You are on page 1of 27

Diagnosis dan Pentalaksanaan pada Meningitis Tuberkulosa

EUNIKE 102010203 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

Pendahuluan Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan piamater dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk cairan serebrospinal (CSS). Peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran atau selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat disebabkan organisme seperti virus, bakteri, ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak.1 Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang disertai cairan otak yang jernih, penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosa, penyebab lainnya seperti virus, Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia.1 Sedangkan meningitis purulenta adalah radang bernanah pada selaput otak, penyebabnya antara lain, Diplococcus pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus group A, Staphylococcus aureus, Haemophillus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa.1 Meningitis tuberkulosa merupakan salah satu manifestasi klinis TB diluar paru, yaitu di sususan saraf pusat (SSP). Dibandingan dengan jenis-jenis tuberkulosis yang lain, meningitis tuberkulosa paling banyak menyebabkan kematian. Jumlah penderita meningitis tuberkulosa kurang lebih sebanding dengan prevalensi infeksi oleh Mycobacterium tuberculosa pada umumnya.
Alamat Korespondensi : Universitas Kristen Krida Wacana Fakultas Kedokteran (Kampus II) Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat ; Website : www.ukrida.ac.id ; NIM : 102010203; Email : eunikeharnadi@gmail.com

Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut, maka perjalanan penyakit lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu hebat.1,2 Tujuan penulisan makalah ini adalah agar dapat membantu dan menambah pengetahuan pembaca mengenai penyakit meningitis tuberkulosa dan cara mengatasinya. Anatomi Lapisan Meningen Otak dan medulla spinalis dilapisi oleh meningen. Selain melapisi otak dan medulla spinalis , meningen juga berfungsi yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan mensekresi cairan serebrospinal (CSS). Selaput meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu:2 1. Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid dibawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural), dimana sering dijumpai terjadinya pendarahan. 2. Arakhnoid Merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang, terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh CSS. Pendarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cidera kepala. 3. Piamater Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membran vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteriarteri yang masuk ke dalam otak juga diliputi oleh piamater. Perhatikan gambar 1.

Gambar 1. Susunan Lapisan Meningen (sumber: http://www.adamimages.com/Meninges-ofthe-brain-Illustration/PI10111/F4) Anamnesis Dalam setiap pemeriksaan anamnesis harus selalu dilakukan dengan benar, karena hal ini sangat membantu dalam membuat suatu diagnosis dan juga langkah terapi yang akan dilakukan. Beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah:3,4 1. Identitas pasien 2. Keluhan utama Pada kelainan sistem saraf bisa menimbulkan berbagai macam gejala, diantaranya: Nyeri kepala, Kejang, pingsan, atau gerakan aneh Pening atau vertigo Masalah penglihatan Kelainan penciuman/pengecapan Kesulitan berbicara Masalah menelan Kesulitan berjalan Ekstremitas lemah Gangguan sensoris Nyeri Gerakan involunter atau tremor Masalah pengendalian sfingter (buang air keci/besar) Gangguan fungsi mental luhur, seperti bingung atau perubahan kepribadian
3

3. Riwayat penyakit dahulu Adakah riwayat gangguan neurologis sebelumnya? Adakah riwayat penyakit sistemik, khususnya kelainan kardiovaskular? (stroke adalah penyebab defisit neurologis yang paling umum) Adakah riwayat penyakit TBC? 4. Obat-obatan Pertimbangan terapi gangguan neurologis dan pengobatan yang mungkin merupakan penyebab timbulnya gejala. 5. Riwayat keluarga Adakah riwayat gangguan neurologis dalam keluarga? (tedapat banyak kelainan neurologis penting yang diturunkan, misalnya korea Huntington) Adakah riwayat penyakit TBC pada keluarga? Ada kontak? 6. Riwayat sosial Ketidakmampuan apa saja yang dimiliki pasien? Mengapa pasien tidak dapat melakukan apa yang ingin ia lakukan? Apakah pasien menggunakan alat bantu untuk bergerak? Bantuan apa saja yang didapat oleh pasien? 7. Penyelidikan fungsional Pertimbangkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala yang diperberat saat mengejan, batuk, bangun di pagi hari, dan gangguan penglihatan). Adakah gejala neurologis sebelumnya seperti gangguan penglihatan, kelemahan, atau mati rasa? Pemeriksaan Fisik3-5 Tujuan utama pemeriksaan fisik saraf adalah mengungkapkan dan menjelaskan defisit fungsi, dan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi pada otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer, atau otot. Berikut beberapa hal yang perlu di periksa, yaitu: 1. Keadaan umum Pemeriksaan keadaan umum meliputi: a. Kesan umum dari inspeksi seluruh tubuh, misal menurunnya kesadaran, bentuk kepala yang terlalu besar atau terlalu kecil, edema generalisata, nampak sakit dan gelisah, dan sebagainya.

