You are on page 1of 75

Mozaik satu

Siuman

Di sudut bumi, di tanah yang jarang dipijak.


Dimana hutan, pohon, sungai, dan langit
masih bersahabat dengan penghuninya.
Ketika hukum rantai makanan masih berlaku.
Elang memakan ular, ulra memakan katak
dan katak memakan ikan. Di tempat itu hanya
ada satu rumah panggung yang diisi oleh
sepasang suami istri. Dan kamu harus tahu
kawan, disana lah aku berada saat ini.

“Udah siuman encep?” kata abah Ucup


sang pemilik rumah.

“Alhamdulillah. Ambu! Coba ambilkan


air buat si encep, dia sudah siuman!”

“Cepetan atuh ambu!”

“Ya sabar atuh si Abah teh, kan ambu


udah usaha buat cepet-cepet ini teh”, ambu
Elis membela.

Aku merasakan pusing yang sangat


hebat, badan yang rontok dan kebingungan
yang tak terkira. Dimana aku? Mereka siapa?
“Encep ayo diminum dulu air nya!”
abah Ucup membantuku duduk dan
memberiku minum.

“Encep tenang saja! Encep aman di


rumah abah sekarang. Waktu itu abah nemuin
encep pingsan di pinggir sungai. Langsung aja
abah bawa ke rumah ini.”

“Iya. Ambu kasihan sekali liat encep


yang luka-luka. Tangan dan kaki kanan patah.
Tapi untungnya sekrang sepertinya sudah
baikan.” Ambu Elis menambahkan.

“Encep ini pingsan udah 30 malam.”

30 malam? Selama itu? Aku tak


percaya. Yang kuingat hanya kejadian yang
menakutkan itu. Bis yang kutumpangi dan
teriakan para penumpang. Bis itu lepas
kendali dan menabrak pembatas jembatan
Cisokan. Ya. Hanya itu yang aku ingat.

“Ambu! Abah! Makasih banyak sudah


ngerawat aku. Aku gak tau harus gimana
ngebalasnya.”

“Si encep ini. Gak usah ngomong kaya


gitu! Abah sama ambu sudah seneng liat
encep siuman. Encep itu ngingetin abah sama
anak-anak abah yang lagi pesantren di

72
Banten. Mereka teh pulang nya setahun
sekali. Pas lebaran idul fitri aja.”

“Makasih!”

“Alah si encep ini makasih mulu.


Sekarang encep pasti lapar. Ayo sekarang
mah kita makan saja. Ayo!” Ambu
mengajakku beranjak ke dapur untuk makan.

“Mohon dimaklum. Disini jauh kemana-


mana, jadi makannya seadanya aja. Abah
sama ambu Cuma makan dari hasil kebun dan
sungai. Ayo encep makan yang banyak!
Anggap aja ini rumah sendiri.”

Hatiku remuk. Ingin sekali kumenangis,


namun kusembunyikan kecengenganku itu
untuk sesaat. Ambu dan abah baik sekali
kepadaku. Padahal mereka tidak mengenalku.
Ku ucap syukur yang tak terkira kepada Illahi
Rabbi. Alhamdulillah.

72
Mozaik Dua

Keluarga Abah Ucup

Bumi masih gelap ketika aku terbangun.


Dilangit, diujung, masih tampak bulan sabit
tergantung berada diantara bintang
gemintang. Menjadi benda terbesar diangkasa
karena jaraknya yang paling dekat dengan
bumi. Namun secara kenyataan, bulan
meruapakan benda terkecil bila dibandingkan
dengan yang lain.

Burung-burung sudah meninggalkan


sarang nya. Mereka terbang mengitari
tanaman padi darat, mencari makan agar
nanti malam bisa tidur dengan nyenyak.

Aku melangkah dengan hati-hati,


karena rumah panggung ini tidak memiliki
lampu listrik. Bukan karena abah ucup tidak
mampu membeli lampu, tapi karena tidak ada
pasokan listrik ke rumah ini.

Blugggg....

“Upsh...”

72
Aku menabrak kursi. Sakit sekali. Tapi
kucaba untuk ditahan. Aku takut abah dan
ambu nanti terbangun. Dan aku berusaha
secepat mungkin meloncat melewati tangga
menuju halaman.

Di Timur aku melihat cahaya kebiru-


biruan pertanda pagi akan segera datang.
Aku menuju sungai untuk menunaikan
hajatku.

“Aghhh.... lega.”

Sakit perut ini aku tahan dari tadi


malam. Aku takut ke sungai sendirian dan
malu bila harus meminta antar abah Ucup.
Dan baru berani ketika ayam jantan mulai
berkokok.

Kongkorongokkkkk ......

Tak terasa hari ini sudah seminggu setelah


aku siuman. Dan aku mulai dekat dengan
keluarga abah Ucup dan istrinya ambu Elis.
Mereka tinggal di tengah hutan, menjaga
tanah mereka dan berkebun.

Tidak memiliki tetangga dan hanya


hidup berdua. Kedua anaknya, Ujang dan Icih,
mereka berdua sekolah di pesantren Daarul
Jannah di Banten. Kata abah Ucup, pendidikan

72
itu penting. Dia tidak mau kedua anaknya itu
seperti dia, hidup jauh dari masyarakat lain
hanya untuk bertahan hidup.

Dia ingin kedua anaknya menjadi


Mubaligh dan Mubalighoh. Mengabdi kepada
Allah dan masyarakat. Menjadi salah satu
pemegang panji kebenaran ketika bumi ini
sudah kacau.

Di rumah panggungnya terpajang foto


presiden Indonesia yang berkuasa selama 32
tahun. Bapak Soeharto. Sudah tua. Sama
seperti abah Ucup yang sekarang berusia 55
tahun. Ketika kutanya, kenapa foto itu masih
dipajang? Abah hanya menjawab sembil
tersenyum, pak Soeharto lah yang telah
ngasih abah tanah ini. Mana ada coba
presiden sekarang yang baik kaya beliau?
Makanya abah sama ambu gak mau ganti foto
itu. Foto itu keramat. Yang jelas sih abah
sama ambu gak tau presiden sekarang itu
siapa.

Jarak rumah dengan sungai cukup


dekat. 10 meter. Sering sekali kutatap sungai
itu. Tidak terlalu bersih tapi tidak juga kotor.
Sungai ini yang membawaku ke sini.
Dipertemukan dengan suami istri berhatikan
malaikat.

72
Untuk minum ambu tidak mengambil
dari sungai itu, tapi dari anak sungai yang
mengalir dari bukit belakang rumah. Airnya
bersih, dingin dan bisa langsung diminum.

Dapur rumah ini kotor sekali. Atapnya


hitam. Tidak ada kompor minyak apalagi gas
elpiji. Untuk memasak, ambu hanya
mengandalkan kayu bakar yang dikumpulkan
dari hutan. Aku terkadang sering melihat
ambu mengeluarkan air mata ketika meniup
bara api agar menyala, dan terkadang batuk
sesekali.

Taukah kawan? Hari ini aku akan membantu


abah buat mencari ikan. Caranya sangat
primitif. Hanya mengandalkan sebilah bambu
yang diruncingkan ujungnya. Tapi jangan
salah. Hanya dalam waktu 10 menit saja abah
sudah mendapatkan 3 ekor ikan gurame. Dia
pemburu yang hebat.

“Abah! Kenapa Cuma 3 ikan aja?


Padahal abah kan bisa dapat lebih dari tiga.”
Tanyaku.

“Kita kan hanya bertiga. Buat apa ikan


banyak-banyak. Klo masih mau nanti bisa kita
nangkap lagi. Tapi kan takutnya enggak
kemakan. Klo enggak kemakan nanti

72
mubadzir. Dan klo mubadzir kan golongan
syetan.” Abah menjelaskan dengan senyuman
khasnya.

Sungguh mulia suami dari wanita yang


berumur 35 tahun ini. Kekagumanku semakin
menjadi ketika melihat mereka sedang
berdua. Sesekali aku melihat abah meberikan
bunga liar yang tumbuh dipekarangan kepada
ambu. Entah apa nama bunga itu. Tapi yang
pasti ambu menerimanya dengan senyuman
yang sangat lebar.

Dan suatu ketika, ketika aku berada di


rumah. Duduk sendiri. Aku kaget karena
melihat abah dan ambu sedang bernyanyi
dan menari di kebun. Mereka seperti aktor
dan aktris India di filem-filem. Di tangan
kanannya, abah memutar topi kerucut yang
terbuat dari bambu, sedangkan tangan kirinya
memegang tangan ambu. Dia bernyanyi.

Lalu ambu dengan malu-malu menutup


wajahnya dengan selendang. Seakan berkata,
ayolah abah, bukalah ni selendang dan
lihatlah siapa yang memakainya! Atau
mungkin ambu akan berkata, hai cowok
godain aku dong!

Berlari, kejar-kejaran dari satu


pematang ke pematang lain. Lalu ketika lelah,
mereka duduk di bawah pohon jambu air yang

72
sangat lebat. Dengan gentle abah
mengeluarkan sebuah ketepel, dan seakan
dia berkata kepada ambu, wahai adinda,
lihatlah kakandamu ini! Kan
kuperesembahkan sebuah jambu air merah
yang ranum. Aku yakin adinda akan senang
memakannya.

Abah mengambil ancang-ancang.


Dipungutnya krikil kecil dan mulai mengeker
gerombolan jambu di atas.

Abah semakin bersemangat ketika


ambu berkata, ayo kakanda, kamu bisa!
Cayo! Cayo!

Plushhhh ....

Brukkk ....

72
Mozaik Tiga

Rencana

Matahari sedang berada diatas ubun-ubun.


