You are on page 1of 46

15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. PELATIHAN KETERAMPILAN KERJA

1. Pengertian dan Manfaat Pelatihan

1.1 Pengertian Pelatihan

Pelatihan adalah proses melatih; kegiatan atau pekerjaan (KBBI, 1989:

29). Pelatihan mempersiapkan peserta latihan untuk mengambil jalur tindakan

tertentu yang dilukiskan oleh teknologi dan organisasi tempat bekerja, dan

membantu peserta memperbaiki prestasi dalam kegiatannya terutama mengenai

pengertian dan keterampilan. (Rolf P. Lynton dan Udai Pareek, 1998: 126)

Kecakapan hidup (life skill) adalah kemampuan dan keberanian untuk

menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari

dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pengertian kecakapan hidup lebih

luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja. Kecakapan

hidup dapat dipilah menjadi dua jenis utama, yaitu:

1) Kecakapan hidup yang bersifat generik (generic life skill/GLS), yang

mencakup kecakapan personal (personal skill/PS) dan kecakapan sosial

(social skill/SS). Kecakapan personal mencakup kecakapan akan kesadaran

diri atau memahami diri (self awareness) dan kecakapan berpikir (thinking

skill), sedangkan kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi

(communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).

2) Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS), yaitu kecakapan untuk


menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu, yang mencakup kecakapan

akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual dan kecakapan

vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik terkait dengan bidang

pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup

kecakapan mengidentifikasi variabel dan hubungan antara satu dengan

lainnya (identifying variables and describing relationship among them),

kecakapan merumuskan hipotesis (constructing hypotheses), dan

kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian ( designing and

implementing a research). Kecakapan vokasional terkait dengan bidang

pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan

vokasional mencakup kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill)

dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill). (Depdiknas,

2003:18)

Secara umum pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang

menggambarkan suatu proses dalam pengembangan organisasi maupun

masyarakat. Pendidikan dengan pelatihan merupakan suatu rangkaian yang tak

dapat dipisahkan dalam sistem pengembangan sumberdaya manusia, yang di

dalamnya terjadi proses perencanaan, penempatan, dan pengembangan tenaga

manusia. Dalam proses pengembangannya diupayakan agar sumberdaya manusia

dapat diberdayakan secara maksimal, sehingga apa yang menjadi tujuan dalam

memenuhi kebutuhan hidup manusia tersebut dapat terpenuhi. Moekijat (1993:3)

juga menyatakan bahwa “pelatihan adalah suatu bagian pendidikan yang

menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan

diluar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat dan
17

dengan metode yang lebih mengutamakan praktek dari pada teori”. Pernyataan ini

didukung Yoder (1962:368) yang mendefinisikan kalau kegiatan pelatihan sebagai

upaya mendidik dalam arti sempit, terutama dilakukan dengan cara instruksi,

berlatih, dan sikap disiplin.

Antara pendidikan dengan pelatihan sulit untuk menarik batasan yang

tegas, karena baik pendidikan umum maupun pelatihan merupakan suatu proses

kegiatan pembelajaran yang mentransfer pengetahuan dan keterampilan dari

sumber kepada penerima. Walaupun demikian perbedaan keduanya akan terlihat

dari tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan tersebut. Pendidikan umum

(formal) menurut Halim dan Ali (1993:3) selalu berkaitan dengan mata pelajaran

secara konsep dan sifatnya teoritis dan merupakan pengembangan sikap dan

falsafah pribadi seseorang. Bila pelatihan lebih menitik beratkan pada kegiatan

yang dirancang untuk memperbaiki kinerja dalam menjalankan tugas, maka

pendidikan lebih menitik beratkan pada pengembangan pengetahuan dan

pemahaman terhadap keseluruhan lingkungan. Pada bagian lain dijelaskannya

bahwa pelatihan lebih dikaitkan dengan kekhususan mengajar, fakta pandangan

yang terbatas kepada keterampilan yang bersifat motorik dan mekanistik.

Dalam pengembangan masyarakat, pelatihan diberikan sebagai upaya

untuk meningkatkan kemampuan dari warga masyarakat dalam menghadapi

tuntutan maupun perubahan lingkungan sekitarnya. Pemberian pelatihan bagi

masyarakat bertujuan untuk memberdayakan, sehingga warga masyarakat menjadi

berdaya dan dapat berpartisipasi aktif pada proses perubahan. Pelatihan dapat

membantu orang atau masyarakat untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan

kemampuan yang telah dimiliki.

Dengan pelatihan juga dapat menimbulkan perubahan dalam kebiasaan-


kebiasaan bekerja masyarakat, perubahan sikap terhadap pekerjaan, serta dalam

informasi dan pengetahuan yang mereka terapkan dalam pekerjaannya sehari-hari.

Kegiatan pelatihan dapat terjadi apabila seseorang atau masyarakat menyadari

perlunya mengembangkan potensi dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan

maupun kepuasan hidupnya, oleh sebab itu diperlukan kegiatan pemberdayaan.

Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai upaya melepaskan belenggu kemiskinan

melalui pertumbuhan ekonomi dan keterbelakangan melalui pendidikan. Kegiatan

pemberdayaan yang dilakukan melalui pelatihan bertujuan untuk memperkuat

posisi seseorang melalui penumbuhan kesadaran dan kemampuan individu yang

bersangkutan, mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan memikirkan langkah-

langkah mengatasinya.

Inti dari kegiatan pemberdayaan adalah motivasi untuk memahami kondisi

dan situasi kerja sehari-hari serta menumbuhkan kemampuan dan keberanian

mereka untuk bersikap kritis terhadap kondisi yang mereka hadapi, sehingga

kuncinya adalah membangun partisipasi. Pernyataan ini sejalan dengan ungkapan

Kindervatter (1979: 62), yang mengemukakan : “People gaining an

understanding of and control over social, economic, and/or political forces in

order to improve their standing in society”. Pemberdayaan adalah dicapainya

kemampuan seseorang untuk memahami dan mengontrol kekuatan-kekuatan

sosial, ekonomi dan atau politik yang mungkin diperankannaya sehingga dapat

memperbaiki kedudukannya (status) dan peranannya (role) dalam masyarakat.

Lebih lanjut untuk mengetahui penjelasan mengenai pelatihan, berikut ini

diuraikan beberapa batasan atau pengertian pelatihan yang dikemukakan para ahli.
19

Kenneth Robinson (1981), dalam Sudirman (2001:20) mengemukakan bahwa :

“ Training, Therefore we are seeking by any instructional or experiential


means to develop a person behavior patterns in the areas of knowledge,
skill or attitude in order to achieve disered, standar”.

Dengan demikian pelatihan merupakan instruksional atau experensial

untuk mengembangkan pola-pola perilaku seseorang dalam bidang pengetahuan

keterampilan atau sikap untuk mencapai standar yang diharapkan. Gardner (1981),

dalam Sudirman (2001:21) menjelaskan bahwa :“Training can be defined broadly

is the techniques and arrangement aimed at fostering and experiencing learning.

The focus in on learning”. Gardner mengemukakan, bahwa pelatihan itu lebih

difokuskan pada kegiatan pembelajaran.

Mc. Gahee, dalam buku “The Complete Book of Training”, dalam

Sudirman (2001:21) menjelaskan bahwa; “Pelatihan adalah prosedur formal

yang difasilitasi dengan pembelajaran guna terciptanya perubahan tingkah laku

yang berkaitan dengan peningkatan tujuan perusahaan atau organisasi”. Pada

bagian lain dari buku tersebut mengemukakan bahwa pelatihan merupakan proses

pembelajaran untuk meningkatkan kinerja seseorang dalam menyelesaikan

pekerjaan.

Michael J. Jacius (1968:296), mengemukakan “istilah pelatihan

menunjukkan suatu proses peningkatan sikap, kemampuan, dan kecakapan dari

para pekerja untuk menyelenggarakan pekerjaan secara khusus”.

Ungkapan ini menunjukkan kalau kegiatan pelatihan merupakan proses

membantu peserta belajar untuk memperoleh keefektifan dalam melakukan

pekerjaan mereka baik pada saat sekarang maupun masa yang akan datang melalui
pengembangan kebiasaan pikiran dan tindakan-tindakan, kecakapan, pengetahuan,

dan sikap-sikap.

Hal ini sejalan dengan pandangan Soenanto dalam Moekijat (1993:4)

bahwa “pelatihan adalah kegiatan belajar untuk mengubah rencana orang dalam

melakukan pekerjaan. Penyelenggaraan pelatihan yang baik dan optimal akan

meningkatkan kemampuan peserta pelatihan untuk mengatasi masalah yang

dihadapi dalam menjalankan tugas serta dapat meningkatkan produktivitas dan

kualitas kerja”. Alex S. Nitisemito (1982:86) mengungkapkan tentang tujuan

pelatihan sebagai usaha untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah

laku dan pengetahuan, sesuai dari keinginan individu, masyarakat, maupun

lembaga yang bersangkutan.

Dengan demikian pelatihan dimaksudkan dalam pengertian yang lebih

luas, dan tidak terbatas semata-mata hanya untuk mengembangkan keterampilan

dan bimbingan saja. Pelatihan diberikan dengan harapan warga masyarakat dapat

melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Masyarakat yang telah mengikuti

pelatihan dengan baik biasanya akan memberikan hasil pekerjaan lebih banyak

dan baik pula dari pada masyarakat yang tidak mengikuti pelatihan.

