You are on page 1of 15

I.

SEKILAS PEMAHAMAN SENI BUDAYA

1.1 Pengertian Kebudayaan Kebudayaan menurut pandangan antropolog adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980: 193-239). Serupa dengan gagasan Honingmann yang membedakan tiga gejala kebudayaan yaitu ideas, aktivities, dan artifacts, Koentjaraningrat (1980:200) membedakan tiga wujud kebudayaan yang ia sebut: pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan; kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat; dan ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. Dari pandangan antropologi, biasanya melihat kebudayaan sebagai unsur yang terintegrasi. Keseluruhan unsur-unsur tersebut disebut unsur-unsur kebudayaan universal, artinya berbagai macam unsur itu ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan di dunia. Dari berbagai unsur kebudayaan tersebut dapat dipilh-pilahkan menjadi tujuh unsur yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisosial, sistem peralatan (teknologi), sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, dan kesenian. 1.2 Pengertian Seni Seni pada masa lampau selalu dihubung-hubungkan dengan tiga hal yaitu keindahan, kebaikan, dan kebenaran. Hal tersebut juga pernah dihubungkan dengan pendapat filsuf Jerman yang bernama Alexander Baumgarten yang membedakan tiga kesempurnaan di dunia yaitu kebenaran, keindahan dan kebaikan (Soedarso, 1998). Keindahan berada dalam cakupan tangkapan inderawi, kebaikan melalui penangkapan moral atau hati nurani, dan

kebenaran ditangkap melalui rasio. Karena seni berhubungan dengan olah rasa dan olah pikiran maka seni sering dijadikan lencana bagi kebenaran moral dan etika kebaikan pada umumnya. Oleh karenanya menurut pandangan teori seni klasik menyatakan bahwa seni harus indah, baik, dan benar. Berdasarkan teori mimesis Plato dan Aristoteles kesenian adalah suatu usaha untuk menyalin alam ke dalam berbagai macam bentuk. Menurut Ki Hajar Dewantara seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakan perasaan jiwa manusia (Soedarso, 1998). Sebagai produk keindahan yang dihasilkan manusia menurut teori ini seni selalu bersangkut paut dengan keindahan. Dengan demikian seni adalah berbagai cara untuk mengkomunikasikan sesuatu. Keistimewaan seni dalam ekspresivitas, memperhalus dan memperluas komunikasi menjadi suatu persentuhan rasa yang akrab dengan menularkan kesan dan pengalaman subyektif, yaitu kesan dan pengalaman seniman kepada penonton atau pengamat. Kesenian sebagai unsur kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai hasil ciptaan, suatu hasil karya manusia, tetapi dalam hal ini lebih dipandang sebagai suatu simbol, lambang yaitu mengatakan sesuatu tentang sesuatu jadi berhadapan dengan makna pesan yang perlu diresapkan. Sebagaimana dinyatakan Langer (1957: 31-33) seni sebagai abstraksi bentukbentuk simbolik dari macam-macam perasaan manusia dapat diungkapkan dengan berbagai media. Simbol seni semata-mata tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan realitas obyektif atau fakta, melainkan realitas subyektif atau subyektivitas si seniman, sehingga bentuk simbolis yang dihasilkan mempunyai ciri-ciri yang khas, Langer menyebutnya sebagai forma atau bentuk yang hidup (living form). Berkat ekspresi tersebut, simbol seni tidak tinggal diam, beku atau bisu tetapi berbicara kepada orang lain (Sudiardja, 1983: 7780). Simbol seni dengan demikian satu dan padu. Ia tidak hanya menyampaikan makna untuk dimengerti, tetapi lebih kepada pesan untuk diresapkan. Terhadap makna, orang hanya

dapat mengerti atau tidak mengerti tetapi terhadap pesan terutama dalam seni orang dapat tersentuh secara mendalam dan intensif. II.

SENI KARAWITAN
Seni Karawitan adalah musik tradisional Indonesia baik vokal maupun instrumental yang

berlaras pelog atau selendro. Seni Karawitan dapat dibedakan menjadi dua yaitu seni karawitan vokal dan seni karawitan instrumental. Seni karawitan vokal medianya suara manusia lazim disebut tembang, sedangkan seni karawitan instrumental medianya alat bunyi-bunyian lazim disebut gamelan.

