Professional Documents
Culture Documents
KETERANGAN :
GN b
K G N S IA GN
: KUDA-KUDA RANGKA BAJA : GORDING C__________ : NOK 2C__________ : SAG-ROD _____ : IKATAN ANGIN ____ : GUNUNG-GUNUNG
B1
B2
B3
Gambar 1.1 Denah rencana atap Untuk merencanakan gording perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. a) Jarak gording mendatar untuk atap genteng atau sirap antara 1800mm sampai maksimum 2500mm, sedang untuk atap seng atau asbes antara 1000 sampai 1300mm.
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
Perencanaan Atap
b) Bentang gording ditentukan oleh jarak antar kuda-kuda, sebaiknya jarak kudakuda sama dengan jarak kolom struktur. Tetapi kalau tidak memungkinkan jarak kuda-kuda diambil antara 2500mm sampai 4000mm untuk atap genteng atau sirap. Untuk atap seng atau asbes jarak kuda-kuda bisa diambil sampai 6000mm. c) Jumlah sag-rod atau batang tarik penahan beban arah sumbu lemah gording ditentukan oleh bentang gording (jarak kuda-kuda). Jarak sag-rod ini bisa diambil maksimum 2000mm. d) Batang ikatan angin dipasang dengan bentuk silang diantara kuda-kuda. Ikatan angin ini tidak perlu dipasang pada setiap kuda-kuda, tetapi dapat dipasang selang-seling. e) Setelah semua hal tersebut dipertimbangkan, dibuatlah gambar denah rencana atap seperti pada contoh gambar 1.1. Setelah denah rencana atap dibuat, kemudian direncanakan gording seperti dijelaskan gambar 1.2 berikut.
2
= . kN/m
Dead Load (D) rencana gording q = .. kN/m Beban pekerja P diambil sebesar 1,0 kN sebagai beban Live (L) Rencana momen gording :
M 3,D =
L1
M 3,L = + M 2,L = +
M 2,D =
Beban gording arah sb-3 P sin q sin
M 3,U = 1,4M 3,D M 3,U = 1,2M 3,D M 2,U = 1,4M 2,D M 2,U = 1,2M 2,D
* pilih yang besar M 3,U + 1,6M 3,L * pilih yang besar M 2,U + 1,6M 2,L
L1 3
L1 3
L1 3
Gambar 1.2. Rencana Gording Kemudian pilih dimensi gording C, dan dari tabel profil diperoleh property penampang antara lain : I3 = Ix (mm4) ; I2 = Iy (mm4) ; W3 = Wx (mm3) dan W2 = Wy (mm3)
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
Perencanaan Atap
fb =
* M3 ,U
W 3
* M2 ,U
W 2
dengan nilai = 0,9 untuk lentur dan geser (tabel 6.4-2 SNI 03-1729-2002) Cek defleksi gording :
2 2 + 2 = 3
2002) Hitungan sag-rod : Jumlah gording di bawah nok pada gambar 1.1 sejumlah n=4 baris, sehingga gaya sag-rod terbesar ialah : Ft ,D = n
Kombinasi beban :
Ft ,U = 1,4Ft ,D Ft ,U = 1,2Ft ,D
Luas batang sag-rod yang diperlukan : Asr yang dibutuhkan. Hitungan sag-rod :
Untuk batang ikatan angin biasanya tidak ada hitungan yang terperinci, biasanya langsung ditentukan dengan mempertimbangkan bentang dan jarak kudakuda. Untuk kasus ini batang ikatan angin ditentukan 16mm.
Perencanaan Atap
seperti berikut. Berat atap dan plafon diambil dari peraturan pembebanan yang berlaku, untuk berat sendiri kuda-kuda diperkirakan 0,50 kN/m.
P3 P2 P 2 P2 P1 P 2 P 2 P 2 P1
b a a a a a a a a b
Gambar 1.3. Bagan rencana kuda-kuda Beban P1 : - berat sendiri kuda-kuda = - berat gording - berat atap - berat plafon
a x berat kuda-kuda 2
= . kN = . kN
Beban P2 :
- berat sendiri kuda-kuda = a x berat kuda-kuda - berat gording = L1 x berat gording per-m - berat atap - berat plafon =
= . kN = . kN = . kN = . kN = . kN
Beban P3 :
- berat sendiri kuda-kuda = a x berat kuda-kuda = . kN - berat gording = 2 x L1 x berat gording per-m = . kN - berat atap - berat plafon =
= . kN = . kN = . kN
Beban P1, P2 dan P3 tersebut adalah beban mati (D), beban hidup (L) diambil sesuai ketentuan dalam Peraturan Pembeban, dalam hal ini diambil sebesar 1,0 kN pada setiap joint.
