You are on page 1of 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.

1 Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pengajaran dimana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda (Depdiknas, 2004: 1), dimana yang diutamakan adalah kerjasama, yakni kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Wina (2011: 242) Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Menurut Roger, dkk 1992 (dalam Huda 2011: 29) pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial diantara kelompok-kelompok pembelajar yang ada di dalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk

meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain. Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran dengan membentuk kelompokkelompok yang didasari dengan kerja sama dan setiap anggota kelompok harus bertanggung jawab atas pembelajarannya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Menurut Roger dan David Johnson (dalam Suprijono 2009: 58) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Pembelajaran kooperatif, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran kooperatif yaitu: 1. Saling ketergantungan positif. Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus

menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka. 2. Tanggung jawab perseorangan. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran cooperative learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan. 3. Tatap muka. Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan. 4. Komunikasi antar anggota. Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa. 5. Evaluasi proses kelompok. Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Sintak model pembelajaran kooperatif terdiri dari 6 fase menurut Suprijono (2009: 65) yaitu:

Langkah 1 : Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar. Langkah 2 : Menyajikan informasi. Guru mempresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal. Langkah 3 : Mengorganisasikan peserta didik ke dalam tim-tim belajar. Guru memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien. Langkah 4 : Membantu kerja tim dan belajar. Membantu tim-tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya. Langkah 5 : Mengevaluasi. Menguji pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Langkah 6: Memberikan pengakuan atau penghargaan. Guru mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok.

2.1.2 Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think Pair Share) 2.1.2.1 Pengertian Think Pair Share Dalam Nurhadi (2005: 120), Frank Lyman (1981) think pair share merupakan metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan seluruh siswa selama proses pembelajaran dan memberikan kesempatan untuk bekeja sama antar siswa yang mempunyai kemampuan heterogen. Dikemukakan oleh Lie (2002:56) bahwa, think pair share adalah pembelajaran yang memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri dan bekerjasama dengan orang lain. Think pair share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain (Ibrahim, 2007:10) dengan cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling

membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Model pembelajaran kooperatif tipe think pair share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang mampu mengubah asumsi bahwa metode resitasi dan diskusi perlu diselenggarakan dalam setting kelompok secara keseluruhan. Karakteristik model think pair share siswa dibimbing secara mandiri, berpasangan, dan saling berbagi untuk menyelesaikan permasalahan. Model ini selain diharapkan dapat menjembatani dan mengarahkan proses belajar mengajar juga mempunyai dampak lain yang sangat bermanfaat bagi siswa. Beberapa akibat yang dapat ditimbulkan dari model ini adalah siswa dapat berkomunikasi secara langsung oleh individu lain yang dapat saling memberi informasi dan bertukar pikiran serta mampu berlatih untuk mempertahankan pendapatnya jika pendapat itu layak untuk dipertahankan. Pembelajaran think pair share dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkan ide-idenya dengan orang lain. Membantu siswa untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. Siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik. Interaksi yang terjadi selama pembelajaran dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir sehingga bermanfaat bagi proses pendidikan jangka panjang. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe think pair share adalah model Pembelajaran yang dapat mengaktifkan seluruh kelas karena siswa diberi kesempatan bekerja sendiri dan bekerja sama dengan orang lain dalam kelompok kecil sehingga membantu siswa untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan dan siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik. Pengertian think pair share menurut peneliti adalah model pembelajaran yang menuntut siswa agar dapat berpikir sendiri dan bekerja sama dengan siswa yang lain dalam kelompok kecil dalam mengembangkan kemampuan sehingga

