You are on page 1of 8

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Krisan Tanaman krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) atau dikenal dengan nama Seruni atau Bunga emas termasuk ke dalam famili

Compositae/Asteraceae yang berasal dari daratan Cina, daerah subtropik Asia Timur. Tanaman ini merupakan tanaman bunga hias berupa perdu (Widyawan, 1994). Krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias yang mempunyai prospek pasar yang cerah untuk dikembangkan sebagai bunga potong dan tanaman pot. Krisan potong umumnya digunakan sebagai bahan dekorasi ruangan, rangkaian besar maupun jambangan bunga. Krisan pot banyak digunakan sebagai penghias di lobi hotel maupun rumah tinggal (Sanjaya, 1996). Krisan merupakan tanaman semusim dan tahunan yang berkerabat dekat dengan dahlia, bunga matahari dan marigold. Dalam klasifikasi terbaru genus Chrisanthemum diubah menjadi Dendranthema. Menurut ahli botani, tanaman krisan diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies ` : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Asterales : Asteraceae / Compositae : Dendranthema : Dendranthema grandiflora

Varietas Krisan yang Dikembangkan di Indonesia Terdapat beberapa masalah dalam pengembangan krisan di Indonesia. Selama ini krisan yang ditanam petani merupakan hasil introduksi, dengan demikian bahan tanam krisan harus selalu didatangkan dari luar negeri terutama Belanda. Masalah lain yang ditemui adalalah perlunya merakit kultivar krisan baru, mengingat kultivar krisan yang lama sudah kurang diminati konsumen.

Dalam upaya untuk mengatasi masalah tersebut, Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) telah menghasilkan varietas krisan antara lain Puspita Nusantara, Puspita Kencana, Sakuntala, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Purbasari, Dewi Ratih, Pitaloka, Cut Nyak Dien dan Puspita Asri. Pengembangan varietas krisan tersebut dilaksanakan oleh Unit Pengelolaan Benih Sumber Balithi. Varietasvarietas tersebut sudah ditanam di sentra produksi krisan di Jawa barat, Jawa Tengah, Sumatra utara dan Sumatra Selatan (Soedarjo, 2009). Varietas Puspita Asri merupakan hasil dari persilangan tetua Dewi Sartika dengan Stroika. Varietas ini memiliki bentuk bunga ganda dengan jenis bunga spray. Warna bunga ungu (bunga pita) dan kuning (bunga tabung). Bentuk daun lonjong menjari dengan tepi agak bergerigi. Puspita Asri memiliki sistem perakaran serabut dan tahan terhadap penyakit karat. Varietas ini cukup adaptif pada dataran medium dan dataran tinggi. Keragaan mahkota bunga Puspita Asri tersaji pada Gambar 1. Varietas Puspita Nusantara dihasilkan dari persilangan tetua Tawn Talk dengan Saraswati. Varietas ini memiliki bentuk bunga tunggal dengan jenis bunga spray. Warna bunga kuning dan bentuk daun yang lonjong menjari dengan tepi daun agak bergerigi. Puspita Nusantara memiliki sistem perakaran serabut dan tahan terhadap penyakit karat. Varietas ini cukup adaptif pada dataran medium dan dataran tinggi. Keragaan mahkota bunga Puspita Nusantara tersaji pada Gambar 2.

