis flikten. Penyakit lain yang dihubungkan dengan konjungtivitis flikten adalah helmintiasis. Di Indonesia umumnya, terutama anak-anak menderita helmintiasis, sehingga hubungannya dengan konjungtivitis flikten menjadi tidak jelas. Etiopatogenesis Mekanisme pasti atau mekanisme bagaimana terbentuknya flikten masih belum jelas. Secara histologis fliktenulosa mengandung limfosit, histiosit, dan sel plasma. Leukosit PMN ditemukan pada lesi nekrotik.. Bentuk tersebut kelihatannya adalah hasil dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap protein tuberkulin, Staphylococcuc aureus, Coccidioides immitis, Chlamydia, acne rosacea, beberapa jenis parasit interstisial dan fungus Candida albicans. Jarang kasusnya idiopatik. Keratitis flikten dapat berkembang secara primer dari kornea meskipun seringkali biasanya menyebar ke kornea dari konjungtiva. Epitel yang ditempati oleh flikten rusak, membentuk ulkus dangkal yang mungkin hilang

tanpa pembentukan jaringan parut. Flikten khas biasanya unilateral pada atau di dekat limbus, pada konjungtiva bulbar atau kornea, dapat satu atau lebih, bulat, meninggi, abu-abu atau kuning, hiperemis, terdapat nodul inflamasi dengan dikelilingi zona hiperemik pembuluh darah. Flikten konjungtiva tidak menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut fibrovaskuler kornea bilateral limbus cenderung membesar ke bawah daripada ke atas mungkin mengindikasikan flikten sebelumnya. Flikten yang melibatkan kornea sering rekuren, dan migrasi sentripetal lesi inflamasi mungkin berkembang. Kadangkala, beberapa inflamasi menimbulkan penipisan kornea dan jarang menimbulkan perforasi. Diagnosis Gambaran Klinik: Gejala Subyektif: Konjungtivitis flikten biasanya hanya menyebabkan iritasi dengan rasa sakit dengan mata merah dan lakrimasi. Khasnya pada konjungtivitis flikten apabila kornea ikut terlibat akan terdapat fotofobia dan gangguan penglihatan. Keluhan lain dapat berupa rasa berpasir. Konjungtivitis flikten biasanya dicetuskan oleh blefaritis akut dan konjungtivitis bakterial akut. Gejala Obyektif: Dengan Slit Lamp tampak sebagai tonjolan bulat ukuran 1-3 mm, berwarna kuning atau kelabu, jumlahnya satu atau lebih yang di sekelilingnya terdapat pelebaran pembuluh darah konjungtiva (hiperemia). Bisa unilateral atau mengenai kedua mata. Histopatologi: Flikten terlihat sebagai kumpulan sel leukosit netrofil yang dikelilingi oleh sel limfosit, sel makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak. Pembuluh darah yang memperdarahi flikten mengalami proliferasi endotel dan sel epitel di atasnya mengalami degenerasi. Laboratorium: Dapat dilakukan pemeriksaan tinja, kemungkinan kuman dan adanya tuberkulosa paru dan pemeriksaan kultur konjungtiva. Pemeriksaan dengan pewarnaan gram pada sekret untuk mengidentifikasi organisme penyebab maupun adanya infeksi sekunder. Penatalaksanaan Penanganannya dimulai dengan edukasi pasien untuk memperbaiki higiene kelopak mata. Pembersihan kelopak 2 sampai 3 kali sehari dengan artifisial tears dan salep dapat menyegarkan dan mengurangi gejala pada kasus ringan. Pada kasus yang lebih berat dibutuhkan steroid topikal atau kombinasi antibiotik-steroid. Sikloplegik hanya dibutuhkan apabila dicurigai adanya iritis. Pada banyak kasus Prednisolon asetat (Pred forte), satu tetes, QID cukup efektif, tanpa adanya kontraindikasi. Apabila etiologinya dicurigai reaksi Staphylococcus atau acne rosasea, diberikan Tetracycline oral 250 mg atau erythromycin 250 mg QID PO, bersama dengan pemberian salep antibiotik topikal seperti bacitracin atau erythromycin sebelum tidur. Metronidazole topikal (Metrogel) diberikan pada kulit TID juga efektif. Karena tetracycline dapat merusak gigi pada anak-anak, sehingga kontraindikasi untuk usia di bawah 10 tahun. Pada kasus ini, diganti dengan doxycycline 100 mg TID atau erythromycin 250 mg QID PO. Terapi dilanjutkan 2 sampai 4 minggu. Pada kasus yang dicurigai, pemeriksaan X-ray dada untuk menyingkirkan tuberkulosis. Prognosis

Dapat sembuh sendiri dalam 2 minggu, dengan kemungkinan terjadi kekambuhan. Keadaan akan lebih berat apabila kornea ikut terkena. Penutup Konjungtivitis flikten merupakan peradangan pada konjungtiva yang ditandai dengan iritasi mata, lakrimasi, serta adanya gangguan penglihatan dan fotofobia ringan sampai sedang apabila kornea ikut terkena. Secara khas ditandai dengan adanya nodul inflamasi dengan pelebaran pembuluh darah disekitarnya. Mekanismenya diduga akibat proses respon alergi hipersensitivitas lambat terhadap protein mikroba seperti basil tuberkel, staphylococcus, chlamydia, dan candida albicans. Didapatkan terutama pada anak-anak dengan gizi kurang yang tinggal di daerah dengan higiene yang buruk dan sering mendapatkan radang saluran napas. Terapi terutama ditujukan untuk mengeridikasi penyebabnya serta pemberian steroid bila gejalanya agak berat. Perlu diperhatikan juga higiene mata untuk mencegah infeksi sekunder. Dengan pengobatan yang adekuat diperoleh hasil yang baik.

Konjungtivitis Gonokokal
Bayi baru lahir bisa mendapatkan infeksi gonokokus pada konjungtiva dari ibunya ketika melewati jalan lahir. Karena itu setiap bayi baru lahir mendapatkan tetes mata (biasanya perak nitrat, povidin iodin) atau salep antibiotik (misalnya eritromisin) untuk membunuh bakteri yang bisa menyebabkan konjungtivitis gonokokal. Orang dewasa bisa mendapatkan konjungtivitis gonokokal melalui hubungan seksual (misalnya jika cairan semen yang terinfeksi masuk ke dalam mata). Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Dalam waktu 12-48 jam setelah infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Jika tidak diobati bisa terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan kebutaan. Untuk mengatasi konjungtivitis gonokokal bisa diberikan tablet, suntikan maupun tetes mata yang mengandung antibiotik.

[sunting] Konjungtivitis Vernalis


Konjungtivitis vernalis adalah salah satu bentuk dari konjungtivitis yang disebabkan oleh faktor alergi, disamping juga dipengaruhi oleh faktor, yakni; iklim, usia, dan jenis kelamin.penyakit ini biasanya mengenai pasien muda antara 3-25 tahun. Pada laki-laki biasanya dimulai pada usia dibawah 10 tahun. Pada umumnya penderita konjungtivitis vernalis mengeluh gatal, mata merah, dan mengeluarkan sekret atau kotoran. Konjungtivitis karena virus atau alergi mengeluarkan kotoran yang jernih.

[sunting] Masa Inkubasi


Waktu terekspos sampai kena penyakit 1-3 hari.

[sunting] Gejala
Mata terasa kasar menggatalkan, merah dan mungkin berair. Kelopak mata mungkin menempel sewaktu bangun tidur. Konjungtiva yang mengalami iritasi akan tampak merah dan mengeluarkan kotoran. Konjungtivitis karena bakteri mengeluarkan kotoran yang kental dan berwarna putih. Konjungtivitis karena virus atau alergi mengeluarkan kotoran yang jernih. Kelopak mata bisa membengkak dan sangat gatal, terutama pada konjungtivitis karena alergi.

Gejala lainnya adalah: - mata berair - mata terasa nyeri - mata terasa gatal - pandangan kabur - peka terhadap cahaya - terbentuk keropeng pada kelopak mata ketika bangun pada pagi hari.

[sunting] Pencegahan
1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudah membersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-bersih. 2. Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani mata yang sakit. 3. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni rumah lainnya. 4. Gunakan lensa kontak sesuai dengan petunjuk dari dokter dan pabrik pembuatnya.

Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Faktor Resiko 2 Jenis-jenis GLAUKOMA 3 Gejala 4 Lihat pula

[sunting] Faktor Resiko


Glaukoma bisa menyerang siapa saja. Deteksi dan penanganan dini adalah jalan satu-satunya untuk menghindari kerusakan penglihatan serius akibat glaukoma. Bagi Anda yang berisiko tinggi disarankan untuk memeriksakan mata Anda secara teratur sejak usia 35 tahun. Faktor risiko:
1. Riwayat glaukoma di dalam keluarga. 2. Tekanan bola mata tinggi 3. Miopia (rabun jauh) 4. Diabetes (kencing manis) 5. Hipertensi (tekanan darah tinggi) 6. Migrain atau penyempitan pembuluh darah otak (sirkulasi buruk) 7. Kecelakaan/operasi pada mata sebelumnya 8. Menggunakan steroid (cortisone) dalam jangka waktu lama 9. Lebih dari 45 tahun

[sunting] Jenis-jenis GLAUKOMA


Primary Open-Angle Glaucoma GLAUKOMA Sudut-Terbuka Primer\\ Glaukoma Sudut-Terbuka Primer adalah tipe yang yang paling umum dijumpai. Glaukoma jenis ini bersifat turunan, sehingga risiko tinggi bila ada riwayat dalam keluarga. Biasanya terjadi pada usia dewasa dan berkembang perlahan-lahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Seringkali tidak ada gejala sampai terjadi kerusakan berat dari syaraf optik dan penglihatan terpengaruh secara permanen. Pemeriksaan mata teratur sangatlah penting untuk deteksi dan penanganan dini. Glaukoma Sudut-Terbuka Primer biasanya membutuhkan pengobatan seumur hidup untuk menurunkan tekanan dalam mata dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Acute Angle-Closure Glaucoma GLAUKOMA Sudut-Tertutup Akut Glaukoma Sudut-Tertutup Akut lebih sering ditemukan karena keluhannya yang mengganggu. Gejalanya adalah sakit mata hebat, pandangan kabur dan terlihat warna-warna di sekeliling cahaya. Beberapa pasien bahkan mual dan muntah-muntah. Glaukoma Sudut-Tertutup Akut termasuk yang sangat serius dan dapat mengakibatkan kebutaan dalam waktu yang singkat. Bila Anda merasakan gejala-gejala tersebut segera hubungi dokter spesialis mata Anda. Secondary GLAUCOMA GLAUKOMA Sekunder Glaukoma Sekunder disebabkan oleh kondisi lain seperti katarak, diabetes, trauma, arthritis maupun operasi mata sebelumnya. Obat tetes mata atau tablet yang mengandung steroid juga dapat meningkatkan tekanan pada mata. Karena itu tekanan pada mata harus diukur teratur bila sedang menggunakan obat-obatan tersebut Congenital GLAUCOMA GLAUKOMA Kongenital Glaukoma Kongenital ditemukan pada saat kelahiran atau segera setelah kelahiran, biasanya disebabkan oleh sistem saluran pembuangan cairan di dalam mata tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya tekanan bola mata meningkat terus dan menyebabkan pembesaran mata bayi, bagian depan mata berair dan berkabut dan peka terhadap cahaya.