Sedangkan Syamsuri Arman (1979:76) menjelaskan tentang begitu

pentingnya suatu pelatihan baik bagi perusahaan maupun masyarakat dengan

didasari berbagai alasan seperti :

a. Pengeluaran biaya pelatihan yang sistematis jauh lebih kecil bila

dibandingkan dengan pengeluaran yang disebabkan dari beberapa

kekeliruan dan kelambatan yang disebabkan dari hasil coba-coba dalam

mencari pemecahan masalah dalam pekerjaannya sendiri.


21

b. Seseorang atau masyarakat yang telah dibina dalam suatu program

pelatihan biasanya lebih menyenangi pekerjaannya dan kecenderungan

untuk berpindah pekerjaan menjadi kecil.

c. Adanya jenis-jenis pekerjaan tertentu yang sangat memerlukan program

pelatihan, karena tanpa pelatihan pekerjaan tersebut tidak akan mencapai

sasaran dengan tepat.

Dengan demikian, kegiatan pelatihan lebih ditekankan pada peningkatan

pengetahuan, keahlian atau keterampilan (skill), pengalaman, dan sikap peserta

pelatihan tentang bagaimana melaksanakan aktivitas atau pekerjaan tertentu.

Pengertian pelatihan antara satu rumusan dengan rumusan lain pada

umumnya tidak bertentangan, melainkan memiliki ciri atau unsur yang sama.

Dalam suatu pelatihan memiliki beberapa ciri, yaitu: (a) direncanakan dengan

sengaja, (b) adanya tujuan yang hendak dicapai, (c) ada peserta (kelompok

sasaran) dan pelatihan, (d) ada kegiatan pembelajaran secara praktis, (e) isi belajar

dan berlatih menekankan pada keahlian atau keterampilan suatu pekerjaan

tertentu, (f) dilaksanakan dalam waktu relatif singkat, dan (g) ada tempat belajar

dan berlatih.

Berdasarkan beberapa ungkapan tentang pengertian dan tujuan pelatihan

serta ciri-ciri yang digambarkan dalam suatu pelatihan tersebut, maka pelatihan

dapat diartikan sebagai suatu upaya melalui proses pembelajaran yang bertujuan

untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang atau

sekelompok orang dalam suatu tugas pekerjaan tertentu dan dilaksanakan dalam

waktu relatif singkat pada tempat tertentu.

1.2. Manfaat Pelatihan

Selain pengertian dan tujuan sebagaimana dikemukakan di atas pelatihan


juga memiliki sejumlah manfaat, seperti yang dikemukakan oleh Robinson dalam

Marjuki (1992:28) bagi sebuah organisasi pelatihan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut:

a. Pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan/kemampuan

individu atau kelompok dengan harapan memperbaiki performance

organisasi. Perbaikan-perbaikan itu dapat dilaksanakan dengan berbagai

cara. Pelatihan yang efektif dapat menghasilkan pengetahuan dalam

pekerjaan/tugas, pengetahuan tentang struktur dan tujuan organisasi,

tujuan-tujuan, bagian-bagian tugas masing-masing karyawan dan

sasaranya tentang sistem dan prosedur, dan lain-lain.

b. Keterampilan tertentu diajarkan agar para karyawan dapat melaksanakan

tugas-tugas sesuai dengan standar yang diinginkan.

c. Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-sikap terhadap pekerjaan,

terhadap pimpinan atau karyawan, sering kali juga sikap-sikap yang tidak

produktif timbul dari salah pengertian yang disebabkan oleh informasi

yang membingungkan.

d. Bahwa pelatihan dapat memperbaiki standar keselamatan kerja.

Sedangkan bagi kelompok masyarakat kegiatan pelatihan yang diberikan

dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya:

1) Membantu masyarakat mempercepat pemenuhan kebutuhan

sebagai upaya memperbaiki taraf hidup

2) Memperbaiki sikap-sikap agar mampu beradaptasi dengan

perubahan lingkungan serta dapat membuat keputusan

dengan baik dan benar.


23

3) Meningkatkan motivasi untuk belajar, dan senantiasa agar

bersedia untuk mengembangkan pengetahuan dan

kemampuannya

4) Menumbuhkan rasa percaya diri dan solidaritas yang tinggi

diantara sesama masyarakat.

Dari beberapa uraian di atas jelas bahwa pelatihan merupakan sarana yang

ditujukan pada upaya untuk lebih mengaktifkan kerja baik karyawan organisasi

maupun masyarakat yang dipandang kurang efektif sebelumnya. Dengan pelatihan

akan mampu mengurangi adanya dampak negatif yang disebabkan kurangnya

pengetahuan, kurangnnya kepercayaan diri atau pengalaman yang terbatas dari

anggota atau kelompok tertentu.

Dalam pengembangan sumberdaya manusia, jelas pelatihan mutlak

diperlukan. Kemutlakan itu tergambar pada berbagai jenis manfaat yang dapat

diambil dari padanya, baik bagi organisasi, karyawan, individu maupun

masyarakat. Manfaat juga akan dirasakan bagi penumbuhan dan pemeliharaan

hubungan yang serasi baik dalam kelompok kerja maupun antara peserta dalam

kelompok yang semuanya bermuara pada peningkatan produktifitas. Dengan

peningkatan dan berkembangnya kemampuan masyarakat, diharapkan akan dapat

memenuhi kepuasan dalam hidupnya.

2. Pendekatan dan Asas Umum Kegiatan Pelatihan

2.1. Pendekatan Pelatihan

Paul G. Friedman dan Elaine A. Yarbrough dalam buku “Training

Strategies” mengungkapkan bahwa: dalam pelaksanaan pelatihan dapat ditelusuri

dari dimensi langkah-langkahnya, pelatih dan metodenya. Proses pelatihan secara


umum dilakukan melalui dua pendekatan yaitu; pendekatan menerima (receptive)

yang digunakan sebagai fase diagnostik atau lebih dikenal dengan sebutan

pendekatan “bottom-up”, dan pendekatan instruksi (directive) yang digunakan

sebagai fase instruksional atau disebut dengan pendekatan “top-down”. Kedua

pendekatan ini mempunyai kepentingan yang sama sesuai dengan fungsinya, serta

digunakan untuk saling melengkapi walaupun dalam situasi yang berbeda.

Halim dan Ali (1993:20) mengemukakan adanya tiga pendekatan dalam

menyelenggarakan pelatihan, yaitu pendekatan (a) tradisional, (b) eksperiensial,

dan (c) berbasis kinerja. Menurut mereka, dalam “pendekatan tradisional” staf

pelatihan merancang tujuan, konten, teknik pengajaran, penugasan, rencana

pembelajaran, motivasi, tes dan evaluasi. Fokus model pelatihan ini adalah

intervensi yang dilakukan staf pelatihan. Dalam “pendekatan eksperiensial”,

pelatih memadukan pengalaman sehingga warga belajar menjadi lebih aktif dan

mempengaruhi proses pelatihan. Model pelatihan ini menekankan pada situasi

nyata atau simulasi. Tujuan pelatihannya ditetapkan bersama oleh pelatih dan

warga belajar. Pelatih menjalankan peran sebagai fasilitator, katalis, atau nara

sumber, sedangkan dalam “pendekatan berbasis kinerja”, tujuan diukur

berdasarkan pencapaian tingkat kemahiran tertentu dengan menekankan pada

penguasaan keterampilan yang bisa diamati.

Dalam pelatihan, biasanya yang dipakai adalah pendekaran pembelajaran

orang dewasa (andragogy). Knowles (1980:41) menjelaskan tentang konsep

andragogi dengan “the art and science of helping adults learn”, yaitu seni dan

ilmu dalam membantu orang dewasa belajar. Proses pembelajaran orang dewasa

pada dasarnya menggunakan beberapa asumsi:


25

a. Orang dewasa telah memiliki konsep diri, dan tidak mudah untuk

menerima konsep yang datang dari luar dirinya, sehingga dalam proses

pelatihannya perlu memperhatikan ; (1) iklim belajarnya perlu diciptakan

sesuai dengan keadaan orang dewasa, (2) warga belajar perlu dilibatkan

dalam mendiagnosis kebutuhan belajarnya, (3) warga belajar perlu

dilibatkan dalam proses perencanaan belajarnya, (4) proses belajarnya

merupakan tanggung jawab bersama antara sumber belajar dengan warga

belajar, dan (5) evaluasi pembelajarannya ditekankan pada evaluasi diri

sendiri.

b. Orang dewasa telah memiliki pengalaman, dan berbeda-beda sehingga; (1)

proses pembelajarannya lebih ditekankan pada teknik yang sifatnya

menyadap pengalaman mereka, (2) proses pembelajarannya lebih

ditekankan pada aplikasi praktis.

c. Orang dewasa memiliki masa kesiapan belajar seirama dengan adanya

peran sosial yang mereka tampilkan. Peran ini akan berubah sejalan

dengan perubahan usianya sehingga dalam proses pembelajarannya; (1)

urutan program belajar perlu disusun berdasarkan urutan logik mata

pelajaran, dan (2) dengan adanya konsep mengenai tugas-tugas

pekembangan pada orang dewasa akan memberikan petunjuk dalam

belajar secara kelompok.

d. Orang dewasa memiliki perspektif waktu dan orientasi belajar, sehingga

cenderung memiliki perspektif untuk secepatnya untuk mengaplikasikan

apa yang mereka pelajari. Sehingga dalam proses pembelajarannya; (1)

sumber belajar berperan sebagai pemberi bantuan kepada warga belajar,


dan (2) kurikulum tidak berorientasi pada mata pelajaran, tetapi

berorientasi pada masalah. (Knowles, 1980:45-54)

Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran yang tepat

digunakan dalam pelatihan adalah pendekatan yang bobot dukungannya terhadap

kegiatan pembelajaran partisipatif sangat tinggi, yakni pendekatan yang

mengikutsertakan warga belajar semaksimal mungkin dalam proses pelatihan.

