You are on page 1of 3

Hidupku Direngkuh Sahabat

Oleh Mutiara Andalas[1]

Puing-puing reruntuhan bangunan tragedi Mei 1998 telah dibersihkan. Denyut ekonomi
memasuki pusat-pusat ekonomi yang pernah berserakan. Para pelaku ekonomi yang lalu
lalang barangkali masih mengingat tragedi kemanusiaan itu saat menginjakkan kaki
di sana. Kenangan akan tragedi hadir meski sejenak. Sebagian korban hidup dan
keluarga korban masih memiliki kenangan akan tragedi itu di pelupuk mata mereka.
Tragedi Mei tak hanya menyisakan puing bangunan, tetapi juga tubuh korban yang
berserakan. Tragedi kemanusiaan Mei masih menyisakan trauma dengan dua sisi
gelapnya. Trauma dapat mendorong mereka untuk berbicara tanpa henti, atau bungkam
tanpa kata sama sekali.

Pak Iwan Firman, salah satu korban hidup tragedi Mei, tak sekedar kehilangan
kehidupan ekonomi, tapi hampir kehilangan seluruh hidupnya. Tragedi kemanusiaan
Mei menyerang seluruh kehidupan korban. Para pelaku kekerasan menginjak-injak
hidupnya hingga ia hampir menjemput ajalnya secara dini. Kehidupannya
mengungkapkan kesaksian subversif akan kesucian hidup korban dan kejahatan rezim
kekerasan. Ia menulis sejarah dengan tubuh cacatnya demi humanisasi Indonesia. Ia
ingin hati kita mendengarkan penderitaan korban.

14 Mei. Bapak Iwan Firman memandang kalender dengan mata gemetar. Pandangannya
menatap jauh ke tanggal yang sama pada tahun 1998. Ia memulai harinya sebagai
karyawan elektronik di Glodok dengan menarik tagihan di Bekasi. Saat perjalanan
pulang Jakarta telah berserakan. Ia melihat mobil-mobil yang dijungkirbalikkan dan
dibakar massa. Ruko-ruko dipinggir jalanan berada dalam lautan api. Tubuhnya
menggigil ketakutan. Saat melintasi STM Poncol Cempaka Putih, segerombolan massa
menghadang jalannya dan ia buru-buru membanting stir sepeda motornya. Namun
sekelompok massa lain telah menghadang dari arah belakang. Ia bergegas turun dari
sepeda motornya dan berusaha melarikan diri. Sebagian gerombolan itu mengejarnya
dan salah seorang berhasil menarik bajunya. Mereka menghajar tubuhnya disertai
umpatan, “Yang namanya Cina di Jakarta akan dihabisi.” Mereka menginjak-injak
tubuhnya.

Perendahan kemanusiaan berlanjut ketika mereka menyeret tubuhnya ke arah sepeda


motornya. Darah keluar dari mulut, hidung, dan telinga Pak Iwan. Mereka membuka
saluran bensin sepeda motornya, mengguyur, lalu menyulut tubuhnya. Ia masih
mengingat para pelaku kekerasan terhadapnya sebelum ia tak sadarkan diri. Mereka
berambut cepak dan berpakaian preman dan jeans. Aksi pembakaran oleh sekelompok
orang yang tidak bertanggung jawab merusak tubuhnya. Ia kehilangan beberapa jari
tangan dan telinganya. Ia tak bisa menggunakan kedua telapak tangannya untuk
memegang sesuatu secara leluasa seperti kita. Ia mengalami beberapa kali operasi
untuk memperbaiki kerusakan tubuhnya.

Harun, seorang haji lansia dari gang Kranjang Poncol, menyelamatkan hidupnya dari
ancaman kematian dini. Sahabat baru yang kini sudah meninggal itu membawanya ke
Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Pak Iwan mendapatkan perawatan di rumah sakit
selama empat bulan. Ia kehilangan harapan untuk melanjutkan kehidupannya, “Dokter,
kalau begini caranya, untuk apa saya hidup.” Kondisi fisiknya seakan memberikan
tanda awal bahwa penderitaan lain akan menjemput kehidupan masa depannya. Teman-
teman SMP rutin mengunjunginya dan menguatkan harapan hidupnya yang tinggal
sekerdip lilin.

