You are on page 1of 9

Cita-citanya Hanya Ingin Jadi Dosen

Prof Dr. H. M. Atho Mudzhar


Siapa pun boleh saja bercita-cita tinggi, misalnya menjadi presiden atau menteri. Tapi boleh juga kalau hanya ingin menjadi polisi, guru atau dokter. Namun antara cita dan fakta terkadang tidak selalu pas, sehingga tidak semua orang mampu menggapai impian menjadi kenyataan. Namun ada juga yang memperoleh melebihi apa yang dia cita-citakan. "Cita-cita saya hanya ingin menjadi dosen yang baik," kata Prof Dr H. M. Atho Mudzhar, MA saat ditemui di ruang kerjanya, di kantor Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) belum lama ini. Meski demikian pria kelahiran Serang, 20 Oktober 1948 pun akhirnya mengajar di sejumlah perguruan tinggi negri dan swasta, bahkan menjadi Rektor di Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan Pgs. Rektor IAIN Imam Bonjol Padang. Sebelum berkiprah menjadi dosen, ia pernah menjadi guru agama di Madrasah Ibtidaiyah di Jakarta Selatan (1966-1968), juga guru agama di PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) di Cijantung, Jakarta Timur. Kemudian mengabdi di kantor Litbang Depag. "Mulai menjadi dosen pada tahun 1982 di Fakultas Adab IAIN Jakarta," ujarnya. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama ini, kiatnya untuk meraih kesuksesan sesuai dengan mottonya yaitu, menunjukkan bahwa kita sungguh-sungguh. "Kalau kita ingin berhasil jangan lupa berdoa dan kerjakan kearah itu," ucap suami Dra. Hj. Ani Musahadah. Disela kesibukannya, pria yang telah melanglang buana untuk belajar, seminar, riset serta mewakili Departemen Agama juga aktif menulis beberapa buku, yaitu; Belajar Islam di Amerika (Pustaka Panjimas,1991), Pendekatan Studi Islam (Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1998), Membaca Gelombang Ijtihad (1998), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (2002), dan Identity, Religion, Ethnicity, Democracy, and Citizenship in Indonesia (Jakarta, 2004). Ia juga pernah menerima Satya Lancana Wira Karya dalam bidang Kerukunan Umat Beragama, berdasarkan Keputusan Presiden No. 001/TK/2008. Bercerita tentang pengalaman pendidikan, ia mengecap pendidikan dasar sekaligus Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah, dua-duanya tamat bersamaan tahun 1961. Lalu masuk PGAN 6 tahun tamat 1966. Kemudian masuk IAIN Jakarta, tamat sarjana muda (BA) 1971 dan sarjana (Drs) 1975. Sedangkan pendidikan pasca sarjana ditempuh di Universitas of Quennsland, Australia akhirnya memperoleh Master of Social Planning and Development tahun 1981, lalu melanjutkan ke Universitas of California Los Angeles, USA, memperoleh Doktor tahun 1990. Menurut Atho Mudzhar, perguruan tinggi termasuk perguruan tinggi Islam, baik negeri mapun swasta mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Perkembangan geososial dan politik masyarakat menuntut agar kedudukan dan fungsi perguruan tinggi itu benarbenar mewujud dalam peran yang nyata.

