You are on page 1of 176

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SADAR GIZI PADA KELUARGA BALITA DI KELURAHAN KARANGPANIMBAL KECAMATAN PURWAHARJA KOTA

BANJAR TAHUN 2010

SKRIPSI

Oleh : Lutfi Fauji Ridwan 106101003714

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI Skripsi, 24 September 2010 Lutfi Fauji Ridwan, NIM : 106101003714 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar Tahun 2010 xxiv + 144 halaman, 28 tabel, 3 gambar, 6 lampiran

ABSTRAK Keluarga sadar gizi (KADARZI) adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku gizi yang baik sesuai dengan kaidah ilmu gizi, mampu mengenali masalah kesehatan bagi setiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai oleh anggota keluarganya. Hasil pendataan keluarga sadar gizi di Kota Banjar tahun 2009 menunjukkan bahwa Kelurahan Karangpanimbal merupakan kelurahan yang paling rendah jumlah keluarga yang berperilaku sadar gizi yaitu 50,44%. Angka tersebut masih jauh di bawah target Departemen Kesehatan untuk keluarga sadar gizi yaitu sebesar 80%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar tahun 2010, yang dilaksanakan pada bulan JuliAgustus 2010 dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Sampel penelitian ini berjumlah 120 orang ibu balita. Data penelitian berupa data primer yang terdiri dari variabel independen dan variabel dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku sadar gizi pada keluarga balita. sedangkan variabel independennya adalah umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, besar keluarga, pengetahuan gizi, sikap, budaya keluarga terkait gizi, keterpaparan informasi kadarzi dan peran tokoh masyarakat. Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari analisis data univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel, dan analisis data bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan dependen menggunakan uji statistik chi-square serta analisis data multivariat untuk mengetahui faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku sadar gizi menggunakan uji regresi logistik berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu balita yang berperilaku sadar gizi lebih banyak (59,2%) daripada ibu balita yang tidak berperilaku sadar gizi (41,8%). Berdasarkan analisis bivariat diketahui bahwa pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, budaya keluarga, dan peran tokoh masyarakat memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal.

Sedangkan berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa pendapatan keluarga merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita. Berdasarkan hasil penelitian saran yang bisa diberikan adalah memberdayakan ibu balita yang sebagian besar tidak bekerja dengan pemberian keterampilan dan modal pinjaman, sehingga diharapkan dapat menambah pendapatan keluarga melalui pengelolaan industri rumah tangga, meningkatkan pengetahuan ibu melalui berbagai macam media informasi termasuk memaksimalkan radio suara husada untuk mengkampanyekan keluarga sadar gizi sehingga bisa mengubah presepsi dan meluruskan kepercayaan dan tradisi-tradisi yang tidak mendukung perilaku sadar gizi. Selain itu memberikan pelatihan kepada tokoh masyarakat supaya bisa lebih terampil dan konsisten dalam mempromosikan perilaku sadar gizi pada masyarakat sesuai dengan ketokohan mereka masing-masing. Daftar bacaan: 76 (1986-2010)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH SPECIALISATION OF NUTRITION Undergraduate Thesis, 24 September 2010 Lutfi Fauji Ridwan, NIM : 106101003714 The Factors That Related with Conscious Behavioral Nutrition in Family of Childern Less than Five Year Old in Karangpanimbal Village Purwaharja District Banjar Regency at 2010 xxiv + 144 pages, 28 tables, 3 images, 6 attachments ABSTRACT A family that is aware of nutrients (Kadarzi) is the family that all members of the family having good nutrition behavior in accordance with the principles of nutrition science which are able to recognize health problems for every member of his family, and able to take steps to address the nutritional problems encountered by members of his family. The results of nutrition conscious family collection in the City of Banjar in 2009 showed that the village is a village Karangpanimbal the lowest number of families who behave aware of nutrition that is 50.44%. The number is still far below the target of the Ministry of Health for nutrition conscious family that is equal to 80%. This study aims to determine the factors associated with nutrition conscious behavior on the family of five in Sub Karangpanimbal Purwaharja Banjar District in 2010, which was held in July-August 2010 using a cross sectional study design. The research sample consists of 120 mothers. The research data in the form of primary data consists of independent variables and the dependent variable. The dependent variable in this study was aware of nutrition behavior in Toddlers family. While the independent variables were age, education, occupation, family income, family size, nutrition knowledge, attitudes, culture-related family nutrition, and exposure information and the role of community leaders Kadarzi. Data analysis in this study consisted of univariate analysis to determine the frequency distribution of each variable and univariate data analysis to determine the relationship between independent and dependent variables using chi-square statistical tests and multivariate data analysis to determine the most dominant factor associated with nutrition conscious behavior using multiple logistic regression. The results showed that mothers who behave more aware of nutrition (59.2%) than mothers who did not behave conscious nutrition (41.8%). Based on bivariate analysis, it is found that family income, nutrition knowledge, culture, family, and the role of community leaders have a significant relationship with nutrition conscious behavior on the family in the village Karangpanimbal toddlers.Meanwhile. based on multivariate analysis, it is found that family income is the most dominant factor related to nutrition conscious behavior on the family toddler.

Based on the research, suggestions that can be given is to empower the mother of a Toddler who mostly do not work with the provision of skills and capital loans, which is expected to increase family income through the management of domestic industry, increase the knowledge of mothers through a variety of information media including radio maximize Husada voice to campaign nutrition conscious family so they can change the perceptions, beliefs align and traditions that do not support the nutrition conscious behavior. Also provides training to community leaders to get more skill and to be consistent in promoting nutrition conscious behavior on the community in accordance with their respective personage. Reading list: 76 (1986-2010)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SADAR GIZI PADA KELUARGA BALITA DI KELURAHAN KARANGPANIMBAL KECAMATAN PURWAHARJA KOTA BANJAR TAHUN 2010

Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripisi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 24 September 2010

Mengetahui

M. Farid Hamzens, MSi Pembimbing I

Yuli Amran, SKM, MKM Pembimbing II

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, 24 September 2010 Mengetahui,

Penguji I

M. Farid Hamzens, MSi

Penguji II

Yuli Amran, SKM, MKM

Penguji III

Meilani Anwar, SKM, M. Epid

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERNYATAAN.. ABSTRAK. ABSTRACT.. LEMBAR PERSETUJUAN.......................................................................... LEMBAR PENGESAHAN. DAFTAR RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR.. DAFTAR ISI ................................................................................................. DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GRAFIK ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4.1 Tujuan Umum .................................................................... i ii iv vi vii viii ix xii xv xix xx xxi 1 1 8 9 11 11

1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.5.1 Bagi Pengelola Program Gizi Dinas Kesehatan Kota Banjar 1.5.2 Bagi Masyarakat Kelurahan Karang Panimbal .................. 1.5.3 Bagi Peneliti ....................................................................... 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2.1 Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)..................................................... 2.1.1 Sejarah Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)............................. 2.1.2Indikator Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Berdasarkan Karakteristik Keluarga.................................................... 2.2 Perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) ...................................... 2.2.1 Menimbang Berat Badan Secara Teratur .......................... 2.2.2 Memberi ASI (Air Susu Ibu) saja Kepada Bayi sampai Usia 6 Bulan ......................................................................... 2.2.3 Makan Beraneka Ragam ................................................... 2.2.4 Menggunakan Garam Beryodium ..................................... 2.2.5 Memberikan Suplemen Gizi Sesuai Anjuran ................... 2.3 Metode Kuesioner Frekuensi Makanan (Food Frequency Questionare)......................................................................... 2.4 Strategi Promosi Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) ....................... 2.4.1 Gerakan Pemberdayaan Masyarakat .................................

11 13 13 13 13 13 14 14 16

18 20 20

21 23 26 28

30 31 32

10

2.4.2 Bina Suasana ..................................................................... 2.4.3 Advokasi ............................................................................ 2.4.4 Kemitraan .......................................................................... 2.5 Perilaku.. 2.5.1 Definisi Perilaku. 2.5.2 Perilaku Kesehatan. 2.5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku. 2.6 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Sadar Gizi ....................................................................................... 2.6.1 Umur Ibu ..................................................................... 2.6.2 Pendidikan Ibu ................................................................... 2.6.3 Pekerjaan Ibu ..................................................................... 2.6.4 Pendapatan Keluarga ......................................................... 2.6.5 Besar Keluarga ................................................................... 2.6.6 Pengetahuan Gizi Ibu ......................................................... 2.6.7 Sikap Ibu ............................................................................ 2.6.8 Budaya Keluarga .............................................................. 2.6.9 Keterpaparan Informasi Kadarzi....................................... 2.6.10 Peran Tokoh Masyarakat ................................................ 2.6 Keranga Teori ............................................................................. BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ..............................................................................

32 33 33 33 33 34 35

36 38 39 41 43 46 47 48 50 52 54 55

56

11

3.1 Kerangka Konsep ...................................................................... 3.2 Definisi Operasional .................................................................. 3.2 Hipotesis .................................................................................... BAB IV METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 4.1 Desain Penelitian ....................................................................... 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 4.2.1 Lokasi Penelitian ............................................................. 4.2.2 Waktu Penelitian ............................................................. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................. 4.3.1 Populasi Penelitian .......................................................... 4.3.2 Sampel penelitian ............................................................ 4.4 Instrumen Penelitian .................................................................. 4.5 Uji Coba Instrumen. 4.6 Pengumpulan Data ................................................................... 4.7 Pengolahan Data ....................................................................... 4.7 Analisis Data ............................................................................. 4.7.1 Analisa Data Univariat .................................................... 4.7.2 Analisa Data Bivariat ...................................................... 4.7.3 Analisa Data Multivariat ................................................. BAB V HASIL. 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1 Keadaaan Geografis

56 58 62 63 63 63 63 63 64 64 64 65 66 67 68 69 69 69 70 72 71 71

12

5.1.2 Keadaan Demografi 5.2 Analisis Univariat. 5.2.1 Perilaku Keluarga Sadar Gizi 5.2.2 Umur Ibu.. 5.2.3 Pendidikan Ibu. 5.2.4 Pekerjaan Ibu 5.2.5 Besar Keluarga. 5,2,6 Pendapatan Keluarga.. 5.2.7 Pengetahuan Gizi. 5.2.8 Sikap 5.2.9 Budaya Keluarga. 5.2.10 Keterpaparan Informasi 5.2.11 Peran Tokoh Masyarakat.. 5.3 Analisis Bivariat... 5.3.1 Hubungan Umur dengan Perilaku Sadar Gizi 5.3.2 Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Sadar Gizi... 5.3.3 Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Sadar Gizi 5.3.4 Hubungan Besar Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi 5.3.5 Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi.. 5.3.6 Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Perilaku Sadar Gizi 5.3.7 Hubungan Sikap dengan Perilaku Sadar Gizi .. 5.3.8 Hubungan Budaya Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi

71 74 75 76 77 78 78 79 80 81 82 83 85 86 86 87 88 89 90 91 92 93

13

5.3.9 Hubungan Keterpaparan Informasi dengan Perilaku Sadar Gizi 5.3.10 Hubungan Peran Tokoh Masyarakat dengan Perilaku Sadar Gizi 5.4 Analisis Multivariat. 5.4.1 Faktor Paling Dominan Berhubungan dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita. BAB VI PEMBAHASAN... 6.1 Keterbatasan Penelitian 6.2 Gambaran Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal.. 6.3 Umur Ibu dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal. 6.4 Pendidikan Ibu dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal 6.5 Pekerjaan Ibu dan Hubungannya dengan dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal 6.6 Besar Keluarga dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal 6.7 Pendapatan Keluarga dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal 6.8 Pengetahuan Gizi dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga 112 117 116 114 111 97 105 105 106 96 97 94

14

Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal 6.9 Sikap dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal 6.10 Budaya Keluarga dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal. 6.11Keterpaparan Informasi dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal 6.9 Peran Tokoh Masyarakat dan Hubungannya dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan.. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan. 7.2 Saran DAFTAR PUSTAKA. LAMPIRAN

120

123

124

127

129 132 132 135 139 145

15

DAFTAR TABEL

Nama Tabel Tabel 2.1 Penilaian Indikator Keluarga Sadar Gizi Berdasarkan Karakteristik Keluarga .................................................... Tabel 3.1 Tabel 5.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ...................... Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2009 Tabel 5.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2009 Tabel 5.3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2009. Tabel 5.4 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Perilaku Sadar Gizi di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010.. Tabel 5.5 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Umur di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010. Tabel 5.6 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pendidikan di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Tabel 5.7 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pekrjaan di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010.

Halaman

18 58

73

73

74

75

76 77

78

16

Tabel 5.8

Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Umur di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010. 79

Tabel 5.9

Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pendapatan Keluarga di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010.. 80 80

Tabel 5.10

Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pengetahuan Gizi di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010..

Tabel 5.11

Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Sikap di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010. 81

Tabel 5.12

Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Budaya Keluarga terkait Gizi di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 82

2010.. Tabel 5.13 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Keterpaparan

Informasi Kadarzi di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010.. Tabel 5.14 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Peran Tokoh Tahun 85 84

Masyarakat di Kelurahan Karangpanimbal

2010.. Tabel 5.15 Hubungan Umur Ibu dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010.. Tabel 5,16 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal

86 87

17

Tahun 2010. Tabel 5.17 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010. Tabel 5.18 Hubungan Besar Keluarga dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010.. Tabel 5.19 Hubungan Kadarzi Pendapatan pada Keluarga Balita dengan di Perilaku Kelurahan 89 85 88

Keluarga

Karangpanimbal Tahun 2010 Tabel 5.20 Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan 90

Karangpanimbal Tahun 2010. Tabel 5.21 Hubungan Sikap Ibu dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010.. Tabel 5.22 Hubungan Budaya Keluarga terkait Gizi dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karanganimbal Tahun 2010.. Tabel 5.23 Hubungan Keterpaparan Informasi dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan 95 92 91

Karangpanimbal Tahun 2010

18

Tabel 5.24

Hubungan Peran Tokon Masyarakat dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan 96

Karangpanimbal Tahun 2010.. Tabel 5.25 Pemilihan Kandidat Variabel Independen yang Akan Masuk Model Mutivariat.. Tabel 5.26 Tabel 5.27 Tabel 5.28 Hasil Pemodelan Prediksi Perilaku Kadarzi, Hasil Uji interaksi. Model Prediksi Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010

98 99 100 101

19

DAFTAR GRAFIK Nama Grafik Grafik 5.1 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Indikator Perilaku Sadar Gizi Grafik 5.2 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Budaya Keluarga terkait Gizi.. Grafik 5.3 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Sumber Informasi Kadarzi .. 84 83 76 Halaman

20

DAFTAR GAMBAR

Nama Gambar Gambar Bagan 2.1 Gambar Bagan 2.2 Gambar Bagan 3.1 Sistem Lifestyle Keluarga Sediaoetama (1996).......... Kerangka Teori .......................................................... Kerangka Konsep Penelitian ......................................

Halaman 37 55 57

21

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7

Surat Pengantar Izin Penelitian Surat Izin Penelitian Kuesioner Pnelitian Peta Lokasi Penelitian Hasil Analisis Univariat Hasil Analisis Bivariat Hasil Analisis Multivariat

22

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama Lengkap Tempat Tanggal Lahir Alamat

: Lutfi Fauji Ridwan : Ciamis, 23 Agustus 1988 : Jln. Kertayasa No 36 RT 02/09 Cijulang Ciamis Jawa Barat 46394

Jenis Kelamin Kewarganegaraan Agama Email Telepon Riwayat Pendidikan 1994 2000 2000 2003 2003 2006 2003 2006 2006 - sekarang

: Laki-Laki : Indonesia : Islam : faujiridwan@yahoo.co.id : 085695112094 :

SDN Keratayasa 1 Madrasah Tsanawiyah Maarif Curug Cijulang Madrasah Aliyah Negeri Cipasung Singaparna Tasikmalaya Pondok Pesantren Cipasung Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Riwayat Organisasi

1. Ketua OSIS MAN Cipasung 2004-2005 2. Sekretaris KOMDA FKIK 2006-2007 3. Koordinator Sosial dan Agama BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat 2007-2008

23

3. Wakil Ketua BEM FKIK 2008-2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar Tahun 2010. Shalawat dan salam senantiasa tecurah limphkankan kepada Rosul tercinta yang telah menjadi suri tauladan bagi kita sebagai umatnya. Dengan bekal pengetahuan, pengarahan serta bimbingan yang diperoleh selama perkuliahan, penulis mencoba menyusun skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi dapat terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis bermaksud menyampaikan rasa terima kasih yang setulusnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tajudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku kepala program studi kesehatan masyarakat. 3. Orang tua penulis, Mama, Bapa dan Kakek tercinta atas kasih sayang yang tak terhingga kepada ananda semoga Allah menerima amal kebaikannya dan mengampuni segala dosanya.

24

4.

Bapak Farid Hamzens, MSi selaku pembimbing I dalam penyusunan skripsi yang telah banyak memberikan banyak arahan, saran dan bimbingan sehingga penulis dapat menyeleseikan skripsi ini.

5.

Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, nasihat, motivasi, saran-saran, dan doa yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6.

Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjar dan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat yang telah memberikan izin untuk melaksanaan penelitian di wilayah yang beliau pimpin

7. Ibu Ade selaku petugas pelaksana gizi Puksesmas Purwaharja yang telah membantu memberikan informasi tentang kader dan meminjmkan alat yang sangat dibutuhkan dalam pengumpulan data. 8. Ibu-ibu kader posyandu se-Kelurahan Karang panimbal yang banyak membantu penulis dalam menyebarkan angket kepada ibu-ibu balita, sehingga dengan bantun beliau-beliau lah pengumpulan data bisa lebih cepat selesai 10. Bapak dan Ibu Zul yang telah memberikan banyak saran kepada penulis sejak tinggal di Ciputat sampai sekarang 11. Pengurus Mahasiswa Beasiswa Santri Departemen Agama (CSS) yang telah memberikan motivasi baik moril maupun materil sehingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan pendidikan S1.

25

11. Teman-teman CSS MoRA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, teman-teman 3G Kesmas 2006, teman-teman DBlz (Nadya, Afni, Indah, Nur, Winda, Iyum, Aly, dan Iik), terimakasih atas persahabatan dan keceriannya selama ini. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi atau laporan penelitian ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar di masa mendatang penulis dapat menyusun laporan penelitian yang lebih baik lagi. Semoga dengan disusunnya skripsi ini akan memberikan manfaat bagi banyak pihak, khususnya bagi penulis serta bagi pembaca. Jakarta, 21 Oktober 2010

Penulis

26

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Sistem Kesehatan Nasiona, 2004). Salah satu sasaran pembangunan kesehatan yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah menurunkan prevalensi gizi kurang setinggi-tingginya 20% (Depkes RI, 2007). Gizi merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi individu atau masyarakat, dan karenanya merupakan issue fundamental dalam kesehatan masyarakat. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan Negara yang dikenal dengan istilah Human

27

Development Index(HDI) (Depkes RI, 2000). Selain itu, tiga faktor utama penentu Human Development Index (HDI) yaitu tingkat pendidikan, kesehatan, dan ekonomi erat kaitannya dengan status gizi masyarakat (Sasmito, 2007). Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanganannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja karena penyebab timbulnya adalah multifaktor sehingga penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor terkait (Supariasa dkk, 2002). Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Namun, periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat sehingga gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat permanen, tidak dapat dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi (Depkes RI, 2007). Oleh karena itu, setiap penyimpangan sekecil apapun pada usia tersebut apabila tidak ditangani dengan baik akan mengurangi kualitas sumber daya manusia di kelak kemudian hari. Kurang gizi pada usia balita akan berdampak pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih lanjut berakibat pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian (Sasmito, 2007). Semakin rendah status gizi seseorang, semakin rentan sakit dan meningkatkan morbiditas. Dalam tingkat yang parah gizi kurang pada anak dapat menyebabkan malaria

28

7,3%, diare 60,7%, dan pneumonia 52,3% (Lahlan, 2006). Selain itu, kekurangan gizi dalam tingkat ringan, sedang dan berat memililiki resiko meninggal masingmasing adalah 2,5 dan 4,6 serta 8,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi normal (Soekirman, 2000). Untuk menanggulangi masalah gizi di Indonesia, sejak tahun 1999 telah dikeluarkan Inpres nomor 8 tahun 1999 tentang gerakan nasional

penanggulangan masalah pangan dan gizi yang diarahkan pada pemberdayaan keluarga, pemberdayaan masyarakat dan pemantapan kerjasama lintas sektor (Almatsier, 2004). Sejalan dengan Inpres tersebut, Departemen Kesehatan RI (2007) menetapkan sasaran prioritas dalam strategi utama untuk mempercepat penurunan gizi kurang pada balita adalah mewujudkan keluarga sadar gizi. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No

747/Menkes/SK/VI/2007 ditetapkan bahwa target nasional untuk keluarga sadar gizi (gizi) adalah 80% keluarga di Indonesia bisa melaksanakan perilaku sadar gizi atau mencapai status kadarzi. Hal ini didasari karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (Depkes RI, 2002). Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku gizi seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai oleh anggota

29

keluarganya.

Keluarga

dikatakan

mencapai

status

kadarzi

jika

telah

melaksanakan lima indikator yaitu makanan beraneka ragam, selalu memantau pertumbuhan, menggunakan garam beryodium, memberi atau mendukung ASI eksklusif, dan minum suplemen sesuai yang dianjurkan (Depkes RI, 2007). Pada prinsipnya pelaksanaan sadar gizi oleh keluarga merupakan cermin dari dilaksanakannya PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang). Kelima indikator kadarzi merupakan bagian dari ke-13 pesan dasar gizi seimbang sehingga valid dan reliable serta aplikatif untuk meningkatkan konsumsi makanan gizi seimbang di tingkat keluarga sehingga akan dapat mencegah dan mengatasai masalah gizi kurang dan buruk pada balita (Minarto, 2009). Sampai saat ini, permasalahan gizi terutama pada balita di dunia maupun di Indonesia masih cukup memprihatinkan. UNICEF melaporkan prevalensi gizi kurang pada anak usia balita di dunia dalam periode 2000-2006 adalah 25%, balita pendek 31%, balita kurus 31% (Zahrani, 2009). Sedangkan hasil Riskesdas (2007) menunjukkan prevalensi balita gizi kurang di Indonesia adalah 18,4%, balita pendek 36,8% dan balita kurus 13,6%. Prevalensi gizi kurang pada balita tahun 2007 di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2005 yang prevalensinya mencapai 28% (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2008). Walaupun prevalensi gizi kurang sudah mengalami penurunan dan mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu sebesar 20 %, namun gizi kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (prevalensinya > 15%) dan dalam hal balita kurus masih

30

dalam situasi kritis karena prevalensinya masih berada antara 10-14,9% atau tepatnya mencapai 13,6% (Depkes, 2007). Adapun prevelensi gizi kurang tahun 2009 di Kota Banjar sebesar 8,63%, gizi buruk 0,97%, balita kurus 1,95%. (Dinkes Kota Banjar, 2010). Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia menunjukkan perilaku gizi di tingkat keluarga masih belum baik. Menurut Depkes RI (2007) baru sekitar 50% anak balita yang di bawa ke Posyandu untuk ditimbang sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan. Bayi dan balita yang telah mendapat kapsul vitamin A baru mencapai 74% dan ibu hamil yang mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) baru mencapai 60%. Demikian pula dengan perilaku gizi lainnya juga masih belum baik yaitu masih rendahnya ibu yang menyusui bayi 0-6 bulan secara eksklusif yang baru mencapai 39%, sekitar 28% rumah tangga belum menggunakan garam beryodium yang memenuhi syarat dan pola makan yang belum beraneka ragam (Depkes RI, 2007). Penelitian Zahrani (2009) dengan menganilisis data Riskesdas tahun 2007 diketahui bahwa jumlah keluarga sadar gizi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) baru mencapai 66% dan di Nusa Tenggara Timur (NTT) baru mencapai 12,2%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2009 diketahui bahwa di Jawa Barat jumlah keluarga sadar gizi baru mencapai 63,7%. Pada tingkat keluarga, keadaan gizi dipengaruhi oleh tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga,

31

pengetahuan dan perilaku keluarga dalam mengolah dan membagi makanan di tingkat rumah tangga. Hal inilah yang menyebabkan peran ibu sangat dominan dalam memenuhi kecukupan gizi keluarga karena hampir sebagian besar pengambilan keputusan dalam hal penyediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak dilakukan oleh ibu (Munadhiroh, 2009). Penerapan perilaku sadar gizi oleh keluarga (kadarzi) ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya umur ibu, pendapatan keluarga, pekerjaan ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi, sikap ibu, budaya dalam keluarga, keterketerpaparan promosi kadarzi dan peran tokoh masyarakat. Umur ibu berpengaruh pada tipe pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya (Hardinsyah, 2007). Pendapatan akan menentukan kemampuan keluarga untuk mengakses makanan yang bergizi bagi anggota keluarganya. Meningkatnya pendapatan keluarga berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik sehingga akan dapat mencukupi kebutuhan gizi anggota keluarga (Sayogyo, 1995). Hasil penelitian Munadhiroh (2009) di Desa Subah menunjukkan ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan keluarga sadar gizi. Pengetahuan dan sikap ibu juga berpengaruh terhadap penerapan perilaku sadar gizi keluarga. Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif ibu terhadap perencanaan makanan (Purnama dalam Madanijah, 2002). Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Madihah (2002) yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dan sikap ibu dengan keluarga sadar gizi.