Seni karawitan terutama gamelan berkembang sangat pesat di Bali. Dari segi ragam ansambelnya tak kurang dari 38 perangkat gamelan kini tersebar di seluruh Pulau Dewata. Hampir setiap banjar memiliki sedikitnya satu barung gamelan. Fungsi utama dari masingmasing gamelan tersebut adalah untuk mendukung kegiatan upacara agama dan upacara adat bagi masyarakat setempat. Kini dengan gencarnya industri pariwisata sebagian masyarakat, telah mengembangkan fungsi sekunder gamelan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup sekelompok masyarakat, terutama seni gamelan yang memiliki peran menopang kegiatan seni turistik. Jika dirunut berdasarkan penggolongannya seni karawitan terutama gamelan Bali diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi yaitu: gamelan tua, gamelan madia dan gamelan baru (Rembang, 1983). Klasifikasi ini didasarkan atas seberapa besar dominasi fungsi dan kedudukan kendang dalam sebuah ansambel. Walaupun kriteria formal yang dijadikan landasan penggolongan belum sahih benar, namun setidaknya gambaran umum tentang eksistensi karawitan Bali dapat dijelaskan berdasarkan klasifikasi berikut. Kelompok gamelan tua pada umumnya tidak menggunakan kendang atau fungsi kendangnya tidak dominan diklasifikasikan ke dalam golongan tua. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah gamelan Gambang, Caruk, Selonding, Gender Wayang, Gong Bheri, Gong Luang dan Angklung Klentangan. Kelompok gamelan madia sudah mulai menggunakan kendang sebagai

pengendali dalam penyajian reportoar digolongkan ke dalam golongan madia. Termasuk dalam kategori ini adalah Gamelan Gambuh, Gong Bebonangan, Semara Pagulingan, Pelegongan, Joged Pingitan, Bebarongan, Gong Gede, Gamelan Pearjaan dan Batel. Kelompok gamelan baru adalah gamelan-gamelan yang menempatkan fungsi kendang telah berperan dominan. Sebagai tonggaknya adalah muncul sejak awal abad XX hingga sekarang. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah Gong Kebyar, Gamelan Jegog, Kendang Mabarung, Joged Bumbung, Gamelan Salukat, Gamelan Bumbang (1982), Adi Merdangga (1984), Genta Pinara Pitu (1985), Gamelan Terompong Beruk, Bala Ganjur, Tektekan, Bumbung Gebyog, Grumbyungan, Gamelan Genggong, Gamelan Janger, Angklung Kebyar, Kembang Kirang, Gamelan Tambur, Gong Suling, Gong Samara Dahana (1992), Gong Gede Saih Pitu (2002), Gamelan Manika Santi (2006), dan Gamelan Siwa Nada (2010). Tingginya tingkat inovasi seniman Bali telah memperkaya khazanah gamelan Bali dari waktu ke waktu. Gamelan-gamelan tersebut, di samping memiliki kedudukan yang strategis secara fungsional baik dalam kaitannya dengan fungsi wali (sakral), bebali (semi sakral) dan balih-balihan (sekuler) juga dimanfaatkan sebagai media, wahana kreativitas bagi anggota masyarakat pendukungnya. Itulah sebabnya seni karawitan Bali dapat menunjang segala aktivitas kehidupan budaya masyarakatnya, seperti kegiatan ritual, adat, sosial, hari-hari besar kenegaraan, pawai, lomba, termasuk dalam menunjang kegiatan bidang pariwisata dan kepentingan politik bagi parpol dan ormas (kampanye, demonstrasi, dan atraksi peilukada lainnya). Bali sudah sejak dulu dijuluki sebagai Pulau Kesenian. Hal ini tentu tidak terlepas dari potensi kesenian Bali yang begitu variatif dan bercita rasa tinggi. Dalam kaitan dengan seni pertunjukan, seni karawitan memiliki fungsi strategis untuk mendukung kehidupan seni-seni yang lainnya seperti seni tari palegongan, kekebyaran, pajogedan, bebarongan, dan dramatari