Pada umumnya peran perguruan tinggi itu diharapkan tertuang dalam pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu: dharma pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Dengan Dharma pendidikan, perguruan tinggi diharapkan melakukan peran pencerdasan masyarakat dan transmisi budaya. Dengan Dharma penelitian, perguruan tinggi diharapkan melakukan temuan-temuan baru ilmu pengetahuan dan inovasi kebudayaan. Dengan Dharma pngabdian pada masyarakat, perguruan tinggi diharapkan melakukan pelayanan masyarakat untuk ikut mempercepat proses peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Melalui dharma pengabdian pada masyarakat ini, perguruan tinggi juga akan memperoleh feedback dari masyarakat tentang tingkat kemajuan dan relevansi ilmu yang dikembangkan perguruan tinggi itu. Peran ketiga-tiga dharma perguruan tinggi itu berjalan serempak dan saling terkait, sehingga secara teoritik suatu peguruan tingi tidak boleh hanya berperan dalam sebagian dharma dan meninggalkan yang lain. Namun demikian, kenyataan ketidakseimbangan peran itu sering terjadi. Jika suatu perguruan tinggi hanya melakukan peran pendidikan dan melupakan sama sekali dua dharma yang lain maka perguruan tinggi itu sebenarnya sedang berperan seperti sekolah. Demikian pula umpamanya jika suatu perguruan tinggi lebih banyak melakukan peran dalam dharma pengabdian pada masyarakat maka peguruan tinggi itu, jika perguruan tinggi Islam, seolah-olah sedang berperan sebagai organisasi sosial atau lembaga dakwah. Karena itu, mencari perimbangan pelaksanaan ketiga dharma itu menjadi sesuatu yang sangat penting. Pelaksanaan dharma pendidikan perlu memenuhi beberapa persyaratan : materinya jelas batas-batasnya (epistemologi), relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan dinamis sesuai dengan dinamika kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang yang bersangkutan. Dengan materi yang jelas batas-batasnya dimaksudkan bahwa suatu mata kuliah atau bidang studi atau suatu program studi jelas perbedaannya dengan mata kuliah atau program studi lain, tidak tumpang tindih dan rancu. Persamaan dan perbedaan antar berbagai mata kuliah

dan program studi tentu dapat diidentifikasi, tetapi arah masing-masingnya tetap jelas. Dengan relevan dimaksudkan bahwa setiap bidang ilmu atau program studi yang dikembangkan jelas kegunaanya bagi pengembangan masyarakat. Ini berarti bidang-bidang studi Islam yang tekstual dan klasik, sekalipun sekalipun harus selalu didekati dan dipahami dengan keperluan-keperluan pertanyaan jaman sekarang. Ini adalah tantangan yang tidak ringan, karena memerlukan sinergi antara mahasiswa dan dosen yang kreatif dan kritis, bukan saja dalam mempertahankan bidang studi atau program studi yang ada tetapi juga dalam menghapus bidang atau program studi yang lama dan menemukan serta memberlakukan yang baru. Sekarang ini masih terasa bahwa ada bidang atau program studi dipertahankan karena kekuasaan atau kepentingan subyektif dosen pengempunya. Demikian pula bidang studi baru tidak kunjung muncul karena lemahnya kreatifitas, seperti tiadanya bidang studi yang memahami kajian Islam kawasan dan pergumulan Islam dan budaya lokal. Adapun tentang syarat dinamis sesuai kemajuan ilmu pengetahuan maksudnya adalah bahwa setiap bidang studi Islam harus terus berkembang dalam teori dan metodologinya dan itu terjadi bukan hanya pada bidang studi yang kebetulan disebut perkembangan modern dalam Islam.Adapun yang dimaksud sesuai kemajuan ilmu pengetahuan adalah bahwa bidang kajian Islam yang umumnya berada dalam lingkup kajian ilmu budaya dan ilmuilmu sosial diharapkan mampu menyerap dan mengkaitkan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Disamping itu, bidang studi dan program studi haruslah dilandasi dan diperlengkapi dengan logika dan metodologi yang kuat. Dalam pelaksanaan dharma penelitian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu penelitian di perguruan tinggi yang dilakukan oleh para dosen adalah guna mengembangkan pemahaman mereka sendiri mengenai bidang yang bersangkutan, sehingga sekaligus mengembangkan dan memperbaiki mutu bahan perkuliahan.

