You are on page 1of 12

SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

(KARYA TULIS UNTUK MATA KULIAH SOSIOLOGI )

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya penulis berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Karya tulis ini disusun untuk mengupas tentang sistem sosial yang ada pada masyarakat Bali dari sudut pandang sejarah, terutama mengenai bagaimana sistem itu terbentuk sampai bagaimana sistem sosial itu pada masa modernisasi sekarang ini. Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan pengertian yang lebih baik dan mendalam tentang sistem sosial yang ada pada masyarakat Bali. Tujuan dari penulisan makalah ini secara khusus adalah untuk melengkapi syarat dalam mata kuliah Sosiologi pada kelas Reguler Sore Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum Universitas Mataram. Sedangkan tujuan secara umum adalah demi kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat dijadikan bahan masukan dalam mempelajari ilmu Sosiologi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis mengharapkan adanya kritik serta saran dan masukan yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Mataram, 17 November 2011. Disusun oleh : I Made Ariwangsa W. N.I.M. : D1A111109

FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011

DAFTAR ISI

I. LATAR BELAKANG DAN MASALAH

PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1


LATAR BELAKANG DAN MASALAH ............................................................................... 1 A. B. LATAR BELAKANG .............................................................................................. 1 MASALAH........................................................................................................... 2

Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-bedaan yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar kita ada orang yang menempati jabatan tinggi seperti gubernur dan wali kota dan jabatan rendah seperti camat dan lurah. Di sekolah ada kepala sekolah dan ada staf sekolah. Di RT atau RW kita ada orang kaya, orang biasa saja dan ada orang miskin. Pembedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan, cakep jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang lain. A. LATAR BELAKANG Pengangkatan tema sistem pelapisan sosial pada masyarakat Bali ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh tujuan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti mata kuliah Sosiologi pada kelas Reguler Sore Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum Universitas Mataram.

LANDASAN TEORI......................................................................................................... 2 A. B. C. STRATIFIKASI SOSIAL ......................................................................................... 2 DIFERENSIASI SOSIAL ......................................................................................... 5 SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT INDIA DAN SEJARAHNYA ............... 6

II.

SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH ... 10


SEJARAH BALI ............................................................................................................. 10 SEJARAH SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI ........................................ 11 A. B. SISTEM DIFERENSIASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI ................................ 11 SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI ................................. 13

Akan tetapi tema ini menjadi sangat layak untuk dijadikan bahan penelitian dalam ilmu sosiologi karena penjelasan mengenai bagaimana sitem sosial itu terbentuk,

SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BALI PADA MASA KINI ............................................... 16

kemudian bagaimana dan mengapa sistem itu mengalami perubahan, serta bagaimana pengaplikasian sistem itu pada masa kini masih tergolong minim. Yang selama ini tersedia dalam jumlah yang cukup banyak adalah informasi-informasi yang didapat dari penelitian-penelitian yang tidak mencakup tentang keseluruhan segi dari sistem tersebut, dari asal mula nilai-nilai itu terbentuk, proses-proses sejarah yang melatari perubahannya, sampai pada keadaan sistem tersebut pada masyarakat di masa kini. Potongan-potongan informasi itu menjadi hal yang cukup sulit untuk dipelajari dan dipahami dengan benar, terutama bagi seorang yang masih baru dalam bidang ilmu Sosiologi. Apalagi ditambah dengan penyebaran informasi tersebut yang

III. KESIMPULAN .......................................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 20

ii

ada dalam buku-buku yang sangat banyak jumlahnya semakin mempersulit seorang pemula dalam mencapai pemahaman yang tepat dan benar tentang tema ini. Disini masalah-masalah ini memunculkan suatu gejala missing link dari interelasi fakta-fakta yang ada di lapangan secara nyata (dapat juga fakta yang terdapat dalam bukti-bukti sejarah) yang seharusnya dapat diketahui dan dipahami secara jelas dan benar mengenai bagaimana hubungan-hubungan diantara fakta-fakta tersebut.

Stratifikasi sosial menurut Max Weber adalah sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege (hak-hak istimewa) dan prestise. Selain itu, Cuber mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda. Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin stratum

Untuk itulah makalah ini disusun sehingga semoga dapat menjadi bahan rujukan yang cukup dalam perannya dalam rangka penelitian dan pengembangan pengetahuan terutama ilmu Sosiologi yang bersifat logis, empiris, teoritis, kumulatif, dan non-etis. B. MASALAH Masalah yang akan diangkat adalah: 1. Bagaimana pengaruh agama Hindu (kebudayaan Weda) dalam penggolongan masyarakat pada masyarakat Bali? 2. Bagaimanakah sejarah perubahan dan perkembangan sistem klasifikasi sosial dalam adat istiadat dan budaya pada masyarakat Bali? 3. Bagaimanakah sistem pelapisan sosial pada adat istiadat dan budaya masyarakat Bali dalam konteks kekinian pada jaman kehidupan modern ini? LANDASAN TEORI Ragam bentuk klasifikasi sosial berdasarkan atas sifatnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1. Stratifikasi sosial, yaitu pembedaan yang bersifat vertikal. 2. Diferensiasi sosial, yaitu pembedaan yang bersifat horizontal. A. STRATIFIKASI SOSIAL Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis) sebagai ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.