[sunting] Gejala
Gejala yang dirasakan pertama kali antara lain : bila memandang lampu neon/sumber cahaya maka akan timbul warna pelangi di sekitar neon tersebut, mata terasa sakit karena posisi mata dalam keadaan membengkak, penglihatan yang tadinya kabur lama kelamaan akan kembali normal. Hal inilah yang membuat para penderita glaukoma tidak menyadari bahwa ia sudah menderita penyakit mata yang kronis. Penyakit mata glaukoma ini dapat diderita kedua mata dari si penderita dan jalan satu-satunya untuk mengatasi penyakit ini adalah dengan operasi. Dapat menimbulkan kebutaan menetap Dapat dicegah dengan deteksi dini dan terapi tepat. Glaukoma adalah penyebab kebutaan nomor 2 di Indonesia setelah katarak, biasanya terjadi pada usia lanjut. Dibeberapa negara 2% penduduk usia diatas 40 tahun menderita Glaukoma, dan di Indonesia Glaukoma sebagai

penyebab kebutaan yang tidak dapat dipulihkan. Glaukoma salah satu penyakit mata yang diakibatkan karena kenaikan tekanan bola mata dan menimbulkan kerusakan saraf penglihatan, sedangkan fungsi saraf mata akan meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Diotak bayangan akan digabungkan dipusat penglihatan dan membentuk benda (vision). Penyebab Didalam bola mata bagian depan terdapat cairan jernih yang disebut humor akuwos. Cairan ini dengan teratur akan mengalir dari tempat pembentukan kesaluran luarnya. Tekanan tinggi disebabkan karena produksi cairan bola mata (humor akuwos) yang berlebihan, atau dapat juga apaila saluran pembuangan keluar yang disebut jaringan trabekula tersumbat. Mekanisme terjadinya Glaukoma Aliran humor akuwos lemah Tekanan bola mata tinggi/ Glaukoma Kerusakan saraf penglihatan Kehilangan penglihatan menetap Macam-macam Glaukoma Glaukoma dibagi menjadi 2, yaitu: Glaukoma Primer Dewasa Sudut tertutup a. Akut b. Kronis Sudut terbuka Kongenital Glaukoma Sekunder Glaukoma ini disebabkan bilik mata depan rusak, sehingga menyebabkan tekanan bola mata tinggi karena berbagai macam penyakit yang tidak ditangani, seperti katarak, dan peradangan atau pemakaian tetes mata / zalf Kortikosteroid yang berlebihan. Gejala Glaukoma Akut Gejala cukup berat, sakit mata mendadak, penglihatan kabur, mata merah, disertai dengan sakit kepala, serta mual atau muntah. Pada umumnya penderita memerlukan pertolongan darurat untuk sakit kepalanya dan mengabaikan keluhan mata. Glaukoma Kronis Penyakitnya lebih tenang, tanpa sakit kepala, sehingga penderita tidak merasakan adanya kehilangan penglihatan sedikit demi sedikit. Awalnya kehilangan penglihatan malam dan tepi, sedang penglihatan lurus dan dekat masih baik. Umumnya penderita tidak menghiraukan penglihatannya, sehingga memburuk sampai buta. Deteksi Pemeriksaan oleh dokter spesialis mata secara teratur adalah jalan terbaik untuk deteksi dini Glaukoma secara dini. Pemeriksaan mata yang dilakukan: Mengukur tekanan bolamata (dengan tonometer aplanasi / schiotz) Melihat sudut bilik depan mata (dengan goniolens) Memeriksa lapang pandangan (dengan perimetri) Penanganan Tujuan penanganan adalah untuk menurunkan tekanan bola mata dan mencegah kerusakan saraf penglihatan. Peneganan tergantung jenis Glaukoma, mungkin dengan:

Obat-obatan (lokal mata atau sistemik dengan diminum atau injeksi intravena) Operasi untuk memperlancar aliran humor akuos, atau Dengan laser Tindakan operasi Glaukoma sudut sempit dapat dilakukan: Iridektomi Perifer Operasi Filtrasi, misalnya: Trabekulektomi, Scheie, Trepanasi, dan Iridenklesis. Iridektomi Perifer dilakukan pada: Stadium Prodromal Goniosinechie yang belum banyak pada mata sebelahnya / sehat (kontralateral) disebut Iridektomi Propilaksis. Pada Glaukoma Sudut Terbuka: Iridotomi (dengan laser) Operasi Filtrasi Trabekuloplasti (dengan laser). Glaukoma DEFINISI Glaukoma adalah suatu penyakit dimana tekanan di dalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan. Terdapat 4 jenis glaukoma: Glaukoma Sudut Terbuka Glaukoma Sudut Tertutup Glaukoma Kongenitalis Glaukoma Sekunder. Keempat jenis glaukoma ditandai dengan peningkatan tekanan di dalam bola mata dan karenanya semuanya bisa menyebabkan kerusakan saraf optikus yang progresif.

PENYEBAB Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut humor aqueus. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik posterior, melewati pupil masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari mata melalui suatu saluran. Jika aliran cairan ini terganggu (biasanya karena penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik anterior), maka akan terjadi peningkatan tekanan. Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus dan retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada lapang pandang mata. Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang pandang sentral. Jika tidak diobati, glaukoma pada akhirnya bisa menyebabkan kebutaan.

GEJALA GLAUKOMA SUDUT TERBUKA Pada glaukoma sudut terbuka, saluran tempat mengalirnya humor aqueus terbuka, tetapi cairan dari bilik anterior mengalir terlalu lambat. Secara bertahap tekanan akan meningkat (hampir selalu pada kedua mata) dan menyebabkan kerusakan saraf optikus serta penurunan fungsi penglihatan yang progresif. Hilangnya fungsi penglihatan dimulai pada tepi lapang pandang dan jika tidak diobati pada akhirnya akan menjalar ke seluruh bagian lapang pandang, menyebabkan kebutaan. Glaukoma sudut terbuka sering terjadi setelah usia 35 tahun, tetapi kadang terjadi pada anak-anak. Penyakit ini cenderung diturunkan dan paling sering ditemukan pada penderita diabetes atau miopia. Glaukoma sudut terbuka lebih sering terjadi dan biasanya penyakit ini lebih berat jika diderita oleh orang kulit hitam. Pada awalnya, peningkatan tekanan di dalam mata tidak menimbulkan gejala. Lama-lama timbul gejala berupa: - penyempitan lapang pandang tepi - sakit kepala ringan - gangguan penglihatan yang tidak jelas (misalnya melihat lingkaran di sekeliling cahaya lampu atau sulit beradaptasi pada kegelapan). Pada akhirnya akan terjadi penyempitan lapang pandang yang menyebabkan penderita sulit melihat bendabenda yang terletak di sisi lain ketika penderita melihat lurus ke depan (disebut penglihatan terowongan). Glaukoma sudut terbuka mungkin baru menimbulkan gejala setelah terjadinya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.

GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP Glaukoma sudut tertutup terjadi jika saluran tempat mengalirnya humor aqueus terhalang oleh iris. Setiap hal yang menyebabkan pelebaran pupil (misalnya cahaya redup, tetes mata pelebar pupil yang digunakan untuk pemeriksaan mata atau obat tertentu) bisa menyebabkan penyumbatan aliran cairan karena terhalang oleh iris. Iris bisa menggeser ke depan dan secara tiba-tiba menutup saluran humor aqueus sehingga terjadi peningkatan tekanan di dalam mata secara mendadak. Serangan bisa dipicu oleh pemakaian tetes mata yang melebarkan pupil atau bisa juga timbul tanpa adanya pemicu. Glaukoma akut lebih sering terjadi pada malam hari karena pupil secara alami akan melebar di bawah cahaya yang redup. Episode akut dari glaukoma sudut tertutup menyebabkan: - penurunan fungsi penglihatan yang ringan - terbentuknya lingkaran berwarna di sekeliling cahaya

- nyeri pada mata dan kepala. Gejala tersebut berrlangsung hanya beberapa jam sebelum terjadinya serangan lebih lanjut. Serangan lanjutan menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan secara mendadak dan nyeri mata yang berdenyut. Penderita juga mengalami mual dan muntah. Kelopak mata membengkak, mata berair dan merah. Pupil melebar dan tidak mengecil jika diberi sinar yang terang. Sebagian besar gejala akan menghilang setelah pengobatan, tetapi serangan tersebut bisa berulang. Setiap serangan susulan akan semakin mengurangi lapang pandang penderita.