Perencanaan Atap
Untuk beban angin ditentukan koefisien angin tiup (Cti) dan angin isap (Cis) sesuai dalam Peraturan Pembebanan, dan dijelaskan pada gambar 1.4. Beban angin dikerjakan pada tiap joint atas kuda-kuda seperti dijelaskan berikut.
C ti
C is
b a a a a a a a a b
b a a a a a a a a b
b a a a a a a a a b
Gambar 1.4. Bagan rencana kuda-kuda Beban angin dari kiri, besarnya W1, W2, W3, W4, W5 dan W6 dihitung sesuai dengan besar tiupan angin (Qw), koefisien beban angin (Cti atau Cis), jarak gording (lebar atap yang didukung) dan panjang gording (jarak antara kuda-kuda), yang dijelaskan seperti berikut. Beban W1 = Beban W2 =
1 (a + b ) x Cti x L1 x Qw = . kN 2 cos
a cos x Cti x L1 x Qw = . kN
Perencanaan Atap
Beban W3 = Beban W4 =
1 a x Cti x L1 x Qw 2 cos
= . kN
Beban W6 =
1 (a + b ) x Cis x L1 x Qw = . kN 2 cos
Untuk beban angin dari kanan, beban-beban W1, W2, W3, W4, W5 dan W6 arahnya dibalik seperti dijelaskan pada gambar 1.4( c). Dari bentuk kuda-kuda dan beban-beban yang telah ditentukan, kemudian dibuat model dalam 2 dimensi menggunakan soft-ware SAP2000 atau yang lain, untuk diketahui defleksi dan gaya-gaya dalamnya. Setelah defleksi di-cek terhadap syarat dalam SNI 03-1729-2002 bab 6.4.3, kemudian dibuat tabel gaya batang seperti yang dijelaskan pada tabel 1.1. Tabel 1.1. Rencana gaya-gaya batang pada kuda-kuda
No Batang [1] 1 2 3 4 5 6 7 dst Panjang (mm) [2] Beban DL (kN [3] Beban LL (kN) [4] Beban Angin Kiri Wki (kN) [5] Beban Angin Kanan Wka (kN) [6] 1,2DL + 1,6 LL [8] 1,2DL + 1,3 Wki + 0,5 LL [9] 1,2DL + 1,3 Wka + 0,5 LL [10] Gaya rencana (kN) [11)
1,4DL [7]
Tabel 1.1 tersebut merupakan kombinasi pembebanan untuk kuda-kuda sesuai SNI 03-1729-2002 bab 6.2.2. Gaya-gaya rencana pada kolom 11, diperoleh dari kombinasi yang diberikan pada kolom 7, 8, 9 dan 10, dipilih yang terbesar.
Perencanaan Atap
(1-1)
dengan :
Lk <300 untuk elemen sekunder r L = k <240 untuk elemen primer r ft = tegangan tarik (MPa) Nu = gaya aksial tarik rencana (N) Ag = luas penampang bruto profil (mm2) = angka kelangsingan Lk = panjang elemen (mm) r = jari-jari girasi minimum (mm)
(1-2a) (1-2b)
Untuk perencanaan elemen tekan dapat digunakan persamaan (9.3-6) pada SNI 03-1729-2002 sebagai berikut. fc = dan syarat kelangsingan: Lk <200 untuk elemen struktur tekan r nilai dihitung dengan persamaan (7.6-5) SNI 03-1729-2002 seperti berikut:
(1-3)
(1-4)
untuk c < 0,25 untuk 0,25 < c < 1,2 untuk c > 1,2 dengan nilai c =
maka = 1 maka =
1,43 1,6 0,67c
maka = 1,25(c )2
1 Lk r
fy E
Keterangan : fc = tegangan tarik (MPa) Nu = gaya aksial tekan rencana (N) Ag = luas penampang bruto profil (mm2) = angka kelangsingan Lk = panjang elemen (mm) r = jari-jari girasi minimum (mm)
Perencanaan Atap