b. Pemeriksaan umum terutama pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu), sistem kardiopulmoner, sistem gastrointestinal, urogenital, anggota gerak, leher, kepala, dan muka. 2. Tingkat kesadaran Pemeriksaan tingkat kesadaran yang sekarang dipakai adalah skala dari Glasgow (Glasgow coma scale) yang lebih praktis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan sistematik, dibandingkan dengan cara lama seperti apatis, somnolen, stupor, sopor, dan koma. Pada setiap pasien dengan gangguan kesadaran, maka ada 4 hal yang perlu diperiksa selain tingkat kesadaran, yaitu: a. Tingkat kesadaran b. Mata, yang meliputi pupil (refleks cahaya, anisokoria), gerakan bola mata (gerakan konjugasi bola mata), berguna untuk menentukan kelainan neurologis atau metabolik. c. Respirasi yang dikaitkan dengan lokalisasi lesi di otak dan berhubungan dengan beratnya gangguan tingkat kesadaran. d. Respons motorik terhadap ransangan nyeri. Adanya gerakan motorik terhadap ransangan nyeri (menjauhi ransang tersebut) menunjukkan fungsi spino-thalamocortical (sensory ascending pathway) dan tractus cortico-spinalis (tractus piramidalis) yang masih baik, sedangkan tidak adanya gerakan motorik pada salah satu anggota gerak tetapi menunjukkan grimacing (meringis) sewaktu diberikan rangsangan nyeri menunjukkan adanya disfungsi tractus cortico-spinalis tanpa disfungsi daripada sensory ascending pathway. Cara pemeriksaan skala dari Glasgow (Glasgow coma scale, GCS), didasarkan pada respon dari mata, pembicaraan, dan motorik. Dimana masing-masing mempunyai nilai/score tertentu, mulai dari yang paling baik (normal) sampai dengan yang paling jelek. Jumlah/total scoring paling jelek adalah 3, sedangkan yang paling baik (normal) adalah 15. Perhatikan tabel 1.

Tabel 1. Glasgow Coma Scale Score 1. Eye open spontan membuka mata terhadap suara membuka mata 4 3

terhadap nyeri membuka mata menutup mata terhadap segala jenis rangsang 2. Verbal response Berorientasi baik Bingung (bisa membentuk kalimat tapi arti keseluruhan kacau) Bisa membentuk kata tapi tidak mampu mengucapkan suatu kalimat Bisa mengeluarkan suara yang tidak punya arti (groaning) Suara tidak ada 3. Motoric response Menurut perintah Dapat melokalisir ransangan sensorik di kulit (raba) Menolak ransangan nyeri pada anggota gerak (withdrawal) Menjauhi ransangan nyeri (fleksi) Ekstensi spontan Tidak ada gerakan

2 1

5 4 3

2 1

6 5 4 3 2 1

3. Pemeriksaan tanda rangsangan meningeal a. Kaku kuduk Cara : Pasien tidur telentang tanpa bantal. Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Hasil pemeriksaan: Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi leher normal/kaku kuduk negatif. Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku kuduk positif. b. Brudzinski Cara : Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi

sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Hasil Pemeriksaan : Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Perhatikan gambar 2.

Gambar 2. Pemeriksaan Brudzinskis Sign (sumber: http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/brudzinski's%20sign)

c. Kernig Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif. Perhatikan gambar 3.