(tunggal) atau strata (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelaskelas secara bertingkat atau berjenjang. Berdasarkan cara perolehannya, stratifikasi sosial dibedakan menjadi 3, yaitu: 1. Ascribed Status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya. 2. Achieved Status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya, misalnya harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll. 3. Assigned Status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi didapatkan karena pemberian. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya. Berdasarkan sifat atau mobilitasnya, stratifikasi sosial dibedakan menjadi 3, yaitu: 1. Stratifikasi sosial tertutup, adalah stratifikasi dimana tiap-tiap anggota masyarakat tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah. Contoh: seorang anak yang lahir dari orang tua golongan rakyat biasa tidak dapat dirubah menjadi golongan bangsawan. 2. Stratifikasi sosial terbuka, adalah sistem stratifikasi dimana setiap anggota masyarakat dapat berpindah-pindah dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain, misalnya seseorang yang miskin dan bodoh bisa merubah strata sosialnya menjadi lebih tinggi dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak

keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan dalam kedudukan tingkat tinggi dengan bayaran/penghasilan yang tinggi. 3. Stratifikasi sosial campuran, merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Bali kelahiran Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah sehingga ia harus menyesuaikan diri dengan aturan masyarakat di Jakarta.

B. DIFERENSIASI SOSIAL Yang dimaksud dengan diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan yang biasanya sama. Pengertian sama disini menunjukkan pada penggolongan atau klasifikasi masyarakat secara horizontal, atau mendatar atau sejajar. Asumsinya adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi daripada golongan lainnya. Pengelompokan horizontal yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis (suku bangsa),

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan stratifikasi sosial adalah sebagai berikut. 1. Kekayaan (materi atau kebendaan) dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam hirarki strata sosial dimana yang memiliki kekayaan terbanyak maka ia akan masuk dalam lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja. 2. Kekuasaan dan wewenang, adalah ukuran dimana seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. 3. Kehormatan sebagai ukuran dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional yang sangat menghormati orang-orang yang berjasa kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur. 4. Ilmu pengetahuan umumnya dipakai sebagai ukuran oleh anggota-anggota masyarakat yang lebih menghargai ilmu pengetahuan. Tinggi atau rendahnya status seseorang diukur dari penguasaannya terhadap pengetahuan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan) atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor.

klen dan agama disebut kemajemukan sosial, sedangkan pengelompokan berasarkan perbedaan profesi dan jenis kelamin disebut heterogenitas sosial. Diferensiasi sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Ciri fisik adalah diferensiasi yang terjadi karena perbedaan ciri-ciri tubuh tertentu, misalnya: warna kulit, bentuk mata, rambut, hidung, muka, dsb. 2. Ciri sosial, adalah perbedaan dalam hal peranan, prestise dan kekuasaan. Diferensiasi sosial ini muncul karena perbedaan pekerjaan yang menimbulkan cara pandang dan pola perilaku dalam masyarakat berbeda. Contohnya : pola perilaku seorang perawat akan berbeda dengan seorang karyawan kantor. 3. Ciri budaya, adalah diferensiasi yang berhubungan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi atau kepercayaan, sistem kekeluargaan, keuletan dan ketangguhan (etos). Hasil dari nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dapat kita lihat dari bahasa, kesenian, arsitektur, pakaian adat, agama, dsb. Pengelompokan masyarakat membentuk delapan kriteria diferensiasi sosial. 1. Diferensiasi ras, berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisik bawan tertentu yang sama. 2. Diferensiasi suku bangsa (etnis), merupakan penggologan manusia atas dasar ciri-ciri biologis yang sama, seperti ras, budaya, bahasa daerah, dan adat istiadat. Menurut Hassan Shadily, MA, suku bangsa atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis.

