You are on page 1of 58

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Terapi intravena adalah pemberian cairan atau obat ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu melalui pemasangan infus (Perry dan Potter, 2005). Terapi intravena melalui pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi pasien di lingkungan perawatan Rumah Sakit. Sistem terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dan dapat dilakukan secara kontinu. Menurut Joanne (1998) beberapa masalah bisa timbul pada pemberian terapi intravena melalui infus karena diberikan secara terusmenerus dan dalam jangka waktu yang lama antara lain dapat timbul kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu (misalnya phlebitis). Phlebitis merupakan inflamasi pada vena, yang ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena (Brunner dan Sudarth, 2002). Di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan 80%-90% pasien diberikan terapi intravena melalui infus. Masalah yang sering muncul dari pemasangan infus di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan adalah phlebitis. Idealnya pasien yang terpasang infus tidak mengalami phlebitis (Amina, 2010), sedangkan menurut Intravenous Nurses Sociaty (INS) angka standar phlebitis yang direkomendasikan adalah 5% (Pujasari dan Sumarwati, 2002 dikutip dari Hafifah, 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan penulis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan

pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2011 terdapat 39% kejadian phlebitis, dalam hal ini ruangan tidak melakukan aseptik dressing. Sedangkan selama tahun 2010 terdapat 13% kejadian phlebitis, dalam hal ini dilakukan aseptik dressing tiap 48 jam sekali. Menurut Perry dan Potter (2005) banyak faktor telah dianggap terlibat dalam kejadian phlebitis, antara lain: faktor internal (usia, status nutrisi, stress, keadaan vena, kondisi penyakit pasien seperti DM) dan faktor eksternal (faktor mekanis, faktor kimia, faktor bakterial). Pada faktor bakterial yang berkontribusi terhadap adanya phlebitis salah satunya adalah aseptik dressing/perawatan infus yang tidak baik (Darmawan, 2008 dikutip dari Ghorbani, 2007). Aseptik dressing/perawatan infus adalah perawatan pada tempat pemasangan infus terhadap pasien yang

terpasang infus. Aseptik dressing yang pernah dilakukan di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan adalah tiap 48 jam sekali. Menurut Terry (1995) yang berkontribusi terhadap adanya phlebitis adalah frekuensi penggantian balutan yang jarang dilakukan yang dapat mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari phlebitis. Kejadian phlebitis akibat pemasangan infus dapat menimbulkan kerugian bagi banyak pihak terutama pasien itu sendiri (dalam hal ini adalah pasien anak). Apalagi jika harus dipasang infus lagi dapat menimbulkan antara lain lama hari perawatan bertambah panjang. Menurut Nursalam (2005) hospitalisasi yang lama akan berdampak pada psikologis anak yang berakibat terjadinya distress hospitalisasi (gangguan adaptasi), dengan adanya distress hospitalisasi bisa menurunkan sistem imun, yang berakibat memperlambat proses penyembuhan. Selain hari perawatan bertambah panjang penderitaan pun bertambah, rasa takut

akan cedera tubuh dan nyeri saat pemasangan infus sering terjadi diantara anakanak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan cenderung menghindari perawatan medis (Wong, 2009 dikutip dari Pate dkk, 1996). Dari beberapa teori diatas, terjadinya infeksi disebabkan adanya peranan host, agent, environment, sehingga prinsip pencegahannya adalah memutuskan mata rantai interaksi ketiga elemen tersebut. Salah satu pemutusan rantai elemen tersebut dengan mengontrol interaksi yaitu dengan melakukan semua prosedur kerja dengan baik dan benar yang meliputi Standar Operasional System (SOP) perawatan, tindakan serta penggunaan alat yang baik (Suryaningsih, 2007 dikutip dari Hasbullah, 1993). Pendeteksian dan penilain phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik dressing. Menurut Lee KE (2000) aseptik dressing dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi kuman, sehingga kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Mengingat semakin jarang aseptik dressing dilakukan maka gejala awal phlebitis pun tidak dapat diobservasi lebih dini (Terry, 1995) .

1.2 Identifikasi Masalah Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya phlebitis, diantaranya adalah :

Faktor Internal : Usia Status nutrisi Faktor penyakit Tingginya angka kejadian phlebitis Faktor eksternal : obat/cairan lokasi, lama pemasangan aseptik dressing - Stress - Keadaan vena

1.2.1 Faktor Internal a. Usia Pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien anak vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat mengakibatkan kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan phlebitis (Perry dan Potter, 2005). b. Status nutrisi Pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya kurang sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi (Perry dan Potter, 2005).

c.

Stress Tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui adaptasi imun. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-anak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung menghindari perawatan medis, dengan menghindari pelaksanaan pemasangan infus/berontak saat dipasang bisa mengakibatkan phlebitis karena pemasangan yang berulang dan respon imun yang menurun (Wong, 2009 dikutip dari Pate dkk, 1996).

d.

Keadaan vena Vena yang sering terpasang infus mudah mengalami phlebitis (Perry dan Potter, 2005).

e.

Faktor penyakit Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis, misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang mengalami aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi (Darmawan, 2008).

1.2.2 Faktor Eksternal a. Obat atau cairan (faktor kimiawi) Osmolaritas dan pH cairan infus yang tinggi selalu diikuti resiko phlebitis. Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap phlebitis (Terry, 1995).

b.

Lokasi dan lama pemasangan (faktor mekanis) Phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Pada penempatan kateter yang baik yang perlu diperhatikan: bahan (resiko tertinggi untuk phlebitis dimiliki kateter dengan bahan yang terbuat dari polivinil klorida), ukuran kateter (ukuran kateter harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik), lokasi pemasangan (dalam pemasangan diperlukan skill yang memadai dan pemilihan lokasi perlu diperhatikan dimana kateter yang dipasang pada daerah lekukan sering mengakibatkan phlebitis bila pasien banyak gerak), dan lama pemasangan (Terry, 1995). The Centers for Disease Control and Intravenous Nurses Society menganjurkan penggantian kateter secara rutin tiap 72-96 jam untuk membatasi potensi terjadinya phlebitis.

c.

Aseptik dressing (faktor bakterial) Faktor yang berkontribusi terhadap adanya phlebitis bakterial salah satunya adalah tehnik aseptik dressing yang tidak baik. Pendeteksian dan penilain phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik dressing. Menurut Lee KE (2000) perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi kuman, sehingga kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Daerah insersi pada pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh, dengan perawatan infus tiap 24 jam dapat memutus perkembangbiakan daripada kuman (Zahra, 2010). Menurut Joanne (1998) phlebitis bisa disebabkan karena timbulnya kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu. Penggantian

balutan yang jarang dan tidak teratur dilakukan mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan dan pemutusan perkembangbiakan kuman terjadi lebih lama sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari phlebitis (Terry, 1995).

1.3 Batasan Masalah Berdasarkan beberapa teori diatas peneliti membatasi masalah pada pasien yang terpasang infus yang dilakukan aseptik dressing tiap 24 jam sekali dengan yang dilakukan aseptik dressing tiap 48 jam sekali.

1.4 Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan ?

1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Untuk menganalisa perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan. 1.5.2 Tujuan Khusus 1.5.2.1 Untuk mengidentifikasi efektifitas aseptik dressing tiap 24 jam sekali terhadap kejadian phlebitis.

1.5.2.2 Untuk mengidentifikasi efektifitas aseptik dressing tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis. 1.5.2.3 Untuk menganalisa perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis.