Gambar 3. Pemeriksaan Kernigs Sign (sumber: http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/kernig's%20sign)

d. Laseque Cara : Pasien berbaring terlentang. Angkat satu tungkai pasien dengan fleksi di sendi panggul sampai membentuk sudut 70 derajat, sedangkan tungkai lain dalam keadaan lurus. Hasil Pemeriksaan : Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 70 derajat, maka dikatakan laseque sign positif. 4. Pemeriksaan nervi kranialis a. Pemeriksaan nervus III, IV, dan VI Fungsi N III (okulomotorius), IV (troklearis), VI (abdusen) saling berkaitan dan diperiksa bersama-sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil. Pemeriksaan nervi III,IV,VI: Inspeksi saat istirahat Kedudukan bola mata Pemeriksaan : Kedudukan mata kiri dan kanan semetris/tidak Strabismus, deviasio conjugee, krisis akulogirik Eksoptalmus / endoftalmus Interpretasi normal : Kedudukan bola mata simetris Observasi celah kelopak mata Pemeriksaan : Penderita memandang lurus kedepan Perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris Interpretasi normal : simetris kanan-kiri Pemeriksaan gerakan bola mata Penilaian gerakan monokular Penilaian gerakan kedua bola mata atas perintah Penilaian gerakan bola mata mengikuti obyek bergerak Pemeriksaan gerakan konjungat reflektorik (dolls eye movement). Perhatikan gambar 4.

Gambar 4. Dolls Eye Movement (sumber: http://www.google.co.id) Interpretasi gerakan bola mata: Normal: Gerakan konjungate Gerakan diskonjungat / gerakan konversion Dolls eye movement (+) b. Pemeriksaan nervus VII Pemeriksaan fungsi motorik N.Fasialis Pemeriksaan dan Interpretasi fungsi motorik Observasi otot wajah dalam keadaan istirahat Pemeriksaan: Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya celah mata, lipatan kulit nasolabialis dan sudut mulut. Observasi otot wajah saat digerakkan Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam. Mengangkat alis. Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa. Moncongkan bibir atau menyengir.

Suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh. c. Pemeriksaan nervus XII Cara pemeriksaan N. hipoglosus: Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik (cadel/pelo) hal demikian disebut disarthri. Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser ke daerah lumpuh karena tonus disini menurun. Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit. Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah. Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah ke samping pada pipi dan dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi. 5. Pemeriksaan refleks fisiologis a. Pemeriksaan Refleks pada Lengan Pemeriksaan Reflex Biseps Pasien duduk dengan santai,lengan dalam keadaan lemas,siku dalan posisi sedikit fleksi dan pronasi. Letakan ibu jari pemeriksa di atas tendo biseps,lalu pukul ibu jari tadi dengan menggunakan refleks hammer. Reaksinya adalak fleksi lengan bawah. Bila refleks meninggi maka zona refleksogen akan meluas. Pemeriksaan Refleks Triseps Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep. Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep tidak teraba tegang), pukullah tendon yang lewat di fossa olekrani. Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak. b. Pemeriksaan Refleks pada Tungkai Refleks Patella Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai. Daerah kanan-kiri tendo patella terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan daerah yang tepat.
10

Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan tangan yang lain memukul tendo patella tadi dengan reflex hammer secara tepat. Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps, dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak untuk kemudian berayun sejenak. Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan reflex patella dapat dilakukan dalam posisi berbaring. Refleks Achiles Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring tau dapat pula penderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di luar kursi pemeriksaan. Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achiles dengan cara menahan ujung kaki kearah dorsofleksi. Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat. Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak. 6. Pemeriksaan refleks patologis Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal. Refleks patologis pada ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas. a. Refleks Klonus kaki Cara pemeriksaan: sanggah lutut pada posisi fleksi ringan. Lalu dengan tangan yang lain lakukan dorsofleksi tiba-tiba dan pertahankan beberapa saat. b. Babinsky sign Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks. Reaksi: Dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya. Intepretasi: normal (-) Pemeriksaan Penunjang1,2,6,7 1. Pengambilan cairan serebrospinal