lainnya seperti pagambuhan, petopengan, pearjaan, penyalonarangan, janger, wayang, dan juga seni pasantian. Kehidupan seni-seni tersebut umumnya diwadahi dalam sebuah organisasi yang disebut sekaa, di bawah patronage lembaga tradisional seperti Banjar, Pemaksan, Desa Pakaraman, Puri dan sebagainya. Kini dalam perkembangannya telah tumbuh berbagai organisasiorganisasi sosial seperti yayasan, sanggar, group, baik yang terdapat di hotel, restauran, lembaga-lembaga pemerintah seperti instansi-instansi, sekolah, dan perguruan tinggi dan lembaga penyiaran publik seperti RRI, TVRI, dan TV lokal lainnya yang telah menjadi pendukung sekaligus pengayom perkembangan seni di masyarakat. Di Bali umumnya, hampir setiap Banjar memiliki kesenian Tari dan Tabuh terutama dalam kaitan untuk menunjang kebutuhan pelaksanaan upacara keagamaan. Seni Tari kini berkembang subur di Bali baik yang tradisi maupun ciptaan-ciptaan baru. Sebagai bagian dari seni pertunjukan keberadaan seni tari juga sangat berkaitan dengan seni karawitan sebagai iringannya. Baik untuk mengiringi seni tari yang berlakon seperti dramatari maupun seni tari yang tidak berlakon. Dalam kaitan ini gamelan sebagai pengiring juga sangat diperlukan untuk bidang seni tari seperti : tari yang berlakon dan pelakunya berantawacana seperti drama tari Wayang Wong diringi dengan gamelan Batel, Arja diringi dengan gamelan Geguntangan, dramatari Calonarang diringi gamelan Bebarongan, Legong Kraton diringi gamelan Palegongan, dramatari Gambuh diiringi gamelan Pagambuhan, dramatari Topeng diiringi gamelan Gong Gede atau Gong Kebyar, Parwa diiringi gamelan Batel, tari Janger diringi gamelan Batel dipadukan gamelan Gender Wayang, dan Sendratari diiringi dengan gamelan Gong kebyar atau sering pula dipadukan dengan Gong Gede dan Semar Pagulingan;

2) tari yang tidak berlakon yang mencakup berbagai jenis seperti: Tari Baris diirngi Gong Gde, Tari Sanghyang diringi tembang atau musik vokal, Sutri diringi Gong Kebyar, Tari Rejang diiringi Gong Gde/Kebyar, Tari Joged diiringi Joged Bumbung, Tari Mageret Pandan dan Tari Mabuang diirngi gamelan Selonding, Tari Makepung diirngi gamelan Jegog, Tari Godogan diiringi dengan gamelan Genggong dan tari-tarian lepas diirngi dengan Gamelan Gong Kebyar. Bagaimanapun keberhasilan penyajian sebuah tarian sangat ditentukan oleh musik iringan untuk mendukung suasana, aksentuasi dan ekspresi geraknya.

III.

GONG KEBYAR Gong Kebyar adalah sebuah ansambel gamelan Bali yang dipekirakan muncul tahun

1915 (Mc Phee, 1966: 328) di daerah Bali Utara (Singaraja) tepatnya di desa Jagaraga (Sawan). Ada pula informasi yang lain bahwa yang memulai tradisi Kebyar I Gst Bagus Panji di desa Bungkulan. Istilah kebyar dari kata byar-byar yaitu sinar yang datang secara tiba-tiba. Sesuai dengan namanya gamelan ini bermakna cepat, tiba-tiba dan keras. Musik yang dihasilkan dari gamelan ini memang penuh dengan kejutan-kejutan secara tiba-tiba, menghentak secara keras dengan tempo cepat yang dinamis. Gamelan ini selain untuk menyajikan tabuh-tabuh instrumental juga untuk mengiringi tari-tarian kekebyaran. Secara fisik Gamelan Gong Kebyar adalah pengembangan kemudian dari gamelan Gong Gede dengan pengurangan peranan dan peniadaan beberapa buah instrumennya seperti peranan Instrumen Terompong dikurangi bahkan dalam beberapa reportoar tidak digunakan sama sekali. Gangsa jongkok Gong Gde yang berbilah lima dalam Gamelan Kebyar dikembangkan menjadi 10 bilah dan dirubah menjadi gangsa gantung. Cengceng Kopyak yang berjumlah 6-8 pasang diganti dengan 1 atau 2 set cengceng kecil. Kendang yang dimainkan dengan panggul kemudian diganti dengan menggunakan pukulan tangan.