GLAUKOMA SEKUNDER Glaukoma sekunder terjadi jika mata mengalami kerusakan akibat: Infeksi Peradangan Tumor Katarak yang meluas Penyakit mata yang mempengaruhi pengaliran humor aqueus dari bilik anterior. Penyebab yang paling sering ditemukan adalah uveitis. Penyebab lainnya adalah penyumbatan vena oftalmikus, cedera mata, pembedahan mata dan perdarahan ke dalam mata. Beberapa obat (misalnya kortikosteroid) juga bisa menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler. GLAUKOMA KONGENITALIS Glaukoma kongenitalis sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat gangguan perkembangan pada saluran humor aqueus. Glaukoma kongenitalis seringkali diturunkan. DIAGNOSA Pemeriksaan mata yang biasa dilakukan adalah: Pemeriksaan dengan oftalmoskop bisa menunjukkan adanya perubahan pada saraf optikus akibat glaukoma Pengukuran tekanan intraokuler dengan tonometri. Tekanan di dalam bilik anterior disebut tekanan intraokuler dan bisa diukur dengan tonometri. Biasanya jika tekanan intraokuler lebih besar dari 20-22 mm, dikatakan telah terjadi peningkatan tekanan. Kadang glaukoma terjadi pada tekanan yang normal. Pengukuran lapang pandang Ketajaman penglihatan Tes refraksi Respon refleks pupil Pemeriksan slit lamp Pemeriksaan gonioskopi (lensa khusus untuk mengamati saluran humor aqueus. PENGOBATAN

Glaukoma sudut terbuka Obat tetes mata biasanya bisa mengendalikan glaukoma sudut terbuka. Obat yang pertama diberikan adalah beta bloker (misalnya timolol, betaxolol, carteolol, levobunolol atau metipranolol), yang kemungkinan akan mengurangi pembentukan cairan di dalam mata. Juga diberikan pilocarpine untuk memperkecil pupil dan meningkatkan pengaliran cairan dari bilik anterior. Obat lainnya yang juga diberikan adalah epinephrine, dipivephrine dan carbacol (untuk memperbaiki pengaliran cairan atau mengurangi pembentukan cairan). Jika glaukoma tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan atau efek sampingnya tidak dapat ditolerir oleh penderita, maka dilakukan pembedahan untuk meningkatkan pengaliran cairan dari bilik anterior. Digunakan sinar laser untuk membuat lubang di dalam iris atau dilakukan pembedahan untuk memotong sebagian iris (iridotomi). Glaukoma sudut tertutup Minum larutan gliserin dan air bisa mengurangi tekanan dan menghentikan serangan glaukoma. Bisa juga diberikan inhibitor karbonik anhidrase (misalnya acetazolamide). Tetes mata pilocarpine menyebabkan pupil mengecil sehingga iris tertarik dan membuka saluran yang tersumbat. Untuk mengontrol tekanan intraokuler bisa diberikan tetes mata beta blocker. Setelah suatu serangan, pemberian pilocarpine dan beta blocker serta inhibitor karbonik anhidrase biasanya terus dilanjutkan. Pada kasus yang berat, untuk mengurangi tekanan biasanya diberikan manitol intravena (melalui pembuluh darah). Terapi laser untuk membuat lubang pada iris akan membantu mencegah serangan berikutnya dan seringkali bisa menyembuhkan penyakit secara permanen. Jika glaukoma tidak dapat diatasi dengan terapi laser, dilakukan pembedahan untuk membuat lubang pada iris. Jika kedua mata memiliki saluran yang sempit, maka kedua mata diobati meskipun serangan hanya terjadi pada salah satu mata. Glaukoma sekunder Pengobatan glaukoma sekunder tergantung kepada penyebabnya. Jika penyebabnya adala peradangan, diberikan corticosteroid dan obat untuk melebarkan pupil. Kadang dilakukan pembedahan. Glaukoma kongenitalis Untuk mengatasi glaukoma kongenitalis perlu dilakukan pembedahan.

PENCEGAHAN Tidak ada tindakan yang dapat mencegah terjadinya glaukoma sudut terbuka. Jika penyakit ini ditemukan secara dini, maka hilangnya fungsi penglihatan dan kebutaan bisa dicegah dengan pengobatan. Orang-orang yang memiliki resiko menderita glaukoma sudut tertutup sebaiknya menjalani pemeriksaan mata yang rutin dan jika resikonya tinggi sebaiknya menjalani iridotomi untuk mencegah serangan akut.

Konjungtivitis
Inflammation of the conjunctiva, commonly known as conjunctivitis, often presents with hyperemia or injection of the conjunctiva, resulting in a so-called red eye or pink eye. Conjunctivitis varies in severity from mild hyperemia with epiphora (tearing) to subconjunctival hemorrhage or chemosis (conjunctival edema) with copious purulent discharge and concomitant eyelid edema. The differential diagnosis for red eye is broad because many ophthalmic conditions masquerade as conjunctivitis (Table).

Table. Differential Diagnosis for Conjunctival Hyperemia (Red Eye)


Infectious conjunctivitis (bacterial, viral, parasitic) Allergic or vernal (seasonal) conjunctivitis Drug, toxin, or chemical exposure Trichiasis (inward turning of eyelashes irritating the eye) Nasolacrimal duct obstruction Congenital glaucoma Preseptal or orbital cellulitis Blepharitis (inflammation of the eyelids, especially the margins) Iritis/uveitis Episcleritis or scleritis Foreign body Trauma (corneal abrasion/infection, subconjunctival hemorrhage)

Because of its location (Fig. 1), the conjunctiva is exposed to numerous microorganisms, potential irritants, and allergens, all of which can cause conjunctivitis. The pathogenesis of conjunctivitis typically involves a disruption of the eye's natural defense mechanisms. The eyelids are the first line of defense. Normal eyelid position and function prevent desiccation of the ocular surface and promote tear turnover by periodic closure. The tear film dilutes and removes microbes from the ocular surface. In addition, several components of the tears are involved in the defense of the eye, including tear lysozyme, lactoferrin, immunoglobulins

(particularly IgA), and cytokines. Mucin from the goblet cells of the conjunctiva inhibits attachment of microbes to the ocular surface epithelium. Lipid from the meibomian glands along the eyelid margin help reduce evaporation and prevent desiccation of the ocular surface. In addition, the conjunctiva contains a complete spectrum of immunologically competent cell types.

Fig.1

Symptoms of conjunctivitis are numerous, including foreign body sensation, itching, burning, and photophobia. Associated signs may include hyperemia, epiphora, exudation (watery to purulent discharge, often with matting of the lids), chemosis, papillae, follicles or granulomas, membranes or pseudomembranes, and preauricular as well as submandibular lymphadenopathy. Conjunctivitis typically is classified by its microscopic appearance of forming either follicles or papillae in the conjunctiva. Follicles are small, translucent, avascular mounds of plasma cells and lymphocytes (Fig. 2). They are essentially a well-circumscribed focus of lymphoid hypertrophy. Follicular conjunctivitis usually indicates infection with a viral or intracellular microorganism (ie, Chlamydia trachomatis) or less commonly, a drug reaction (medicamentosa). Papillae are fibrovascular mounds that have a central vascular tuft (Fig. 3). Initially, they are small, but they may coalesce in severe or chronic conjunctivitis, creating giant papillae. A papillary reaction of the conjunctiva usually indicates an extracellular bacterial infection.

Fig.2

Papillae have a predilection for the superior palpebral conjunctiva, and follicles are seen more frequently in the inferior fornix. Among children and adolescents, follicles may be seen normally in the interior fornix location, which is known as benign lymphoid folliculosis.
Previous SectionNext Section

Bacterial Infectious Conjunctivitis


Hyperacute

Hyperacute conjunctivitis refers to acute conjunctivitis that has a rapid onset. Conjunctivitis due to Neisseria gonorrhoeae or N meningitidis is a rare but serious disease characterized by severe, hyperpurulent discharge and pseudomembrane formation (Fig. 4), marked conjunctival injection, often frank subconjunctival hemorrhage,

chemosis, eyelid edema, and preauricular lymphadenopathy. If the clinician suspects Neisseria infection, a bacterial Gram stain and culture should be obtained immediately. If intracellular gram-negative diplococci are identified, urgent referral to an ophthalmologist is recommended because Neisseria may penetrate an intact corneal epithelium. Within 24 to 48 hours, there may be corneal perforation resulting in permanent vision loss. Both N gonorrhoeae and N meningitidis conjunctivitis should be treated with parenteral antibiotics, such as intramuscular or intravenous ceftriaxone. Hospital admission typically is recommended. Topical antibiotic therapy may include a fluoroquinolone. Frequent lavage of the conjunctival fornices with balanced saline solution is recommended to remove the exudate and inflammatory cells and to improve penetration of the topical antibiotics.

Fig.4

Concomitant infection with Chlamydia trachomatis must be considered because this sexually transmitted disease often is seen with gonococcal infections. Any conjunctivitis caused by gonococcus or Chlamydia outside of the age range for ophthalmia neonatorum indicates child sexual abuse and must be reported to the proper authorities. For patients who have N gonorrhoeae disease, sexual partners must be evaluated and treated for both gonorrhea and Chlamydia. Patients who have N meningitidis conjunctivitis should be evaluated for systemic disease such as meningococcemia or meningitis and treated accordingly.
Acute

Acute bacterial conjunctivitis (Fig. 5) may be caused by various organisms, including Staphylococcus aureus, S epidermidis, Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis, and Pseudomonas. Before routine immunization, Haemophilus influenzae type b also was a frequent cause of acute conjunctivitis in children. The clinical presentation can range from mild hyperemia with scant purulent discharge to significant conjunctival injection with moderate purulent discharge. Acute bacterial nongonococcal conjunctivitis usually is benign and self-limited. Empiric topical antibiotic agents (eg, fluoroquinolone or polymyxin B/trimethoprim) can be initiated to shorten the duration and reduce the amount of contagion of the disease. In most cases, bacterial conjunctival culture is not required prior to starting antibiotic therapy, unless the infection occurs during the ophthalmia neonatorum period. For severe, recurrent, or refractory disease, conjunctival swabs should be sent for bacterial Gram stain and culture.

Fig.5

Chronic

Chronic bacterial conjunctivitis consists of conjunctival hyperemia, discharge, and foreign body sensation of greater than 4 weeks in duration. Organisms frequently isolated in true chronic bacterial conjunctivitis include Staphylococcus, M catarrhalis, and most commonly, Chlamydia (ie, trachoma or inclusion conjunctivitis). Conjunctival injection and irritation often occur in patients who have chronic eye conditions, including, but not limited to, nasolacrimal duct obstruction (congenital or acquired), dacryocystitis, blepharitis, floppy eyelid syndrome, and epiblepharon. These conditions must be ruled out when evaluating chronic conjunctivitis in children. In addition, conjunctival and eyelid malignancies, more commonly seen in adults, must be considered in the differential diagnosis.
Ophthalmia Neonatorum (Neonatal Conjunctivitis)