Aku duduk diatas tangga. Baju yang kupakai
basah kuyup oleh keringat. Aku membantu
abah menggembala kambing dan itik. Abah
memilki 4 kambing, 11 itik, 6 ayam dan
seekor lutung.

Hitler nama lutung itu. Abah


menamainya karena pernah mendengar dan
melihat Hitler dari kotak gambar yang
bergerak, Tv. Mendengar nama Hitler ketika
menjemput kedua anaknya di Cililin. Menurut
abah Hitler sangat lucu karena memiliki kumis

72
yang sedikit dan memakai celana yang
setengah panjang. Sungguh aneh, ceritanya
sambil tertawa.

Untuk ke Cililin membutuhkan 3 hari 2


malam dengan berjalan kaki. Karena melewati
bebukitan. Tapi bisa juga ditempuh hanya
dengan 2 hari 1 malam dengan jalan pintas.
Tapi sangat berbahaya karena harus melewati
jurang yang dalamnya 115 meter.

Di kejauhan abah memanggilku. Dia


menyuruhku agar juga membawa Hitler. Kali
ini aku diajarkan memanjat pohon kelapa.
Sungguh menyiksaku. Dadaku sesak. Aku
takut ketinggian. Bayangkan saja, tinggi
pohon kelapanya 18 meter. Pyuh...

Abah memaksaku, aku tak bergeming.

“Masa mau kalah sama monyet?” sindir


dia.

Masa bodo. Aku mebisu. Aku membatu.


Abah meyakinkanku, membujukku, merayuku,
meberikan bunga. Ihhhhh.... emang eke
cowok apaan, pikirku.

Abah menyerah. Aku tersenyum,


seperti pejuang yang berhasil
mempertahankan wilayah NKRI dari kompeni
Belanda. Didalam hati aku berteriak,

72
MERDEKA! MERDEKA! MERDEKA! Lalu
tersenyum lagi. Hahaahah....

Abah melihatku jengkel. Lalu dia naik


pohon itu.

Bluggggg.....

Sebuah kelapa tepat jatuh 50 cm di


sampingku. Aku kaget, kepalaku pusing, aku
ketakutan, kehilangan keseimbngan, lalu aku
terjatuh dan tak sadarkan diri.

Aku tersadar dari pingsanku. Ambu


mengkompres kepalaku dengan air hangat.
Sungguh melegakan. Disudut lain, aku
melihat abah sedang tersenyum kebanggan
karena telah membalasku. Di dalam hatinya
dia mungkin berkata, rasakan itu bocah
tengik! Masih mending tidak kupecahkan
kepala tololmu itu. Berani-berinanya kamu
membantah perintahku buat memanjat
kelapa. Hahaahah....

“Encep tidak apa-apa? Alhamdulillah.


Untung tidak kena kepala. Klo kena kepala
bisa pingsan 30 hari lagi.” Abah menanya
keadaanku dengan aura kebapak-annya
sambil tersenyum khas.

72
“Ah, abah ini bisa aja. Aku gak apa-apa
kok”.

Pikiranku tentang abah berubah, aku


pikir abah sengaja menjatuhkan kelapa itu.
Setelah ambu menjelaskan, ternyata Hitler
yang menjatuhkan kelapanya. Huh... dasar!

“Encep! Ni barang-barang encep.


Sepertinya sudah waktunya encep pulang ke
rumah. Abah yakin keluarga encep pasti
hawatir sama keadaan encep. Maaf! Abah gak
bermaksud mengusir encep”

Sebuah dompet dan baju yang bersih


disodorkan kepadaku. Kubuka dompet ku itu.
Masih komplit. Aku melihat foto ayah dan
ibuku. Tak terasa air mata ini mengalir. Aku
rindu mereka. Rindu adik-adikku.

Lalu aku tertegun pada selembar foto


yang lain. Foto gadis pujaanku. Aku teringat,
aku berada di bis itu hendak menemuinya.
Hendak memberikan boneka bear. Ah... aku
merindukannya juga. Aku merindukanmu,
Rani Sri Handayani.

“Terima kasih abah dan ambu. Ada


baiknya aku besok saja berangkat pulang.

72
Tapi klo tidak keberatan aku minta sedikit
perbekalan buat di perjalanan.”

“Encep jangan hawatir. Ambu bakalan


siapin nasi sama ikan kesukaan encep.
Sekarang mendingan encep salat dulu, habis
itu tidur biar besok gak kesiangan.”

“Iya ambu. Aku mo salat dulu.”

Mozaik Empat

Bolang Sang Petualang

“Hati-hati!”, pesan abah dan ambu.

Hari ini adalah saatnya aku harus


meninggalkan keluarga abah Ucup. Setelah
60 malam tepatnya aku berada di rumah ini.
Aku sedih, air mataku mengalir. Kutahan,

72
tetapi semakin menjadi. Ingusku keluar dari
hidung, air mata membasahi pipiku, aku peluk
mereka seperti kupeluk kedua orang tuaku.
Mereka adalah malaikat bagiku, aku
berterimakasih kepada mereka.

Ku ingat semua pesan dari abah ucup


agar bisa sampai ke desa terdekat. Ku
perhatikan setiap ditel dari daerah-daerah
yang berbahaya. Ku simpan memori tentang
tumbuhan yang bisa dimakan dan cara
berburu jitu ‘ala abah.

Ku jinjing perbekalan yang ambu


siapkan semalam. Semuanya tersimpan di
karung ghoni. Cukup berat dan sepertinya
cukup buat perjalanan 2 hari satu malamku.
Seperti yang ambu janjikan, dia membekaliku
dengan nasi serta ikan mujaer bakar
kesukaanku. Serta 13 potong pisang ambon
dari kebun dan satu liter air yang diisi dalam
botol aqua bekas.

Kutatap mereka untuk terakhir kalinya.


Aku berlari, tak kuasa diriku melihat mereka.
Ku dengar jeritan burung-burung pagi
menghinaku. Dasar cengeng kamu, Maliq!

Bila ingin sampai di desa besok sore,


aku harus melewati jurang terjal. Dari sini aku
hanya harus terus berjalan menuju barat.
Hanya mengikuti saja kemana matahari akan

72
tenggelam. Dan semoga aku bisa sampai ke
Goa yang abah maksud sebelum senja tiba.
Agar aku bisa berlindung dari dinginnya
malam.

Aku berjalan seharian. Aku lelah. Kurebahkan


badanku di batang pohon yang sangat besar.
Ku makan perbekalanku. Nasi timbel dan ikan
mujaer. Lalu untuk dessert, kumakan
sepotong pisang. Nikmat.

15 meter dariku, berkumpul


segerombolan lutung liar. Mereka tertarik
dengan barang bawaanku. Kudekap erat-erat
karung ghoniku. Tetapi mereka semakin
menjadi, berteriak dan mengitariku.

Aku terkepung oleh gerombolan lutung


ini. Aku ketakutan tapi kucoba untuk
melawan. Ku keluarkan golok pemberian
abah, tapi percuma. Sekarang lutung-lutung
sialan ini melempariku dengan batu. Aku
mundur dan menjauh. Aku menyerah,
kuserahkan barang bawaanku.

Mereka puas, berebut pisang yang


berada di karung ghoniku. Mereka
meremehkanku, rasakanlah itu manusia
bodoh! Ini adalah daerah kekuasaan kami.
Setiap yang melintas harus membayar pajak.

72
Dan kamu, manusia keras kepala, sudah
saatnya kamu membayar pajakmu.

Setelah puas merampas semua


perbekalanku dan melecehkanku. Mereka
meninggalkan karung ghoni itu dengan
tercompang-camping. Raib. Semua
perbekalan habis oleh mereka. Dasar
binatang tak berotak!

Ku teruskan perjalananku. Hingga akhirnya


aku sampai di goa yang abah maksud. Tidak
terlalu besar, tapi cukup untuk beristirahat. Di
dalam goa ini ada batu besar seperti tempat
peristirahatan. Seperti dipan panjang.

Ku kumpulkan ranting-ranting kecil


untuk membuat api unggun, ini pesan abah
agar aku terjaga dari binatang buas ketika
aku terlelap.

Senja menjadi malam, suara burung


gagak membuat bulu halus di pundaku
berdiri. Angin malam menggoda dedaunan
untuk bernyanyi.

Sssssssssss......

Ku dekatkan tubuhku ke perapian.


Hangat. Tapi aku kelaparan. Perbekalanku

72
habis dirampok. Entah kemana aku mencari
makanan.

Kupejamkan mataku, siapa tahu bisa


melupakan rasa laparku. Tapi ternyata tidak
membantu sama sekali. Kupegang perutku,
kutekan, lalu kutekan lebih keras dan lebih
keras.

Lalu disaat aku terlelap. Ada sesuatu


yang merayap di kakiku. Benda itu melilit.
Kubuka mata perlahan. Aku terperanjak. Aku
berusaha tenang. Ular yang sangat besar
melingkar di kaki.

Ku berusaha tidak gegabah. Sedikit


saja mengagetkan ular itu, aku bisa mati.
Panjang ular itu 5 meter, dan besarnya
sebesar pahaku. Kepala ular itu berada di
dekat perapian. Sepertinya dia kedinginan.

Perlahan tapi pasti, kucabut golok di


pinggang. Tapi terlambat, ular itu sadar
dengan gerakanku. Tubuhnya dengan kuat
mulai melingkari pahaku, lalu perutku.
Kepalanya tepat di depan kepalaku.

Ku cekik kepalanya dengan tangan


kiriku, lalu dengan cepat kuayunkan golokku
dengan tangan kanan.

