You are on page 1of 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak di seluruh dunia yang meningkat sepanjang tahun. Pada tahun 2005 terdapat 345.000 kematian di dunia akibat penyakit campak dan sekitar 311.000 kematian terjadi pada anak-anak usia dibawah lima tahun. Pada tahun 2006 terdapat 242.000 kematian karena campak atau 27- kematian terjadi setiap jamnya (WHO, 2007). Kematian campak yang meliputi seluruh dunia pada tahun 2007 adalah 197.000 dengan interval 141.000 hingga 267.000 kematian dimana 177.000 kematian terjadi pada anak-anak usia dibawah lima tahun. Lebih dari 95% kematian campak terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dengan infrastruktur kesehatan lemah (WHO, 2008). Pada sidang WHO (World Health Organization) tahun 1996 menyimpulkan bahwa campak dimungkinkan untuk dieradikasi, karena satu-satunya pejamu (host) atau reservoir campak hanya manusia. Eradikasi akan dapat dicapai 10-15 tahun setelah di eliminasi. Pada sidang World Health Assembly (WHA) tahun 1998 menetapkan kesepakatan global salah satunya adalah reduksi campak dengan cara mengurangi angka kesakitan sebesar 90% dan angka kematian sebesar 95% dari angka kesakitan dan angka kematian sebelum pelaksanaan program imunisasi campak. Beberapa negara seperti Amerika, Australia dan beberapa negara lainnya telah memasuki tahap eliminasi campak (cakupan imunisasi sangat tinggi dan kasus campak jarang terjadi) (Depkes RI, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Menurut regional and global summaries of measles incidence WHO tahun 2008, angka insidens campak di wilayah South-East Asia (SEARO) adalah 75.770 (WHO, 2008). Masalah kematian campak di dunia yang dilaporkan pada tahun 2002 sebanyak 777.000 dan 202.000 di antaranya berasal dari negara ASEAN serta 15% dari kematian campak tersebut berasal dari Indonesia (Depkes RI, 2006). Indonesia termasuk salah satu dari 47 negara penyumbang kasus campak terbesar di dunia (Depkes RI, 2008). Pada tahun 2008, angka absolut campak di Indonesia adalah 15.369 kasus (WHO, 2008). Kematian anak akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) di Indonesia adalah 1,7 juta kematian dan 5% penyebab kematian anak di bawah lima tahun (Depkes RI, 2006). Pada anak-anak dalam kondisi garis batas kekurangan gizi, campak sering kali sebagai pencetus terjadinya kwarshiorkor akut dan eksaserbasi defisiensi vitamin A yang dapat menyebabkan kebutaan (Depkes RI, 2005). Berdasarkan riset kesehatan dasar Indonesia tahun 2007, prevalensi nasional campak (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan responden) adalah 1,8% (Depkes RI, 2007). Indonesia pada saat ini berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan kejadian luar biasa (KLB). Tingkat penularan infeksi campak sangat tinggi sehingga sering menimbulkan KLB. Jumlah kasus campak menurun pada semua golongan umur di Indonesia terutama anak-anak di bawah lima tahun pada tahun 1999 s/d 2001, namun setelah itu insidence rate tetap, dengan kejadian pada kelompok umur < 1 tahun dan 1-4 tahun selalu tinggi daripada kelompok umur