Ophthalmia neonatorum is defined as conjunctivitis within the first 4 weeks after birth. The most frequent causes of neonatal conjunctivitis in the United States are S aureus, S epidermidis, S pneumoniae, and M catarrhalis. Ophthalmia neonatorum also can be caused by C trachomatis, N gonorrhoeae, and herpes simplex virus (HSV). Infants whose mothers have untreated chlamydial infections have a 30% to 40% chance of developing conjunctivitis and a 10% to 20% chance of developing pneumonitis. (1) Chlamydial conjunctivitis typically develops 5 to 14 days after delivery and may be unilateral or bilateral. Initially, infants have watery discharge that often progresses to mucopurulent discharge; other signs include eyelid edema, papillary conjunctivitis, and pseudomembrane formation. Fortunately, the risk of developing chlamydial conjunctivitis is reduced dramatically if erythromycin or tetracycline (no longer available in the United States) ointment is applied within 1 hour of delivery. (2) Previously, laboratory diagnosis was made by identifying basophilic intracytoplasmic inclusion bodies from a conjunctival scraping with the use of Giemsa stain or by isolating the organism in culture. Unfortunately, the Giemsa test lacks sensitivity (especially in mild disease) and requires a well-trained technician for accurate interpretation. Cell cultures also lack sensitivity and are not available in all laboratories. Nucleic acid amplification tests, including polymerase chain reaction, are available for diagnosing chlamydial infection and offer improved sensitivity compared with cell culture, direct fluorescent antibody tests, or enzyme immunoassays, although specificity varies compared with tissue cell culture. (3) It is important to note that not all of these tests have been approved by the United States Food and Drug Administration for use with conjunctival secretion specimens. Chlamydial conjunctivitis frequently is accompanied by infantile pneumonitis. More than 50% of infants who have chlamydial conjunctivitis have concomitant infection at other sites, such as the nasopharynx, genital tract, or lungs. (4) For these reasons, all infants who have chlamydial conjunctivitis should be treated systemically. The recommended treatment is oral erythromycin base or ethylsuccinate for a minimum of 14 days; additional topical therapy is not needed. The infant's mother and her sexual partners also should be evaluated and treated for sexually transmitted infection. N gonorrhoeae is a much more virulent organism than C trachomatis and is one of the few bacteria that has the ability to penetrate an intact corneal epithelium. Fortunately, gonococcal ophthalmia can be prevented readily with antibiotic prophylaxis immediately after birth. For newborns, topical 1% silver nitrate aqueous solution (no longer available in the United States), 1% tetracycline ophthalmic ointment (no longer available in the United States), and 0.5% erythromycin ointment are considered equally effective prophylaxis. (3) However, although silver nitrate is effective against N gonorrhoeae, it is ineffective against Chlamydia. (5) In fact, silver nitrate may injure epithelial cells, thus rendering them more susceptible to other infectious agents. Therefore, erythromycin or tetracycline ointments are recommended for routine prophylaxis.

If an infant is born to a mother known to have gonorrhea, the newborn should receive a single 125-mg dose of parenteral ceftriaxone (25 to 50 mg/kg for low-birthweight and preterm newborns) because topical prophylaxis alone is insufficient. Clinically, gonococcal ophthalmia presents as a hyperacute conjunctivitis occurring within 24 to 48 hours after birth. Infants have significant diffuse eyelid edema, profound conjunctival chemosis, and copious purulent discharge. Systemic antibiotic therapy is recommended (parenteral ceftriaxone 25 to 50 mg/kg, not to exceed 125 mg); topical therapy is unnecessary but can be added to the treatment regimen to reduce the degree of copious purulent discharge. Frequent saline lavage is recommended to promote resolution of the conjunctival inflammation. Infants in whom gonococcal conjunctivitis is diagnosed during the ophthalmia neonatorum period should be evaluated for disseminated infection, which involves rehospitalization if they have been discharged. HSV is another important cause of ophthalmia neonatorum; the diagnosis frequently is delayed because the practitioner initially treats empirically for gonococcal or chlamydial conjunctivitis. Conjunctivitis may be the only manifestation of neonatal HSV skin, eye, and mouth disease and typically presents 6 to 14 days after birth. However, herpetic infection may present shortly postpartum if there was spontaneous rupture of membranes with a delayed delivery. Classic herpetic vesicles may be present on the eyelid margins, aiding in a more rapid diagnosis, but often vesicles are absent. Consultation with an ophthalmologist is recommended to assist with definitive diagnosis (conjunctival or corneal cultures) and management. All neonates who have ocular HSV disease require readmission (if previously discharged) for a full evaluation for disseminated and central nervous system (CNS) herpes infection. Even if disseminated and CNS herpes infection is ruled out, intravenous acyclovir (60 mg/kg per day in three divided doses for 14 days) and topical antiviral therapy (eg, trifluridine drops nine times per day) are required.
C trachomatis Trachoma

In addition to being one of the causes of ophthalmia neonatorum, C trachomatis also causes two other clinical ocular syndromes beyond the neonatal period: trachoma and adult (or adolescent) inclusion conjunctivitis. Serotypes A through C cause trachoma, which remains endemic in parts of Africa, Asia, the Middle East, Latin and South America, and Australia. It is rare in the United States but is a major cause of blindness elsewhere. Infection often occurs in infancy or childhood and becomes chronic. The initial conjunctival inflammation is called active trachoma, characterized by white lumps in the undersurface of the upper lid (conjunctival follicles or lymphoid germinal centers). Follicles also may form at the junction of the cornea and the sclera (limbus) (Fig. 6). Such limbal follicles later resolve, leaving shallow pits at the limbus called Herbert pits. Active trachoma often has a watery discharge. Bacterial secondary infection may occur and cause a purulent discharge.

Fig.6 The later structural changes of trachoma are referred to as cicatricial trachoma. These include cicatrization of the conjunctiva (tarsal or palpebral conjunctiva). Scarring of the tarsal conjunctiva progresses to a thick white line called an Arlt line (Fig. 7). The conjunctival cicatrization eventually causes the eyelid to turn inward (entropion), causing the eyelashes (cilia) to abrade the cornea, which is known as trichiasis. This abrasion results in chronic discomfort as

well as scarring of the ocular surface, with ultimate corneal opacification and vision loss. Endstage trachoma often leads to blindness, typically during the third through fifth decades of life. Treatments include prolonged courses of oral azithromycin, erythromycin, or doxycycline (in children older than 8 years) or topical antibiotics (erythromycin or sulfacetamide ointments). In addition, relief of dry eyes and epilation of trichitic or misdirected lashes is helpful.

Fig.7 Chlamydial Inclusion Conjunctivitis

Adult (or adolescent) inclusion conjunctivitis or chlamydial inclusion conjunctivitis is a sexually transmitted, chronic follicular conjunctivitis caused by serotypes B and D through K. Chlamydial inclusion conjunctivitis is most prevalent in sexually active adolescents and young adults and often is associated with urethritis in males and cervicitis or vaginitis in females. The eye usually is infected by direct or indirect contact with infected genital secretions, although other modes of transmission are possible, including sharing of makeup. Sexual abuse must be ruled out for younger children who have this disease. This infection usually presents as unilateral red eye with a mucopurulent discharge, marked conjunctival hyperemia with follicles, and preauricular lymphadenopathy. Symptoms appear about 1 to 2 weeks after ocular inoculation. Treatment includes both oral antibiotics (eg, azithromycin or erythromycin) and topical antibiotics (eg, erythromycin ointment) for both the patient and sexual partners.
Parinaud Oculoglandular Syndrome

Unilateral granulomatous conjunctivitis (Fig. 8) that has visibly swollen ipsilateral preauricular or submandibular lymphadenopathy characterizes a relatively rare condition known as Parinaud oculoglandular syndrome. This condition results from an infection, most frequently by Bartonella henselae (cat-scratch disease). Neuroretinitis, which involves swelling of the optic nerve head and retina, is another ophthalmic manifestation of cat-scratch disease and causes decreased vision. Other reported causes of Parinaud oculoglandular syndrome include C trachomatis, Francisella tularensis, Mycobacterium tuberculosis, Sporothrix schenckii, Treponema pallidum, Actinomyces, Epstein-Barr virus, and Coccidioides immitis. Serologic investigation may be useful, including B henselae serology (IgM and IgG). Conjunctival bacterial cultures, other serologic testing, and biopsy also may be indicated. Treatment for Parinaud oculoglandular syndrome is disease-specific.
Fig.8 Granulomatous conjunctivitis of Parinaud oculoglandular syndrome.

Viral Infectious Conjunctivitis


The most common viral cause of acute conjunctivitis is adenovirus. Conjunctival cultures usually are not needed unless discharge is copious or the condition becomes chronic; in such cases, bacterial cultures may assist in ruling out a secondary bacterial infection. Symptomatic treatment can be provided with cool compresses and preservative-free artificial tears several times a day for comfort. (Note: When artificial tears are used more than four times daily, preservative-free tears are recommended.) Routine use of topical antibiotics is strongly discouraged, and corticosteroid drops are contraindicated. If symptoms persist or worsen, referral to an ophthalmologist should be considered. It is important to counsel the patient that the conjunctivitis typically worsens for the first 4 to 7 days from onset and may take up to 2 weeks or longer to resolve completely if there is no corneal involvement. It also is important to educate patients that acute viral conjunctivitis is highly contagious. Patients should avoid touching their eyes, shaking hands, and sharing towels and other sources of viral contamination. They should be counseled to wash their hands frequently to avoid viral transmission. It is wise to restrict work and school activities until eye discharge has resolved.
Acute Hemorrhagic Conjunctivitis

Acute hemorrhagic conjunctivitis is a highly contagious disease associated with coxsackievirus A24 and enterovirus 70 and presents with a large subconjunctival hemorrhage (Fig. 9). Patients also may present with fever and headache. Treatment is supportive, and complications are rare.
Fig.9 Enteroviral acute hemorrhagic conjunctivitis.

Pharyngoconjunctival Fever

Pharyngoconjunctival fever is caused by adenovirus types 3, 4, 5, and 7. This infection often affects young children and may lead to community outbreaks. It is characterized by fever, pharyngitis, and follicular conjunctivitis and may cause punctate lesions in the epithelium of the cornea that warrant an ophthalmologic referral. Treatment is supportive; the conjunctivitis is self-limited, usually lasting no more than 10 days.
Epidemic Keratoconjunctivitis

Epidemic keratoconjunctivitis (EKC), caused by adenovirus types 8, 19, and 37, is a highly contagious follicular conjunctivitis lasting 2 to 3 weeks or longer. Signs may include preauricular lymphadenopathy, follicular conjunctivitis, eyelid edema, watery discharge, pseudomembrane, subconjunctival hemorrhage, and subepithelial infiltrates in the cornea. EKC is associated with pharyngitis and rhinitis in 50% of cases. Characteristic small, white, punctate subepithelial infiltrates may develop in the cornea, with an occasional yellow pseudomembrane in the inferior fornix. Subepithelial infiltrates (Fig. 10) are small nummular collections of inflammatory cells in the anterior cornea, which typically occur 2 weeks after the onset of EKC and can last for months after the infection has resolved. These cells may cause decreased vision, glare, and photophobia. EKC is bilateral in 75% to 90% of cases.