3. Diferensiasi klan (clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klan merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi) yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama yang umumnya terjadi pada masyarakat unilateral. Dalam masyarakat Batak klan disebut marga, sedangkan dalam masyarakat Minahasa, Ambon dan Flores klan disebut fam, dan pada masyarakat Bali klan disebut soroh atau gotra. 4. Diferensiasi agama, adalah pengelompokan berdasarkan agama/kepercayaan yang menyangkut keyakinan seseorang yang dianggap benar sebagai suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci yang membentuk golongan masyarakat moral (umat). Umat pemeluk suatu agama bisa dikenali dari cara berpakaian, cara berperilaku, cara beribadah, dan sebagainya. 5. Diferensiasi profesi (pekerjaan), adalah pengelompokan yang didasarkan pada jenis pekerjaan atau profesi yang biasanya berkaitan dengan suatu keterampilan khusus. Berdasarkan perbedaan profesi kita mengenal kelompok masyarakat berprofesi seperti guru, dokter, pedagang, buruh, dan lain-lain. 6. Diferensiasi jenis kelamin, merupakan pengkategorian yang didasarkan pada perbedaan seks atau jenis kelamin (perbedaan biologis). 7. Diferensiasai asal daerah, adalah pengelompokan atas dasar asal daerah atau tempat tinggalnya yang terbagi menjadi 2, yaitu masyarakat desa dan masyarakat kota. 8. Diferensiasi partai, adalah perbedaan masyarakat dalam kegiatannya mengatur kekuasaan negara, yang berupa kesatuan-kesatuan sosial, seazas, seideologi dan sealiran. C. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT INDIA DAN SEJARAHNYA India adalah negeri tempat lahirnya dua spiritualitas besar dunia, yaitu Hindu dan Budha. Hindu yang pada kitab sucinya disebut sebagai Sanatana Dharma sudah ada dan terpelihara di India sejak zaman dahulu kala yang penentuan waktunya belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, membicarakan masyarakat Bali yang

notabene mayoritas Hindu adalah menjadi tidak lengkap tanpa mengupas terlebih dahulu kehidupan masyarakat India sebagai negeri asal mula Hindu. Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok. Mereka kemudian menamakan tatanan itu sebagai casta. Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job, yang diartikan sebagai kasta adalah sebuah kelompok hasil dari pembedaan/ pengelompokan masyarakat berdasarkan pada perbedaan kelas dari kekayaan, status, hak-hak, profesi atau pekerjaan. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775. Asal katanya adalah Casta yang berasal dari bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan. Bangsa Portugis menggunakan casta sebagai alat utama misi misionaris di India yang dimulai di wilayah Goa, misalnya dengan cara menyeret orang-orang lokal sebagi tahanan dan kemudian menyumpalkan daging sapi kedalam mulutnya yang mengakibatkan ia secara otomatis keluar dari salah satu golongan dalam kasta (masuk dalam golongan outcast) sehingga hanya ada 2 pilihan yang tersedia untuknya, yaitu mati dalam keadaan tetap memeluk keyakinan yang lama atau hidup dengan pindah keyakinan. Sedangkan untuk pengaplikasiannya untuk kepentingan kolonialisme adalah untuk dapat mengendalikan masyarakat jajahan dari semua golongan dan lapisan. Secara tradisional, sistem kasta sebagai sistem pelapisan sosial di India adalah salah satu sistem tertua dan paling penting dari kelas sosial. Ini berbeda dari varnashrama dharma seperti yang ditemukan dalam Hindu yang memungkinkan orang yang lahir ke dalam varna tertentu untuk bergerak ke atas atau ke bawah tergantung pada kualifikasi mereka. Varna ini membagi masyarakat berdasarkan pada keahlian dan kemampuannya. Secara singkat, Brahmana varna diidealisasikan sebagai kelas para imam yang dikhususkan sebagai pemimpin keagamaan serta orang yang menguasai

pengetahuan Weda, sementara Kshatriya membela dan mempertahankan mereka sebagai prajurit militer. Konsep modern dari kelas menengah diwakili oleh Waishya varna yang meliputi golongan pengrajin, petani, pedagang dan pejabat administrasi. Varna terakhir adalah Shudra yang meliputi kaum buruh dan pekerja kasar, atau orang yang hanya memiliki keahlian dan keterampilan fisik. Dalam masyarakat India terdapat golongan lain yang berada diluar empat golongan tadi, yaitu yang kaum Candala seperti Paria, Harijan, Dalitan, dan lain-lain. Ini harus diakui sebagai bukan suatu sistem keagamaan seperti varnashrama dharma, tetapi sebagai suatu sistem sosial yang berevolusi dari varnashrama dharma. Dalam pengertian varna terkandung pemaknaan sebagai suatu sistem klasisfikasi sosial terbuka yang bersifat horizontal. Manusia dalam hal ini dibedakan dan digolongankan berdasarkan guna (sifat, bakat, kemampuan) dan karma (perbuatan atau pekerjaan). Selain itu dalam Weda dinyatakan bahwa penggolongan ini diibaratkan sebagai suatu sistem tubuh manusia yang utuh dan sempurna dimana antara setiap organnya adalah saling mendukung dan bekerjasama secara harmonis.

Prahlada anak raksasa Hiranyakasipu menjadi seorang Brahmana karena ketaatannya.

