You are on page 1of 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Pengertian Diabetes Melllitus Penyakit Diabetes mellitus adalah penyakit dengan gejala kadar gula darah yang tinggi yang disebabkan tubuh tidak lagi memiliki hormon insulin atau insulin tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yang merupakan salah satu dari empat tipe sel dalam pulau-pulau Langerhans pankreas. Sekresi insulin akan meningkat dan menggerakkan glukosa ke dalam sel-sel otot, hati serta lemak. Insulin di dalam sel-sel tersebut menimbulkan efek seperti menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati dan otot (dalam bentuk glikogen), meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adiposa dan mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari protein makanan) ke dalam sel (Smeltzer dan Bare, 2002). 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus 2.1.2.1 DM tipe I atau IDDM (Insulin Dependen Diabetes Mellitus )

DM tipe I adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem imun atau kekebalan tubuh penderita dan mengakibatkan kelainan sel pankreas sehingga terjadi reaksi autoimun yang menyebabkan kerusakan sel beta. Penderita Diabetes tipe 1 dikenal sebagai diabetes yang tergantung insulin. Tipe ini berkembang jika sel-sel beta pankreas memproduksi insulin terlalu sedikit atau bahkan tidak memproduksi sama sekali. Jenis ini biasanya muncul sebelum usia 40 tahun bahkan termasuk pada usia anak-anak (Iman, 2010). Berdasarkan jumlah semua penderita diabetes, 5% 10%nya adalah penderita diabetes tipe I. Diabetes jenis ini, sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan normal menghasilkan

hormon insulin dihancurkan oleh suatu proses autoimun, sebagai akibatnya penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah (Smeltzer dan Bare, 2002). 2.1.2.2 DM tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) Diabetes tipe II yaitu diabetes yang tidak tergantung pada insulin, biasanya terjadi sekitar 90 sampai 95% dari penderita diabetes secara keseluruhan. Diabetes tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Keadaan normal insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel, sebagai akibatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Upaya untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Penderita dengan toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Diabetes tipe ini pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan, jika kenaikan glukosa darah tetap terjadi, terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik oral (Smeltzer dan Bare, 2002). 2.1.2.3 Diabetes Melitus Tipe III atau MRDM (Malnutrition Related Diabetes Mellitus). Diabetes tipe ini berkaitan dengan sindroma hiperosmoler nonkeotik, disertai dengan keadaan yang diketahui atau dicurigai dapat menyebabkan penyakit pankreatitis, kelainan hormonal, obat-obatan seperti glukokortikoid dan preparat yang mengandung estrogen penyandang diabetes. Penderita tipe III bergantung kepada pankreas untuk menghasilkan insulin (Soegondo, 1995). 2.1.2.4 Diabetes Mellitus Tipe IV atau diabetes pada kehamilan (Gestasional diabetes).

Diabetes tipe IV adalah diabetes yang timbul pada saat kehamilan, yang diakibatkan oleh kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekstra pada kehamilan. Resiko terjadinya anomali kongenital berkaitan langsung dengan derajat hiperglikemia pada saat diagnosis ditegakkan (Schafer, 2000). 2.1.2.5 Diabetes tipe lain Tipe diabetes lain yang berhubungan dengan keadaan sindroma tertentu, yaitu penyakit pankreas, penyakit hormonal, keadaan yang disebabkan obat maupun bahan kimia, kelainan reseptor insulin, sindroma genetik tertentu, serosis hepatik (Soegondo, 1995).

2.1.3 Gejala Diabetes Mellitus Tipe II 2.1.3.1 Gejala paradiabetes

Kelelahan yang berlebihan, keletihan dan mengantuk setelah makan, kesulitan berkonsentrasi, kesukaan pada makanan yang manis, roti-rotian dan segala makanan yang memiliki tingkat karbohidrat tinggi, mengalami kelebihan berat badan atau sulit menurunkannya, menjadi terganggu jika tidak makan dalam waktu yang lama (Nurjanah, 2006). 2.1.3.2 Gejala diabetes

Sering buang air kecil (poliurea) terutama pada malam hari, sering haus (polidipsia) dan lapar (polifagia), cepat lemas dan cepat lelah, berat badan menurun drastis, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan kabur atau berubah, gairah seks menurun, luka sukar sembuh (Sidohutomo, 2009).