Fig.10 Adenoviral epidemic keratoconjunctivitis. Herpes Simplex Virus Conjunctivitis

HSV conjunctivitis generally presents with concurrent herpetic skin vesicular eruption, usually somewhere on the face (Fig. 11), and is characterized by a unilateral follicular conjunctivitis and palpable preauricular node. If HSV conjunctivitis is suspected, immediate referral to an ophthalmologist is recommended because corneal involvement is not uncommon and can threaten sight. HSV keratitis may be missed without slitlamp examination and the use of fluorescein stain (Fig. 12). Treatment depends on the absence or presence of corneal involvement and which layer of the cornea is affected. HSV ocular disease must be treated in collaboration with an ophthalmologist. Treatment includes oral antivirals (eg, acyclovir), topical antiviral therapy (eg, trifluridine 1% drops), and topical corticosteroids. The use of steroids alone in herpetic infections is contraindicated. Recurrence rates of HSV conjunctivitis are high. Any child who has had an HSV infection in the past and presents with a red eye must be considered to have a recurrence until proven otherwise.

Fig.11 Herpes simplex virus conjunctivitis.

Fig. 12 A. Herpes simplex virus keratitis (no stain). B. Herpes simplex virus keratitis (with stain).

Molluscum Contagiosum

Molluscum contagiosum is a poxvirus that can cause a chronic conjunctivitis. It manifests as singular or multiple dome-shaped, umbilicated, shiny papules on the eyelid or eyelid margin (Fig. 13). Follicular conjunctivitis from molluscum results from viral shedding from the eyelid lesions onto the surface of the eye. Immunocompromised patients may have more lesions and less conjunctival reaction; if multiple lesions are present, an underlying immunodeficiency should be considered. Molluscum lesions may resolve spontaneously,

but they also may persist for months to years. Removal of the lesions is indicated in symptomatic patients. Treatments include incision and curettage, simple excision, excision and cautery, and cryotherapy. The conjunctivitis may require weeks to resolve after the lesion has been eliminated. Fig.13 Molluscum contagiosum lesions and conjunctivitis.

Parasitic Conjunctivitis
Pediculosis may cause a follicular conjunctivitis through infestation of adult pubic lice (Phthirus pubis) and nits in the cilia (eyelashes). Symptoms include intense itching of the eyelids, with conjunctival and lid margin injection. The condition may be unilateral or bilateral. Referral to an ophthalmologist is indicated for management, which includes removing the lice and nits with a jeweler's forceps and coating the lashes with an ophthalmic ointment (eg, erythromycin, or a bland ophthalmic ointment) to smother the lice. The ointment usually is applied three times daily for 10 days. Pediculicide lotions and shampoos also should be applied, as directed, to nonocular areas for patients and their close contacts.
Previous SectionNext Section

Allergic Conjunctivitis and Immune-mediated Disorders of the Conjunctiva


Atopic Conjunctivitis/Seasonal Allergic Conjunctivitis

Atopic/seasonal allergic conjunctivitis is largely an IgE-mediated immediate hypersensitivity reaction. The allergens typically are airborne and include dust, molds, spores, pollens, and animal dander. Conjunctival mast cells degranulate to release histamine and various other inflammatory mediators that result in vasodilation, edema, and recruitment of inflammatory cells such as eosinophils. Symptoms include itching; conjunctival chemosis, which manifests as pale edema; eyelid edema; and watery or mucoid discharge (Fig. 14). This reaction typically occurs within minutes of exposure to the allergen. Treatment should be based on severity of symptoms and includes cold compresses, artificial tears, topical antihistamines, mast cell stabilizers, topical nonsteroidal anti-inflammatory agents, and selective use of topical corticosteroids for severe cases treated by an ophthalmologist. It is important to remember that other atopic conditions, such as allergic rhinitis and asthma, often are present as well and must be treated accordingly. Fig.14 Atopic/seasonal allergic conjunctivitis.

Vernal Keratoconjunctivitis

Usually a seasonally recurring, bilateral inflammation of the conjunctiva and cornea, vernal (springtime) keratoconjunctivitis occurs predominantly in male children who frequently have a personal or family history of atopy. This noninfectious conjunctivitis is characterized by high concentrations of histamine and IgE in the tear film. It occurs most commonly in the warm months (spring and summer; hence, the name vernal) and goes into remission during the cooler months. Thus, the highest prevalence of vernal conjunctivitis is in warm, temperate climates. The disease is self-limited in children and has an average duration of 4 to 10 years. Patients present with itching; blepharospasm; photophobia; blurred vision; and copious thick, ropy mucoid discharge. On examination, they demonstrate large cobblestone papillae on the superior tarsal conjunctiva and limbal conjunctiva (Fig. 15). In addition, a noninfectious corneal ulcer that has an oval or shield-like shape with opacification may develop, which may threaten sight; this lesion is referred to as a shield ulcer (Fig. 16). Patients should be referred to an ophthalmologist for management, especially if a shield ulcer is present. Treatment for vernal conjunctivitis without a shield ulcer is similar to that for allergic conjunctivitis, with the addition of prophylactic use of a mast cell stabilizer or antihistamine 2 to 3 weeks prior to the warm season. If a shield ulcer is present, the patient requires treatment by an ophthalmologist. In addition, a topical antibiotic drop to prevent infection and later a topical corticosteroid drop may be required. Patients who have vernal conjunctivitis also may have atopic dermatitis of the eyelids, which can be treated with low-dose topical ophthalmic corticosteroid ointment (eg, fluorometholone 0.1%), 0.03% to 0.1% tacrolimus, or pimecrolimus. Fig. 15 Vernal keratoconjunctivitis.

Fig. 16 Shield ulcer due to vernal conjunctivitis.

Drug, Toxin, or Chemical Exposure


Chemical Conjunctivitis

For pediatric practitioners, a classic example of chemical conjunctivitis is caused by silver nitrate drops when used for ophthalmia neonatorum prophylaxis. The chemical conjunctivitis typically begins a few hours after administration of the drop and lasts for 24 to 36 hours. Approximately 90% of infants who receive silver nitrate develop mild, transient conjunctival injection with epiphora. (6) This effect, along with damage to the corneal epithelium, led to widespread discontinuation of its use as an ocular prophylaxis immediately postpartum in the United States. (7)
Toxic Conjunctivitis and Conjunctivitis Medicamentosa

Toxic conjunctivitis follows chronic exposure of the conjunctiva to a variety of foreign substances, from eye cosmetics to prolonged use of various eye medications (prescription or over-the-counter). Frequently, in the case of eye drops, the preservatives are the toxin. They can incite a type IV delayed hypersensitivity reaction presenting with periocular erythema, sometimes causing a mild contact dermatitis as well as a follicular conjunctivitis in chronic cases. Treatment is discontinuation of the offending agent. For comfort, the addition of preservative-free artificial tears, as needed, should be considered.
Previous SectionNext Section

Other Forms of Conjunctivitis


Kawasaki Disease

Kawasaki disease (KD) is a systemic inflammatory disease of unknown cause. Because no specific diagnostic test exists, clinical criteria are used to establish the diagnosis. The clinical criteria for classic KD include fever for at least 5 days, plus four of the five following clinical findings: conjunctivitis, oropharyngeal changes (eg, strawberry tongue, red fissured lips), cervical adenopathy (usually unilateral), extremity changes of the hands or feet, and a polymorphous rash. The conjunctivitis seen in KD is not purulent and is bilateral. Classically, there is absence of conjunctival injection perilimbally. If there is associated purulent discharge or crusting, conjunctival swabs for viral culture may be useful to rule out adenoviral disease. The treatment for acute KD is beyond the scope of this review.
Ligneous Conjunctivitis

Ligneous conjunctivitis is a rare, bilateral, chronic pseudomembranous conjunctivitis. The condition is linked to plasminogen deficiency, both homozygous and heterozygous, resulting in multiorgan pseudomembranous disease of mucous membranes in the mouth, nasopharynx, trachea, and female genital tract. Ocular signs are characterized by a woody induration of the tarsal conjunctiva associated with a yellowish, fibrinous, platelike pseudomembrane that can be seen readily on eversion of the eyelids (Fig. 17). These membranes are composed of a mixture of fibrin, epithelial cells, and inflammatory cells and often adhere firmly to the conjunctival surface. They can be removed, but they frequently recur. More recently, successful treatment with intravenous lys-plasminogen (8) or topical plasminogen drops (9) has been reported. Anatomi mata itu dibagi menjadi 6 bagian anatomis: (1) adnexa, yang meliputi kelopak mata dan lacrimal apparatus; (2)segmen anterior, terdiri dari konjungtiva, kornea, dan ruang anterior; (3) iris dan lensa; (4) segmen posterior yang terdiri dari humor vitreous, retina, choroid, dan sklera; (5) otot extraocular; (6) Orbit.
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisanlapisan tersebut adalah : (1) sklera/kornea, (2) koroid/badan siliaris/iris, dan (3) retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar,

sklera, yang membentuk bagian putih mata. Di anterior (ke arah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya berkasberkas cahaya ke interior mata. Lapisan tengah dibawah sklera adalah koroid yang sangat berpigmen dan mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk memberi makan retina. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas lapisan yang sangat berpigmen di sebelah luar dan sebuah lapisan syaraf di dalam. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi impuls syaraf. Struktur mata manusia berfungsi utama untuk memfokuskan cahaya ke retina. Semua komponenkomponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan bayangan gelap dari cahaya. Kornea dan lensa berguna untuk mengumpulkan cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang impulsimpuls syaraf ini dan menjalarkannya ke otak