Terjadinya perubahan pemaknaan dari varna menjadi sistem kasta ini dapat dipahami dari sudut pandang pengetahuan sebagai evolusi yang bersifat menurun dari suatu masyarakat pendukung sistem kebudayaan yang berasal dari sistem kepercayaan yang telah berusia lebih dari 8.000 tahun. Ia dikatakan menurun karena makna dari sistem kasta yang bersifat vertikal genealogis tertutup (closed ascribed vertical) adalah tidak sesuai dengan nilai ideal sebenarnya yang bersifat horizontal prestasi terbuka (open achieved horizontal). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kasta adalah suatu penyimpangan sosial dari varna yang pada mulanya terjadi secara perlahan dengan gejala unsur ketidaksadaran dari masyarakat pendukungnya. Selama masa-masa awal penjajahan Inggris di India, melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh British East India Company, perbedaan kasta dan adat istiadat diterima, jika tidak dapat dikatakan didorong, walaupun pengadilan Inggris tidak menyetujui diskriminasi terhadap kasta yang rendah. Bagaimanapun juga, kebijakan Inggris untuk melaksanakan politik memecah belah dan menguasai dalam bentuk hirarki kategori yang kaku selama sensus penduduk yang dilakukan dalam 10 tahun telah banyak berkontribusi terhadap pengerasan identitas kasta. Sebagai tambahan dalam pengertian diatas, kasta dapat juga dinyatakan sebagai penyimpangan sosial yang dikampanyekan dan dipertahankan karena dibenarkan secara sengaja oleh pemerintahan negara kolonial dalam rangka memelihara

Berikut ini adalah contoh perubahan varna seperti dikutip dalam teks-teks Hindu: x Anak sulung Manu (Priyavrata) diangkat menjadi raja (ksatria). Dari sepuluh anaknya, tujuh menjadi raja sementara tiga (Mahavira, Kavi dan Savana) menjadi brahmana. x Kavash Ailush lahir sebagai sudra dan mencapai Resi, varna dari brahmana. Ia menjadi mantra-drashta untuk banyak mantra dalam Rig-Veda terutama pada Mandala 10. x Anak dari Jabala (Satyakama) lahir dari ayah yang tidak diketahui dan menjadi Resi oleh karena kualitasnya.

kepentingan kolonialisme dan penyebaran agama (misionaris) di negara jajahan.

II.

SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

SEJARAH SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI A. SISTEM DIFERENSIASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI Sebagai sebuah masyarakat yang mayoritas adalah pemeluk agama Hindu, sistem sosial masyarakatnya pun akan mengadaptasi budaya Weda sebagai pustaka suci, yaitu sumber pengetahuan yang merupakan dasar dari sumber nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya. Dalam hal diferensiasi sosial, secara tradisional masyarakat Bali menganut sistem klan yang disebut soroh atau juga sering disebut gotra. Secara tradisional, garis besar soroh dalam masyarakat Bali dibedakan menjadi 4, yaitu: Ksatria Dalem, Pande, Pasek, dan Penyarikan. Untuk dapat memahami bagaimana peran dan fungsi masingmasing soroh ini secara lebih jelas dalam masyarakat, kita dapat melihat terutama pada pelaksanaan upacara keagamaan Hindu di Bali yang terbesar yang diadakan di Pura Besakih. Dalam kaitannya dengan upacara keagamaan keempat soroh ini disebut sebagai Catur Lawa. Selain itu, pemahaman terhadap konsep Kawitan juga sangat

SEJARAH BALI Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang dari Asia pada 3000-2500 S.M. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik, Singaraja. Dengan datangnya ajaran Hindu bersama kebudayaannya (termasuk tulisan Sansekerta) dari India pada sekitar tahun 100 S.M, zaman prasejarah di Bali dinyatakanan berakhir. Setelah itu kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kebudayaan India secara kuat dan prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (Dwipa = pulau) mulai ditemukan di berbagai prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M. dan menyebutkan kata Walidwipa. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (tahun 12931500 M.) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, sejak masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M.) bersama Gajah Mada yang ditunjuk menjadi Patih pada tahun 1336 M. berhasil menundukkan Bali sebagai kerajaan bawahan pada sekitar tahun 1343 M. Kemudian setelah tahta diduduki oleh Hayam Wuruk sebagai raja dan Gajah Mada menjadi Mahapatih, Majapahit berkembang sampai masa keemasannya dimana wilayahnya meliputi daerah-daerah yang disebut sebagai Nusantara. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring dengan datangnya Islam maka berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang menjadi salah satu faktor penyebab keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu lainnya akhirnya menyingkir ke daerah pedalaman atau bahkan ke luar pulau, salah satunya adalah Bali.

penting dalam memahami sistem klan ini. Kedudukan Ksatria Dalem dalam sistem pelapisan sosial masyarakat Bali adalah dianggap sebagai yang paling penting dan utama karena fungsi kedudukan penguasa ini tidak hanya bersifat duniawi namun juga spiritual. Disamping itu tugas utama Ksatria Dalem adalah untuk menciptakan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat sehingga Dalem yang bersikap lalim dan mementingkan diri sendiri dapat diturunkan dari tahtanya. Raja yang diakui sebagai Dalem dalam hal ini hanyalah raja yang berkedudukan di Klungkung karena sejak zaman sebelum kedatangan Majapahit Klungkung telah berperan besar dalam bidang sosio kultural masyarakat yang bersifat religius. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Pura sebagi peninggalan dari masa-masa sebelum kedatangan Majapahit di wilayah ini. Setelah kedatangan Majapahit, seorang Dalem adalah sebagai pewaris tunggal yang sah dari kekuasaan Majapahit yang merupakan tetua dari seluruh raja di Bali, sedangkan yang berkedudukan di daerah lain hanyalah raja biasa yang kekuasaannya atas pemberian Dalem di Klungkung.