11

Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi, Sisternal Punksi, atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedur neuro diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral cervical punksi hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli. Indikasi Lumbal Punksi: a. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksaan sel, kimia, dan bakteriologi. b. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotik, anti tumor, dan spinal anastesi. c. Untuk membantu diagnosis dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi, dan zat kontras pada myelografi. Kontra indikasi Lumbal Pungsi: a. Ada peninggian tekanan intrakranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil edema. b. Penyakit kardiopulmonal yang berat. c. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi. Persiapan Lumbal Punksi: a. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP. b. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasien/keluarga terutama pada LP dengan resiko tinggi. Teknik Lumbal Punksi: a. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis dibawah kepala atau lutut. b. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi L3-4, yaitu setinggi crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas atau ke bawah. Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5. c. Bersihkan dengan yodium dan alkohol daerah yang akan dipungsi. d. Dapat diberikan anasthesi lokal lidocain HCL. e. Gunakan sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus dengan ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus jaringan
12

meningen penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang miring menghadap ke kepala. f. Dilakukan pemeriksaan tekanan dengan manometer dan test Queckenstedt bila diperlukan. Kemudian ambil sampel untuk pemeriksaan jumlah dan jenis sel, kadar gula, protein, kultur bakteri dan sebagainya. Perhatikan gambar 5.

Gambar 5. Posisi Lumbal Punksi (sumber: http://ilmukeperawatann.blogspot.com/2012/04/prosedur-lumbal-pungsi.html) Komplikasi Lumbal Punksi: a. Sakit kepala, biasanya dirasakan segera sesudah lumbal punksi, ini timbul karena pengurangan cairan serebrospinal. b. Backache, biasanya di lokasi bekas punksi disebabkan spasme otot. c. Infeksi d. Herniasi e. Untrakranial subdural hematom. f. Hematom dengan penekanan pada radiks. g. Tumor epidermoid intraspinal. Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan memperhatikan: a. Warna Normal cairan serebrospinal warnanya jernih dan patologis bila berwarna kuning, santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari protein.
13

Peningkatan protein yang penting dan bermakna dalam perubahan warna adalah bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan jumlah sel darah merah lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan memberikan warna merah segar. Eritrosit akan lisis dalam satu jam dan akan memberikan warna cucian daging di dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit lebih dari 1000 sel/ml. b. Tekanan Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan CSS tergantung pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan serebrospinal antara 8-20 cmH2O pada daerah lumbal, siterna magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita duduk tekanan cairan serebrospinal akan meningkat 10-30 cmH2O. Kalau tidak ada sumbatan pada ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan hidrostastik akan ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer, normal tekanan akan sedikit naik pada perubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah pada penekanan abdomen dan waktu batuk. Kegagalan sirkulasi normal CSS dapat menyebabkan pelebaran vena dan

hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi menjadi hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus komunikans terjadi gangguan reabsorpsi CSS, dimana sirkulasi CSS dari ventrikel ke ruang subarachnoid tidak terganggu, kelainan ini bisa disebabkan oleh adanya infeksi, perdarahan subarakhnoid, trombosis sinus sagitalis superior, keadaan-keadaan dimana viskositas CSS meningkat dan produksi CSS yang meningkat. Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran CSS dalam sistim ventrikel atau pada jalan keluar ke ruang subarakhnoid. Kelainan ini dapat disebabkan stenosis aquaduktus serebri, atau penekanan suatu masa terhadap foramen Luschka for Magendi ventrikel IV, aquaduktus Sylvi dan foramen Monroe. Kelainan tersebut bisa berupa kelainan bawaan atau didapat. c. Jumlah sel Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel polimorfonuklear saja. Sel leukosit jumlahnya akan meningkat pada proses inflamasi. Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit
14

setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis, pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L. monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberkulosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing. d. Glukosa Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbal. Rasio normal kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6. Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara. Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derajat yang bervariasi, dan paling umum pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma. Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis sarcoidosis, infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat khemikal. Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid mungkin juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral, mumps, limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan sampai sedang.