Cahaya masuk ke mata dari media ekstenal seperti, udara, air, melewati kornea dan masuk ke dalam aqueous humor. Refraksi cahaya kebanyakan terjadi di kornea dimana terdapat pembentukan bayangan yang tepat. Aqueous humor tersebut merupakan massa yang jernih yang menghubungkan kornea dengan lensa mata, membantu untuk mempertahankan bentuk konveks dari kornea (penting untuk konvergensi cahaya di lensa) dan menyediakan nutrisi untuk endothelium kornea. Iris yang berada antara lensa dan aqueous humor, merupakan cincin berwarna dari serabut otot. Cahaya pertama kali harus melewati pusat dari iris yaitu pupil. Ukuran pupil itu secara aktif dikendalikan oleh otot radial dan sirkular untuk mempertahankan level yang tetap secara relatif dari cahaya yang masuk ke mata. Terlalu banyaknya cahaya yang masuk dapat merusak retina. Namun bila terlalu sedikit dapat menyebabkan kesulitan dalam melihat. Lensa yang berada di belakang iris berbentuk lempeng konveks yang memfokuskan cahaya melewati humour kedua untuk menuju ke retina. Untuk dapat melihat dengan jelas objek yang jauh, susunan otot siliare yang teratur secara sirkular akan akan mendorong lensa dan membuatnya lebih pipih. Tanpa otot tersebut, lensa akan tetap menjadi lebih tebal, dan berbentuk lebih konveks. Manusia secara perlahan akan kehilangan fleksibilitas karena usia, yang dapat mengakibatkan kesulitan untuk

memfokuskan objek yang dekat yang disebut juga presbiopi. Ada beberapa gangguan refraksi lainnya yang mempengaruhi bantuk kornea dan lensa atau bola mata, yaitu miopi, hipermetropi dan astigmatisma. Selain lensa, terdapat humor kedua yaitu vitreous humor yang semua bagiannya dikelilingi oleh lensa, badan siliar, ligamentum suspensorium dan retina. Dia membiarkan cahaya lewat tanpa refraksi dan membantu mempertahankan bentuk mata. Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah darinya oleh selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu : 1. Tunica Fibrosa Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau sklera dan bagian anterior yang transparan atau kornea. Sklera merupakan jaringan ikat padat fibrosa dan tampak putih. Daerah ini relatif lemah dan dapat menonjol ke dalam bola mata oleh perbesaran cavum subarachnoidea yang mengelilingi nervus opticus. Jika tekanan intraokular meningkat, lamina fibrosa akan menonjol ke luar yang menyebabkan discus menjadi cekung bila dilihat melalui oftalmoskop. Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu vv.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya pada batas limbus. Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. Tersusun atas lapisan-lapisan berikut ini dari luar ke dalam sama dengan: (1) epitel kornea (epithelium anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva. (2) substansia propria, terdiri atas jaringan ikat transparan. (3) lamina limitans posterior dan (4) endothel (epithelium posterius) yang berhubungan dengan aqueous humour. 2. Lamina vasculosa Dari belakang ke depan disusun oleh sama dengan : (1) choroidea (terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare (ke belakang bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di belakang tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil) iris membagi ruang diantara lensa dan kornea menjadi camera anterior dan posterior, serat-serat otot iris bersifat involunter dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier. 3. Tunica sensoria (retina) Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya berkontak dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior retina merupakan organ reseptornya. Ujung anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris. Di pusat bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan, macula lutea, merupakan daerah retina untuk penglihatan paling jelas. Bagian tengahnya berlekuk disebut fovea sentralis. Nervus opticus meninggalkan retina lebih kurang 3 mm medial dari macula lutea melalui discus nervus optici. Discus nervus optici agak berlekuk di pusatnya yaitu tempat dimana ditembus oleh a. centralis retinae. Pada discus ini sama sekali tidak ditemui coni dan bacili, sehingga tidak peka terhadap cahaya dan disebut sebagai bintik buta. Pada pengamatan dengan oftalmoskop, bintik buta ini tampak berwarna merah muda pucat, jauh lebih pucat dari retina di sekitarnya.

Anatomi dan Fisiologi Pada Mata Secara garis besar anatomi mata dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, dan untuk ringkasnya fisiologi mata akan diuraikan secara terpadu. Keempat kelompok ini terdiri dari : 1) Palpebra Dari luar ke dalam terdiri dari : kulit, jaringan ikat lunak, jaringan otot, tarsus, vasia dan konjungtiva. Fungsi dari palpebra adalah untuk melindungi bola mata, bekerja sebagai jendela memberi jalan masuknya

sinar kedalam bola mata, juga membasahi dan melicinkan permukaan bola mata. 2) Rongga mata Merupakan suatu rongga yang dibatasi oleh dinding dan berbentuk sebagai piramida kwadrilateral dengan puncaknya kearah foramen optikum. Sebagian besar dari rongga ini diisi oleh lemak, yang merupakan bantalan dari bola mata dan alat tubuh yang berada di dalamnya seperti: urat saraf, otototot penggerak bola mata, kelenjar air mata, pembuluh darah 3) Bola mata Menurut fungsinya maka bagian-bagiannya dapat dikelompokkan menjadi: o Otot-otot penggerak bola mata o Dinding bola mata yang teriri dari : sklera dan kornea. Kornea kecuali sebagai dinding juga berfungsi sebagai jendela untuk jalannya sinar. o Isi bola mata, yang terdiri atas macam-macam bagian dengan fungsinya masing-masing 4) Sistem kelenjar bola mata Terbagi menjadi dua bagian: o Kelenjar air mata yang fungsinya sebagai penghasil air mata o Saluran air mata yang menyalurkan air mata dari fornik konjungtiva ke dalam rongga hidung KEBUTAAN Cedera dan penyakit pada mata bisa mempengaruhi penglihatan. Kejernihan penglihatan disebut ketajaman visuil, yang berkisar dari penglihatan penuh sampai ke tanpa penglihatan. Jika ketajaman menurun, maka penglihatan menjadi kabur. Ketajaman penglihatan biasanya diukur dengan skala yang membandingkan penglihatan seseorang pada jarak 20 kaki dengan seseorang yang memiliki ketajaman penuh. Visuil 20/20 artinya seseorang melihat benda pada jarak 20 kaki dengan ketajaman penuh; sedangkan visuil 20/200 artinya seseorang melihat benda pada jarak 20 kaki, yang oleh orang dengan ketajaman penuh benda tersebut terlihat pada jarak 200 kaki. Secara teoritis, kebutaan terjadi jika ketajaman penglihatan lebih buruk dari 20/200 meskipun telah dibantu dengan kaca mata maupun lensa kontak. Penyebab kebutaan Kebutaan bisa terjadi karena berbagai alasan: - cahaya tidak dapat mencapai retina - cahaya tidak terfokus sebagaimana mestinya pada retina - retina tidak dapat merasakan cahaya secara normal - kelainan penghantaran gelombang saraf dari retina ke otak - otak tidak dapat menterjemahkan informasi yang dikirim oleh mata. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan kebutaan: # Katarak # Kelainan refraksi # Ablasio retina # Retinitis pigmentosa # Diabetes # Degenerasi makuler # Sklerosis multipel # Tumor kelenjar hipofisa # Glaukoma # Kelainan pada daerah otak yang mengolah gelombang visuil akibat stroke, tumor atau penyakit lainnya.

B. Mekanisme, patofisiologi, dan patogenesis infeksi mata Allergic conjunctivitis dikarenakan oleh respon immune tipe I kepada allergen. allergen berikatan dengan cell mast dan terjadi cross-linking dengan IgE, membuat degranulasi cell mast dan inisiasi cascade inflamasi. Ini membuat pelepasan histamine oleh cell mast, begitu juga mediator lain seperti tryptase, chymase, heparin, chondroitin sulphate, prostaglandins, thromboxane, and leukotrienes. Histamine dan bradykinin menstimulate nociceptors, membuat gatal, menaikan permiabilitas vascular, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi conjuctiva. Infective conjunctivitis terjadi sebagai hasil dari berkrangnya pertahanan dan kontaminasi dari luar. Infectious pathogen bisa menyerang dari darah atau kelenjar dan berkembang di conjunctival mucosal cells. Semua infeksi bacterial dan viral membuat leukocyte atau cascade inflamasi lymphe menarik sel darah putih dan merah ke daerah infeksi. Sel darah putih ini mencapai permukaan conjuctiva dan berakumulasi disana bergerak melalui permiabilitas yang rendah dan dilatasi capiler.

C. Faktor resiko penyakit mata merah biasanya pada anak anak, dan bisa sampe usia 25. sering terjadi pada orang orang yang berhubungan langsung dengan penderita atau orang orang yang bekerja pada lingkungan kering. D. 1. Membedakan penyebab konjungtivitis karena virus, bakteri, jamur, dll Bacterial Conjunctivitis Riwayat: Konjungtivitis karena bakteri mempunyai beberapa varian berdasarkan dengan durasi nya. Ada yang hiperakut (12-24 jam), akut (kurang dari 4 minggu), kronis (lebih dari 4 minggu). Akut dan kronis biasanya terjadi unilateral atau hanya pada salah satu mata. Discharge yang keluar biasanya mulai dari bentuk mucoid yang ringan sampai moderat, atau mucopurulen. Gatal yang ringan biasa ditemui, jika gatal lebih dominan maka diduga alergi. Photophobia ringan. Pada sexual history pernah mengalami vaginitis, vicitis, atau urethritis yang mungkin ditemui pada kasus yang kronis. Temuan Pemeriksaan: Red injected eye Purulen atau mucopurulen discharge Pembengkakan kelopak mata Chemosis: edema konjungtiva Preaulicular lymphadenophaty: lebih biasa pada infeksi virus. Treatment: Hyperacute Conjunctivitis dan Gonococal Conjunctivitis Jika ditemukan gram negatif diplococus pada pengecatan gram, dapat dirawat dengan ceftriaxone 1 g intra muscular Acute Conjunctivitis Jika tidak ada kontraindikasi bisa diberikan obat antibiotik spektrum luas. Contoh:Trimethoprim-polymixin QID, Ofloxacin QID, Ciprofloxacin QID, Bacitracin-erythromicin ointment QID Chronic Conjunctivitis Inklusi chlamidia konjungtivitis dirawat dengan

Oral antibiotik: doxycicline 100mg po BID; tetracicline 250-500 mg po QID; erythromicin 250-500 po BID atau clarythomicin 250-500 po BID - Salep topical: erythromicin, tetracicline, sulfacetamide 2-3 kali sehari selama 2-3 minggu. 2. Viral Conjunctivitis Riwayat: Biasanya akut (kurangdari 4 minggu). Terjadi secara bilateral, tetapi diawali dengan infeksiunilateral dan setelah beberapa hari kemudian menjadi bilateral. Discharge biasanya berair dengan scant withish mucus. Gejala biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas ataukontak dengan orang yang menderita mata merah. Gatal dan rasa panas serta photophobia ringan dapat dijumpai. Bisa ditemukan juga demam, biasanya dihubungkan dengan pharyngoconjunctival fever. Temuan Pemeriksaan: - Kelopak yang merah dan membengkak - Preauricular limfonodi yang palpable - Folikel palpebra konjungtiva inferior - Discharge berair DD: Corneal Ulcer, Anterior Chamber Cells, Hypopyon(pelapisan oleh sel darah putih pada ruang anterior) Treatment: - Biasanyatreatmentsuportive karena self-limited - Air mata buatan tanpa pengawet 4-6 kali sehari - Jika gatal bisa diberikan naphazoline/pheniramine drop QID - Kompres dingin - Menasihati pasien bahwa penyakitnya sangat menular sehingga hindari menyentuh mata dan kurangi kontak dengan orang lain. 3. Allergic Conjunctivitis Riwayat: Biasanya singkat dan pasien mempunyai riwayat alergi seperti alergi debu, serbuk sari, kotoran binatang, atau UV. Gejala: - Gatal - Discharge berair - Mata merah Temuan Pemeriksaan: - Mata merah - Stringy, discharge putih - Pembengkakan kelopak mata - Chemosis - Konjungtiva papilae Treatment: - Hindari alergen - Kompres dingin - Air mata buatan tanpa pengawet 4-6 kali sehari dipadu dengan vasoconstrictor/antihistamine - Pertimbangkan antihistaminoral atau topical untuk kasus yang berat 4. Subconjunctival Hemorrhage Riwayat: Trauma pada saat menggaruk mata, hipertensi, mempunyai riwayat kelainan pembekuan darah, pengobatan dengan aspirin, atau idiopatik. Temuan Pemeriksaan: - Biasanya asimtomatik - Mata merah - Warna merah menyala dan gelap darah di bawah konjungtiva, biasanya sectoral - Jika ada perdarahan 3600 Subconjunctival hemorrhage maka harus mengeliminasi ruptur globe dulu.