Penelitian oleh para dosen juga berperan mengembangkan teori-teori dalam bidang yang bersangkutan terutama pada penelitian-penelitian murni. Penelitian oleh para dosen dan staf perguruan tinggi juga dapat bersifat terapan untuk melayani masyarakat luas baik masyarakat pasar, konsumen, maupun lainnya. Penelitian bentuk terakhir ini sebenarnya juga salah satu bentuk pengabdian pada masyarakat. Semakin banyak dan tinggi mutu penelitian suatu perguruan tinggi, semakin tinggi pula derajat perguruan tinggi itu dalam dunia ilmu pengetahuan. Bahkan sebagian masyarakat menyebut diri sebagai research university. Pelaksanaan dharma pengabdian kepada masyarakat dapat berupa publikasi hasil-hasil penelitian dan dapat pula berbentuk kegiatan-kegiatan pelayanan kepada masyarakat seperti layanan kesehatan RS Perguruan Tinggi, atau kuliah kerja nyata mahasiswa. Kedua jenis pengabdian pada masyarakat ini sama-sama diperlukan, tetapi volumenya tidak boleh melebihi volume kegiatan dharma pendidikan dan penelitian. Dengan paradigma pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi seperti tersebut diatas, maka sekarang perhatian harus ditujukan kepada sistem lokalitas masyarakat setempat dan perubahan-perubahan sosial apa saja yang terjadi di dalamnya. Perubahan sosial dapat didefinisikan sebagai the alteration of patterns of culture, social structures, and social behaviors over time (perubahan social ialah perubahan pola-pola budaya (tata nilai), struktur-struktur social, dan perilaku social pada jangka waktu tertentu). Dengan definisi itu, kita dapat mengamati apakah di suatu daerah telah terjadi pergeseran tatanilai dari memandang sesuatu yang kurang baik menjadi sesuatu yang biasa saja, dari komunalisme menjadi indivisualisme, dari kebiasaan berinteraksi tanpa pamrih menjadi interaksi materialistik dan seterusnya. Dalam bidang stuktur sosial, apakah telah terjadi pergeseran kaum elit dari turun temurun menjadi sistem merit yang demokratis, pergeseran kedudukan ekonomi penduduk pendatang dan wargasetempat, pergeseran dari desa ke kota, pergeseran wilayah peran pemuka agama dari mencakup semua hal kehidupan

kepada mengkhusus kepada soal-soal agama atau sebaliknya. Dalam bidang prilaku sosial, perlu dicermati apakah dalam sepuluh tahun terakhir misalnya masyarakat mengalami pergeseranpergeseran perilaku, cara berpakaian masyarakat, cara masyarakat bertegur sapa satu sama lain, cara bertransportasi, bahkan cara menyelesaikan masalah ketika di antara mereka terjadi benturan kepentingan misalnya, dari sikap lembut dan santun menjadi kurang lembut, atau sebaliknya, dan seterusnya. Perubahanperubahan sosial tersebut biasanya dipicu oleh berapa hal, antara lain. Pertama pertambahan jumlah dan komposisi penduduk, peredaran ide dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, adanya figur panutan atau figur pemaksa, dll. Ada teori yang mengatakan bahwa perubahan sosial selalu diawali dengan benturan-benturan, sehingga bagi teori ini konflik sosial adalah sesuatu yang senantiasa menyertai perubahan sosial. Kedua, perubahan social bermula dari semakin membesar atau meluasnya fungsi-fungsi dari berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga bagi teori ini perubahan sosial terjadi dalam suasana harmoni. Khusus dalam bidang kehidupan keagamaan, terdapat sejumlah kecendrungan perubahan sosial yang perlu mendapatkan perhatian kalangan perguruan tinggi Islam, di antaranya; pembangunan (developmentalisme) di berbagai daerah , khususnya kota-kota telah membawa perkembangan dan dinamika yang heterogen, komposisi penduduk semakin beragam karena semakin bertambahnya para pendatang baik dari daerah-daerah di pedalaman Apabila mereka itu kurang mampu beradaptasi dengan tradisi dan budaya setempat, sehingga keragaman ini tidak mampu dikelola dengan baik maka pada waktunya akan berkembang ke arah yang tidak menguntungkan. Ini harus didekati dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tradisi atau kearif-arifan local yang secara turun temurun mentradisi dalam kehidupandalam kehidupan masyarakat yang telah berfungsi dengan baik dalam membangun harmonis sosial perlu terus dikaji,