32

Faktor lain yang berhubungan dengan keluarga sadar gizi adalah pendidikan ibu yang sering sekali mempunyai manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan keluarga (Hardinsyah, 2007). Beberapa studi menunjukkan jika pendidikan ibu meningkat maka pengetahuan nutrisi dan praktek nutrisi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Sedangkan pekerjaan ibu berhubungan dengan waktu yang dimiliki oleh ibu untuk merawat anak dan menyediakan makanan yang bergizi bagi keluarganya. Menurut Afrienti dalam Gabriel (2008) ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki lebih banyak waktu dalam mengasuh anaknya. Banjar merupakan salah satu kota yang berada di wilayah timur Provinsi Jawa Barat. Setiap tahun Dinas Kesehatan Kota Banjar melaksanakan pendataan keluarga sadar gizi (kadarzi) untuk melihat perkembangan pencapaian jumlah keluarga sadar gizi di Kota Banjar. Berdasarkan hasil pendataan kadarzi di Kota Banjar tahun 2009 diketahui bahwa jumlah keluarga sadar gizi di Kota Banjar mencapai 86,78%, sudah mencapai target nasional untuk kadarzi sebesar 80%. Namun, berdasarkan hasil pendataan tersebut diketahui ada lima kelurahan di Kota Banjar yang jumlah keluarga sadar gizinya masih jauh di bawah target nasional yaitu Karangpanimbal (50,44%), Mekarharja (64,77%), Kujangsari (66,70%), Bojongkantong (68,66%), dan Rejasari (66,32%). Dari data di atas diketahui bahwa Kelurahan Karangpanimbal merupakan Kelurahan di Kota Banjar yang jumlah keluarga dengan status keluarga sadar gizi (kadarzi) paling

33

rendah yaitu baru mencapai 50,44%, masih jauh di bawah target nasional Depkes RI sebesar 80% (Dinkes Kota Banjar, 2010). Beberapa penelitian sebelumnya tentang keluarga sadar gizi (kadarzi) dan hubungannya dengan status gizi telah dilaksanakan oleh Sutrisno (2000), Gabriel (2008), Zahrani (2009) menunjukkan bahwa status gizi balita dari keluarga sadar gizi (kadarzi) cenderung lebih baik daripada keluarga yang tidak sadar gizi. Keluarga yang tidak kadarzi memiliki resiko 9,25 kali untuk memiliki balita dengan status gizi kurus dibanding keluarga yang sadar gizi (Fajar, 2009). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar.

1.2

Perumusan Masalah Keluarga sadar gizi merupakan sasaran prioritas dalam strategi utama Depkes RI untuk mempercepat penurunan gizi kurang di Indonesia. Pelaksanaan perilaku kadarzi merupakan cermin dilaksanakannya Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) di tingkat keluarga sehingga akan dapat mencegah dan mengatasi masalah gizi kurang terutama pada balita. Hasil pendataan kadarzi di Kota Banjar tahun 2009 oleh dinas kesehatan menunjukkan 86,78% keluarga sudah berperilaku kadarzi. Meskipun secara keseluruhan di Kota Banjar keluarga sadar gizi sudah mencapai target Depkes RI sebesar 80%, namun berdasarkan hasil pendataan tersebut diketahui bahwa

34

proporsi keluarga yang berperilaku kadarzi paling rendah berada di Kelurahan Karangpanimbal yaitu baru mencapai 50,44 %. Padahal rendahnya jumlah keluarga balita yang berperilaku kadarzi terbukti beresiko terhadap peningkatan jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk di suatu wilayah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi (kadarzi) pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar.

1.3

Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 2. Bagaimana gambaran karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 3. Bagaimana gambaran karakteristik keluarga (besar keluarga,

pendapatan) pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 4. Bagaimana gambaran pengetahuan gizi ibu pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 5. Bagaimana gambaran sikap ibu pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 6. Bagaimana gambaran budaya keluarga terkait gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010?

35

7. Bagaimana gambaran keterpaparan informasi kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 8. Bagaimana gambaran peran tokoh masyarakat pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 9. Bagaimana hubungan karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan) dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 10. Bagaiamana hubungan karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan) dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 11. Bagaimana hubungan pengetahuan gizi ibu dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 12. Bagaimana hubungan sikap ibu dengan perilaku sadar gizi keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 13. Bagaimana hubungan budaya keluarga terkait gizi dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 14. Bagaimana hubungan keterpaparan informasi kadarzi dengan pada

perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010? 15. Bagaimana hubungan peran tokoh masyarakat dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010?

36

16. Apakah faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010?

1.4

Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku sadar gizi (kadarzi) pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan) pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 2. Diketahuinya gambaran karakteristik keluarga (besar keluarga,

pendapatan) pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 3. Diketahuinya gambaran pengetahuan gizi ibu pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 4. Diketahuinya gambaran sikap ibu pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 5. Diketahuinya gambaran budaya keluarga terkait gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010.

37

6. Diketahuinya gambaran keterpaparan informasi kadarzi ibu pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 7. Diketahuinya gambaran peran tokoh masyarakat pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 8. Diketahuinya hubungan karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan) dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 9. Diketahuinya hubungan karakteristik keluarga (besar keluarga,

pendapatan) dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 10. Diketahuinya hubungan budaya keluarga terkait gizi dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 11. Diketahuinya hubungan pengetahuan gizi ibu dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 12. Diketahuinya hubungan sikap ibu dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 13. Diketahuinya hubungan keterketerpaparan informasi kadarzi dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. 14. Diketahuinya hubungan peran tokoh masyarakat dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010.

38

15. Diketahuinya faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010.

1.5

Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Pengelola Program Gizi Dinas Kesehatan Kota Banjar Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka perencanaan kegiatan selanjutnya khususnya pada program gizi dan promosi kesehatan. 1.5.2 Bagi Masyarakat Kelurahan Karangpanimbal Hasil penelitian ini secara tidak langsung memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat khususnya ibu-ibu balita tentang keluarga sadar gizi, serta mendukung program perbaikan gizi. 1.5.3 Bagi Peneliti Dapat dijadikan bahan referensi dan rekomendasi oleh peneliti lain untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya khususnya terkait keluarga sadar gizi.

1.6

Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita. Penelitian ini dilakukan karena berdasarkan hasil pendataan kadarzi oleh Dinas Kesehatan tahun 2009 di Kota

39

Banjar diketahui bahwa jumlah keluarga sadar gizi di kelurahan Karangpanimbal masih rendah yaitu baru mencapai 50,44 %. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus tahun 2010 di Kelurahan Karangpanimbal menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keluarga Sadar Gizi Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Effendy, 2000 dalam Simanjuntak, 2009). Keluarga sadar gizi (kadarzi) merupakan suatu gerakan yang terkait dengan Kesehatan Keluarga dan Gizi (KKG), yang merupakan bagian dari Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Dalam keluarga sadar gizi setidaknya ada seorang anggota keluarga yang dengan sadar bersedia melakukan perubahan ke arah keluarga yang berperilaku gizi baik dan benar bisa seorang ayah, ibu, anak ataupun yang terhimpun dalam keluarga itu (Depkes RI, 1998). Depkes RI memfokuskan program perbaikan gizi pada pencapaian keluarga sadar gizi untuk meningkatkan status gizi yang lebih baik untuk semua masyarakat (Jahari, 2004). Keluarga sadar gizi adalah keluarga yang berperilaku gizi yang baik, mampu mengenali dan mengatasi masalah gizi anggota keluarganya (Depkes RI, 2007). Perilaku gizi seimbang adalah adalah pengetahuan, sikap dan praktek keluarga mengkonsumsi makanan seimbang dan berperilaku hidup sehat (Depkes RI, 2004). Menurut Depkes RI (2007) suatu keluarga disebut keluarga sadar gizi (kadarzi) apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan:

56

57

1. Menimbang berat badan secara teratur. 2. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI Eksklusif). 3. Makan beraneka ragam 4. Menggunakan garam beryodium 5. Minum suplemen gizi (Tablet Tambah Darah (TTD), kapsul Vitamin A dosis tinggi) seseuai anjuran. Menurut Depkes RI (2007) ada beberapa alasan perbaikan gizi keluarga dimulai dengan perlunya kesadaran gizi keluarga yaitu: 1. Pengambilan keputusan dalam bidang pangan, gizi dan kesehatan dilaksanakan terutama di tingkat keluarga. 2. Sumber daya dimiliki dan dimanfaatkan di tingkat keluarga 3. Masalah gizi yang terjadi di tingkat keluarga, erat kaitannya dengan perilaku keluarga tidak semata-mata disebabkan oleh kemiskinan dan ketidaktersediaan pangan. 4. Kebersamaan antar keluarga dapat memobilisasi masyarakat untuk memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan. Menurut Depkes RI (2007) tujuan keluarga sadar gizi (kadarzi) adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya kemudahan keluarga dan masyarakat memperoleh informasi gizi. 2. Meningkatnya kemudahan keluarga dan masyarakat memperoleh pelayanan gizi yang berkualitas.

58

2.1.1 Sejarah Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Dalam upaya menanggulangi masalah gizi sebagai dampak krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997, pemerintah mencanangkan gerakan penanggulangan masalah pangan dan gizi melalui Inpres nomor 8 tahun 1999. Gerakan tersebut dilaksanakan melalui empat strategi utama yaitu

pemberdayaan keluarga, pemberdayaan masyarakat, pemantauan kerjasama lintas sector, serta peningkatan mutu dan cakupan pelayanan kesehatan. (Azwar dalam Almatsier, 2002). Sejalan dengan gerakan tersebut, dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan dalam visi Indonesia Sehat 2010 ditetapkan bahwa salah satu tujuannya 80% keluarga menjadi kadarzi, dengan prinsip bahwa keluarga memiliki nilai yang strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan pembangunan seutuhnya. Keluarga sadar gizi (kadarzi) bertujuan untuk mencapai keadaan gizi yang optimal untuk seluruh anggota keluarga, dengan sasaran seluruh anggota keluarga, masyarakat (penentu kebijakan, pemerintah daerah, tokoh

masyarakat, organisasi masyarakat swasta/dunia usaha), serta petugas teknis dari lintas sektor terkait di berbagai tingkat administrasi (Depkes RI, 2007). Pada awalnya disepakati bahwa indikator penilaian keluarga sadar gizi (kadarzi) adalah melalui lima perilaku yaitu:

59

1. Keluarga biasa mengkonsumsi makan beraneka ragam. 2. Keluarga selalu memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarganya khususnya balita dan ibu hamil. 3. Keluarga hanya menggunakan garam beryodium untuk memasak makanannya. 4. Keluarga memberi dukungan pada ibu melahirkan untuk memberikan ASI eksklusif 5. Keluarga biasa sarapan pagi Indikator perilaku tersebut digunakan untuk menilai perubahan perilaku gizi anggota keluarga dan keberhasilannya dilihat melalui peningkatan status gizi masyarakat (Depkes RI, 2000) Dalam perjalanannya seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan, indikator perilaku keluarga sadar gizi dikembangkan lagi dan hasilnya disepakati bahwa suatu keluarga disebut kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal: 1. Menimbang berat badan secara teratur. 2. Memberi ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (ASI Ekslusif). 3. Makan beraneka ragam. 4. Menggunakan garam beryodium. 5. Minum suplemen gizi (Tablet Tambah Darah, kapsul vitamin A, dosis tinggi) sesuai anjuran (Depkes RI, 2007).

60

Indikator perilaku inilah yang berlaku hingga saat ini dan disosialisasikan secara bertahap ke seluruh Indonesia.

2.1.2 Indikator Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Berdasarkan Karakteristik Keluarga Perilaku keluarga sadar gizi akan diukur minimal dengan 5 (lima) indikator yang menggambarkan perilaku sadar gizi disesuaikan dengan karakteristik keluarga sebagai berikut: Tabel 2.1 Penilaian Indikator Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Berdasarkan Karakteristik Keluarga Indikator Karakteristik No. Keluarga 1 1. Bila keluarga mempunyai ibu hamil, bayi 0-6 bulan, balita 6-59 bulan Bila keluarga mempunyai bayi 06 bulan, balita 6-59 bulan Bila keluarga mempunyai ibu hamil, balita 6-59 bulan Bila keluarga mempunyai ibu hamil 2 3 4 5 Indikator ke 5 yang digunakan adalah balita yang mendapat kapsul vitamin A Kadarzi yang berlaku* Keterangan

2.

3.

4.

Indikator ke 5 yang digunakan adalah balita mendapat kapsul vitamin A Indikator ke 5 yang digunakan adalah ibu hamil mendapat TTD 90 tablet

61

Indikator Kadarzi yang Karakteristik No. Keluarga 1 5. Bila keluarga mempunyai balita 0-6 bulan 2 3 4 5 Indikator ke 5 yang digunakan adalah ibu nifas mendapat suplemen gizi Indikator ke5 yang digunkan adalah balita mendapat kapsul vit A Berlaku Keterangan

Bila keluarga mempunyai balita 6-59 bulan 7, Bila keluarga tidak mempunyai bayi, balita dan ibu hamil Sumber: Depkes RI 2007 *) Keterangan:

6.

1. Menimbang berat badan secara teratur. 2. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif). 3. Makan beraneka ragam 4. Menggunakan garam beryodium 5. Minum suplemen gizi (TTD, viatamin A dosis tinggi) seseuai anjuran. : berlaku -: tidak berlaku Berdasarkan karakteristik di atas, indikator kadarzi yang digunakan dalam penelitian ini hanya empat indikator yaitu menimbang berat badan secara teratur, makan beraneka ragam, menggunakan garam beyodium dan minum suplemen vitamin A.

62

2.2 Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga (Kadarzi) Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa keluarga dikatakan keluarga sadar gizi apabila keluarga tersebut telah melaksanakan minimal lima perilaku gizi yan baik (Depkes RI, 2007). Adapun penjelasan dari lima perilaku tersebut adalah sebagai berikut: 2.2.1 Menimbang Berat Badan Secara Teratur Menimbang berat badan secara teratur maksudnya adalah keluarga menimbang berat badan balita setiap bulan kemudian dicatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) (Depkes RI, 2007). Perubahan berat badan

menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan (Sediaoetama, 2006). Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan kesehatan yaitu mengikuti perkembangan kesehatan dan pertumbuhan atau status gizi anggota keluarga dari waktu ke waktu, terutama bayi, balita dan ibu hamil karena perubahan status gizi dari waktu ke waktu hanya dapat terlihat pada penduduk usia muda dan rentan terhadap masalah gizi. Upaya pemantauan ini merupakan salah satu program gizi yang dilakukan di banyak negara termasuk Indonesia (Soekirman, 2000). Salah satu sarana yang disediakan untuk memantau pertumbuhan balita yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia adalah posyandu. Salah satu kegiatan rutin setiap bulan yang dilaksanakan di posyandu adalah penimbangan balita untuk memantau pertumbuhan dan perkembangannya (Depkes RI, 2006). Menimbang berat badan secara teratur perlu dilakukan untuk memonitor

63

pertumbuhan balita diiiringi dengan tindak lanjut dari hasil penimbangan karena satu kali saja balita tidak naik berat badannya akan meningkatkan resiko mengalami gangguan pertumbuhan (Minarto, 2009). Menurut Susanto (2000), pemantauan kesehatan dan nutrisi anak harus dilakukan secara rutin agar penyimpangan pertumbuhan yang terjadi pada balita terutama balita yang status gizinya kurang dapat segera diatasi sehingga anak tetap tumbuh optimal. Dengan pertumbuhan fisik yang normal, perkembangan mental dan kecerdasan anak juga dapat dipacu dengan lingkungan hidup yang baik dan pola pengasuhan yang mendukung. Oleh karena itu, pemantauan berat badan anak balita secara teratur merupakan salah satu pelayanan kesehatan dasar bagi balita dalam upaya penanggulangan Kurang Energi Protein (KEP) pada balita (Soekirman, 2000). Beberapa kegunaan dari pemantauan kesehatan dan pertumbuhan adalah mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, mengetahui kesehatan ibu hamil dan perkembangan janin, mencegah ibu melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan terjadinya perdarahan pada saat melahirkan, serta mengetahui kesehatan anggota keluarga (Depkes RI, 2000). Hasil penelitian Zahrani (2009) menuunjukkan ada hubungan yang signifikan antara menimbang berat badan balita secara teratur dengan status gizi balita. 2.2.2 Memberi ASI (Air Susu Ibu) Saja Kepada Bayi Sampai Usia 6 Bulan Keluarga terutama dalam hal ini ibu memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan atau dikenal dengan ASI ekslusif merupakan

64

salah satu bentuk kesadaran gizi keluarga (Depkes RI, 2007). Pengecualiannya adalah bila diperlukan bayi diperbolehkan minum obat-obatan, vitamin dan mineral tetes atas saran dokter (Depkes RI, 2007). ASI harus diberikan pada bayi segera setelah dilahirkan (30 menit setelah lahir), karena daya isap bayi sangat kuat pada masa ini sehingga dapat merangsang produksi ASI selanjutnya (Depkes RI, 2005). Pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat karena ASI merupakan makanan yang paling sempurna untuk bayi, bahkan sangat mudah dan murah memberikannya kepada bayi. Selain itu, ASI juga dapat mencukupi gizi bayi sehingga bayi dapat tumbuh dan berkembang secara optimal karena ASI adalah jenis makanan yang mengandung semua zat gizi (Soekirman, 2000). ASI yang keluar pada saat pertama kali merupakan kolostrum dengan warna kekuning-kuningan dan lebih kental yang mengandung vitamin A tinggi dan zat kekebalan sehingga bayi harus diberikan kolostrum (Depkes RI, 2005). Center Present Childhood Malnutirtion (1989) dalam Madihah (2002) menyatakan bahwa dengan pemberian ASI secara eksklusif dapat mencegah kematian bagi 1,3 juta setiap tahun. Selain itu, keunggulan dari ASI adalah bisa memacu pertumbuhan fisik dan perkembangan mental dan kecerdasan anak (Soekirman, 2000) Dalam Al-Quran Allah swt berfirman hendaklah para ibu menyusui anak-anakanya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (Q.S Al-Baqarah : 233). Dari ayat tersebut terlihat jelas bahwa

65

seorang ibu berkewajiban untuk menyusui anaknya melalui payudara dan termasuk kewajiban seorang ibu adalah tidak mengingkari pentingnya hak anak untuk menikmati ASI bila mampu, dan tidak menolak memberikannya selama menyusui (as-Sayyid, 2006). Keluarga yang memberikan ASI eksklusif dapat memberikan petunjuk adanya kesadaran gizi keluarga yang tinggi (Depkes RI, 2007). Adapun manfaat memberikan ASI ekslusif dapat diuraikan sebagai berikut: a. ASI merupakan makanan bayi yang paling sempurna, sehat bersih, murah dan mudah memberikannya pada bayi. b. ASI saja dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal pada bayi sampai umurt 6 bulan. c. ASI yang pertama keluar disebut kolostrum berwarna kekuningan mengandung zat kekebalan untuk mencegah timbulnya penyakit. d. Keluarga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk makanan bayi 0-6 bulan. e. Dapat mempererat ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi (Depkes RI, 2005 ; Arisman, 2004) 2.2.3 Makan Beraneka Ragam Keluarga mengkonsumsi yang makanan beraneka ragam setiap hari yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah merupakan salah satu perilaku keluarga yang sadar gizi (Depkes RI, 2007). Makanan yang beranekaragam yaitu makanan yang mengandung unsur-unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantitasnya terutama zat tenaga, zat

66

pembangun, dan zat pengatur (Depkes RI, 2005). Keanekaragaman makanan dalam hidangan sehari - hari yang dikonsumsi, minimal harus berasal dari satu jenis makanan sumber zat tenaga, satu jenis makanan sumber zat pembangun dan satu jenis makanan sumber zat pengatur. Ini adalah penerapan prinsip penganekaragman yang minimal (Depkes RI, 2005). Mengkonsumsi pangan

secara beraneka ragam adalah merupakan cerminan adanya kesadaran keluarga tentang pentingnya pemenuhan gizi untuk pemeliharaan kesehatan dan peningkatan status gizi (Depkes RI, 2000). Konsep keragaman konsumsi makanan untuk hidup sehat telah berkembang sejak abad ke-2 sebelum Masehi di zaman China kuno. Beberapa penelitian tentang manfaat mengkonsumsi anekaragam makanan bagi kesehatan menunjukkan bahwa skor keragaman konsumsi pangan yang tinggi mengurangi resiko berbaga jenis penyakit tidak menular dan memperpanjang usia harapan hidup atau mengurangi resiko kematian (Hardinsyah, 2007). Menurut Departeen Pertanian dalam Fajar (2009) pangan beragam dan bergizi seimbang merupakan satu kesatuan konsep ketahanan pangan bagi setiap orang dan keluarga agar hidup dapat sehat, aktif dan produktif. Pangan bergizi belum tentu aman, beragam dan seimbang sebaliknya pangan yang beragam belum tentu dikonsumsi seimbang antar waktu dalam memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dan keluarga. Hasil penelitian Zahrani (2009) yang menganalisis data Riskesdas (2007) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara mengkonsumsi makanan beraneka ragam dengan status gizi balita. Hal tersebut juga diperkuat oleh

67

penelitian Fajar (2007) yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara mengkonsumsi beraneka ragam makanan dengan status gizi batita. Dalam penelitian ini, keluarga yang berperilaku gizi baik adalah keluarga yang memberikan balita makanan lauk hewani dan buah setiap hari. Hal ini didasari oleh penelitian cara sederhana penilaian mutu konsumsi pangan keluarga dan individu (Hardinsyah, 2007). Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa indikasi sederhana mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan adalah konsumsi lauk hewani dan buah (Hardinsyah, 2007). Menurut Almatsier (2002) pembagian makanan berdasarkan fungsinya bagi tubuh dapat diuraikain sebagai berikut: a. Makanan sumber zat tenaga antara lain: beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, roti dan mi. Minyak, margarin dan santan yang mengandung lemak juga dapat menghasilkan tenaga. Makanan sumber zat tenaga menunjang aktivitas sehari-hari (Almatsier, 2002). b. Makanan sumber zat pembangun yang berasal dari bahan makanan nabati adalah kacang-kacangan, tempe, tahu. Sedangkan yang berasal dari

hewan adalah telur, ikan, ayam, daging, susu serta hasil olahan, seperti keju. Zat pembangun berperan sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan seseorang (Almatsier, 2002). c. Makanan sumber zat pengatur adalah semua sayur-sayuran dan buahbuahan. Makanan ini mengandung berbagai vitamin dan mineral, yang

68

berperan untuk melancarkan bekerjanya fungsi organ-organ tubuh (Almatsier, 2002). Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan karena pada dasarnya tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung semua zat gizi. Dengan makanan yang beraneka ragam berarti kekurangan zat gizi dari sesuatu makanan dapat diisi oleh zat gizi dari makanan lain (Soekirman, 2000). Akibat tidak makan beraneka ragam, tubuh kekurangan zat gizi terutama lebih mudah terserang penyakit dan khusus balita pertumbuhan dan kecerdasannya terganggu (Depkes RI, 2000). Dalam Al-Quran surat Abassa ayat 23-32 kalau dicermati secara seksama akan didapati bahwa ayat-ayat tersebut memuat aneka ragam makanan untuk mewujudkan keseimbangan dan manfaat dari makanan sekaligus untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh kecenderungan mengkonsumsi satu macam makanan saja (as-Sayyid, 2006) 2.2.4 Menggunakan Garam Beryodium Keluarga menggunakan garam beryodium untuk memasak setiap hari adalah salah satu perilaku keluarga sadar gizi. Untuk menetukan garam yang digunakan keluarga adalah beryodium atau tidak dilakukan dengan test yodina / tes amilum. Apabila hasil tesnya berwarna ungu maka garam tersebut merupakan garam beryodium(Depkes RI, 2007). Garam beryodium adalah garam natrium clorida (NaCl) yang diproduksi melalui proses yodisasi yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) antara lain mengandung yodium sebesar 30-80 ppm.

