You are on page 1of 15

BAB I LAPORAN KASUS

A. Anamnesis Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Masuk RS : Nn. A : Perempuan : 6 tahun 4 bulan : 25 Oktober 2013

Anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesis pada ibu kandung

Keluhan Utama : Demam Riwayat Penyakit Sekarang Demam sejak 5 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit, tinggi, demam dirasakan naik turun dirasakan terutama pada malam hari siang biasa, tidak mengigil, tidak berkeringat. Muntah sejak 3 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit dengan frekuensi 1 kali, volume + setengah gelas, isi makanan yang diminum. Dirasakan juga rasa tidak enak pada perut. Buang air besar terakhir kali 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Nafsu makan anak menurun sejak sakit. Batuk tidak ada, pilek tidak ada, bercak kemerahan pada kulit, perdarahan pada mulut, gusi, hidung, dan saluran cerna tidak ada. Buang air kecil warna dan jumlah biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu Tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan Tidak ada anggota keluarga dan orang sekitar rumah yang mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan Hygine dan sanitasi rumah dan lingkungan kurang baik.

B. Pemeriksaan fisik Keadaan Umum : tampak sakit sedang Kesadaran : sadar

Tanda vital : Tekanan darah Nadi RR Suhu Status Gizi Tinggi badan Berat badan BB/U TB/U BB/BBTB sekarang Kesan : Gizi kurang Sianosis Edema Anemia Ikterus : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : 100/60 mmHg : 115 x/menit, regular, teraba kuat : 24 x / menit : 37,9 C : kurang : 110 cm : 15 kg : 15/21 x 100% = 71,43% : 110/117 x 100% = 94,02% : 15/18 x 100% = 83,33%

Pemeriksaan status generalis : Kulit Kepala Mata : teraba keringat, rumple leed negatif : bulat, simetris, tidak tampak kelainan : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokhor, ukuran 2mm/2mm, refleks cahaya +/+ Mulut & tenggorokan : faring hiperemis, tonsil T3-T3, lidah tampak kotor, tremor (+) Thorax Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : dalam keadaan statis dan dinamis simetris : fremitus paru kanan sama dengan paru kiri : sonor di kedua lapang paru : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-) : bentuk normal.

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen Inspeksi Palpasi : distensi tidak ada, tidak terlihat membuncit : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor baik Perkusi Auskultasi Ekstremitas : timpani : bising usus (+) normal : akral hangat, perfusi baik : iktus kordis tidak tampak : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V : batas jantung dalam batas normal : irama teratur, regular, bising (-)

C. Pemeriksaan penunjang Darah rutin : Hb : 9,6 gr/dl Leukosit : 3.600/mm3 Hitung jenis : 0/0/9/71/20/0

D. Diagnosis Diagnosis Kerja : Susp. Demam Tifoid Diagnosis banding : Demam Dengue

E. Usulan pemeriksaan penunjang F. Penatalaksanaan - Makanan Lunak Diet Tinggi Protein 1300 kkal/hari - Infus ka-en 1B 14 tetes/menit makro - Parasetamol 150 mg p.o (bila demam, T > 38,50c) - Amoksisilin tablet 3x500 mg Darah lengkap Tes Tubex Uji Widal Kultur Empedu

G. Prognosis Ad vitam Ad functionam Ad sanationam : ad bonam : ad bonam : dubia ad bonam

Follow Up Tanggal 26 Oktober 2013 S/ demam (+), mual (-), muntah (-), menggigil (-), batuk (-), pilek (-), sesak nafs (-) BAB belum ada O/ KU : tampak sakit sedang TD: 90/60 mmHg, nadi 105 x/ menit, RR 24 x/menit, Suhu : 37,8C, Status Internus : tidak ada kelainan A/ Susp.Demam tifoid P/ - Makanan Lunak Diet Tinggi Protein 1300 kkal/hari - Infus ka-en 1B 14 tetes/menit makro - Parasetamol 150 mg p.o (bila demam, T > 38,50c) - Amoksisilin tablet 3x500 mg