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Bagi Responden Dapat membantu pasien untuk mengurangi distress hospitalisasi terutama akibat pemasangan infus, dan membantu pasien dalam menghadapi rasa takut terhadap nyeri pemasangan infus yang berulang. Sehingga dengan adaptasi hospitalisasi yang baik dapat mempercepat penyembuhan 1.6.2 Bagi Rumah Sakit Sebagai bahan pertimbangan bagi institusi rumah sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan, khususnya dalam menurunkan angka kejadian phlebitis dan dalam pembuatan SOP (Standar Operasional System) aseptik dressing (perawatan infus) di Rumah Sakit. 1.6.3 Bagi Tenaga Kesehatan Sebagai bahan pertimbangan dan tambahan informasi dalam pengelolaan pencegahan phlebitis bagi profesi keperawatan. 1.6.4 Bagi Institusi Pendidikan Untuk memberikan gambaran serta informasi bagi peneliti berikutnya yang berkaitan dengan perawatan pada pasien yang terpasang infus dalam menurunkan kejadian phlebitis agar lebih bisa dikembangkan dengan variabel yang lebih luas.

1.6.5 Bagi peneliti Bagi peneliti agar dapat mengaplikasikan teori dan konsep dalam sebuah penelitian dan dapat meningkatkan dalam pemberian asuhan keperawatan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Teori 2.1.1 Prosedur Pemasangan Infus Pada Anak Menurut Perry dan Potter (2005) terapi intravena adalah pemberian cairan atau obat ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu melalui pemasangan infus. Dalam pemasangan infus diperlukan suatu prosedur pemasangan infus, yaitu suatu tata cara pemasangan jalur pemberian cairan infus dan obat melalui pembuluh vena perifer menggunakan infus set. Penetapan prosedur ini bertujuan untuk mendapatkan jalur pemberian cairan dan obat yang aman, aseptik, dan benar. Adapun prosedur pemasangan infus pada bayi dan anak di RSUD Syamrabu Bangkalan adalah : a. Persiapan peralatan

1) Standart infus 2) Kateter intravena yang sesuai (sesuaikan dengan besar kecilnya vena tempat insersi) 3) Infus set (pada bayi dan anak kecil memerlukan selang mikrodrip, yang memberikan 60 tetes permenit) terbungkus steril. 4) Cairan dan obat sesuai perintah dokter. 5) Kapas alkohol 70% 6) Torniquet 7) Sarung tangan sekali pakai

10

8) Plester yang sudah dipotong dan siap digunakan 9) Betadine dan kasa steril ukuran 2x2 cm 10) Verban dan gunting 11) Papan tangan (spalk) 12) Pakaian khusus dengan kancing dibagian bahu (mempermudah pelepasan selang IV) jika tersedia b. Persiapan pasien

1) Mengidentifikasi pasien 2) Beritahukan kepada keluarga pasien dan pasien tindakan yang akan dilakukan, tenangkan pasien 3) Motivasi kepada keluarga untuk memakaikan pakaian berkancing di bahu jika ada c. Persiapan lingkungan

1) Atur pencahayaan dengan baik 2) Atur peralatan di tempat tidur atau meja tindakan, dekatkan dengan pasien d. Pelaksanaan pemasangan infus

1) Cuci tangan 2) Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptik 3) Periksa cairan IV yang akan digunakan (5 benar, periksa warna dan tanggal kadaluarsa) 4) Pilih tempat distal vena yang digunakan, jika banyak rambut pada tempat insersi guntinglah

11

5) Jika mungkin letakkan ekstrimitas pada posisi dependen. Letakkan tourniquet 10-12 cm di atas tempat insersi, tourniquet harus menyumbat aliran vena bukan arteri 6) Kenakan sarung tangan sekali pakai 7) Pilih vena yang terdilatasi baik. Metode untuk membantu mendilatasi vena meliputi: menggosok ekstrimitas dari distal ke proksimal di bawah tempat vena yang dimaksud, menggenggam dan melepaskan genggaman, menepuk perlahan di atas vena, memasang kompres hangat pada ekstrimitas misalnya dengan waslap hangat 8) Bersihkan insersi dengan gerakan sirkuler menggunakan larutan betadine, hindari menyentuh tempat yang telah dibersihkan, biarkan tempat tersebut mengering sampai 30 detik. Jika pasien alergi betadine gunakan kapas alkohol 70% selama 60 detik 9) Menusukkan jarum kateter intravena pada vena yang telah ditentukan. Tusukkan jarum sedistal mungkin dari pembuluh vena dengan lubang jarum menghadap ke atas, sudut tusukan 30 - 40 arah jarum sejajar arah vena, lalu dorong 10) Bila jarum masuk ke dalam pembuluh vena, darah akan tampak masuk ke dalam bagian reservor jarum, hentikan dorongan 11) Pisahkan bagian jarum dari bagian kateter dengan memutar bagian jarum sedikit. Lanjutkan mendorong kateter ke dalam vena secara perlahan sambil diputar sampai seluruh kateter masuk 12) Cabut bagian jarum seluruhnya perhatikan apakah darah keluar dari kateter, lepaskan tourniquet, tahan bagian kateter dengan ibu jari kiri

12

13) Hubungkan kateter dengan infus set yang sudah disediakan. Observasi tetesan, bila lancar berikan betadine pada daerah insersi, lakukan fiksasi dengan plester dan diperkuat dengan spalk 14) Atur tetesan sesuai indikasi, obsevasi reaksi pasien 15) Rapikan pasien dan peralatan, cuci tangan 16) Lakukan proses pendokumentasian Dalam fikasasi kateter saat pemasangan infus ada beberapa metode (Zahra, 2010) yaitu : a. Metode Chevron: potong plester ukuran 1,25 cm letakkan di bawah hubungan kateter dengan bagian yang berperekat menghadap ke atas. Silangkan kedua ujung plester melalui hubungan kateter dan rekatkan pada kulit pasien. Rekatkan plester ukuran 2,5 cm melintang diatas sayap kateter dan selang infus untuk memperkuat, kemudian berikan label. b. Metode U: potong plester ukuran 1,25 cm dan letakkan bagian yang berperekat di bawah hubungan kateter. Lipat setiap sisi plester melalui sayap kateter, tekan ke bawah sehingga paralel dengan hubungan kateter. Lekatkan plester lain diatas kateter untuk memperkuat. Pastikan kateter terekat sempurna dan berikan label. c. Metode H: potong plester ukuran 2,5 cm tiga buah, Rekatkan plester pada sayap kateter, Berikan label. Setelah dilakukan pemasangan infus observasi keperawatan diperlukan untuk mempertahankan kecepatan tetesan infus dan melakukan observasi terhadap adanya komplikasi atau masalah yang timbul akibat pemasangan infus (Joanne,

13

1998). Menurut Perry dan Potter (2005) peran perawat dalam terapi intravena adalah: a. Observasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas, misalnya phlebitis b. Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infus maupun kemasannya c. Memastikan cairan infus diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian) d. e. f. Memeriksa apakah jalur intravena tetap paten Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan instruksi Monitor kondisi pasien dan melaporkan setiap perubahan