diperlukan interaksi yang baik dalam membagi informasi untuk menyelesaikan permasalahan. 2.1.2.2 Langkah-langkah Pembelajaran TPS Dalam Nurhadi (2005 :120), Lyman dan kawan-kawan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah I : thinking (berpikir) Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berkaitan dengan pelajaran; dan siswa diberi waktu satu menit untuk berpikir sendiri mengenai jawaban atau isu tersebut. Langkah II : pairing (berpasangan) Selanjutnya guru meminta siswa berpasangan dan mendiskusikan yang telah dipikirkan. Interaksi selama periode ini dapat menghasilkan jawaban bersama jika pertanyaan telah diajukan atau penyampaian ide bersama jika isu khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru mengijinkan tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan. Langkah III : sharing (berbagi) Pada langkah akhir ini guru meminta pasangan-pasangan tersebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan secara kelas secara keseluruhan mengenai yang telah mereka bicarakan, langkah ini akan efektif jika guru berkeliling kelas dari pasangan yang satu ke pasangan yang lain, sehingga seperempat atau separuh dari pasangan-pasangan tersebut memperoleh kesempatan untuk melapor. Sedangkan menurut Huda (2011 : 136), prosedur pembelajaran think pair share adalah sebagai berikut : 1. Siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdiri dari empat anggota/siswa. 2. Guru memberikan tugas pada setiap kelompok. 3. Masing-masing anggota memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendirisendiri terlebih dahulu. 4. Kelompok membentuk anggotanya secara berpasangan. Setiap pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya.

5. Kedua pasangan lalu bertemu kembali dalam kelompoknya masing-masing untuk mebagikan hasil diskusinya. Dari langkah-langkah pembelajaran think pair share yang dikemukakan oleh kedua ahli, belum dicantumkan sintaks pembelajaran kooperatif secara keseluruhan. Langkah-langkah dalam pembelajaranpun menggunakan kegiatan awal, inti dan akhir. Oleh karena itu, peneliti menggunakan langkah-langkah pembelajaran think pair share dengan menggabungkannya dengan sintaks pembelajaran kooperatif yakni sebagai berikut: A. Kegiatan Awal 1. Membuka Pelajaran: memeriksa kesiapan peserta didik. 2. guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran. 3. Guru memberikan informasi dan menjelaskan kegiatan yang akan dikerjakan dan direncanakan. 4. Guru membentuk kelompok B. Kegiatan Inti Tahap think: 5. Guru memberikan tugas pada setiap kelompok. 6. Masing-masing anggota memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri-sendiri terlebih dahulu. Tahap pair : 7. Kelompok membentuk anggotanya secara berpasangan. Setiap pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya. 8. Guru mengontrol kerja siswa dalam berdiskusi dan membantu siswa mengarahkan jika masih terdapat hal-hal yang belum dipahami. Tahap share : 9. Kedua pasangan lalu bertemu kembali dalam kelompoknya masing-masing untuk menshare hasil diskusinya. 10. Guru memimpin jalannya diskusi kelas. C. Kegiatan Penutup 11. Guru memberi penguatan/penghargaan terhadap hasil diskusi.

10

12. Guru mengadakan evaluasi. 2.1.2.6 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran TPS Menurut Huda (2011 : 171) mengemukakan bahwa kelebihan dari kelompok berempat adalah sebagai berikut : 1. Mudah dipecah menjadi berpasangan. 2. Lebih banyak muncul ide. 3. Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan. 4. Guru mudah memonitor. Sedangkan kekurangan dari kelompok berempat adalah sebagai berikut : 1. Butuh banyak waktu. 2. Butuh sosialisasi yang lebih baik. 3. Jumlah genap; menyulitkan pengambilan suara. 4. Setiap anggota kurang memiliki kesempatan untuk berkontribusi pada kelompoknya. 5. Setiap anggota mudah melepaskan diri dari keterlibatan.Perhatian anggota sangat kurang.