Gambar 1. Krisan Kultivar Puspita Asri

Gambar 2. Krisan Kultivar Puspita Nusantara

Di habitat aslinya, krisan merupakan tanaman semak yang dapat tumbuh dengan tinggi mencapai 30 200 cm. Berdasarkan siklus hidupnya, krisan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu krisan semusim dan krisan tahunan. Krisan tumbuh baik di daratan medium sampai daratan tinggi, yaitu pada kisaran 6001200 meter di atas permukaan laut. Krisan kurang menyukai cahaya matahari dan percikan air hujan langsung serta tanah yang tergenang (Balithi, 2008). Tanaman krisan dapat tumbuh optimal pada media dengan kerapatan jenis 0,2 0,8 g/cm2 (berat kering), total porositas 50-75%, kandungan air 50-70%, kandungan udara dalam pori 10 20%, dan kisaran pH sekitar 5,5 6,5. Krisan dapat tumbuh pada kisaran suhu harian antara 17 30 oC. Pada fase vegetatif, krisan membutuhkan kisaran suhu harian optimum 22 - 28 oC pada siang hari dan tidak melebihi 26o C pada malam hari (Khattak dan Pearson, 1997). Suhu berpengaruh terhadap kualitas bunga yang dihasilkan. Suhu harian optimum pada fase generatif adalah 16 18 oC (Willkins et al., 1990). Pada suhu di atas 25
o

C proses inisiasi bunga akan terhambat dan menyebabkan pembentukan bakal

bunga juga terhambat. Suhu yang terlalu tinggi juga mengakibatkan bunga yang dihasilkan berwarna kusam, pucat dan pudar. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap panjang hari, krisan tergolong tanaman berhari pendek fakultatif. Batas kritis panjang hari (Critical Daylenght) krisan sekitar 13.5 16 jam tergantung genotipe (Langton, 1990). Krisan akan tetap tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterimanya lebih dari batas kritisnya dan akan terinduksi untuk masuk ke fase generatif (inisiasi bunga) bilamana panjang hari yang diterimanya kurang dari batas kritis panjang harinya.

Kelembaban udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman krisan. Tanaman krisan membutuhkan kelembaban 90 95% pada awal pertumbuhan untuk pembentukan akar, sedangkan pada tanaman dewasa, pertumbuhan optimal dicapai pada kelembaban udara sekitar 70 -80% (Mortensen, 2000).

Perbanyakan Krisan Penyediaan bibit krisan dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Namun, perbanyakan secara generatif sangat jarang dilakukan di Indonesia, karena kendala iklim yang menyebabkan tanaman sukar berbiji. Selain itu, perbanyakan generatif kurang menguntungkan karena tanaman hasil persilangan memiliki sifat heterozigot (Priyono, 1992). Perbanyakan melalui biji juga membutuhkan waktu lama dan penanganan khusus untuk mencapai fase generatif. Perbanyakan krisan secara vegetatif umum dilakukan di Indonesia. Perbanyakan krisan secara vegetatif biasanya dilakukan menggunakan setek pucuk, anakan dan kultur jaringan. Untuk mendapatkan benih/bibit bermutu dengan cara stek, tanaman induk krisan di lapangan umumnya harus dibongkar pada minggu ke-16 dan diganti tanaman baru. Perbanyakan dengan cara ini mudah dilakukan karena tidak diperlukan tenaga ahli, peralatan modern dan biaya yang tidak terlalu mahal. Namun pada cara perbanyakan demikian, tingkat multiplikasinya sangat rendah dan waktu yang dibutuhkan untuk perbanyakan terhitung lama, serta peluang untuk terserang hama dan penyakit masih sangat besar.

Kultur Jaringan Tanaman Krisan Teknik kultur jaringan adalah teknik menumbuh-kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan, maupun organ dalam kondisi aseptik secara in vitro (Yusnita, 2003). Pada organisme multi seluler, setiap sel memiliki potensi untuk memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan, 1992). Perbanyakan krisan secara kultur jaringan dapat menghemat waktu dan dapat diperoleh jumlah bibit krisan banyak. Kelebihan dari teknik kultur jaringan