2.1.2 Prosedur Aseptik Dressing (Perawatan Infus) Observasi dan evaluasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas adalah tugas dependen perawat untuk mengatasi beberapa masalah selama pemberian terapi intravena. Salah satu masalah yang muncul dalam pemberian terapi adalah phlebitis (Joanne, 1998). Untuk mengatasi phlebitis observasi yang dilakukan perawat adalah menilai dan mendeteksi adanya phlebitis, dengan cara aseptik dressing. Selain itu aseptik dressing bertujuan juga untuk mencegah terjadinya infeksi dari kuman yang dapat menyebabkan phlebitis bakterial (Zahra, 2010). Aseptik dressing/perawatan infus adalah perawatan pada tempat

pemasangan infus terhadap pasien yang terpasang infus. Menurut Lee KE (2000) perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis sehingga kejadian phlebitis akibat infeksi kuman dapat

14

dicegah dan diatasi secara dini. Daerah insersi pada pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh, dengan perawatan infus tiap 24 jam dapat memutus perkembangbiakan daripada kuman (Darmawan, 2008 dikutip dari Ghorbani, 2007). Menurut Joanne (1998) phlebitis bisa disebabkan karena timbulnya kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu. Pada aseptik dressing yang dilakukan tiap 48 jam sekali rentang waktu terhadap pemutusan perkembangbiakan kuman dilakukan lebih lama daripada aseptik dressing tiap 24 jam sekali. Selain itu pendeteksian dan penilaian terhadap terjadinya phlebitis lebih lambat. Menurut Terry (1995) jika penggantian balutan jarang dilakukan mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan infus sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari phlebitis, selain jarangnya penggantian balutan yang dapat mengakibatkan phlebitis bakterial adalah ketidakteraturan penggantian balutan. Phlebitis dapat disebabkan karena perawatan kateter pada daerah insersi yang tidak dilakukan dengan baik (Amina, 2010 dikutip dari Hanindito, 1999). Cara aseptik dressing/perawatan infus (Zahra, 2010) adalah: a. Persiapan alat

1) Pinset anatomis 2 buah 2) Kasa steril dan lidi kapas 3) Sarung tangan steril 4) Plester/hypafik dan gunting 5) Alkohol 70% dalam tempatnya 6) Betadine atau iodin povidon solution 10% atau sejenisnya

15

7) NaCl 0,9% 8) Bengkok 2 buah, satu berisi cairan desinfektan 9) Spalk dan verban 10) Penunjuk waktu b. Persiapan pasien

1) Beritahukan kepada keluarga pasien dan pasien tindakan yang akan dilakukan 2) Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan c. Persiapan lingkungan

1) Menempatkan peralatan di dekat pasien dengan benar 2) Atur pencahayaan d. Pelaksanaan

1) Lakukan verifikasi data sebelumnya 2) Mengatur posisi pasien (tempat tusukan terlihat dengan jelas, pastikan dekat dengan perawat) 3) Mencuci tangan 4) Pakai sarung tangan 5) Buka balutan verban, buka plester memakai pinset dengan cara membasahi plester dengan alkohol 6) Bersihkan daerah bekas plester 7) Bersihklan daerah insersi dengan NaCl 0,9% 8) Olesi tempat insersi dengan betadine atau sejenisnya 9) Tutup dengan kasa steril dengan rapi 10) Pasang plester dan penutup (diperkuat dengan spalk) 11) Atur kembali tetesan infus sesuai program

16

12) Bersihkan peralatan, cuci tangan 13) Dokumentasikan tindakan Pada evaluasi terhadap pemasangan infus The Centers for Disease Control and Intravenous Nurses Society menganjurkan penggantian kateter secara rutin tiap 72-96 jam untuk membatasi potensi terjadinya phlebitis. 2.1.3 Konsep Phlebitis 2.1.3.1 Pengertian Phlebitis Menurut Cristine Brooker (2001) phlebitis adalah inflamasi pada vena. Sedangkan menurut Hafifah (2010) dikutip dari Hankins (2001) phlebitis adalah suatu peradangan atau inflamasi pada pembuluh darah vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik, yang mengakibatkan kerusakan pada endotelium dinding-dinding pembuluh darah khususnya vena. Menurut Brunner dan Sudarth (2002) phlebitis merupakan inflamasi pada vena, yang ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. 2.1.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Phlebitis Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam terjadinya phlebitis. Menurut Perry dan Potter (2005) faktor tersebut terdiri dari faktor internal (usia, status nutrisi, stress, keadaan vena, kondisi penyakit pasien seperti DM) dan faktor eksternal. Faktor eksternal terdiri dari: a. Faktor Kimia: menurut Terry (1995) terdiri dari pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem, mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran, bahan kateter, kecepatan pemberian infus

17

dan obat (kecepatan yang tidak cepat kurang menyebabkan iritasi daripada pemberian cepat). b. Faktor mekanis: faktor mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Kateter yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan phlebitis mekanis, dalam hal ini ukuran kateter disesuaikan dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik (Terry, 1995). c. Faktor bakterial: salah satu yang berkontribusi dalam faktor bakterial adalah tehnik aseptik dressing yang tidak baik (Terry, 1995). Pendeteksian dan penilain phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik dressing. Menurut Lee KE (2000) perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan pencegahan adanya phlebitis dengan cara melakukan

pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi bakteri, sehingga kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Sedangkan menurut Perry dan Potter (2005) infeksi yang terkait dengan pemberian infus dapat dikurangi dengan mempertahankan sterilisasi sistem intravena saat mengganti larutan dan balutan, penggantian larutan dan balutan sekurang-kurangnya setiap 24 jam. Intervensi yang perlu dilakukan saat terjadi phlebitis adalah dengan memindahkan kateter ke area insersi yang lain, jika parah melakukan kompres hangat. Jika pasien mengalami peningkatan suhu (suhu meninggi secara tiba-tiba atau bertahap), menggigil dan gemetar, frekuensi napas dan nadi meningkat maka intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan kultur bakteri (diambil dari kateter dan vena) dan melakukan insersi ditempat lain untuk pemberian obat (Joanne, 1998).

18

Penggunaan kateter pada pemasangan infus yang tidak memperhatikan standar medis menimbulkan masalah seperti phlebitis, menurut Santi Ariningsih (2010) pada kejadian phlebitis mikroorganisme terbanyak adalah kolonisasi Staphylococcus. Semua kateter dapat memasukkan bakteri ke dalam aliran darah, mekanisme infeksi oleh bakteri dapat berupa infeksi lokal saat insersi yang masuk ke dalam kateter atau kolonisasi yang diikuti oleh infeksi lewat rute insersi. Menurut Santi Arinigsih kultur darah yang diambil dari kateter dan vena dilakukan saat dijumpai tanda-tanda infeksi sistemik. Dari hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan tidak ada pengaruh umur, jenis kelamin, kecepatan tetesan, pemberian obat intravena, lokasi pemasangan dan lama pemasangan terhadap kolonisasi bakteri. Sebaliknya penggunaan sarung tangan dan aseptik dressing menunjukkan ada hubungan terhadap kolonisasi bakteri. 2.1.3.3 Ciri-ciri Phlebitis Menurut Joanne (1998) vena pada daerah pemasangan infus dikatakan phlebitis apabila terdapat dua tanda atau lebih dari tanda berikut, yaitu: nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi (pengerasan jaringan atau organ yang abnormal), vena cord (struktur mirip tali/benang). Menurut Brunner dan Sudarth (2002) phlebitis ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Menurut Zahra (2010) ciri-ciri phlebitis adalah terjadinya kemerahan, bengkak, dan nyeri tekan pada area insersi. Sedangkan menurut Terry (1995) tanda dari phlebitis adalah terdapat dua atau lebih dari tanda phlebitis, yang terdiri dari: nyeri pada lokasi pemasangan