2.1.3 Hasil Belajar Menurut Sudjana (2010: 3), hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif dan pskiomotorik. Menurut Winkel (dalam Purwanto 2011: 45), hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 250-251), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenisjenis ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. Sudjana (2010: 22-32), dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan

11

klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah antara lain: 1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. 2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai terdiri dari 5 aspek yakni penerimaan, jawaban/reaksi, penialaian, organisasi dan internalisasi. 3. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada 6 aspek ranah psikomotorik, yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, kerharmonisa atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, gerakan ekspresif dan interpretatif. Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi. Aunurrahman (2011: 37), hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku. Walupun tidak semua perubahan tingkah laku merupakan hasil belajar, akan tetapi aktivitas belajar pada umumnya disertai perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku pada kebanyakan hal merupakan sesuatu perubahan yang dapat diamati (observable). Akan tetapi juga tidak selalu perubahan tingkah laku yang dimaksudkan sebagai hasil belajar tersebut dapat diamati. Untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa digunakan alat penilaian untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Hasil belajar yang berupa aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik menggunakan alat penilaian yang berbeda-beda. Untuk aspek kognitif digunakan alat penilaian yang berupa tes, sedangkan untuk aspek afektif digunakan alat

12

penilaian yaitu skala sikap (ceklist) untuk mengetahui sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan aspek psikomotorik digunakan lembar observasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan hasil belajar merupakan hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi yang berupa aspek kognitif yang diungkapkan dengan menggunakan suatu alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan aspek psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan bertindak siswa dalam mengikuti pembelajaran.

2.1.4 IPA 2.1.4.1 Hakikat IPA Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan

pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang bersifat empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam tersebut menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal ini menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai proses diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses bagaimana cara produk sains ditemukan. IPA disiplin ilmu memiliki ciri-ciri sebagaimana disiplin ilmu lainnya. Setiap disiplin ilmu selain mempunyai ciri umum, juga mempunyai ciri khusus/karakteristik. Adapun ciri umum dari suatu ilmu pengetahuan adalah merupakan himpunan fakta serta aturan yang yang menyatakan hubungan antara satu dengan lainnya. Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini.

13

a. IPA mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya. b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. c. IPA merupakan pengetahuan teoritis. Teori IPA diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi,

eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain. d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan baganbagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut (Depdiknas, 2006). IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap. Produk dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan. 2.1.4.2 Tujuan IPA Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. 4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

14

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. 6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. 2.1.4.3 Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan lingkungan sekitanya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut. Guru berkewajiban untuk meningkatkan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran IPA. Tujuan ini tidak terlepas dari hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap ilmiah. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran yang tepat. Prinsip pembelajaran IPA di SD sebagai berikut: 1. Empat Pilar Pendidikan Global, yang meliputi learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Learning to know, artinya dengan meningkatkan interaksi siswa dengan lingkungan fisik dan sosialnya diharapkan siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan tentang alam sekitarnya. Learning to do, artinya pembelajaran IPA tidak hanya menjadikan siswa sebagai pendengar melainkan siswa diberdayakan agar mau dan mampu untuk memperkaya pengalaman belajarnya. Learning to be, artinya dari hasil interaksi dengan lingkungan siswa diharapkan dapat membangun rasa percaya diri yang pada akhirnya membentuk jati dirinya. Learning to live together, artinya dengan adanya kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu akan membangun pemahaman sikap positif dan toleransi terhadap kemajemukan dalam kehidupan bersama. 2. Prinsip Inkuiri, prinsip ini perlu diterapkan dalam pembelajaran IPA karena pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, sedang alam sekitar

15

penuh dengan fakta atau fenomena yang dapat merangsang siswa ingin tahu lebih banyak. 3. Prinsip Konstruktivisme. Dalam pembelajaran IPA sebaiknya guru dalam mengajar tidak memindahkan pengetahuan kepada siswa. Melainkan perlu dibangun oleh siswa dengan cara mengkaitkan pengetahuan awal yang mereka miliki dengan struktur kognitifnya. 4. Prinsip salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, masyarakat). IPA memiliki prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi. Sedang perkembangan teknologi akan memacu penemuan prinsip-prinsip IPA yang baru. 5. Prinsip pemecahan masalah. Pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip ini agar siswa terlatih untuk menyelesaikan suatu masalah. 6. Prinsip pembelajaran bermuatan nilai. Pembelajaran IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan atau kontradiksi dengan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat sekitar. 7. Prinsip Pakem (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif untuk melakukan kegiatan baik aktif berfikir maupun kegiatan yang bersifat motorik. Ketujuh prinsip itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA yang kontekstual di SD. Hal ini bertujuan agar pembelajaran IPA lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal.