Saat menjumpai keluarganya di jalan Kembang Sepatu, ia menerima penolakan dari


istrinya, “Kamu tidak perlu ke mari lagi. Kita sudah masing-masing saja."
Kehidupan yang tinggal sekerdip lilin itu seolah tersapu badai. Ia pulang ke Tanah
Tinggi, tanah kelahirannya, dengan hati hancur. Ia tak kuasa menahan air matanya
setiap kali mengisahkan kepedihannya tak bisa menjumpai anak-anaknya. Ia merintis
hidup dari mencari sedekah di daerah Kota dan Jatinegara. Penderitaan Pak Iwan
menggerakkan Andreas, penjual siomay keliling, untuk merengkuh hidupnya. Andreas
menawarkan diri untuk berbagi makanan, memandikan, menceboki, dan aktivitas lain
yang mendukung hidup Pak Iwan.

Dorongan melanjutkan hidup juga datang dari Pak Kamat, seorang penjaga palang
kereta api di Senen. Pak Iwan pernah mencoba mengakhiri hidupnya di bantalan
kereta api. Pak Kamat menjemput sahabat lamanya, "Jangan lakukan itu, Tuhanlah
yang memberi keselamatan.” Pak Kamat menempelkan foto Pak Iwan dan seorang
sahabatnya di dinding ruang kerjanya agar ia selalu mengingat sahabatnya itu.

Pak Iwan juga mendapatkan perhatian dari paguyuban keluarga korban Mei. Setiap
kali ia hadir dalam pertemuan korban, keluarga korban bergantian menyuapi makanan
kepadanya. Kasih paguyuban korban tersimpan di hatinya. Ia menemukan sahabat
kehidupan dalam penderitaan. Penderitaan mempertemukan mereka. Kita seringkali
berjumpa dengan korban, namun kita menjauhi mereka karena kita menolak berjumpa
dengan penderitaan.

Mereka saling menyembuhkan trauma tragedi dengan menopang korban satu sama lain.
Trauma menjadi peristiwa luar biasa karena ia menarik paksa korban pada kutub
eksrem yang mengatasi kemampuan adaptasi normal kehidupannya. Ia melucuti kekuatan
hidup kita dan menciptakan teror dalam diri korban.[2]

Episode Pak Iwan memasuki babak baru ketika seorang perempuan berkenan menerima
kasihnya dan mereka menjadi suami istri.Tahun-tahun penderitaannya bergerak menuju
kebahagiaan. Ia menemukan kebahagiannya yang terenggut. Salah satu anaknya sempat
menghubunginya lewat telepon tanpa sepengetahuan ibunya. Pak Iwan merintis
pembuatan obat alternatif.

Haji Harun, Pak Andreas, dan Pak Kamat berpihak kepada sejarah korban dengan
merengkuh hidup Pak Iwan. Mereka memasuki kontroversi antara korban dan pelaku
kekerasan korban dan berpihak pada korban. Pelaku kekerasan terhadap korban hanya
menuntut sedikit dari kita, yaitu tak melakukan sesuatu. Keberpihakan kepada
korban meminta keterlibatan. Penghilangkan jejak kekerasan dan kebisuan atasnya
merupakan senjata awal pelaku kekerasan. Serangan terhadap kredibilitas korban dan
penolakan publik merupakan senjata pamungkas mereka. Mereka mengakhiri kontroversi
tragedi dengan mengubur kebenaran realitas yang subversif.[3]

Hidup Pak Iwan ditopang oleh kehadiran banyak sahabat. Ia pun mengundang kita
untuk menjadi sahabatnya. Kita, ungkap Leo Eitinger, justru sering mengenakan
selubung pelupaan pada tragedi kemanusiaan dan korban. Akibatnya kita hanya
melihat monolog bisu dan tak setara antara korban dan pelaku kekerasan terhadap
korban.[4]

[1] Rohaniwan Katolik yang mengembangkan teologi politik kemanusiaan sebagai


kritik atas negara kekerasan.

[2] Judith L. Herman, Trauma and Recovery: The Aftermath of Violence from Domestic
Abuse to Political Terror (USA: Basic Books, 1992), 33 – 34.
[3] Judith Lewis Herman, 7 – 8.

[4] Leo Eitinger, “The Concentration Camp Syndrome and Its Late Sequelae,” in J.E.
Dimsdale (Ed.), Survivors, Victims, and Perpetrators (New York: Hemisphere, 1980),
127 – 162.

You might also like