Preng....

72
Golokku terlempar. Ekor ular itu
mengibas di tangan kananku. Aku kesakitan.
Ular itu semakin menjadi. Kepalanya kian
mendekati kepalaku. Ku coba menahannya.
Giginya tajam. Sekali saja tersengat. Aku akan
mati dalam hitungan detik.

Aku menggulingkan badan menuju


golok yang berada di dekat perapian. Kini aku
seperti The Rock bergulat melawan Triple-H.
Aku mencekik ular itu. Tapi kemudian ular itu
menggulingkan badannya dan melilitku
semakin kencang. Aku sulit bernapas.
Peredaran darah ke otakku berkurang. Pacuan
jantungku semakin kencang.

Slesh...

Kepala ular itu putus. Tak percaya.


Darahnya mengguyur badanku. Aku berdiri
dan menuju mulut goa. Aku ketakutan. Entah
darimana aku memiliki keberanian tadi. Agh...

Ku segera pergi dari goa tadi. Malam ini


bulan sedang purnama. Jalanan terang. Ku
berjalan dan terus berjalan. Sesekali berlari,
lalu berjalan lagi.

Entah hanya ilusi atau kenyataan. Aku


mendengar suara Adzan Subuh. Aku berlari
menuju suara itu. Aku berharap akan

72
menemukan desa pertama. Aku tak percaya.
Aku sampai desa lebih cepat dari perkiraan.

Mozaik Lima

Warteg Pasti Kenyang

72
“Asalamu’alaikum Warahmatullah ....”

Ku ucap syukur tak terkira. Rasa takut


dan lelah setelah pergulatan dengan ular tadi,
hilang. Euforiaku mengalahkan rasa lelah itu.

Aku merebahkan tubuhku setelah


melaksanakan shalat subuh berjamaah. Aku
telah sampai di Desa Sumur Bandung. Desa
yang abah Ucup maksud. Dari sini aku harus
naik angkutan sayur menuju pasar pukul 6
nanti. Masih ada waktu 30 menit.

Seorang supir menghampiriku.


Menanyakan apa aku mau ikut serta dalam
rombongan angkutan ini atau tidak.
Kedatangan supir ini tidak aku sia-siakan. Aku
mengutarakan niatku untuk pulang ke Cianjur.
Supir itu dengan senang hati menjawab setiap
pertanyaanku.

“Ayo mari! Mobilnya mau berangkat.”

Supir itu mengajakku untuk segara naik


mobil “Kol Bak”. Aku duduk di belakang.
Berjubel bersama ibu-ibu penjual sayur.

Selama perjalanan tak ku ucapkan


sepatah kata pun. Angin mempermainkan
rambutku yang mulai gondrong. Kusisir
dengan jari agar tidak menutupi penglihatan.

72
Mentari pagi mulai bersinar, menyapa kaum
miskin yang berada di kendaraan butut ini.

Kecepatan mobil ini tidak konsisten.


Terkadang melaju diatas 80 kilometer per jam.
Tetapi kebanyakan hanya 10 kilometer per
jam. Jalanan yang berlubang dan tergenang
air adalah penyebabnya.

Sayuran-sayuran ini akan dijual di Pasar


Induk Cililin. Dari sana lah aku harus
meneruskan menggunakan Elef, tujuannya
adalah pasar Ciroyom.

Pasar Induk Cililin merupakan pusat penjualan


terbesar di Cililin. Pasar tradisionil yang masih
kental dengan teori tawar-menawar. Semua
kebutuhan rumah tangga, sembako sampai
pakaian dijual disini.

Sayur-mayur dan buah-buahan dijual di


wilayah utara. Daging-dagingan dujual
disebelah timur. Pakaian dan perabotan
rumah tangga, seperti kompor, citel, spatula,
ember, gayung, coet, dijual disebelah barat.
Sedangkan macam-macam yang tidak
termasuk katagori diatas, dijual di wilayah
selatan.

72
Aku menghampiri salah satu warung
makan, “Warteg Pasti Kenyang”. Cacing-caing
diperutku sudah berdemo sejak tadi malam.
Imbas dari perampokan biadab oleh lutung-
lutung kemarin. Kupilih idam yang tidak
terlalu mahal tapi besar, yang kira-kira
mampu menahan cacing-cacing ini untuk
tidak berdemo lagi sampai nanti malam.

Seperti otomatis, mataku langsung


tertuju ke-sebuah daging sebesar telapak
tangan yang digoreng kering. Selain besar,
harganya Cuma 2000 rupiah. Tambah nasi,
sayur dan air, maka semuanya jadi 5000
rupiah. Cukup murah untuk makan dengan
daging.

Tanpa pikir panjang, aku langsung


pesan dan langsung makan dengan lahap.
Rasanya aneh, tapi enak. Penasaran dengan
daging yang murah. Aku iseng-iseng nanya
sama penjaga Warteg Pasti Kenyang tentang
daging itu.

“Ooohhh... itu daging biawak Kang!”


jawabnya enteng.

Woeekkkk.....

Aku muntah, semua makanan yang


telah aku makan, semuanya keluar. Mataku

72
merah menahan perih. Tapi wajahku lebih
merah lagi menahan malu.

Semua orang memandangku jijik.


Kubayar dan bergegas pergi. Belum sempat
melangkahkan kaki. Kuinjak muntahku sendiri.

Brugg.....

Aku terpelset di muntahan. Bajuku


semua penuh dengan muntah, apalagi
celanaku. Kucoba untuk berdiri.

Brugg....

Aku terjatuh untuk kedua kalinya. Kini


giliran wajahku yang kena muntah. Sampai
masuk hidung dan mulutku.

Woekkkk.....

Mozaik Enam

72
Elef

Aku cuci bersih semua badanku. Tak ‘kan aku


biarkan muntahan biawak itu menempel
dikulitku dan rambutku. Ku bilas rambutku
berulang-ulang, seperti tidak percaya bahwa
kepalaku telah bersih.

Ku gunakan pakaian yang telah aku beli


sebelum aku mandi tadi. Tak ingin lagi ku
mengingat kejadian di Warteg Pasti Kenyang.
Apalagi untuk menginjakan kaki lagi ke sana.
No way!

Pangkalan elef berada di samping


pasar. Aku melihat ada 3 unit mobil.
Semuanya berbaris menunggu giliran
penumpang mengisi tiap elef hingga penuh.

Kini aku berada di salah satu mobil


butut tadi. Interiornya amburadul. Warna yang
awalnya cerah menjadi gelap. Jok nya sudah
berlubang karena keisengan penumpang. Di
kaca depan terdapat tulisan JABLAY.
Sedangkan sebagai penghibur, supir memutar
siaran radio lokal, Dangdut FM.

Dari jauh aku melihat kondektur sedang


menuntun nenek tua. Dipundaknya ada
karung yang mungkin berisi beras. Nenek tua

72
itu hanya diam, matanya penuh kepiluan.
Entah apa yang dia rasakan.

Kini elef butut ini akan berangkat,


karena sekarang sudah penuh. Supir
menyalakan mesin, suaranya bising, sehingga
nyanyian Ridho Rhoma yang berdendang dari
radio kalah kerasnya.

Seorang ibu di depanku memukul-


mukul kap mobil, pertanda memaksa agar
mobil segera dijalankan. Mulutnya komat-
kamit, tangan kanannya menggerakkan kipas
tangan hadiah dari kawinan, karena di kipas
itu aku melihat tulisan “Mila dan Alim” 12 Juli
2007, mohon doa restu. Sedangkan tangan
kirinya mengelap keringat yang bercucuran di
lehernya.

Di belakangku, ada sepasang suami


istri yang sedang kepanasan juga.
Dipangkuan wanita itu ada bayi kecil, bayi itu
sedang tertidur, lucu sekali. Pipinya tembem
dan juga berwarna merah. Hidungnya
mancung, matanya bulat, alisnya lebat dan
rambutnya hitam lekat. Sungguh tampan.

Pasangan itu sesekali saling


bertatapan, seraya bertasbih dan berucap
syukur karena telah dikaruniai anak. Ku
melihat kedamaian di pasangan ini. Pakaian
gamis yang dipakai sang istri dan koko putih

72
yang dikenakan suaminya, membuatku
kagum. Di saku depan koko itu aku melihat Al-
Qu’an yang tersempil keluar. Subhanallah.
Maha Suci Allah.

Selebihnya, diisi oleh mahasiswa-


mahasiswa yang sedang mengenyam
pendidikan di UIN, Universitas Islam Negeri
Bandung. Pembicaraan mereka menegeaskan
bahwasanya mereka adalah orang yang
intelek dan berwawasan.

“Menurut Tamim, Barat telah


memodifikasi sisitem syura dalam Islam
menjadi demokrasi. Tapi, menurut Sohail
Mahmud, praktik demokrasi ini dalam
sejarahnya selalu saja bermasalah. Akibatnya,
di antara umat Islam ada yang menerima dan
ada yang menolak.”

“Itulah sebabnya, Yasar Yakis, Ketua


Komisi Uni Eropa pada parlemen Turki,
berpendapat kita tidak dapat menyimpulkan
bahwa Islam sesuai dengan demokrasi hanya
karena adanya prinsip syura. Kita juga tak
bisa menyimpulkan bahwa demokrasi tidak
bertentangan dengan Islam meskipun di
dalam demokrasi terdapat makna kebebasan,
kejujuran, dan keterbukaan.”