2.2 Kajian Penelitian yang Relevan Indama Maria Ulfa (2010) tentang pengaruh penggunaan metode pembelajaran kooperatif (think pair share) terhadap hasil belajar IPS terpadu siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Lawang. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa secara simultan metode pembelajaran kooperatif (think pair share) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata nilai kelas eksperimen sebelum diberi perlakuan pada saat pretest yaitu 46,77 sedangkan rata-rata kelas kontrol sebelum diberi perlakuan pada saat pretest yaitu

16

46,65. Pembelajaran hasil belajar siswa yang diajar dengan metode Kooperatif think pair share lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan metode konvensional. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan antara siswa kelas eksperimen yang diajar dengan Think Pair Share dan siswa kelas kontrol yang diajar dengan metode konvensional. Dari hasil pengamatan dikelas yang diajar metode kooperatif think pair share dapat memberdayakan kemampuan berpikir siswa, melibatkan siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Dan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Karimah, Inayatul. 2008. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Think Pair Share untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas X-G MAN Lamongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 7,32%. Hasil belajar siswa menunjukkan peningkatan rerata sebesar 8,51 dengan porsentase ketuntasan belajar secara klasikal mengalami peningkatan sebesar 26,83% Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif model TPS dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar Biologi siswa kelas X-G MAN Lamongan, sehingga dapat disarankan kepada guru untuk menggunakan pembelajaran kooperatif model TPS pada pokok bahasan yang lain (selain ekosistem dan pencemaran lingkungan). Guru dapat menciptakan suatu variasi pembelajaran seperti menggabungkan pembelajaran kooperatif model TPS atau pembelajaran kooperatif yang lain dengan kegiatan praktikum untuk menghindari perasaan bosan pada siswa. Guru disarankan lebih banyak memberikan reinforcement sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran. Berdasarkan analisis judul yang pernah digunakan para peneliti di atas maka dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe think pair share dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan analisis tersebut maka peneliti melakukan penelitian eksperimen dan menguji apakah terdapat pengaruh yang signifikan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe think pair share pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

17

2.3 Kerangka Berpikir Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah di identifikasi sebagai masalah yang penting. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar IPA antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share. Sedangkan pada kelas kontrol akan dilakukan pembelajaran seperti biasa guru mengajar. Untuk soal pretest akan diambil dari alat evaluasi yang telah diuji coba pada kelas uji coba. Hasil pretest di kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan uji bedar rata-rata dan harus menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Kemudian setelah dilakukan pembelajaran think pair share di kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional di kelas kontrol maka hasil belajar dari kedua kelompok tersebut di lakukan uji beda rata-rata hasil posttest untuk melihat apakah ada pengaruh yang signifikan dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share. Kerangka berpikir ini dapat dilihat dalam bagan alur kerangka berpikir berikut ini:
Kelas Kontrol Pembelajaran menggunakan metode konvensional

Pretest

Posttest

Hasil pretest tidak boleh ada perbedaan yang signifikan

Uji beda hasil postest apakah ada pengaruh yang signifikan dengan penggunaan model pembelajaran TPS

Kelas Eksperimen

Pretest

Pembelajaran menggunakan model pembelajaran TPS

Posttest

Gambar 2.1 Alur kerangka berfikir.

18

2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir dapat dirumuskan hipotesis sementara dalam penelitian ini adalah ada model pembelajaran kooperatif tipe TPS (think Pair Share) efektif dalam meningkatkan hasil belajar IPA siswa pada kelas V SDN 01 Nampu Kecamatan Karangrayung kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2011/2012.

You might also like