15

e. Protein Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. Pada sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 mg%. Kadar gamma globulin normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood brain barrier), reabsorbsi yang lambat immunoglobulin lokal. Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit, bila dinilai sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf pusat. f. Elektrolit Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130 mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdapat penurunan kadar Cl pada meningitis tapi tidak spesifik. g. Osmolaritas Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L). Bila terdapat perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS. h. pH Keseimbangan asam basa harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan metabolik alkalosis. pH cairan serebrospinal lebih rendah dari pH darah, sedangkan PCO2 lebih tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah sama (23 mEg/L). pH CSS relatif tidak berubah bila metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik, dan akan berubah bila metabolik asidosis atau alkalosis terjadi secara cepat. Pemeriksaan lumbal punksi pada meningitis TB memperlihatkan CSS yang jernih, kadang-kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan maka akan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10500/ml dan kebanyakan limfosit. Kadang-kadang oleh reaksi tuberculin yang hebat terdapat peningkatan jumlah sel, lebih dari 1000/ml. Kadar glukosa rendah, antara 20-40 atau peningkatan sintesis

16

mg%, kadar Cl dibawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat diperiksa untuk pembiakan atau kultur menurut pewarnaan Ziehl-Nielsen. Perhatikan tabel 2. Tabel 2. Perbedaan Pemeriksaan Lumbal Punksi Makroskopik Meningitis bakterial Purulen, kuning muda, bekuan lunak Meningitis virus Meningitis TB Kuning muda, bekuan lunak Jernih 10-1000, terutama MN 10-1000, terutama MN 45-500 10-45 Meningkat Normal White Blood Cell 25-10000, terutama PMN Protein 50-1500 Glukosa 0-45

2. Pemeriksaan radiologi a. Foto toraks: dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis. Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru ialah: Komplek primer dengan atau tanpa perkapuran. Pembesaran kelenjar paratrakeal. Penyebaran milier. Penyebaran bronkogen. Atelektasis. Pleuritis dengan efusi. b. CT-scan kepala, dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI pada pasien meningitis TB adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran sering ditemukan adanya enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau thalamus. 3. Pemeriksaan darah, dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan hitung jenis leukosit, laju endap darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, kultur. a. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada meningitis TB didapatkan juga peningkatan LED.
17

b. Pada meningitis purulenta/bakterialis didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Diagnosis Diagnosis kerja dari kasus ini adalah meningitis tuberkulosis, untuk mengekkan diagnosis ini maka anamnesis harus lebih diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis, keadaan sosial-ekonomi, imunisasi. Sementara itu gejala-gejala yang khas untuk meningitis tuberkulosis ditandai dengan tekanan intrkranial yang meningkat, muntah proyektil, nyeri kepala yang hebat dan progresif, penurunan kesadaran, dan pada bayi tampak fontanel yang menonjol.1,2 Namun perlu dipertimbangkan adanya kemungkinan lain/diagnosis banding, seperti:1,2,8,10 1. Meningitis virus Meningitis virus biasanya disebut meningitis aseptik. Sering terjadi akibat lanjutan dari bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi measles, mumps, herpes simplek, dan herpes zooster. Meningitis virus ini termasuk penyakit ringan, gejalanya mirip dengan sakit flu biasa, dan umumnya dapat sembuh sendiri dan kembali seperti semula. Selain itu gejala yang sering timbul adalah demam, nyeri kepala, lelah, mual, kaku kuduk, fotofobia juga dapat ditemukan. Pada bayi gejala yang sering bangun. Sering terjadi pada anak-anak, namun pada orang dewasa juga bisa terutama dengan sistem imun yang rendah. Virus penyebab meningitis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu virus RNA dan virus DNA. Contoh virus RNA adalah enterovirus (polio), arbovirus (rubella), mixovirus (influenza, parotitis, dan morbili). Sedangkan contoh virus DNA antara lain virus herpes, dan retrovirus (AIDS). Penatalaksanaan bersifat simtomatik dengan rehidrasi dan analgesia. 2. Meningitis bakterial Sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia, hipotensi, atau syok). Meningitis biasanya terjadi karena bateremia yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis, walaupun Streptococcus pneumoniae dapat muncul pada orang-orang dengan pneumonia adalah demam, anoreksia, kesulitan untuk