Dari beberapa pendekatan yang ada, penyelenggaraan pelatihan ini lebih

mengedepankan untuk menggunakan pendekatan partisipatif, walaupun ada

beberapa uraian yang memiliki kesamaan dengan pendekatan yang lain. Dengan

pendekatan partisipatif, pendekatan lain juga akan lebih mudah untuk

diadaptasikan, karena dengan pendekatan partisipatif masyarakat sebagai peserta

pelatihan tidak akan merasa tersinggung atau dipaksa bila diperintah dan akan

dengan senang hati untuk menerima.

Pendekatan ini akan lebih efektif karena sebagaimana diungkapkan

sebelumnya bahwa yang menjadi sasaran utamanya adalah masyarakat orang

dewasa yang pada umumnya sudah banyak memiliki pengalaman. Di samping itu

melalui pendekatan partisipatif masyarakat sebagai peserta pelatihan akan ikut

berperan lebih banyak dan luas, baik dari sejak dilakukannya identifikasi

kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan dan sampai kepada menilai hasil kegiatan

pelatihan. Secara khusus pendekatan ini digunakan untuk melibatkan peserta

pelatihan agar dapat berpartisipasi aktif dalam proses pelatihan dan dalam

menjalankan usaha. Kegiatan lain yang hampir sama dalam bentuk partisipasi juga

dari pendekatan yang dikemukakan oleh Halim dan Ali seperti; dalam pendekatan

tradisional pelatih memberikan tugas memotivasi dan melakukan evaluasi kepada


27

peserta.

Pada pendekatan eksperiensial pelatih juga tidak lupa memperhatikan dan

berusaha memadukan pengalaman yang telah dimiliki peserta sebelumnya.

Sedangkan pada pendekatan berbasis kinerja tujuan pelatihannya diukur dengan

melihat partisipasi peserta selama mengikuti pelatihan terutama dalam pencapaian

tingkat penguasaan keterampilan yang telah dipelajari.

Penggunaan pendekatan partisipatif ini dapat dilakukan secara langsung

dan tidak langsung. Secara langsung biasanya dilaksanakan dalam kelompok kecil

atau dengan tatap muka, dan ini akan terasa lebih efektif karena akan terjadi

hubungan keakraban diantara peserta. Secara tidak langsung biasanya dilakukan

dalam kelompok yang lebih besar yang tidak memungkinkan bagi setiap peserta

untuk bertatap muka langsung. (Sudjana, 1992:266).

Dari berbagai pendapat para ahli tentang asas-asas umum pelatihan,

walaupun terdapat beberapa perbedaan, peneliti menyimpulkan bahwa asas-asas

umum pelatihan keterampilan kerja tidak terlepas dari dua hal, yaitu (1)

Performance fasilitator pelatihan. Fasilitator harus dapat memaksimalkan

parrtisipasi peserta dan mampu memberikan keahlian teknis yang dibutuhkan

peserta pelatihan. Dan (2) Metode Pelatihan. Dalam pelatihan metode yang

digunakan adalah metode pembelajaran orang dewasa (andragogy

partisipatories). Hal ini bertujuan untuk membuat para peserta pelatihan mampu

berpartisipasi aktif terhadap materi yang dipelajarinya.

2.2. Asas-asas umum pelatihan

Dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat sebagai calon tenaga

kerja terlebih dahulu harus ditetapkan sasaran yang ingin dicapai, dengan

demikian potensi yang telah dimiliki masyarakat sebagai calon peserta pelatihan
tersebut akan dapat dikembangkan dan ditingkatkan secara maksimal. Di samping

itu, kegiatan pelatihan yang akan diberikan kepada peserta harus mengikuti asas-

asas umum pelatihan. Hal ini dimaksudkan agar tujuan pelatihan tersebut dapat

tercapai dengan baik. Sebagaimana ungkapan Dale Yoder (1962:235) yang

mengemukakan asas-asas umum pelatihan sebagai berikut: (a) Individual

differences; (b) Relation to job analysis; (c) Motivation; (d) Active participation;

(e) Selection of trainers; (g) Trainer’s training; (h) Training methods; and (i)

Principles of learning.

Asas yang juga penting adalah sikap dan penampilan pelatih, karena sikap

dan penampilan pelatih turut menentukan keberhasilan suatu pelatihan. Alex S.

Nitisemito (1982:105) mengemukakan peranan pelatih sangat menentukan

berhasil tidaknya pelatihan tersebut. Zaenudin Arif (1981:54-55) mengemukakan

bahwa “peran utama pelatih adalah memperlancar atau memberikan kemudahan

agar setiap peserta pelatihan merupakan sumber yang efektif bagi yang lain”.

Di samping memiliki pengetahuan dan skill yang memadai, seorang

pelatih juga harus memiliki ciri-ciri pribadi yang penting bagi keberhasilan

pekerjaannya, yaitu: (a) memiliki konsep diri yang sehat dan terintegrasi dengan

baik; (b) memiliki kemampuan empati; (c) mempunyai sikap terhadap

keanggotaan kelompok; (d) kemauan dan kemampuan untuk mengambil resiko

pribadi; dan (e) mampu mengatasi tekanan emosional yang erat hubungannya

dengan kemampuan menghadapi resiko-resiko.

Dengan demikian peran pelatih adalah sebagai fasilitator. Menurut Bonnie

J. Cain dan John P. Comings (1977:8-10) menyatakan bahwa tujuan seorang

fasilitator adalah: (1) memaksimalkan pertisipasi peserta pelatihan; (2) membantu

peserta pelatihan melihat seluruh masalahnya dalam proses pengambilan suatu


29

keputusan; dan (3) memberikan keahlian teknis yang dibutuhkan peserta pelatihan

dalam memproduksi bahan ajar.

Dari beberapa asas pelatihan, yang sangat penting adalah metode

pelatihan. Metode adalah setiap kegiatan yang ditetapkan oleh sumber belajar

untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan (Sudjana, 1993:10).

Di dalam memilih metode pelatihan yang tepat, perlu mempertimbangkan

beberapa hal. Winarno Surakhmad (1986:76) dan Imansjah Alipandie (1984:72-

73) mengemukakan bahwa pemilihan metode pembelajarannya dipengaruhi oleh

beberapa faktor, seperti: (1) tujuan belajar; (2) peserta didik; (3) situasi; (4)

fasilitas; dan (5) pribadi pendidik. Sementara itu, Tri Susilowati dan Ibrahim

Yunus (1988:23) serta Sudjana (1993:29-35) menegaskan bahwa faktor yang perlu

dipertimbangkan dalam memilih metode pembelajaran adalah: (1) manusia, yang

meliputi sumber belajar dan warga belajar, serta masyarakat sekitar; (2) tujuan

belajar; (3) bahan; dan (4) waktu dan fasilitas.

Berkaitan dengan metode pembelajaran, bahwa; alat bantu/peraga

pembelajaran juga penting dalam pelatihan, karena : (1) dapat melenyapkan salah

tafsir; (2) pembelajaran yang diberikan akan lebih mudah, cepat, dan jelas

ditangkap; (3) menegaskan, dan memberikan dorongan kuat untuk menerapkan

apa yang dianjurkan. Alat atau fasilitas dan sarana berhubungan dengan tempat

pelaksanaan kegiatan pelatihan, sedangkan alat bantu berhubungan dengan

penyampaian pelajaran. (Depdikbud, 1983:122)

3. Model-Model Pelatihan
Penyelenggaraan pelatihan pada umumnya lebih banyak digunakan oleh
lembaga-lembaga atau organisasi baik pemerintah maupun swasta, dan juga
perusahaan, dengan menggunakan model-model yang berbeda. Model-model
pelatihan yang ditampilkan tersebut, kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan
kualitas SDM sebagai tenaga kerja, yang akhirnya dapat meningkatkan produksi.
Pelaksanaan pelatihan juga dapat saja dilakukan di masyarakat, yang juga
bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari warga masyarakat seperti
pengetahuan atau bidang keterampilan tertentu.
Model yang dikembangkan Nedler ini dimulai dari: 1) menentukan
kebutuhan organisasi, 2) menentukan spesifikasi pelaksanaan tugas, 3)
menentukan kebutuhan pembelajar, 4) merumuskan tujuan, 5) menentukan
kurikulum, 6) memilih strategi pembelajaran, 7) mendapatkan sumber belajar, dan
8) melaksanakan pelatihan, dan selanjutnya kembali lagi ke menentukan
kebutuhan. Perputaran ini bertujuan untuk melihat keunggulan dan kelemahan
dari pelatihan yang telah dilaksanakan, apakah masih perlu diadakan perbaikan
atau memang sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh organisasi.
Dalam siklus pelatihan atau dalam pendidikan yang ditujukan pada orang
dewasa sebagai sasaran, Goad (1982:41) mengungkapkan perlunya
memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut: 1) orang dewasa belajar dengan
melakukan; yaitu orang dewasa senantiasa ingin dilibatkan, 2) masalah dan contoh
harus realistis dan relevan dengan warga belajar, 3) lingkungan belajar yang
terbaik adalah lingkungan informal, 4) keragaman mendorong dan cenderung
membuka kelima indra dari peserta belajar, 5) dilakukan perubahan kecepatan dan
teknik dari waktu ke waktu, 6) tidak menerapkan sistem peringkat apapun, 7)
fasilitator berperan sebagai agen pembaharuan, 8) fasilitator bertanggung jawab
untuk memfasilitasi pembelajaran, sedangkan pembelajarannya sendiri merupakan
tanggung jawab peserta belajar.
4. Konsep Pelatihan Keterampilan kerja

1. Pengertian Pelatihan Keterampilan kerja

Pelatihan keterampilan kerja adalah serangkaian kegiatan yang dirancang


31

untuk membekali pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap baik bagi

individu maupun kelompok dengan beberapa jenis keterampilan, untuk dapat

dijadikan sebagai sumber usaha dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup.