69

Zat yodium adalah salah satu zat gizi mikro yang sangat penting bagi berbagai fungsi tubuh terutama pertumbuhan fisik dan perkembangan otak. Kekurangan yodium mengakibatkan gangguan yang disebut dengan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) (Soekirman, 2000). Hasil penelitian Zahrani (2009) menunjukkan ada hubungan antara penggunaan garam beryodium dalam keluarga dengan status gizi balita. Sedangkan hasil penelitian Fajar (2009) menunjukkan tidak ada hubungan antara penggunaan garam beryodium dengan status gizi batita. Masih banyaknya rumah tangga yang tidak menggunakan garam disebabkan karena rumah tangga tersebut tidak mau menggunakan garam beryodium, kesulitan dalam mendapatkan atau karena penyimpanan yang tidak tepat misalnya di tempat yang mudah terjangkau cahaya atau panas (Kusmayadi 2007 dalam Zahrani 2009). Dalam Susenas (2005) ditemukan 19,91% rumah tangga masih meletakkan atau menyimpan garam beriodium di dekat perapian dan hasil uji kandungan yodiumnya lebih rendah dari pada yang diletakkan jauh dari perapian (Zahrani, 2009). Yodium berfungsi dalam produksi hormon tiroid. Hormon ini sangat dibutuhkan dalam perkembangan fungsi otak dan sebagian besar metabolisme sel tubuh, pengaturan suhu tubuh, sintesa protein, reproduksi, pertumbuhan dan perkembangan neuromuscular (Kartono dan Sukarti dalam Gabriel, 2009). Hormon tiroid diangkut oleh pembuluh darah dari pabriknya di kelanjar gondok ke seluruh tubuh untuk mengatur proses kimiawi terjadi dalam sel-sel berbagai organ tubuh termasuk sel-sel otak dan susunan syaraf (Soekirman, 2000). Akibat

70

kekurangan yodium yang paling banyak dikenal adalah pembesaran kelenjar gondok dan kretin (kerdil), selain itu berbagai penelitian menunjukkan bahwa kekurangan yodium juga merupakan penyebab utama keterbelakangan mental anak-anak di dunia (Almatsier, 2001). Oleh karena luasnya akibat defisiensi ini, defisiensi yodium saat ini dikenal dengan istilah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) (Soekirman, 2000). Anjuran pemenuhan garam beryodium, yaitu tidak boleh lebih dari 6 gram per hari atau satu sendok teh setiap hari, hal tersebut dikarenakan di dalam garam beryodium mengandung natrium. Apabila konsumsi garam berlebihan, maka akan dapat memicu timbulnya penyakit seperti tekanan darah tinggi, stroke, dan lainnya (Depkes, 2005). Menurut Kodyat dalam Emilia (1998) penambahan garam pada makanan sebaiknya dilakukan setelah makanan dimasak karena kandungan yodium mudah rusak atau hilang saat makanan dimasak. 2.2.5 Memberikan Suplemen Gizi Sesuai Anjuran Memberikan suplemen gizi sesuai anjuran merupakan salah satu perilaku keluarga sadar gizi. Suplemen gizi yang berkaitan dengan keluarga balita adalah memberikan kapsul vitamin A biru pada bayi usia 6-11bulan pada bulan Februari atau Agustus dan memberikan kapsul vitamin A merah pada balita usia 12-59 bulan pada bulan Februari dan Agustus (Depkes RI, 2007). Suplementasi gizi adalah salah satu program intervensi gizi di negara berkembang. Suplementasi merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan kurang gizi dengan basis bukan makanan atau non food-based intervention.

71

Suplementasi zat gizi diperlukan karena kebutuhan zat gizi pada kelompok bayi, balita, ibu hamil dan ibu menyusui meningkat dan seringkali tidak bisa dipenuhi dari makanan sehari-hari terutama vitamin A untuk balita, zat besi untuk ibu dan yodium untuk di daerah endemik gondok (Soekirman, 2000). Suplementasi yang telah dilaksanakan di Indonesia adalah suplementasi . vitamin A balita dan ibu nifas dalam bentuk pil atau kapsul vitamin A, suplementasi zat besi pada ibu hamil dan menyusui dan suplementasi zat yodium di daerah gondok endemik (Arisman, 2004). Suplementasi telah berhasil menanggulangi kekurangan zat gizi di Indonesia dan banyak negara lain. Program suplementasi zat gizi dimulai sejak tahun 1972 dalam bentuk percobaan di Jawa Barat dan dilanjutkan di berbagai daerah di Indonesia mulai tahun 1974 (Soekirman, 2000). Suplementasi vitamin A adalah salah satu bentuk suplementasi gizi untuk menanggulangi Kurang Vitamin A (KVA) yang bisa mengakibatkan kebutaan pada anak balita. Suplementasi dilaksanakan melalui kegiatan posyandu pada bulan Februari dan Agustus (Depkes RI, 2006). Ibu cukup membawa balita ke posyandu tanpa perlu mengeluarkan biaya. Suplementasi A dosis tinggi secara berkala kepada anak akan memberikan pengaruh pencegahan 3-6 bulan (Arisman, 2004). Kapsul vitamin A dengan sasaran bayi 6-11 bulan berwarna biru dengan dosis 100.000 SI dan untuk balita 12-59 bulan berwarna merah dengan dosis 200.000 SI. Selain itu kapsul vitamin A juga diberi pada balita yang sakit campak, diare, gizi buruk atau xeroptalmia dengan dosis sesuai umumnya (Depkes, 2006).

72

Selain kepada bayi, suplementasi vitamin A juga diberikan kepada ibu nifas dimaksudkan supaya kandungan viamin A dalam ASI bisa mencukupi kebutuhan vitamin A bayi. Dengan suplementasi vitamin A dosis tinggi segera setelah melahirkan terbukti memperbaiki status vitamin A ibu juga bayi (Arisman, 2004). Suplementasi zat besi (Fe) merupakan salah satu upaya penanggulangan kekurangan zat besi dalam bentuk pemberian pil, kapsul atau sirup terutama bagi mereka yang rawan atau beresiko tinggi menderita Anemia Gizi Besi (AGB) yaitu ibu hamil, ibu menyusui, wanita usia subur yang jelas mempunyai hemoglobin rendah, bayi dan anak balita dan anak sekolah (Arisman, 2004). Hal ini disebabkan kebutuhan zat besi selama kehamilan mengalami peningkatan untuk memasok kebutuhan janin untuk tumbuh, pertumbuhan plasenta dan peningkatan volume darah (Arisman, 2004).

2.3 Metode Kuesioner Frekuensi Makanan (Food Frequency Questionare) Food Frequency Questioner (FFQ) adalah salah satu metode survey konsumsi makanan yang bersifat kualitatif karena dapat menggambarkan tentang frekuensi responden dalam mengkonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman, dapat menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) FFQ dapat dilihat dalam satu hari atau minggu, bulan, tahun (Supariasa, 2002). Kuesioner terdiri dari daftar bahan makanan. Menurut Hartiyanti (2007) dalam Fajar (2009) ada beberapa jenis FFQ yaitu sebagai berikut:

73

a. Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi sehingga menggunakan standar porsi. b. Semiquantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong nasi, secangkir kopi. c. Quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi respnden seperti kecil, sedang, atau besar. Kelebihan FFQ adalah dapat diisi sendiri oleh responden, relatif murah untuk populasi besar, dapat digunakan untuk melihat hubungan diet dengan penyakit dan data usual intake lebih representatif dibandingkan dengan record beberapa hari. Sedangkan keterbatasan FFQ adalah kemungkinan tidak

menggambarkan usual food atau porsi yang dipilih oleh responden dan tergantung responden untuk mendeskripsikan dirinya (Supariasa, 2002).

2.4 Strategi Promosi Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Dalam mewujudkan perilaku keluarga sadar gizi dilakukan upaya-upaya promosi keluarga sadar gizi. Strategi dasar keluarga sadar gizi adalah pemberdayaan keluarga dan masyarakat, bina suasana dan advokasi yang didukung oleh kemitraan (Depkes RI, 2007). Berikut adalah penjelasan masing-masing strategi, yaitu:

74

2.4.1 Gerakan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat secara langsung dengan tujuan mewujudkan keamampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2005). Gerakan ini adalah proses pemberian informasi kadarzi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran di berbagai tatanan serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar gizi, dari tahu menjadi mau dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku sadar gizi (Depkes RI, 2007). Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah individu, keluarga dan kelompok masyarakat. 2.4.2 Bina Suasana Bina suasana adalah menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu, keluarga dan kelompok masyarakat untuk mau melakukan perilaku keluarga sadar gizi (Depkes RI, 2007). Bina suasana merupakan salah satu bentuk kegiatan mencari dukungan sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh masyarakat formal maupun informal dengan tujuan agar para tokoh masyarakat sebagai jembatan antara sektor kesehatan dengan masyarakat bisa mensosialisasikan program kesehatan terutama tentang perilaku keluarga sadar gizi (kadarzi)

(Notoatmodjo, 2005).

75

2.4.3 Advokasi Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain agar orang lain tersebut membantu atau mendukung terhadap apa yang diinginkan (Notoatmodjo, 2005). Advokasi dalam promosi kadarzi diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung peningkatan penerapan kadarzi. (Depkes RI, 2007). 2.4.4 Kemitraan Gerakan pemberdayaan, bina suasana dan advokasi akan lebih efktif bila dilaksanakan dengan dukungan pemerintah. Kemitraan kadarzi adalah suatu kerjasama yang formal antara indivdu, kelompok-kelompok atau organisasi untuk mencapai peningkatan kadarzi. Kemitraan kadarzi

berlandaskan pada tiga prinsip dasar yaitu: kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan antar mitra (Depkes RI, 2007).

2.5 Perilaku 2.5.1 Definisi Perilaku Menurut Notoatmodjo (2005), perilaku ditinjau dari berbagai aspek. Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas oragnisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Sedangkan menurut Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

76

2.5.2 Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan (Notoatmodjo, 2007). Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Secara lebih rinci perilaku kesehatan mencakup (Notoatmodjo, 2007): a) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia berespon, baik secara pasif (pengetahuan, bersikap, dan mempersepsi) tentang penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan luar dirinya) maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. b) Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional. c) Perilaku terhadap gizi dan makanan yaitu respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. d) Perilaku terhadap lingkungan kesehatan yaitu respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Berdasarkan hal tersebut di atas, perilaku gizi merupakan bagian dari perilaku kesehatan. Hal ini sesuai dengan Depkes (2004) yang menyatakan bahwa perilaku gizi baik itu adalah praktek individu dan keluarga dalam

77

mengkonsumsi makanan gizi seimbang dan berperilaku hidup sehat. Menurut Lisidiana (1998) dalam Simanjuntak (2009) perilaku gizi adalah perbuatan atau perlakuan dalam bidang gizi. Dengan perkataan lain, perilaku gizi adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan status gizi gizi seseorang. 2.5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menurut teori Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu: a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors) Faktor yang mendahului terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi perilaku, juga sebagai faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang antara lain: pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nila-nilai, tradisi dan lain-lain berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak. b.Faktor-faktor enabling (Enabling factors) Faktor enabling merupakan faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana, keterjangkauan, waktu dan biaya. atau fasilitas atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.

78

c. Faktor-faktor penguat (Reinforcing factors) Faktor penguat adalah factor yang medorong atau memperkuat terjadinya perilaku, juga sebagai factor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak misalnya perilaku contoh (acuan) dari para petugas terlebih lagi petugas kesehatan, kader dan tokoh masyarakat.

2.6 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Sadar Gizi Keluarga sadar gizi adalah keluarga yang berperilaku gizi baik, mampu mengenali dan mengatasi masalah gizi anggota keluarganya. Kadarzi merupakan bentuk penerapan perilaku gizi dalam keluarga. Suatu keluarga disebut keluarga sadar gizi (kadarzi) apabila keluarga tersebut telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan lima indikator sebagaimana telah disebutkan di atas yaitu menimbang berat badan secara teratur, memberi ASI saja kepada bayi hingga usia 6 bulan, makan beraneka ragam, memberikan suplemen gizi sesuai anjuran (Depkes RI, 2007). Namun, indikator yang digunakan dalam penelitian ini hanya empat indikator karena disesuaikan dengan karakteristik keluarga yang diteliti yaitu keluarga balita. Menurut Sediaoetama (2006) perilaku gizi di tingkat keluarga merupakan salah satu manifestasi gaya hidup keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana terlihat pada bagan di bawah ini:

79

Bagan 2.1 Sistem Lifestyle Keluarga Sedaioetama (2006) Produksi Pangan dan Distribusinya Faktor-faktor Sosial Ekonomi dan Politik

Faktor-faktor Sosial Lifstyle Faktor Fisiologis (Umur) Pendapatan Pekerjaan

Pengetahuan Gizi Struktur Keluarga Sikap tentang kesehatan Kepercayaan dan Agama (Budaya)

Pendidikan

Suku Bangsa Lingkungan Desa/Kota

Gaya Hidup Keluarga

Perilaku Gizi di Keluarga Berdasarkan bagan tersebut, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi di keluarga adalah pendapatan, pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor fisiologis (umur), pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan, pengetahuan gizi. Struktur keluarga adalah individu-individu dalam keluarga sesuai dengan perannya masing-masing yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Dalam struktur keluarga, ibu mempunyai peran dominan dalam penerapan perilaku gizi keluarga karena pada umumnya di

80

Indonesia ibu bertanggung jawab penuh dalam penyediaan makanan bagi keluarga dan pola pengasuhan anak sehingga masing-masing individu dalam keluarga mengikuti perilaku gizi yang diterapkan oleh ibu terutama dalam konsumsi makanan dan pengasuhan anak (Sediaoetama, 2006). Lebih lanjut Sunandar (2001) dalam Ningsih (2008) menyatakan bahwa peranan wanita dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama meningkatkan status gizi bayi dan anak sangatlah penting karena berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan keluarga. Perilaku ibu yang kurang sadar akan gizi baik pada saat kehamilan maupun saat merawat anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental anaknya (Depkes, 2000 dalam Gabriel, 2008). Selain itu, menurut Hardinsyah (2007) konsumsi pangan beraneka ragam keluarga dipengaruhi oleh umur ibu, pendidikan ibu dan paparan media massa, pendapatan, status dan jenis pekerjaan ibu, besar dan komposisi rumah tangga. Sedangkan menurut Depkes RI (2007) perilaku keluarga sadar gizi dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap ibu, kepercayaan, tradisi dalam keluarga dan peran tokoh masyarakat serta keterpaparan informasi kadarzi. 2.6.1 Umur Ibu Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor pendidikannya (Sedioetama, 2006). Umur orang tua terutama ibu yang relatif muda, cenderung untuk mendahulukan kepentingan sendiri. Sebagian besar ibu yang masih muda memiliki sedikit sekali pengetahuan

81

tentang gizi dan pengalaman dalam mengasuh anak (Budiyanto, 2002). Dapat diasumsikan bahwa kemampuan pemilihan makanan ibu rumah tangga muda akan berbeda dengan kemampuan pemilihan makanan pada ibu rumah tangga yang telah berumur lebih tua dan pola pembelian makanan cenderung lebih berpengaruh kepada orang tuanya. Umur ibu berpengaruh pada tipe pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya (Hardinsyah, 2007). Ibu yang relatif muda cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. umumnya mengasuh anak hanya berdasarkan pengalaman orang tuanya dahulu. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak (Hurlock, 1999). Umur akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang seiring dengan perkembangan fisik dan mental orang tersebut sehingga perilakunya akan semakin matang dengan bertambahnya umur (Gunarsa, 2000) 2.6.2 Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan termasuk

pengetahuan gizi (Hardinsyah, 2007). Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat

82

pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak (Rahmawati, 2006 dalam Gabriel, 2008). Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya (Soetjiningsih, 2004). Robson (1972) dalam Madihah (2002) menyatakan bahwa makanan merupakan hasil proses pengambilan keputusan yang dikendalikan oleh ibu. Oleh karena itu, tingkat pendidikan ibu sangat berperan dalam penyusunan pola makan keluarga, mulai dari perencanaan belanja, pemilihan bahan pangan maupun dalam pengolahan dan penghidangan makanan bagi anggota keluarga (Sariningrum, 1990 dalam Ningsih, 2008). Hasil peneltian Sutrisno (2001) dan Munadhiroh (2009) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi. Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang akan mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan informasi gizi yang dimiliki jadi lebih baik (Berg, 1987). Menurut Sanjur (1982) dalam Ningsih (2008) tingkat pendidikan formal orang tua terutama ibu sering memiliki hubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan terjadi perbaikan kebiasaan makan, serta perhatian kepada kesehatan dan makanan yang bergizi juga bertambah. Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan

83

gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak baik. Saper et all (1992) dalam Hardinsyah (2007) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal secara positif berasosiasi dengan pengetahuan gizi para instruktur aerobic di Texas. Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka pengetahuan nutrisi dan praktek nutrisi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Menurut Hidayat (1980) dalam Gabriel (2008) ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderuang memilih makanan yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah. 2.6.3 Pekerjaan Ibu Menurut Sediaoetama (2006), pekerjaan adalah mata pencaharian, apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan lain-lain.Peningkatan kedudukan wanita dan tersedianya peluang yang sama di bidang pendidikan, latihan dan pekerjaan yang akan memberi kontribusi yang berarti dalam perkembangan sosial ekonomi keluarganya. Padahal keluarga terutama ibu mempunyai tanggung

84

jawab utama atas perawatan dan perlindungan anak sejak bayi hingga dewasa (Soetjiningsih, 2004). Menurut Afriyenti (2002) dalam Gabriel (2008) seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki lebih banyak waktu dalam mengasuh serta merawat anak. Hasil penelitian Misbakhudin (2007) di Kota Bandung menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara aktifitas ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi. Salah satu penyebab terjadinya gizi kurang adalah karena status pekerjaan ibu sehingga ibu yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan keluarganya sehingga mengakibatkan menurunnya keadaan gizi keluarga yang hal ini akan berakibat pada keadaan status gizi anggota keluarga terutama anak-anaknya (Apriadji, 1996). Ibu yang bekerja tidak dapat memberikan perhatian kepada anak balitanya apalagi

mengurusnya sehingga ibu yang bekerja waktu untuk merawat anak menjadi berkurang (Sediaoetama, 2006). Seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan waktu yang cukup padat akan mempengaruhi ketidak hadiran dalam pelaksanaan penimbangan balita posyandu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widiastuti (2006) dalam Gabriel (2008) yang mengungkapkan bahwa factor pekerjaan ibu balita merupakan salah satu faktor penghambat ibu balita memanfaatkan penimbangan balita di posyandu. Pada umumnya orang tua tidak mempunyai waktu luang, sehingga semakin tinggi aktivitas pekerjaan orang tua semakin

85

sulit datang ke posyandu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gun-gun (2002) dalam Ningsih (2008) yang menyatakan bahwa ibu balita yang tidak bekerja berpeluang baik untuk berkunjung ke posyandu dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Padahal beberpa indikator perilaku sadar gizi sangat erat kaitannya denga kunjungan ibu balita ke posyandu. ` Menurut Sunandar (2001) dalam Ningsih (2008) peranan wanita

dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak sangatlah penting karena wanita berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Keterlibatan ibu dalam kegiatan ekonomi/bekerja dibatasi oleh waktu mereka untuk kegiatan rumah tangga termasuk pengelolaan pangan buat keluarga (Hardinsyah, 2007). Saat wanita dari keluarga menengah ke bawah lebih mengalokasikan untuk kegiatan bekerja di luar rumah, biasanya mereka akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan di rumah tangga dengan cara mengurangi frekuensi memasak dan mengurangi jenis makanan yang dimasak yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas gizi pada menu makanan anggota keluarga tersebut (Hardinsyah, 2007). 2.6.4 Pendapatan Keluarga Menurut kamus besar bahasa Indonesia pendapatan keluarga adalah hasil kerja atau usaha dari anggota keluarga (KBBI, 2001). Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi

86

kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anggota keluarganya (Apriadji, 1996). Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Pendapatan merupakan faktor yang terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Berg, 1986). Pengaruh pendapatan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi adalah sama jelasnya bahwa penghasilan meningkatkan daya beli (Farida, 2004). Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik (Sayogyo, 1995). Hasil peneltian Munadhiroh (2009) di Desa Subah menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan status keluarga sadar gizi. Menuru Berg (1986) dalam Parsiki (2003) pendapatan dianggap sebagai salah satu determinan utama dalam dalam diet dan status gizi. Ada kecenderungan yang relevan terhadap hubungan pendapatan dan kecukupan gizi keluarga. Hukum Perisse mengatakan jika terjadi peningkatan pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka yang berpendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan

87

sumber karbohidrat yang dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber hewani dan produk sayuran (Soekirman, 2000). Menurut Williams (1986) dalam Madihah (2002) pada umumnya bila pendapatan keluarga meningkat maka kecukupan gizi keluarga akan meningkat. Namun, pendapatan tinggi tidak menjamin untuk mendapatkan gizi yang cukup, jadi kemampuan membeli makanan tidak menjamin untuk dapat memilih makanan yang baik. Menurut Suhardjo (2003) pada keluarga yang pendapatannya rendah, tentu rendah pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan itu. Bila pendapatan menjadi semakin baik, maka jumlah uang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan itu juga meningkat, sampai suatu tingkat tertentu dimana uang tidak banyak berubah. Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan (Hardinsyah, 1997 dalam Gabriel 2008). Besarnya pendapatan yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehingga akan menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang (Yuliana, 2004).