Pembicaraan mereka sangat menarik


untuk disimak. Demokrasi Islam, Pendidikan,

72
Zinah, Bab Nikah, Hak Waris, PKS, Ahmadiyah,
sampai issu tentang Islam dan Terroris mereka
bahas.

Aku memposisikan tubuhku senyaman


mungkin, karena semalam aku tidak bisa
tidur. Perjalanan ke Ciroyom cukup memakan
waktu, 4 jam perjalanan. Namun selama itu
pula aku tidak bisa sedetik pun terlelap. Aku
terlalu berhasrat segera sampai ke rumah.
Menemui orang tuaku, adik-adikku dan
keluargaku.

72
Mozaik Tujuh

Kereta Baja Yang Rapuh

Salah satu kendaraan massa adalah Kereta


Api. Kendaraan baja ini sangatlah berat.
Melaju diatas rel yang melentang panjang dan
dikemudikan oleh seorang Masinis.

Revolusi kendaraan ini sangat lah luar


biasa. Dulu kereta api menggunakan bahan
bakar kayu, batu bara, solar, listrik dan
sekarang ini bahkan ada yang menggunakan
cahaya matahari sebagai sumber tenaganya.

Selain efisien waktu karena tidak


pernah terkena macet, kendaraan ini pun
ekonomis. Di Eropa kendaraan ini digunakan
sebagai salah satu transportasi penghubung
antar negara, di Jepang Kereta Api melaju
dengan kecepatan yang luar biasa dan di
Singapura kereta api merupakan transportasi
termurah.

Tapi kawan, kali ini, ‘kan kuceritakan


kereta api yang saat ini kutumpangi.
Namanya Kereta Lokal Cianjur-Ciroyom.

Kereta Lokal Ciroyom-Cianjur


merupakan kendaraan masyarakat miskin,

72
dan tentu aku berada didalamnya. Kereta ini
terdiri dari tiga susun. Lokomotif, gerbong
pertama dan gerbong kedua. Lokomotif hanya
diisi oleh Masinis dan asistennya. Sedangkan
gerbong pertama dan kedua diisi oleh para
penumpang dan kondektur.

Setiap gerbong hanya mampu


menampung penumpang sebanyak 90 tempat
duduk dan 250 orang yang berdiri. Jadi jumlah
keseluruhan penumpang adalah 680, full.

Disadari mapun tidak, PT. KAI


merupakan BUMN yang paling kering. Jadi
mau tidak mau, para penumpang yang tidak
memiliki tiket diperbolehkan menumpang
dengan syarat harus membayar 1000 rupiah,
nett. Dan disini kondektur lah yang berkuasa
dan paling kaya.

17.00 wib. Pertanda perjalanan kereta 2


gerbong ini akan dimulai.

Tut...... tut......

Kereta pun bergerak. Dan penderitaan


ku pun dimulai. Tahu kah kawan? Pada musim
liburan seperti hari ini. Isi kereta bisa sampai
1000 penumpang. Dan diantara 1000
penumpang hari ini, terjepitlah diriku yang
kurus, kering dan kelaparan karena

72
kebiadaban daging biawak yang aku
muntahkan tadi. Huh.....

Sepertinya kereta ini tidak pernah


mendengar kata “Over Loaded”. Sehingga
ada aturan yang tidak tertulis, “Selagi bisa
masuk, masuklah!”.

Aku mengerti, kenapa kereta butut ini


diminati masyarakat miskin seperti aku. Pada
keadaan penuh seperti sekarang ini,
kondektur hanya akan diam di ruangannya
saja. Sehingga aku dan yang lain tidak akan
ditagih karcis. Maka kereta ini menjadi
kendaraan yang geratis.

Tapi tentunya, segala sesuatu yang


geratis harus ada pengorbanannya. Dan disini
lah kamu akan melihat pengorbananku.

Setelah sekuat tenaga bergeser.


Ternyata aku mampu bergerak dan mulai
tidak terjepit. Namun entah kenapa di
Statsiun Rajamandala penumpang bertambah
lagi, sehingga PW-ku, posisi wenak yang aku
usahakan tadi menjadi siksaan yang amat
teramat berat.

“Aw.....”

Kakiku terinjak oleh searang ibu


gendut. Ukurannya sih mungkin Cuma 125 kg.

72
Namun injakannya seperti digilas Stum. Sakit
sekali.

Belum cukup dia menginjak kakiku. Kali


ini dia mendempetku sehingga ketiaknya
tepat didepan hidungku.

Woekkk......

Bau busuk ketiaknya luar biasa. Seperti


bau sampah yang ditimbun selama berabad-
abad. Bau itu kini mulai meracuniku, aku tak
kuasa. Ingin pindah, tapi itu tidak mungkin.
Untuk menolehpun sulit, apalagi untuk
melangkah. Ah.... biadab.

Seperti tidak puas mendzolimiku. Kini


perempuan gendut itu kentut dengan
bebasnya.

Tuuuttttt......

Brot..... Bretttt..... Brott.....

“Anjrit!” salah seorang berteriak.

Woekkkkk......

Seorang bocah disamping wanita


gendut itu muntah mengenai bajunya. Aih......
jijay. Wanita itu komat kamit. Mencibir dan
sesekali menyumpahi orang yang
menghadiahinya muntah.

72
Tapi taukah kawan? Kini aku lega.
Dendamku telah terbalaskan.
Hahaahahahah...... aku bahagia. Rasakanlah
itu wahai Buta Ijo! Lancang benar kamu
menginjak kakiku. Selain itu sebaiknya kamu
semen saja ketiakmu agar bau busuk sampah
itu tidak menyebar. Dan kentut biadabmu itu,
kapan-kapan kamu sekolahkan agar tidak
seenaknya saja keluar! Hahay....... rasakanlah
itu!

72
Mozaik Delapan

Surga Ditelapak Kaki Ibu

Cianjur. Kota kecil yang asri dan damai. Kota


yang memiliki bahasa Sunda yang paling
halus seantero Pasundan ini kini mulai
terlelap. Toko-toko disepanjang Jalan Raya
mulai tutup, menyisakan pedagang kaki lima
disalah satu sudut kota.

Setibanya di statsiun Cianjur tadi, aku


bergegas berjalan menyusuri trotoar yang
sepi. Masuk keluar gang dan kemudian tibalah
aku didepan rumahku. Rumah yang aku
tinggali lebih dari 18 tahun. Yang menyimpan
beribu kenangan.

Air mataku mengalir. Rasa rindu yang


dahsyat bergelora di jiwaku. Mulutku rapat tak
bisa berucap. Didalam hatiku aku bersyukur
tak henti-hentinya.

Dari jauh aku melihat seorang wanita


sedang duduk di teras. Umurnya kini 43

72
tahun. Orang yang sangat aku sayangi. Dialah
ibuku.

“Ibu!”

Aku berlari menghampirinya. Kupeluk


dan kucium kakinya. Aku menangis terisak
dipangkuannya.

Maliq! Hanya kata itu yang keluar dari


mulut ibuku. Dia menangis terisak, lebih keras
dari isakanku. Mencium keningku dan
menyisir rambutku.

Kita tenggelam dalam kerinduan.


Kuucap Tasbih, Tahmid, Takbir dan Tahlil.
Subhanallah, Walhamdulillah, Wallahu Akbar,
Walaa Ilaha Illallah.

72
Mozaik Sembilan

Family

Kepulanganku tersebar dengan cepat. Orang-


orang menggapku bangkit dari kematian, mati
suri. Hal ini karena waktu itu keluargaku
menguburkan seorang jenazah. Ah. Entah
apalah maksudnya. Aku pun tak mengerti.
Namun yang pasti aku masih sehat wal afiat
sekarang ini.

Tetangga, kerabat dan sahabat


menjengukku. Menonton seorang “Zombi”
sambil bertanya ini itu. Aku dengan antusias
menjawab semua pertanyaannya.

Aku menceritakan setiap kejadian dan


para malaikatku, Abah Ucup dan Ambu Elis.
Dan cerita favoritku adalah ketika aku
bergelut dengan ular raksasa dan
perampokan biadab para lutung.

Mereka tak percaya bocah ingusan ini


selamat dari maut 2 bulan yang lalu.
Kejadianya tepat di hari ulang tahunku. 13

72
mei 2007. Namun setelah kuceritakan apa
yang terjadi, kini anggapan mati suriku kian
hilang.

“Mal! Teteh punya temen, dia nawarin


beasiswa kuliah. Maliq mau gak? Tapi harus di
test dulu! Nama kampusnya PHI. Puncak Hotel
Institute.”

“Kalau mau. Nanti teteh daftarin.


Gimana?”

Oh my goodness! Kesempatan kuliah.


Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Aku
menyanggupinya.

Test pun aku lalui dan dinyatakan lulus.


Pembelajaran di The Puncak Hotel Institute
adalah hal baru bagiku. Dunia perhotelan
merupakan dunia yang tidak pernah ada
dibenakku sebelumnya.

Namun karena Tutor, Dosen dan


Pembimbing PHI merupakan para profesional,
sehingga mereka banyak membantuku. Dan
ternyata pembelajaran di kampus ini
merupakan pembelajaran yang
menyenangkan.

Setelah sekian bulan belajar, aku


dinyatakan sebagai mahasiswa yang memiliki

72
kompeten. Dalam benakku, mengecewakan
pemberi beasiswa merupakan kesalahan yang
paling besar, dan merupakan tanda ketidak
bersyukuran. Oleh karena itu aku sekuat
tenaga mungkin menjadi yang terbaik. And I
got it!

Dunia perhotelan merupakan dunia


yang rawan. Sedikit saja salah mengambil
jalan, bisa-bisa kita tersesat untuk waktu
yang lama sekali. Dan di masyarakat sendiri,
hotel, masih dianggap tempat yang tabu.
Diidentikan dengan hal-hal yang berbau
maksiat.