Secara konsep Gong Kebyar adalah perpaduan antara rasa musikal Gender Wayang yang lincah, Gong Gede yang kokoh dan pelegongan yang melodis. Dalam perkembangannya Gong Kebyar juga mengadopsi berbagai reportoar gamelan Bali lainnya seperti pagambuhan, leluangan, pejogedan, dan gegambangan. Gong Kebyar pada masa awal perkembangannya adalah ikon musik Bali modern. Masyarakat Bali seakan-akan terhipnotis dengan gerak laju perkembangan Gong Kebyar. Akibatnya banyak jenis gamelan Bali yang dilebur dijadikan Gong Kebyar. Tahun tiga puluhan, ansambel palegongan, Gong Gde, dan boleh jadi gamelan Bali lainnya banyak yang menjadi korban, dilebur dijadikan Gong Kebyar. Munculnya tari Kebyar Legong karya Pan Wandres yang dikembangkan menjadi tari Teruna Jaya oleh Gde Manik semakin menunjukkan identitas gamelan ini yang cepat dan dinamis. Kemudian dengan datangnya seorang penari Jauk bernama I Ketut Mario dari Tabanan berhasil menciptakan tari Kebyar Duduk tahun 1925, dan tari Oleg Tamulilingan tahun 1952. Tari Kebyar Duduk disebut juga tari Kebyar Terompong, karena sambil duduk penarinya dengan lincah memainkan instrumen Terompong. Tarian-tarian ini sampai sekarang masih eksis dan menjadi ikon tarian Kebyar. Selain kedua tarian di atas, dalam perkembangannya muncul juga beberapa tarian seperti tari Margepati (Raja Hutan) yang diciptakan seniman Nyoman Kaler tahun 1942. Ia juga menciptakan tari Demang Miring, Panji Semirang. Tarian Wiranata diciptakan oleh Nyoman Ridet. Tari Nelayan oleh Ketut Merdana (Singaraja) tahun 60-an, Tari Tenun oleh Wayan Likes tahun 1957. Tari Tani tahun 1957 dan Kupu-kupu oleh Wayan Berata tahun 1960-an. Tari Gabor oleh I Gusti Gde Raka dari Saba Blahbatuh Gianyar tahun 1969. Pada era tahun 80-an muncul beberapa karya tari kreasi baru dengan corak yang agak berbeda seperti Manuk Rawa tahun 1981 oleh Wayan Dibia dan Wayan Beratha, Puspawresti Karya I Wayan Dibia dengan I Nyoman Windha (1981), Tari Jaran Teji (1985), Yudhapati dan Cilinaya karya Wayan Dibia tahun 1986. Tari

Kijang Kencana dan Srikandi Duta karya I Gusti Agung Ngurah Supartha dan I Wayan Beratha tahun 1982, Sekaribing karya I Nyoman Suarsa dan Ketut Gde Asnawa (1983), Tari Gopala Nyoman Suarsa dengan I Ketut Gde Asnawa (1983), Jalak Putih tahun 1984 Karya I Gusti Bagus Arsadja. Kembang Pencak karya Nyoman Catra dengan Nyoman