88

2.6.5 Besar Keluarga Keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan anggota keluarga secara proporsional (Suhardjo, 1989). Besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga dan juga mempengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga (Sukarni, 1994). Hasil penelitian Sutrisno (2001) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan perilaku keluarga sadar gizi. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang amat yang amat dekat akan menimbulkan banyak masalah. Kalau pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan di dalam keluarga kurang kurang bisa dijamin. Keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah terpenuhi (Apriadji, 1996). Hasil penelitian Sutrisno (2001) dan Madihah (2002) menunjukkan hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan keluarga sadar gizi (Fajar, 2009) Apabila besar keluarga semakin banyak, maka kebutuhan pangannya akan semakin banyak pula. Besar keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Pada taraf ekonomi yang sama, pemenuhan kebutuhan makanan yang menjadi lebih mudah pada keluarga yang memiliki jumlah anggota yang lebih sedikit

89

(Suhardjo, 2006). Besar keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak dalam keluarga btersebut menderita kurang gizi umunya pada keluarga yang mempunyai besar keluarga 7-8 orang (Suhardjo, 2006). 2.6.6 Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Depdikbud (1994) dalam Munadhiroh (2009) pengetahuan gizi diartikan sebagai segala apa yang diketahui berkenaan dengan zat makanan. Secara umum di negara berkembang ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk konsumsi keluarganya sehingga pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarganya (Hardinsyah, 2007). Tingkat pengetahuan menentukan perilaku konsumsi pangan, salah satunya melalui pendidikan gizi sehingga akan memperbaiki kebiasaan konsumsi pangan dirinya dan keluarganya (Suhardjo, 2003). Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting gangguan gizi (Suhardjo, 2003). Menurut Khomsan (2000) faktor yang tidak kalah penting penyebab timbulnya masalah gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat khususnya pada ibu yang sebagian besar pengasuh anak. Hasil penelitian Madihah (2002) dan

90

Munadhiroh (2009) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan perilaku keluarga sadar gizi. Pengetahuan yang diperoleh ibu sangat bermanfaat bagi balita apabila ibu tersebut berhasil mengaplikasikan pengetahuan gizi yang dimiliki (Farida, 2004). Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung perilaku hidup sehat. Pengetahuan sangat penting dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan mempengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007). Menurut Apriadji (1996), seseorang yang mempunyai pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah kalau orang tersebut rajin mendengarkan informasi tentang gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). 2.6.7 Sikap Ibu Sikap ibu tentang kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi di tingkat keluarga. Sikap tentang kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadapap hal-hal yang

91

berkaitan dengan gizi sebagai upaya untuk memelihara kesehatannya (Sedioetama, 2006). Menurut Depkes RI (2007), pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namu demikian, sikap mereka terhadap perbaikan gizi keluarga masih rendah. Hal ini disebabkan karena sebagian ibu menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Selain itu, sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan keterampilan menyiapkannya. Menurut Kwick (1974) dalam Madihah (2002), sikap adalah kecenderungan untuk mengadakan tindakan suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap dapat diramalkan perbutannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pranadji (1988) bahwa sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap akan mengarahkan perilaku secara langsung. Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan sikap merupakan kesiapan atau kesediaan/kemauan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu sehingga sikap merupakan predisposisi perilaku atau reaksi tertutup. Makin tinggi pendidikan ibu cenderung makin sadar gizi dan semakin positif pula sikap gizinya dan nantinya akan meningkatkan status gizi keluarga (Madihah, 2002). Hasil penelitian Madihah (2002)

92

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sikap ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan hipotesis kemudian responden diminta bagaimana pendapatnya (Marat, 1984 dalam Madihah, 2002). 2.6.8 Budaya Keluarga Pola asuh dan pola konsumsi makanan merupakan hasil kepercayaan masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus menerus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut (Suhardjo, 2003). Dalam hal kepercayaan dan pantangan yang berhubungan dengan makanan penyelidikan Tan, M.G. (1970) menunjukkan bahwa responden yakin sekali pada kepercayaan dan pantangan yang berlaku bagi bayi, anak-anak, wanita hamil, dan ibu-ibu menyusui (Suhardjo, 2003). Pola asuh ini diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi sekarang dan generasi-generasi yang akan datang. Kepercayaan masyarakat tentang konsepsi kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan. Salah satu pengaruh yang sangat dominan terhadap pola konsumsi adalah pantangan atau tabu.

93

Terdapat jenis-jenis makanan yang tidak boleh dimakan oleh kelompok umur tertentu atau oleh perempuan (Sedieotama, 2006). Larangan ini sering tidak jelas dasarnya, tetapi mempunyai kesan larangan dari penguasa supernatural, yang akan memberi hukuman bila larangan tersebut dilanggar. Namun demikian, orang sering tidak dapat mengatakan dengan jelas dan pasti, siapa yang melarang tersebut dan apa alasannya (Sediaoetama, 2006). Kecukupan zat gizi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi, dan makanan yang dikonsumsi pada gilirannya ditentukan kebiasaan makan dan segala sesuatu berkaitan dengan makanan. Kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan kebudayaan yang dipengaruhi masyarakat setempat (Pelto, 1980 dalam Soehardjo, 2003). Hal inilah yang dapat menyebabkan mengapa suatu keluarga mengkonsumsi jenis makanan bergizi sedangkan keluarga lainnya tidak. Adanya pandangan salah terhadap makanan dapat menimbulkan dapat menimbulkan gangguan gizi yang serius di tingkat keluarga (Apriadji, 1996). Berbagai pantangan atau tabu yang bersangkutan dengan makanan ini, pada mulanya dimaksudakan untuk melindungi kesehatan anak-anak dan ibunya tetapi tujuan ini bahkan ada yang berakibat sebaliknya merugikan kondisi gizi dan kesehatan (Sedioetama, 2006). Adanya anggapan orang tua bahwa anak-anak dilarang makan ikan atau kelapa karena nanti bisa cacingan dapat menyebabkan anak-anak kurang

94

gizinya (Apriadji, 1996). Selain itu, pandangan bahwa ayah mendapat perhatian utama dalam hal makanan misalnya kalau di meja makan ada telur itu untuk ayah dan bagian tubuh ayam yang lebih berdaging untuk ayah sedangkan anak sisanya merupakan pandangan yang bisa mempengaruhi konsumsi makanan keluarga yang akan berakibat tidak tercukukupinya kebutuhan gizi keluarga secara merata(Apriadji, 1996). 2.6.9 Keterpaparan Informasi Kadarzi Promosi adalah salah satu variabel didalam pemasaran. Promosi yang dimaksud dalam hal ini adalah arus informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk mengarahkan seseorang kepada tindakan yang akan menciptakan pertukaran dalam pemasaran. Salah satu tujuan promosi kadarzi adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarag yang sadar gizi (Depkes RI, 2007). Suatu informasi yang sama, senada dan berulang di dalam diri seseorang akan memberikan perngaruh kuat terhadap perubahan perilaku seseorang dibandingkan apabila informasi tersebut hanya sekali diterima. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan perilaku seseorang cenderung terjadi setelah seseorang memperoleh informasi sebanyak tiga kali. (pustekkomui.go.id 2002 dalam Nurhayati, 2002). Dalam teori motivasi dari segi afektif dan gratifikasi media ini disebut dengan teori peniruan, disini individu mempunyai orientasi eksternal dalam rangka gratifikasi, dimana individu tersebut dipandang secara otomatis cenderung berempati dengan

95

perasaan orang yang diamtinya dengan dan meniru perilakunya (Nurhayati, 2002). Informasi dapat diakses oleh siapapun melalui media massa atau lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara lain televisi, radio, majalah dan koran, buku dan sebagainya. Media massa dapat memicu respon yang akan berdampak pada tindakan nyata seseorang (Ewles dalam Afianti, 2008). Informasi tentang cara-cara hidup sehat, pemeliharaan kesehatan, akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut yang selanjutkan menimbulkan kesadaran mereka dan akhirnya menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil perubahan perilaku dengan paparan informasi ini akan memakan waktu lama. Namun, hal ini bisa diusahakan lebih maksimal dengan meningkatkan frekuensi pemberian informasi tersebut kepada masyarakat (Notoatmodjo, 2005). Menurut Fisher dan Diane (2003) dalam Bahria (2009) media massa berpengaruh positif mempromosikan informasi kesehatan dan peningkatan kesadaran atau pemilihan makanan yang tepat. Menurut Schlenker (2007) dalam Bahria (2009) perkembangan teknologi dan media massa juga mempunyai peran dalam pemilihan makanan. Khomsan (2007) dalam Bahria (2009) iklan di TV sering menampilkan makanan snack ringan yang rendah gizinya, makanan instant yang bisa ditunjukkan secara cepat dan aspek lain yang tidak mendukung makanan gizi seimbang.

96

Media massa terutama iklan-iklan perdagangan dan promosi penjualan sangat mempengaruhi pada pemilihan susunan makanan. Keunggulan pemakaian media massa adalah dapat menjangkau setiap orang dalam bentuk yang sama dan dapat menimbulkan pengalaman yang sama (Berg, 1986). Media massa sebagai salah satu sarana komunikasi berpengaruh besar membentuk opini dan kepercayaan seseorang. Dalam penyampaian informasi, media massa membawa pesan dan sugesti yang mengarahkan opini seseorang (Suhardjo, 2006) 2.6.10 Peran Tokoh Masyarakat Keluarga merupakan bagian dari masyarakat sehingga perilaku keluarga tidak dapat dipisahkan dari perilaku masyarakat di sekitarnya. Jika dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat melihat bahwa tokoh-tokoh masyarakat yang disegani ikut serta maka mereka akan tertarik juga untuk berpartisipasi. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2005) yang menyatakan bahwa tokoh masyarakat adalah jembatan antara sektor kesehatan dengan masyarakat. Tokoh masyarakat terdiri dari tokoh masyarakat formal (RT/RW) dan tokoh masyarakat informal (ustadz, tokoh adat). Keterlibatan pemimpin informal dan partisipasi masyarakat akan berpengaruh terhadap keberhasilan program kesehatan. Penanggulangan masalah kesehatan dan gizi di tingkat keluarga perlu keterlibatan masyarakat. Tokoh masyarakat mempunyai peranan yang kuat dalam mewujudkan perilaku sadar gizi di masyarakat

97

karena nasehat atau anjuran dari mereka cenderung lebih didengar oleh masyarakat (Depkes RI, 2007).

2.7 Kerangka Teori Berdasarkan teori-teori di atas, maka dapat dibuat kerangka teori tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku sadar gizi sebagai berikut: Bagan 2.2 Kerangka Teori Predisposing factors Pengetahuan Sikap Kepercayaan/Tradisi (Budaya) Suku Umur Pendidikan Besar Keluarga Enabling factors Status Pekerjaan Pendapatan Keluarga Tempat Tinggal (Kota/Desa) Perilaku Sadar Gizi

Reinforcing factors Peran Tokoh Masyarakat Keterpaparan Informasi

Sumber: Modifikasi dari Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), Sedioetama (1996), Hardinsyah (2007), Depkes RI (2007)

98

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep Banyak faktor yang berhubungan dengan perilaku sadar gizi. Berdasarkan kerangka teori yang telah disebutkan di atas, ada beberapa variabel yang digunakan dalam penelitan ini. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku sadar gizi, sedangkan variabel independennya adalah umur ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, besar keluarga, pengetahuan gizi ibu, sikap ibu, budaya keluarga terkait gizi, keterpaparan promosi kadarzi, dan peran tokoh masyarakat. Ada beberapa variabel yang tidak diikutsertakan atau tidak diteliti yaitu suku dan jenis tempat tinggal (kota/desa). Variabel suku, jenis tempat tinggal (kota/desa), tidak diikutsertakan karena ketiga hal tersebut homogen. Suku ibu di Kelurahan Karangpanimbal relatif sama atau homogen yaitu suku sunda. Jenis tempat tinggal (kota/desa) ibu sama bertempat tinggal di Kelurahan Karangpanimbal, yang termasuk daerah perkotaan,karena kelurahan yang merupakan pengembangan dari desa yang sudah memenuhi syarat-syarat (kriteria) tertentu yaitu kepadatan penduduk, pekerjaan penduduk, akses terhadap sarana perkotaan (Setiawan, 2007). Hubungan antar variabel dapat dilihat pada bagan kerangka konsep di bawah ini :

99

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik Ibu Umur Pendidikan Pekerjaan Karakteristik Keluarga Pendapatan Keluarga Besar Keluarga Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita

Pengetahuan Gizi Ibu Sikap Ibu Budaya Keluarga Keterpaparan Informasi Kadarzi Peran Tokoh Masyarakat

100

3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian No 1. Variabel Perilaku Sadar Gizi (Kadarzi) pada Keluarga Balita Definisi Operasional Kebiasaan keluarga dalam menerapkan perilaku gizi baik, yang meliputi empat indikator yaitu menimbang berat badan balita secara teratur, makan beraneka ragam, menggunakan garam beriodium, minum suplemen gizi sesuai anjuran (Depkes RI, 2007) Alat Ukur Kuesioner, Uji Yodina, Formulir FFQ Cara Ukur Angket dan Melihat KMS Balita Hasil Ukur Skala

1. Tidak Kadarzi : jika Ordinal keluarga melakukan kurang dari 4 indikator kadarzi 2. Kadarzi : jika keluarga melakukan 4 indikator kadarzi dengan kriteria a. Menimbang balita 4 kali berturut-turut dalam 6 bulan terakhir b.Balita mengkonsumsi lauk hewani dan buah setiap hari c. Menggunakan garam beryodium setiap masak d.Balita mendapat kapsul vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus (Depkes RI, 2007).

101

No. 2.

Variabel Umur Ibu

3.

Pendidikan Ibu

Definisi Operasional Masa hidup ibu dalam tahun dengan pembulatan ke bawah atau umur pada waktu ulang tahun terakhir (Depkes RI, 2007) Tingkat pendidikan formal tertinggi yang telah dicapai oleh ibu (Depkes RI, 2007).

Alat Ukur Kuesioner

Cara Ukur Angket

Kuesioner

Angket

Hasil Ukur 1. Remaja (13-19 tahun) 2. Dewasa Muda (20-30 tahun) 3. Dewasa Madya (3150 tahun (Gunarsa, 2000). 1. Rendah, jika tamat < SMA 2. Tinggi, jika tamat SMA (Depdiknas, 2004). 1. Bekerja = jika ibu mempunyai aktifitas diluar rumah untuk menghasilkan uang. 2. Tidak Bekerja = jika ibu tidak mempunyai aktifitas diluar rumah untuk menghasilkan uang (Depkes, 2007). 1. Kurang : pendapatan < Rp. 633.500,2. Cukup : pendapatan Rp. 633.500, (UMK Banjar, 2007).

Skala Ordinal

Ordinal

4.

Pekerjaan Ibu

Kegiatan rutin yang dilakukan ibu dalam upaya mendapatkan penghasilan (uang) untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Ningsih, 2008)

Kuesioner

Angket

Ordinal

5.

Pendapatan Keluarga

Jumlah total penghasilan yang didapat oleh sebuah keluarga sebagai hasil dari seluruh usaha anggota keluarganya setiap bulan

Kuesioner

Angket

Ordinal

102

(Madihah, 2002) No. 6. Variabel Besar Keluarga Definisi Operasional Banyaknya orang yang tinggal satu rumah dengan ibu balita dan menjadi tanggungan kepala keluarga (Madihah, 2002) Tingkat kemampuan ibu dalam menjawab pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner mengenai kadarzi yang dihitung berdasarkan jumlah yang benar (Khomsan, 2000). Pendapat atau penilaian ibu yang dinyatakan dengan sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kadarzi (Modifikasi Notoatmodjo, 2005). Alat Ukur Kuesioner Cara Ukur Angket Hasil Ukur 1.Besar : jika > 4 orang 2. Kecil : jika 4 orang (BKKBN, 1992). Skala Ordinal

7.

Pengetahuan Gizi Ibu

Kuesioner

Angket

1.Kurang : <80% dari seluruh jawaban benar. 2. Baik : 80% dari seluruh jawaban benar. (Khomsan, 2000). 1.Negatif, total skor < nilai median 2. Positif, total skor > nilai median

Ordinal

8.

Sikap Ibu

Kuesioner

Angket

Ordinal

103

No. Variabel 9. Budaya Keluarga terkait Gizi

10.

Keterpaparan Informasi Kadarzi

Definisi Operasional Pengakuan ibu mengenai ada atau tidaknya kepercayaan, tradisi yang dianut keluarga terkait gizi/makanan yang bersumber dari leluhur/nenek moyang tanpa diketahui alasan ilmiahnya Pernyataan responden mengenai pernah atau tidaknya mendapatkan informasi mengenai keluarga sadar gizi melalui melalui media komunikasi minimal tiga kali dalam dalam satu

Alat Ukur Kuesioner

Cara Ukur Angket 1.

2.

Kuesioner

Angket

Hasil Ukur 1. Ya, jika ada kepercayaan/tradisi dalam keluarga.terkait gizi/makanan 2. Tidak, tidak ada kepercayaan/tradisi dalam keluarga.terkait gizi/makanan (Madihah, 2002). 1. Tidak terpapar, jika responden tidak pernah mendapatkan informasi kadarzi < 3 kali dalam 1 tahun 2.Terpapar, jika responden pernah mendapatkan

Skala Ordinal

Ordinal

104

tahun terakhir. (Nurhayati, 2002) 11. Peran Tokoh Masyarakat (Toma) Pengakuan ibu mengenai pernah atau tidak tokoh masyarakat (Toma) menganjurkan/mengajak perilaku keluarga sadar gizi dalam bentuk apapun Kuesioner Angket

informasi kadarzi 3 kali dalam 1 tahun (Nurhayati, 2002). 1. Tidak berperan : Jika Toma tidak pernah menganjurkan perilaku kadarzi 2. Berperan : Jika Toma pernah menganjurkan perilaku kadarzi

Ordinal

105

3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan antara karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan) dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja tahun 2010. 2. Ada hubungan antara karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan) dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja tahun 2010. 3. Ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja tahun 2010. 4. Ada hubungan antara sikap ibu dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja tahun 2010. 5. Ada hubungan antara budaya keluarga terkait gizi dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja tahun 2010. 6. Ada hubungan antara keterpaparan informasi kadarzi dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja tahun 2010. 7. Ada hubungan antara peran tokoh masyarakat dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja tahun 2010.

106

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional karena pengambilan data variabel independen dan variabel dependen dilakukan dalam waktu bersamaan. Penelitian ini bersifat analitik karena akan melihat hubungan antara varibel independen dan varibel dependen. Variabel dependen yang diteliti adalah umur ibu, pendidikan dan pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, besar keluarga, pengetahuan gizi, sikap ibu, budaya keluarga terkait gizi/makanan, paparan informasi kadarzi, peran tokoh masyarakat. Desain cross sectional berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kota Banjar Tahun 2010.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar. 4.2.2 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli dan Agustus tahun 2010.

107

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh keluarga yang mempunyai balita berusia 12-59 bulan yang tinggal di wilayah Kelurahan

Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar pada saat penelitian dilakukan. 4.3.2 Sampel Sampel pada penelitian ini adalah ibu dari keluarga yang mempunyai balita berusia 12-59 bulan yang tinggal di Kelurahan Karangpanimbal, Kecamatan Purwaharja, Kota Banjar yang bersedia menjadi responden dan mengisi kuesioner. Ibu balita menjadi responden dalam penelitian ini dengan pertimbangan karena hampir sebagian besar pengambilan keputusan dalam hal penyediaan makanan dan pola asuh anak dalam keluarga dilakukan oleh ibu (Munadhiroh, 2009). Perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi (Ariawan, 1998) yaitu:

z n
n

1 / 2

2 P (1 P ) z1

P 1 (1 P 1) P 2 (1 P 2)

2 (P 1 P 2)

Keterangan : = Jumlah sampel yang dibutuhkan


2

= 0,05 (derajat kemaknaan 1,96)

108

1
P
P1 P2

= Kekuatan uji 90 % = Proporsi rata-rata = (P1+ P2)/2 = 61,25 % = Proporsi perilaku kadarzi ibu berpendidikan tinggi (76,8%) = Proporsi perilaku kadarzi ibu berpendidikan rendah (45.7%)

( Nilai P1 dan P2 diperoleh dari penelitian Madihah, 2002) Dari hasil perhitungan diatas diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 54 sampel kemudian dikalikan dua menjadi 108 keluarga. Untuk menjaga bila ada ketidaklengkapan data, maka besar sampel ditambah 10% sehingga besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 orang ibu balita. Pengambilan sampel menggunakan metode simple random

sampling (sampel acak sederhana) dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menyusun frame sampling (kerangka sampel) yang berisi daftar nama seluruh ibu dari keluarga balita berusia 12-59 bulan di Kelurahan Karangpanimbal. 2. Melakukan pengambilan secara acak (pengundian) terhadap beberapa ibu dari keluarga balita sebagaimana terdaftar dalam kerangka sampel sampai terambil 120 orang ibu balita. Nama-nama ibu balita yang terambil merupakan sampel dalam penelitian ini. Apabila ada ibu yang mempunyai 2 balita, maka yang dijadikan sampel adalah balita yang usianya lebih muda.

109

4.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2005). Instrumen penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner, formulir food frequency questoner (FFQ) dan uji yodina. Kuesioner digunakan untuk mengisi pertanyaan mengenai pendapatan keluarga, besar keluarga, umur ibu, pendidikan dan status pekerjaan ibu, pengetahuan gizi, sikap ibu, paparan informasi kadarzi, peran tokoh masyarakat, perilaku keluarga sadar gizi. Formulir food frequency questioner (FFQ) digunakan untuk mengetahui kebiasaan makan balita dalam mengkonsumsi makanan pokok, lauk-pauk, sayur dan buah. Iodina test (uji yodina) merupakan larutan uji garam beryodium, yang digunakan untuk mengetahui apakah garam yang dikonsumsi mengandung yodium atau tidak, jika larutan iodina test di teteskan pada garam terlihat perubahan warna garam putih menjadi biru keunguan maka garam tersebut beryodium. Semakin tua warnanya, semakin baik mutu garam beryodium.

4.5 Uji Coba Instrumen Instrumen adalah yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner. Untuk menguji validitas dan realibilitas instrument ini dilakukan uji coba kuisioner kepada 10 ibu yang mempunyai balita yang berada di luar lokasi penelitian, tetapi

110

mempunyai karakteristik serupa dengan lokasi penelitian. Uji coba dilakukan di Kelurahan ini dilakukan di Kelurahan Purwaharja, Kecamatan Purwaharja. Pertanyaan yang tidak valid dilakukan validitas isi dengan cara memperbaiki pertanyaan yang tidak jelas dengan membuat kalimat yang singkat dan jelas sesuai dengan isi atau makna pertanyaan, validitas isi dilakukan dengan berkonsultasi kepada pembimbing dan membaca literatur atau kepustakaan.

4.6 Pengumpulan Data Pengumpul data dilakukan oleh peneliti sendiri dan dilakukan secara bertahap. Responden yang terpilih diminta kesediaannya untuk mengisi sendiri kuesioner, dan formulir Food Frequency yang telah dibagikan. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer berupa data perilaku kadarzi, umur ibu, pendidikan dan pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, besar keluarga, pengetahuan gizi, sikap ibu, kepercayaan/tradisi keluarga, keterpapaparan promosi kadarzi, peran tokoh masyarakat menggunakan instrumen kuisioner yang sebelumnya telah dilakukan uji coba. kuesioner untuk mengetahui tingkat reliabilitas dan validitas setiap pertanyaan penelitian. Kuisioner diisi langsung oleh responden sesuai dengan daftar pertanyaan yang diterima. Data konsumsi makan balita dikumpulkan

menggunakan metode food frequency questoner (FFQ) yang menunjukkan frekuensi balita dalam mengkonsumsi makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah. Sedangkan untuk menguji kandungan yodium pada garam yang digunakan oleh keluarga digunakan uji yodina.

111

4.7 Pengolahan Data Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program komputer. Gambaran kebiasaan makan balita diperoleh dari formulir food frequency questionare (FFQ) kemudian dilihat frekuensi konsumsi lauk hewani dan buah dan dikategorikan menjadi beraneka ragam (balita mengkonsumsi lauk

hewani dan buah setiap hari) dan tidak beraneka ragam (balita tidak mengkonsumsi lauk hewani dan buah setiap hari). Sedangkan pengolahan data untuk variabel lain dilakukan dengan menggunakan program soft ware komputer. Adapun untuk tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data primer dari variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut: 1. Mengkode data (data coding), yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode pada jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuisioner. 2. Menyunting data (data editing), yaitu kuisioner yang telah diisi dilihat kelengkapan jawabannya, sebelum dilakukan proses pemasukan data ke dalam komputer. 3. Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu membuat template sesuai dengan format kuisioner yang digunakan 4. Memasukan data (entry data), yaitu dilakukan pemasukan data ke dalam template yang telah dibuat.