18

pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alkohol) atau kerusakan dura (fraktur tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus). Kuman-kuman tersebut masuk ke dalam susunan saraf pusat secara hematogen atau langsung menyebar dari kelainan di nasofaring, paru-paru (pneumonia,

bronkopneumonia), dan jantung (endokarditis). Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi, dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polomorfonuklear ke dalam ruang subarachnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag. Selain pada arteri, proses radang juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan thrombosis, infark otak, edema otak, dan degenerasi neuron-neuron. Thrombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan nervi kraniales (N. III, IV, VI, VII, dan VIII). Organisasi di ruang subarakhnoid superficial dapat menghambat aliran dan absorbsi CSS, sehingga mengakibatkan hidrosefalus komunikans. Bila dicurigai meningitis bakterial, maka antibiotik spektrum luas (misalnya sefotaksim dosis tinggi) harus segera diberikan. Diagnosis dipastikan dengan mengindentifikasi organisme (kultur darah, pemeriksaan mikroskopik CSS), kultur dan polymerase chain reaction (PCR, atau serologi darah). Pada neonatus gejala meningitis bakterial umumnya terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Biasanya disertai septikemia dan pneumonitis. Kejang terjadi pada kurang lebih 44% anak dengan penyebab Haemophillus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumoniae, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apati, letargi, renjatan, koma. Pada anak yang lebih besar atau orang dewasa, permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi, dan

takikardi karena septikemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma yang dalam dapat dijumpai pada penderita. Nyeri kepala bisa hebat sekali, rasanya seperti mau pecah dan bertambah hebat bila kepala digerakkan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh proses
19

radang pembuluh darah meningeal, tetapi juga dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang disertai fotofobia dan hiperestesi. Suhu badan makin meningkat, tetapi jarang disertai gemetar. Etiologi Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, umumnya adalah jenis hominis, jarang oleh jenis bovinum atau aves. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3 m, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.1,2,11,12 Meningitis TB merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit TB paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.1,2 Epidemiologi Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi M.tuberculosis, sekitar 95% kasus TB dengan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi di negara berkembang. Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah sekitar 10% dari jumlah keseluruhan penderita TB di dunia.2 Angka kejadian penderita meningitis TB di Inggris adalah 1,5% dari jumlah keseluruhan penderita TB di luar paru. Kematian biasanya dikarenakan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganannya. Penyakit ini merupakan TB ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus TB ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus TB.1,2 Meningitis TB dapat terjadi pada setiap usia terutama pada anak antara 6 bulan sampai 5 tahun, jarang terdapat di bawah usia 6 bulan, kecuali apabila angka kejadian TB sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah usia 2 tahun, yaitu antara 9-15 bulan.1

20

Klasifikasi Meningitis TB dibagi dalam empat jenis menurut klasifikasi patologik. Umumnya terdapat lebih dari satu jenis dalam setiap penderita meningitis TB, berikut penjelasannya:1,2 1. Tuberkulosis miliaris yang menyebar Jenis ini merupakan komplikasi TB miliaris, biasanya dari paru-paru yang menyebar langsung ke selaput otak secara hematogen. Keadaan ini terutama terjadi pada anak, jarang pada dewasa. Pada selaput otak terdapat tuberkel-tuberkel yang kemudian pecah sehingga terjadi peradangan difus dalam ruang subarakhnoid. Tuberkel-tuberkel juga terdapat pada dinding pembuluh darah kecil di hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak. 2. Bercak-bercak pengijuan fokal Disini terdapat bercak-bercak pada sulkus-sulkus dan terdiri dari pengijuan yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel. Dari sini terjadi penyebaran ke dalam selaput otak. Kadang-kadang terdapat juga bercak-bercak pengijuan yang besar pada selaput otak sehingga dapat menyebabkan peradangan yang luas. 3. Peradangan akut meningitis pengijuan Jenis ini merupakan jenis yang paling sering dijumpai kurang lebih 78%. Pada jenis ini terjadi invasi langsung pada selaput otak dari fokus-fokus tuberkulosis primer bagian lain dari tubuh, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel beru pada selaput otak dan jaringan otak. Meningitis timbul karena tuberkel-tuberkel tersebut pecah, sehingga terjadi penyebaran kuman-kuman ke dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus 4. Meningitis proliferatif Perubahan-perubahan proliferatif dapat terjadi pada pembuluh-pembuluh darah selaput otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis dan panarteritis. Akibat penyempitan lumen arteri-arteri tersebut dapat terjadi infark otak. Perubahan-perubahan ini khas pada meningitis proliferatif yang sebelum penemuan kemoterapi jarang dilihat. Patofisiologi1,2,13 Meningitis TB selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar otak. Fokus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus nasals, traktus gastro-intestinalis, ginjal, dan sebagainya. Dengan demikian meningitis tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran tuberculosis paru-paru.

