You are on page 1of 2

Rinintha Anggie Mahakarti Fakultas Ilmu Budaya, Sastra Inggris 180410100181 Desa padat penduduk yang terletak di kabupaten

Cianjur menjadi pilihan saya untuk melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM). Desa Bobojong merupakan bagian dari kecamatan Mande, Cianjur, yang memiliki lima buah dusun di dalamnya. Pada minggu pertama kegiatan KKNM di Bobojong, saya beserta teman-teman melakukan pemetaan sekaligus perkenalan dengan warga dan pejabat desa setempat. Kami mengunjungi kantor desa yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah yang kami tempati untuk beramah tamah dan untuk mengetahui perbatasan tiap-tiap dusun. Kepala desa beserta jajarannya menyambut kami dengan sangat baik, bahkan proses pemetaan kami dipermudah dengan pemberian peta perbatasan dusun oleh pihak desa. Di tempat yang sama kami juga mendapatkan informasi tentang kepala dusun dari dusun satu sampai dusun lima. Segera, kami menemui masing-masing kepala dusun untuk mengetahui informasi mengenai dusun yang bersangkutan. Hasil yang kami peroleh dari wawancara dengan kepala dusun adalah mata pencaharian utama para penduduk di tiap-tiap dusun. Jika dirata-ratakan dari seluruh dusun, mayoritas penduduk desa Bobojong bekerja sebagai buruh tani. Namun di dusun-dusun tertentu, dusun lima misalnya, banyak penduduk desa yang bekerja sebagai penyewa kapal, karena di dusun lima terdapat sebuah tempat wisata yaitu Waduk Jangari. Sementara di dusun tiga, tepatnya di sebuah komplek yang merupakan satu-satunya komplek di desa Bobojong, mayoritas penduduknya merupakan pendatang atau warga asli yang bermatapencaharian sebagai guru atau pengajar di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selain mata pencaharian, kami juga mendapatkan informasi mengenai kebudayaan juga kesehatan masyarakat sekitar. Baik warga maupun pejabat desa mengakui bahwa mayoritas ibu hamil di desa Bobojong masih memercayai paraji atau dukun beranak ketimbang bidan untuk membantu proses persalinan mereka. Hal ini telah menjadi bagian dari kebudayaan desa Bobojong, bahkan beberapa warga masih memercayai mitos-mitos mengenai paraji seperti bagaimana seorang paraji berhasil menghidupkan kembali bayi yang meninggal saat dilahirkan. Cerita tersebut bahkan telah tersebar luas ke seluruh penjuru desa. Jika dikaji dari aspek budaya, tentu fakta yang telah turun temurun menjadi bagian dari masyarakat ini tidak bisa disalahkan; namun tanpa disadari ada sisi negative yang terselip dari fenomena paraji ini. Berbeda dengan bidan, paraji atau dukun beranak jelas bukan orang yang mempelajari ilmu kesehatan secara formal, bahkan mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan sama sekali. Paraji biasanya memiliki ilmu khusus yang diperoleh secara turun temurun. Tanpa didukung dengan ilmu dan peralatan yang memadai, dukun beranak bisa saja melakukan kesalahan yang fatal saat membantu persalinan. Hal yang akan saya lakukan jika menjadi bagian dari masyarakat adalah memberikan gambaran secara perlahan tentang bahaya yang mengintai jika fenomena paraji terus dipertahankan. Tentu akan menjadi hal yang sulit terutama fenomena ini telah terjadi sejak lama dan belum ada kejadian buruk yang dapat

dijadikan sebagai acuan, namun jika secara bertahap diberikan gambaran tentang keselamatan dan kesehatan bayi yang lebih baik jika persalinan dibantu dengan bidan secara perlahan masyarakat mungkin bisa menerima. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa kesehatan menjadi masalah utama tak hanya dusun-dusun tertentu, namun seluruh masyarakat desa Bobojong. Disana tidak terdapat Puskesmas, hanya sebuah Puskesdes yang memiliki fasilitas dan jasa seadanya. Layanan Posyandu mungkin satu-satunya kegiatan yang berjalan dengan baik dan rutin; namun untuk jasa lain seperti bidan tidak tersebar dengan merata di desa Bobojong. Bahkan tidak terdapat satu orang dokter gigi pun di desa tersebut. Pemerintah desa tak bisa sekonyong-konyong disalahkan begitu saja, karena ketika ditelaah lebih lanjut, kesadaran masyarakat sendiri mengenai kesehatan sangat memprihatinkan. Bagai gajah di pelupuk mata yang tak terlihat, gizi juga menjadi masalah besar di desa Bobojong; ironisnya, masyarakat tak menyadari bahwa masalah ini ada. Saya sering sekali melihat para ibu yang membiarkan anak-anaknya jajan sembarangan. Mungkin ini terdengar sebagai hal lumrah yang terjadi dimana-mana, namun jika anak-anak tersebut masih di bawah dua tahun tentu ini masalah yang besar. Anak-anak yang sudah bersekolah pada pagi hari dibiarkan membeli makanan ringan sebagai sarapan mereka di warung dekat taman kanak-kanak tempat mereka belajar. Bukan roti atau susu, yang mereka beli biasanya hanya coklat pasta atau cracker. Sementara anak-anak yang lebih kecil dibiarkan begitu saja memilih makanan ringan atau kerupuk-kerupuk yang mengandung banyak MSG. Sebagai masyarakat desa, sekali lagi, saya akan melakukan penyuluhan kecil-kecilan mengenai gizi. Saya akan menjabarkan bahaya dari penggunaan MSG berlebih baik pada anak maupun dewasa, dan betapa bahayanya pemberian MSG pada anak-anak di bawah dua tahun.

You might also like