112

5. Membersihkan data (data cleaning), yaitu data yang telah di entry dicek kembali untuk memastikan bahwa data tersebut bersih dari kesalahan, baik kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam membaca kode. Dengan demikian diharapkan data tersebut benar-benar siap untuk dianalisis.

4.8 Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini berupa analisis data univariat dan analisis data bivariat serta analisis multivariat. 4.7.1 Analisa Data Univariat Analisa data univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi masing-masing variabel baik variabel independen maupun variabel dependen. Keseluruhan data yang ada dalam kuesioner diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. 4.7.2 Analisa Data Bivariat Analisa data bivariat dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen Pada analisa ini digunakan uji chi square dengan rumus: (O - E)2 X
2

= E

dF = (k-1)(b-1) Keterangan: X2 = Chi square

113

O E k b

= Nilai observasi = Nilai Ekspektasi = Jumlah kolom = Jumlah baris Melalui uji statistik chi square akan diperoleh nilai p, dimana dalam

penelitian ini digunakan tingkat kemaknaan sebesar 0.05. Penelitian antara dua variabel dikatakan bermakna jika mempunyai nilai p0.05 dan dikatakan tidak bermakna jika mempunyai nilai p>0.05. 4.7.3 Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara beberapa variabel bebas dan variabel terikat pada waktu yang bersamaan. Analisis ini digunakan untuk mengetahui variabel independen yang paling dominan berhubungan dengan variabel dependennya. Analisis multivariat yang digunakan adalah regresi logistik berganda yang merupakan salah satu analisis yang menghubungkan satu atau beberapa variabel independen dengan sebuah variabel dependen kategorik yang bersifat dikotom/binary. Uji regresi logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model prediksi dengan tujuan untuk memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel independen yang dianggap terbaik memprediksi kejadian variabel dependen. Pada model ini semua variabel independennya dianggap penting. Maka proses estimasi dapat dilakukan dengan beberapa koefisien regresi logistik sekaligus. Adapun langkah-langkah dalam permodelan ini adalah:

114

1. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependennya. Apabila hasil uji bivariatnya mempunyai nilai p value<0.25 atau p value>0.25 tetapi secara substansi merupakan variabel yang penting, maka variabel tersebut masuk kandidat model dan dilanjutkan ke analisis multivariat. 2. Memilih variabel yang masuk ke dalam model dengan mempertahankan variabel yang hasil uji regresi logistik berganda menunjukkan p value0.05. Untuk variabel yang p>0,05 dikeluarkan satu persatu secara bertahap dimulai dari nilai p value paling besar. 3. Melakukan uji interaksi sesama variabel independen, apabila secara substansi diduga terjadi interaksi antara variabel independen. Penentuan variabel interaksi sebaiknya melalui pertimbangan logika substantif. Pengujian interaksi dilihat dari kemaknaan uji statistik (p value0.05). Bila variabel mempunyai nilai bermakna, maka variabel interaksi penting dimasukkan dalam model. 4. Model terakhir dan interpretasikan.

115

BAB V HASIL

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1 Keadaan Geografis Kelurahan Karangpanimbal merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Purwaharja Kota Banjar dengan jarak ke Ibu Kota sejauh 1 km. Kelurahan tersebut berada di bagian utara wilayah Kota Banjar dengan luas wilayah 461,210 Ha yang terdiri 400 Ha hutan produksi, 2 Ha kebun, 4 Ha kolam, dan lain-lain 20,21 Ha. Kelurahan Karangpanimbal termasuk dataran tinggi dengan curah hujan sepanjang 10 bulan dan suhu rata-rata harian 31,8
0

C. Kelurahan Karangpanimbal terdiri dari 13 RW dan 32 RT dan 1.268 Kepala Keluarga (KK). Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Karangpanimbal adalah sebagai berikut: - Sebelah barat dan utara dengan Kelurahan Purwaharja - Sebelah timur dengan Desa Mekarharja - Sebelah selatan dengan Sungai Citanduy dan Kecamatan Pataruman. 5.1.2 Keadaan Demografi Jumlah penduduk Kelurahan Karangpanimbal tahun 2009 sebanyak 4.352 penduduk terdiri 2.357 penduduk laki-laki dan 1.995 penduduk

116

perempuan. Adapun distribusi penduduk berdasarkan umur di Kelurahan Karangpanimbal dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2009 Usia Jumlah 0-12 bulan 93 1-5 tahun 420 6-10 tahun 453 11-20 tahun 819 21-30 tahun 801 31-50 tahun 1.177 > 50 tahun 589 Total 4.352 Sumber:Profil Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2009 Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian besar penduduk berada pada rentang umur 31-50 tahun yaitu sebanyak 1.177 penduduk. Mayoritas agama yang dianut oleh penduduk Kelurahan Karangpanimbal adalah agama islam. Sedangkan suku mayoritas penduduk Kelurahan

Karangpanimbal adalah suku sunda dan sebagian kecil lainnya adalah suku jawa dan melayu. Adapun tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Karangpanimbal sebagian besar adalah hanya tamat SD atau sederajat yaitu sebanyak 1.039 penduduk, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.2 Distribusi Penduduk Kelurahan Karangpanimbal Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2009 Pendidikan Jumlah Tidak Pernah Sekolah 4 Tidak Tamat SD 6 Tamat SD 1092 Tamat SLTP/Sederajat 543 Tamat SLTA/Sederajat 678

117

Perguruan Tinggi 258 Jumlah 2581 Sumber: Profil Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2009 Adapun gambaran mata pencaharian penduduk Karangpanimbal dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.3 Distribusi Penduduk Kelurahan Karangpanimbal Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2009 Jenis Pekerjaan Jumlah Buruh Tani 42 BUMN/MD 16 Buruh/Swasta 305 Dokter 1 Montir 13 Pedagang 100 Pegawai Negeri 200 Pengrajin 202 Petani 188 Peternak 12 Satpam 2 Jumlah 1081 Sumber: Profil Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2009 Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa jenis pekerjaan penduduk Kelurahan Karangpanimbal paling banyak adalah buruh/swasta yaitu sebanyak 305 penduduk dan jenis pekerjaan penduduk Kelurahan Karangpanimbal paling sedikit adalah dokter yaitu sebanyak 1 orang.

5.2 Analisis Univariat Pada analisis univariat ini akan digambarkan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel dependen.

118

5.2.1 Perilaku Sadar Gizi (Kadarzi) Perilaku sadar gizi (kadarzi) dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu kadarzi dan tidak kadarzi (Depkes RI, 2007). Keluarga dikatakan sadar gizi (kadarzi) apabila telah melaksanakan empat indikator perilaku kadarzi yang berlaku bagi keluarga balita, apabila satu atau lebih tidak dilaksanakan maka dikatakan tidak kadarzi. Adapun gambaran perilaku

kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Ibu Balita Berdasarkan Perilaku Sadar Gizi di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Kadarzi Jumlah Persentase Tidak Kadarzi 49 40,8 Kadarzi 71 59,2 Total 120 100 Sumber :Data Primer Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa dari 120 responden yang diteliti, ibu balita yang melaksanakan perilaku sadar gizi (kadarzi) lebih banyak yaitu sebanyak 71 orang (59,2%) bila dibandingkan dengan ibu balita yang tidak melaksanakan perilaku sadar gizi sebanyak 49 orang (40,8%). Jika dilihat dari dari masing-masing indikator perilaku kadarzi, dapat diketahui bahwa indikator perilaku kadarzi yang paling banyak dilaksanakan oleh ibu balita adalah memberi suplemen vitamin A pada balita sesuai anjuran, sebanyak 113 orang (94,2%). Sedangkan indikator perilaku kadarzi yang

119

paling sedikit dilaksanakan oleh ibu balita adalah member balita

makan

beraneka ragam yaitu sebanyak 75 keluarga (62,5%) sebagaimana terlihat dalam grafik di bawah ini:

Sumber:Data Primer 5.2.2 Umur Ibu Umur ibu dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu remaja (13-19 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dewasa madya (31-50 tahun). Pengkategorian tersebut didasarkan bahwa semakin bertambah umur seseorang akan berpengaruh pada perkembangan fisik dan mental termasuk kematangan dalam berperilaku (Gunarsa, 1991). Adapun distribusi frekuensi umur ibu berdasarkan tiga kategori di atas dapat terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.5 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Umur di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Umur (tahun) Jumlah Persentase Remaja (13-19) 9 7,5 Dewa Muda (20-30) 58 48,3 Dewasa Madya (31-50) 53 44,2

120

Total Sumber:Data Primer

120

100

Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa dari 120 responden yang diteliti, umur ibu balita pada kategori dewasa muda (20-30 tahun) tahun lebih banyak yaitu sebanyak 58 orang (48,3%) dibandingkan dengan umur ibu pada kategori dewasa lanjut (31-50 tahun) yaitu sebanyak 53 orang (44,2%) dan kategori dewasa lanjut (13-19 tahun) yaitu sebanyak 9 orang (7,5%).

5.2.3 Pendidikan Ibu Pendidikan ibu dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tinggi dan rendah. Pendidikan ibu dikatakan tinggi apabila ibu minimal menamatkan pendidikan formal sampai SLTA atau sederajat dan dikatakan rendah apabila hanya menamatkan pendidikan formal sampai SLTP/sederjat atau lebih rendah. Hal didasarkan pada Undang-Undang (UU) Sisdiknas tahun 2003 yang mewajibkan pendidik dasar 9 (Sembilan) tahun. Adapun distribusi pendidikan ibu balita dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.6 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pendidikan di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Pendidikan Jumlah Persentase Rendah 83 69,2 Tinggi 37 30,8 Total 120 100 Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa dari 120 responden yang diteliti, ibu balita yang mempunyai pendidikan rendah lebih banyak yaitu

121

sebanyak 83 orang (69,2%) dibandingkan ibu balita yang mempunyai pendidikan tinggi sebanyak 37 orang (30,8%). 5.2.4 Pekerjaan Ibu Pekerjaan ibu dalam peneltian ini dikategorikan menjadi dua yaitu bekerja dan tidak bekerja. Ibu dikatakan bekerja apabila ibu mempunyai aktifitas di luar rumah untuk menghasilkan uang dan dikatakan tidak bekerja apabila ibu tidak mempunyai aktifitas di luar rumah untuk menghasilkan uang atau sebagai ibu rumah tangga (Depkes RI, 2007). Adapun distribusi frekuensi pekerjaan ibu balita dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.7 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pekerjaan di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Pekerjaan Jumlah Persentase Bekerja 34 28,3 Tidak Bekerja 86 71,7 Total 120 100 Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa dari 120 responden yang diteliti, ibu balita yang tidak bekerja lebih banyak yaitu sebanyak 86 orang (71,7%) dibandingkan ibu balita yang bekerja yaitu sebanyak 34 orang (28,3%).

5.2.5 Besar Keluarga Besar keluarga dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu besar dan kecil. Keluarga dikatakan besar apabila jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan > 4 orang dan dikatakan kecil apabila

122

jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan 4 orang (BKKBN, 1992). Adapun distribusi frekuensi besar keluarga balita dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.8 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Besar Keluarga di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Besar Keluarga Jumlah Persentase Besar 34 28,3 Kecil 86 71,7 Total 120 100 Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa dari 120 responden, ibu balita yang memiliki besar keluarga pada kategori kecil lebih banyak yaitu sebanyak 86 (71,7%) dibandingkan dengan ibu balita yang memiliki besar keluarga pada kategori besar yaitu sebanyak 34 (28,3%).

5.2.6 Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu pendapatan cukup dan kurang. Ibu balita dikatakan memiliki pendapatan cukup apabila Rp. 633.500,00/bulan dan pendapatan kurang apabila < Rp. 633.500,00/bulan. Pengkategorian tersebut didasarkan pada Upah Minimum Kota (UMK) Banjar tahun 2009 karena UMK merupakan estmasi pendapatan yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja dan keluarganya (UU no 13 tahun 2003). Adapun gambaran distribusi frekuensi pendapatan keluarga dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

123

Tabel 5.9 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pendapatan Keluarga di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Pendapatan Keluarga Jumlah Persentase Kurang 67 55,8 Cukup 53 44,2 Total 120 100 Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa dari 120 responden, ibu balita yang memiliki pendapatan keluarga pada kategori kurang lebih banyak yaitu sebanyak 67 (55,8%) dibandingkan dengan ibu balita yang memiliki pendapatan keluarga pada kategori cukup yaitu sebanyak 53 (44,2%).

5.2.7 Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu pengetahuan gizi baik dan kurang. Ibu balita dikatakan memiliki pengetahuan gizi baik apabila 80% seluruh jawaban benar dan kurang apabila < 80% seluruh jawaban benar (Khomsan, 2000). Adapun gambaran distribusi frekuensi pengetahuan gizi ibu balita dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.10 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pengetahuan Gizi di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Pengetahuan Gizi Jumlah Persentase Kurang 47 39,2 Baik 73 60,8 Total 120 100 Sumber:Data Primer

124

Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa dari 120 responden, ibu balita yang memiliki pengetahuan gizi baik lebih banyak yaitu sebanyak 73 (60,8%) dibandingkan dengan ibu balita yang memiliki pengetahuan gizi kurang yaitu sebanyak 47 (39,2%).

5.2.8 Sikap Sikap dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu sikap positif dan negatif. Ibu balita dikatakan memiliki sikap positif apabila total skor sikap nilai median dan dikatakan memiliki sikap negatf apabila total skor sikap < nilai median. Kategori ini didasarkan nilai median karena skor sikap tidak berdistribusi normal. Adapun gambaran distribusi frekuensi sikap ibu balita dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.11 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Sikap di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Sikap Jumlah Persentase Negatif 43 35,8 Positif 77 64,2 Total 120 100 Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa dari 120 responden, ibu balita yang memiliki sikap positif lebih banyak yaitu sebanyak 77 (64,2%) dibandingkan dengan ibu balita yang memiliki sikap negatif yaitu sebanyak 43 (35,8%).

125

5.2.9 Budaya Keluarga Budaya keluarga dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu ada dan tidak ada. Budaya keluarga dikatakan ada apabila dalam ibu balita menyatakan dalam keluarga ada kepercayaan atau kebiasaan yang berhubungan dengan masalah gizi atau makanan yang bersumber dari leluhur tanpa diketahui alasan ilmiahnya dan dikatakan tidak ada apabila dalam keluarga ibu balita tidak ada kepercayaan atau kebiasaan yang berhubungan dengan masalah gizi atau makanan yang bersumber dari leluhur tanpa diketahui alasan ilmiahnya. Adapun gambaran distribusi frekuensi budaya keluarga dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.12 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Budaya Keluarga Terkait Gizi di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Budaya Keluarga Jumlah Persentase Ada 39 32,5 Tidak Ada 81 67,5 Total 120 100 Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.12 diketahui bahwa dari 120 responden, ibu balita yang tidak ada budaya (kepercayaan atau kebiasaan) dalam keluarga terkait gizi/makanan lebih banyak yaitu sebanyak 81 (67,5%) dibandingkan dengan ibu balita yang ada budaya (kepercayaan atau kebiasaan) dalam keluarga terkait gizi/makanan sebanyak 39 (32,5%). Adapun gambaran distribusi frekuensi nilai-nilai dalam keluarga terkait gizi/makanan dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

126

Sumber:Data Primer Berdasarkan grafik 5.2 diketahui bahwa dari 39 responden yang ada budaya terkait gizi atau makana dalam keluarga, nilai-nilai budaya terkait gizi atau makanan yang banyak dianut keluarga balita adalah mendahulukan atau mementingkan ayah atau anggota keluarga lain dalam pendistribusian makanan dalam keluarga yaitu sebanyak 22 orang (56,4%) dan nilai-nilai budaya keluarga terkait gizi atau makanan yang paling sedikit dianut oleh keluarga adalah anak kecil harus banyak makan sayap ayam supaya kelak bisa pergi jauh yaitu sebanyak 1 orang (2,6%).

5.2.10 Keterpaparan Informasi Keterpaparan informasi dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu terpapar dan tidak terpapar. Ibu balita dikatakan terpapar apabila pernah memperoleh informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan

127

kadarzi minimal tiga kali dalam satu tahun terakhir dan dikatakan tidak terpapar apabila ibu balita tidak pernah memperoleh informasi mengenai halhal yang berhubungan dengan kadarzi minimal tiga kali dalam satu tahun terakhir Adapun gambaran distribusi keterpaparan informasi ibu balita dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.13 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Keterpaparan Informasi di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Keterpaparan Jumlah Persentase Informasi Tidak Terpapar 55 45,8 Terpapar 65 54,2 Total 120 100 Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.13 diketahui bahwa dari 120 responden, ibu balita yang terpapar informasi kadarzi lebih banyak yaitu sebanyak 65 (54,2%) dibandingkan dengan ibu balita yang memiliki tidak terpapar informasi kadarzi sebanyak 55 (45,8%). Adapun gambaran ditribusi frekuensi sumber informasi kadarzi ibu balita dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Sumber: Data Primer

128

Berdasarkan grafik 5.3 diketahui bahwa dari 65 responden yang terpapar informasi, sumber informasi kadarzi paling banyak berasal dari penyuluhan oleh kader.petugas kesehatan sebanyak 32 orang (50%) dan sumber informasi kadarzi paling sedikit sebesar 1,5 %. berasal darj poster atau pamflet

5.2.11 Peran Tokoh Masyarakat Peran tokoh masyarakat dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu berperan dan tidak berperan. Berperan apabila ibu balita mengaku tokoh masyarakat pernah menganjurkan untuk melakasanakan perilaku kadarzi dan tidak berperan apabila mengaku tokoh masyarakat tidak pernah menganjurkan untuk melaksanakan perilaku kadarzi (Depkes RI, 2007). Adapun gambaran distribusi peran tokoh masyarakat dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5.14 Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Peran Tokoh Masyarakat di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Keterpaparan Jumlah Persentase Informasi Tidak Berperan 23 19,2 Berperan 97 80,8 Total 120 100 Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.14 diketahui bahwa dari 120 responden, ibu balita yang tokoh masyarakatnya berperan lebih banyak yaitu sebanyak 97

129

orang (80,8%) dibandingkan dengan ibu balita yang tokoh masyarakatnya tidak berperan sebanyak 23 orang (19,2%).

5.3 Analisis Bivariat Pada analisis bivariat ini akan disajikan hubungan antara masing-masing variabel independen dengan variabel independen. 5.3.1 Hubungan Umur dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara umur ibu balita dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.15 di bawah ini: Tabel 5.15 Hubungan Umur Ibu dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Umur Kadarzi P-value Kadarzi (tahun) N % N % N % 5 55,6 4 44,4 9 100 13-19 21 36,2 37 63,8 58 100 20-30 0,481 23 43,4 30 56,6 53 100 31-50 49 40,8 71 59,2 120 100 Total Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.15 hasil analisis hubungan antara umur ibu balita dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 9 responden pada kelompok umur remaja (13-19 tahun), terdapat 5 responden (55,6%) yang tidak berperilaku kadarzi. Diantara 58 responden pada kelompok umur dewasa muda (20-30 tahun), terdapat 21 responden (36,2%) yang berperilaku tidak kadarzi. Sedangkan dari 53 responden pada

130

kelompok umur dewasa madya (31-50 tahun), terdapat 23 responden (43,4%) yang tidak berperilaku kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,481. Hal ini menunjukkan Pvalue > 0,05 artinya pada =5% tidak ada hubungan yang bermakna antara umur ibu balita dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita.

5.3.2 Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan ibu balita dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.16 di bawah ini: Tabel 5.16 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Perilaku Kadarzi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Kadarzi OR (95% CI) P-value Pendidikan Kadarzi N % N % N % 39 47,0 44 56,9 83 100 2,393 (1,029-5,695) Rendah 10 38,7 27 61,3 37 100 0,064 Tinggi 49 40,8 71 59,2 120 100 Total Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.16 hasil analisis hubungan antara pendidikan ibu balita dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 83 responden yang pendidikannya rendah, terdapat 39 responden (47,0%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 37 responden yang pendidikannya tinggi, terdapat 10 responden (38,7%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,064. Hal ini

131

menunjukkan Pvalue > 0,05 artinya pada =5% tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu balita dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR= 2,393 ( 95 % CI 1,0295,695), artinya ibu balita yang pendidikannya rendah memiliki peluang 2,393 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang pendidikannya tinggi.

5.3.3 Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan ibu balita dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.17 di bawah ini: Tabel 5.17 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Kadarzi OR (95% CI) P-value Pekerjaan Kadarzi N % N % N % 9 26,5 25 73,5 34 100 0,414 (0,173-0,990) Bekerja 40 46,5 46 53,5 86 100 Tidak 0,071 Bekerja 49 40,8 71 59,2 120 100 Total Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.17 hasil analisis hubungan antara pekerjaan ibu balita dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 34 responden yang bekerja, terdapat 9 responden (26,5%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 86 responden yang pendidikannya

132

tinggi, terdapat 40 responden (46,5%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,071. Hal ini menunjukkan Pvalue > 0,05 artinya pada =5% tidak ada hubungan yang bermakna antara penkerjaan ibu balita dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR= 0,414 ( 95 % CI 0,1730,990), artinya ibu balita yang bekerja memiliki efek protektif 0,414 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang tidak bekerja.

5.3.4 Hubungan Besar Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara besar keluarga dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.18 di bawah ini: Tabel 5.18 Hubungan Besar Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Besar Kadarzi OR (95% CI) P-value Kadarzi Keluarga N % N % N % 16 47,1 18 52,9 34 100 1,428 (0,641-3,182) Besar 33 38,4 53 61,6 86 100 0,505 Kecil 49 40,8 71 59,2 120 100 Total Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.18 hasil analisis hubungan antara besar keluarga balita dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 34 responden yang mempunyai besar keluarga termasuk kategori besar,

133

terdapat 16 responden (47,1%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 86 responden yang mempunyai besar keluarga termasuk kategori kecil, terdapat 33 responden (38,4%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,505. Hal ini menunjukkan Pvalue > 0,05 artinya pada =5% tidak ada hubungan yang bermakna antara besar keluarga dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR= 1,428 (95 % CI 0,6413,182), artinya ibu balita yang mempunyai besar keluarga termasuk kategori besar memiliki peluang 1,428 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang mempunyai besar keluarga termasuk kategori kecil.

5.3.5 Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara pendapatan keluarga dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.19 di bawah ini: Tabel 5.19 Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Kadarzi OR (95% CI) P-value Pendapatan Kadarzi N % N % N % 40 59,7 27 40,3 67 100 7,243 (3,042-17,244) Kurang 9 17,0 44 83,0 53 100 0,000 Cukup 49 40,8 71 59,2 120 100 Total Sumber:Data Primer

134

Berdasarkan tabel 5.19 hasil analisis hubungan antara pendapatan keluarga balita dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 67 responden yang pendapatan keluarganya kurang, terdapat 40 responden (59,7%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 53 responden yang pendapatan keluarganya cukup, terdapat 9 responden (17,0%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,000. Hal ini menunjukkan Pvalue < 0,05 artinya pada =5% ada hubungan yang bermakna antara besar keluarga dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR = 7,243 ( 95 % CI 3,04217,244), artinya ibu balita yang pendapatan keluarganya kurang memiliki peluang 7,243 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang pendapatan keluarganya cukup. 5.3.6 Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan gizi dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.20 di bawah ini: Tabel 5.20 Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Pengetahuan Kadarzi OR (95% CI) P-value Kadarzi Gizi N % N % N % 27 57,4 20 42,6 47 100 3,130 (1,457-6,721) Kurang 22 30,1 51 69,9 73 100 0,005 Baik 49 40,8 71 59,2 120 100 Total Sumber:Data Primer

135

Berdasarkan tabel 5.20 hasil analisis hubungan antara pengetahuan gizi dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 47 responden yang pengetahuan gizinya rendah, terdapat 27 responden (57,4%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 73 responden yang pengetahuan gizinya tinggi, terdapat 22 responden (30,1%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,005. Hal ini menunjukkan Pvalue 0,05 artinya pada =5% ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi ibu dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR = 3,130 ( 95 % CI 1,4576,721), artinya ibu balita yang pengetahuan gizinya kurang memiliki peluang 3,130 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang pengetahuan gizinya kurang. 5.3.7 Hubungan Sikap dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara sikap dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.21 di bawah ini: Tabel 5.21 Hubungan Sikap Ibu dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Kadarzi OR (95% CI) P-value Sikap Kadarzi N % N % N % 17 39,5 26 60,5 43 100 0,919 (0,430-1,968) Negatif 0,982 32 41,6 45 58,4 77 100 Positif

136

Total

49

40,8 71

59,2 120 100

Berdasarkan tabel 5.21 hasil analisis hubungan antara sikap ibu dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 43 responden yang sikapnya negatif, terdapat 17 responden (39,5%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 77 responden yang sikapnya positif terdapat 32 responden (30,1%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,982. Hal ini menunjukkan Pvalue > 0,05 artinya pada =5% tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap ibu dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR = 0,919 ( 95 % CI 0,4301,968), artinya ibu balita yang sikapnya negatif memiliki efek protektif 0,919 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang sikapnya positif.