diinventarisir, dianalisis hubunganya dengan nilai ajaran agama, dan disosialisasikan. Konsep-konsep seperti kayuh baimbai (kerjasama),gawisabumi (gotong-royong), basusun sirih (kesetaraan), menyisir sisi tapih (intropeksi), rumah betang (kasih saying dan persaudaraan), handep atau habaring hurung (gotongroyong), juga haru didekati dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Forum-forum komunikasi antar umat beragama yang merupakan bentuk kearifan lokal hasil kesepakatan zaman ini, juga perlu didekati Tri Dharma Perguruan Tinggi, tambah Atho. Masalah kemiskinan akibat semakin kurangnya lahan hutan dan pertanian, dan perpindahan tenaga kerja tidak terampil dari desa ke kota sehingga menambah angka pengangguran dikota, serta bagaimana mekanisme yang ada dalam masyarakat mengatasi masalah-masalah itu, adalah juga hal yang perlu didekati dengan tridharma perguruan tinggi. Apalagi karena hal tersebut sebagian besar menyangkut warga masyarakat beragama Islam. Masalah kebodohan dan keterbelakangan yang masih melilit di sebagian daerah, baik karena pandangan dikotomis ilmu agama dan umum, maupun karena keterpencilan geografis atau kemiskinan, serta mekanisme sosial yang ada mengatasi hal itu, perlu didekati dengan Tridharma perguruan tinggi. SKB Memelihara Keamanan Terkait dengan masalah Ahmadiyah, Kabalitbang dan Diklat Kepegawaian Prof Dr Atho Mudzhar mengatakan, persoalan itu mencair setelah penerbitan SKB tiga menteri tentang peringatan dan perintah kepada anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan masyarakat yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung. SKB untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang ini. Bagi pemerintah, kata Atho, masalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia mempunyai dua sisi. Sisi pertama jelasnya, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang

berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, warga JAI adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat. SKB tersebut berisi 6 butir yang intinya terbagi atas dua bagian. Pertama, memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. "Bagi pelanggarnya dapat dikenai sanksi hukum termasuk badan hukum dan organisasinya," tandas Atho seraya menambahkan sanksi yang dimaksud tercantum dalam pasal 156a KUHPtentang penodaan agama. Ia juga memaparkan, penolakan umat Islam terhadap Ahmadiyah telah terjadi sejak tahun 1930-an. Kemudian penolakan pun terjadi baik dalam bentuk keberatan maupun perusakan bangunan rumah, masjid dan mushalla milik Ahmadiyah di berbagai daerah, antara lain di Sumatera Timur (1953), Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969), Nusa Tenggara Barat (1976), Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Surabaya dan Parung Bogor (1981), serta Riau, Palembang, Sumatera Barat dan Jakarta (1990). Akhir-akhir ini penolakan tersebut muncul kembali di sejumlah daerah, seperti Nusa Tenggara Barat (2002), Parung, Bogor (2006, Kuningan, Majalengka, dan Sukabumi (2008). Semua penolakan itu hanya ditujukan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang mengusung faham bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi. Sikap penolakan juga dilakukan dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan MUI pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian adalah jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan, dan pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah Qodian dan Lahore adalah sesat dan menyesatkan.