Tanggal 27 Oktober 2013 S/ demam (-), mual (-), muntah (-), menggigil (-), batuk (-), pilek (-), sesak nafs (-) BAB ada, normal O/ KU : tampak sakit sedang TD: 90/60 mmHg, nadi 100 x/ menit, RR 26 x/menit, Suhu : 36.7C, Status Internus : tidak ada kelainan A/ Susp. Demam tifoid P/ - Makanan Lunak Diet Tinggi Protein 1300 kkal/hari - Infus ka-en 1B 14 tetes/menit makro - Parasetamol 150 mg p.o (bila demam, T > 38,50c) - Amoksisilin tablet 3x500 mg Tes tubex : positif 1, Kesan : indikasi kuat demam tifoid aktif terapi : kloramfenikol 100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis 4x375mg

Tanggal 28 Oktober 2013


4

S/

demam (-), mual (-), muntah (-), menggigil (-), batuk (-), pilek (-), sesak nafs (-) BAK normal, BAB cukup

O/ KU : tampak sakit sedang TD: 90/60 mmHg, nadi 96 x/ menit, RR 24 x/menit, Suhu : 36.5C, Status Internus : tidak ada kelainan A/ Demam tifoid - Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis 4x375mg - Parasetamol 150 mg p.o (bila demam, T > 38,50c) Tanggal 29 Oktober 2013 S/ demam (-), mual (-), muntah (-), menggigil (-), batuk (-), pilek (-), sesak nafs (-) BAK normal, BAB cukup O/ KU : tampak sakit sedang TD: 90/60 mmHg, nadi 96 x/ menit, RR 24 x/menit, Suhu : 36.5C, Status Internus : tidak ada kelainan A/ Demam tifoid - Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis 4x375mg - Parasetamol 150 mg p.o (bila demam, T > 38,50c)

P/ - Makanan Lunak Diet Tinggi Protein 1300 kkal/hari

P/ - Makanan Lunak Diet Tinggi Protein 1300 kkal/hari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp (lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, B, C

B. Epidemiologi Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

C. Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Gambar 1. Salmonella Typhi

D. Patofisiologi Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus, berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.

Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi. Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

E. Manifestasi klinis Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa infeksi akut pada umumnya yaitu Demam sekitar interminten/remiten Lidah kotor, mulut kering, mual muntah Gambaran gejala saluran nafas atas Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/ hepatomegali Raseola mungkin ditemukan

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa Demam kontinyu Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit) Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung Hepatomegali dan splenomegali, Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan kehilangan nafsu makan Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain: Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi Jika keadaan memburuk: - Disorientasi, bingung, insomnia, - Komplikasi perdarahan dan perforasi.

F. Penegakan diagnosis Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur feses kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan falsepositif terjadi.

Tes Widal Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense
10

Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : a). agglutinin O (dari tubuh kuman) b). agglutinin H (flagella kuman) c). agglutinin Vi (simpai kuman) Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut : 1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O ( 1 : 160) menunjukkan adanya infeksi aktif. 2) Titer H yang tinggi ( 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi. 3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu : 1) Pengobatan dini dengan antibiotik 2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid 3) Waktu pengambilan darah 4) Daerah endemik atau non endemik 5) Riwayat vaksinasi 6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi 7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
11

Kultur darah Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : 1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif. 2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman 3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. 4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat.

G. Penatalaksanaan Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi. Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral. Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir
12

komplikasi. Pengggunaan khloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba. Berikut adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhatikan. Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal, diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan pengawasan .

Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid

H. Komplikasi Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan ekstraintestinal. - Intestinal - Ekstraintestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis.
13

I. Pencegahan - Higiene peorangan dan lingkungan Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan penanganan pembuangan limbah feses.

- Imunisasi Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik. o o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun. Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari (hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.

J. Prognosis Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang terinfeksi dapat kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan S.typhi 3bulan setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko untuk menjadi karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya umur, namun secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi.

14

DAFTAR PUSTAKA

Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and Biologicals. WHO. Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82 Braunwald. 2008.Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th Edition, New York, Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http:// emedicine.medscape.com/article 231135-overview dikunjungi pada 20 Februari 2011. Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi, Maulani RF. Jakarta EGC Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology, Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272 Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI

15

You might also like