2.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Diabetes Mellitus Tipe II Faktor-faktor penyebab diabetes meliputi (American Diabetes Association. 2004): 1. Genetik Faktor genetik merupakan faktor yang penting pada Diabetes Mellitus yang dapat mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan menyebarkan sel rangsang sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pankreas (Price & Wilson, 2002). 2. Usia DM tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50-92% (Medicastore, 2007; Rochman dalam Sudoyo, 2006). Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun dan 11% individu diatas usia 65 tahun menderita DM tipe II (Ignativicius & Workman, 2006). Goldberg dan Coon dalam Rochman (2006) menyatakan bahwa umur sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, selsel jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.

3. Jenis kelamin Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko diabetes meningkat lebih cepat. Para ilmuwan dari University of Glasgow, Skotlandia mengungkap hal itu setelah mengamati 51.920 lakilaki dan 43.137 perempuan. Seluruhnya merupakan pengidap diabetes tipe II dan umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT) di atas batas kegemukan atau overweight. Laki-laki terkena diabetes pada IMT rata-rata 31,83 kg/m2 sedangkan perempuan baru mengalaminya pada IMT 33,69 kg/m2. Perbedaan risiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh. Pada laki-laki, penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar perut sehingga memicu obesitas sentral yang lebih berisiko memicu gangguan metabolisme (Pramudiarja, 2011). 4. Berat badan Obesitas adalah berat badan yang berlebihan minimal 20% dari BB idaman atau indeks massa tubuh lebih dari 25Kg/m2. Soegondo (2007) menyatakan bahwa obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitif. 5. Aktivitas fisik Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007). Lebih lanjut Stevenson dan Lohman dalam Kriska (2007) menyatakan mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat perkembangan DM tipe II yaitu : 1) Penurunan resistensi insulin; 2) peningkatan toleransi glukosa; 3) Penurunan lemak adipose; 4) Pengurangan lemak sentral; perubahan jaringan otot (Kriska, 2007). Semakin jarang kita melakukan aktivitas fisik maka gula yang dikonsumsi juga akan semakin lama terpakai, akibatnya prevalensi peningkatan kadar gula dalam darah juga akan semakin tinggi.

6. Pola makan Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan fungsi sel beta individu yang rentan (Prince & Wilson, 2002). Individu yang obesitas harus melakukan diet untuk mengurangi pemasukan kalori sampai berat badannya turun mencapai batas ideal.

Penurunan kalori yang moderat (500-1000 Kkal/hari) akan menghasilkan penurunan berat badan yang perlahan tapi progresif (0,5-1 kg/minggu). Penurunan berat badan 2,5-7 kg akan memperbaiki kadar glukosa darah (American Diabetes Association; 2006; Price & Wilson, 2002; Sukarji dalam Soegondo, 2007). 7. Stress Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis-medular, dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus-pituitari akan diaktifkan dan akan mensekresi corticotropin releasingfactor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi adenocorticotropic faktor (ACTH). ACTH memstimulasi produksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah. (Guyton & Hall, 1996; Smeltzer & Bare, 2008).

2.1.5 Lama Menderita Diabetes Mellitus Tipe II Lama menderita Diabetes Mellitus tipe II dapat menyebabkan terjadinya komplikasi. Penyebab yang spesifik dan patogenesis setiap jenis komplikasi masih terus diselidiki, namun peningkatan kadar glukosa darah tampaknya berperan dalam proses terjadinya kelainan neuropatik, komplikasi mikrovaskuler dan sebagai faktor resiko timbulnya komplikasi makrovaskuler. Komplikasi jangka panjang tampak pada diabetes tipe I dan II (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.2 Enzim 2.2.1 Pengertian Enzim adalah protein yang berperan sebagai katalis dalam metabolisme makhluk hidup yan berperan untuk mempercepat reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, tetapi enzim itu sendiri tidak ikut bereaksi. Enzim terdiri dari apoenzim dan gugus prostetik. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi substrat, pH, suhu, dan inhibitor (penghambat) (Campbell, 1987). 2.2.2 Fungsi enzim Enzim merupakan biomolekul berupa protein yang memiliki fungsi sebagai katalis atau senyawa yang dapat mempercepat terjadinya proses reaksi. Enzim berperan secara lebih spesifik dalam menentukan reaksi yang akan dipacu dibandingkan dengan katalisator anorganik sehingga ribuan reaksi dapat berlangsung dengan tidak menghasilkan produk sampingan yang beracun (Isnaini, 2009).