Fatwa yang sama juga dikeluarkan MUI Aceh, MUI Sumatera Utara, MUI Riau, PBNU, Muhammadiyah dan beberapa organisasi Islam lainnya. Pula aliran Ahmadiyah di beberapa negara juga telah dilarang dikembangkan seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, Kerajaan Arab Saudi, dan oleh organisasi Islam internasional, Rabithah Alam Islami. "Intinya adalah bahwa ada dua sisi, ada yang harus diluruskan, dengan cara pembinaan, kalau tidak kena sanksi. Masyarakat juga harus dijelaskan, karena bagiamana pun Ahmadiyah punya hak sebagai warganegara yang punya untuk dilindungi. Di satu sisi penyebab, disisi lain menjadi korban dari pada sebab yang dilakukan," jelasnya. Dalam kesempatan terpisah, Atho Mudzhar juga menyatakan, kerukunan umat beragama merupakan syarat mutlak bagi ketahanan nasional. Namun demikian menurut dia akhir-akhir ini gesekan antar umat beragama di Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Sejak Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 ditetapkan, gangguan umat beragama akibat pendirian rumah ibadah turun, ujarnya. Ia mengungkapkan, pendirian rumah ibadah sering kali menimbulkan masalah, apabila terjadi ketidaksepakatan masing-masing umat beragama yang berdiam di lokasi yang akan didirikan. Apalagi akibat ketidakjelasan yang diterima masyarakat setempat sehingga mereka main hakim sendiri. Misalnya ada bangunan untuk ibadat sementara, masyarakat tidak tahu bahwa itu dibolehkan lalu timbul masalah, ujarnya seraya menambahkan ketentuan bangunan ibadat sementara itu berlaku 2 tahun. Menurut Atho, masyarakat harus diberikan penjelasan menyangkut pendirian rumah ibadat, atau masalah yang menyangkut kerukunan umat beragama. Karena itu Forum Kerukunan Umat Beragama memiliki peran yang penting sebagai mediator umat beragama. FKUB merupakan penjelmaan umat beragama dalam memelihara kerukunan umat beragama, kata mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Sebagaimana kita ketahui lanjut dia, bahwa salah satu subtansi penting PBM yang ditetapkan 21 Maret 2006 itu adalah mengenai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB ini menjadi penting dan strategis karena sesuai ayat 6 pasal 1, fungsi forum adalah untuk membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Visi dan Misi Dalam bincang-bincang secara santai dengan IB, Atho Mudzhar juga menjelaskan institusi yang dia pimpin. Secara historis, institusi kelitbangan di Departemen Agama hadir pada tahun 1975 melaluiKMA Nomor 18 tahun 1975 yang mengatur pembentukan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama yang dikenal dengan Badan Litbang Agama Departemen Agama. KMA ini merujuk kepada Keppres Nomor 44 tahun 1974 tentang pokok-pokok Organisasi Departemen dan Keppres Nomor 45 tahun 1974 tentang Susunan Organisasi Departemen. Tugas dan fungsinya adalah penyiapan data dan informasi serta rancangan kebijakan. Dinamika kedua unit kelitbangan hadir pada saat diberlakukannya KMA No.1 tahun 2001, tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja Departemen Agama yang dikenal dengan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Sesuai KMA itu, unit kelitbangan digabung dengan unit kediklatan. Dinamika kelitbangan berikutnya kembali sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang dikenal dengan Badan Litbang dan Diklat. PMA ini merujuk kepada Peraturan Presiden RI nomor 62 tahun 2005 tentang kedudukan, fungsi, tugas, susunan organisasi dan tata kerja kementerian negara Republik Indonesia dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 63 Tahun 2005 tentang perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia. PMA ini semakin memperkokoh penyatuan unit kelitbangan dan kediklatan.

Adapun visi institusi adalah, terwujudnya kebijakan pembangunan agama berbasis riset dan tersedianya sumber daya manusia Departemen Agama yang berkualitas. Sedangkan misinya adalah, meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan kehidupan beragama, dan meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan pendidikan agama dan keagamaan. Selain itu meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan lektur keagamaan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Departemen Agama. Hal itu tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Litbang dan Diklat Nomor: BD/647.A/2005. Terkait dengan tugas institusi adalah, menyelenggarakan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan di bidang keagamaan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh menteri. (PMA No.3 Th. 2006, Bab XII, Pasal 754). Sedangkan fungsi institusi sesuai denganPMA No.3 Tahun 2006, Bab XII, Pasal 755 adalah; Perumusan dan penetapan visi, misi dan kebijakan teknis di bidang penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan. Pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelaksanaan tugas penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan. Dan, pelaksanaan administrasi Badan Litbang dan Diklat. Ditambahkan Atho, setelah lebih kurang 28 tahun sejak berdirinya Departemen Agama, sangat dirasakan adanya berbagai perubahan yang mencolok dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat sejalan dengan keberhasilan pembangunan. Berbagai perubahan tersebut membutuhkan penanganan dan kebijakan baru bidang pembangunan agama yang didukung oleh data yang lengkap dan akurat, peta sosial-keagamaan yang memadai, analisis yang valid, serta kecepatan dan ketepatan dalam mengenali masalah.