10

11

Soroh Pande meliputi salah satu silsilah kekerabatan tertua yang ada di Bali. Dalam silsilah keluarga Pande dapat ditelusuri bahkan sampai masa kerajaan-kerajaan di Jawa sebelum Kerajaan Singasari. Pada masa yang lampau soroh ini adalah golongan Brahmana yang tugas terpentingnya adalah sebagai pemimpin keagamaan. Dalam kaitannya dengan Dalem, tugasnya adalah sebagai penasehat spiritual dan teknokrat. Dalam masyarakat Bali secara umum, fungsi teknokrat yang terpenting dari soroh ini selain bidang keagamaan adalah dalam hal pembuatan senjata dan pengembangan teknologi terutama di bidang pertanian. Soroh Pasek sebenarnya adalah juga golongan brahmana, tetapi ciri khususnya adalah di bidang politik pemerintahan sehingga keturunan warga Pasek banyak ditempatkan dalam politik administrasi negara dan di pemerintahan desa sebagai klian (kepala desa) sebagai perpanjangan tangan serta mata dan telinga seorang raja. Sedangkan soroh Penyarikan adalah golongan orang yang menyediakan kebutuhan pokok bagi masyarakat sehingga tugas pokoknya adalah untuk menjaga air (termasuk sistem pengairan). Yang termasuk dalam golongan ini adalah kaum petani. Dalam prakteknya sebagai suatu sistem yang bersifat diferensiasi sosial, mobilitas sosial dalam soroh sebagai contoh nyata dapat ditemukan dalam lontar Babad Pande Bratan yang menceritakan tentang silsilah klan Pande yang tinggal menetap di Bratan, Singaraja. Berikut adalah potongan gambar silsilah yang berasal dari lontar tersebut.

Dalam perkembangan masyarakat Bali kemudian, soroh ini jadi kian berkembang dengan munculnya sub-sub bagian dari masing-masing soroh. Contoh yang cukup lengkap dapat dilihat dalam Siddhimantra Tattwa (Babad Danghyang Bang Manik Angkeran) seperti penggambaran di bawah ini.

Putra Danghyang Angsoka (Ida Wang Bang Banyak Wide) menurunkan soroh yang disebut Arya Wang Bang Pinatih. Putra Mpu Dangka yang bernama Danghyang Angsoka menurunkan soroh Brahmana Buddha, sedangkan putranya yang bernama Danghyang Nirartha menurunkan soroh Brahmana Siwa. Mpu Danghyang Soma Kepakisan mempunyai cucu yang kemudian setelah diangkat tahta sebagai raja Bali oleh Tribhuwana Tunggadewi sebagai raja Majapahit, lalu disebut Dalem Sri Kresna Kepakisan dan menurunkan soroh Dalem Sri Kresna Kepakisan. Kedudukan seseorang dalam soroh ini diatur berdasarkan guna (sifat, bakat, kemampuan) dan karma (perbuatan atau pekerjaan) seseorang. Dalam masyarakat Bali tradisional, penyematan kedudukan sosial seseorang harus disahkan oleh seorang raja sesuai dengan tempat dimana ia tinggal dan kemudian dikukuhkan kembali oleh Dalem sebagai penguasa dan pelindung tertinggi. B. SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI

Berdasarkan lontar tersebut diketahui bahwa Mpu Brahma Rare Sakti yang adalah seorang Brahmana mempunyai 2 orang cucu yang bukan Brahmana dan 2 orang cicit yang salah satunya adalah Brahmana, meskipun anaknya (Mpu Brahmana Duala) adalah juga seorang Brahmana.

Dalam kehidupan masyarakat Bali, sistem stratifikasi sosialnya juga disebut sebagai kasta. Dengan ciri-ciri penggolongan yang hampir sama seperti yang ada di India, sistem pelapisan sosial berupa kasta di Bali juga menempatkan golongan Brahmana sebagai kelas yang paling tinggi dan berturut-turut setelahnya adalah kelas Ksatria, Weisya dan Sudra.