Sebagai suatu konsep, pelatihan keterampilan kerja dapat dikatakan

sebagai suatu pendekatan dalam belajar mengajar dengan melibatkan beberapa

kajian materi tentang keterampilan yang bertujuan untuk memberikan pengalaman

yang berarti kepada warga belajar. Pelatihan atau pembelajaran keterampilan ini

sebagaimana diungkapkan (Gilkey, 1985 :195) adalah merupakan suatu proses

dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia

turut serta dalam tingkah laku tertentu dan kondisi-kondisi khusus atau

menghasilkan respon-respon terhadap situasi tertentu. Proses pengelolaan

lingkungan yang menjadikan sebuah formasi dan diikuti penyesuaian unsur-unsur

yang ada untuk mencapai tujuan pelatihan ini disebut integration. Proses integrasi

merupakan perkembangan progresif dalam mewujudkan penyesuaian yang

sempurna antara beberapa unsur secara bersama atau saling mendukung untuk

mewujudkan budaya sempurna (total culture).

Sebagai contoh Linton (1984:267) menunjukkan tentang terjadinya

perubahan dalam kehidupan masyarakat suku Tanala di Madagaskar sebagai

akibat dari masuknya sistem teknologi bersawah, yang akhirnya masyarakat

menjadi ikut beralih sedang sebelumnya mereka hanya mengenal sistem

penanaman padi ladang.

Pelatihan keterampilan kerja yang dalam pembelajarannya lebih

berorientasi pada praktek atau aplikasi praktis, memiliki kecenderungan yang

sesuai dengan kebutuhan warga belajar. Apalagi dalam pelatihan keterampilan


kerja yang menekankan keterlibatan peserta belajar dalam belajarnya, maka akan

membuat warga belajar secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan dalam

pengambilan keputusan. Keterlibatan warga belajar dalam setiap proses kegiatan

belajar sesuai dengan ungkapan Knowles (1980), bahwa peserta belajar terutama

bagi orang dewasa, proses belajarnya harus dilaksanakan dengan melibatkan

partisipasi aktif dari warga belajarnya. Pendekatan semacam ini akan menjadikan

suatu pengalaman yang berarti bagi peserta atau warga belajar itu sendiri.

Sebagaimana dikemukakan John Dewey dengan konsep “Learning by doing-nya”

yang dalam salah satu isi pembelajarannya mengutamakan bidang keterampilan

yang dirasa berguna dalam kehidupan dan langsung dapat dirasakan oleh

masyarakat.

Pelatihan keterampilan kerja dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki

kualitas atau meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam bekerja untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama dalam rangka mengimbangi dampak

sosial akibat berbagai kebijakan yang mempersempit lapangan pekerjaan bagi

masyarakat.

2. Landasan dan Prinsip Pelatihan Keterampilan kerja

Pelatihan keterampilan kerja dikembangkan dengan menggunakan

landasan dan prinsip-prinsip sebagai berikut :

Landasan Yuridis

Pelatihan sebagai bagian dari pendidikan dapat dirunut dari

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (2003 : 1) dikemukakan bahwa : “Pendidikan adalah usaha sadar


33

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar warga belajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya”.

Jadi pada akhirnya tujuan pelatihan adalah membantu warga

belajar agar nantinya mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya

sebagai pribadi yang mandiri, sebagai anggota masyarakat dan sebagai

warga negara. Dengan demikian mata pelajaran dalam pelatihan harus

dipahami sebagai alat, dan bukan sebagai tujuan. Artinya sebagai alat

untuk mengembangkan potensi warga belajar, agar dapat dan siap

digunakan sebagi bekal hidup atau bekerja untuk mencari nafkah dan

bermasyarakat.

Prinsip-prinsip dalam pembelajaran dan pelatihan

1) Prinsip penggalian tema yang dipilih;

a. Tema tidak terlalu luas dan mudah digunakan untuk memadukan

beberapa jenis keterampilan

b. Mampu memberikan bekal warga belajar dalam melakukan usaha

c. Mampu memenuhi kebutuhan warga belajar, dan

d. Mempertimbangkan ketersediaan sumber-sumber yang ada.

2) Prinsip pelaksanaan;

a. Fasilitator tidak terlalu mendominasi jalannya proses pelatihan

b. Pembagian tugas terhadap individu dan kelompok harus jelas

c. Fasilitator harus akomodatif terhadap ide-ide yang kadang- kadang

tidak terpikirkan dalam perencanaan.

3) Prinsip evaluasi;

a. Selalu memberi kesempatan kepada warga belajar untuk


melakukan evaluasi diri disamping evaluasi lainnya

b. Fasilitator perlu mengajak warga belajar untuk mengevaluasi

perolehan hasil belajar berdasarkan kriteria keberhasilan sesuai

tujuan yang telah disepakati bersama.

Hakikat Pelatihan Keterampilan kerja

Pada dasarnya pelatihan keterampilan kerja merupakan suatu sistem

pelatihan yang memungkinkan warga belajar, baik secara individual maupun

kelompok, untuk aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta

prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan otentik.

3. Karakteristik Pelatihan Keterampilan kerja

Keterampilan kerja merupakan perpaduan dari jenis keterampilan tertentu

yang dijadikan sebagai sumber usaha, dan keberadaannya memiliki hubungan atau

keterkaitan yang saling mendukung antara satu jenis keterampilan dengan

keterampilan lain. Pemilihan jenis keterampilan usaha yang diberikan ke

masyarakat, dipilih dengan memperhatikan aspek-aspek seperti: (1) pelatihannya

dirancang berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan belajar masyarakat setempat;

dan (2) memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan atau jenis keterampilan

dengan potensi sumberdaya yang ada.

Karakteristik pembelajaran dalam pelatihan keterampilan kerja ditandai

dengan: (1) selalu berpusat pada peserta atau warga belajar, (2) memberikan

pengalaman langsung kepada warga belajar, (3) menyajikan konsep dari berbagai

jenis keterampilan dalam suatu proses pembelajaran, (4) bersifat luwes dan lebih

berorientasi kepada praktek, dan (5) hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai

kebutuhan peserta Karakteristik kegiatan pembelajaran seperti ini bertujuan agar


35

warga belajar dapat lebih banyak berlatih dan memperoleh pengalaman secara

konkrit.

Menurut Dadang Yunus L, S.Pd.; ada beberapa ciri dari pembelajaran

pendidikan kecakapan hidup menurut Departemen Pendidikan Nasional

(Depdiknas) yaitu sebagai berikut:

a. Terjadi proses identifikasi kebutuhan belajar.

b. Terjadi proses penyadaran untuk belajar bersama.

c. Terjadi keselarasan kegiatan belajar untuk mengembangkan diri, belajar

usaha mandiri dan usaha bersama.

d. Terjadi proses penguasaan kecakapan personal, sosial, vokasional,

akademik, manajerial serta kewirausahaan.

e. Terjadi proses pemberian pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan

benar, hingga menghasilkan produk bermutu.

f. Terjadi proses interaksi saling belajar dari para ahli.

g. Terjadi proses penilaian kompetensi.

h. Terjadi pendampingan teknis untuk bekerja atau membentuk usaha

bersama.

Secara umum karakteristik dari model pelatihan keterampilan kerja, dalam

prosesnya mengembangkan :

Pertama; lebih mengutamakan pada kegiatan praktek dari pada teori.

Melalui praktek mereka akan memperoleh pengalaman yang konkrit. Belajar

dengan cara demikian mencakup dua dimensi, yaitu dimensi yang mengacu pada

realita dan dimensi yang mengacu pada transformasi melalui orientasi dan
observasi mendalam terhadap suatu aksi atau kegiatan yang dilakukan.

Kedua; dilaksanakan dengan pola bertahap. Pola bertahap diprogramkan

sebagai upaya untuk mengaktualisasikan belajar melalui pengalaman. Tahapannya

yaitu terlebih dahulu melihat kemampuan atau keterampilan yang ada di

masyarakat pada jenis pelatihan yang akan diberikan, kemudian memberikan

tambahan dan perbaikan yang dianggap masih kurang tepat.

