You are on page 1of 2

Regenerasi di Lingkar Kekuasaan Politik Oleh Anjrah Lelono Broto Rabu, 27 Feb 2013 | 02:05 WIB http://www.surabayapagi.

com Adanya aroma pemaksaan oleh tokoh-tokoh majelis tinggi Partai Demokrat (PD), termasuk SBY, dalam aksi pengunduran diri Anas sebagai ketua umum menjadi petanda bahwa partai politik ini gagal melakukan regenerasi kepemimpinan yang sehat. Akibatnya, daya jual parpol berlambang bintang biru ini pun semakin terpuruk. Keterpurukan ini dirasakan betul oleh Dede Yusuf, kandidat cagub Jabar yang diusung PD. Dimana, kubunya harus puas di posisi ketiga perolehan suara pemilihan gubernur (pilgub) Jabar versi quick count. Padahal sebelumnya, elektabilitasnya bersaing keras dengan Aher, sehingga hanya menempatkan Rieke DP sebagai kuda hitam, dan kandidat lainnya sebagai penggembira pesta demokrasi semata. Sebegitu pentingkah arti regenerasi di tubuh lingkar kekuasaan parpol dalam konteks arah demokrasi kita? Selasa lalu (19/02/2013), di kawasan Lenteng Agung Jakarta, DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar psikotes untuk kader internal yang masuk dalam daftar bakal calon gubernur (bacagub) Jatim (Surabaya Pagi, 20/02/2013). Psikotes ini merupakan bagian dari fit and proper test bacagub Jatim yang diusung PDIP dalam pilgub Jatim. Tes ini diikuti 12 orang kader senior PDIP. Di antaranya adalah mantan Wali Kota Blitar Djarot Saiful Hidayat, Wali Kota Probolinggo HM Buchori, Wakil Wali Kota Surabaya Bambang DH, Bupati Jombang Suyanto, dan Anggota DPR RI Said Abdullah. Salah satu dari mereka nanti akan diadu dengan incumbent Pakde Karwo yang diusung PD. Nama-nama kader senior PDIP di atas memang bukanlah wajah baru dalam peta politik di Jatim. Bupati Jombang Suyanto, misalnya, dirinya telah dua periode menduduki posisi orang nomor satu di Jombang. Sebelumnya didampingi fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN) Ali Fikri, dan berikutnya didampingi adik kandung mantan gubernur Jatim Imam Utomo yaitu Widjono Suparno. Nama terakhir ini sedianya juga akan bertarung dalam pemilihan bupati (pilbup) Jombang 2013 ini, bersanding dengan adik Suyanto yaitu Sumrambah. Beredarnya nama-nama di atas sedikit banyak menjadi gambaran betapa regenerasi di lingkar kekuasaan politik kita masih berputar di kalangan tertentu. Realita ini pun akhirnya bermuara pada adagium tentang krisis kepemimpinan di tanah air. Persepsi tentang labilitas politikus muda, sehingga belum layak bersaing dengan politikus senior menguatkan adagium tersebut. Belum lagi, tradisi Urut Kacang (baca; antri kekuasaan) dalam kebudayaan Jawa yang menempatkan politikus muda dalam daftar panjang antrian untuk menempati posisi tertentu dan mengeluarkan gagasan di lingkar kekuasaan. Barang siapa yang tidak bisa menerima tradisi Urut Kacang ini harus menerima konsekuensi dipecat dan atau dipaksa mengundurkan diri dari parpol yang tengah dibesarkannya. Tengok pengunduran diri Hari Tanoe (HT) dari posisinya di Dewan Pakar Partai Nasdem. Pengunduran diri (HT) juga beraroma konflik antar generasi. Sekian banyak nama politikus muda yang beredar dalam dunia politik tanah air belakangan ini sempat memberikan angin segar berjalannya regenerasi di lingkar kekuasaan politik. Namun

angin segar tersebut mendadak berubah menjadi angin ribut ketika beberapa nama dari mereka tersandung kasus korupsi. Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, dan Lutfi Hasan Ishaq, adalah beberapa nama terkini yang karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus rela mengundurkan diri dari jabatannya dan kehilangan bintang terang karir politiknya. Regenerasi memang dilukai oleh aksi beberapa politikus muda tersebut, akibatnya lingkar kekuasaan politik pun hanya identik dengan nama-nama tertentu. Hidup-mati PD pun identik dengan SBY, begitu pun Nasdem dengan Surya Paloh, Gerindra dengan Prabowo Subiyanto, Hanura dengan Wiranto, PDIP dengan Megawati, dst. Padahal ketika lingkar kekuasaan institusi apapun identik dengan nama pribadi tertentu dan bandul kekuasaan tidak lagi bergerak maka demokrasi pun telah kehilangan arah. Dus, peta politik di tanah air pun bergerak dalam labirin demokrasi yang menjemukan. Barangkali, regenerasi di lingkar kekuasaan politik memang menu makanan yang tidak patut untuk dikonsumsi di tanah air. Bisa juga, budaya kita memang lebih mencintai kemapanan dan meminggirkan perubahan. Regenerasi yang dekat maknanya dengan perubahan dikhawatirkan hanya akan menciptakan ketidakjelasan masa depan. Sementara itu, besar kemungkinan memang karakter politikus muda Indonesia sendiri. Ketika kenyamanan udara lingkar kekuasaan dengan cepat dapat dinikmati, beberapa politikus muda kita justru tersedak karena besarnya syahwat untuk menghirupnya kuat-kuat. Dalam budaya Jawa, fenomena yang terakhir ini lazim disebut sebagai ora kuwat drajat (tidak mampu mengemban amanat yang besar, pen). Menilik wajah bopeng regenerasi di lingkar kekuasaan politik tanah air, ekspektasi kita bersama untuk melihat wajah-wajah baru politikus muda yang membawa perubahan dan (semoga) tidak mengecewakan seperti pendahulunya, naga-naganya akan sulit menjadi kenyataan. Sederet agenda pesta demokrasi di level daerah masih menunjukkan perwajahan yang sama. Konvoi, panggung musik, bendera, baliho, atau janji-janji manis diiringi pemberian sembako dan uang dalam amplop tipis masih menjadi kelaziman. Pasca peralihan kekuasaan dari rezim ke rezim, inikah arah demokrasi yang kita cari? *) Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI)

You might also like