Dengan begitu diharapkan berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Departemen Agama sesuai kebutuhan pembangunan. Atas dasar dan semangat seperti itulah diterbitkan Keppres No. 45 Tahun 1974 yang mengatur tentang adanya Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dengan tugas pokok membantu pimpinan dalam hal merumuskan kebijakan, pengambilan keputusan dan perencanaan jangka panjang, disamping melaksanakan tugas-tugas instansi departemen. Berdasarkan Keppres. tersebut Menteri Agama kemudian menerbitkan Kep. Menag. No. 18 Tahun 1975, yang mengatur tentang unsur pimpinan, unsur tugas bantu dan unsur pelaksana lembaga tersebut. Unsur pelaksana, terdiri atas 3 (tiga) Pusat, yaitu : Puslitbang Perikehidupan Beragama dan Perikehidupan Kepercayaan terhadap Tuhan YME (Puslitbang I) yang pada tahun 1980 diubah menjadi Puslitbang Kehidupan Beragama berdasarkan Kep. Menag. Nomor 51 Tahun 1980, karena "Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa", tidak merupakan agama (TAP- MPR NO. IV/1978); Puslitbang Lektur Agama (Puslitbang II); dan Puslitbang Pendidikan Agama (Puslitbang III). Untuk meningkatkan wilayah jangkuan penelitian, maka pada tahun 1978, diberikanlah 3 (tiga) unit Pelaksana Teknis Badan Litbang Agama berdasarkan Kep Menag. No. 12, 13, dan 14 Tahun 1978, yaitu: Balai Penelitian Kerohanian/Keagamaan yang berlokasi di Semarang, Balai Penelitian Lektur Keagamaan yang berlokasi di Ujung Pandang (sekarang Makassar), dan Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan yang berlokasi di Jakarta. Sebagai bagian dari upaya meningkatkan mutu dan relevansi kinerja Departemen Agama, maka dilakukan perubahan struktur organisasi berdasarkan Kep. Menag. No. 01 Tahun 2001, tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. Berdasarkan Kep. Menag. tersebut Badan Litbang Agama menjadi Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan (sebelumnya Pusdiklat berada di bawah Menag dan bertanggungjawab kepada Sekretaris Jenderal) dengan susunan organisasi sebagai berikut:

Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, dengan tugas menyelenggarakan sebagian tugas pokok Dep. Agama di bidang Penelitian, pengembangan agama dan Diklat Keagamaan; Sekretariat Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, dengan tugas pemberian pekerjaan teknis dan administratif. Puslitbang Kehidupan Beragama,dengan tugas melaksanakan penelitian dibidang kehidupan beragama,pengarahan dan kerukunan antar umat beragama serta pembinaan UPT litbang agama Penelitian dan pengembangan pemikiran ,aliran faham keagamaan pengarahan dan pelayanan keagamaan dan hubungan antar agama. Puslitbang Pendidikan Agama dan keagamaan, dengan tugas melaksanakan penelitian di bidang pendidikan agama dan keagamaan serta pembinaan UPT di litbang agama (litbang pendidikan agama, pengurus agama, pondok pesantren dan pendidikan keagamaan luar sekolah). Puslitbang Lektur Keagamaan, dengan tugas melaksanakan penelitian dibidang lektur keagamaan dan pembinaan UPT litbang agama (litbang kitab suci, lajnah, khasanah, keagamaan klasik, lektur keagamaan kontemporer. Pusdiklat Administrasi, dengan tugas melaksanakan diklat pimpinan, tenaga teknis administratip dan pembinaan UPT Diklat (Diklat struktural pengembangan kepemimpinan dan teknis administrasi). Pusdiklat tenaga teknis Keagamaan dengan tugas melaksanakan Diklat tenaga teknis keagamaan dan pembinaan UPT Diklat (Diklat tenaga teknis pendidikan dan akademis, diklat tenaga urusan dan peradilan agama, diklat penyuluhan agamadan pelayanan haji). Tugas Pokok Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan juga mengalami sedikit perubahan sesuai dengan semangat inetgrasi, yaitu menyelenggarakan sebagian tugas pokok Departemen Agama di bidang penelitian dan pengembangan agama serta Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan berdasarkan kebijakan pelaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