12

13

Ketika Majapahit berhasil menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13, para penjajah Majapahit melakukan manipulasi terhadap konsep varna dengan mengenalkan konsep Tri Wangsa untuk memimpin kerajaan bentukan Majapahit, yaitu Kerajaan Samprangan. Kaum elit itu terdiri dari golongan Brahmana, Ksatria dan Wesya. Wesya dalam konsep ini tidak sama seperti dalam konsep varna, melainkan golongan pengabdi yang terdiri dari pejabat dan fungsionaris kerajaan, serta pelayan yang mengabdi kepada kelas dominan, sedangkan semua penduduk yang berprofesi sebagai petani dan buruh, serta terutama penduduk asli Bali (Bali Aga) yang dijajah dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra. Pemberlakuan sistem ini dimulai pada masa pemerintahan Dalem Sri Kresna Kepakisan karena kewalahan mengatasi banyaknya pemberontakan terhadap kekuasaan Majapahit yang dilakukan oleh rakyat Bali. Tujuan politik dari hal ini adalah agar kaum Bali Aga tidak bisa eksis di masyarakat dan senantiasa bersikap menundukkan diri terhadap orang-orang yang berasal dari Majapahit sehingga kelanggengan pemerintahan Kerajaan Samprangan yang baru dibentuk dapat dipertahankan. Sejak masa itulah sistem pengelompokan berdasarkan Warna di Bali berubah menjadi stratifikasi berdasarkan Wangsa yang bersifat genealogis tertutup (closed ascribed status) karena prestise dan previlege (hak-hak istimewa) dari orang tua diturunkan secara turun menurun kepada generasi-generasi selanjutnya. Pada masa ini Tri Wangsa disusun secara hirarkis dengan menempatkan ksatria wangsa sebagai kedudukan yang tertinggi karena Dalem yang baru saja diangkat oleh Majapahit adalah termasuk dalam kelas ksatria. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk memperkuat kedudukan politis raja Bali sebagai wakil dari Majapahit yang sah dalam pemerintahan Rakyat Bali. Dengan demikian segala segi kehidupan masyarakat dikuasai oleh Dalem dimana tidak ada sesuatu hal dapat terselenggara tanpa perkenan Dalem, termasuk dalam hal keagamaan. Untuk dapat memperjelas peran dan kedudukan dalam sistem sosial pada masa ini, misalnya dapat dilihat pada Pura Kentel Gumi dan Pura Dasar Bhuwana yang dipugar oleh Dalem Sri Kresna Kepakisan dimana ia menambahkan tiga bangunan pada

bangunan-bangunan yang telah ada. Kekuasaan seorang Dalem disimbolkan sebagai Dewa Wisnu dengan bangunan berbentuk meru tumpang 11, sedangkan Pande diwujudkan dalam bangunan meru tumpang 7 sebagai Dewa Brahma. Setelah itu bangunan meru tumpang 7 adalah simbol dari soroh Pasek sebagai wujud dari Dewa Siwa. Dengan ini akhirnya kedudukan Tri Wangsa menjadi semakin kuat dan soroh menjadi semakin lemah bahkan menyebabkan identitas Penyarikan menjadi kabur walaupun masih tetap digunakan dalam kegiatan keagamaan di Pura Besakih. Secara perlahan dan pasti sistem pengklasifikasian ini melenyapkan keberadaan soroh atau gotra dalam keseharian hidup masyarakat Bali. Perubahan strata sosial ini mengundang protes dari masyarakat kelas bawah. Protes ini lebih berwujud pada perlawanan budaya yang bersifat tidak langsung, yakni melalui karya sastra berupa dongeng, mitos, dan lain-lain, misalnya karya sastra dongeng berjudul Nang Poleng yang temanya menyangkut persoalan wangsa, yaitu bahwa ukuran penghargaan terhadap seseorang bukanlah dari kelahiran, tetapi adalah perbuatannya. Dengan masuknya penjajahan Belanda yang menerapkan strategi devide et impera di Bali, sistem pelapisan wangsa ini kemudian diplintir lagi menjadi seperti sistem kasta sebagaimana yang dilakukan Portugis dan Inggris di India. Dalam masa kolonialisme Belanda, yang diakui sebagai wangsa Brahmana hanyalah golongan Brahmana dalam klan Ida Bagus dari silsilah Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dalam wangsa Ksatria yang diakui adalah klan-klan keturunan raja (Ksatria Dalem) serta klan Para Dewa dan Gusti. Sedangkan yang digolongkan sebagai Wesya adalah para pekerja pedagang dan pegawai pemerintahan di desa, dan sisanya digolongkan sebagai Sudra. Dengan itu sistem ini menimbulkan banyak goncangan di masyarakat Bali karena terjadi penurunan kelas bagi beberapa klan penting, misalnya Pande yang mulanya adalah Brahmana, menjadi turun golongan sebagai Weisya, dan bahkan sebagai Sudra di beberapa daerah.