Aku menyadari, di hotel, gampang


sekali untuk berbuat maksiat. Dan yang
paling populer adalah berbuat zinah dan
minum minuman keras. Namun disisi lain,
hotel memiliki banyak sekali manfaat.

72
Mozaik Sepuluh

Karir

Beasiswa yang aku dapat dari The Puncak


Hotel Institute sangat banyak membantuku.
Walau tadinya aku ingin menjadi seorang
politikus, yang bisa menyampaikan dan
memperjuangkan aspirasi rakyat. Tapi
ternyata menjadi Hotelier juga tidak kalah
menyenangkan.

Aku adalah seorang waiter dan seorang


barista. Tugasku melayani tamu sepenuh hati
dan membuat kopi. Mulai dari kopi termahal
sedunia, Jamaican Blue Montain, sampai kopi
yang murah namun berkualitas. Mulai dari
cappucino, latte, espresso, con panna,
machiato, café latte, mochacino sampai kopi
yang terkenal, Irish Coffee aku pun mampu
membuatnya.

72
Berinteraksi dengan tamu, untuk
sekarang ini, merupakan kesenanganku.
Melihat senyum mereka, ucapan terimakasih,
puas dengan service aku dan tentunya uang
tip. Hehehe...... sungguh membuatku senang.

Tidak hanya itu saja kawan. Walau aku


seorang waiter. Aku bisa keliling dunia tanpa
sepeser pun mengeluarkan uang. Kini aku
menjadi awak kapal pesiar di Hollland
America Line. Salah satu perusahaan yang
menyediakan paket wisata pelayaran.
Perusahan ini menyediakan pelayaran keliling
dunia, sehingga aku yang sekarang ini
berstatus sebagai karyawan, juga ikut keliling
dunia. Hahay... keliling dunia gitu loh!

Bekerja di kapal pesiar ada senang


maupun sedih nya. Aku merasa senang ketika
setiap 2 minggu sekali aku melihat
tabunganku terisi oleh pundi-pundi uang yang
lumayan, dan kesenanganku bertambah
ketika aku mampu menginjakkan kaki ku di
tanah Eropa dan Amerika serta sebagian kecil
Asia.

Namun kerja di kapal pesiar


membuatku kangen rumah. 8 sampai 10
bulan masa kerja. Dan aku jauh dari rumah
selama itu. Meninggalkan keluargaku, ibu,
ayah dan adik-adikku.

72
2 tahun sudah aku bekerja di
perusahaan ini. Dan jujur saja, aku sangat
menikmatinya. Kesibukan yang luar biasa.
Bekerja dari pagi sampai malam. 10-14 jam
sehari. Membuat 8 bulan itu terasa sangat
cepat.

Mozaik Sebelas

Ibu dan Ayah

Libur selama 3 bulan sangat lah


membosankan. Apalagi tidak memiliki
kegiatan. Selama libur bekerja, aku
menyempatkan diri untuk bersilaturahim
dengan sanak family. Keluarga dari ibuku dan
ayahku.

Ibuku adalah anak ke tiga dari lima


bersaudara. Dan asal kau tau kawan! Ibuku
merupakan anak kesayangan kakek. Kata
kakek, ketika kecil, bila ibu marah, ibuku
selalu membenturkan kepalanya ke tembok.
Dan itupula kenapa kakek sayang sama ibuku.
Untung saja ibuku tidak gegar otak. Tapi bila

72
saja itu terjadi, aku mana mungkin ada di
dunia ini. :D

Kakekku adalah seorang Sersan. Dia


bertugas mengamankan bumi pertiwi ini,
membela Indonesia dan melawan
pemberontak. Tugasnya dari daerah ke
daerah. Membawa senjata, menembak tetapi
tidak pernah tertembak. Anehnya, walau
seorang prajurit, kakek ku tidak bisa
memanjat pohon. Tapi yang lebih aneh lagi,
ketika dia terjun payung menggunakan
parasit, dia tidak pernah tersangkut ke
pepohonan. Mungkin Tuhan tau kali ya, klo
kakek gak bisa manjat. Heheh....

Nenek ku bercerita, ketika kakek


sedang bertugas di Irian Jaya. Lahirlah anak
ketiganya. Dialah ibuku. Makanya nama ibuku
adalah Irianti, asal kata Irian. Bila saja kakek
ku sedang bertugas di Pulau Komodo,
mungkin nama ibuku sekarang adalah
Komodowati. Hemmmm..... jangan sampai
deh!

Ayahku lain ceritanya. Dia adalah anak


kelima dari delapan bersaudara. Dia
dibesarkan dengan didikan yang sangat
keras. Kakek dari ayahku adalah seorang
Welder atau tukang las.

72
Kakekku tidak pernah memanjakan
ayah. Bila ayah menginginkan sesuatu, kakek
tidak pernah menurutinya. Malah kakek
menyuruh ayah buat nyari uang sendiri.
Namun bijak nya kakekku adalah, dia juga
menurunkan ilmu pengelassannya ke ayah,
sehingga ayah sangat terampil sekali dalam
membuat sesuatu.

Ayahku bukanlah seorang sarjana. Dia


tidak pernah sama sekali mengenyam
pendidikan SMA, terakhir dia bersekolah
adalah kelas 2 SMP. Maka dia saat ini hanya
memiliki Ijazah SD, dan itupun entah ada
dimana sekarang.

Namun apapun profesi ayahku, aku


tetap bangga padanya. Bangga karena
didikan dia lah aku bisa seperti sekarang ini.
Begitu pula kebanggaanku pada ibuku.
Kesebarannya, pengertiannya dan kasih
sayang nya, merupakan anugrah yang luar
biasa tak terkira bagiku.

Apalagi ketika cobaan menimpa ibuku.


Kesabarannya luar biasa. Walau aku tahu
ibuku sangat terpukul ketika tahu ayah
memiliki istri lain, namun emosinya tetap
terjaga. Aku sesekali melihat kekecewaan itu,
dia menangis dan bersedih.

72
Awalnya, pertengkaran ayah sama ibu
sering terjadi. Tapi itu hanya proses menuju
kedewasaan kawan. Pertengkaran itu wajar,
dan normal sekali bila seorang istri marah
karena dimadu. ‘Coz that’s life!

Dalam hal poligami aku tidak setuju dengan


sikap ayahku, walau aku pun tidak
menolaknya. Poligami itu syah, dan itu hak
dari seorang pria. Agama pun tidak
melarangnya. Namun agama juga
mensyaratkan bagi pria yang akan
berpoligami harus mampu bersikap adil bagi
istri-istrinya nanti. Bila tidak, maka pria itu
harus mampu mempertanggung jawabkan
semuanya di alam lain sana.

Makanya ketika aku tahu ayah memiliki


istri lagi, aku hanya bersikap biasa-biasa saja.
Karena poligami dalam keluargaku itu tidak
aneh. Kakek dari ibuku memiliki istri dua, dan
ibu merupakan putri dari istri kedua kakek.

Begitu pula dengan pamanku, dia juga


memiliki istri dua. Tetanggaku dan anak dari
kakak nenekku, semuanya berpoligami.

Bagiku poligami bukanlah hal yang


perlu didebatkan. Poligami menurutku syah
tetapi menyakitkan. Oleh karena itu, aku

72
bersumpah, tidak akan melakukan poligami.
Aku akan menjadikan istriku seperti Fatimah
putri Rasulullah yang tidak pernah dimadu
oleh Ali Bin Abi Thalib dan seperti Khadijah
istri Rasulullah yang tidak pernah dimadu
semasa hidupnya. (kayaknya kata-kata itu
ada di adegan Ketika Cinta Bertasbih deh...)

Mozaik Duabelas

Kesetiaan

Bila ada wanita yang saat ini aku rindu adalah


Rani. Dia anak bungsu dari empat bersaudara,
dan dia adalah satu-satunya perempuan dari
keempat bersaudara itu. Pribadinya halus dan
lembut. Tidak pernah melawan orang tua,
apalagi membangkang. Ketidakpatuhan tidak
ada dalam kamusnya.

72
Aku bertemu dia ketika aku kelas satu
SMA, lebih tepatnya aku melihat dia. Waktu
itu dia sedang berdiri didepan pintu
perpustakaan.

Penasaraan dengan sosok yang satu


ini, aku bergegas mencari tahu. Orang yang
pertama aku tanya adalah Trina Agustina,
sahabatku. Setelah semua informasi didapat,
kuberanikan diri meneleponnya.

Akhirnya dia menjanjikan untuk


bertemu denganku keesokan harinya di dekat
mushola. Namun sayang beribu sayang, dia
melanggar janji itu. Dia melarikan diri, kabur
dariku. Aku kecewa.

Karena kejadian itu, aku memutuskan


diri untuk menghilangkan perasaanku. Tapi
kawan! Ketika kelas dua SMA, kita
dipertemukan lagi dalam satu kelas. Ya!
Bagiku itu hanya lah suatu kebetulan saja.
Kebetulan yang benar-benar membuatku
malu.

Ketika kelas dua, perasaanku ke dia


biasa-biasa saja. Hal ini karena temanku,
Budi, dia juga suka sama Rani. Namun Rani
menolaknya, dan deng... dereng.... deng....!
Budi nangis boo!

72
Melihat Budi tewas. Perasaanku ke Rani
mulai tumbuh, pesat, dan semakin pesat
ketika kita berada di kelas tiga.

Aku menyusun rencana, bertanya ke


beberapa ahli strategi percintaan,
menginterview teman-temannya, browsing di
internet, membuka buku di perpustakaan,
menganalisa historis kisah cintanya,
menganalisa orang-orang yang pernah
ditolaknya, mengidentifikasi, berasumsi,
menyimpulkan dan membuat amunisi serta
strategi cadangan.