E.

Treatment: Tidak ada treatmentyang dibutuhkan Tetes mata buata Obat antikoagulan dihentikan

Diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan tamban hd bacterial -historinya hyperacute (12-14jam), acute kurang dari 4 minggu, dan chronic lebih dari 4 minggu -akut dan kronik biasanya unilateral -biasanya ada discharge sebagai tanda mild sampai sedang -ada rasa gatal -chemosis -merah viral -inferior palpebral conjuctival follicles -biasanya acute -whitish mucose -preauiclar lymph node teraba -merah allergic -gatal -kelopak mata bengkaj -merah -preauriculer lymph tdk teraba F. Penatalaksanaan konjungtivitis (drug of choice, rasionalisasi terapi) Untuk viral: tetes mata acyclovoir atau trifluridine. Untuk allergic: tetes mata antihistamin seperti vasocon-A ata resep olopatadine ophthalmic dan anti hstamin oral bisa mengurangi gatalnya. Untuk bacterial: tetes mata sodium sulfacetamide atau azytromisin atau norfloxasin. G. Epidemiologi dan pencegahan konjungtivitis Pencegahanya sebenarnya cukup simple, yaitu sering mencuci tanan dan jangan menggosok mata karena bisajadi tangan sedang kotor. Biasanya adenovirus yg juga bisa menyebabkan conjunctivitis kejadiianya tinggi pada musim panas, nah kebetulan kita sering bgt tuh musim panas, jadi hati dengan debu kering yang berterbangan juga. Penyebaran juga bisa melalui benda benda yang sering bersentuhan dengan mata kita, seperti bantal, tissue dan sapu tangan, jadi sebisa mungkin tidak saling meminjam dan menjaga kebersihanya. Kalo memed mau lihat gambar-gambar mata sakit bisa dibuka di http://www.klinikmatanusantara.com/index.php?option=com_content&task=view&id=152&Itemid=9 Sementara itu dulu ya....masih ada field yang masih kosong kandi learning objective, tapi insyaallah mimin Nata mau nambahin kok ntar. Indahny dunia jika kita berbagi..regards, Anti-Remed.. Kontributor: GalihArya JrNata

1. 2. 3. 4.

Referensi: Emergency Ophthalmology a Rapid Treatment Guide Kenneth C. Chern, MD http://blog.ilmukeperawatan.com/anatomi-mata-dan-fisiologi-mata.html http://doctorology.net/?p=105 http://i-comers.com/showthread.php?t=6926 http://bestpractice.bmj.com/ http://www.umm.edu/altmed/articles/conjunctivitis-000040.htm
Penyakit mata pada anak tidak dapat disepelekan. Karena hal itu berhubungan dengan masa depan anak itu sendiri. Jadi sebisa mungkin kita sebagai orang tua mewaspadai setiap gangguan pada mata anak kita biarpun itu sekecil apapun. Penyakit mata pada anak dapat dikatakan banyak jenisnya. Bisa juga akibat keturunan atau tidak, selain itu juga bersifat bawaan lahir atau tidak. Berikut adalah beberapa gangguan mata yang sering menyerang anak kita diantaranya adalah : Buta Warna

Sakit mata pd anak

Buta warna merupakan penyakit keturunan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki ketimbang pada anak perempuan, dikarenakan dibawa oleh kromosom Y. Sampai saat ini belum ada terapi buta warna. Di Jepang baru sedang dicoba untuk mengganti sel-sel keruucut pada retina, penyebab terjadinya buta warna, tapi belum dinyatakan berhasil. Anak buta warna sejak lahir tidak mengenal warna merah, hijau, dan biru secara baik. Yang ringan masih bisa membedakannya, tapi yang berat, hanya berkemampuan dengan bergradasi hitam putih belaka. Sehingga persepsinya terhadap ketiga warna itu menjadi berbeda dengan orang normal. Adakalanya anak tidak sadar, ia mengidap buta warna. Bahkan orang tuanya pun mungkin tidak tahu si anak buta warna. Terutama jika buta warnanya ringan. Sehingga sering kaget ketika masuk perguruan tinggi sebab untuk jurusan teknik elektro dan kedokteran, misalnya, tidak boleh buta warna. Perlu diketahui, di retina terdapat dua jenis sel, yakni sel batang dan sel kerucut. Sel batang untuk kemampuan membedakan terang gelap, sedang sel kerucut untuk membedakan warna-warna. Pada anak buta warna, sel kerucut di retina matanya, abnormal sehingga terganggu kemampuannya membedakan warna merah, hijau dan biru dengan derajat yang berbeda-beda, Dengan melakukan tes membaca ishihara, buta warna didiagnosis. Buku berisi gambar-gambar bertuliskan angka-angka, sedemikan rupa, sehingga orang buta warna tidak bisa tepat membaca angka-angka yang orang normal dapat melihatnya dengan jelas.
Mata Juling

Merupakan gangguan mata yang bersifat bawaan lahir.Ada beberapa jenis kejulingan, dari yang ringan sampai yang berat. Umumnya sebab terdapat kelainan saraf bola mata, sehingga sumbu bola mata tidak normal dan perlu ditangani. Jika tidak dibawa dari lahir, juling bisa didapat sesudahnya misalnya akibat katarak berat. Pada orang dewasa mendadak juling perlu diwaspadai, sebab dapat merupakan manifestasi dari adanya kelainan di otak atau kenker hidung tenggorokan. Pada anak bisa juga akibat adanya tumor ganas di dalam bola mata.

Mata juling perlu segera ditangani agar ketajaman penglihatan anak berkembang normal. Jika tidak, anak tidak belajar melihat secara normal. Dan mata anak kemudian bisa menjadi abnormal.
Glaukoma

Glaukoma kongenital adalah glaukoma yang terjadi sejak lahir. Pada bayi dan orang dewasa, glaukoma disebabkan oleh peningkatan tekanan di dalam bola mata. Perbedaannya, pada bayi umumnya disertai kelainan struktur segmen depan bola mata. Kelainan ini menyebabkan air mata terbendung dan mengakibatkan peninggian tekanan bola mata. Selanjutnya terjadi peningkatan tekanan bola mata yang akan menyebabkan kelainan pada kornea (bagian hitam mata), yaitu diameternya menjadi lebih lebar dan semakin tipis dan keruh. Disamping itu akibat tekanan yang tinggi terus-menerus juga akan mengenai saraf penglihatan (saraf optik) sehingga akan mengganggu penglihatan. Gejala yang dapat menyertai bayi dengan glaukoma kongenital adalah takut akan sinar, selalu memutup matanya bila kena cahaya, mata selalu berair dan diameter kornea lebih lebar dibandingkan dengan kornea bayi yang normal.
Bufthalmus

Penyakit ini juga tergolong penyakit mata dengan tekanan bola mata yang meninggi sejak lahir. Akibat tekanan bola mata yang meninggi, ukuran bola mata bayi sangat besar. Keadaan ini mengganggu kornea mata. Anak takut melihat cahaya, timbul gangguan kelopak mata, kornes membengkak, dan warna kornea menjadi keruh. Untuk mengurangi bendungan cairan bola mata, yang membuat tekanan bola mata yang meninggi dilakukan operasi sayatan (goniotomy) sesegera mungkin agar perkembangan mata dan ketajaman penglihatan anak tidak sampai terganggu.
Katarak Mata

Katarak tidak hanya menyerang orang yang lanjut usia, tetapi katarak bisa menyerang bayi. Katarak terjadi karena adanya kekeruhan pada lensa mata. Ini kelainan bawaan. Biasanya lahir dari ibu yang mengidap infeksi campak Jerman, toxoplasmosis, atau kencing manis. Selain itu juga disebabkan faktor keturunan. Bayi dengan katarak perlu dilakukan operasi jika refleks fundus mata tidak ada atau kataraknya bersifat total. Maksudnya, agar perkembangan penglihatan anak tidak sampai terhambat. Operasi biasanya dilakukan setelah anak berumur 2 tahun. Jika dibiarkan kemungkinan anak berkembang menjadi juling atau pergerakan bola matanya abnormal (nystagmus).
Ptosis

Penyakit ini dijuluki mata ngantuk sebab penderitanya seperti mengantuk terus. Kelopak mata atasnya tidak dapat membuka dengan sempurna, sehingga cenderung rendah dan turun sebab otototot pengungkit kelopak matanya lemah. Untuk mengoreksi sendiri, pasien ptosis tampak khas. Dahinya mengernyit dan alis matanya terungkit terus. Penyakit ini bisa sebab kelemahan otot kelopak mata yang didapat, bisa juga sebab

penyakit turunan myastenia gravis. Untuk koreksi kelemahan otot ini dilakukan pembedahan sebelum anak berumur setahun.
Infeksi Mata