14

15

Dalam masa ini muncullah protes sosial terhadap sistem kasta yang diawali dengan protes terhadap kepincangan dan sistem adat istiadat yang kemudian pertama kali diadakan secara terbuka pada tahun 1921 dengan lahirnya perkumpulan Suita Gama Tirta di Singaraja. Perkumpulan ini dipimpin oleh I Gusti Putu Jelantik yang adalah anggota Raad van Kerta di Singaraja dan didirikan bersama dengan beberapa orang lain yang adalah kaum Tri Wangsa. Akhirnya perkumpulan ini pun pecah dengan dibentuknya perkumpulan Shanti pada tahun 1923 di kota yang sama. Tujuan utama dari perkumpulan ini adalah untuk mengadakan pembaharuan untuk keperluan agama Hindu. Untuk itu kelompok ini kemudian mendirikan sekolah-sekolah, memberikan penerangan agama, serta membuat risalah-risalah keagamanan, diantaranya dengan menerbitkan surat berkala yang bernama Shanti Adnyana. Kemudian perkumpulan ini pun pecah. Pada tahun 1924 nama buletin itu diubah menjadi Bali Adnyana yang benyak memuat pandangan golongan Tri Wangsa dalam usaha mempertahankan status sosialnya di masyarakat. Akibatnya, golongan Sudra membuat buletin tandingan Surya Kanta pada tahun 1925. Dengan ini munculllah pertentangan terbuka yang bercorak modern yang menyangkut pertentangan kultural untuk menghapus hegemoni budaya Tri Wangsa. Dengan tegas buletin itu mencantumkan tujuan untuk mengadakan pembaharuan dalam masyarakat sesuai dengan kemajuan jaman. Ide utama mereka adalah untuk mendapatkan persamaan hak dalam perlakuan sosial, kultural dan hukum. Kemunculan buletin ini menandakan sebuah upaya sadar masyarakat dalam suatu pergeseran budaya untuk kembali kepada sistem ideal varna seperti yang tercantum dalam Weda sebagai ideal sumber nilai dan norma masyarakat Hindu. Cara yang digunakannya adalah dengan jalan penyebarluasan pengetahuan terutama pada bidang kultural sosio-religius. SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BALI PADA MASA KINI Mobilitas status sosial dengan ciri terbuka dewasa ini menjadi sangat tinggi. Pada masa sekarang ini kepemilikan seseorang terhadap benda-benda yang bersifat material (kekayaan) dianggap sebagai tolak ukur paling besar dalam menentukan

kedudukan seseorang dalam tingkat-tingkat strata sosial masyarakat. Setelah itu baru muncul kekuasaan dan kewewenangan sebagai faktor penentu yang kedua. Seseorang yang memiliki kekayaan melimpah dapat memiliki kekuasaan, wewenang dan penghormatan masyarakat dengan harta yang dimilikinya, sementara seseorang yang berkuasa belum tentu dapat memiliki harta dan penghormatan dari masyarakat. Dengan ini ukuran kekayaan adalah ukuran yang tertinggi dalam status sosial. Masa-masa pemerintahan Orde baru telah memberikan peluang-peluang ekonomi bagi kelas menengah profesional untuk semakin di-borjuasi-kan dan membangun suatu basis ekonomi yang kokoh sehingga semakin memiliki makna sosial. Ditambah lagi dengan semakin marak dan berkembangnya gejala kapitalisme yang menganggap kapital (modal) sebagai faktor penentu utama kemajuan masyarakat menyebabkan ukuran status sosial juga mengalami pergeseran. Bila dulu status sosial ditentukan oleh penguasaan atas pengetahuan keagamaan dan prestasi kerja yang ditunjukkan dalam masyarakat, maka pada saat ini tinggi rendahnya status sosial seseorang cenderung diukur dari jumlah harta yang dimiliki serta kekuasaan kewenangan dalam hirarki pemerintahan. Bila misalnya I Dewa Kuat yang seorang keturunan Ksatria bekerja sebagai sopir di sebuah perusahaan milik Komang Apel yang adalah seorang Sudra, maka kedudukan Komang Apel menjadi jauh lebih tinggi daripada I Dewa Kuat. Kemudian I Dewa Kuat berteman dengan Anak Agung Gede yang merupakan keturunan raja yang mempunyai mata pencaharian sebagai buruh bangunan, maka kedudukan keduanya adalah setara karena keduanya sama-sama berprofesi sebagai buruh atau dalam kelas pekerja yang paling rendah. Dalam menyikapi sistem klasifikasi sosial dalam keadaan kekinian ini, muncul dua kelompok dalam masyarakat Bali, yaitu kelompok pendukung Tri Wangsa dan kelompok pendukung soroh. Kelompok pendukung Tri Wangsa kebanyakan adalah golongan tua dan segelintir kaum muda dari kasta Brahmana dan Ksatria, yaitu terutama klan Ida Bagus, serta Para Dewa dan Gusti yang sebenarnya menginginkan kembalinya keagungan prestise dan previlege mereka pada masa lampau, yaitu pada

16

17

masa penguasaan Majapahit atas Bali. Sedangkan pendukung sistem soroh adalah terutama generasi muda dari klan-klan lain walaupun banyak juga dari kasta tinggi. Pada umumnya pendukung sistem soroh ini adalah golongan terpelajar yang memiliki pengetahuan dan memahami Weda serta sejarah kebudayaan Bali secara lebih mendalam. Hanya saja perbedaan antara sistem soroh pada masyarakat Bali hari ini adalah dengan suatu ciri khusus yang memandang guna (sifat, bakat, kemampuan) dan karma (perbuatan atau pekerjaan) seseorang sebagai tolak ukur status sosial seseorang dalam masyarakat dengan tetap mempertahankan gelar-gelar kehormatan yang sudah ada pada masa lampau. Hal ini terjadi karena fungsi, kedudukan dan peran Dalem sebagai pemimpin masyarakat adat sudah tidak berjalan seperti dulu lagi karena penjajah Belanda telah menghapuskan Dalem dalam struktur pemerintahan tradisional Bali. Dengan begitu tidak dapat memunculkan suatu soroh baru yang sah secara adat dan budaya Bali sebagai akibat dari mobilitas sosial seseorang.