Sadar dia memiliki bintang Aquarius


dan bergolongan darah O. Maka aku akan
menggunakan “Free Closed Ways”, cara-cara
pendekatan yang bebas. Formula buatanku ini
mudah-mudahan bisa bekerja dengan baik
dan proper.

Karena menggunakan Free Closed


Ways, maka secara otomatis aku menjadi gila
yang terkontrol. Setiap aku bertemu dengan
Rani, aku akan menjadi penggombal gila,
ngomong ini itu, menggoda, basa-basi, canda,
menyogok dengan Teh Kotak dan dengan
bunga mawar yang harganya 1000 perak.
Hohoho....

Pengorbananku jangan ditanya, 3 orang


wanita yang menungguku, aku campakan.

72
Nutrisari kelas 2 bahasa, Fitria Nur kelas 1-8,
dan satu lagi, aku lupa namanya. Mereka
menembakku, mengatakan cinta, tapi semua
aku tolak. Tahu kah kawan? Hal itu karena
Rani. Hanya Rani.

Semua amunisi aku siapkan, aku pun


nembak Rani, tapi ditolaknya mentah-mentah.
Lalu kutembak lagi, namun ditolaknya lagi.
Lalu kutembak lagi tapi ditolaknya aku ini.

Ah...!

Aku bingung kawan. Matanya


mengatakan jika dia juga menyukaiku. Tapi
entah kenapa dia tidak mau mengatakan
sesungguhnya. Emang kurang aku apa?

Kurang ganteng? Iya.

Kurang tajir? Yoi.

Kurang pintar? Pasti.

Kurang ajar? Hemmm.... enggak kali


ya!

Semua anak-anak Dalmopalu setuju


denganku, mendukungku. Tapi entahlah. Rani
mungkin memiliki kriteria lain, atau mau
mengujiku sejauh mana aku benar-benar
menginginkannya.

72
Jauh dan jarang berkomunikasi dengan Rani
membuatku melirik wanita lain. Mungkin
pelarian, mungkin juga bukan.

Yulia Anggraeni, Oki, Susi, Dewi


Puspita, Mila Wardana, Nita Amelia, Maya,
Gloria dan Anna semua pernah dekat
denganku. Namun entah kenapa, setiap aku
dekat dengan mereka, Rani selalu muncul di
mimpiku.

Yang masih aku ingat sampai sekarang


ini, ketika aku dekat sama Yulia. Waktu itu
Rani menghampiriku sambil berkata; Maliq!
Rani mau dikemanain?

Entah apa maksud dari semua itu. Tapi


jujur, ketika setiap mimpi itu datang, aku
langsung menjauhkan diri dengan mereka.

“Mungkin Tuhan sudah menunjukan


jalan-Nya!” kata adikku.

“Entahlah!”

Mozaik Tigabelas

Lunch

72
Bandung. Kota parahyangan yang anggun.
Memiliki sejuta pesona. Tidak aneh bila
wisatawan lokal maupun asing sering mampir
ke Kota Bunga ini.

Mulai dari saksi sejarah, pusat jajanan,


Factory Outlet yang menjamur, Distro, serta
suasana yang sejuk menjadikan Bandung
menjadi destini archepelagho. Oleh karena
itu, untuk mengimbangi pariwisata yang
pesat. Berdirilah hotel di setiap penjuru kota.
Mulai dari hotel melati sampai hotel
berbintang.

Salah satu hotel yang terkenal adalah


Aston Bandung Hotel & Residence. Hotel ini
terletak di Jalan Braga. Jalan yang dibangun
pada masa kolonial Belanda ini dulunya
merupakan jalan utama dalam
pendistribusian kopi. Namun sekarang telah
menjadi pusat hiburan yang sangat menarik
karena menggabungkan bangunan lama
kolonial dengan presentasi kemodernan.

Siang ini aku akan makan siang di Tos


Raos, salah satu nama restoran di Aston
Bandung Hotel & Residence. Restoran ini aku
pilih karena dulu aku pernah bekerja disini.
Dan tentunya bertemu dengan kawan-kawan
lamaku yang masih bekerja disini.

72
Aku memilih meja yang terletak di
ujung. Aku memilih meja ini, agar aku bisa
mengamati seluruh aktifitas restoran. Kali ini
tema lunch adalah Sundanese Food. Mulai
dari nasi liwet, nasi merah, empal, ayam
goreng, kangkung, sayur lodeh, karedok,
lotek, jengkol serta jajanan pasar khas dari
negeri Parahyangan.

Di entrance, aku melihat wanita yang


sangat familiar sekali. Berjalan sendiri menuju
restoran. Tampilannya berbeda dengan
terakhir aku melihatnya. 4 tahun yang lalu.

Darahku bergejolak. Jantungku


berdetak kencang melebihi dentuman normal.
Aku meneguk air sebanyak mungkin pertanda
nerves. Aku speachless. Ingin sekali aku
menyapanya, namun aku takut. Hemmmm.....

“Silahkan dipilih makanannya!” aku


mencoba memulai pembicaraan.

Dia terkejut dengan sapaanku, dan


lebih terkejut lagi setelah melihatku.
Senyumannya lebar, matanya sedikit berkaca-
kaca, dan air mukanya menunjukan dia
senang.

“Maliq?” dia ragu.

72
“Yup! Maliq Sofyan.” Aku menjawab dan
sambil menjulurkan tangan. Dengan cepat dia
menyambut tanganku.

“Lama tidak jumpa ya, Ran! Apa


kabar?”

Wanita itu adalah Rani. Wanita yang


aku ceritakan tadi ini sekarang bekerja di
BPOM. Aku melihat di name tag-nya tertulis
panitia. Berada di hotel ini sedang
menyelenggarakan rapat rutin.

“Baik. Maliq sendiri gimana kabarnya?”

“Lebih baik dari sebelum kecelakaan


maut itu.”

Aku tahu Rani adalah orang yang


sangat terpukul ketika kejadian itu. Teman-
teman lah yang memberitahuku. Tapi ketika
aku pulang, aku tidak pernah berkomunikasi
secara langsung dengan Rani, walau dia tahu
aku sudah kembali dan selamat dari
kecelakaan waktu itu.

Aku memang sengaja menjauhkan diri.


Selama ini aku selalu mencoba melawan
perasaanku pada dia. Tapi selalu gagal dan
gagal.

72
Kami duduk berdua di meja yang tadi aku
pesan. Aku menggunakan kesempatan ini
dengan sebaik mungkin. Karena mana tahu
aku tidak dapat bertemu dengannya lagi.

Apapun kami bahas. Mulai dari kejadia


waktu SMA sampai pekerjaan. Mulai dari A
sampai Z. Mulai dari Alif sampai Yaa. Sungguh
menarik.

“Rani sekarang lagi deket sama siapa?”


aku bertanya lebih pribadi.

“Hemmm... lagi dekat sama siapa ya?


Emang kenapa gitu?”

“Engga apa-apa. Maliq Cuma pengen


nanya ja. Lagian klo seandainya udah ada
yang ngisi juga gak jadi masalah. Maliq Cuma
pengen ngasih tahu Rani klo Maliq masih
megang janji waktu itu kok.”

“Janji yang mana?”

“Maliq gak akan punya pasangan


sebelum Rani punya pasangan.”

Dia diam sambil menahan senyum.


Entah apa yang dipikirkannya. Aku berusaha
menebak tetapi mungkin saja tebakanku
salah. Ditariknya napas dalam-dalam.

72
“Gak ada! Rani belum ada yang
punya.”

Mozaik Empatbelas

Satu Langkah Lebih Dekat

Pagi ini, tak seperti biasanya aku berlama-


lama di kamar mandi. Aku membiarkan
tubuhku disirami air yang terjun dari shower.
Mendinginkan kepala, mencoba mencerna
mimpi yang baru saja aku alami tadi.

Kawan! Aku bermimpi berada dalam bis


bersama istriku, Rani. Dan kita sedang
menuju Tasikmalaya untuk berbulan madu.
Aneh memang bila kita memilih Tasik sebagai
tempat berbulan madu, tapi itu memang yang
tadi terjadi di mimpiku.

Aku merasa senang berada


bersamanya. Mimpi yang sangat menghibur
sekali. Tadi adalah mimpi pertamaku setelah
aku bertemu dengannya di Aston dulu.

Tapi mimpi tadi membuat aku menjadi


dilema. Aku merasa terhipnotis untuk segera
meminangnya. Aku bergegas menemui orang
tuaku. Kuceritakan niatku itu.

72
“Ibu! Maliq ingin meminang seorang
gadis. Bisakah ibu meminangkannya
untukku?”

“Siapakah gadis itu Maliq?” tanya nya.

“Rani!”

“Ohh.... gadis itu. Ibu pernah bertemu


dengannya dulu ketika ibu memberikan
boneka milikmu bersama surat yang kamu
tulis sebelum kecelakaan itu.”

“Bagaimana pandangan ibu?”

“Dengan senang hati wahai ankku.


Pilihanmu merupakan pilihan ibu. Dia
sepertinya gadis yang baik. Klo begitu, kapan
kamu ingin meminangnya?”

“Biar aku mencari waktunya dulu. Yang


pasti sebelum aku berangkat ke kapal lagi,
aku ingin dia telah menjadi tunanganku.”

Permasalahan selanjutnya adalah


memberitahu Rani tentang niatku itu. Aku
tidak ingin ketika aku datang ke rumahnya,
dia sedang tidak ada di rumah.