Badan Litbang juga memiliki lembaga yang menangani tentang Al Quran, yang ditangani oleh lembaga lajnah. Tugas dan fungsi Lajnah sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1982, adalah: a) meneliti dan menjaga kemurnian Mushaf Alquran, rekaman, bacaan Al-Quran, terjemahan dan tafsir Al-Quran secara preventif dan refresif, b) mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf AlQuran untuk tunanetra (Al-Quran Braille), bacaan Al-Quran dalam kaset, piringan hitam dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di Indonesia; dan c) berusaha mengantisipasi peredaran Mushaf Al-Quran yang belum ditashih oleh Lajnah. Kegiatan Lajnah pada tahun 2005, seperti halnya pada tahun-tahun sebelumnya, tetap melakukan hal yang sama, yaitu mentashih Mushaf Al-Quran 30 Juz, Juz Amma, AlQuran dan Terjemahnya, Al-Quran dan Tafsirnya, dan bacaan-bacaan dalam bentuk kaligrafi lainnya. Pencetakan Mushaf Al-Quran akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Disamping itu banyak pula muncul penerbit-penerbit baru yang memiliki ide-ide cemerlang, sehingga muncul produk-produk penerbitan Al-Quran yang baru dengan wajah dan tampilan yang sangat menarik. Al-Quran tersebut dicetak dengan edisi Lux dengan kertas hard paper yang cukup indah, dan dilengkapi dengan warna-warna tajwid dengan sistem arsir. Pelaksanaan tugas Lajnah lainnya adalah merespon masukan, saran-saran dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat. Segala permasalahan yang menyangkut Kitab Suci Al-Quran yang dikemukakan oleh masyarakat dan ditujukan kepada Departemen Agama sebagian besar langsung ditujukan kepada Lajnah, tetapi banyak juga yang dialamatkan kepada Menteri Agama, maupun para pejabat lainnya pada unit-unit satuan kerja di lingkungan Departemen Agama yang selanjutnya ditreruskan ke Lajnah. Isi surat yang masuk antara lain: laporan ditemukannya kesalahan pada Al-Quran, termasuk salah teknis penjilidan, nomor halaman yang kacau, atau tidak urut, tulisan ayat yang rusak atau kabur dan sebagainya. Hal lain untuk menjawab pertanyaan