Ketiga; pelaksanaan pembelajaran dan pelatihannya menerapkan konsep

team teaching. Penerapan team teaching dilandasi oleh pemikiran bahwa melalui

team teaching pelatihan dapat bekerjasama untuk saling membantu, saling

mengoreksi, dan saling melengkapi kekurangan-kekurangan dalam penyajian.

Disamping itu melalui team taching akan memberi kesempatan yang lebih banyak

untuk membantu peserta. Kegiatan pembelajaran dan pelatihannya sendiri lebih

banyak dilakukan dilokasi atau lahan pertanian, dari pada menggunakan kelas atau

klasikal.

Keempat; bidang kajian selain berfokus pada keterampilan dalam proses

jenis usaha tertentu, juga pada keterampilan proses lainnya yang memiliki

keterkaitan atau hubungan timbal balik. Kegiatan ini sebagai usaha mencapai

tujuan penelitian dan mensosialisasikan keterampilan proses pelatihan pada jenis

usaha tertentu secara nyata. Keterampilan proses dipilih dengan dasar pemikiran

bahwa keterampilan proses adalah keterampilan dasar yang harus dikuasai warga

masyarakat dalam menemukan keterampilan baru pasca diberlakukan larangan

untuk bermatapencaharian sesuai jenis komoditas sebelumnya atau sayur-sayuran.

Sementara berdasarkan kenyataan masyarakat harus segera memiliki mata


37

pencaharian tetap sebagai sumber penghasilan menggantikan keterampilan yang

lama. Keempat tahap atau karakteristik hasil pengembangan ini, juga digunakan

sebagai landasan dalam melaksanakan kegiatan penelitian (diadaptasi dari David,

1988 dan Sudjana 1996).

5. Kewirausahaan Sebagai Pendukung Pelatihan Keterampilan kerja

1. Pengertian Kewirausahaan

Kata wirausaha berasal dari bahasa Perancis yaitu entrepreneur, yang

dalam bahasa Inggris menjadi between taker atau go-between (perantara).

Sebagaimana diungkapkan Joseph Schumpeter yang dikutip Bygrave 1994:1 :

Entrepreneur as the person who destroys the exiting economic rder by


introducing new products and services, by creating new forms of
organization, or by exploiting new raw material.

Maksudnya wirausaha adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi yang

ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan

bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru. Pengertian wirausaha

menekankan pada setiap orang yang memulai sesuatu bisnis baru, sedangkan

prosesnya meliputi semua kegiatan fungsi dan tindakan untuk mengejar dan

memanfaatkan peluang dengan menciptakan suatu kelompok atau organisasi.

Sedangkan istilah kewirausahaan berasal dari “entrepreneurship”, yang

dapat diartikan “the back bone of economy”, yaitu syaraf pusat perekonomian

atau sebagai “tail bone of economy”, yaitu pengendalian perekonomian suatu

bangsa. Secara epistimologis, kewirausahan merupakan suatu nilai yang

diperlukan untuk memulai suatu usaha (start-up phase) atau suatu proses dalam

mengerjakan suatu yang baru dan sesuatu yang berbeda (creative and innovative).
Dengan demikian kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas,

keinovasian, dan keberanian mengahadapi resiko yang dilakukan dengan cara

kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru.

Para pembuat teori ekonomi dan para penulis di masa lalu telah

menyepakati bahwa seorang wirausaha adalah mereka yang memulai sebuah

usaha baru yang berani menanggung segala macam resiko serta mereka yang

mendapatkan keuntungan. Seorang entrepreneur adalah orang yang

mengkombinasikan resources, tenaga kerja, material, dan peralatan lainnya untuk

meningkatkan nilai yang lebih tinggi dari sebelumnya, dan juga orang yang

memperkenalkan perubahan-perubahan, inovasi, dan perbaikan produksi lainnya.

(Alma, 2002:25). Dengan kata lain wirausaha adalah seseorang atau sekelompok

orang yang mengorganisir faktor-faktor produksi, alam, tenaga, modal dan

keterampilan untuk tujuan berproduksi.

Secara rinci keberadaan wirausaha memiliki banyak manfaat, baik bagi

masyarakat maupun negara. Diantara manfaat yang diberikan dengan adanya

wirausaha adalah :

a. Menambah daya tampung tenaga kerja, sehingga dapat

mengurangi pengangguran.

b. Sebagai generator pembangunan lingkungan, bidang

produksi, distribusi, pemeliharaan lingkungan,

kesejahteraan dan sebagainya.

c. Menjadi contoh bagi anggota masyarakat lain, sebagai

pribadi unggul yang patut dicontoh, diteladani, karena


39

seorang wirausaha itu orang terpuji, jujur, berani, hidup

tidak merugikan orang lain.

d. Selalu menghormati hukum dan peraturan yang berlaku,

berusaha selalu memperjuangkan lingkungan.

e. Memelihara keserasian lingkungan, baik dalam pergaulan

maupun kebersihan lingkungan

f. Berusaha memberikan bantuan kepada orang lain dan

pembangunan sosial, sesuai dengan kemampuannya.

(Alma, 2002:1).

Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas, Suryana (2003:13)

menyatakan ada beberapa hakikat penting yang menjadi konsep dalam

kewirausahaan, yaitu sebagaimana diungkapkan oleh beberapa tokoh yang

diantaranya :

a. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam

perilaku yang dijadikan dasar sumber daya, tenaga,

penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis

(Ahmad Sanusi, 1994).

b. Kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk

menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to

create the new and different) (Drucker, 1959).

c. Kewirausahaan adalah suatu proses penyebaran kreatifitas

dan keinovasian dalam memecahkan persoalan dan

menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan atau


usaha. (Zimmerer,1996).

d. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diperlukan untuk

memulai suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan

usaha (venture growth). Kewirausahaan juga adalah suatu

proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (creative),

dan sesuatu yang berbeda (innovative) yang bermanfaat

memberikan nilai lebih. (Soeharto Prawiro, 1997).

Secara ringkas kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai suatu

kemampuan kreatif dan inovatif (create new and different) yang dijadikan kiat

dasar, sumberdaya, proses, dan perjuangan untuk menciptakan nilai tambah

barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian untuk menghadapi resiko.

B. PENGEMBANGAN EKONOMI

1. Pengertian Pengembangan

Pengertian pengembangan secara luas etimologi yaitu berarti membina dan

meningkatkan kualitas (Nanich Mahendrawati dan Agus Ahmad Syafe’I,

2001:29). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pengembangan berasal dari kata

kembang yang mempunyai arti proses, cara, perbuatan mengembang.

Dan menurut Wexley dan Yukl, sebagaimana dikutip oleh Mangkunegara,

pengembangan merupakan istilah-istilah yang berhubungan dengan usaha-usaha

berencana yang diselenggarakan untuk mencapai penguasaan skill, pengetahuan

dan sikap-sikap pegawai atau anggota organisasi (Mangkunegara 2000: 44).

Istilah pengembangan yang merupakan terjemahan dari kata development,


41

sebenarnya mencakup banyak aspek. Jika ditinjau dari berbagai sudut pandang

disiplin ilmu yang mencakup bidang ekonomi, sosial budaya, psikologi, dan

politik. Namun semuanya akan selalu menuju kepada proses perubahan aspek

kehidupan manusia, baik individu atau kelompok, menuju ke arah yang lebih

positif (Irawan 1995 : 3).

Dalam pengertian lain, pemberdayaan atau pengembangan adalah upaya

memperluas horison pilihan bagi masyarakat. Ini berarti masyarakat diberdayakan

untuk melihat dan memilih sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Dengan

memakai logika ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat yang berdaya adalah yang

dapat memilih dan mempunyai kesempatan untuk mengadakan pilihan-pilihan.

Jadi, secara terminologis, pengembangan atau pemberdayaan berarti

mentransformasikan dan melembagakan semua segi ajaran Islam dalam

kehidupan keluarga (usrah), kelompok sosial (jama’ah), dan masyarakat

(ummah). Istilah pengembangan dapat pula diartikan sebagai pembangunan, untuk

itu penulis akan menjelaskan tentang pembangunan ekonomi.

Aspek-aspek Pemberdayaan

Aspek-aspek pemberdayaan merupakan macam-macam strategi untuk

melakukan pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan kemandirian

masyarakat menuju perubahan yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan

taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi.