Windha),Tahun 1988 muncul tari Cendrawasih karya NLN Swasti Wijaya Bandem bersama Nym. Windha. Karya bersama lainnya Puspanjali (1989), Sekarjagat (1993), Bebilis (1983), Saraswati (1994). Tarian Satya Brasta (1989) karya hasil Ujian Sarjana Nyoman Cerita dan I Nyoman Pasek, Garuda Wisnu Kencana karya Nyoman Cerita dengan Arya Sugiartha dalam rangka Peksiminas di Bandung 1997. Tarian Kreasi ini semakin menjamur dengan di

masukkannya materi Tari Kreasi yang difestivalkan dalam lomba Gong Kebyar. Selain Tarian Kebyar muncul juga pengrawit selaku komposer muda setelah generasi Wayan Beratha, muncul Seniman Nyoman Rembang (gamelan Bumbang), Wayan Sinthi ( membuat gamelan Manika Santi, dan Siwanada), seperti Nyoman Astita, Ketut Gde Asnawa, Nyoman Windha, Gst Ngurah Padang, Nyoman Sudarna, I Made Arnawa, Ketut Tama, yang banyak menciptakan karya-karya karawitan kreasi baru. Generasi berikutnya adalah Sutama, Widya, Dewa Darmayasa, Japa, Darya, Cater, Suanditha, Dewa Alit, Sukarya, dan seterusnya. Selain musik dan tari-tarian Kebyar, juga dengan Gong Kebyar mampu

mempopulerkan Sendratari (seni, drama, tari) di Bali. Sendratari yang pertama adalah Jaya Prana digubah oleh Wayan Beratha tahun 1962. Kemudian baru muncul sendratari berikutnya gubahan Wayan Beratha bersama guru Kokar lainnya. Ramayana tahun 1965, Sendratari Mayadenawa 1966, Sendratari Rajapala tahun 1967, dan Sendratari ArjunaWiwaha tahun 1970. Setelah itu muncul sendratari Mahabarata garapan Nyoman Jayus di Tanjung Bungkak, Sendratari Gatut Kaca Sraya oleh Wayan Dibia di Baturiti, dan Sendratari Puputan Margarana oleh Nyoman Sumiasa dari Kedisan Singaraja. Era tahun 1980-an ASTI dan Kokar bergabung menciptakan sendratari Mahabaratha dan Ramayana 7 kanda. Pada masa

berikutnya di samping masing-masing lembaga seni ini telah mampu berkarya secara mandiri, tiap-tiap kabupaten juga mendapat kesempatan menampilkan sendratari di panggung besar Arda Candra. Seperti Karangasem dengan Sendratari Tanah Aron, Gianyar dengan Sendratari Ki Pasung Gerigis, Buleleng dengan Sendratari Ki Barak Panji (perang Jagaraga), Klungkung dengan Puputan Klungkung, Denpasar dengan Puputan Badung, Negara dengan Jimbarwana, Bangli dengan Satria Taman Bali, Tabanan dengan Puputan Margarana. Pada masa-masa berikutnya tampak semangat masyarakat bawah seperti banjar, clen

(warga/soroh), yang turut berpartisipasi dalam PKB, seperti munculnya Sendratari Angkus Prana Banjar Mukti, Singapadu (2009), Sendratari MGSDT(Mahagotra Sentana Dalem Tarukan) pada PKB XXXIII tahun 20011. Gong Kebyar adalah sebuah ansambel yang berlaras pelog lima nada. Laras adalah tangga nada dalam gamelan Bali, yakni urutan nada-nada dalam satu oktaf. Dalam gamelan Bali dikenal dua laras yakni laras pelog (mayor) dan laras selendro (minor). Laras pelog adalah urutan nada-nada dalam satu oktaf yang terdiri dari lima nada pokok dengan interval yang tidak sama, sedangkan laras selendro adalah urutan nada-nada dalam satu oktaf yang intervalnya hampir sama. Laras pelog lima nada terdapat dalam gamelan Gong Kebyar, Gong Gede, Bebarongan, Adi Merdangga, Pelegongan, Babonangan. Selain laras pelog lima nada dalam gamelan Bali juga terdapat gamelan laras pelog tujuh nada seperti terdapat dalam gamelan Gambang, Gong Luang, Semar Pagulingan, Pagambuhan, Semarandana, Gong Gede Saih PItu, Genta Pinara Pitu, Manika Santi, dll. Sementara larasselendro terdapat pada gamelan Angklung, Gender Wayang, Genggong, Joged Bumbung, dll. Sebagai bentuk ansambel yang lengkap Gong Kebyar terdiri dari 10 buah gangsa berbilah dengan rincian dua ugal, empat pemade, dan empat kantilan; 2 jegogan, 2 jublag, dua penyacah, satu tungguh reyong berpencon 12, satu tungguh terompong berpencon 10, sepasang kendang lanang wadon, satu tungguh kajar, satu tungguh kempli, satu tungguh