5.3.8 Hubungan Budaya Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara budaya keluarga dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.22 di bawah ini: Tabel 5.22 Hubungan Budaya Keluarga dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Budaya Kadarzi OR (95% CI) P-value Kadarzi Keluarga N % N % N % 27 69,2 12 30,8 39 100 6,034 (2,610-13,948) Ada 0,000 Tidak Ada 22 27,2 59 72,8 81 100 49 40,8 71 59,2 120 100 Total

137

Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.22 hasil analisis hubungan antara budaya keluarga terkait gizi/makanan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 39 responden yang ada budaya keluarga terkait gizi/makanan, terdapat 27 responden (69,2%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 81 responden yang yang ada budaya keluarga terkait gizi/makanan, terdapat 22 responden (27,2%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,000. Hal ini menunjukkan Pvalue < 0,05 artinya pada =5% ada hubungan yang bermakna antara budaya terkait gizi yang dianut keluarga dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR = 6,034 ( 95 % CI 2,61013,948), artinya ibu balita yang memiliki budaya keluarga terkait gizi atau makanan memiliki peluang 6,034 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang tidak memiliki budaya keluarga terkait gizi atau makanan.

5.3.9 Hubungan Keterpaparan Informasi dengan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara keterpaparan informasi dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.23 di bawah ini:

138

Tabel 5.23 Hubungan Keterpaparan Informasi dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Tidak Keterpaparan Kadarzi OR (95% CI) P-value Kadarzi Informasi N % N % N % 26 47,3 29 52,7 55 100 1,636 (0,786-3,411) Tidak Terpapar 0,257 23 35,4 42 64,6 65 100 Terpapar 49 40,8 71 59,2 120 100 Total Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.23 hasil analisis hubungan antara keterpaparan informasi ibu dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 55 responden yang terpapar informasi, terdapat 26 responden (47,3%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 65 responden yang tidak terpapar informasi, terdapat 23 responden (35,4%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,257. Hal ini menunjukkan Pvalue > 0,05 artinya pada =5% tidak ada hubungan yang bermakna antara keterpaparan informasi dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR = 1,636 ( 95 % CI 0,7863,411) artinya ibu balita yang tidak terpapar informasi kadarzi memiliki peluang 1,636 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang tidak memiliki terpapar informasi kadarzi.

139

5.3.10 Hubungan Peran Tokoh Masyarakat dan Perilaku Sadar Gizi Untuk mengetahui hubungan antara peran tokoh masyarakat dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 digunakan uji chi-square yang disajikan pada tabel 5.24 di bawah ini: Tabel 5.24 Hubungan Peran Tokoh Masyarakat dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Perilaku Sadar Gizi Total Peran Tidak Kadarzi OR (95% CI) P-value Tokoh Kadarzi Masyarakat N % N % N % 14 60,9 9 39,1 23 100 2,756 (1,083-7,014) Tidak Berperan 0,053 35 36,1 62 63,9 97 100 Berperan 49 40,8 71 59,2 120 100 Total Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.24 hasil analisis hubungan antara peran tokoh masyarakat dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita diperoleh bahwa diantara 23 responden yang tokoh masyarakatnya tidak berperan, terdapat 14 responden (60,9%) yang tidak berperilaku kadarzi. Sedangkan diantara 97 responden yang tokoh masyarakatnya berperan, terdapat 35 responden (39,1%) yang berperilaku tidak kadarzi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,053. Hal ini menunjukkan Pvalue < 0,05 artinya pada =5% ada hubungan yang bermakna antara peran tokoh masyarakat dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR = 2,756 ( 95 % CI 1,0837,014 ) artinya ibu balita yang tokoh masyarakatnya tidak berperan memiliki

140

peluang 2,756 kali berperilaku tidak kadarzi dibandingkan ibu balita yang tokoh masyarakatnya berperan.

5.4 Analisis Multivariat 5.4.1 Faktor Paling Dominan Berhubungan Dengan Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui faktor paling dominan yang berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 menggunakan uji regresi logistik berganda dengan model prediksi yaitu dengan cara menseleksi variabel independennya, maka tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan Variabel Kandidat yang Akan Masuk Model Untuk melihat model multivariat, terlebih dahulu dilakukan analisis bivariat antara umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, besar keluarga, pengetahuan gizi, sikap, budaya keluarga terkait gizi,

keterpaparan informasi, dan peran tokoh masyarakat dengan variabel perilaku kadarzi. Tahapan analisis multivariat yang dilakukan adalah melakukan pemilihan kandidat yang akan masuk model. Dalam penelitian ini ada enam variabel yang akan diuji sebagai kandidat yang akan masuk model yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, budaya keluarga, peran tokoh masyarakat. Untuk memilih kandidat model, hanya variabel yang memiliki Pvalue < 0,25 yang akan dimasukkan dalam

141

model multivariat. Hasil pemilihan kandidat model dapat dilihat pada tabel 5.25 berikut ini: Tabel 5.25 Pemilihan Kandidat Variabel Independen yang Akan Masuk Model Multivariat No Variabel P-Value 1 Umur 0,481 2 Pendidikan 0,064* 3 Pekerjaan 0,071* 4 Besar Keluarga 0,505 5 Pendapatan 0,000* 6 Pengetahuan Gizi 0,005* 7 Sikap 0,982 8 Budaya Keluarga 0,000* 9 Keterpaparan Informasi 0,257 10 Peran Tokoh Masyarakat 0,053* Sumber:Data Primer Berdasarkan tabel 5.25 diperoleh bahwa diantara 10 variabel independen, terdapat enam variabel yang memiliki Pvalue < 0,25. Oleh karena itu, variabel yang akan masuk kedalam model adalah variabel pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan gizi, budaya keluarga dan peran tokoh masyarakat. 2. Pembuatan Model Prediksi Penentu Perilaku Sadar Gizi Dalam pemodelan ini semua variabel kandidat dicobakan secara bersama-sama. Variabel independen dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel yang nilai Pwald-nya tidak signifikan (Pwald > 0,05) dikeluarkan dari model secara berurutan dimulai dari variabel dengan nilai Pwald-nya yang terbesar. Hasil pembuatan model dapat dilihat pada tabel 5.26 sebagai berikut:

142

Tabel 5.26 Hasil Pemodelan Prediksi Perilaku Kadarzi Variabel Pvalue Model 1 Model 2 Pendidikan 0,473 0,502 Pekerjaan 0,541 Pendapatan 0,000 0,000 Pengetahuan Gizi 0,003 0,003 Budaya Keluarga 0,001 0,001 Peran Tokoh Masyarakat 0,008 0,009 Constant 0,000 0,000 Sumber:Data Primer

Model 3 0,000 0,003 0,001 0,009 0,000

Berdasarkan tabel 5.26 diperoleh hasil bahwa pada penelitian ini memiliki tiga model, model pertama menunjukkan bahwa variabel pendidikan dan pekerjaan memiliki nilai Pvalue > 0,05 dan variabel pekerjaan memiliki nilai Pvalue paling besar, sehingga pada model selanjutnya tidak mengikutsertakan variabel pekerjaan. Kemudian pada model kedua, hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pendidikan memiliki nilai Pvalue > 0,05, sehingga pada model selanjutnya tidak mengikutsertakan variabel pendidikan. Selanjutnya pada model ketiga hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pendapatan, pengetahuann gizi, budaya keluarga, dan peran tokoh masyarakat memiliki Pvalue berturut-turut sebesar 0,000, 0,003 dan 0,001 serta 0,009. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pendapatan, pengetahuann gizi, budaya keluarga, dan peran tokoh masyarakat diduga memiliki hubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar tahun 2010. 3. Uji Interaksi

143

Uji interaksi adalah uji untuk mengetahui interaksi antar variabel. Dalam uji interaksi, pemilihan variabel yang berinteraksi antar variabel independen didasarkan substansi. Berdasarkan variabel yang masuk model multivariat, maka variabel yang mungkin berinteraksi adalah variabel pengetahuan gizi dan budaya keluarga terkait gizi. Hasil uji interaksi dapat dilihat pada tabel 5.27 sebagai berikut: Tabel 5.27 Hasil Uji Interaksi No Variabel 1 Pengetahuan gizi*Budaya keluarga Sumber: Data Primer

P-value 0,535

Dari hasil uji interaksi pengetahuan gizi dengan budaya keluarga diperoleh Pvalue sebesar 0,535, hal ini menunjukkan tidak ada interaksi antara pengetahuan gizi dengan budaya keluarga (Pvalue > 0,005). 4. Penyusunan Model Akhir Setelah dilakukan analisis, ternyata pendapatan keluarga,

pengetahuan gizi, budaya keluarg dan peran tokoh masyarakat merupakan faktor risiko utama terjadinya perilaku tidak kadarzi pada keluarga balita maka modelnya dapat dilihat pada tabel 5.28 sebagai berikut:

Tabel 5.28 Model Prediksi Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Tahun 2010 Variabel B Wald Pwald OR 95% CI Pendapatan 1,950 14.647 0,000 7,032 2,590-19,092 Pengetahuan Gizi 1,486 8,713 0,003 4,420 1,648-11,858

144

Budaya Keluarga 1,614 Peran Tokoh 1,615 Masyarakat Constant -10,272 -2 Log Likelihood = 112,537 Negelkerke R Square = 0,458

10,442 6,845

0,001 0,009

5,024 5,029

1,885-13,385 1,500-16,863

22,750 0,000 0,000 G = 49,762 P value = 0,000

Berdasarkan tabel 5.28, diketahui variabel pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, budaya keluarga, peran tokoh masyarakat terbukti berhubungan signifikan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR pendapatan keluarga adalah 7,032 artinya ibu balita yang pendapatan keluarganya kurang berpeluang untuk tidak kadarzi sebesar 7,032 kali dibandingkan dengan ibu balita yang pendapatannya cukup setelah dikontrol variabel pengetahuan gizi, budaya keluarga dan peran tokoh masyarakat. Variabel pengetahuan gizi berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai OR adalah sebesar 4,420 artinya semakin kurang pengetahuan gizi ibu balita maka berpeluang untuk berperilaku tidak kadarzi sebesar 4,420 kali dibandingkan dengan ibu balita yang memiliki pengetahuan gizi baik. Sedangkan variabel budaya keluarga berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai OR budaya keluarga adalah sebesar 5,024 artinya ibu balita yang menyatakan ada budaya terkait gizi atau makanan dalam keluarga berpeluang untuk berperilaku tidak kadarzi sebesar 5,024 kali dibandingkan dengan ibu balita yang tidak ada budaya keluarga terkait gizi atau makanan dalam keluarga.

145

Variabel peran tokoh masyarakat berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai OR adalah sebesar 5,029 artinya semakin tidak berperan tokoh masyarakat maka berpeluang untuk berperilaku tidak kadarzi sebesar 5,029 kali dibandingkan dengan ibu balita yang tokoh masyarakatnya berperan. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, budaya keluarga, peran tokoh masyarakat merupakan empat variabel yang diduga memiliki hubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan

Karangpanimbal tahun 2010. Berdasarkan nilai OR dari keempat variabel yang diduga berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 dapat diketahui variabel mana yang paling besar berhubungan tehadap perilaku kadarzi. Semakin besar nilai OR maka semakin besar pula pengaruhnya. Berdasarkan tabel 5.28 tersebut terlihat bahwa OR pendapatan keluarga yang paling besar nilainya. Dengan demikian pendapatan keluarga merupakan variabel yang paling berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Dari hasil analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut:

146

Logit perilaku kadarzi= -10,270+(1,950*pendapatan keluarga) + (1,486*pengetahuan gizi)+(1,614*budaya keluarga)+(1,615*peran tokoh masyarakat) Dengan model persamaan tersebut, maka dapat memperkirakan perilaku kadarzi dengan menggunakan variabel pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, budaya keluarga dan peran tokoh masyarakat. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perilaku kadarzi ibu akan berubah menjadi tidak kadarzi sebesar 1,950 kali jika ibu balita memiliki pendapatan keluarga kurang, perilaku kadarzi ibu akan berubah menjadi tidak kadarzi sebesar 1,486 kali jika ibu balita memiliki pengetahuan gizi kurang, dan perilaku kadarzi akan berubah menjadi tidak kadarzi sebesar 1,614 kali jika ibu balita menyatakan ada kepercayaan atau kebiasaan terkait gizi atau makanan dalam keluarga serta perilaku kadarzi akan berubah menjadi tidak kadarzi sebesar 1,615 kali jika ibu balita mengaku bahwa tokoh masyarakatnya tidak berperan dalam menganjurkan perilaku kadarzi. Semakin besar nilai beta (B) maka semakin besar hubungannya dengan perilaku kadarzi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui bahwa koefisien determinan (negelkerke R square) menunjukkan nilai 0,458 artinya bahwa model regresi yang diperoleh dapat menjelaskan 45,8% variasi variabel dependen perilaku kadarzi. Dengan demikian, variabel pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, budaya keluarga dan peran tokoh

147

masyarakat hanya dapat menjelaskan variasi variabel perilaku kadarzi sebesar 45,8%. Sedangkan 54,2% dijelaskan oleh variabel lainnya (hasil terlampir).

148

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian diantaranya data di dalam penelitian ini merupakan data primer yang diambil dengan menggunakan angket yang diisi langsung oleh responden sehingga memungkinkan responden untuk bertanya atau melihat jawaban responden lain tanpa sepengetahuan peneliti. Selain itu, responden mengisi angket sambil mengasuh balita sehingga konsentrasinya terbagi dua dan akhirnya angket diisi seadanya saja dan terburu-terburu. Disamping itu, tidak semua ibu balita bisa menunjukkan Kartu Menuju Sehat (KMS) dengan alasan lupa menaruhnya sehingga tidak bisa dilakukan cross check terutama untuk perilaku menimbang balita secara rutin dan memberi suplemen vitamin A dua kali dalam setahun pada balita sehingga hanya didasarkan pada pengakuan ibu balita. Penilaian keragaman konsumsi makanan dalam penelitian ini menggunakan formulir food frequency sehingga hanya menggambarkan pola konsumsi makan balita secara kualitatif. Disamping itu, ada beberapa ibu balita yang tidak bersedia mengisi formulir food frequency sehingga keragaman konsumsi makan balita didasarkan pengakuan ibu balita terkait frekuensi konsumsi lauk hewani dan buah pada balita. Adapun pengujian garam uji digunakan yodina yang hanya bisa mengukur kandungan yodium dalam garam secara secara kualitatif pada saat dilakukan penelitian saja sehingga tidak bisa dijamin perubahan kandungan yodium

149

pada beberapa waktu ke depan akibat penyimpanan dan pemasakan yang tidak sesuai. Dari segi desain studi penelitian yang digunakan dalam penelitian (crosssectional) memiliki kelemahan yaitu tidak dapat menentukan hubungan sebab akibat antara variabel independen dengan variabel dependennya karena kedua variabel diteliti pada saat bersamaan sehingga tidak bisa diketahui mana yang terjadi lebih dahulu.

6.2 Gambaran Perilaku Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Perilaku kadarzi merupakan bagian dari 13 pesan dasar gizi seimbang sehingga valid dan reliable serta aplikatif untuk meningkatkan konsumsi makanan gizi seimbang di tingkat keluarga sehingga dapat mencegah dan mengatasi masalah gizi kurang dan buruk pada balita (Minarto, 2009). Target yang ingin dicapai oleh Depkes RI dalam program kadarzi ini adalah 80% keluarga di seluruh Indonesia dapat melaksanakan perilaku keluarga sadar gizi (kadarzi) sehingga bisa mencapai status keluarga sadar gizi. Pada penelitian ini, perilaku kadarzi dilihat dari empat indikator perilaku kadarzi yang berlaku bagi keluarga balita yaitu menimbang berat badan secara rutin, memberi makan yang beraneka ragam pada balita, menggunakan garam beryodium untuk memasak dan memberikan suplemen vitamin A pada balita dua kali dalam setahun. Ibu dikatakan berperilaku kadarzi apabila seluruh indikator dilaksanakan

150

dan tidak berperilaku kadarzi apabila salah satu atau lebih dari empat indikator perilaku kadarzi tidak dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ibu balita yang berperilaku kadarzi di Kelurahan Karangpanimbal lebih banyak ibu balita yang tidak berperilaku kadarzi. Berdasarkan proporsi tersebut diketahui ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak bila dibandingkan ibu balita yang tidak berperilaku kadarzi, meskipun perbedaan proporsinya tidak terlalu besar. Bila dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan yaitu 80 %, maka proporsi ibu yang berperilaku kadarzi di Kelurahan Karangpanimbal bisa dikatakan masih rendah karena masih jauh di bawah target tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan proporsi ibu yang berperilaku kadarzi dibandingkan hasil pendataan kadarzi oleh Dinas Kesehatan Kota Banjar di Kelurahan Karangpanimbal pada bulan juli tahun 2009 yang baru mencapai 50,44 %. Berdasarkan empat indikator perilaku kadarzi yang diteliti terlihat bahwa indikator yang paling rendah atau sedikit dilaksankan oleh ibu balita adalah memberi makan balita dengan makanan yang berneka ragam yaitu proporsinya baru mencapai 62,5%. Hasil ini sejalan dengan hasil pendataan kadarzi di Kota Banjar tahun 2009 yang menujukkan masih rendahnya konsumsi makanan yang beragam pada keluarga. Padahal mengkonsumsi makanan yang beragam sangat baik untuk kelangsungan hidup. Hal ini disebabkan karena dengan mengkonsumsi makanan yang beragam akan menjamin keseimbangan zat-zat gizi yang diperlukan tubuh sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja dan terhindar dari kekurangan zat gizi. Tiap makanan dapat saling melengkapi dalam zat gizi yang dikandungnya

151

karena tidak ada satu jenis makanan pun yang lengkap kandungan gizinya (Almatsier, 2004). Akibat tidak mengkonsumsi makanan beraneka ragam makan akan terjadi gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anggota tubuh khususnya pada balita. Oleh karena itu, balita harus diberikan makanan yang beraneka ragam sejak usia dini supaya mencapai keseimbangan zat gizi (Depkes RI, 2000 dalam Sugimah, 2009). Menurut Karta dkk (1992) dalam Marsigit (2004) bahwa pola konsumsi makan yang kurang beragam merupakan penyebab utama masalah gizi di Indonesia. Hasil penelitian Sugimah (2009) menunjukkan ada hubungan antara konsumsi makan beraneka ragam pada balita dengan status gizi balita. Masih rendahnya ibu balita yang memberi makan yang beragam kepada balita mungkin disebabkan karena sebagian besar keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal memiliki pendapatan yang kurang. Pendapatan mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap makanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budiyanto (2002) bahwa tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan keluarga tidak dapat mengkonsumsi makanan yang beranekaragam dalam menu sehari-sehari, sehingga hanya mampu makan dengan makanan yang kurang berkualitas baik jumlah maupun gizinya. masih rendah. Selain itu, pola kebiasaan makan yang selalu mengutamakan beras sedangkan yang lain hanya seadanya membuat konsumsi masyarakat menjadi tidak beragam. Lebih lanjut Khumaedi (1994) menyatakan bahwa keluarga mengkonsumsi makanan hanya untuk pemuasan rasa lapar dan haus tanpa memperhatikan pemenuhan akan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh menyebabkan

152

ketidakragaman makanan yang dikonsumsi oleh keluarga termasuk balita dalam keluarga tersebut. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan beserta petugas kesehatan puskesmas sangat penting untuk meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya makanan beraneka ragam, mengubah persepsi masyarakat terutama ibu balita bahwa makanan bergizi tidak selalu mahal serta memotivasi keluarga untuk memanfaatkan lahan pekarangannya untuk menanam sayuran, buah-buahan, dan ternak agar hasilnya bisa dikonsumsi oleh anggota keluarga dan dapat dijual untuk menambah penghasilan keluarga. Adapun untuk tiga indikator perilaku kadarzi yang lain proporsinya sudah di atas 80%. Dengan demikian, dapat dinterpretasikan bahwa masih rendahnya ibu yang berperilaku kadarzi di Kelurahan Karangpanimbal karena masih banyak ibu yang tidak memberikan balitanya makanan yang beranekaragam atau dengan kata lain indikator perilaku kadazi memberi makan balita beranekaragam kepada balita menjadi indikator penentu ibu balita di Kelurahan Karangpanimbal dikatakan berperilaku kadarzi atau tidak. Berdasarkan penelitian ini juga diketahui bahwa partisipasi ibu balita untuk hadir di posyandu sudah cukup tinggi. Hal tersebut ditandai dengan proporsi ibu yang menimbang balitanya secara rutin dan mendapat kapsul vitamin A di posyandu sudah di atas 80% bahkan sudah hampir mencapai 90%. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan informasi dari kader diketahui bahwa setiap bulan kader dan kader dan ibu RW memberikan undangan beberapa hari sebelum pelaksanaan posyandu kepada ibu balita untuk datang ke posyandu sesuai dengan

153

jadwal yang telah ditetapkan sehingga ibu balita yang tidak datang ke posyandu merasa tidak enak kepada kader dan ibu RW yang mengundang. Selain itu, jumlah ibu balita yang datang ke posyandu di Kelurahan Karangpanimbal meningkat pada bulan Februari dan Agustus yang merupakan bulan diberikan vitamin A pada balita. Hal ini disebabkan karena ibu balita merasa pada dua bulan tersebut ada kegiatan lain di posyandu selain menimbang balita yang rutin setiap bulan sehingga penting untuk datang. Proporsi perilaku kadarzi pada ibu balita dalam penelitian ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil pendataan kadarzi di Kota Banjar tahun 2009 yang menunjukkan proporsi keluarga yang berperilaku kadarzi secara keseluruhan di Kota Banjar yang sudah mencapai 85,1%. Berdasarkan pendataan tersebut indikator perilaku kadarzi yang paling rendah di Kelurahan Karangpanimbal memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu konsumsi makan beranekaragam. Perilaku kadarzi sangat penting dilaksanakan oleh keluarga balita. Berdasarkan hasil penelitian Fajar (2009) diketahui bahwa keluarga dengan ibu balita yang tidak berperilaku kadarzi berpeluang 9,25 kali untuk memiliki balita dengan status gizi kurus dibandingkan dengan ibu balita yang berperilaku sadar gizi. Oleh karena itu, dengan hasil penelitian ini menunjukkan proporsi ibu yang berperilaku kadarzi harus terus ditingkatkan sampai minimal mencapai target 80% sebagai upaya mencegah dan menanggulangi kasus gizi kurang dan buruk khususnya di Kelurahan Karangpaimbal. Oleh karena itu, penulis menyarankan supaya promosi kadarzi lebih

154

ditingkatkan terutama diprioritaskan pada indikator perilaku kadarzi yang paling rendah yatu memberi makan balita yang beraneka ragam.