19

kateter, erytema, edema, terdapat garis merah pada vena yang terpasang infus, teraba keras. Skala phlebitis menurut Terry (1995) adalah sebagai berikut: a. 0: tidak terdapat tanda phlebitis b. 1+: terdapat satu tanda phlebitis c. 2+ : terdapat lebih dari satu tanda phlebitis d. 3+: terdapat jelas semua tanda dari phlebitis Skor visual untuk phlebitis yang telah dikembangkan oleh Andrew Jakson (2008) adalah: a. b. Tempat insersi tampak sehat, skor 0 = tidak ada tanda phlebitis. Terdapat salah satu tanda (nyeri atau kemerahan) pada derah insersi terlihat jelas, skor 1 = mungkin tanda dini phlebitis. c. Terdapat dua tanda (nyeri, kemerahan, pembengkakan) pada daerah insersi terlihat jelas, skor 2 = stadium dini phlebitis. d. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, pembengkakan) pada daerah insersi terlihat jelas, skor 3 = stadium moderat phlebitis. e. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, indurasi, vena cord) pada derah insersi terlihat jelas, skor 4 = stadium lanjut atau awal trombophlebitis. f. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, indurasi, vena cord, demam) terlihat jelas, skor 5 = stadium lanjut trombophlebits. Menurut Wong (2009) dikutip dari Markel (1997) untuk mendeteksi nyeri pada anak menggunakan rentang skor: 0 = tidak ada nyeri, 10 = nyeri yang terburuk. Skor ini meliputi wajah (0-2), tungkai (0-2), aktifitas (0-2), tangisan (0-2), ketenangan (0-2). Skor ini disebut dengan skala FLACC (digunakan pada anak usia 2 bulan sampai dengan 7 tahun).

20

Tabel 2.1 Skala FLACC Kriteria Wajah Nilai 0 Tidak ada ekspresi,senyuman tertentu Posisi normal atau rileks Nilai 1 Seringai (kerutan), menarik diri, tidak berminat Tidak tenang, gelisah, tegang Nilai 2

Tungkai

Aktifitas

Tangisan

Ketenangan

kerutan konstan, rahang mengatup, dagu bergetar Menendang atau tungkai ditarik ke atas Berbaring tenang, Menggeliat, bergerak Menekuk, kaku/ posisi normal, ke depan dan ke terkejut bergerak dengan belakang, tegang mudah Tidak menangis Merengek, terkadang Menangis terus, (terbangun atau mengeluh berteriak, sering tertidur) mengeluh Puas, rileks Ditenangkan dengan Sulit untuk sentuhan, pelukan ditenangkan atau atau diajak berbicara, dinyamankan dapat didistraksi

Sumber : Dari Markel, dkk dalam Buku Ajar Keperawatan Pediatric Wong, Ed.6, Vol.2, 2009

2.1.4 Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Anak 2.1.4.1 Pertumbuhan dan perkembangan Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh karena adanya multiplikasi sel-sel tubuh dan juga karena bertambahnya besar sel. Pertumbuhan pada masa anak-anak mengalami perbedaan yang bervariasi sesuai bertambahnya umur anak (Nursalam, 2005). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan fungsi tubuh yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diperkirakan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi ( Nursalam, 2005). Masa prasekolah akhir (3-5 tahun), berdasarkan teori psikososial (Erikson) anak berada pada fase inisiatif vs rasa bersalah. Pada masa ini berkembang rasa

21

ingin tahu dan imaginasinya. Peran perawat dan orang tua untuk menjelaskan secara sederhana tentang perawatan dan pengobatan perlu dilakukan untuk menjawab rasa keingintahuan anak sehingga penolakan terhadap perawatan medis bisa diminimalkan. Sedangkan menurut teori psikoseksual (Sigmund Freud) berada pada fase phalik, dimana anak mulai mengenal perbedaan jenis kelamin sehingga mempunyai kecenderungan meniru tingkah laku orang dewasa sekitarnya. 1.4.2 Faktor Pertumbuhan dan Perkembangan Pola pertumbuhan pada anak secara normal antara yang satu dengan yang lainnya berbeda, karena dipengaruhi oleh interaksi banyak faktor. Menurut Nursalam 2005 dikutip dari Soetjiningsih (2002) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal, yaitu: a. Faktor Internal 1. Genetika Mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan kematangan tulang, alat seksual, serta saraf, sehingga merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang 2. Perbedaan ras Tinggi badan orang Eropa akan berebda denagn orang Indonesia, dengan demikian postur tubuh tiap bangsa berlainan 3. Keluarga Ada keluarga yang cenderung mempunyai tubuh gemuk dan perawakan pendek

22

4.

Jenis kelamin Wanita akan mengalami masa pubertas lebih dahulu dibandingkan dengan laki-laki

5.

Umur Masa pranatal, masa bayi, dan masa remaja merupakan tahap yang mengalami pertumbuhan cepat dibandingkan masa lainnya

6.

Kelainan kromosom Dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan, misal Sindrom Down

7.

Pegaruh hormon Yang berpengaruh adalah hormon somatotropin yang dikeluarkan kelenjar pituitari

b. Faktor eksternal 1. Faktor pra natal (selama kehamilan) Dalam hal ini yang termasuk mempengaruhi adalah nutrisi ibu hamil, kelainan endokrin, kelainan imunologi, psikologi ibu, dan adanya infeksi (misal penyakit menular seksual) 2. Faktor kelahiran Riwayat kelahiran dengan vakum ekstraksi dapat menyebabkan trauma kepala pada bayi sehingga beresiko terjadinya kerusakan jaringan otak. 3. Faktor pascanatal Yang berpengaruh diantaranya adalah status gizi, kelainan kongenital, lingkungan fisik dan kimia, psikologis, sosial ekonomi, lingkungan pengasuh, stimulasi, dan obat-obatan

23

2.1.4.3 Kebutuhan Dasar untuk Tumbuh Kembang saat Hospitalisasi Menurut Nursalam (2005), kebutuhan dasar ini terdiri dari asuh, asih, dan asah, yaitu: a. Asuh (kebutuhan fisik) Yang termasuk kebutuhan fisik adalah nutrisi yang mencukupi, perawatan kesehatan dasar (segera mendapatkan penanganan terhadap sakitnya, termasuk dalam penganganan masalah yang timbul akibat diberikannya terapi intravena seperti flebitis), kebersihan diri dan lingkungan (dalam hal ini untuk mengurangi resiko tertularnya berbagai penyakit infeksi). b. Asih (kebutuhan Emosi dan kasih sayang) Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang dapat dimulai saat anak mulai mengalami hospitalisasi (sebelum masuk, selama hospitalisasi, saat pemulangan). Hospitalisasi yang lama akan berdampak pada psikologis anak yang berakibat terjadinya distress hospitalisasi (gangguan adaptasi), dengan adanya distress hospitalisasi bisa menurunkan sistem imun, yang berakibat memperlambat proses penyembuhan. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri saat pelaksanaan tindakan ( misal: pemasangan infus) sering terjadi diantara anak-anak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan cenderung menghindari perawatan medis (Wong, 2009 dikutip dari Pate dkk, 1996). c. Asah (kebutuhan stimulasi) Stimulasi adalah perangsangan dari lingkungan luar, bisa berupa latihan atau bermain.

