You are on page 1of 4
 
 
MAKNA AKAN LIBERALISME
 
Oleh: A. Prasetya
 
“You can‟t spell liberalism without lies”
 - anonim Sejak adanya fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada Juli 2005 lalu, terdengar suatu sumbangsih yang memperkenalkan definisi akan istilah Liberalisme. Dari beberapa kalangan yang muncul, mengkritik bahwa MUI tidak memahami apa arti sebenarnya dari istilah Liberalisme tersebut. Istilah Liberalisme pada dasarnya berasal dari bahasa Latin, yaitu
liber 
 
yang berarti „
bebas‟ 
 atau
„merdeka‟ 
. Hingga pada saat penghujung abad ke-18, istilah ini sering dikaitkan dengan istilah seseorang yang bebas dan merdeka. Merdeka sejak dari lahir maupun
merdeka setelah dibebaskan dari perbudakan, yakni „
 feedman‟ 
. Dari sinilah timbul istilah seperti
„liberal arts‟ yang berarti merup
akan suatu ilmu yang berguna dan sepatutnya dimiliki oleh orang-orang yang bebas dan merdeka, yaitu seperti matematika, geometri, astronomi, seni lukis, seni musik, logika hingga pada retorika(
trivium
). Para pakar sejarahwan barat biasanya cenderung merujuk pada
motto
 masa Revolusi Prancis (1789) untuk mendefinisikan semangat Liberalisme ini, yaitu kebebasan, kesetaraan,  persaudaraan (
liberte, egalite, fraternite
) yang diabadikan pada piagam agung (
magna charta
)  pada liberalisme modern. Sebagaimana dipaparkan oleh H. Gruber, prinsip liberalism ini bahwa tunduk kepada otoritas apa pun itu namanya merupakan hal yang sangat bertentangan dengan hak asasi, hak kebebasan maupun dengan harga diri yang ada pada manusia, yakni otoritas yang akarnya, aturan yang dimilikinya, ukuran dan ketetapannya diluar batas dari dari dirinya. Disini kita mencium adanya
 sophisme
 dan relativisme seperti yang di dengungkan oleh filsafat Protagoras pada masa Yunani kuno, yaitu
“manusia merupakan ukuran untuk segalanya” sebuah
dogma yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilism pengikut Nietzsche. Sebagai penerus semangat Humanisme dan Reformasi pada abad ke-15 dan abad-16, Liberalisme telah dikembangkan oleh pemikir dan cendekiawan bebepara Negara, seperti di Inggris (John Locke dan David Hume), di Prancis (Dennis Diderot dan J.J Rosseau), di Jerman
 
(Immanuel Kant dan Lessing). Gagasan ini banyak diminati oleh para kalangan elit terpelajar dan  para bangsawan yang menyukai akan kebebasan perpikir tanpa batas. sebagaimana yang dinyatakan oleh Stael (1818), kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak akan klaim akan adanya pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut akan penghapusan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh para bangsawan, gereja dan juga raja. Pada zaman pencerahan (
 Aufklarung 
), para kaum intelektual dan politisi di Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dengan kelompok lain. Sebagai
„ajektif‟ kata liberal ini digunakan sebagai menujukkan bahwa anti feudal, anti kemapanan,
rasional, bebas dan merdeka (
ndependent 
), berpikiran luas dan juga terbuka
(open-minded 
). Di dalam ranah perpolitikan, liberalisme sendiri dimaknai sebagai suatu system yang kecenderungan menentang dan berlawanan dengan sentralisasi dan absolutism kekuasaan. Banyaknya bermunculan republic-republik menggantikan kerajaan-kerajaan yang konon tidak terlepas dari liberalisme ini sendiri. Sementara pada ranah bidang ekonomi, liberalisme ini marak dihubungkan dengan munculnya system pasar bebas yang dimana intervensi pemerintahan pada sector ekonomi sangat dibatasi, bahkan tidak diperbolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada  batasan-batasan tertentu, liberalisme berkaitan sangat erat dengan kapitalisme. Di lingkungan wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi pada wanita, penyetaraan gender, pupusnya control sosial terhadap individu-individu dan runtuhnya akan nilai-nilai kekeluargaan. Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorangpun berhak untuk menentukan dan memaksa ataupun melarang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan pada ranah agama, makna liberal sendiri berarti kebebasan dalam menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan lebih  jauh dari itu, liberalisme menjadikan agama menjadi sebagai urusan privat. Sehingga cenderung menganggap bahwa agama tidak memiliki hak untuk mengintervensi seseorang dari segi hukum.
Konsep amar ma‟ruf dan nahi munkar pun dinilai sebagai sesuatu yang tidak relevan, bahkan
dikecam karena tidak sesuai dengan semangat liberalisme sendiri. Asal tidak merugikan pihak lain, dua orang yang melakukan zina yang dilakukan atas dasar suka-sama suka pun tidak boleh dihukum menurut prinsip ini. Karena menggusur agama pada ranah politik, ekonomi, maupun
 
sosial, maka liberalisme ini tidak salah jika dipadankan dengan proses sekularisme, dimana ada  pemisahan antara agama pada kehidupan politik. Pada awal mulanya, liberal sendiri sebenarnya dimulai pada kalangan Protestan saja.  Namun pada belangan ini justru mewabah pada kalangan Katolik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamis Constant antara lain menginginkan supaya pola hubungan antar institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditunjau ulang dan diatur lagi. Mereka juga menuntut akan adanya reformasi terhadap doktrin-doktrin pada agama mereka sendiri yang dibuat oleh pihak Gereja Katolik Roma supaya disesuaikan dengan semangat zaman yang sedang dan akan terus berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal itu sendiri dan tidak  bertentangan dengan sains meskipun itu bersifat anti-Tuhan, namun hal tersebut dianggap benar. Renville (1903) menyebutkan secara umum yang dikehendaki oleh semangat liberal ini ialah kebebasan siapa saja untuk menafsirkan agama dan kitab sucinya, ketidak terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh pihak gereja, pengakuan akan  pemerintahan yang absolut, dan penghapusan akan adanya system kependetaan (
clericalism
). Inilah yang kemudian dikecam oleh Paus Pius IX, Leo XIII dan Pius X. kecenderungan-kecende
rungan seperti mereka ini disebut sebagai “modernisme”
. Hourani (1962) menyebutkan bahwa di dalam dunia Islam sendiri virus liberalisme ini  juga berhasil masuk ke beberapa kalangan cendekiawan yang cenderung dianggap sebagai
“pembaharu”. Sebut saja Fazlur 
 Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia. Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual oleh tokoh-tokoh liberal tersebut sebenarnya tak  jauh beda. Ajaran yang ada dalam Al-
Qur‟an dan Hadits harus
dikritisi dan ditafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan zaman dengan pendekatan historis dan hermeneutis dan sebagainya, perlunya dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan  bernegara, tunduk pada pergaulan internasional berlandaskan dengan hak asasi manusia,  pluralisme
dan lain sebagainya. Binder (1988) menyebutkan, “
liberalism treats religion as opinion and, therefore tolerates diversity in precisely those realms that traditional belief insists upon without equivocation
”.
 

Reward Your Curiosity

Everything you want to read.
Anytime. Anywhere. Any device.
No Commitment. Cancel anytime.
576648e32a3d8b82ca71961b7a986505