sambungan yang digunakan, ialah sambungan baut dan sambungan las. Dua macam sambungan ini dipilih karena dalam praktik banyak dijumpai. Sebenarnya disamping dua macam sambungan tersebut masih ada macam sambungan yang lain, seperti misalnya sambungan paku keling, tetapi sambungan ini untuk saat ini sudah jarang dijumpai. Untuk merencanakan sambungan harus diikuti ketentuan dalam SNI 031729-2002 bab 13, khususnya bab 13.1.3, 13.1.4, 13.2 sampai 13.5. Pada bab 13.1.4 butir b).(iii) sambungan sendi pada balok sederhana harus diperhitungkan gaya geser minimum sebesar 40 kN. Pada sambungan baut perlu diperhitungkan terhadap kegagalan geser dan kegagalan tumpu. Dari kedua hal tersebut diambil nilai yang menentukan, ialah nilai yang kecil. Pada kegagalan geser kuat geser rencana baut dihitung sesuai persamaan (13.2-2) dari SNI 03-1729-2002 sebagai berikut:
b V d = f r1 f u Ab dalam (N)
(1-5)
dengan :
r1 = 0,5 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser r1 = 0,4 untuk baut dengan ulir pada bidang geser fub = tegangan tarik putus baut (MPa) Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (mm2)
Pada kegagalan tumpu kuat tumpu rencana baut tergantung pada yang terlemah dari baut atau komponen pelat yang disambung. Apabila jarak lubang tepi terdekat dengan sisi pelat dalam arah kerja gaya lebih besar dari 1,5 kali diameter lubang, jarak antar lubang lebih besar dari 3 kali diameter lubang, dan ada lebih dari satu baut dalam arah kerja gaya, maka kuat rencana tumpu dihitung sesuai persamaan (13.2-7) dari SNI 03-1729-2002 sebagai berikut:
R d = 2,4 f db t p f u
dalam (N)
(1-6)
dengan :
db = diameter baut (mm) tp = tebal pelat terkecil yang disambung (mm) fu = tegangan tarik putus yang terendah antara baut atau pelat (MPa) Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (mm2) Catatan: untuk tebal tp ditentukan dengan memilih antara 2 kali tebal siku dan 1 kali tebal pelat simpul, kemudian dipilih yang terkecil.
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
Perencanaan Atap
siku
Gambar 1.5. Penampang geser baut Untuk menghitung jumlah baut dipilih nilai yang terkecil antara kuat geser baut dan kuat tumpu pelat. Dari persamaan (1-5), karena pada kasus ini ada dua bidang geser, maka kuat geser baut menjadi 2Vd, dan kuat tumpu pelat pada persamaan (1-6) tetap Rd , maka nilai 2Vd dan Rd dipilih yang terkecil, hal ini dijelaskan pada gambar 1.5, kemudian jumlah baut dihitung dengan :
nb = Nu 2V d atau R d
(1-7)
dengan :
nb = jumlah baut, minimal 2 buah baut Nu = gaya elemen yang disambung (N) 2Vd = dua kali kuat geser baut (N) Rd = kuat tumpu pelat (N)
Jarak baut ditentukan sesuai bab 13.4 SNI 03-1729-2002, yang dijelaskan bahwa jarak antar pusat lubang pengencang tidak boleh kurang dari 3 kali diameter nominal pengencang. Jarak dari tepi pelat sampai pusat pengencang harus dipenuhi seperti pada tabel 13.4-1 sesuai SNI 03-1729-2002, sedang jarak maksimum ditentukan seperti pada bab 13.4.3 dan 13.4.4 pada SNI 03-1729-2002. Jenis sambungan las dibedakan dalam las sudut, las tumpul, las pengisi atau las tersusun. Las tumpul ialah jenis sambungan las dimana terdapat penyatuan antara las dan bahan induk sepanjang kedalaman penuh sambungan. Las sudut ialah jenis sambungan las dimana las mengisi sisi-sisi diantara dua bahan yang disambung. Las pengisi ialah jenis las sudut disekeliling lubang bulat atau selot. Untuk jelasnya dapat dilihat gambar 1.6.