Strategi-strategi pemberdayaan yang dilakukan menurut keterangan


Adimiharja (2001 : 19), yaitu:
a. Startegi Tradisional;
Strategi Tradisional menyarankan agar mengetahui dan memilih kepentingan
terbaik secara bebas dalam berbagai kehidupan.
b. Strategi Direct-Action
Strategi Direct-Action membutuhkan dominasi kepentingan yang dihormati
oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan yang mungkin
terjadi.
c. Strategi Transpormatif
Strategi Transpormatif menunjukkan bahwa pendidikan massa dalam jangka
panjang dibutuhkan sebelum pengidentifikasian kepentingan diri sendiri.
Menurut Nanih Machendrawaty jenis-jenis pemberdayaan terdiri dari tiga
aspek, yaitu:
1) Pemberdayaan pada matra ruhiyah;
Kepribadian kaum muslim terutama mayoritas generasi mudanya begitu
telanjang terkooptasi oleh budaya negatif barat yang merupakan antitesa
dari nilai-nilai Islam.
2) Pemberdayaan intelektual;
Dengan sangat telanjang dapat disaksikan betapa umat Islam sudah terlalu
jauh tertinggal dalam kemajuan dan penguasaan teknologi. Untuk itu,
diperlukan berbagai upaya pemberdayaan intelektual sebagai upaya
perjuangan besar.
3) Pemberdayaan ekonomi;
Karena masalah kemiskinan menjadi sedemikian identik dengan
masyarakat Islam, pemecahannya adalah tanggung jawab Islam sendiri
yang selama ini terus terpinggirkan.
Dalam bukunya, Process of Economic Growth, Rosytow mencoba

menjelaskan pembangunan ekonomi dengan ukuran sejumlah kecenderungan

mengembangkan ilmu dasar, menerapkan ilmu untuk tujuan ekonomi, menerima

pembaruan, mencari keuntungan material, mengkonsumsi atau menabung, dan


43

mempunyai anak. Kecenderungan ini mencerminkan tanggapan efektif suatu

masyarakat terhadap lingkungannya dalam suatu masa melalui lembaga dan

kelompok sosial terkemuka. Jadi, pembangunan ekonomi dinyatakan sebagai

kenaikan pendapatan per kapita bangsa dalam suatu masa tertentu (Mannan

1997:378).

Konsep Islam tentang pembangunan ekonomi lebih luas daripada konsep

ekonomi sekular. Dalam ekonomi sekular, pembangunan ekonomi yang mengacu

pada suatu proses dimana rakyat dari suatu negara atau daerah memanfaatkan

sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan kenaikan produksi barang dan jasa

per kapita secara terus menerus. Walaupun dasar pembangunan ekonomi Islam

adalah multi dimensional (yaitu mempunyai dimensi-dimensi moral, sosial, politik

dan ekonomi), namun sejak awal, pembangunan moral dan spiritual sudah

terintegrasi dalam pembangunan ekonominya, inilah yang dinamakan “Tazkiyah

al Nafs”, yang sesuai dengan ayat dalam Al-Qur’an surat Asy-Syams ayat : 7-10.

Jadi, pembangunan ekonomi dalam Islam bukan hanya pembangunan

material, tapi segi spiritual dan moral pun menempati kedudukan yang sangat

penting. Dalam hal ini ditegaskan dalam istilah “Takaful” atau “Tadamun” atau

keamanan sosial bersama dalam Islam (Mannan 1997 : 379).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan

ekonomi adalah suatu proses pemanfaatan sumber daya yang ada untuk

menghasilkan produksi barang dan jasa agar dikonsumsi secara bersama oleh

masyarakat suatu negara pada masa tertentu.

2. Pengertian Ekonomi

Menurut para ahli, perkataan ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu

“Oicos” dan “Nomos”. Oicos berarati rumah, dan nomos yang berarti aturan. Jadi,

ekonomi adalah aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia


dalam rumah tangga, baik dalam rumah tangga rakyat (volkshuishouding) maupun

dalam rumah tangga negara (staatshuishouding) (Abdullah Zaky Al-Kaaf

2002:18). Menurut Damsar, ekonomi adalah cara orang atau masyarakat

memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap jasa dan barang langka. Cara yang

dimaksud disini mempergunakan kemampuan sumber-sumber yang tersedia,

beserta usaha sekuat mungkin untuk menimbulkan sumber-sumber tersebut

(Abdullah Zaky Al-Kaaf 2002: 12).

Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa

pengembangan ekonomi adalah suatu cara untuk meningkatkan kualitas tingkah

laku manusia dalam memanfaatkan produksi barang dan jasa untuk dikonsumsi.

3. Tujuan dan Tolak Ukur Pengembangan Ekonomi

Secara umum, tujuan program ini adalah untuk membantu fakir miskin

dalam memberdayakan perekonomiannya melalui pelatihan keterampilan kerja

yang telah diadakan oleh Yayasan Nurul Falah Sunyar. Diharapkan dengan

keterampilan yang telah didapat para peserta dari pelatihan ini, maka secara

otomatis peserta dapat memanfaatkan keterampilannya untuk berusaha dalam

rangka memberdayakan ekonomi mereka menuju kepada pemenuhan

kesejahteraannya.

Ada 6 tujuan pokok program keterampilan kerja dan indikator tolak

ukurnya dalam mengembangkan ekonomi pesertanya, diantaranya yaitu:

1. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan peserta program

Tujuan ini dimaksudkan agar peserta program keterampilan kerja ini dapat

diupayakan memiliki keterampilan hidup (life skill) untuk menjadi lebih


45

produktif. Bentuk upaya ini dilakukan dengan cara pelatihan keterampilan.

Selanjutnya setelah pelatihan keterampilan tersebut, maka peserta akan

memiliki keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk melakukan usaha

yang menghasilkan produk barang dan jasa.

Tolak ukur dari tercapainya indikator ini adalah dengan terciptanya atau

meningkatnya kemampuan dan keterampilan peserta setelah mengikuti

pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Nurul Falah Sunyar dalam

program keterampilan kerja. (Wawancara pribadi, Ust. Nawawi Muhibbin, 02

Januari 2009 ).

2. Motivasi peserta program

Hal ini bertujuan agar peserta program dapat memiliki motivasi yang kuat.

Dengan motivasi yang kuat inilah, untuk selanjutnya peserta dapat melakukan

usaha produk atau jasa dengan bekal keterampilan yang telah didapatinya dari

pelatihan keterampilan kerja ini.

Tolak ukurnya yaitu peserta dapat termotivasi untuk dapat berusaha

menghasilkan suatu produk barang atau jasa dengan bekal keterampilannya

itu.

3. Menanamkan etos kemandirian kepada peserta program.

Hal ini bertujuan agar peserta program memiliki etos kemandirian yang tinggi,

mau bekerja keras, dan untuk selanjutnya mampu menciptakan dan

mengembangkan usahanya sendiri.

Tolak ukurnya yaitu para peserta memiliki kemandirian untuk menciptakan

dan mengembangkan usahanya dengan keterampilannya yang telah didapat

dengan mengikuti program. Indikator dari tujuan ini adalah ketika peserta
program telah memiliki rasa mandiri untuk mau mendirikan usaha atau

bekerja dengan jenis pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.

4. Mempersiapkan tenaga kerja yang terampil

Hal ini bertujuan agar peserta program siap dengan keterampilannya yang

akan digunakan dalam dunia kerja yang akan digelutinya. Dan tolak ukurnya

yaitu ketika para peserta sudah bekerja atau berusaha dengan jenis pekerjaan

yang sesuai dengan keahliannya itu.

5. Meningkatkan pendapatan peserta program

Program pelatihan kerja Yayasan Nurul Falah Sunyar ini bertujuan agar

dengan pelaksanaan program di dusun Sunyar Kutawaluya, pendapatan

peserta dapat bertambah. Dengan bertambahnya pendapatan peserta, maka

daya beli dan pemenuhan kebutuhan akan meningkat dan secara tidak

langsung hal ini dapat menyebabkan peserta akan terlepas dari kriteria

mustahiq.

Tolak ukur tujuan ini adalah adanya pendapatan yang meningkat dari sebelum

mengikuti pelatihan keterampilan kerja ke setelah mendapatkan pelatihan

keterampilan kerja, sehingga dengan demikian telah mengembangkan

ekonomi peserta itu sendiri.

6. Meningkatkan kesejahteraan peserta program

Tujuan ini dimaksudkan agar setelah program selesai dan peserta telah mampu

melakukan usaha menghasilkan produk atau jasa, maka peserta dapat

meningkatkan kesejahteraannya dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka.

Tolak ukurnya adalah ketika peserta telah merasakan peningkatan pada

perekonomiannya yang secara otomatis akan meningkat pula kualitas

pemenuhan kesejahteraannya pada saat setelah pelatihan dan melakukan usaha


47

yang sesuai dengan keahliannya.

C. FAKIR MISKIN

1. Pengertian Fakir Miskin

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “fakir” yang berarti orang yang

sangat kekurangan atau orang yang terlalu miskin, “miskin” berarti tidak berharta

benda; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah), dan “kemiskinan”

berarti hal miskin atau keadaan miskin. Kata lain yang hampir sama

menggambarkan seperti ini adalah orang yang sengaja membuat dirinya dalam

serba kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin.

Istilah kemiskinan sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang asing

dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang dimaksud disini adalah kemiskinan

ditinjau dari dari segi material (ekonomi). Menurut Prof. Dr. Emil Salim yang

dimaksud dengan kemiskinan adalah merupakan suatu keadaan yang dilukiskan

sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

Atau dengan istilah lain kemiskinan merupakan ketidakmampuan dalam

memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengalami keresahan, kesengsaraan atau

kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya (Aridin Noor 1999 : 288).

Sedangkan kata miskin dalam bahasa arab berasal dari kata sakana yang

berarti diam atau tenang, sedang fakir berasal dari kata faqr yang berarti tulang

punggung. Fakir adalah orang yang patah tulang punggungnya dalam arti bahwa

beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan tulang

punggungnya”.