ialah mampu menghasilkan tanaman yang seragam, bermutu tinggi dan bebas penyakit dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif singkat. Namun kelemahan perbanyakan dengan teknik ini memerlukan tenaga ahli dan dana yang cukup besar. Tanaman yang dikembangkan melalui teknik kultur jaringan memiliki toleransi pH media yang sangat sempit. Titik optimum pH media berkisar antara 5,0 sampai dengan 6,0. Pada umumnya, kelembaban relatif (RH) di ruang kultur mendekati 100 %. Suhu optimum berkisar antara 25-26 0C. Lama penyinaran di ruang kultur berkisar antara 10-24 jam/hari (Gunawan, 1992). Menurut Haryanto (1993) medium MS padat ditambah air kelapa (150 ml/l), NAA (0,5 ml/l) dan kinetin (1,5 ml/l) paling baik untuk pemunculan tunas dan akar krisan varietas lokal. Kalus krisan dapat membentuk tunas dan akar 28,60 dan 36,20 hari, sementara itu dalam medium MS padat ditambah air kelapa (150 ml/l), NAA (0,5 ml/l) dan BAP (0,5 ml/l), kalus krisan mampu bertunas dalam waktu 25,80 hari, namun medium tersebut tidak merangsang pemunculan akar (Haryanto, 1993). Menurut Chairunnisa (2004), media kultur dengan kombinasi NAA 0.2 mg/l + kinetin 2 mg/l menghasilkan jumlah buku terbanyak pada planlet krisan varietas Surf. hal ini menunjukkan bahwa kedua ZPT (NAA dan kinetin) berperan dalam pertumbuhan planlet selama masa kultur. Penelitian Mandal et al. (2000) pada stek buku krisan varietas Maghi memperlihatkan bahwa kombinasi NAA dan kinetin menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dibandingkan dengan kombinasi ZPT lainnya. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan memiliki prospek yang cerah, namun masih banyak kendala yang belum bisa diatasi, di antaranya adalah terbatasnya sarana dan prasarana. Pada teknik kultur jaringan, untuk tanaman yang berbeda digunakan metode yang berbeda pula, sehingga untuk mendapatkan hasil dari suatu rangkaian percobaan membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang cukup lama. Beberapa hal yang harus disiapkan untuk pelaksanaan kultur jaringan adalah sebagai berikut:

Eksplan Eksplan adalah bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan dalam kultur jaringan. Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan yang baik adalah nodus atau stek buku tunggal dari tanaman krisan. Ukuran eksplan untuk masingmasing jaringan berbeda, untuk jaringan ruas batang atau nodus biasanya berukuran 0,5-1 cm (Daisy dan Wijayani, 1994). Persentasi keberhasilan eksplan yang berasal dari jaringan muda persentase keberhasilannya akan lebih tinggi, karena jaringan muda selalu aktif membelah, dinding selnya belum mengalami penebalan, sitoplasmanya masih penuh dan vakuolanya kecil-kecil (Daisy dan Wijayani, 1994). Eksplan yang dipilih akan memberikan respon yang berbeda tergantung pada bagian tanaman yang akan digunakan. Eksplan yang ditanam pada media yang tepat dapat beregenerasi melalui proses yang disebut organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis merupakan proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar (Gunawan, 1992) Media Dasar Murashige dan Skoog Media kultur jaringan berfungsi sebagai tempat tumbuh eksplan. Nama media disesuaikan dengan penemunya sebagai contoh, media MS (Murashige dan Skoog), media VW (Vacin dan Went) dan sebagainya. Pada dasarnya, jenis bahan kimia yang digunakan pada tiap jenis media hampir sama. Perbedaan hanya terdapat pada konsentrasi masing-masing senyawanya (Daisy dan Wijayani, 1994). Nutrisi yang dikandung dalam media adalah unsur hara mikro, makro, sumber karbon, vitamin, ZPT dan asam amino. Zat pengatur tumbuh berperan untuk menstimulasi perkembangan dan diferensiasi sel (Daisy dan Wijayani, 1994). Setiap tanaman memiliki kesesuaian dengan media tertentu. Untuk kultur jaringan tanaman hias telah banyak yang melaporkan keberhasilannya dengan menggunakan media MS, diantaranya adalah Spathiphyllum, gladiol, begonia, mawar dan azalea (Gunawan, 1992). Banyak faktor yang menentukan tingkat keberhasilan perbanyakan vegetatif secara in vitro, diantaranya adalah kondisi eskplan, penggunaan media yang tepat, konsentrasi zat pengatur tumbuh dan faktor lingkungan. Bahan eskplan yang digunakan dalam perbanyakan massal krisan berasal dari beberapa