24

2.2 Kerangka Konsep Pemasangan Infus Phlebitis

Intervensi keperawatan

Aseptik dressing 24 jam

Aseptik dressing 48 jam

Deteksi dan penilaian > cepat

kuman > sedikit

Deteksi dan penilaian > lambat

Kuman > banyak

Perhatian gejala awal Penanganan > cepat Kejadian phlebitis

Perhatian gejala awal Penanganan > lambat Kejadian phlebitis

keterangan : = tidak diteliti = ditelliti Gambar 2.1 Kerangka konseptual penelitian perbedaan aseptik dressing tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan.

25

Salah satu masalah yang bisa muncul dari pemasangan infus adalah phlebitis. Observasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas adalah tugas dependen perawat untuk mengatasi masalah phlebitis selama pemberian terapi intravena. Pencegahan yang dapat dilakukan guna menurunkan phlebitis adalah dengan aseptik dressing. Disini aseptik dressing dilakukan tiap 24 jam sekali dan tiap 48 jam sekali. Pada aseptik dressing tiap 24 jam sekali penilaian dan pendeteksian adanya phlebitis > cepat dan perkembangbiakan kuman > sedikit. Sehingga perhatian gejala awal adanya phlebitis meningkat. Dengan perhatian yang lebih awal maka penanganan terhadap phlebitis lebih cepat, sehingga kejadian phlebitis lebih sedikit. Pada aseptik dressing tiap 48 jam sekali penilaian dan pendeteksian adanya phlebitis > lambat dan perkembangbiakan kuman > banyak. Hal ini mengakibatkan perhatian gejala awal adanya phlebitis menurun. Dengan perhatian awal yang kurang penanganan terhadap phlebitis lebih lambat, sehingga kejadian phlebitis lebih banyak.

2.3 Hipotesa Penelitian Hipotesis adalah dugaan sementara dari rumusan masalah (Notoatmojo, 2005). Hipotesis penelitian ini (Ho) ditolak yaitu ada perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis.

26

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian yang memungkinkan pemaksimalan kontrol beberapa faktor yang bisa mempengaruhi akurasi suatu hasil penelitian (Nursalam, 2008). penelitian ini menggunakan desain penelitian static group comparison. Merupakan rancangan preeksperimental dengan menambahkan kelompok kontrol, dengan cara setelah perlakuan dilakukan pengamatan pada kelompok eksperimen dan pada kelompok kontrol dilakukan pengamatan saja (Hidayat, 2010).

27

3.2 Kerangka Kerja

Populasi: Pasien di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan selama bulan Juli

Sampling: Aksidental

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kelompok Eksperimen

Kelompok Kontrol

Intervensi: aseptik dressing 24 jam

Intervensi: aseptik dressing 48 jam

Observasi tiap 24 jam hari ke 2,3,4,5

Observasi tiap 48 jam hari ke 3,5

Hasil observasi kejadian phlebitis

Hasil observasi kejadian phlebitis

Analisis data: uji Fisher Exact Test

Kesimpulan

Gambar 3.2 Kerangka kerja penelitian perbedaan aseptik dressing tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan

28

3.3 Identifikasi Variabel Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (Nursalam, 2008 dikutip dari Soeparto, dkk. 2000). Pada penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu: a. Variabel independen Variabel independen adalah variabel yang dalam penelitian nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variabel independennya adalah aseptik dressing yang dilakukan tiap 24 jam sekali dan aseptik dressing tiap 48 jam sekali. b. Variabel dependen Variabel dependen adalah variabel yang dalam penelitian nilainya ditentukan oleh variabel lainnya/variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah kejadian phlebitis.

29

3.4 Definisi Operasional Definisi operasional merupakan penjelasan dari semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga mempermudah dalam mengartikan penelitian (Nursalam, 2008). Variabel Definisi Operasional Independen: Perawatan pada tempat (Aseptik pemasangan infus dressing) terhadap pasien yang terpasang infus. Alat Ukur Skala SOP Hasil Ukur -

1. Aseptik dressing tiap 24 jam

Kelompok eksperimen: dilakukan perawatan infus tiap 24 jam sekali.

2. Aseptik dressing tiap 48 jam Dependen (kejadian phlebitis)

Kelompok kontrol: dilakukan perawatan infus tiap 48 jam sekali.

dikatakan phlebitis apabila terdapat dua tanda dari tanda berikut, yaitu: nyeri tekan, kemerahan, bengkak, indurasi, vena cord Kelompok eksperimen: dilakukan observasi pada hari ke 2,3,4,5 Kelompok kontrol: dilakukan observasi pada hari ke 3,5

Observasi

Nominal

0: tidak phlebitis 1: phlebitis

Skor: 0-1: tidak phlebitis 2: phlebitis

Skala skor modifikasi dari Terry (1995) dan Joanne (1998)

30

3.5 Populasi dan Sampel 3.5.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien anak yang masuk rumah sakit (MRS) di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu bangkalan pada tanggal 7 Juli sampai dengan 7 Agustus 2011. 3.5.2 Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti (Arikunto, 2006). Pada penelitian ini sampel yang digunakan harus memiliki kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, yaitu: a. Kriteria Inklusi: 1) Keluarga pasien bersedia bila pasien dijadikan responden 2) Pasien terpasang infus 3) Pasien berusia 3-5 tahun 4) Pasien dirawat pada hari pertama 5) Pasien tidak mengalami her opname 6) Pasien masuk rumah sakit (MRS) minimal selama 72 jam b. Kriteria Eksklusi: 1) Pasien yang mendapatkan terapi injeksi intravena penytoin 2) Pasien yang tidak sadar atau mengalami penurunan kesadaran 3) Pasien yang mempunyai penyakit Diabetes Militus (DM) 3.5.3 Sampling Sampling merupakan proses penyeleksian porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini menggunakan

31

sampling aksidental, yaitu cara pengambilan sampel yang dilakukan dengan kebetulan bertemu. Sebagai contoh, dalam menentukan sampel apabila dijumpai ada, maka sampel tersebut diambil dan langsung dijadikan sebagai sampel utama (hidayat, 2010).

3.6 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan mulai tanggal 1 Juli sampai dengan tanggal 7 Agustus 2011. Pada tanggal 7 Juli sampai dengan 21 Juli melakukan intervensi untuk kelompok eksperimen, sedangkan tanggal 22 Juli sampai dengan 7 Agustus 2011 melakukan intervensi untuk kelompok kontrol.

3.7 Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini alat pengumpulan datanya menggunakan observasi tentang kejadian phlebitis.

3.8 Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data mulai dilakukan peneliti dari mengajukan surat penelitian kepada institusi STIKES Ngudia Husada Madura, kemudian mengajukan surat penelitian kepada kepala RSUD Syamrabu Bangkalan. Setelah mendapatkan ijin,

32

peneliti memberikan surat persetujuan kepada keluarga yang bertanggung jawab terhadap responden yang bersedia menjadi responden penelitian. Setelah keluarga yang bertanggung jawab terhadap responden setuju, maka dilakukan aseptik dressing tiap 24 jam sekali bagi kelompok eksperimen, dan dilakukan aseptik dressing tiap 48 jam sekali bagi kelompok kontrol. Setelah dilakukan kegiatan peneliti melakukan observasi pada kelompok eksperimen diobservasi pada hari ke 2, 3, 4, 5, sedangkan pada kelompok kontrol dilakukan observasi pada hari ke 3 dan ke 5. dalam mengumpulkan data peneliti memberikan skor pada hasil observasi phlebitis yaitu, 0 1 = tidak phlebitis, 2 = phlebitis. Setelah Data terkumpul dilakukan pengolahan data dan analisa data.