Fakir dan miskin dapat juga dijumpai secara bergandengan dalam Al-
Qur’an ketika membicarakan orang-orang mustahiqqun dalam penerimaan zakat,

yaitu pada surat At-Taubah ayat 60. Thabari secara tegas membedakan arti

keduanya, yaitu bahwa fakir adalah orang yang dalam kebutuhan tetapi dapat

menjaga diri untuk tidak meminta-minta dan miskin adalah orang yang dalam

kebutuhan dan suka merengek-rengek dan meminta-minta. Pendapat ini

didasarkan pada arti kata maskanah yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-

Baqarah ayat 61 dan Ali Imran ayat112, dan pada hadits riwayat Bukhari (Quraisy

Syihab 1996: 449).

Menurut Djamal Doa, fakir adalah orang yang sangat miskin tidak berharta

dan tidak pula berkuasa untuk bekerja atau berusaha guna memenuhi nafkahnya,

sedangkan orang yang menanggungnya tidak ada. Sedangkan miskin adalah orang

yang tidak mencukupi hajat nafkahnya, meskipun punya harta atau berusaha tetapi

usahanya belum mencukupi nafkahnya menurut keawjaran minimum (Djamal

Doa 2004: 1).

Taqiyyudin Abu Bakar menyatakan, fakir adalah orang yang tidak

memiliki harta atau pekerjaan, atau harta dan pekerjaan tetapi tidak mencukupi

kebutuhannya, misalnya: seseorang membutuhkan Rp. 25.000,-/hari tetapi ia

hanya memiliki Rp. 22.000,-/hari. Sedangkan miskin adalah golongan orang yang

memiliki harta untuk mencukupi kebutuhan hidup tetapi tidak memenuhi standar,

atau orang yang lemah dan tidak berdaya (cacat) karena telah lanjut usia, sakit

atau karena akibat peperangan, baik yang mampu bekerja maupun tidak, tetapi

tidak memperoleh penghasilan yang memadai untuk menjamin kebutuhan sendiri

dan keluarganya, misalnya: seseorang membutuhkan Rp. 10.000,-hari akan tetapi

hanya mempunyai Rp. 7000,-/hari (Bariadi dkk 2005: 11).


49

Menurut golongan Hanafiah bahwa fakir adalah mereka yang tidak

memiliki apa-apa dibawah nilai nisab menurut hukum zakat atau nilai barang yang

mencapai satu nisab atau lebih, misalnya: perabot rumah tangga dan sebagainya

yang merupakan keperluan pokok sehari-hari. Sedangkan miskin adalah mereka

yang tidak memiliki apa-apa dan inilah yang masyhur diantara mereka.

Sedangkan menurut jumhur ulama fakir dan miskin adalah mereka yang

tidak tercukupi kebutuhannya. Lebih khusus lagi bahwa fakir adalah mereka yang

tidak memiliki harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi kebutuhannya,

baik sandang, pangan, papan serta kebutuhan pokok lainnya, baik untuk keperluan

pribadinya maupun tanggungannya. Misalnya: mereka membutuhkan sepuluh,

tetapi yang ada hanya dua, tiga atau empat. Miskin adalah mereka yang

mempunyai harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi kebutuhannya

dan kebutuhan tanggungannya, tetapi tidak sepenuhnya tercukupi. Misalnya:

mereka membutuhkan sepuluh, tetapi yang ada hanya tujuh, delapan atau

sembilan, walaupun sudah sampai satu nisab atau lebih (Qardhawi 1994: 545).

Menurut Yusuf Qardhawi, termasuk pula fakir atau miskin mereka yang

mempunyai tempat tinggal yang layak tetapi kebutuhan hidupnya tidak

mencukupi meskipun tidak harus menjual rumahnya itu. Demikian juga mereka

yang mempunyai ladang namun penghasilannya tidak mencukupi tetap dianggap

sebagai fakir atau miskin. Termasuk pula mereka yang mempunyai sesuatu yang

diperlukan atau dipakai seperti : pakaian, perhiasan, buku-buku dan sebagainya.

Orang yang memiliki kekayaan tetapi tidak dapat memanfaatkan kekayaannya itu

karena sesuatu hal, misalnya: ditahan oleh penguasa atau berada ditempat yang

jauh atau orang yang berpiutang lebih dari satu nisab tetapi tidak termasuk dalam
kategori miskin atau miskin.

Dari uraian di atas, batasan kemiskinan sangatlah sulit untuk ditetapkan

karena para fuqaha masing-masing menganggap miskin mereka yang meskipun

memiliki harta yang sampai satu nisab atau lebih tetapi apabila tidak memenuhi

kebutuhannya tetap dianggap orang miskin. Karena itu, orang yang memiliki harta

yang melimpah sekalipun bila tidak dapat memenuhi kebutuhannya masih belum

dianggap sebagai orang kaya.

Yang jelas dari uraian di atas bahwa masalah kemiskinan, sebagaimana

dikemukakan oleh para fuqaha sangat tergantung pada tiga faktor, yaitu: pertama,

harta benda yang dimiliki dan berada ditempat; kedua, mata pencaharian yang sah

menurut hukum; dan ketiga, kecukupan akan hidup yang pokok.

Atas dasar itulah, Ali Yafi merumuskan definisi miskin sebagai berikut :

“Miskin adalah barangsiapa yang memiliki harta benda atau mata


pencaharian tetap, hal mana salah satunya (harta atau mata pencaharian)
atau dua-duanya hanya menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan
pokoknya, misalnya ditetapkan indeks dengan angka sepuluh, maka
seseorang yang memiliki atau memperoleh penghasilan lima hingga
sembilan itulah dia yang digolongkan sebagai orang miskin. Dalam hal ini
tidak termasuk adanya ia memiliki tempat tinggal, pelayan, pakaian, buku-
buku ilmu pengetahuan, dan harta benda yang berada di tempat yang jauh
atau hartanya itu terkait dengan suatu waktu tertentu sehingga tidak berada
dalam kekuasaannya” (Ali Yafi 1995 : 170).

Dari sejumlah definisi yang dikemukakan di atas, maka penulis

menyimpulkan bahwa setidak-tidaknya kemiskinan meliputi:

a. Tidak mempunyai apa-apa, baik harta maupun mata pencaharian;

b. Memiliki harta yang nilainya kurang dari satu nisab;

c. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi diri sendiri, keluarga

dan orang yang menjadi tanggungannya, meskipun memiliki harta


51

mencapai satu nisab atau lebih;

d. Hanya memiliki harta yang diperlukan atau dipergunakan sehari-

hari.

2. Penyebab Kemiskinan

Para ahli ilmu sosial sependapat bahwa sebagaimana dinyatakan Supardi

Suparlan bahwa sebab utama yang melahirkan kemiskinan adalah sistem ekonomi

yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi kemiskinan itu sendiri

bukanlah gejala yang terwujud semata-mata hanya karena sistem ekonomi. Dalam

kenyataannya, kemiskinan merupakan perwujudan dari interaksi yang melibatkan

hampir semua aspek yang dimiliki manusia dalam kehidupannya. (Supardi

Suparlan 1984 : 11)

Berdasarkan pendirian tersebut, Zubair mengemukakan bahwa sebab-

sebab terjadi kemiskinan adalah:

a. Faktor alam

Keadaan alam yang kurang kondusif dapat menjadi penghalang bagi

terciptanya kesejahteraan manusia.

b. Faktor intern manusia

Sebab-sebab ini berkaitan dengan kondisi manusia itu sendiri yang kurang

percaya pada kemampuannya, keengganan mengaktualisasikan potensi yang

ada dalam bentuk kerja nyata yang serius, dan keengganan memberikan respek

optimal terhadap perputaran waktu.

c. Faktor struktur sosial

Salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial adalah
terkonsentrasinya modal di tangan orang-orang kaya sehingga menyebabkan

orang-orang fakir tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan

potensi-potensinya demi meraih potensi di bidang ekonomi (Zubair 2001:16).

Sedangkan menurut Arifin Noor ada beberapa faktor yang menyebabkan

timbulnya kemiskinan, yaitu:

1) Pendidikan yang terlampau rendah

Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang

kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam

kehidupannya. Keterbatasan pendidikan yang dimiliki menyebabkan

keterbatasan kemampuan untuk masuk dunia kerja. Atas dasar itulah dia

miskin karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan

pokoknya.

2) Malas bekerja

Sikap malas menyangkut mentaliter dan kepribadian seseorang. Adanya sikap

malas ini bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah dalam bekerja, atau

bersikap pasif dalam hidupnya. Sikap malas ini cenderung untuk

menggantungkan hidupnya pada orang lain yang dipandang mempunyai

kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.

3) Keterbatasan sumber alam

Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber alamnya tidak

lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering dikatakan oleh

para ahli bahwa masyarakat itu misikin karena memang dasar alamiahnya

miskin kekayaan alamnya. Dengan demikian layaklah kalau miskin sumber

daya alam, miskin juga masyarakatnya.


53

4) Terbatasnya lapangan kerja

Keterbatasan akan lapangan kerja membawa konsekuensi kemiskinan bagi

masyarakat. Secara ideal banyak orang yang mengatakan bahwa seharusnya

seseorang harus mampu untuk menciptakan lapangan kerja baru. Tetapi secara

faktual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya keterbatasan

kemampuan berupa skill maupun modal.

5) Keterbatasan Modal

Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi

alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka

miliki dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan.

