You are on page 1of 28

Oleh : Dwita Riadini Agung Manik 092011101067 07700136

Dokter Pembimbing : dr. H. Bambang Indra, Sp.THT


SMF/LAB ILMU KESEHATAN THT-KL RSD. dr. SOEBANDI JEMBER 2013

BAB I PENDAHULUAN
Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan

akan bertambah setiap tahunnya 4710 orang


Menurut WHO (2000), tuli kongenital sebagai salah satu

penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya


Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak

yang akan berdampak luas pada perkembangan anak.


Perlu deteksi dan intervensi secara dini

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Telinga

Irisan membujur koklea

2.2 Fisiologi Pendengaran Getaran suara daun telinga liang telinga menggetarkan membran timpani tulang tulang pendengaran stapes menggerakkan membran foramen oval perilimfa dalam skala vestibuli membran vestibuler mendorong endolimfa mendorong foramen rotundum skala media cembung mendesak endolimfa mendorong membran basal defleksi stereosilia sel rambut depolarisasi sel rambut pelepasa neurotransmiter potensial aksi pada saraf auditorius nukleus auditorius kortek pendengaran di lobus temporal untuk dianalisis.

2.3. Perkembangan Auditorik


Usia 0-4 bulan, kemampuan respons auditorik masih terbatas

dan bersifat refleks. Usia 4-7 bulan, respons memutar kepala ke arah sumber suara. Usia 7-9 bulan, identifikasi tepat ke arah sumber suara Usia 9-13 bulan, melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat. Pada usia 2 tahun , mampu memperkirakan sumber suara.

2.4 Tuli Kongenital 2.4.1 Definisi Tuli kongenital ialah ketulian yang terjadi pada seorang bayi yang disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.

2.4.2 Klasifikasi Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas:7 0-25 dB HL : normal 26-40 dB HL : tuli ringan 41-55 dB HL : tuli sedang 56-70 dB HL : tuli sedang berat 7 1-90 dB HL : tuli berat >90 dB HL : tuli sangat berat

MenurutAmerican National Standart Institute, derajat tuli terbagi atas: 16-25 dB HL : tuli sangat ringan 26-40 dB HL : tuli ringan, tidak dapat mendengar bisikan 41-70 dB HL : tuli sedang, tidak dapat mendengar percakapan 71-95 dB HL : tuli berat, tidak dapat mendengar teriakan >95 dB HL : tuli sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang menyakitkan bagi pendengaran manusia yang normal.

2.4.3 Epidemiologi
Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan

akan bertambah setiap tahunnya 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2 % pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus bertambah mengingat faktor resiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi. WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara

2.4.4 Faktor Resiko


Riwayat keluarga dengan tuli kongenital

Adanya infeksi prenatal : infeksi TORCH


Lahir prematur dan berat badan lahir rendah Persalinan yang sulit dan fetal distress pada saat kelahiran

Ikterus (menyebabkan tuli retrokoklear)


Mengkonsumsi obat-obat ototoksik Adanya infeksi lainnya, seperti meningitis bakterialis

2.4.5 Etiologi

prenatal Infant factor Maternal factor

perinatal Anoxia Prematuritas, BBLR Trauma lahir Jaundice Obat Ototoksik

postnatal genetik Non genetik

2.4.6 Gambaran Klinis Tidak ada respon pada bunyi yang keras pada bayi umur 3-4 bulan atau bayi tidak dapat mengetahui asal dari sumber bunyi. Bayi hanya melihat ketika dia melihat ibu atau orang lain yang berhadapan dengannya, sedangkan dia tidak akan melihat apabila tidak berhadapan dengannya atau meskipun dengan memanggil namanya. Pada bayi umur 15 bulan yang mengalami keterlambatan berbicara, tidak akan dapat mengucapkan kata-kata mama. Bayi atau anak tidak selalu respon ketika dipanggil. Anak-anak dapat mendengar beberapa bunyi tetapi bunyi yang lainnya tidak.

2.4.7 Pemeriksaan Diagnostik Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening) dibedakan menjadi:9 1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS): dilakukan pada semua bayi baru lahir, sebelum meninggalkan rumah sakit. 2. Targeted Newborn Hearing Screening: dilakukan khusus pada bayi yang mempunyai faktor resiko terhadap ketulian.

Skrining Pendengaran :
Automated Otoacoustic Emissions (AOAE)

Automated Auditory Brainstem Response (AABR) atau


Automated Brain Evoked Response Audiometri (BERA) Auditory Steady-State Response (ASSR) Timpanometri Auditory Brainstem Response (ABR) Visual Reinforced Audiometry (VRA) Play Audiometry Conventional Audiometry

2.4.8 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Bayi Joint Committe on Infant Hearing (2000) Untuk bayi 0-28 hari : 1. Riwayat keluarga dengan tuli sensori neural sejak lahir 2. Infeksi masa hamil (TORCHS) 3. Kelainan kraniofasialis 4. Berat badan lahir < 1500gr 5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar 6. Obat ototoksik 7. Meningitis bakterial 8. Nilai apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima 9. Ventilasi mekanik 5 hari lebih di NICU 10. Sindroma yang berhubungan sengan riwayat keluarga dengan tuli sensorineural sejak lahir

Untuk bayi 29 hari - 2 tahun

1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan bicara, berbahasa atau keterlambatan perkembangan. 2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak anak-anak. 3. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan yang erat dengan tuli sensorineural, konduktif dan gangguan tuba eustachius. 4. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural termasuk meningitis bakterial. 5. Infeksi intrauterin seperti toksoplasmosis, rubela, CMV, herpes dan sifillis

6. Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonatus terutama hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) 7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang progresif usher syndrome neurofibromatosis dan osteoporosis 8. Adanya kelainan neurogeneratif (Hunter syndrome) dan kelainan neuropati-sensomotorik seperti Freiderick ataxia, Charrot Marie Tooth Syndrome. 9. Trauma kapitis 10. Otitis media yang berulang dan menetap disertai efusi telinga tengah minimal 3 bulan.

Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan bunyibunyian pada jarak 1 m di belakang anak : Bunyi pss pss untuk menggambarkan suara frekwensi tinggi Bunyi uh uh untuk menggambarkan frekwensi rendah Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekwensi 4000 Hz) Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekwensi 900 Hz ) Suara remasan kertas (frekwensi 6000 Hz) Suara bel (frekwensi puncak 2000 Hz)

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai apabila : Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata

2.4.9 Penatalaksanaan 1. Pengawasan Orang Tua 2. Habilitasi 3. Pengembangan berbicara dan Berbahasa 4. Pendidikan untuk anak tuli 5. Pembedahan

Habilitasi Behind The Ear (BTE) In The Canal (ITC)

In The Ear (ITE)

Completely-in-the-Canal (CIC)

Bone Anchored Hearing Aids (BAHA)

BAB III RINGKASAN DAN SARAN


3.1 Ringkasan Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir dan merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak.

Menurut American Joint Committee of Infant Hearing tahun

2000, gold standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated Otoacoustic Emissions (AOAE) dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR).

3.2 Saran Diharapkan kepada pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani masalah tuli kongenital ini dengan cara : Kesadaran masyarakat meningkat melalui upaya promosi dan prevensi secara bertahap untuk menurunkan faktor risiko kejadian tuli kongenital sampai dengan 50% pada tahun 2015 dan 90% pada tahun 2030. Peningkatan penemuan kasus dini dengan melakukan penyuluhan dan merujuk kasus ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu. Penyediaan sarana habilitasi yang sesuai dengan kebutuhan.

TERIMA KASIH

You might also like