kempul, satu tungguh kemong, sepasang Gong lanang-wadon, sepangkon cengceng , 1-3 buah suling, dan satu tungguh rebab. Jika dilihat dari fungsi instrumennya dapat dibagi tiga kelompok yaitu sebagai pemangku lagu yaitu instrumen-intrumen yang memagang jalannya lagu seperti kantilan, pemade, ugal, penyacah, jublag, jegogan, terompong, rebab dan suling; sebagai pemangku irama yaitu kemong, kempul, kajar, kempli, gong, dan sebagai pemurba irama adalah kendang bersama-sama dengan cengceng yaitu instrumen yang mengatur cepat lambat, keras lemah, dan memberhentikan lagu. Selain itu instrumen kolotomik yang memegang ruas-ruas dan hukum-hukum lagu adalah penyacah, jublag, jegogan, kemong, kempli, kempul, dan gong.

IV. SEJARAH GAMELAN BALI a. Gol Tua (Gender Wayang, Selonding, Gambang, Angklung, Gong Luang, Caruk) b. Gol. Madya (Gong Gede, Pagambuhan, Palegongan, Babarongan, Joged

Pingitan/Gandrung, Semar Pagulingan) c. Gol. Baru (Gong Kebyar, Gong Suling, Adi Merdangga, Bumbang, Semarandana, Genta Pinarapitu, Gong Gede Saih Pitu, Salukat, Balaganjur, Tektekan, Bumbung Gebyog, Okokan, Batel Ramayana, Manika Santi, Siwanada, Kendang Mabarung, Jegog, Terompong Beruk, Kembang Kirang, Angklung Kebyar, Geguntangan, Joged Bumbung, Gamelan Janger, Pereret, Balaganjur Semarandana, Genggong ) dll.

Perkembangan reportoar (klasik, modern, kontemporer)

Reportoar Klasik adalah jenis reportoar yang mana pola-pola lagunya telah diikat dengan hukum-hukum atau uger-uger tertentu yang tidak boleh dilanggar. Contoh tabuh-yabuh pegongan klasik seperti tabuh Pisan Pisang Bali, Tabuh Telu Gajah Nongklang, Tabuh Telu Buaya Mangap, Tabuh Pat Semarandana, Tabuh Pat Jagul, Tabuh Pat Banda Sura, Tabuh Nem Galang Kangin, Tabuh Kutus Pelayon, dsb. Begitu pjula pada beberapa asambel lainnya seperti dalam pagambuhan, paarjaan, dan palegongan telah memiliki pakem tersendiri. Dalam lagu pegongan strukturnya masih kuat dengan pola kawitan, pengawak, pengiba, pengisep, pengecet, dan pekaad.

Reportoar Kreasi adalah sebuah reportoar yang beranjak dari pengembangan tradisi namun telah menunjukkan adanya modifikasi, variasi, baik secara bentuk maupun isinya. Dalam konteks ini ditekankan pada sikap penggarap yang lebih terbuka dalam mengekspresikan gagasannya baik dalam penggarapan karawitan instrumental maupun iringan tari. Beberpa contoh karya tabuh kreasi baru adalah Tabuh Purwa Pascima, Candra Metu, Kosalia Arini, Palguna Warsa, Swa Buana Paksa Karya maestro tabuh I Wayan Beratha, Paksi Angelayang karya Nyoman Astita, Wahyu Giri Suara (87), Candra Baskara (1998) Lekesan (2000), Kuda Mandara Giri (2001), Gelar Sanga (2007), Mas Kumambang (2010) karya Nyoman Windha. Demikian pula karya-karya generasi berikutnya seperti Darya, Widia, Subandi, Suandita, dll. Dalam penataan iringan tari seperti Kidang Kencana, Belibis, Manuk Rawa, Jaran Teji oleh Wayan Beratha, Cendrawasih, Puspanjali, Sekar Jagat, Iringan Gopala oleh Ktut Gde Asnawa, Tari Satya Brasta dan Garuda Wisnu Kencana oleh Nyoman Cerita, tari Puspanjali Sekar Jagat, Gadung Kasturi, Cendrawasih, Belibis,oleh NLN Swasti Wijaya. Reportoar kontemporer adalah sebuah karya yang telah mengekspresikan gagasan