3.9 Pengolahan Data 3.9.1 Pemeriksaan data (Editing) Setelah mengumpulkan data peneliti mengoreksi data yang telah didapat dari hasil observasi di tempat pengumpulan data. Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan dari data yang dikumpulkan dan juga untuk kelengkapan data, sehingga apabila ada kekurangan segera dapat dilengkapi. 3.9.2 Pemberian kode (Coding) Peneliti memberikan kode pada data yang telah dikumpulkan. Pemberian kode pada data dimaksudkan untuk membedakan aneka karakter. Nilai 0 jika tidak phlebitis dan 1 jika ada phlebitis.

33

3.9.3 Tabulasi (Tabulating) Peneliti menyusun data, dimana penyusunan data merupakan

pengorganisasian data sehingga memudahkan dalam menjumlahkan, menyusun, dan menata data yang akan digunakan untuk penyajian dan analisa data. 3.10 Analisa Data 3.10.1 Analisis Univariat Notoatmojo (2005) analisis univariat hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel. Dalam penelitian ini menyajikan distribusi variabel independen aseptik dressing tiap 24 jam dan variabel independen aseptik dressing tiap 48 jam yang dikonfirmasi dengan prosentase dan narasi. Penulisan prosentase hasil penelitian mengacu pada Nursalam (2008) yang dikelompokkan menjadi mayoritas = apabila hasil menunjukkan 90-100%, sebagian besar = 66-89%, lebih dari 50% (51-69). 3.10.2 Analisis Bivariat Notoatmojo (2005) analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga mempunyai komparatif. Dalam penelitian ini menggunakan uji Fisher Exact Test dengan (taraf signifikasi) = 5% (0,05), jika P value < maka Ho ditolak (Tony Wijaya, 2009).

3.11 Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan permohonan ijin kepada panitia etik dalam hal ini direktur RSUD Syamrabu Bangkalan dan subjek yang diteliti. penekanan masalah etika penelitian ini adalah:

34

a. Hak mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (Right to Full Discloure) Peneliti akan memberikan penjelasan secara rinci tentang penelitian yang akan dilakukan kepada keluarga pasien serta akan bertanggung jawab kepada subjek penelitian jika terjadi sesuatu akibat dari penelitian yang dilakukan. b. Lembar persetujuan menjadi responden (Inform Concent) Lembar persetujuan diberikan kepada keluarga pasien yang memenuhi kriteria sampel penelitian. Dalam lembar persetujuan memuat penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang mungkin terjadi selama penelitian. Bila keluarga yang bertanggung jawab terhadap responden bersedia maka responden diminta menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Apabila menolak maka peneliti tidak dapat memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden. c. Tanpa nama (Anonimity) Peneliti menulis nomer kode pada masing-masing lembar pengumpulan data. d. Kerahasiaan (Confidentiality) Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul akan disimpan, dijamin kerahasiaanya, dan hanya menjadi koleksi peneliti. Informasi yang diberikan responden tidak akan diberikan kepada orang lain tanpa seijin keluarga yang bertanggung jawab terhadap responden.

3.12 Keterbatasan Penelitian a. Waktu penelitian yang bertepatan dengan bulan Ramadhan menjadikan penelitian ini memiliki jumlah sampel yang sedikit.

35

b. Pada kelompok aseptik dressing tiap 48 jam peneliti tidak dapat melakukan intervensi secara langsung (hanya mengobservasi intervensi yang dilakukan perawat ruangan). c. Karena jumlah sampel yang sedikit penelitian ini tidak dapat memakai uji statistik chi square seperti yang sudah diajukan dalam proposal penelitian.

36

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Data Umum 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan. RSUD Syamrabu Bangkalan merupakan Rumah Sakit dengan klasifikasi tipe B yang beralamatkan di jalan Pemuda Kaffa No.09 Bangkalan. RSUD Syamrabu terdiri dari instalasi rawat jalan, instalasi gawat darurat, dan instalasi rawat inap. Ruangan rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan terdiri dari kelas 1, kelas 2, kelas 3 dan ruangan High Care Unit. Jumlah staff sebanyak 18 orang perawat (5 S1 Keperawatan, 11 D3 Keperawatan, 2 SPK), 2 orang administrasi, dan 4 orang cleaning service. 4.1.2 Karakteristik Responden a. Karakteristik responden berdasarkan usia Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 07 Juli-21 Juli 2011 No 1. 2. 3. Usia Anak 3- <4 tahun 4- <5 tahun 5 tahun Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Frekuensi 6 3 2 11

Prosentase 54.5 27,3 18,2 100

37

Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berusia 3- <4 tahun, sebanyak 6 responden (54,5 %) Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Di Ruang Rawat Inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011 No 1. 2. 3. Usia Anak 3- <4 tahun 4- <5 tahun 5 tahun Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Frekuensi 6 2 2 10

Prosentase 60 20 20 100

Berdasar tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden berusia 3- <4 tahun, sebanyak 6 responden (60%) b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 07 Juli-21 Juli 2011 No 1. 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Frekuensi 4 7 11

Prosentase 36,4 63,6 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden berjenis kelamin perempuan, sebanyak 7 responden (63,6%)

38

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011 No 1. 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Frekuensi 4 6 10

Prosentase 40 60 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden berjenis kelamin perempuan, sebanyak 6 responden (60%)

4.2 Data Khusus Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Phlebitis Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 07 Juli-21 Juli 2011 No 1. 2. Kejadian plebitis Terjadi phlebitis Tidak terjadi phlebitis Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Frekuensi 4 7 11

Prosentase 36,4 63,6 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden tidak mengalami phlebitis, yaitu sebanyak 7 responden (63,6%)

39

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Phlebitis Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011 No 1. 2. Kejadian plebitis Terjadi phlebitis Tidak terjadi phlebitis Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Frekuensi 6 4 10

Prosentase 60 40 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden mengalami phlebitis, yaitu sebanyak 6 responden (60%) Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Yang Mengalami Phlebitis Pada Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 7 Juli-21 Juli 2011 Usia Frekuensi Kejadian Phlebitis Prosentase 4 Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

No 1. 2. 3.