6.3 Umur Ibu dan Hubungannya dengan Perilaku Sadar Gizi di Kelurahan Karangpanimbal Menurut Kresno (1997) dalam Dharmawati (2010) umur adalah salah satu aspek sosial yang berpengaruh terhadap perilaku. Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor pendidikannya (Sedioetama, 2006). Hasil penelitian menunjukkan ibu balita di Kelurahan Karangpanimbal lebih banyak pada kelompok umur dewasa muda (20-30 tahun). Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui ibu yang melaksanakan perilaku kadarzi lebih banyak pada kelompok umur dewasa muda (20-30 tahun). Berdasarkan hasil uji statistik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Hasil penelitian tidak sesuai dengan pernyataan Sedioetama (2006) dan Hurlock (1999) bahwa semakin bertambah umur seseorang, semakin bertambah pengalaman dan semakin menunjukkan kematangan dalam mental dan perilaku. Hal ini mungkin disebabkan karena meskipun umur lebih muda tetapi pengetahuannya baik maka cenderung pengetahuan dan perilaku gizinya akan baik. Kemungkinan

155

tersebut didukung oleh hasil penelitian yang diketahui sebagian besar ibu balita pada tiga kelompok umur tersebut memiliki pengetahuan gizi baik. Pendapat ini sesuai dengan pernyataa Budiyanto (2002) bahwa meskipun sebagian besar ibu yang masih muda memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang gizi dan pengalaman dalam mengasuh anak, namun kalau sering terpapar dengan informasi gizi maka tidak menutup kemungkinan pengetahuan perilaku gizinya akan baik (Budiyanto, 2002). Berdasarkan informasi dari kader diketahui bahwa sebagian besar ibu balita di Kelurahan Karangpaimbal rutin datang ke posyandu yang ditandai dengan tingginya proporsi ibu yang menimbang balita, sehingga sering terpapar dengan penyuluhanpenyuluhan gizi yang disampaikan oleh kader atau petugas kesehatan di posyandu. Dengan seringnya terpapar oleh informasi tersebut, maka akan menambah pengetahuan gizi sehingga berdampak positif pada perilaku gizi ibu tersebut. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita yang berperilaku kadarzi adalah ibu berada pada ketegori umur dewasa muda (20-30). Hal ini menurut BPS (2006) dimungkinkan karen ibu yang berumur muda mungkin kurang berpengalaman dalam mengasuh dan merawat kesehatan balitanya, sedangkan ibu yang berumur tua mungkin sudah lelah mengurus balitanya sehingga mempengaruhi status gizi anggota keluarga terutama balitanya. Dengan demikian, hasil peneltian ini menunjukkan bahwa jenjang umur ibu tidak menentukan perilaku ibu balita untuk melakukan perilaku kadarzi atau tidak.

6.4 Pendidikan Ibu dan Hubungannya dengn Perilaku Sadar Gizi

156

Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka pengetahuan nutrisi dan praktek nutrisi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu balita di Kelurahan Karangpanimbal memiliki pendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan profil Kelurahan Karangpanimbal yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Karangpanimbal hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Banyaknya ibu yang berpendidikan rendah di Keluarahan Karangpanimbal mungkin disebabkan karena pada masyarakat masih memegang paham bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena pada akhirnya hanya mengurus rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang berpendidikan tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan atara pendidikan ibu dengan perilaku kadarzi. Hal ini mungkin disebabkan pada ibu yang memilki pendidikan tinggi mempunyai pekerjaan di luar rumah sehingga tidak sempat menimbang balitanya di posyandu secara rutin yang merupakan salah satu indikator perilaku kadarzi. Pendapat tersebut diperkuat oleh Marsigit (2004) yang menyatakan tingkat pendidikan memberi peluang kepada ibu rumah tangga untuk mendapatkan pekerjaan sehingga waktunya di dalam rumah akan semakin sedikit dan berdampak nagatif pada pemeliharaan kesehatan anak dan keluarga.

157

Asumsi lain yang bisa dijadikan alasan tidak adanya hubungan antara pendidikan dan perilaku kadarzi adalah pendapat Apriadji (1996) bahwa seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi gizi bukan mustahil pengetahuan dan perilaku tentang gizinya akan lebih baik. Asumsi di atas didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita yang berpendidikan rendah pernah terpapar informasi dan memiliki pengetahuan gizi yang baik.

6.5 Pekerjaan Ibu dan Hubungannya dengan Perilaku Sadar Gizi di Kelurahan Karangpanimbal Salah satu penyebab terjadinya masalah gizi dalam keluarga adalah karena status pekerjaan ibu, karena pekerjaan ibu dalam keluarga yaitu berperan dalam pengaturan makanan yang dikonsumsi untuk keluarganya, sehingga ibu yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan keluarganya sehingga mengakibatkan menurunnya keadaan gizi keluarga sehingga akan berakibat pada keadaan status gizi anak-anaknya (Munadhiroh, 2009). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar ibu balita di Kelurahan Karangpanimbal tidak bekerja atau ibu rumah tangga. Banyaknya ibu yang tidak bekerja di Keluarahan Karangnimbal mungkin disebabkan karena sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan kurang sehingga tidak dapat

158

memasuki lapangan kerja di sektor formal karena tidak memenuhi syarat pendidikan minimum yang ditetapkan oleh berbagai badan usaha sektor formal. Hal ini sesuai dengan Marsigit (2004) bahwa tingkat pendidikan memberikan peluang yang lebih baik bagi ibu rumah tangga untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Hasil penelitian juga diketahui bahwa ibu yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang bekerja. Namun, dari hasil analisis juga diketahui OR (95% CI) < 1, yang berarti ada hubunga sebagai pencegah. Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang berlawanan dengan teori-teori yang dikemukakan dalam penelitian ini yaitu orang yang bekerja justru memiliki peluang lebih besar berperilaku sadar gizi dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Hal ini dimungkinkan karena ibu yang bekerja akan berkontribusi meningkatkan pendapatan keluarga sehingga mempunyai peluang lebih besar untuk menyediakan makanan yang beragam bagi balita dan keluarganya. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Suyatno (1997) bahwa semua ibu atau isteri yang bekerja memberikan sumbangan yang berarti untuk kesejahteraan keluarga dengan tingkat rata-rata kontribusi terhadap pendapatan keluarga sebesar 43,85%. Sedangkan pada ibu yang tidak bekerja cenderung memiliki pendapatan keluarga yang kurang karena pendapatan keluarga hanya hanya mengandalkan dari pendapatan suami saja, terlebih apabila suami memiliki pendapatan yang tidak tetap. Padahal menurut Khomsan (2010) meningkatnya penghasilan rumah tangga yang

159

berasal dari ibu bekerja akan memperbaiki konsumsi makanan seluruh anggota rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu balita yang bekerja memiliki pendapatan yang cukup. Selain itu, pada ibu yang bekerja sebagian besar biasanya berpendidikan tinggi dan berperluang menyerap informasi gizi yang lebih banyak dari media sehingga meskipun sibuk bekerja di luar rumah, tetapi tetap memperhatikan pengasuhan anak dan konsumsi keluarga (Hardinsyah, 2007). Dalam kaitannya dengan pekerjaan ibu tersebut, lebih lanjut Suyanto (1997) menyatakan bahwa peningkatan partisipasi kerja wanita mempunyai efek positif dan negatif. Efek positifnya antara lain makin sedikitnya jumlah anak, meningkatnya kesejahteraan ekonomi, ikut aktif dalam membangun dan mengurangi sifat ketergantungan pada pria. Sedangkan segi negatifnya adalah pengejaran karier wanita dapat mengecilkan arti keberadaan suami, kemungkinan membawa efek negatif pada pembinaan anak, terjadinya pelanggaran pergaulan wanita-pria yang bukan mukrimnya, wanita kerja merupakan saingan kerja bagi pria (Suyanto, 1997).

6.6 Besar Keluarga dan Hubungannya dengan Perilaku Sadar Gizi Besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga dan juga mempengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga (Sukarni, 1994). Keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan anggota keluarga secara proporsional (Suhardjo, 2003).

160

Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar keluarga balita memiliki besar keluarga yang termasuk kategori kecil ( 4 orang). Hal ini mungkin disebabkan sebagian besar ibu balita mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Berdasarkan informasi kader bahwa di masing-masing RW selain ada kader posyandu, ada juga kader pos KB yang memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu balita untuk melakaukan pengendalian kelahiran dengan mengikuti program KB. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara besar keluarga dengan perilaku kadarzi. Hal ini dimungkinkan karena pada keluarga balita yang mempunyai kategori besar banyak yang memiliki pendapatan tinggi sehingga tetap bisa menyediakan makanan yang beragam bagi balita dan keluarganya yang merupakan salah satu indikator perilaku kadarzi. Sedangkan pada keluarga balita yang termasuk kategori kecil (> 4 orang) sebagian besar memiliki pendapatan rendah sehingga tetap tidak bisa menyediakan makanan yang beragam bagi anggota keluarganya. Ketidakbermaknaan hubungan pada penelitian ini juga dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam pengkategorian besar keluarga. Kategori besar keluarga yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada BKKBN yang menyatakan bahwa besar keluarga dikatakan kecil apabila jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan 4 orang dan dikatakan besar apabila > 4 orang. Dari hasil penelitian diketahui pada keluarga balita yang kategorinya besar rata-rata anggota keluarganya berjumlah 5 (lima) orang. Menurut Latif dkk (2000) dalam

Madihah (2002), tingkat konsumsi pangan memburuk pada rumah tangga yang

161

beranggotakan 6 orang atau lebih, sedangkan rumah tangga yang beranggotakan 3-5 orang maka intake rata-rata energi dan protein masih mendekati nilai yang dianjurkan. Bila mengacu pada pendapat Latif tersebut berarti sebagian besar jumlah anggota keluarga dalam penelitian ini, tidak terlalu besar sehingga menurut peneliti bisa diasumsikan dalam hal ini distribusi pangan yang dikonsumsi keluarga di Kelurahan Karangpanimbal tidak terlalu berpengaruh.

6.7 Pendapatan Keluarga dan Hubungannya dengan Perilaku Sadar Gizi Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga balita memiliki pendapatan kurang. Hal ini disebabkan karena keluarga hanya mengandalkan pada pendapatan suami/bapak saja. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan diketahui bahwa sebagian besar bapak dari keluarga balita bekerja sebagai buruh sehingga memiliki penghasilan yang tidak tetap. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu balita yang berperilaku kadarzi memiliki pendapatan keluarga yang termasuk cukup. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan perilaku kadarzi. Hasil ini sesuai dengan Hukum

Perisse yang menyatakan jika terjadi peningkatan pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka yang berpendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan sumber karbohidrat yang dibeli akan menurun

162

diganti dengan makanan sumber hewani dan produk sayuran (Soekirman, 2000). Lebih lanjut Farida (2004) menyatakan pengaruh pendapatan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi adalah sama jelasnya bahwa penghasilan meningkatkan daya beli. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan pola konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbasar peluang peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehingga akan menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang (Yuliana, 2004). Selanjutnya menurut Soehardjo (2003) jika tingkat pendapatan keluarga naik, jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik juga. Berdasarkan hasil uji multivariat pada penelitian ini diketahui bahwa pendapatan keluarga berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita setelah dikontrol pengetahuan gizi, budaya keluarga dan peran tokoh masyarakat. Pendapatan keluarga menempati urutan pertama atau faktor paling dominan diantara pengetahuan gizi, budaya keluarga dan peran tokoh masyarakat sebagai faktor yang berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita karena OR pendapatan keluarga memiliki nilai yang paling tinggi. Semakin besar nilai OR maka semakin besar hubungan faktor tersebut dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Dengan demikian, peneliti mengasumsikan jika ibu balita memiliki pendapatan keluarga tinggi maka akan meningkatkan perilaku kadarzi meskipun ibu balita tersebut

163

pengetahuan gizinya rendah, ada budaya keluarga terkait gizi dalam keluarganya, tidak pernah dianjurkan oleh tokoh masyarakat untuk berperilaku kadarzi Pendapatan keluarga menjadi faktor dominan yang berhubungan perilaku kadarzi pada keluarga balita karena pendapatan keluarga sangat berhubungan dengan masih rendahnya indikator perilaku kadarzi yaitu memberi makan yang beranekaragam pada balita sebagai indikator keragaman konsumsi keluarga. Dengan kata lain bahwa masih rendahnya ibu balita yang berperilaku kadarzi teruatama disebabkan karena sebagian besar pendapatan keluarga balita masih tergolong kurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soekirman (2000) bahwa pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Lebih lanjut Suhardjo (2003) menyatakan bukti menunjukkan bahwa kebiasaan makan cenderung berubah bersama naiknya pendapatan, maka masa pertumbuhan pendapatan merupakan saat yang baik untuk mempromosikan diversifikasi pangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas, kurang mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan. Dengan kata lain rendahnya pendapatan keluarga merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli makanan dalam jumlah yang diperlukan tubuh. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan pada keluarga (Apriadji, 1996). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyarankan kepada Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah Kota Banjar, supaya memberikan motivasi

164

kepada ibu-ibu balita yang sebagian besar tidak bekerja berupa pemberian keterampilan dalam kegiatan PKK dan pinjaman modal usaha untuk mengelola industri rumah tangga sehingga bisa membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Dengan pendapatan keluarga yang meningkat, diharapkan ibu-ibu rumah tangga bisa menyediakan makanan yang beragam bagi balita dan keluarganya setiap hari.

6.8 Pengetahuan Gizi dan Hubungannya dengan Perilaku Sadar Gizi Secara umum di negara berkembang ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk konsumsi keluarganya sehingga pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarganya (Hardinsyah, 2007). Berdasarkan penelitian diketahui bahwa sebagian besar ibu balita memiliki pengetahuan gizi yang baik. Sebagian besar ibu balita yang berperilaku kadarzi memiliki pengetahuan gizi yang baik. Berdasarkan informasi dari kader diketahui bahwa banyaknya ibu balita yang memiliki pengetahuan gizi baik disebabkan karena sebagian besar ibu balita rajin mengikuti penyuluhan baik yang rutin dilaksanakan setiap bulan di posyandu ataupun penyuluhan dalam kegiatan RW siaga. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Hasil ini sejalan dengan Khomsan (2000) yang menyatakan bahwa faktor yang tidak kalah penting penyebab timbulnya masalah gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat khususnya pada ibu yang sebagian besar pengasuh anak. Kurangnya pengetahuan tentang gizi

165

atau kemampuan untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting gangguan gizi (Suhardjo, 2003). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2005). Perbaikan gizi pada anak balita tergantung pada pola pengasuhan ibunya yaitu pada pemilihan pangan oleh ibunya sehingga dengan pengetahuan gizi, seorang ibu akan mampu memilih bahan makanan yang murah tetapi bergizi tinggi karena tidak semua harga bahan makanan yang mahal memiliki kandungan gizi tinggi. Disamping itu, pengetahuan gizi akan memberikan sumbangan pengertian tentang apa yang kita makan, mengapa kita makan, dan bagaimana hubungan makanan dengan kesehatan (Munadhiroh, 2009). Berdasarkan hasil uji multivariat dalam penelitian ini, diperoleh bahwa pengetahuan gizi berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita setelah dikontrol pendapatan keluarga, budaya keluarga dan peran tokoh masyarakat OR paling rendah. Dengan demikian pengetahuan gizi merupakan variabel yang paling rendah pengaruhnya bila dibandingkan dengan pendapatan keluarga, budaya keluarga, dan peran tokoh masyarakat. Hasil penelitian uji multivariat ini memperkuat hubungan antara pengetahuan gizi dengan perilaku kadarzi. Hasil ini sejalan dengan Suhardjo (2003) yang menyatakan pengetahuan gizi memegang peranan sangat penting dalam

166

menggunakan makanan yang baik sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang cukup. Tingkat pengetahuan gizi ibu sebagai pengelola rumah tangga berpengaruh pada jenis bahan makanan yang dikonsumsi rumah tangga sehari-hari. Lebih lanjut Priany (2002), bahwa pengetahuan ibu adalah pintu gerbang dalam penyiapan makan keluarga. Kebiasaan makan yang baik serta pemilihan makanan yang baik untuk keluarga sangat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi yang dimiliki oleh seorang ibu rumah tangga. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan promosi kadarzi yang lebih ditingkatkan lagi untuk menambah pengetahuan gizi ibu balita baik melalui kegiatan penyuluhan di posyandu, majlis taklim, PKK ataupun media komunikasi lain seperti radio suara husada milik Dinas Kesehatan supaya bisa menarik perhatian ibu balita terutama ditekankan bahwa pentingnya mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam ragam setiap hari dan makanaan yang bergizi tidak selalu bahkan bisa diperoleh dari pemanfaatan lahan pekarangan untuk menanam sayuran, buah dan ternak. Selain itu, diharapkan kepada ibu balita bisa memiliki kesadaran akan penting informasi tentang gizi sehingga bisa mengikuti kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan baik di posyandu maupun tempat lain.

6.9 Sikap dan Hubungannya dengan Perilaku Sadar Gizi Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap dapat diramalkan perbuatannya. Sikap ibu tentang kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi di tingkat keluarga. Sikap tentang kesehatan adalah

167

pendapat atau penilaian seseorang terhadapap hal-hal yang berkaitan dengan gizi sebagai upaya untuk memelihara kesehatannya (Sedioetama, 2006). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu sudah memiliki sikap yang positif terhadap perilaku kadarzi. Banyaknya ibu balita yang bersikap positi terhadap kadarzi mungkin disebakan karena sebagian besar ibu memiliki pengetahuan gizi yang baik. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2005) yang menyatakan bahwa komponen pengetahuan merupakan salah satu faktor yang menentukan sikap. Hasil uji statistik menunjukkan tidak hubungan yang bermakna antara sikap ibu dengan perilaku kadarzi. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar ibu yang memiliki sikap positif memiliki pendapatan yang rendah sehingga meskipun memiliki sikap positif tetapi tidak memiliki dana yang cukup untuk menyediakan makanan yang beragam. Berdasarkan hasil penelitian diketahui 57,1 % ibu yang memiliki sikap positif pendapatannya rendah. Menurut Notoatmodjo (2005) sikap belum tentu terwujud dalam bentuk perilaku, sebab untuk terwujudnya perilaku perlu faktor lain yaitu antara lain fasilitas atau sarana dan prasarana. Bila pendapat tersebut dikaitkan dengan perilaku kadarzi maka pendapatan yang cukup merupakan fasilitas atau sarana penting untuk untuk membeli makanan bergizi sebagai salah satu indikator perilaku kadarzi terutama karena masih rendahnya ibu balita yang memberi makan yang beragama kepada balitanya. Lebih lanjut menurut WHO dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan sikap belum tentu terwujud dalam perilaku apabila tidak didukung dengan sumber daya meliputi fasilitas, dana, waktu dan tenaga yang memadai.

168

Menurut Notoatmodjo (2005) sikap mempunyai tingkatan berdasarkan berdasarkan intensitasnya. Bila dikaitkan dengan pendapat Notoatmodjo tersebut, sikap ibu di Kelurahan Karangpanimbal baru mencapai tingkatan menghargai (valuing) yaitu memberikan nilai yang positif terhadap perilaku kadarzi, tetapi belum sampai pada tingkatan sikap tertinggi. Tingkatan sikap tertinggi yaitu

bertanggungjawab terhadap apa yang telah diyakininya dan berani mengambil resiko apapun dari sikap yang diyakinya tersebut.

6.10 Budaya Keluarga dan Hubungannya dengan Perilaku Sadar Gizi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian kecil ibu balita yang mengaku ada kepercayaan atau kebiasaan (budaya) yang berhubungan dengan masalah gizi ataua makanan. Namun, sebagian besar ibu balita yang tidak berperilaku kadarzi mengaku ada kepercayaan atau kebiasaan yang berhubungan dengan gizi atau makanan dalam keluarganya. Hasil uji statistik diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara budaya keluarga terkait gizi atau makanan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Hasil penelitian sejalan dengan Sedioetama (2006) yang menyatakan adanya pandangan salah terhadap makanan dapat menimbulkan dapat menimbulkan gangguan gizi yang serius di tingkat keluarga. Salah satu pengaruh yang sangat dominan terhadap pola konsumsi adalah pantangan atau tabu. Kepercayaan masyarakat tentang konsepsi kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan. Semakin banyak pantangan dalam makanan maka semakin kecil peluang keluarga untuk mengkonsumsi makan yang

169

beragam. (Suhardjo, 2003). Dalam hal kepercayaan dan pantangan yang berhubungan dengan makanan menunjukkan bahwa responden yakin sekali pada kepercayaan dan pantangan yang berlaku bagi bayi, anak-anak, wanita hamil, dan ibu-ibu menyusui (Suhardjo, 2003). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui kepercayaan terkait gizi atau makanan pada keluarga balita berdasarkan penelitian ini yang paling banyak adalah ayah atau anggota keluarga lain yang lain harus lebih didahulukan atau diperhatikan dalam pembagian makanan keluarga. Selain itu, pantangan makan makanan tertentu seperti ikan karen bisa cacingan dan telur karena bisa bisulan juga masih banyak ditemukan pada ibu balita dalam penelitian ini. Hasil ini sejalan dengan temuan Suhardjo (2003) yang menyatakan pantangan makan ikan dan telur merupakan pantangan yang tumbuh di beberapa daerah di Jawa Barat. Masih banyaknya kepercayaan atau tradisi di atas dimungkinkan karena sebagian besar pendidikan penduduk di Kelurahan

Karangpanimbal masih rendah sehingga masih mempercayai dan mengikuti tradisi leluhur meskipun tidak jelas alasannya. Selain itu, meskipun sudah termasuk kelurahan dan dekat dengan pusat kota, tetapi penduduknya masih kuat kultur pedesaannya. Adanya anggapan orang tua bahwa anak-anak dilarang makan ikan atau kelapa karena nanti bisa cacingan dapat menyebabkan anak-anak kurang gizinya. Selain itu, pandangan bahwa ayah mendapat perhatian utama dalam hal makanan misalnya kalau di meja makan ada telur itu untuk ayah dan bagian tubuh ayam yang lebih berdaging untuk ayah sedangkan anak sisanya merupakan pandangan yang bisa

170

mempengaruhi konsumsi makanan keluarga yang akan berakibat tidak tercukukupinya kebutuhan gizi keluarga secara merata (Apriadji, 1996). Berdasarkan hasil uji multivariat dalam penelitian ini, diperoleh bahwa budaya keluarga terkait gizi berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita setelah dikontrol pendapatan keluarga, pengetahuan gizi dan peran tokoh masyarakat denga OR pada posisi ketiga terbesar setelah pendapatan dan peran tokoh masyarakat. Dengan demikian budaya keluarga merupakan variabel yang ketiga terbesar pengaruhnya terahadap perilaku kadarzi bila dibandingkan dengan pendapatan keluarga, dan peran tokoh masyarakat serta pengetahuan gizi. Hasil ini sejalan dengan Depkes (2007) masalah lain yang menghambat penerapan perilaku kadarzi adalah adanya kepercayaan, adat/kebiasaan dan mitos negatif pada keluarga. Sebagai contoh masih banyak keluarga yang mempunyai anggapan negatif dan pantangan terhadap beberapa jenis makanan yang justru sangat bermanfaat bagi asupan gizi. Hasil ini juga sesuai dengan teori WHO dalam Notoatmodjo (2005) yang menyatkan bahwa budaya setempat sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Lebih lanjut Foster (1973) dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan beberapa aspek budaya yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang adalah tradisi, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkann uraian di atas, diperlukan metode promosi kadarzi yang tepat agar kepercayaan, tradisi atau mitos nengatif yang ada bisa sedikit demi sedikit berkurang misalnya dengan mengajak tokoh masyarakat yang disegani atau menjadi

171

panutan di Kelurahan Karangpanimbal untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tidak adanya pantangan atau mitos-mitos negatif tersebut dan dampaknya jika tetap mempertahankan kepercayaan atau tradisi tersebut. Selain itu, kader juga harus tidak secara konsisten memberikan informasi kepada ibu balita tentang pentingnya perilaku kadarzi misalnya dalam kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB) dan posyandu yang biasa dilaksanakan di Kelurahan Karangpanimbal sehingga bisa meluruskan tradisi-tradisi, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan sebagainya yang tidak kondusif bagi perilaku kadarzi tersebut.