baru, yang tidak lagi terikat dengan aturan-aturan tradisi. Orientasi ditekankan pada hasil

penemuan baru dan kosep-konsep secara eksperimental. Dalam karya kontemporer justru kebaharuan adalah menjadi tantangan utama dalam konsep karyanya. Selain originalitas, kepekaan kreatif, dan juga ide dan konsep yang ditawarkan. Contoh karya Ketut Gde Asnawa yang bejudul Kosong, Eka Dasa Rudra (Astita), Sangkep (Windha), Jass Fusion (Windha), Body Cak (Dibia), Ngelawang (Suteja), Seniman yang kini masih getol berkarya kontemporer adalah Made Yudana, I Nyoman Windha, Made Subandi, Agus Teja, Dewa Alit, Arnawa, Gde Arsana, Wayan Sudiarsa (Pacet) sementara di bidang Tari yang kini masih tekun membidangi dunia konetmporer adalah Nyoman Sura, Ketut Suteja, Gde Tegeh, dan Gung Rama.

IV.

Fungsi seni

Curt Sachs dalam Word History of the Dance merumuskan ada dua fungsi utama tari yakni untuk tujuan-tujuan magis dan sebagai tontonan. Gertrude Prokosch (G.P.) Kurath dalam artikelnya Panorama of Dance Etnology secara rinci mengutarakan ada 14 fungsi tari dalam kehidupan manusia yaitu: untuk inisiasi kedewasaan, 2) percintaan, 3), persahabatan, 4) perkawinan, 5) pekerjaan, 6) pertanian, 7) perbintangan, 8) perburuan, 9) menirukan binatang, 10) menirukan perang, 11) penyembuhan, 12) kematian, 13) kerasukan, 14) lawakan. Seorang pakar tari dari Indonesia bernama RM. Soedarsono mengelompokan fungsi seni menjadi tiga yaitu sebagai 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai ungkapan dan hiburan pribadi, dan 3) sebagai presentasi estetis. Seorang etnomusikolog bernama Alan P. Merriam menjelaskan ada 9 fungsi musik etnis yaitu:

1) Sebagai kenikmatan estetis (pencipta maupun penonton) 2) Hiburan bagi seluruh warga masyarakat 3) Komunikasi bagi warga masyarakat yang memahami musik 4) Representasi simbolis 5) Respon Fisik 6) Memperkuat komformitas norma-norma sosial 7) Pengsahan isntitusi-institusi sosial dan ritual-ritual keagamaan 8) Sumbangan pada pelestarian dan stabilitas kebudayaan 9) Sebagai pengikat solidaritas sosial Proses modernisasi melalui gelombang arus pariwisata tidak dipungkiri

mengakibatkan terjadinya proses kreativitas kesenian yang mengarah pada proses komodifikasi. Hal ini terjadi karena ada upaya-upaya untuk mengkemas bentuk kesenian tertentu untuk pemenuhan kebutuhan seni wisatawan. Akibatnya, komersialisasi dalam bidang seni tak terhindarkan. Muncul keinginan untuk menyuguhkan potensi kesenian yang unik dan eksotik. Mengantisipasi desakralisasi dalam bidang kesenian, maka tahun 1971 pemerintah propinsi Bali melalui Listibiya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) telah menetapkan bentuk-bentuk kesenian Bali yang boleh dan tidak boleh disajikan untuk wisatawan. Keputusan tersebut melahirkan pengklasifikasian kesenian Bali menjadi tiga golongan yakni jenis kesenian wali (sakral), bebali (semi sakral), dan balihbalihan (sekuler). Kesenian sakral sangat ditabukan untuk dipertunjukkan sebagai konsumsi wisatawan. Untuk memenuhi tuntutan wisatawan akan seni yang eksotik maka oleh seniman Bali dilakukan upaya pengkemasan seni turistik. Kemasan seni wisata ini tidak melanggar prosedur seni sakral, karena dalam proses penciptaannya memang jauh dari atribut yang sarat dengan makna-makna simbolis. Untuk membedakan dengan seni sakral, ada lima ciri seni wisata yang dikemukakan oleh Soedarsono (1999:3) yaitu; (1) tiruan dari aslinya; (2) singkat,