3- <4 tahun 4- <5 tahun 5 tahun

100 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa mayoritas yang mengalami phlebitis adalah responden dengan usia 3- <4 tahun, yaitu sebanyak 4 responden (100%)

40

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Yang Mengalami Phlebitis Pada Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011 No Usia Frekuensi Kejadian Phlebitis Prosentase 1. 2. 3. 3- <4 tahun 4- <5 tahun 5 tahun Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

6 6

100 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa mayoritas yang mengalami phlebitis adalah responden dengan usia 3- <4 tahun, yaitu sebanyak 6 responden (100%) Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Phlebitis Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011 No Kejadian phlebitis 1. 2. Phlebitis Tidak phlebitis Jumlah = 0,05 p value = 0.395
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Aseptik dressing 24 jam Frekuensi 4 7 Prosentase 36,4 63,6

Aseptik dressing 48 jam Frekuensi 6 4 Prosentase 60 40

11

100

10

100

Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji statistik Fishers Exact Test yaitu p value 0.395 > (0,05) maka

41

Ho gagal ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis

42

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Kejadian Phlebitis Pada Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden selama dilakukan observasi serta perlakukan aseptik dressing tiap 24 jam terdapat lebih dari 50% dari responden, sebanyak 7 responden (63,6%) tidak mengalami phlebitis. Hal ini dikarenakan pemutusan mata rantai host, agent, environment yang berperan terhadap kejadian phlebitis dikontrol sedini mungkin. Pengontrolan dilakukan guna melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis, sehingga dapat segera melakukan tindakan pencegahan komplikasi akibat pemasangan infus yang lebih parah. Lee KE (2000) menjelaskan bahwa aseptik dressing perlu dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis sehingga kejadian phlebitis akibat infeksi kuman dapat dicegah dan diatasi secara dini. Menurut Perry dan Potter (2005) infeksi yang terkait dengan pemberian infus dapat dikurangi dengan penggantian balutan sekurang-kurangnya setiap 24 jam. Sedangkan menurut Darmawan (2008) yang dikutip dari Ghorbani (2007) menyatakan bahwa aseptik dressing tiap 24 jam dapat memutus perkembangbiakan kuman. Dimana kuman atau mikroba dapat masuk melalui daerah insersi ke sirkulasi dalam periode tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya phlebitis (Joanne, 1998)

43

Namun demikian pada kelompok aseptik dressing 24 jam masih ada yang mengalami phlebitis (36,4%), hal ini dikarenakan yang berkontribusi terhadap phlebitis bukan hanya aseptik dressing saja tetapi juga usia responden yang mempengaruhi aktivitasnya. Berdasarkan tabel 4.1 lebih dari 50% responden berusia 3- <4 tahun, sebanyak 6 responden (54,5%). Pada responden dengan usia 3<4 tahun tersebut resiko terjadi phlebitis lebih besar dari pada yang berusia > 4 tahun dikarenakan ukuran vena yang relatif lebih kecil dan aktifitas yang lebih banyak dan tidak terkontrol. Perry dan Potter (2005) menjelaskan bahwa pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien anak vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat mengakibatkan kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan phlebitis.

5.2 Kejadian Phlebitis Pada Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden selama dilakukan observasi serta perlakukan aseptik dressing tiap 48 jam terdapat 6 responden (60%) yang mengalami phlebitis. Hal ini bisa dikarenakan pemutusan mata rantai host, agent, environment yang berperan terhadap kejadian phlebitis tidak dikontrol sedini mungkin. Pada aseptik dressing tiap 48 jam pengontrolan kejadian phlebitis dilakukan lebih lama, sehingga pemutusan perkembangbiakan kuman atau mikroba yang menjadi salah satu penyebab phlebitis melalui kontaminasi daerah insersi dilakukan lebih lama dan lebih jarang.

44

Terry (1995) menjelaskan bahwa penggantian balutan yang jarang dilakukan mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan infus dan pemutusan perkembangbiakan kuman terjadi lebih lama sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari phlebitis. Namun pada kelompok aseptik dressing tiap 48 jam masih ada 40% yang tidak mengalami phlebitis, hal ini dikarenakan banyak faktor yang berkontribusi terhadap kejadian phlebitis diantaranya usia, keadaan vena, dan aktifitas pasien. Berdasarkan tabel 4.2 terdapat lebih dari 50% responden berusia 3-<4 tahun, sebanyak 6 responden (60%), sehingga terdapat 40% berusia 4 tahun atau lebih. Pada responden yang berusia lebih dari 4 tahun ukuran venanya relatif lebih besar dan aktifitasnta bisa dikontrol. Menurut Perry dan Potter (2005) pada pasien dengan vena yang kecil dan banyak bergerak, serta sering dipasang infus akan mudah mengalami phlebitis.

5.3 Perbedaan Efektifitas Aseptik Dressing Antara Yang Dilakukan Tiap 24 Jam Dengan Tiap 48 Jam Terhadap Kejadian Phlebitis Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden selama dilakukan observasi dan perlakukan aseptik dressing tiap 24 jam terdapat 4 responden (36,4%) yang mengalami phlebitis dan 7 responden (63,6%) yang tidak mengalami phlebitis. Sedangkan pada kelompok perlakukan aseptik dressing tiap 48 jam terdapat 6 responden (60%) yang mengalami phlebitis dan 4 responden (40%) yang tidak mengalami phlebitis. Berdasarkan data dari lapangan diperoleh hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji statistik Fishers Exact Test yaitu p value 0.395 > (0,05) maka

45

Ho gagal ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis. Menurut Perry dan Potter (2005) banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya phlebitis, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal adalah aseptik dressing atau perawatan infus. Kontaminasi kuman atau mikroba pada area insersi pemasangan infus penyebab phlebitis bakterial dapat dicegah dengan melakukan aseptik dressing. Dibutuhkan peran perawat untuk mengobservasi area insersi pemasangan infus dan mencegah kontaminasi kuman atau mikroba, yaitu salah satunya melakukan tehnik aseptik dressing dengan baik (Amina, 2010 dikutip dari Hanindito, 1999). Tidak adanya perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis dikarenakan pada tiaptiap kelompok dilakukanlah aseptik dressing secara teratur dan pada kelompok usia yang sama. Terry (1995) menjelaskan bahwa penggantian balutan yang jarang dan tidak teratur dilakukan dapat menyebabkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan dan pemutusan perkembangbiakan kuman terjadi lebih lama.

46

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian, hasil penelitian, analisa data, dan pembahasan yang telah diuraikan maka peneliti mendapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 6.1.1 Pada aseptik dressing tiap 24 jam sekali lebih dari 50% anak tidak mengalami phlebitis 6.1.2 Pada aseptik dressing tiap 48 jam sekali lebih dari 50% anak mengalami phlebitis 6.1.3 Tidak ada perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis

6.2 Saran 6.2.1 Bagi rumah sakit dan tenaga kesehatan a. Hendaknya menetapkan Standar Operasional System (SOP) aseptik dressing tiap 24 jam dan 48 jam untuk dijadikan acuan perawat pelaksana dalam melakukan tehnik aseptik dressing dengan baik sesuai kebutuhan pasien (usia, aktifitas,jenis penyakit) sehingga angka kejadian phlebitis bakterial dapat diturunkan sampai 5%.

47

b.

Hendaknya selalu mengobservasi area insersi pemasangan infus guna mencegah komplikasi pemberian terapi intravena. Observasi bisa dilakukan dengan aseptik dressing yang baik dan teratur.

6.2.2 Bagi Orang tua pasien Hendaknya dapat bekerjasama dengan perawat untuk memenuhi kebutuhan anak selama hospitalisasi. Orang tua bersama dengan perawat menjelaskan secara sederhana tentang perawatan dan pengobatan selama hospitalisasi, seperti saat dilakukannya aseptik dressing dan pemasangan infus kepada anak sehingga penolakan bisa diminimalkan 6.2.3 Bagi Institusi Pendidikan dan keperawatan a. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian untuk mengidentifikasi phlebitis bakterial bukan hanya secara visual tetapi juga secara pemeriksaan bakterial. b. Pada penelitian selanjutnya diharapkan mengembangkan penelitian dengan jumlah responden dan variabel yang lebih banyak sehingga memperoleh hasil yang optimal.