bagian tanaman seperti tangkai, meristem ujung tunas lateral (Ahmed dan Andrea, 1987), petal (Chakrabarty et al, 2000), dan daun. Sitokinin Sitokinin merupakan senyawa golongan adenine yang berperan penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin pertama kali ditemukan adalah kinetin yang diisolasi oleh Prof. Skoog dalam laboratorium botani di University of Winconsin. Kinetin diperoleh dari DNA ikan Herring yang diautoklaf dalam larutan asam. Persenyawaan dari DNA tersebut ketika ditambahkan dalam media untuk tembakau, ternyata merangsang.pembelahan sel dan diferensiasi sel persenyawaan tersebut, yang kemudian dinamakan kinetin (Gunawan, 1992). Menurut Wattimena (1988) dan Lakitan (1996) BA adalah salah satu jenis sitokinin yang sangat aktif tetapi kemungkinan tidak disintesis oleh tanaman. Menurut Chawla (2002) BA bermanfaat untuk pertumbuhan tunas pada tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro dan Wattimena (1988) mengungkapkan bahwa BA sangat aktif dalam mendorong pertumbuhan kalus tembakau. Zat pengatur tumbuh sitokinin mempunyai beberapa peranan fisiologis, yaitu mendorong pembentukan tunas adventif, mendorong pembungaan,

menghambat pembentukan akar, memperlambat penuaan, dan mendorong pembukaan stomata Sitokinin yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, zeatin, 2iP, BAP, BA, PBA, 2 Ci-4Pci, 2,6-Ci-4Pci:N dan Thidiozuron (TDZ). Nukleusidanya yaitu 6 Benziladenin Ribosi dijumpai pada sel Pimpinella anisum. BA memiliki atom C dan H yang menempel pada atom N yang terikat pada cincin purin (Gunawan, 1992), seperti tersaji pada Gambar 3. BA memiliki Berat Molekul (BM) 225.26.

Gambar 3. Struktur kimia Benzyl Adenin

Aklimatisasi Menurut Donnelly dan Vidaver (1988) aklimatisasi adalah proses adaptasi tanaman hasil kultur jaringan atau perbanyakan in vitro terhadap lingkungan rumah kaca atau lingkungan lapang. Aklimatisasi dilakukan untuk

mengadaptasikan tanaman hasil kultur jaringan terhadap lingkungan baru sebelum ditanam dan dijadikan tanaman induk untuk produksi dan untuk mengetahui kemampuan adaptasi tanaman dalam lingkungan tumbuh yang kurang aseptik (Gunawan, 1992). Tujuan utama aklimatisasi adalah menyediakan lingkungan in vivo yang optimum untuk meminimalkan persentase kematian dan kerusakan tanaman, dan untuk mendorong pertumbuhan pada dan setelah masa aklimatisasi (Ziv, 1995). Pada proses aklimatisasi diperlukan faktor lingkungan yang memadai, seperti temperatur, kelembaban dan cahaya. Temperatur yang dibutuhkan pada tanaman krisan sekitar 15-26 oC, kelembaban 70-90 % dan pencahayaan minimal 100 lux (Fides, 1992). Selama proses aklimatisasi, tanaman diperkuat dengan cara menaikkan intensitas cahaya dan menurunkan kelembaban. Keduanya dilakukan secara hati-hati dan bertahap untuk menghindari kematian tanaman (Gunawan, 1992). Hartman dan Kester (1990) mengemukakan bahwa media tumbuh yang ideal adalah media yang memiliki syarat-syarat seperti struktur terbuka atau gembur, sehingga aerasi dan drainase baik serta kelembaban yang cukup, bebas organisme dan bahan berbahaya, cukup hara mineral dan bobotnya ringan.

You might also like