2.3 Enzim Transaminase Transaminase adalah sekelompok enzim yang merupakan katalisator dalam proses pemindahan gugus amino antara suatu asam alfa amino dengan suatu asam keto, yang berkaitan dengan kerusakan hepatoseluler, yang sering digunakan dalam menilai penyakit hati adalah GOT (Glutamic Oxaliacetat Transaminase) dan GPT (Glutamat Pyruvic Transaminase) (Husadha, 1996). Enzim GOT dan GPT mencerminkan keutuhan atau integrasi sel-sel hati, yang mengkatalisis reaksi konversi asam keto menjadi asam amino melalui transfer gugus amino (Medicatherapy, 2007).

2.4 SGPT GPT adalah enzim yang spesifik untuk hati, yang memberikan hasil yang signifikan terhadap adanya peningkatan penyakit hepatobillary di hati. Peningkatan GPT dapat juga berhubungan dengan kerusakan jantung, otot skeletal dan liver parenkim. GPT secara normal ditemukan dalam hati dengan kadar yang rendah, tetapi ketika terdapat kerusakan atau penyakit hati, maka pelepasan GPT ke dalam darah bertambah, yang menyebabkan GPT naik. Enzim GPT banyak disebabkan oleh indikasi kerusakan hati. Pemeriksaan GPT dilakukan untuk identifikasi penyakit hati, terutama sirosis dan hepatitis yang disebabkan oleh alkohol, narkoba atau virus (Medicatherapy, 2007). SGPT adalah indikator-indikator yang sensitif dari kerusakan hati dari tipe-tipe penyakit yang berbeda. Namun harus ditekankan bahwa tingkat-tingkat enzim-enzim hati yang lebih tinggi dari normal tidak harus secara otomatis disamakan dengan penyakit hati. (Husadha, 1996 ).

2.5 Metode Pemeriksaan SGPT Pemeriksaan SGPT dilakukan dengan metode kolorimetrik dengan mengukur kemampuan dari enzim transaminase yang ada di dalam serum (Soemoharjo, 1983). Metode IFCC (International Federation of Clinical Chemistry) (Human, 1999) yang prinsipnya adalah:
ALP

dan metode Ultra Violet Test

2-Oxoglutarat + L Alanin Piruvat + NADH + H+


ALP

L glutamat + piruvat L lactate + NAD+

2.6 Hubungan Hati dengan Diabetes Mellitus Tipe II DM tipe II merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi gen, disfungsi sel , gangguan sekresi hormon insulin, resistensi sel terhadap insulin yang menyebabkan sel jaringan terutama jaringan hati menjadi kurang peka terhadap insulin sehingga menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik dan meningkatkan sekresi darah oleh hati (Kimbal, 2010). DM tipe II terjadi peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati (Banerjee, 2010).Kerusakan hati dapat dipantau dengan analisis aktivitas enzim dalam serum. Abnormalitas enzim dapat memberikan informasi diagnostik yang menunjukkan tingkat keadaan penyakit hati (Suyono, 1993). Kerusakan hati biasanya dinyatakan dengan kenaikan konsentrasi SGPT. Kerusakan sel-sel hati ini menyebabkan kebocoran enzim-enzim tersebut yang seharusnya berada di hati akan berada pada serum (Guyton and Hall, 1997). 2.7 Kerangka Teori

Faktor penyebab : Keturunan Usia Jenis kelamin Obesitas Aktivitas fisik Pola makan Stress

Diabetes Mellitus Tipe II

Gula darah meningkat

Disfungsi Hati

SGPT

2.8

Kerangka konsep

Diabetes mellitus Tipe II

Kadar SGPT

2.9

Hipotesis

2.9.1 Ho : Tidak ada hubungan antara umur penderita Diabetes Mellitus tipe II dengan peningkatan kadar SGPT Ha : Ada hubungan antara umur penderita Diabetes Mellitus tipe II dengan peningkatan kadar SGPT. 2.9.2 Ho : Tidak ada hubungan antara jenis kelamin penderita Diabetes Mellitus tipe II dengan peningkatan kadar SGPT. Ha : Ada hubungan antara jenis kelamin penderita Diabetes Mellitus tipe II dengan peningkatan kadar SGPT. 2.9.3 Ho : Tidak ada hubungan antara lama menderita Diabetes Mellitus tipe II dengan peningkatan kadar SGPT. Ha : Ada hubungan antara lama menderita Diabetes Mellitus tipe II dengan peningkatan kadar SGPT.

You might also like