padat atau bentuk mini dari aslinya; (3) penuh variasi; (4) ditanggalkan nilai-nilai sakral, magis, serta simbolisnya; dan (5) murah harganya. Jadi untuk membedakan seni sakral dan seni profan juga dapat diamati dari proses penciptaannya. Sebuah barong atau rangda yang akan disakralkan dalam proses penciptaannya memerlukan berbagai sarana upacara (sesajen) dari sejak perencanaan menentukan pohon kayu yang akan dijadikan tapel (topeng), sampai proses sakralisasi (mingetin, ngepel, napak, melaspas, pasupati dan ngerehang/mintonin). Sementara produk kemasan seni wisata tanpa melalui proses yang rumit. Bahan dasar kayu dapat dibeli di mana saja. Untuk memulai proses pengerjaan tidak memerlukan sarana upacara khusus. Namun dari segi produk tidak jarang sepintas kelihatan sama dengan produk benda-benda sakral. Hal ini terjadi karena memang produk kemasan wisata mengimitasi produk sakral sebelumnya hanya simbol-simbol sakralnya telah distorsi untuk memenuhi kebutuhan seni turistik yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat. Dilihat dari proses kemasan seni yang demikian, terkait seni pertunjukan wisata maka muncul beberapa istilah, yang oleh J. Maquet disebut sebagai art by destination (seni yang ditujukan bagi masyarakat setempat), tourist art (seni wisata/turistik), art of acculturation (seni akulturasi) atau pseudo tradisonal art (seni pseudo-tradisional), art by metamorphosis (seni yang telah mengalami perubahan bentuk) (Soedarsono,1999:3) Dampak dari kemasan seni wisata adalah semakin berkembangnya kesenian tertentu yang dulunya sangat ditabukan untuk umum. Ini berarti seni sakral yang dulunya hanya hidup dalam sebuah komunitas kini telah semakin eksis dan berkembang pesat dengan fungsi yang semakin berkembang pula. Sebagai contoh gamelan Selonding yang sangat disakralkan, dulunya hanya hidup dan berkembang di daerah Karangasem, kini telah tersebar luas tidak hanya di Bali tetapi juga sampai ke luar negeri. Demikian pula fungsi awalnya untuk mendukung upacara ritual kini telah difungsikan juga untuk olah kreativitas dalam bidang musik kreasi baru bahkan kontemporer.

Begitu kuatnya tradisi musik instrumental yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok desa, secara tidak langsung telah memberikan apresiasi terhadap seni suara berlaras pelog atau selendro. Implikasinya, nada-nada yang didengar dalam gamelan ternyata juga menjadi tangga nada yang digunakan dalam seni olah vokal. Habitus seperti ini sedikit tidak berpengaruh terhadap proses pembelajaran penguasaan tembang secara lebih mudah. Logikanya, orang yang telah memiliki sensitivitas titi laras tentu akan lebih mudah untuk menguasai reportoar lagu.

Refrensi Aryasa, IWM. 1983. Pengetahuan Karawitan Bali.Jakarta: Depdikbud. Dirjen. Dikdasmen., Dirdikmenjur. Collin McPhee, 1966. Music in Bali.Yale University Press. Dibia, I Wayan. 1997. Selayang Pandang Seni Pertunjukan. Denpasar: Soedarso. 1998. Seni dan Keindahan dalam Pidato Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, 30 Mei 1998. Sudiardja, A. 1983. Susanne K. Langer Pendekatan Baru dalam Estetika, dalam M.Sastrapratedja (ed). Manusia Multi Dimensional:Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: PT Gramedia.

You might also like