21

Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak oleh penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa millimeter sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang, tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara mikroskopik tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian lain dari kulit di mana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit, sel-sel plasma, dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul. Penyebaran juga dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia,

bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis, sinus kavernosus, atau spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan arakhnoid, CSS, ruang subarakhnoid, dan ventrikulus. Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa, dan fibroblas. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang subarakhnoid saja, tetapi terutama terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga proses sebenarnya adalah meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus Sylvii, foramen magendi, foramen Luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema papil dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dalam ruang subarachnoid berupa kongesti, peradangan dan penymbatan, sehingga selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula oblongata, dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala akibatnya. Gejala Klinis1,2,13,14 1. Stadium I Stadium prodromal berlangsung kurang lebih 2 minggu sampai 3 bulan. Permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanyak kenaikan suhu yang ringan atau hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, anoreksia, murung, berat badan turun, tidak ada gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Gejala-gajala ini lebih sering terlihat pada anak kecil. Untuk anak
22

yang lebih besar mengeluh nyeri kepala, anoreksia, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur terganggu. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, anoreksia, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi, sangat gelisah. 2. Stadium II Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal terutama pada anak kecil dan bayi. Tanda-tanda ransangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapa menjadi kaku dan timbul opistotonus, terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubunubun menonjol dan muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif menyebabkan anak berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran semakin menurun. Terdapat gangguan nervi kraniales, antara lain N. II, III, IV, VI, VII, dan VIII. Dalam stadium ini dapat terjadi defisit neurologik fokal seperti hemiparesis, hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi. Pada fundoskopi dapat ditemukan atrofi N. II dan khoroid tuberkel yaitu kelainan pada retina yang tampak seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar setengah diameter papil. 3. Stadium III Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh terganggunya regulasi pada disensefalon. Pernapasan dan nadi juga tidak teratur dan terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul. Gangguan miksi berupa retensi atau inkontinensia urin. Didapatkan pula adanya gangguan kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan yang tepat. Penatalaksanan1,2 1. Perawatan umum Pasien harus dirawat di rumah sakit, di bagian perawatan intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai. Perawatan meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi pasien, perawatan kandung kemih dan defekasi, serta perawatan umum lainnya sesuai dengan kondisi pasien. Kebutuhan cairan, elektrolit, serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun saluran pipa hidung. Sementara itu perhatikan adanya hiperpireksia, gelisah atau kejang, nyeri, dan lainnya.

23

2. Pengobatan a. Isoniazid atau INH, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada anak), dan pada dewasa dengan dosis 400 mg/hari. b. Streptomisin, diberikan intra muscular selama kurang lebih 3 bulan, tidak boleh terlalu lama. Dosisnya 30-50 mg/kgBB/hari. Hati-hati karena bersifat autotoksik. Bila perlu pemberian streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS menjadi normal. Sementara itu obat jenis lain dapat diteruskan sampai kurang lebih 2 tahun. c. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari. Pada orang dewasa dapat diberikan dengan dosis 600 mg/hari, dengan dosis tunggal. Pada anak-anak dibawah 5 tahun harus hati-hati karena dapat menyebabkan neuritis optika. d. PAS atau para-amino-salicylic-acid, diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dapat diberikan sampai 12 gram/hari. PAS sering menyebabkan gangguan nafsu makan. e. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari sampai 1500 mg/hari, selama kurang lebih 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan neuritis optika, sementara itu INH dapat menyebabkan polineuritis. f. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah kurang lebih 3 bulan. Namun kortikosteroid dapat membahayakan pasien melalui munculnya superinfeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking effect). g. Pemberian tuberculin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi enzim lisosomal yang menghancurkan eksudat di bagian dasar otak. h. Pemberian enzim proteolitik seperti streptokinase secara intratekal mempunyai tujuan untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat dan tepat, biasanya berhasil setelah 7-10 hari. Secara klinis biasanya ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan gangguan mental. Pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi dikenal dengan triple drug, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya.