sehubungan adanya perbedaan tulisan Al-Quran, terutama perbedaan penulisan lafzul jalalah antara AlQuran dari Saudi Arabia dengan Al-Quran yang umum beredar di Indonesia, adanya perbedaan tandatanda baca pada sejumlah Al-Quran, perbedaan tulisan dan rasm, juga masalah qiraat dan riwayat, seperti AlQuran riwayat Warasy, Qalun, Al-Quran yang diterbitkan Libia dan lain-lain, perbedaan tulisan AlQuran Usmani dengan Al-Quran Pojok/Sudut/ Bahriyah, disekitar ulum Al-Quran, perbedaan terjemahan ayat pada sejumlah terjemahan Al-Quran yang beredar di masyarakat, kritik terhadap Mushaf Al-Quran Standar, dan saran-saran yang intinya untuk perbaikan dan penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Al-Quran Departemen Agama. Selain itu, tugas Lajnah adalah membina penerbit, melalui komunikasi lisan maupun tertulis, termasuk dengan surat edaran, juga pertemuan-pertemuan, diskusi dan dialog dengan para penerbit dan produsen Al-Quran, juga dengan tim kerja dari pihak-pihak yang melakukan penulisan Al-Quran. Pembinaan juga dilakukan melalui forum Lokakarya para penerbit AlQuran. Inti dari program pembinaan, adalah ajakan kepada para penerbit Al-Quran untuk lebih meningkatkan dedikasi dan komitmennya dalam menjaga dan memelihara Kitab Suci Al-Quran. Melalui tatap muka dan dialog dengan para penerbit, kata Atho, dimungkinkan munculnya gagasan-gagasan baru untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas penerbitan Al-Quran di Indonesia, seperti munculnya ide membangun Madinah Al-Quran atau Markaz AlQuran dan ide perlunya membentuk organisasi yang mewadahi para penerbit Al-Quran. Kedua gagasan itu muncul pada saat diselenggarakan Lokakarya para penerbit Al-Quran bulan Juni 2002 bertempat di Bayt Al-Quran Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Forum semacam itu juga efektif untuk mendengar dan menampung segala permasalahan yang muncul di sekitar penerbitan Al-Quran, termasuk ketika adanya masalah yang terjadi diantara mereka, seperti pengaduan adanya penggunaan cover dan ornamen milik sebuah penerbit oleh penerbit lain, juga pengaduan adanya dumping harga jual produk-produk

Al-Quran yang dapat merusak atau mengganggu tatanan usaha penerbitan Al-Quran. Pembinaan terhadap penerbit Al-Quran, selain berupa pengarahan, petunjuk, penjelasan, teguran untuk meningkatkan mutu, memperbaiki kekhilafan dan sebagainya. Pada tingkat yang ekstrim dapat berupa pencabutan izin mencetak Al-Quran, dengan bahasa yang lazim dipakai, perintah untuk menghentikan produksi Al-Quran dan menarik dari peredaran. Rekomendasi kegiatan lajnah adalah sebagai berikut. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang cukup besar dibidang Al-Quran serta untuk lebih mengamankan mutu penerbitan Al-Quran, maka amat mendesak didirikan sebuah penerbitan /percetakan AlQuran oleh negara/pemerintah. Kedua, mengingat beban lajnah yang makin luas dan meningkat serta perlu dukungan yang lebih besar dibidang SDM, peralatan, jaringan, dan pembiayaan, maka amat mendesak untuk menindak lanjuti komitmen Menteri Agama untuk memperkuat dan meningkatkan struktur lajnah. Ketiga, perlu penguatan kondisi kerja dengan pengaturan tugas dan tahapan yang jelas, mekanisme yang baik, agenda yang tertib serta pembiayaan yang memadai. Dan keempat, perlu penguatan SDM lajnah melalui rekrutmen satuan tugas lajnah secara terbuka, selektif, profesional, dari Perguruan-perguruan tinggi Al-Quran, UIN/ IAIN/ STAIN dan lain-lain sebagai pegawai negeri maupun sebagai tim ad hoc. Informasi tambahan, sekarang ini pejabat Depag terlihat kompak, imbuh Atho Mudzhar mengakhiri. (KS)

Curriculum Vitae: Nama Lengkap : Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar Tempat Tgl Lahir : Serang, 20 Oktober 1948 Jabatan : Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama Alamat Kantor : Kantor Badan Litbang dan Diklat Depag, Gedung Bayt Al-Quran/ Museum Istiqlal TMII, Jakarta Timur. Riwayat Pendidikan : Fakultas Tarbiyah Jurusan Ilmu Agama/ Syariah (1975) Master of Social Planning and Development, Univ. of Queensland , Brisbane , Australia (1981) Doctor of Philosophy in Islamic Studies, University of California Los Angeles, USA (1990) Pengalaman Jabatan : Direktur Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri (1991-1994) Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (1994-1996) Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1996-2001) Kabalitbang dan Diklat (2002-2008)

You might also like