Perencanaan Atap
10
tw
tl
tw
(a) Las tumpul (b) Las sudut
Gambar 1.6. Macam sambungan las Macam elektroda las (kawat las) dijelaskan pada Persyaratan Umum Bahan
Bangunan di Indonesia (PUBI-1982). Kawat las yang banyak digunakan dalam
praktik adalah E420-xx dan E490-xx dalam satuan SI. Dalam satuan psi E420-xx setara dengan E60-xx, dan E490-xx setara dengan E70-xx. Beberapa penjelasan yang penting diberikan apda tabel 1.2 dan 1.3 berikut. Tabel 1.2 Klasifikasi Elektrofa Las
Klasifikasi E420-10 E420-11 E420-12 E420-13 E420-20 E420-27 E490-14 E490-15 E490-16 E490-18 E490-24 E490-28
*)
Jenis lapisan Natrium, Selulosa tinggi Kalium, Selulosa tinggi Natrium, Titania tinggi Kalium, Titania tinggi Oksida besi tinggi Oksida besi Serbuk besi Serbuk, Titania Natrium Hydrogen rendah Kalium Hydrogen rendah Serbuk besi, Hydrogen rendah Serbuk besi, Titania Serbuk besi, Hydrogen rendah
Posisi pengelasan *) F, H, V, OH F, H, V, OH F, H, V, OH F, H, V, OH F, H-las sudut F, H-las sudut F, H, V, OH F, H, V, OH F, H, V, OH F, H, V, OH F, H las sudut F, H las sudut
Jenis arus **) DC+ AC atau DC+ AC atau DC AC atau DC+ AC atau DC+ AC atau DC AC atau DC+ AC atau DC AC atau DC+ DC+ AC atau DC+ AC atau DC+ AC atau DC+ AC atau DC+
Diambil dari tabel 80-1 dan tabel 80-2 PUBI-1982 F=posisi bawah tangan, V=poisi vertikal, H=posisi horisontal, OH=posisi di atas kepala **) DC+=arus searah elektroda di positif, DC=arus searah elektroda di negatif, DC+=arus searah elektroda di positif atau negatif, AC=arus bolak-balik
Perencanaan Atap
11
Pada sambungan profil siku terlebih dahulu ditentukan gaya yang didukung las seperti yang dijelaskan pada gambar 1.7 sebagai berikut.
2 sisi las
Nu,2
siku
h Nu,1
pelat sambung/ pelat simpul
h - ce
garis netral profil
Nu
ce Le
Gambar 1.7. Sambungan las pada profil siku Besarnya gaya rencana untuk sambungan las ditentukan sebagai berikut :
N u ,1 = N u (h c e ) h N (c ) = u e h
(1-8a) (1-8a)
N u ,2
dengan :
Nu = gaya elemen rencana (N) h = tinggi profil siku (mm) ce = jarak garis netral (mm), ada pada tabel profil Nu,1 = gaya rencana 1 (N) Nu,2 = gaya rencana 2 (N) Nu,1 dan Nu,2 dipilih yang besar
Perencanaan Atap
12
Pada sambungan kuda-kuda dengan menggunakan profil siku ganda ini jenis las yang sesuai adalah las sudut. Ukuran tebal las (tl) minimum pada las sudut diberikan pada tabel 13.5-1, sedangkan ukuran tebal las maksimum diberikan pada bab 13.5.3.3 sesuai SNI 03-1729-2002. Panjang efektif las sudut diatur pada bab 13.5.3.5, dan jarak las sudut diatur pada bab 13.5.3.7 dan 13.5.3.8 sesuai SNI 031729-2002.
SIKU 2L60
SIKU 2L50 SIKU 2L50 SIKU 2L100 PLAT TUMPU 10mm PLAT SIMPUL 8mm PLAT TUMPU 10mm ANGKUR 216mm
300
ANGKUR 216mm
300
250
200
POTONGAN A
SKALA 1 : 20
SIKU 2L50
SIKU 2L50
SIKU 2L50
BAUT 12mm 25 40 25
SIKU 2L50
4 - 80
80
80
25
40 2 5
SIKU 2L50
SIKU 2L50
80
80
40 25 25 25
40 25
(b) Detail sambungan kuda-kuda Gambar 1.8. Contoh detail sambungan kuda-kuda siku
Kuat rencana las sudut dapat diambil sesuai persamaan (13.5-3a) dan (13.53b) SNI 03-1729-2002 sebagai berikut.