72
Insya Allah .....
Setelah
mengirim sms ke dia, aku tidak mendapat
balasan. Satu jam, dua, tiga, aku tunggu
tetapi tetap saja tidak dapat jawaban. Namun
keesokan harinya aku mendapat sms dari dia.

Aslm, Ran, Mlq mo dtng ke rmh Ran mngg dpn. Mlq


hrp ran nya da d rmh. Mlq mo dtng ma kluarga Mlq.
Mlq mo ngelamar Ran. Wslm,,,

72
Mozaik Limabelas

Minggu Malam

Seperti yang sudah direncanakan waktu itu.


Aku hanya akan datang bersama kedua orang
tuaku. Aku memakai pakaian terbaikku. Aku
menyiapkan mentalku. Selebih lagi bila aku
ditolak dalam lamaranku.

Selepas Isya kita berangkat. Ayahku


memegang kemudi. Diwajahnya terlihat
cemas karena harus melamarkan untuk anak
pertamanya. Ibuku tidak kalah dari ayahku.
Sesekali dia mengelap keringat yang ada di
keningnya.

Tapi aku yang lebih parah. 2 botol air


mineral habis selama perjalanan. Kemejaku
basah karena keringat dingin. Aku nerves.

Kita pun sampai di depan rumahnya


Rani. Aku menghela napas panjang. Jantungku

72
berdebar memompa 30 liter darah per menit
menuju otakku. Kaki ku keram, kesemutan
dan seakan lumpuh, tak mampu digerakkan.
Perasaanku tidak karuan. Senang, khawatir
dan takut.

Di dalam rumah sudah banyak orang.


Orang tua, kakak-kakaknya, ipar serta
keponaknya sudah berkumpul. Dan gadis
pujaanku berada di antara mereka. Cantik
sekali.

Dengan ramah mereka


mempersilahkan kami duduk. Menyuguhi
kami minum dan kue-kue. Kedua orang tuaku
dan kedua orang tua Rani mengobrol dengan
asik sekali. Tapi belum masuk ke dalam inti
kedatangan kami. Sesakali kulihat wajah Rani,
tersenyum tetapi lebih banyak menunduk.

“Maksud kedatangan kami kemari


adalah untuk meminang neng Rani untuk
anak kami Maliq. Kami berharap niat suci
kami dapat diterima oleh keluarga disini.”

Upps....

Ayahku memulai pembicaraan yang


serius. Sepertinya dia sudah berlatih untuk
kata-kata yang tadi. Mungkin dia belajar dari
iklan atau sinetron-sinetron.

72
Tahu ‘kah kawan? Kata-kata ayahku
membuat hatiku makin ngilu. Jantungku
seakan tertindih. Aku menghela napas agar
tidak terlihat nerves dan tentunya dengan
tersenyum.

“Sebelumnya kami mengucapkan


terima kasih untuk bersedia bersilaturahim
dengan keluarga di sini. Namun sebagai orang
tua, kami menyerahkan sepenuhnya kepada
putri kami.”

Kemudian kita semua menujukan


pandangan ke Rani. Dia nerves sepertiku. Dia
diam cukup lama untuk menjawab. Menghela
napas kemudian mengeluarkan nya perlahan.

“Insya Allah. Rani mau.”

Alhamdulillah.

Aku tersenyum. Senyuman yang sangat


lebar. Melebihi senyumanku ketika lolos kerja
ke kapal pesiar dulu. Aku bahagia.

“Mal! Mana cincinnya?” ibuku bertanya.

Aku meraba saku celanaku, tidak ada.


Di jas ku pun tidak ada. Aku lupa klo tadi aku
simpan di mobil.

“Ummm.... ketinggalan di mobil.


Heeee....”

72
Aku berdiri kemudian aku menuju mobil
dan mengambil cincin itu. Aku tidak sabar
memakaikan cincin itu ditangan Rani.

Mozaik Enambelas

Aku Bahagia

Sambil mengemudi, ayahku tersenyum


melihat diriku dari tadi senyum-senyum
sendiri dari kaca spion depan. Matanya
mengawasiku dari selepas acara tunanganku
dengan Rani yang sukses.

“Maliq! Istigfar Mal!” ayahku meledek.

“Ah! Ayah ni bisa aja. Aku ini sedang


senang. Maklum dong, Rani kan cinta sejati
Maliq. Hahahah.... lebay ya!”

Kita pun semua tertawa. Dan aku dari


tadi tidak pernah lepas memandangi cincin
perak yang aku kenakan. Cincin perak ini
pertanda bahwa aku sekarang berstatus
“Tunangan”. Ya... kalau di Facebook sih,
sekarang sudah bisa diganti status “It’s
complicated” menjadi “Enggage”.

72
Aku memilih cincin perak karena emas
tidak diperbolehkan dikenakan oleh seorang
pria. Agamalah yang melarangnya. Cincin ini
sengaja aku pesan di toko emas langganan
keluargaku. Dan motifnya sengaja aku yang
pilih.

Sebenarnya dibenakku, ada sedikit


kekhawatiran. Aku takut pengalaman
pamanku terulang lagi. Cincin perkawinan nya
kebesaran di jari istrinya. Jadi cincin nya
ditukarkan lagi setelah acara resepsi selesai.
Buat aku, enggak mau layaw!

Cincin ini sebenarnya tidak terlalu


berarti bagiku. Cincin hanyalah simbol, namun
arti sesungguhnya tunangan itu adalah
kesediaan kita untuk menunggu sampai ijab
kabul nikah dilaksanakan. Dan tentunya
kesetiaan terhadap pasangan.

72
Mozaik Tujuhbelas

Bandara Soekarno Hatta

Pernikahanku dengan Rani rencananya akan


dilaksanakan setelah aku pulang dari
pelayaranku ini. Tepatnya sebulan setelah aku
kembali. Hal ini dilakukan sesuai kesepakatan
yang aku ajukkan.

Aku memilih berlayar karena aku ingin


mempersiapkan pernikahanku dengan
matang. Seperti yang diinginkan calon istriku,
Rani. Dia menginginkan pernikah ini menjadi
yang pertama dan terakhir bagi kami. Dan
tentunya harus sangat berkesan.

Pelepasanku di Bandara Soekarno Hatta


menuju J. F. Kennedy Airport kali ini sangat
spesial. Keluarga tunanganku ikut
mengantarkan. Hal ini menjadikan hubungan
keluarga besarku dan keluarga besar Rani
menjadi lebih akrab dan dekat.

72
Sehari sebelum keberangkatku hari ini,
kami, 2 keluarga besar ini, semuanya pergi
bertamasya ke Dufan. Acara tamasya ini juga
aku rencanakan agar aku bisa bersenang-
senang terlebih dahulu di Indonesia sebelum
aku bertempur di tempat kerjaanku nanti.

Aku dan Rani memilih memisahkan diri


dari golongan tua dan bergabung dengan
adik-adikku dan saudaraku yang seumuran.
Kita memilih permainan yang x-trime. Mulai
dari Rajawali, Jet Coster, Cora-cora dan
tentunya permain x-trime yang tidak boleh
dilewatkan adalah komedi putar.

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..........

Sungguh senang bila melihat kedua keluarga


besar ini sudah akrab sebelum pernikahan
kami. Tentunya hal ini akan memperlancar
resepsi yang akan dilaksanakan nanti 9 bulan
mendatang.

Teman-temanku yang akan berangkat


sudah memanggilku agar segera check-in.
Aku menyalami setiap orang. Ibuku, ayahku,
bibiku, pamanku, tanteku, adikku, ayahnya
Rani, ibunya, kakak-kakakny dan ipar-iparnya.

72
Aku sengaja memilih Rani untuk yang
terakhir aku salami. Pada saat ini aku teringat
dengan adegan Ada Apa Dengan Cinta yang
dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Dian
Sastro Wardoyo. Ingin sekali aku meniru
adegan itu. Ingin sekali aku memeluk calon
istriku ini, tapi aku menahannya. Karena kita
bukan muhrim dan kita belum halal satu sama
lain.

Aku hanya memadang dia untuk sesaat


dan kemudian aku memutarkan lagu ini:

Aku Hanya Pergi Tuk Sementara....

Bukan Tuk Meninggalkanmu


Selamanya...

Aku Pasti Kan Kembali Pada Dirimu...

Tapi Kau Jangan Nakal....

Aku Pasti Kembali.....

“Apaan sih? Lebay ih! Ran juga tau ko


Maliq bakalan balik lagi sama Ran.
Heeheee....”

72
Mozaik Delapanbelas

LDR

8 bulan berada di kapal terasa sangat cepat,


apalagi aku benar-benar menyibukan diri agar
pemikiranku tidak pecah dengan resepsi
pernikahanku. Dan pada pelayaranku kali ini,
aku tidak terlalu sering jalan-jalan bila kapal
berlabuh. Hal ini karena aku ingin menyimpan
pendapatanku untuk hari itu, hari yang aku
impikan.

Memiliki tunangan tidak lah mudah.


Karena secara otomatis aku selalu
merindukannya. Untuk berkomunikasi, aku
jarang menggunkan mediasi telpon. Tetapi
lebih sering munggunakan internet karena
biayanya lebih murah.

72
Setiap 2 minggu sekali aku
menyempatkan untuk berkomunikasi dengan
Rani. Kita menggunakan Yahoo Messengger.
Selain bisa ngobrol langsung, kita pun bisa
menggunkan web cam. Benar-benar melintasi
jarak dan waktu.