48

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Azis. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta: Salemba Medika. Alimul, Azis. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan Buku 2. Jakarta: Salemba Medika. Amina. 2010. Perbedaan Kejadian Flebitis Pasien Yang Dilakukan Perawatan Luka Pada Pemasangan Infus Setiap Hari Dengan Yang Tidak Dilakukan Perawatan Luka. Bangkalan: STIKES Ngudia Husada Madura. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi 6. Jakarta: Rineka Cipta. Asmadi. 2009. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika. Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta: EGC. Brunner dan Sudart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC. Dahlan, Sopiyudin. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, Alimul. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta; Salemba Medika. Joanne. 1998. Terapi Intravena. Jakarta: EGC. Lamb dan Britton. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: EGC. KE, Lee. 2000. Efek Metode Aseptik Dressing dalam Flebitis. Jakarta: EGC. Mardalis. 2009. Metode penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

49

Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam; Rekawati Susilaningrum; Sri Utami. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta; Salemba Medika. Nursalam. 2008. Konsep dan penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan; Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Edisi 2. Jakarta; Salemba Medika. Perry dan Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC. Sugihastuti. 2000. Bahasa laporan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tamher, Sayuti. 2008. Ilmu Patologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media. Terry. 1995. Terapi Intravena. Jakarta: EGC. Wijaya, Tony. 2009. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Wong. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC. Ariningsih, Santi. 2010. Kolonisasi Mikroorganisme Pada Pemasangan Kateter Intravena Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi. Diakses 25 Juni 2011, jam 16.00 WIB, dari Fakultas kedokteran Universitas Andalas. http://repository.unand.ac.id/id/eprint/179. Darmawan, Iyan. 2008. Flebitis, Apa Penyebabnya, dan Bagaimana Cara Mengatasinya. Diakses 13 Mei 2011, jam 15.00 WIB, dari Otsuka Indonesia. iyan@ho.otsuka.co.id. Hafifah. 2010. Hubungan Pemasangan infus Dengan kejadian Flebitis. Diakses 25 Juni 2011, jam 16.00 WIB, dari STIKES Semarang. http://www.Library.upnvj.ac.id/pdf/2s1 keperawatan/0810712027/bab1.pdf. NN. 2010. Prosedur Pemsangan Infus. Diakses 20 Mei 2011, jam 18. 00 WIB. http://blog.ilmukeperawatan.com/prosedur-pemasangan-infus.html.

50

Suryaningsih, 2007. Hubungan antara Jenis Cairan Intravena dengan Tingkat Keparahan Flebitis. Diakses 12 Mei 2011, jam 17.00 WIB. dari Akper Unmuh Malang. http//Suryaningsih-youtube.blogspot.com/2007/10/hubunganCairan.html. Zahra. 2010. Tehnik Pemasangan Infus. Diakses 20 mei 2011, dari STIKES Samarinda. http//zahra-youtube.blogspot.com/2010/10/tehnik-pemasangan-infus.html.

51

Lampiran 1

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Kepada bapak/ ibu yang terhormat,Saya Yuni Herawati, Nim: 101420109030 Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa program studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudia Husada Madura akan melakukan penelitian dengan judul Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah Dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan.Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi ilmu keperawatan serta peran perawat di Rumah Sakit. Untuk itu saya mohon partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian yang saya lakukan. Hasil dalam penelitian ini akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu keperawatan dan tidak dipergunakan untuk maksud-maksud tertentu. Sebagai bukti kesediaan menjadi responden, saya mohon Bapak/Ibu bersedia untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah saya sediakan. Atas bantuan dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.

Bangkalan, 28 Februari 2012 Hormat saya Peneliti

52

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk berpartisipasi sebagai peserta penelitian yang dilakukan mahasiswa program Studi Keperawatan STIKES Ngudia Husada Madura yang bernama Yuni Herawati , Nim: 101420109030 dengan judul .Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan. Atas dasar pemikiran dari penelitian yang dilakukan untuk pengembangan ilmu keperawatan dan akan dijamin kerahasiaannya, maka saya memutuskan berpartisipasi untuk menjadi responden. Tanda tangan di bawah ini menunjukkan bahwa saya telah diberi penjelasan dan menyatakan setuju serta bersedia untuk menjadi responden.

Bangkalan, .... Maret 2012 Responden

(Tanda Tangan)

53

Lampiran 5

LEMBAR OBSERVASI KEJADIAN PHLEBITIS

Inisial: Umur Anak: tahun

Jenis kelamin: perempuan/ laki-laki Aseptik Dressing: ............ jam No Tanda phlebitis Tgl...... Hari ke 2 1. 2. 3. 4. 5. Nyeri tekan Kemerahan Bengkak Indurasi Vena cord Total skor Tgl...... Hari ke 3 Tgl...... Hari ke 4 Tgl...... Hari ke 5

Keterangan: 0 1 = tidak phlebitis 2 = phlebitis

54

Lampiran 6

STANDAR OPERASIONAL SYSTEM (SOP) ASEPTIK DRESSING

1. Pinset anatomis 2 buah 2. Kasa steril dan lidi kapas 3. Sarung tangan steril 4. Plester/hypafik dan gunting 5. Alkohol 70% dalam tempatnya 6. Betadine atau iodin povidon PERSIAPAN ALAT solution 10% atau sejenisnya 7. NaCl 0,9% 8. Bengkok 2 buah, satu berisi cairan desinfektan 9. Spalk dan verban 10. Penunjuk waktu

Beritahukan

kepada

keluarga

pasien dan pasien tindakan yang PERSIAPAN PASIEN 2. akan dilakukan Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan

1. PERSIAPAN LINGKUNGAN 2.

Menempatkan peralatan di dekat pasien dengan benar Atur pencahayaan

55

1. Lakukan sebelumnya

verifikasi

data

2. Mengatur posisi pasien (tempat tusukan terlihat dengan jelas,

pastikan dekat dengan perawat) 3. Mencuci tangan 4. Pakai sarung tangan 5. Buka balutan verban, buka plester memakai pinset dengan cara

membasahi plester dengan alkohol 6. Bersihkan daerah bekas plester PELAKSANAAN 7. Bersihklan daerah insersi dengan NaCl 0,9% 8. Olesi tempat insersi dengan

betadine atau sejenisnya 9. Tutup dengan kasa steril dengan rapi 10. Pasang plester dan penutup

(diperkuat dengan spalk) 11. Atur kembali tetesan infus

sesuai program 12. 13. 14. 15. Bersihkan peralatan, cuci tangan Dokumentasikan tindakan

56

Lampiran 7

REKAPITULASI HASIL PENELITIAN

A.

Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam No Jenis kelamin 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Usia (tahun) 5 4 3,5 3 3 4,5 3 3 3 5 4 Hari ke 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 Hari ke 3 0 0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 Hari ke 4 1 0 0 0 0 1 0 2 0 0 Hari ke 5 1 0 2 0 0 2 0 0 0 Kejadian phlebitis Tidak Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Tidak Tidak 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 kode

10. Laki-laki 11. Perempuan

Keterangan : 0 : tidak phlebitis 1 : tidak phlebitis 2 : phlebitis

57

B. No

Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Jenis kelamin Usia (tahun) Hari ke 3 Hari ke 5 Kejadian phlebitis 0 2 3 2 1 1 0 0 0 0 2 2 3 1 0 1 0 Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Tidak Tidak Tidak Tidak 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 Kode

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan

3 3,5 3 3 3 3,5 5 4 4 5

10. Perempuan

Keterangan : 0 : tidak phlebitis 1 : tidak phlebitis 2 : phlebitis 3 : phlebitis

58

You might also like