R u = f 0,75 t l (0,6 f uw ) (untuk las)
(1-9a) (1-9b)
atau dengan :
Perencanaan Atap
13
= faktor reduksi kekuatan saat fraktur sebesar 0,75 fuw = tegangan tarik putus logam las (MPa) fu = tegangan tarik putus logam bahan dasar (MPa) Kekuatan sambungan las (Ru) dipilih yang terkecil antara persamaan (1-9a) dan persamaan (1-9b), kemudian panjang efektif las Le ditentukan dengan :
Le = N u ,1
2R u
(1-10a)
Secara teori panjang las pada gaya Nu,2 adalah lebih kecil dibanding dengan panjang las pada gaya Nu,1 , tetapi dalam praktik panjang las ini dibuat sama sebsar
Le. Hal ini adalah untuk memudahkan dalam pengawasan dan untuk menghindari
kesalahan dari tukang bajanya, misalnya terbalik. Contoh gambar kuda-kuda baja dan detail sambungan diberikan pada gambar 1.8 dan gambar 1.9.
6 0x x6 60 60 x6 0x 6
50x50x5
5 0x x5 50
6 0x x6 60
0x 5 5 50 x5 50 0x
50 x5 0x 5
2717
60 x6 0x 6
x5
50x50x5
+8.500
50x50x5
50x50x5
50x50x5
50x50x5
50x50x5
50x50x5
6 0x x6 60
60 x6 0x 6
50x50x5
1569
1569
1569
1569
1569
1569
SKALA 1 : 50
Perencanaan Atap
14
balok tangga
Ltg
3
NAIK
Antrede
h tg
L1
Optrede
2
B2
B
(a) Denah ruang tangga
C
(b) Detail anak tangga
Gambar 2.1 Perencanaan tangga Untuk merencanakan ruang tangga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. a) Menentukan lebar bordes yang besarnya minimum adalah selebar tangga, jadi dalam hal ini lebar bordes ialah setengah lebar dari L1. b) Menentukan tinggi optrede (O) yang besarnya antara 150mm sampai 200mm, sehingga jumlah anak tangga antar lantai adalah tinggi lantai dibagi dengan O
1 h lt adalah 1 A 2 O
O d) Sudut kemiringan tangga adalah = tan 1 A
15
16
Ltg
B1
L1 2
C
Gambar 2.2. Potongan 1 tangga dan beban tangga Beban qtg : - berat sendiri tangga =
h tg cos
1 O x berat volume beton 2 - berat ubin & spesi = 0,05 x berat volume ubin - berat railling (diperkirakan) Beban qtg
Beban qbd :
- berat sendiri tangga = htg x berat volume beton - berat ubin & spesi = 0,05 x berat volume ubin - berat railling (diperkirakan) Beban qbd
Setelah beban tangga ditentukan, kemudian untuk menghitung gaya-gaya rencana dapat digunakan bantuan soft-ware SAP200, atau dihitung secara manual dan kemudian digambarkan SFD, BMD seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.
(a) SFD
(b) BMD
17
M u = 1,4M DL M u = 1,2M DL
V u = 1,4V DL V u = 1,2V DL
Dari Mur diperoleh luas tulangan tangga Atg dalam mm2, dan Vur digunakan untuk cek ketebalan tangga (htg) dengan Vc > Vur . Jika Vc < Vur maka tebal tangga perlu diperbesar. Contoh gambar penulangan tangga diberikan seperti gambar 2.4. berikut.
300 300 300 300 300 300 300 1300
D13-150 P8-200
+1.050
0.000
150
D13-300
D13-150 P8-200
-1.800
LANTAI KERJA
Pondasi tangga direncanakan dengan mempertimbangkan daya dukung ijin tanah. Untuk merencanakan dimensi pondasi tangga dapat dilakukan langkah berikut. Beban tangga pada pondasi adalah:
18
- beban mati (DL) tangga pada dukungan B1 = . kN/m - beban hidup (LL) tangga pada dukungan B1 = . kN/m - beban dinding/sloof tangga = btg x d x beton = . kN/m + Beban Qtg = .... kN/m
b tg muka tanah Qtg d h pondasi
( B 2 e)
Qtg
e
B
B 2
max
min
Gambar 2.5. Beban pondasi tangga dan tegangan tanah Tegangan tanah ijin dikurangi dengan berat tanah dan berat sendiri pondasi akan diperoleh tegangan tanah neto seperti berikut:
(2-1)
Lebar pondasi tangga (=B) diperkirakan, dan panjang tegak lurus bidang gambar dianggap 1 satuan panjang (1 meter), kemudian di-cek tegangan pada tanah yang terjadi:
max =
dan min =
Q tg B Q tg B
+6
Q tg (e ) B2 Q tg (e ) B2
neto
(2-2a)
(2-2b)
Untuk merencanakan penulangan pelat pondasi tangga, dihitung tegangan terfaktor sebagai berikut: - beban mati (DL) tangga pada dukungan B1 x 1,2 = . kN/m - beban hidup (LL) tangga pada dukungan B1 x 1,6 = . kN/m - beban dinding/sloof tangga = btg x d x beton x 1,2 = . kN/m + Beban Qutg = .... kN/m Selanjutnya dihitung tegangan max dan min seperti pada persamaan (2-2a) dan (2-2b), dengan menggantikan Qtg dengan Qutg. Momen dan geser rencana pada pelat pondasi dihitung sebagai berikut:
Selanjutnya dapat direncanakan tulangan pelat pondasi dari Mu, dan cek ketebalan pelat pondasi dari gaya geser pelat pondasi Vu.
Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008
19
Gambar 2.6. Denah rencana pelat lantai Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pelat ini adalah menentukan tebal pelat yang akan direncanakan. Bab 11.5 pada SNI 03-2847-2002 menjelaskan tentang lendutan dan tebal minimum balok dan pelat, sedang pada bab 15 dijelaskan tentang perencanan pelat dua arah. Untuk menggambar penulangan pelat, sebaiknya tidak terlalu banyak variasi macam penulangan pelat. Hal ini untuk memudahkan dalam praktik, disamping juga untuk memudahkan pengawasan di lapangan. Secara teori memang bisa saja macam penulangan pelat terdiri dari banyak variasi, dengan maksud untuk menghemat baja tulangan yang digunakan. Namun hal tersebut dalam praktiknya justru akan mempersulit pemasangan dan juga menyulitkan dalam pengawasannya. Pada gambar 2.7 dan 2.8 diberikan contoh gambar penulangan pelat, dengan dua alternatif untuk dipilih. Pada gambar tersebut dianggap variasi tulangan tipe A, B dan C pada gambar 2.6 disamakan. Walaupun sebenarnya tulangan pelat tipe A dan C jarak
20
tulangannya lebih besar secara teori daripada pelat tipe B, tetapi dalam praktik dibuat sama, untuk memudahkan dalam pelaksanaan. Tabel 2.1 Contoh pembebanan pada masing-masing fungsi pelat
Fungsi Plat Macam Pembebanan 1. Beban sendiri Tebal mm 100 20 B. Vol kN/m 24 21
3
B. Mati, D kN/m
2
B.Hidup, L kN/m
2
Wu=1,2D+1,6L kN/m2
2,400 0,180 0,420 3,00 2,880 0,900 1,050 0,180 5,010 2,130 2,50 10,012 0,600 1,000 5,200
Atap
2. Beban pasir 3. Beban ubin + spesi 4. Beban plafon 5. Lain-lain -> finishing (wp)
Total
1. Beban sendiri 120 50 50 24 18 21 -
Lantai
Total
Vc
kN 44,7 2)
Atap
A
Wu= 5,200k N/m2
1,7
Mlx Mtx
Mly Mty
36 36
0,573 0,573
200
8-200
250
6-200
Lantai
B
Wu= 10,012 kN/m2
2,0
Mlx Mtx
62 62
5,587 5.587
15,018
55,9
298
8-150
333
6-200
Mly Mty
35 35
3,154 3,154
240
8-150
333
6-200
Lantai
C
Wu= 10,012 kN/m2
1)
1,5
Mlx Mtx
56 56
2,243 2,243
10,012
55,9
240
8-150
333
6-200
Mly Mty
37 37
1,482 1,482
240
8-150
333
6-200
Koefisien momen diambil dari Peraturan Beton Indonesia (PBI) tahun 1971 untuk pelat dengan tumpuan monolit di ke-empat sisi 2) Kuat geser beton Vc berdasarkan pada fc = 20 MPa 3) Luas tulangan berdasarkan pada mutu baja fy = 240 MPa
21
A 6
3000
6000
3000
P8-150
P8-150
P8-150
P6-200 P6-200
P8-150
P8-150
P8-150
4000
P8-150
P8-150
P8-150
P6-200 P8-150
4000
h = 120 mm
A 6
3000
6000
3000
P8-300
P8-300
P8-150
P8-300
P8-300
P6-200 P6-200
P8-150
4000
P6-200
P8-300
P8-300 P8-300
P8-300 P8-300
4000
h = 120 mm