Memiliki tunangan itu berbeda dengan


memiliki pacar. Karena kita, yang
bertunangan, biasanya memiliki komitmen
yang jelas. Yang tentunya berbeda dengan
mereka yang berhubungan sebatas pacaran.
Tetapi terkadang keduanya memiliki masalah
yang sama, LDR.

LDR atau Long Distence Reletionship


aku kenal dari Dika Raditya, pemeran Dika di
film Kambing Jantan Catatan Harian Pelajar
Bodoh yang diangkat dari kisah hidupnya
yang ditulis dalam sebuah blog,
kambingjantan.com.

Masalah yang dihadapi oleh mereka


yang melakukan LDR hanyalah DISTENCE.
Jarak yang memisahkan menjadi problema
serius. Efeknya timbul dengan rasa rindu yang
berat. Bila biasanya sering ngobrol, apel,
makan, canda atau pelukan. Maka moment itu
lah yang menjadi hal yang dirindukan.

Kemudian timbul efek-efek yang lain.


Seperti COST, biaya. Melakukan LDR berarti

72
tahu akan resiko biaya yang mahal. Untuk
menghilangkan rindu, berarti harus dengan
komunikasi, dan International Call tidak lah
murah. 10 dolar per 1 jam. Jadi bila ngobrol
lebih dari satu jam, maka siap-siap saja
mengibahkan pendapatan buat telpon.
Makanya, internet merupakan alternatif
pilihan yang lebih murah.

Biasanya bagi yang melakukan LDR.


Komunikasi tidak lah cukup. Ada hal real yang
tidak bisa mereka dapatkan hanya dengan
komunikasi. Misalnya makan bareng, nonton
dan maming. Ketiga macam itu adalah hal
yang real yang tidak bisa dilakukan hanya
dengan komunikasi. Makanya para LDR
couple, salah satu pasangannya atau kedua-
duanya, mereka akan mencari substitusi.
Pengganti yang bisa diajak makan, nonton
dan lain sebagainya. Intinya mereka
selingkuh. Tetapi tidak semuanya.

72
Mozaik Sembilanbelas

Persiapan

Pesta pernikahan tentunya merupakan


moment yang bersejarah dalam hidup
seseorang. Makanya aku dan Rani berusaha
menyiapkan semuanya semaksimal mungkin.

Konsep yang akan kami pakai adalah


Sundanese. Mengapa sundanese? Karena
kami merupakan rakyat pasundan. Dan
sewajarnya bila kami bangga dan
menggunakan tema ini.

Untuk membantu, kami menyewa


seorang WO, wedding organizer. Dengan WO
pekerjaan kami menjadi lebih mudah, hanya

72
memastikan semua berjalan dengan yang
kami harapkan.

Upacara adat, jenis musik yang dipakai,


pakaian, makanan dan cendramata semuanya
harus berbau sunda. Namun untuk hiburan,
kami memilih sunda semi modern. Perpaduan
hiburan sunda dengan musik modern
diharapkan akan membuat suasana lebih
meriah.

Orkestra lengkap dan satu band


wedding singer siap diterjunkan. Dan kami
juga mengundang Budi cs untuk perform
sesuai lagu yang kami minta.

Budi adalah teman kami di SMA dulu.


Teman sekelas kami. Dulu aku sempat
meminjamkan modal ke dia untuk menambah
perlengkapan alat band. Dan tidak disangka
Budi cs sekarang menjadi salah satu band
yang terkenal.

3 minggu lagi pesta pernikahanku akan


digelar. Hari ini rencananya aku dan Rani akan
menemui pihak cathering untuk test food
sesuai konsep dan daftar makanan yang kami
minta.

Rencana undangan yang akan hadir


berjumlah 1000 orang, jadi kami menyiapkan
1500 pax untuk jaga-jaga.

72
Teman SMA merupakan prioritas. Aditha
Krishinta, Ajie Jatnika, Andi Suryadi, Ani
Jamilah, Annisa Grahasa, Aria Nugraha, Asep
Setiawan, Budiyanto, Dadan Abdullah, Dede
Supriatna, Dewi Lista Delviani, Diah Ayu
Pitaloka, Diana Noor Anggraeni, Dina Husniati,
Eneng Osti, Erna, Hendri Kurniadi, Inna
Nurhamidah, Intan Putri, Kristianti, Lisdayati
Utami Sari, Mohamad Bahrum, Muji Santosa
Wibawa, N. Hartanti Widiyawati, Nita Nopianti,
Nurlia Paizah, Purwa Alam Dirja, Santi
Verawati, Sifa Nurzeni, Silvia Susanti, Sri
Nuryani, Suhendar, Surahman, Syamsu
Purwanto, Taufik Nur Iman, Trina Agustina,
Vera Charesa, Winda Septia Anggraeni dan
Yanti Susanti, mereka menjadi tamu VIP kami,
walau sebagian anak Dalmopalu ada yang
menjadi pagar ayu.

Mas kawin sudah dipersiapkan. Kali ini


aku membelinya bersama Rani agar dia
sendiri yang memilih modelnya dan tentunya
agar cincinnya tidak kekecilan atau longgar.

Pakaian pengantin dan pakaian


keluarga sudah jadi dan siap pakai. Semuanya
berwarna coklat agar mecing dengan dekorasi
sunda nantinya.

Kartu undangan yang menarik sudah


dikirimkan, cendramata sudah dipesan,

72
fotographer sudah di-booking, gedung siap
digunakan, test food lancar, persiapan
upacara adat sudah fix dan box sumbangan
sudah dibuat.

Semua tinggal menunggu hari H nya


saja. Aku dan Rani sekarang sudah tenang
dengan persiapan yang matang ini.

Mozaik Duapuluh

Brother Este

“Saya terima nikah dan kawinnya Rani


Sri Handayani binti Fulan dengan mas kawin
tersebut dibayar tunai.”

“Bagaimana? Sah?”

SAH!

“Alhamdulillah.”

Tahu kah kawan? Berapa lama aku


menghapal kata-kata penerimaan ijab kabul
tadi? Dua hari. Kenapa dua hari? Karena aku

72
tidak mau, lagi-lagi belajar dari pengalaman
paman, yang diulang sampai tiga kali karena
salah ngucapinnya.

Ijab Kabul adalah gerbang yang


menyatukan aku dan Rani menjadi pasangan
yang halal. Dan tentunya menyempurnakan
setengah agama kami.

Acara sesuai yang kami harapkan. Para


undangan silih berganti menyalami kami,
teman-teman kuliah istriku, teman-teman
kuliahku, kerabat istriku dari Garut dan Tasik,
lalu kerabatku dari Bandung, guru-guru SMA
kami, para tetangga, dan Brother Este.

Brother Este adalah teman-teman


sekelas kami yang paling pintar muji dan
ngejek aku. Mereka tahu bagaimana usahaku
ke Rani. Jatuh bangun. Penolakan. Semua
mereka ketahui. Ada yang mendukung ada
juga yang tidak. Itu wajar. Tapi hari ini,
mereka harus mengakui jika aku, adalah
orang yang sukses menaklukan Rani.

“Sob! Sukses juga ya? Ane masih inget


waktu itu perjuangan ente kaya gimana.
Hahaahh....”

“Said! Ih... ternyata apa yang kamu


cita-citakan terwujud juga ya. Trina Cuma bisa

72
nge’doain biar kalian menjadi keluarga yang
sakinnah, mawaddah wa rahmah. Amin.”

“Pa KM! Rani! Selamat ya! Fa sama Ezel


ngedo’ain biar langgeung sampai tua. Amin!”

“Ehem. Adeeyyy! Santi ngedo’ain apa


ya? Oh iya deh, mudah-mudahan Pa KM sama
Rani biar cepet-cepet dapet momongan.
Amin.”

Hemmm.....

Mozaik Duapuluh Satu

Singapura

Kalau waktu itu aku bermimpi berbulan madu


di Tasikmalaya. Sekarang ini, aku dan Rani
sudah berada di Singapura. Honeymoon gitu
loh!

Hal yang petama kami lakukan adalah


bertemu dengan teman-temanku dulu. Alina
K, Izwan, Murdifi, Nisa La, maneger aku, Feron
Goh, Merry Elen, Kelvin, lalu Anju, Fiona,
Anna, Nyien, dan Gloria.

72
Kita bertemu di Coffee Club Orchar
Fountain Corner. Mereka mengetahui aku
datang ke sini untuk berbulan madu, jadi
ketika bertemu mereka membuat kejutan
yang luar biasa. Mereka membeli kue yang
sangat besar dan memberikan kado.

Selanjutnya aku dan istriku menikmati


pesona jalan Orchard. Di jalan ini, kami
menyaksikan berbagai perform yang
disuguhkan oleh para pengamen jalanan.

Duduk di bawah air mancur Takasimaya


SC sambil makan ice cream yang dijual
disepanjang jalan ini. Tidak lupa aku membeli
makanan favoritku dulu, Old Chunky.
Hemmm.... yummy!

Belum ke Singapura bila tidak ke Sentosa


Island. Walau menurutku kurang menarik,
tetapi cukup memberikan kesan.

Lalu kami mampir ke China Town untuk


melihat etnis dan dekorasi cina yang luar
biasa. Disini souvenir dijual sangat murah.
Dari china town kami kemudian menuju Bugis
Street, salah satu pusat perbelanjaan yang
murah juga.

72
Malam ini aku mengajak istriku untuk
makan malam di Clarque Quey. Dibawah sinar
bulan dan dipinggir sungai yang diterangi
lampu warna-warni.

Setelah larut malam, kemudian kami


kembali ke hotel. Duduk di balkoni. Kemudian,
emmm..... cukup sampai disini saja ya
ceritanya. Selanjutnya, biar aku yang urus.

72

You might also like