III.

KESIMPULAN

1. Varna merupakan sebuah sistem penggolongan manusia yang berdasarkan Weda. Dalam kebudayaan masyarakat Hindu di Bali penggolongan yang serupa dengan varna disebut sebagai soroh atau gotra dimana kedudukan seseorang di dalam penggolongan sosial masyarakatnya dinilai berdasarkan atas guna (sifat, bakat, kemampuan) dan karma (perbuatan atau pekerjaan). 2. Sistem stratifikasi sosial pada masyarakat Bali yang disebut dengan kasta maupun Wangsa digolongkan ke dalam bentuk penyimpangan sosial karena tradisi ini tidak dapat ditemukan referensinya dalam Weda sebagai kitab suci Hindu yang merupakan sumber nilai dan norma dalam masyarakatnya. Selain itu kenyataan bahwa keduanya merupakan suatu alat bagi kepentingan penjajahan menyebabkan keduanya secara langsung bersikap bertentangan dari sumber nilai dan norma itu sendiri. 3. Kemajuan pendidikan mempunyai aspek besar dalam perubahan sosial. Akses yang terbuka lebar bagi masyarakat umum untuk mendapatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan menyebabkan masyarakat, terutama dalam hal ini masyarakat Bali, semakin mampu dan berani dalam mengekspresikan diri serta dapat memahami perubahan dalam sistem klasifikasi sosialnya dan kemudian berupaya untuk mengembalikan sistem itu pada sistemnya yang ideal. 4. Pengetahuan adalah cahaya terang. Pengetahuan yang benar adalah satusatunya senjata dalam memberantas kebodohan, kebingungan dan juga kemiskinan. Pengetahuan yang benar akam melahirkan pemahaman yang benar pula. Oleh karena itu pemerintah, terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, harus mendukung secara penuh upaya untuk memajukan dan menyebarluaskan pengetahuan, baik secara formal maupun non formal, sehingga hambatan-hambatan untuk mencapai kemajuan bangsa yang ada dan hidup dalam masyarakat dapat diatasi secara baik dengan segera.

18

19

DAFTAR PUSTAKA Dwipayana, AAGN. Ari. 2001. Kelas dan Kasta Pergulatan Kelas Menengah Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation. Herdiyanto C, Drs. Arief. 2005. Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial, Bahan Ajar Sosiologi Nomor Sos.II.03. http://catatan.legawa.com/2010/09/kasta-dulu-dan-kini-di-bali/ http://dictionary.reference.com/ http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_caste_system http://en.wikipedia.org/wiki/Portuguese_Inquisition http://en.wikipedia.org/wiki/Social_class http://githa90.wordpress.com/2010/01/21/pemahaman-yang-salah-tentang-kastadi-bali/ http://id.wikipedia.org/wiki/Bali http://id.wikipedia.org/wiki/Diferensiasi_Sosial http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Bali http://id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial http://id.wikipedia.org/wiki/Warna_%28Hindu%29 http://nyanyoataraxis.wordpress.com/2009/03/30/stratifikasi-sosial-sebuah-catatanawal/ http://okayana.blogspot.com/2010/06/diferensiasi-sosial-dan-stratifikasi.html http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosialdalam-masyarakat-sosiologi http://pusakka.blogdetik.com/2010/08/08/sri-dalem-kresna-kepakisan/ http://rahajus.wordpress.com/2009/02/10/babad-ida-bang-manik-angkeran-aryawang-bang-pinatih/ http://stitidharma.org/riwayat-kasta-di-bali/ http://stitidharma.org/soroh/ http://wargapande.org/prasasti_pande/babad-pande-bratan/ http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/definisi-stratifikasi-sosial.html Putra, S.H, Ngakan Putu ; Drs. I Made Sujana, M.Pd; I Gede Jaman, S.Ag, M.Si; I Kade Sanjana Duaja, S.Ag, M.Si. 2010 . Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.

Setia, Putu. 1992. Cendekiawan Hindu Bicara (Cetakan Ketiga). Jakarta: Yayasan Dharma Naradha. Suja, I Wayan. 1999. Tafsir Keliru Terhadap Hindu, Tanggapan untuk Dr. A.G. Honig, Jr. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Suryanto, M.Pd. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan dan Prasangka. Yogyakarta: Narayana Smrti Press.

20

21

You might also like