Infeksi mata banyak jenisnya. Paling sering infeksi pada selaput lendir putih mata dan kelopak mata (conjunctivitis) atau dikenal sebagai penyakit mata merah. Penyebab infeksi mata bisa oleh semua jenis bibit penyakit, mulai dari virus, kuman, jamur, sampai parasit. Tidak jarang terjadi karena alergi, baik yang berasal dari luar seperti serbuk sari, zat kimawi, atau dapat juga alergi dari dalam, yaitu pengidap TBC, penyakit darah atau penyakit kelenjar getah bening. Mata merah sejak lahir bisa disebabkan oleh kuman chalamydia yang ibu idap pada kemaluan. Bisa juga oleh kuman kencing nanah dari ibu dengan penyakit yang sama. Tanda dan gejalanya hampir sama. Mata merah membengkak dan banyak kotoran mata yang lebih menyerupai nanah. Infeksi mata yang didapat banyak jenisnya. Ada yang bersifat wabah sehingga pada musim-musim tertentu banyak orang yang sakit mata merah. Penyakit ini ditularkan lewat udara. Virus dan kuman beredar dalam udara di tempat-tempat umum atau melalui barang yang penderita pakai, seperti saputangan, kacamata, handuk atau sarung bantal, dan lensa kontak. Mata merah pada bayi lebih sering disebabkan oleh infeksi pada kelenjar air mata atau kantung air mata. Setiap hari mata bayi banyak mengeluarkan kotoran matanya, selain matanya tampak merah. Penyakit ini bawaan dari lahir. Sebabnya ada sumbatan dalam saluran air mata dan infeksi bersarang di sana. Biasanya menahun. Infeksi kelenjar air mata pada anak yang besar sering akibat komplikasi campak, gondong, atau flu. Tak jarang akibat TBC dan penyakit getah bening. Infeksi mata menahun sering pula disebabkan oleh penyakit mata trachoma. Banyak diidap di negara yang masih buruk sanitasi dan higienenya. Mudah menular dan sering menahun sebab tidak tuntas diobati. Komplikasinya bisa berat bahkan menimbulkan kebutaan. Infeksi kelenjar minyak mata menimbulkan bintil. Bisul kecil di mulut kelenjar ini perlu segera diobati sebab jika sudah lebih dari dua minggu, obat sudah terlambat dan memerlukan tindakan operasi untu menyayat bisul mata yang sudah mnegeras. Tanpa operasi bisul, bintil tidak hilang, menetap, dan sering kambuh. Selain pada putih mata dan selaput lendir kelopak mata, infeksi mata juga dapat menyerang kornea atau hitam mata. Ini jauh lebih berbahaya sebab kornea berhubungan langsung dengan fungsi penglihatan. Infeksi pada kornea berhubungan langsung dengan fungsi penglihatan. Infeksi kornea mata perlu mendapat perhatian lebih besar agar tidak sampai menimbulkan kecacatan. Mata merah juga dapat disebabkan glaucoma dan alergi. Bedanya dengan infeksi, pada glaucoma atau alergi biasanya tidak ada rasa nyeri, pedih, atau mengganjal bola mata, tidak pula disertai demam. Biasanya tidak mengeluarkan kotoran mata.
Retinoblastoma

Tumor ganas bola mata yang dibawa sejak lahir. Tidak tahu apa sebabnya. Tumor di retina ini sudah tumbuh sejak lahir. Sering luput dan kerap gejalanya baru muncul ketika tumor sudah telanjur besar. Gejala itu mungkin juling mendadak, glaucoma, mata sering merah, dan visus atau ketajaman penglihatan anak cepat menurun sehingga sering ganti kacamata.

Rabun Jauh

Anak sekarang terancam kena rabun jauh pada usia masih kecil. Penyebabnya, banyak membaca dengan cara yang kurang tepat. Baca sambil tiduran, sebab yang dibaca banyak dan badan letih oleh banyaknya pelajaran dan pekerjaan rumah. Membaca dengan pencahayaan yang kurang. Sedikitnya perlu 60 watt dengan jarak baca 33 cm, posisi duduk tegak, dan obyek baca tidak bergerak. Artinya, yang sehat itu membaca duduk dan obyek bacaan diletakkan di atas meja.
Rabun Senja

Rabun senja terjadi jika anak-anak mengalami kekurangan vitamin A. Begitu matahari mulai terbenam anak sering menabrak-nabrak barang di depannya kalau berjalan. Penglihatannya menjadi kabur di waktu senja hari. Sebab sel-sel batang di retinanya terganggu fungsinya akibat tidak cukup vitamin A dalam menu hariannya. Jika rabun senja dibiarkan tanpa tambahan vitamin A, maka kelainan mata akan berkembang menadi kelainan pada putih mata yang disebut bercak Tuan Bitot. Pada fase ini mata masih bisa diselamatkan jika vitamin A ditambahkan dalam menu hariannya. Jika kelainan ini pun masih dibiarkan, mata akan menjadi kering dan kornea kemudia rusak. Kornea keriput lalu kisut dan akhirnya pecah. Kondisi kornea yang semacam inilah yang berakibat kebutaan yang sudah tak terkoreksi lagi. Sumber : Diolah dari berbagai sumber Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisanlapisan tersebut adalah : (1) sklera/kornea, (2) koroid/badan siliaris/iris, dan (3) retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera, yang membentuk bagian putih mata. Di anterior (ke arah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya berkasberkas cahaya ke interior mata. Lapisan tengah dibawah sklera adalah koroid yang sangat berpigmen dan mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk memberi makan retina. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas lapisan yang sangat berpigmen di sebelah luar dan sebuah lapisan syaraf di dalam. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi impuls syaraf. Struktur mata manusia berfungsi utama untuk memfokuskan cahaya ke retina. Semua komponen komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan bayangan gelap dari cahaya. Kornea dan lensa berguna untuk mengumpulkan cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang impulsimpuls syaraf ini dan menjalarkannya ke otak. Cahaya masuk ke mata dari media ekstenal seperti, udara, air, melewati kornea dan masuk ke dalam aqueous humor. Refraksi cahaya kebanyakan terjadi di kornea dimana terdapat pembentukan bayangan yang tepat. Aqueous humor tersebut merupakan massa yang jernih yang menghubungkan kornea dengan lensa mata,

membantu untuk mempertahankan bentuk konveks dari kornea (penting untuk konvergensi cahaya di lensa) dan menyediakan nutrisi untuk endothelium kornea. Iris yang berada antara lensa dan aqueous humor, merupakan cincin berwarna dari serabut otot. Cahaya pertama kali harus melewati pusat dari iris yaitu pupil. Ukuran pupil itu secara aktif dikendalikan oleh otot radial dan sirkular untuk mempertahankan level yang tetap secara relatif dari cahaya yang masuk ke mata. Terlalu banyaknya cahaya yang masuk dapat merusak retina. Namun bila terlalu sedikit dapat menyebabkan kesulitan dalam melihat. Lensa yang berada di belakang iris berbentuk lempeng konveks yang memfokuskan cahaya melewati humour kedua untuk menuju ke retina. Untuk dapat melihat dengan jelas objek yang jauh, susunan otot siliare yang teratur secara sirkular akan akan mendorong lensa dan membuatnya lebih pipih. Tanpa otot tersebut, lensa akan tetap menjadi lebih tebal, dan berbentuk lebih konveks. Manusia secara perlahan akan kehilangan fleksibilitas karena usia, yang dapat mengakibatkan kesulitan untuk memfokuskan objek yang dekat yang disebut juga presbiopi. Ada beberapa gangguan refraksi lainnya yang mempengaruhi bantuk kornea dan lensa atau bola mata, yaitu miopi, hipermetropi dan astigmatisma. Selain lensa, terdapat humor kedua yaitu vitreous humor yang semua bagiannya dikelilingi oleh lensa, badan siliar, ligamentum suspensorium dan retina. Dia membiarkan cahaya lewat tanpa refraksi dan membantu mempertahankan bentuk mata. Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah darinya oleh selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu : 1. Tunica Fibrosa Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau sklera dan bagian anterior yang transparan atau kornea. Sklera merupakan jaringan ikat padat fibrosa dan tampak putih. Daerah ini relatif lemah dan dapat menonjol ke dalam bola mata oleh perbesaran cavum subarachnoidea yang mengelilingi nervus opticus. Jika tekanan intraokular meningkat, lamina fibrosa akan menonjol ke luar yang menyebabkan discus menjadi cekung bila dilihat melalui oftalmoskop. Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu vv.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya pada batas limbus. Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. Tersusun atas lapisan-lapisan berikut ini dari luar ke dalam sama dengan: (1) epitel kornea (epithelium anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva. (2) substansia propria, terdiri atas jaringan ikat transparan. (3) lamina limitans posterior dan (4) endothel (epithelium posterius) yang berhubungan dengan aqueous humour.

2. Lamina vasculosa Dari belakang ke depan disusun oleh sama dengan : (1) choroidea (terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare (ke belakang bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di belakang tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil) iris membagi ruang diantara lensa dan kornea menjadi camera anterior dan posterior, serat-serat otot iris bersifat involunter dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier. 3. Tunica sensoria (retina) Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya berkontak dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior retina merupakan organ reseptornya. Ujung anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris. Di pusat bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan, macula lutea, merupakan daerah retina untuk penglihatan paling jelas. Bagian tengahnya berlekuk disebut fovea sentralis. Nervus opticus meninggalkan retina lebih kurang 3 mm medial dari macula lutea melalui discus nervus optici. Discus nervus optici agak berlekuk di pusatnya yaitu tempat dimana ditembus oleh a. centralis retinae. Pada discus ini sama sekali tidak ditemui coni dan bacili, sehingga tidak peka terhadap cahaya dan disebut sebagai bintik buta. Pada pengamatan dengan oftalmoskop, bintik buta ini tampak berwarna merah muda pucat, jauh lebih pucat dari retina di sekitarnya. Ulkus Kornea Definition : Ulkus Kornea adalah luka terbuka pada lapisan kornea yang paling luar. Cause : Infeksi oleh bakteri (misalnya stafilokokus, pseudomonas atau pneumokokus), jamur, virus (misalnya herpes) atau protozoa akantamuba Kekurangan vitamin A atau protein Mata kering (karena kelopak mata tidak menutup secara sempurna dan melembabkan kornea). Faktor resiko terbentuknya ulkus: - Cedera mata

- Ada benda asing di mata - Iritasi akibat lensa kontak. Sign & Symptoms : Ulkus kornea menyebabkan nyeri, peka terhadap cahaya (fotofobia) dan peningkatan pembentukan air mata, yang kesemuanya bisa bersifat ringan. Pada kornea akan tampak bintik nanah yang berwarna kuning keputihan. Kadang ulkus terbentuk di seluruh permukaan kornea dan menembus ke dalam. Pus juga bisa terbentuk di belakang kornea. Semakin dalam ulkus yang terbentuk, maka gejala dan komplikasinya semakin berat. Gejala lainnya adalah: - gangguan penglihatan - mata merah - mata terasa gatal - kotoran mata. Dengan pengobatan, ulkus kornea dapat sembuh tetapi mungkin akan meninggalkan serat-serat keruh yang menyebabkan pembentukan jaringan parut dan menganggu fungsi penglihatan. Komplikasi lainnya adalah infeksi di bagian kornea yang lebih dalam, perforasi kornea (pembentukan lubang), kelainan letak iris dan kerusakan mata. Diagnose : Pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan adalah: - Ketajaman penglihatan - Tes refraksi - Tes air mata - Pemeriksaan slit-lamp - Keratometri (pengukuran kornea) - Respon refleks pupil - Goresan ulkus untuk analisa atau kultur - Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi. Treatment : Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Tergantung kepada penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotik, anti-virus atau antijamur. Untuk mengurangi peradangan bisa diberikan tetes mata corticosteroid. Ulkus yang berat mungkin perlu diatasi dengan pembedahan (pencangkokan kornea).

You might also like