24

Prognosis Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Bila meningitis TB tidak diobati, prognosisnya buruk sekali. Pasien dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Selain itu usia pasien juga mempengaruhi prognosis, anak di bawah 3 tahun dan dewasa di atas 40 tahun mempunyai prognosis yang buruk.2 Komplikasi Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.2,13,14 Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal.2,13,14 Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.3,14,15 Pencegahan12,15 1. Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang ditujukan terhadap orang dewasa. Akan tetapi TB anak yang tidak mendapat pengobatan akhirnya menjadi TB dewasa dan akan menjadi sumber penularan. 2. Vaksinasi BCG Pemberian BCG meninggikan daya ahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis yang virulen. Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat. Pemberian vaksin BCG dapat mengurangi morbiditas sampai 74%. BCG biasanya diberikan pada anak dengan uji
25

tuberkulin negatif dan biasanya uji tuberkulin diulangi 6 minggu setelah BCG dan kalau masih negatif dianjurkan untuk mengulangi BCG. Tetapi sekarang dianjurkan pemberian BCG secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin karena cara ini lebih menghemat ongkos dan mencakup lebih banyak anak. Vaksin BCG diberikan intradermal 0,1 ml untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 0,05 ml untuk bayi. 3. Kemoprofilaksis Sebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgBB/hari selama 1 tahun. Anak-anak di bawah usia 4 tahun dari keluarga penderita TBC dan orang-orang dengan risiko besar mendapat infeksi dapat diberikan secara kontinu. Bila terdapat intoleransi dapat diganti dengan rifampisin, maksimal 6 bulan. Disamping itu, dilakukan pula imunisasi BCG. 4. Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup mulut kapan saja ketika di diagnosis TB, merupakan langkah pencegahan TBC secara efektif. Jangan lupa untuk membuangnya secara tepat. 5. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tidur. 6. Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari. 7. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain. 8. Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan. Apabila sudah terdiagnosis TB maka harus menjalani pengobatan secara intensif agar tidak terjadi komplikasi seperti meningitis TB. 9. Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini. Kesimpulan Meningitis adalah suatu peradangan pada selaput otak. Meningitis tuberkulosa merupakan peradangan selaput otak oleh Mycobacterium tuberculosis. Meningitis TB dapat terjadi melalui 2 tahapan, tahap pertama adalah ketika basil M.tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk tuberkel. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran tuberkel sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarakhnoid dan mengakibatkan meningitis.

26

Meningitis TB merupakan bentuk TB paling fatal dan menimbulkan gejala sisa permanen, oleh karena itu dibutuhkan diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan TB ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus TB ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus TB.2 Daftar Pustaka 1. Rachmayati S, Parwati I, Rizal A, Oktavia D. Meningitis tuberculosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 17, No.3, Juli 2011: 159162. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.h.161-3, 183-8. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007.h.37-9. Juwono T. Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek. Jakata: EGC, 2000.h.1-9, 1720. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Neuropsikiatri. Edisi 2011. Diunduh dari http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf, 30 Desember 2012. Japardi I. Cairan serebrospinal. Edisi 2002. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1989/1/bedah-iskandar%20japardi5.pdf, 30 Desember 2012. Seriawati L, Makmuri MS, Asih RS. Tuberkulosis. Edisi 2006. Diunduh dari http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf= 0&pdf=&html=07110-xgdt286.htm, 30 Desember 2012. Mandal A. Meningitis. Edisi 2007. Diunduh dari http://www.newsmedical.net/health/Meningitis-Symptoms-(Indonesian).aspx, 30 Desember 2012. Centers for Disease Control and Prevention. Viral meningitis. Edition July 2007. Downloaded from http://www.state.nj.us/health/cd/documents/faq/viralmeningitis_faq.pdf, 30 December 2012. Dhamija RM, Bansal J. Bacterial meningitis (meningoencephalitis): a review. JIACM 2006; 7(3): 255-35. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 2006.h. 362-3. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008.h.214-26. Thwaites G, Chau TTH, Mai NTH, Drobniewski F, McAdam K, Farrar J. Tuberculous meningitis. Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;68:289-99. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga, 2008.h.125-6. Harijanto PN. Malaria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.2813-19.

2. 3. 4. 5. 6.

7.

8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15.

27

You might also like