6) Beban keluarga

Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak pula beban hidup

yang harus dipenuhi. Jumlah keluarga akan bertambah jika:

a) Fertilitas (kelahiran) lebih tinggi dari mortalitas (kematian).

b) Mortalitas lebih rendah dari fertilitas, tetapi terdapat migrasi

masuk; atau

c) Tidak ada migrasi; atau

d) Ada migrasi keluar, tetapi tidak cukup besar untuk mengimbangi

lebihan fertilitas.

e) Mortalitas sama dengan fertilitas dan terdapat migrasi masuk.

(Narwoko 2004 : 291)

Kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan pertambahan jumlah anggota

keluarga, berakibat kemiskinan akan melanda dirinya dan sifatnya latent (Arifin
Noor 1997 : 288). Sedangkan menurut Ali Yafi yang dapat menimbulkan

kemiskinan yaitu:

1) Kelemahan. Meliputi kelemahan hati dan semangat, kelemahan akal

dan ilmu, atau kelemahan fisik. Semuanya itu menyebabkan

mengurangnya daya pilih dan daya upaya sehingga tidak dapat

menjalankan fungsinya sebagai pencipta, pembangun dan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya.

2) Kemalasan. Tidak diragukan lagi bahwa sifat ini merupakan pangkal

utama dari kemiskinan.

3) Ketakutan. Keberhasilan seseorang dalam merintis atau melanjutkan

suatu pekerjaan banyak bergantung dari keberanian yang ada pada

dirinya.

4) Kepelitan. Sifat ini bagi si kaya tanpa disadari membantu untuk tidak

mengurangi kemiskinan, dan menjadi sasaran untuk dibenci oleh si

miskin.

5) Tertindih hutang. Terdapat banyak peringatan dari ajaran Islam untuk

berhati-hati jangan sampai terjerat hutang. Karena hutang sangat

membelenggu kebebasan baik di dunia maupun di akhirat.

6) Diperas atau dikuasai sesama manusia. Pemerasan manusia kuat

menimbulkan sistem perbudakan, dan pemerasan manusia kaya

menimbulkan sistem riba.

3. Upaya Pengentasan Kemiskinan

Banyak cara yang dipakai untuk mengatasi masalah kemiskinan. Diantara


55

cara pemecahannya yang paling penting adalah:

a. Latihan pendidikan keterampilan

Dengan adanya latihan keterampilan ini diharapkan seseorang mempunyai

bekal kemampuan untuk terjun dalam dunia kerja.

b. Berwiraswasta

Modal kemampuan yang berupa keterampilan akan menunjang bagi seseorang

untuk memperoleh pendapatan yang dapat diterapkan melalui dunia

wiraswasta.

c. Pemasyarakatan program Keluarga Berencana (KB)

Tujuan utama dari proses pembangunan adalah secara bertahap meningkatkan

produktifitas dan kemakmuran penduduk secara menyeluruh. Usaha tersebut

dapat mengalami hambatan, antara lain oleh pertumbuhan penduduk yang

terlalu cepat karena tingginya angka kelahiran. Masalah tingginya angka

kelahiran akan dapat diatasi dengan melaksanakan program Keluarga

Berencana dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi-kondisi kehidupan

masyarakat dengan mengurangi angka kelahiran, sehingga pertumbuhan

penduduk tidak melebihi kapasitas produksi (Soerjono Soekanto 1975: 2 ).

Dalam Islam ada 3 sarana yang dapat digunakan sebagai upaya

pengentasan kemiskinan, yaitu:

1) Sarana pertama;

Sarana ini khusus berhubungan dengan si dhuafa tersebut, sesuai dengan QS

Al-Mulk : 15, yaitu keharusan untuk bekerja/berusaha, menyebar di muka

bumi dan memanfaatkan rezeki dari Allah. Yang dimaksud dengan bekerja
adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang, baik sendiri atau bersama

orang lain untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa. Bekerja

merupakan senjata pertama untuk memerangi kemiskinan (Yusuf Qardhawi

1995 :51).

2) Sarana kedua;

Segala hal yang berhubungan dengan pemberian jaminan kepada kaum miskin

oleh jamaah muslim. Baik karena memenuhi kewajiban atau mengharapkan

ganjaran dari Allah. Jaminan ini diberikan dengan;

a) Memberikan nafkah kepada karib kerabat

b) Menghormati dan menjaga hak-hak tetangga

c) Mengeluarkan zakat secara sukarela walaupun negara tidak

memungutnya

d) Melaksanakan kewajiban dari harta benda yang dimiliki

e) Memberikan sedekah sukarela yang sifatnya sementara atau

pun seterusnya

3) Sarana ketiga;

Secara khusus sarana ini berhubungan dengan negara/pemerintah.

Berdasarkan hukum, pemerintah bertanggung jawab memenuhi kebutuhan

mereka yang membutuhkan dan yang tidak memiliki sumber penghasilan.

Sumber jaminan ini meliputi:

a) Zakat merupakan sumber pertama dan utama bagi

perbendaharaan Islam dalam mengentaskan kemiskinan.

b) Sumber penghasilan lain, seperti: pajak dan penghasilan


57

perangkat produksi negara, baik pabrik dan perusahaan.

c) Berbagai sumber sampingan, seperti pajak tambahan yang

diwajibkan kepada kaum berada untuk melengkapi kebutuhan

kaum dhuafa. Hal ini berlaku bila zakat dan berbagai sumber

lainnya tidak mencukupi.

D. YAYASAN

1. Pengertian Yayasan

Ada beberapa pengertian yayasan, diantaranya adalah:

a. Dalam RUU No. 16 Tahun 2001, yayasan

adalah badan hukum yang terdiri atas

kekayaan yang dipisahkan dan

diperuntukkan untuk mencapai tujuan

tertentu di bidang sosial, keagamaan dan

kemanusiaan, yang tidak mempunyai

anggota.

b. Menurut Todung Mulya Lubis, yayasan yaitu

sebagai organisasi nirlaba untuk tujuan-

tujuan sosial dan keagamaan (Todung Mulya

Lubis 2000: 56).

c. Dalam ensiklopedi Indonesia edisi khusus,

yayasan adalah badan hukum, diadakan

dengan akte dan surat wasiat untuk tujuan


tertentu dan diurus oleh pengurus atau

pimpinan yayasan. Yayasan berbeda dengan

badan hukum lainnya, tidak oleh karena

adanya ikatan antar manusia, melainkan oleh

karena adanya pemisahan sebagian kekayaan

seseorang untuk tujuan tertentu. Karena itu

pula, yayasan tidak boleh didirikan untuk

mencari laba atau keuntungan (Hasan Sadily

: 1978).

2. Penjelasan Umum Tentang Yayasan

Pendirian tentang yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasarkan

atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurispudensi Mahkamah Agung, karena

belum ada undang-undang yang mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan

masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status

badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah

mengembangkan kegiatan sosial keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga

bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas. Sejalan

dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang

berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan

yang tercantum dalam Anggaran Dasar, sengketa antara pengurus dengan pendiri

atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa yayasan digunakan untuk

menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain, yang

diperoleh dengan cara melawan hukum. Masalah tersebut diselesaikan secara


59

hukum karena belum ada hukum positif mengenai yayasan sebagai landasan

yuridis penyelesaiannya (Fokusmedia 2004 : 54).

Dalam undang-undang nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan,

dimaksudkan untuk memberi pemahaman yang benar kepada masyarakat

mengenai yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta

mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai

tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, didirikan dengan

memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris untuk memperoleh status

badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan

tersebut dimaksudkan untuk penataan administrasi pengesahan suatu yayasan

sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya

yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat,

permohonan pendirian yayasan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi

tempat kedudukan yayasan. Disamping itu, yayasan yang telah memperoleh

pengesahan harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ketentuan ini dimaksudkan pula agar registrasi yayasan dengan pola penerapan

administrasi hukum yang baik dapat mencegah praktek perbuatan hukum yang

dilakukan yayasan yang dapat merugikan masyarakat.

Untuk mewujudkan mekanisme pengawasan publik terhadap yayasan yang

diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, anggaran

dasar, atau merugikan kepentingan umum. Undang-undang ini mengatur tentang

kemungkinan pemeriksaan terhadap yayasan yang dilakukan oleh ahli


berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang

berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan

umum.

Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat

sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yayasan mempunyai organ yang terdiri dari

Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pemisahan yang tegas antara fungsi,

wewenang dan tugas masing-masing organ tersebut serta pengaturan mengenai

hubungan antara ketiga organ yayasan dimaksudkan untuk menghindari konflik

intern yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan yayasan melainkan

juga pihak lain.

Pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan yayasan dilakukan

sepenuhnya oleh pengurus. Oleh karena itu, pengurus wajib mambuat laporan

tahunan yang disampaikan kepada Pembina mengenai keadaan keuangan dan

perkembangan kegiatan yayasan. Selanjutnya, terhadap yayasan yang

kekayaannya berasal dari Negara, bantuan luar negeri atau pihak lain, atau

memiliki kekayaan dalam jumlah yang ditentukan dalam undang-undang ini,

kekayaannya wajib diaudit oleh akuntan publik dan laporan tahunannya wajib

diumumkan dalam surat kabar berbahasa Indonesia. Ketentuan ini dalam rangka

penerapan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas pada masyarakat.

Dalam undang-undang ini diatur pula mengenai kemungkinan

penggabungan dan pembubaran yayasan baik atas inisiatif organ yayasan sendiri

maupun untuk melakukan kegiatan di wilayah Negara Republik Indonesia

sepanjang tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara Republik Indonesia.

You might also like