6.11 Keterpaparan Informasi dan Hubungannya dengan Perilaku Sadar Gizi Informasi tentang gizi terutama di Indonesia juga diajarkan sebagai bagian dari pendidikan nonformal, terutama yang melibatkan wanita dalam organisasi atau kelom- pok sosial seperti dalam PKK, Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU) dan organisasi Dharma Wanita. Jadi, partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan sosial (PKK, POSYANDU, Dharma Wanita) akan dapat mempengaruhi pengeta- huan gizi mereka (jadi lebih baik) karena mereka mendapat informasi tentang gizi sebagai bagian dari pendidikan nonformal (Hardinsyah 2007). .Hasil penelitian menunjukkan ibu balita yang terpapar informasi kadarzi minimal tiga kali dalam satu tahun terakhir lebih banyak dari yang tidak terpapar. Berdasarkan penelitian diketahui ada kecenderungan ibu balita yang terpapar informasi kadarzi untuk berperilaku yang ditunjukkan dengan hasil penelitian ini yaitu

172

sebagian besar ibu balita yang berperilaku kadarzi adalah ibu balita yang terpapar informasi kadarzi. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara keterpaparn informasi kadarzi dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Hal ini mungkin disebabkan karena informasi kadarzi yang diperoleh ibu tersebut belum berhasil meyakinkan semua ibu untuk berperilaku kadarzi. Menurut Notoatmodjo (2005) paparan informasi bisa menimbulkan kesadaran seseorang untuk berperilaku sehat akan memelukan waktu yang lama, namun perilaku tersebut akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap (langgeng) karena didasari oleh kesadaran. Dengan demikian, tidak serta merta setelah diberikan informasi, orang tersebut akan langsung berubah perilakunya. Disamping itu, sebagian besar paparan informasi kepada ibu balita kemungkinan hanya berpengaruh pada tingkat pengetahuan yang paling rendah yaitu tahu (know). Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan seseorang memiliki lima tingkatan dan tingkatan terendah adalah tahu (know) yang diartikan sekedar dapat menyebutkan, tetapi belum sampai pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu memahami dan mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut. Bila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, maka sebagian besar paparan informasi kadarzi mungkin hanya membuat ibu balita tahu dalam arti hanya bisa menyebutkan indikator perilaku kadarzi tetapi belum memahami secara mendalam mengapa masing-masing indikator perilaku kadarzi itu dilaksanakan sehingga banyak yang ibu balita terpapar informasi kadarzi tetapi belum mau melaksanakannya.

173

Menurut Depkes (2007) paparan informasi kadarzi akan berdampak pada perubahan perilaku kadarzi apabila proses pemberian informasi kadarzi tersebut dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga semakin sering terpapar informasi melalui berbagai media maka peluang keluarga untuk berperilaku kadarzi akan semakin besar.

6.12 Peran Tokoh Masyarakat dan Hubungannya dengan Perilau Sadar Gizi Seseorang akan terdorong untuk melakukan perilaku sadar gizi apabila lingkungan sosial dimana dia berada orangorang menjadi panutan, idolanya, atau yang disegani memiliki opini yang positif terhadap perilaku sadar gizi. Penanggulangan masalah kesehatan dan gizi di tingkat keluarga perlu keterlibatan masyarakat. Tokoh masyarakat mempunyai peranan yang kuat dalam mewujudkan perilaku sadar gizi di masyarakat karena nasehat atau anjuran dari mereka cenderung lebih didengar oleh masyarakat (Depkes RI, 2007). Hasil penelitian menunjukkann sebagian besar ibu balita mengaku pernah dianjurkan oleh tokoh masyarakatnya (RT dan RW) untuk berperilaku kadarzi terutama menganjurkan untuk mengikuti kegiatan posyandu dan penyuluhan kadarzi yang dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan RW siaga. Hasil uji statistik

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara peran tokoh masyarakat dan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Hasil ini sejalan dengan Tricia (2008) bahwa keterlibatan pemimpin formal dan informal masyarakat akan berpengaruh terhadap keberhasilan program kesehatan.

174

Oleh karena itu, jika tokoh masyarakat setempat tidak berpartisipasi dalam kegiatan posyandu, ada kemungkinan bahwa masyarakat setempat tidak akan menggunakan posyandu. Berdasarkan hasil uji multivariat pada penelitian ini, peran tokoh masyarakat merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita setelah dikontrol pendapatan keluarga, budaya keluarga, dan pengetahuan gizi dengan nilai OR kedua tertinggi. Peran tokoh masyarakat menempati urutan kedua setelah pendapatan keluarga sebagai faktor yang berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita karena nilai OR peran tokoh masyarakat berada dibawah pendapatan keluarga. Semakin besar nilai OR maka semakin besar hubungan faktor tersebut dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Peran tokoh masyarkat terutama berhubungan dalam menganjurkan ibu balita datang ke posyandu. Posyandu sangat erat kaitannya dengan perilku kadarzi karena dua indikator perilaku kadarzi seperti menimbang balita, dan memberikan balita suplemen vitamin dilaksanakan di posyandu. Berperannya tokoh masyarkat di Kelurahan Karangpanimbal terlihat dari banyaknya jumlah ibu balita yang melaksanakan dua indikator perilaku kadarzi tersebut. Menrut Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlua pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan perlu perilaku contoh para tokoh masyarakat, tokoh adat dan petugas kesehatan. Selain itu Isfan (2006) dalam Widiyanti (2008) menyatakan anjuran dari RW dan Lurah berpengaruh terhadap pemanfaatan posyandu

175

oleh ibu balita. Hasil ini juga sesuai dengan teori WHO dalam Notoatmodjo (2005) bahwa di dalam masyarakat termasuk di Indonesia, dimana sikap paternalistik masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat tergantung dari perilaku acuan (referensi) yang pada umumnya adalah tokoh masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyarankan supaya promosi kadarzi diarahkan kepada pemberian pelatihan kepada tokoh masyarakat baik formal maupun informal agar tokoh masyarakat tersebut mampu menjadi model perilaku kadarzi bagi masyarakat sekitarnya dan para tokoh masyarakat tersebut dapat mentransformasikan pengetahuan-pengetahuan gizi terkait perilaku kadarzi kepada orang lain atau masyarakat sesuai dengan ketokohan mereka.

176

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada BAB sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak dibandingkan dengan ibu balita yang tidak berperilaku kadarzi. Indikator perilaku kadarzi yang banyak tidak dilaksanakan oleh ibu balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 adalah memberi makan yang beragam kepada balita, sedangkan indikator perilaku kadarzi yang paling banyak dilaksanakan oleh ibu balita adalah memberi suplemen vitamin A pada balita dua kali setahun pada bulan februari dan agustus. 2. Gambaran karakteristik ibu balita antara lain sebagai berikut: a. Ibu balita yang berumur 20-30 (dewasa muda) tahun lebih banyak dibandingkan ibu balita yang berumur 13-19 (remaja) dan ibu balita yang berumur 31-50 tahu (dewasa madya). b. Ibu balita yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga lebih banyak dibandingkan ibu yang bekerja. c. Ibu balita yang memiliki pendidikan rendah lebih banyak dibandingkan ibu balita yang memiliki pendidikan tinggi. 3. Gambaran karakteristik keluarga balita antara lain sebagai berikut:

177

a. Ibu balita yang memiliki pendapatan keluarga rendah lebih banyak dibandingkan ibu balita yang memiliki pendapatan keluarga rendah. b. Ibu balita yang memiliki besar keluarga termasuk kategori besar ( 4 orang) dibandingkan ibu balita yang memiliki besar keluarga yang memiliki besar keluarga termasuk kategori kecil (>4 orang). 4. Ibu yang meiliki pengetahuan gizi baik lebih banyak dibandingkan ibu yang memiliki pengetahuan gizi kurang. 5. Ibu yang memiliki sikap positif tentang kadarzi lebih banyak dibandingkan ibu yang memiliki sikap negatif tentang kadarzi. 6. Ibu yang balita yang mengaku tidak ada budaya keluarga terkait gizi atau makanan dala keluarga lebih banyak dibandingkan ibu yang mengaku ada budaya keluarga terkait gizi atau makanan dalam keluarga. 7. Ibu balita yang terpapar informasi kadarzi lebih banyak dibandingkan ibu balita yang tidak terpapar informasi kadarzi 8. Ibu balita yang tokoh masyarakatnya berperan lebih banyak dibandingkan ibu balita yang tokohnya tidak berperan. 9. Hubungan karakteristik ibu balita dengan perilaku kadarzi antara lain sebagai berikut a. Tidak ada hubungan antara umur ibu dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada kelompok umur dewasa muda (2030 tahun).

178

b. Tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang bekerja. c. Tidak ada hubungan antar pendidikan ibu dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang berpendidikan tinggi. 10. Hubungan karakteristik keluarga dengan perilaku kadarzi antara lain sebagai berikut: a. Ada hubungan antar pendapatan keluarga dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang memilki pendapatan keluarga cukup. b. Tidak ada hubungan antara besar keluarga dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang memiliki besar keluarga termasuk kecil ( 4 orang). 11. Ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik. 12. Tidak ada hubungan antara sikap ibu tentang kadarzi dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita

179

yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang memiliki sikap negatif tentang kadarzi. 13. Ada hubungan antara budaya keluarga terkait gizi dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang mengaku tidak ada kepercayaan, tradisi terkait gizi dan makanan dalam keluarga. 14. Tidak ada hubungan antara keterpaparan informasi kadarzi dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balita yang berperilaku kadarzi lebih banyak pada ibu yang terpapar informasi kadarzi. 15. Ada hubungan antara peran tokoh masyarakat dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010. Ibu balia yang berperilaku kadarzi lebiha banyak pada ibu yang mengaku pernah dianjurkan oleh tokoh masyarakat untuk berperilaku kadarzi. 16. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita di Kelurahan Karangpanimbal tahun 2010 adalah pendapatan keluarga.

6.2 Saran 1. Bagi Dinas Kesehatan dan Pemda Kota Banjar a. Hasil penelitian menunjukkan ibu balita yang berperilaku kadarzi baru mencapai 59,2 % masih jauh dari target 80%. Oleh karena itu perlu

180

meningkatkan pembinaan atau pelatihan untuk petugas Puskesmas terutama bidan kelurahan dan petugas gizi, agar semakin terampil dan konsisten dalam mengkampanyekan perilaku kadarzi kepada masyarakat sehingga target program kadarzi bisa tercapai sehingga menanggulangi kasus gizi kurang. b.Kurang beragamnya media informasi kadarzi di Kelurahan Karangpanimbal sehingga perlu memaksimalkan fungsi radio suara husada milik dinas kesehatan untuk mengkampanyekan perilaku kadarzi dengan meningkatkan frekuensi acara yang mendukung perilaku kadarzi seperti talkshow oleh petugas gizi dan iklan-iklan yang mendukung kadarzi terutama

diprioritaskan pada indikator perilaku kadarzi yang paling rendah yaitu memberi balita makanan yang beraneka ragam. c. Hasil penelitian menunjukkan pendapatan keluarga merupakan faktor yang paling dominan berhungan dengan kadarzi. Dengan demikian, dinas kesehatan harus melakukan kerja sama lintas sektoral dengan dinas lain di lingkungan Pemda Kota Banjar ataupun swasta untuk memberikan keterampilan dan modal pinjaman untuk memberdayakan ibu-ibu yang sebagian besar tidak bekerja untuk mengelola industri rumah tangga sehingga bisa menambah pendapatan keluarga dan daya beli keluarga bisa meningkat.

181

2. Bagi Puskesmas a. Meningkatkanh promosi kadarzi dalam upaya untuk menambah pengetahuan gizi ibu balita baik melalui kegiatan penyuluhan di posyandu, majlis taklim, PKK ataupun media komunikasi lain supaya bisa menarik perhatian ibu balita terutama ditekankan bahwa pentingnya mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam ragam setiap hari dan makanaan yang bergizi tidak selalu bahkan bisa diperoleh dari pemanfaatan lahan pekarangan untuk menanam sayuran, buah dan ternak. b. Mengajak tokoh masyarakat yang disegani atau menjadi panutan di Kelurahan Karangpanimbal untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tidak adanya pantangan atau mitos-mitos negatif tersebut dan dampaknya jika tetap mempertahankan kepercayaan atau tradisi tersebut. Selain itu, memberikan pelatihan kepada tokoh masyarakat baik formal maupun informal agar tokoh masyarakat tersebut mampu menjadi model perilaku kadarzi bagi masyarakat sekitarnya dan para tokoh masyarakat tersebut dapat mentransformasikan pengetahuan-pengetahuan gizi terkait perilaku kadarzi kepada orang lain atau masyarakat sesuai dengan ketokohan mereka. c. Memberikan pelatihan atau membekali kader tentang teknik promosi kesehatan yang efektif sesuai dengan sasaran yang dihadapi seta memfasilitasi dengan alat bantu promosi kesehatan yang memadai terutama meningkatkan kesadaran masyarakat terutama ibu balita untuk memberi

182

makan beraneka ragam untuk keluarga dengan menggerakkan masyarakat untuk memanfaatkan lahan pekarangan untuk untuk menanam sayur, buah dan ternak..

3. Bagi Masyarakat dan Kelurahan Karangpaimbal a. Bagi masyarakat di Kelurahan Karangpanimbal khususnya ibu balita hendaknya meningkatkan pengetahuan tentang gizi seperti datang ke Posyandu maupun kegiatan penyuluhan lainnya. b. Bagi masyarakat yang mempunyai pekarangan yang cukup diharapkan hendaknya memanfaatkan pekarangan disekitar rumah dengan menanam
tanaman, beternak ayam, bebek, ikan dan lain-lain agar dimakan oleh anggota keluarga dan hasil pekarangan juga dapat dijual untuk menambah penghasilan keluarga. c. Petugas kelurahan bekerjasama deng pihak-pihak terkait mengusahakan

penggunaan lahan pertanian secara gotong royong bagi keluarga yang tidak mempunyai pekarangan sehingga masyarakat bisa mengkonsumsi makana yang beraneka ragam tanpa mengeluarkan biaya yang tinggi.

4. Bagi Peneliti lain a. Peneliti selanjutnya diharapkan mengikutsertakan variabel-variabel lain yang diduga berhubungan dengan perilaku kadarzi pada keluarga balita, yang tidak dapat diteliti pada penelitian ini.

183

b. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian tidak hanya pada keluarga balita tetapi kepada seluruh keluarga sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran perilaku kadarzi pada berbagai karakteristik keluarga. c. Peneliti selanjutnya diharapkan melaksanakan penelitian dengan populasi dan wilayah yang lebih besar misalnya satu kecamatan atau kabupaten sehingga bisa memberikan gambaran perilaku kadarzi pada wilayah yang lebih luas dengan sampel yang lebih besar.

184

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, Wiku. 2007. Sistem Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Alibbirwin. 2001. Karakteristik Keluarga yang Berhubungan dengan Status Gizi Kurang pada Balita yang Berkunjung ke Posyandu di Desa Bojong Gede Kabupaten Bogor Jawa Barat Tahun 2001. Tesis. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Apriadji, W. H. 1996. Gizi Keluarga. Jakarta: Penebar Swadana. Ariawan, Iwan. 1996. Besar Sampel dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Bahria. 2009. Hubungan Pengetahuan Gizi, Kesukaan dan Faktor Lain dengan Konsumsi Buah dan Sayur pada Remaja di 4 SMA di Jakarta Barat Tahun 2009. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Bappenas. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta: Bappenas Berg, Alan. 1986. Peran Gizi dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Rajawali. BKKBN. 1992. Informasi Dasar Gerakan KB Nasional. Jakarta: BKKBN. BPS. 2006. Integrasi Indikator Gizi dalam Susesnas Tahun 2005. Jakarta: BPS. Budiyanto, M. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: Universitas Muhammadiyah Departemen Kesehatan RI.1998. Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi). Jakarta Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI . 2000 Buku Panduan Pengelolaan Program Perbaikan Gizi Kabupaten/Kota. Jakarta: Depkes RI. . 2000. Pedoman Kampanye Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi). Jakrta: Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI.

185

. 2002. Panduan Umum Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi). Jakarta Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI . 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang (Panduan untuk Petugas). Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. . 2004. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Depkes RI. . 2005. Gizi Dalam Angka Sampai Dengan Tahun 2005. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. . 2005. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. . 2006. Buku Kader Posyandu dalam Usaha Perbaikan Gizi.Jakarta: Depkes RI. . 2007. Pedoman Operasional Keluarga Sadar Gizi di Desa Siaga. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. . 2007. Pedoman Strategi KIE Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. . 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. . 2008. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007. Jakarta: Badan Litbangkes Depkes RI. Depdikbud. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka Depdiknas. 2004. Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004. Diakses dari www.depdiknas.go.id pada tanggal 3 juli 2010. Dhamayani, Susanti. 2005. Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga dan Pengetahuan Gizi Ibu Dengan Status Keluarga Sadar Gizi (Studi Pada Keluarga Balita di Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman Tahun 2005). Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Dharmawati. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Sadar Gizi Balita di Kelurahan Pondok Cina Kota Depok Tahun 2010. Skripsi. Depok: FKM UI Dinkes Kota Banjar. Laporan Program Gizi Tahun 2009. Banjar: Dinas Kesehatan.

186

Emilia, E. 1998. Cara Penilaian Penerapan Pesan-Pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB. Fajar, Muhammad. 2009. Hubungan Perilaku Kadarzi dengan Status Gizi Batita (12-35 bulan) di Kelurahan Sawangan Baru Kecamatan Sawangan Depok Tahun 2009. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Farida, Yayu Baliwati, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Gabriel, Angelica. 2008. Perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Serta Hidup Bersih dan Sehat Ibu Kaitannya dengan Status Gizi dan Kesehatan Balita di Desa Cikarawang Bogor. Skripsi. Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB. Gunarsa, S. 1991. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Agung Mulia. Hardinsyah. 2007. Review Determinan Keragaman Konsumsi Pangan. Jurnal Gizi dan Pangan, vol 2 Juli 2007. Himawan, Arif Wahyu. 2006. Hubungan Antara Karakteristik Ibu dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Semarang. Skripsi. Semarang: UNES Hurlock, Elizabeth B. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Jahari, Abas Basuni. 2004. Family Nutrition Awarness To Achieve Better Nutritional Status For All. Disajikan dalam Simposium Nasional I Litbang Kesehatan Jakarta: PGM Depkes RI Joyomartono, Mulyono. 2004. Pengantar Antropologi Kesehatan. Semarang: UNNES Press Kartono, D dan Soekatri. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Yodium, Seng, Mangan, Selenium. Jakarta: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Khomsan, Ali. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Diktat Jurusan GMSK Fakultas Pertanian IPB. . 2010. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

187

Khumaidi.1994. Gizi Masyarakat. Jakarta:BPK Gunung Mulia. Lahlan, Milla. 2006. Tackling The Child Malnutrition Problem From What and Why to How Much and How. Journal of Pediatric Gastroenteroloy and Nutrition Vol 43. Marsigit, Wuri. 2004. Inventerisasi Jenis Taaman Sumber Zat Gizi yang Dibudidayakan Petani dan Kontribusinya terhada Konsumsi Gizi Keluarga. Jurnal Akta Agrosia Vol 7 No. 1, 23 Jan-Juni 2004 Madanijah. 2003. Model Penelitian 6-PSI-Sehat bagi Ibu serta Dampaknya Terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB. Madihah. 2002. Faktor-Faktor Predisposisi yang Berhubungan dengan Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi) di Kecamatan Banua Lawas Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan Tahun 2002. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Minarto. 2009. Keluarga Sadar Gizi Solusi Atasi Masalah Gizi. Diakses pada hari Senin, 07 Juni 2010 dari http://kosmo.vivanews.com/news/read/56303keluaga_sadar_gizi__solusi_atasi_masalah_gizi. Misbakhudin. 2007. Hubungan Pengetahun dan Sikap Suami dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi di Kota Bandung. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Pasca Sarjana UGM. Munadhiroh, Lina. 2009. Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Gizi Dengan Status Kadarzi di Desa Subah Kecamatan Subah Kabupaten Batang. Skripsi. Semarang: Jurusan Kesehatan Masyarakat UNES Semarang. Ningsih, Rena. 2008. Analisis Perilaku Sadar Gizi Ibu serta Hubungannya Dengan Konsumsi Pangan dan Status Gizi Balita di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Skripsi. Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan (Teori dan Aplikasi). Jakarta: Rineka Cipta. . 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. . 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta

188

Nurhayati. 2002. Hubungan Keterpaparan Media Massa, Orang Tua, dan Teman Sebaya dengan Perilaku Seksual Remaja Siswa Kelas 3 di SLTP X Depok Tahun 2002. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Nurhayati, Ida, dkk. 2004. Hubungan Kesadaran Gizi Keluarga dengan Status Gizi Anak Bawah Dua Tahun (Baduta) di Kabupaten Purwerejo. Penelitian Makanan dan Gizi, vol. 27, no 2. Parsiki, M. 2002. Hubungan Pola Asuh Anak dan Faktor Lain Dengan Gizi Anak Batita Keluarga Miskin di Pedesaan dan Perkotaan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2002. Tesis. Depok: Program Studi Pasca Sarjana FKM UI. Sayyid, Abdul Basith Muhammad. 2006. Pola Makan Rasulullah (Makanan Sehat Berkualitas Menurut al-Quran dan as-Sunnah). Jakarta: Al-mahira. Sayogyo. 1995. Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sedioetama, Achmad Djaeni. 2006. Imu Gizi Jilid untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Sedioetama, Achmad Djaeni. 2006. Imu Gizi Jilid untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta: Dian Rakyat. Simanjuntak, Esraida. 2009. Kajian Penerapan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) pada Keluarga Mampu di Kelurahan Mangga dan Tidak Mampu di Kelurahan Simalungkar B Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2009. Skripsi. Medan: FKM USU. Sugimah. 2009. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) di Keluraha Labuhan Deli Medan Marelan. Tesis. Medan: Program Pasaca Sarjana FKM USU. Sutrisno, A. 2001. Hubungan Keluarga Mandiri Sadar Gizi dengan Status Gizi Balita di Kabupaten Bengkulu Utara (Analisis Data Sekunder 2000). Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Depdiknas. Soetjiningsih.2004. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

189

Sugimah. 2009. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) di Kelurahan Labuhan Deli Medan Marelan Tahun 2009. Tesis. Medan: Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Sumatera Utara Suhardjo. 2003.Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Bogor IPB PAU Pangan dan Gizi. . dkk. 2006. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta: UI Press . Sukarni, M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius. Supariasa, I Dewa Nyoman dkk. 2000. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Susanto, Sunaryo. 2001. Tumbuh Kembang Otak dan Peran Zat Gizi. Disampaikan pada Seminar Mencegah Generasi yang Hilang melalui MP-ASI. Banjarmasin. Suyatno. 1997. Partisipasi Kerja Wanita Pada Sektor Pekerjaan Formal, Implikasinya terhadap Ekonomi Keluarga dan Pemberian Susu Ibu Pada Anak-Anak Studi di Kodia Semarang, Jawa Tengah. Makalah disampaikan dalam seminar hasil penelitian BBI UNDIP. Yuliana. 2004. Pengaruh Gizi, Pengasuhan, Lingkungan terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB . Yusra. 1998. Pengetahuan, Sikap dan Praktek Pasangan Usia Subur tentang PesanPesan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB. Zahrani, Yuni. 2009. Hubungan Status Kadarzi dengan Status Gizi Balita 12-59 bulan di provnsi DI Yogyakarta dan NTT (Analisis Data Sekunder Riskesdas Tahun 2007). Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

190

191

192

You might also like