lainnya. Pada umumnya- KLB yang terjadi di beberapa provinsi menunjukkan kasus tertinggi selalu pada golongan umur 1-4 tahun (Depkes, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambaran ini menunjukkan bahwa balita merupakan kelompok rawan dan perlu ditingkatkan imunitasnya terhadap campak. Hal ini menggambarkan lemahnya pelaksanaan dari pemberian satu dosis sehingga perlu dilakukan imunisasi campak pada semua kelompok umur tersebut di seluruh desa yang mempunyai masalah cakupan imunisasi. Tanpa program imunisasi, attack rate 93,5 per 100.000 kasus campak dengan gizi buruk akan meningkatkan CFR (case fatality rate) (Depkes RI, 2006). Kejadian penyakit campak sangat berkaitan dengan keberhasilan program imunisasi campak. Indikator yang bermakna untuk menilai ukuran kesehatan masyarakat di negara berkembang adalah imunisasi campak. Pada tahun 2006 WHO bersama UNICEF (United Nations Childrens Fund) membuat rencana strategi global maupun regional 2006-2010 yang memiliki tujuan program pengendalian penyakit campak dengan mengurangi angka kematian campak sebesar 90% (estimated) pada tahun 2010 dibanding tahun 2000. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, perlu dilakukan beberapa upaya. Salah satu upayanya adalah melaksanakan surveilans berbasis individu (case based surveillance) dengan penguatan strategi imunisasi (Depkes RI, 2008). Bila cakupan imunisasi mencapai 90%, maka dapat berkontribusi menurunkan angka kesakitan dan angka kematian sebesar 80% - 90% (Depkes RI, 2004). Di Indonesia, program imunisasi campak dimulai pada tahun 1982 dan masuk dalam pengembangan program imunisasi. Pada tahun 1991, Indonesia dinyatakan telah mencapai UCI (Universal Child Immunization) secara nasional yang berdampak positif terhadap penurunan insidensi campak pada balita. Selama periode 1992 1997

Universitas Sumatera Utara

terjadi penurunan dari 20,08 per 10.000 orang menjadi 3,4 per 10.000. Walaupun imunisasi campak telah mencapai UCI, tetapi di beberapa daerah masih mengalami KLB Campak, terutama di daerah dengan cakupan imunisasi rendah atau daerah kantong (Depkes RI, 2006). Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2009, jumlah kasus campak di Sumatera Utara tertinggi di antara kasus penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) lainnya. Data jumlah kasus dan angka kesakitan PD3I tahun 2008 menunjukkan penyakit difteri (0 kasus), pertusis (86 kasus), tetanus (2 kasus), tetanus neonatorum (5 kasus), campak (2.917 kasus), polio (12 kasus) dan Hepatitis B (64 kasus). Kabupaten Langkat terdiri dari 23 kecamatan dengan 28 puskesmas. Berdasarkan profil Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Langkat tahun 2008, jumlah kasus penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) terbanyak adalah kasus penyakit campak sebanyak 125 kasus. Menurut laporan surveilans epidemiologi Dinkes Kabupaten Langkat tahun 2008 terjadi 130 kasus campak yang dilaporkan oleh puskesmas, baik yang termasuk kasus KLB campak maupun bukan kasus KLB campak. Terdapat 5- kecamatan di Kabupaten Langkat dengan jumlah kasus campak tertinggi dan termasuk termasuk kejadian luar biasa (KLB) yaitu (1) Kecamatan Padang Tualang, di Desa Besilam dan Gardu dengan 33 kasus (attack rate (AR) 4,8%), (2) Kecamatan Tanjung Pura, di Desa Pekubuan dengan 29 kasus (AR 4,3%) dan di Desa Pematang Cengal dengan 13 kasus (AR 1,9%), (3) Kecamatan Sei Lepan di Desa Telaga Said dengan 10 kasus (AR 2,9%), (4) Kecamatan Hinai di Desa

Universitas Sumatera Utara

Suka Damai dengan 10 kasus (AR 1,6%) dan, (5) Kecamatan Besitang di Desa Bukit Kubu dengan 14 kasus (AR 0,65%). Kejadian KLB campak di beberapa daerah tersebut terjadi akibat cakupan imunisasi yang rendah atau effikasi vaksin yang rendah yang dapat disebabkan oleh pengelolaan rantai dingin vaksin yang kurang baik dan cara pemberian imunisasi yang kurang baik. Dari penyelidikan lapangan KLB campak yang dilakukan oleh Subdin Surveilans dan Daerah selama tahun 1998 1999, terlihat anak yang belum mendapat imunisasi masih tinggi, yaitu berkisar 40% 100%. Kasus-kasus yang belum mendapat imunisasi tersebut, pada umumnya (>70%) adalah balita (DitJen PPM&PL, 2006). Hasil laporan surveilans epidemiologi Dinkes Kab. Langkat kasus KLB campak dapat dikategorikan menurut status imunisasi campak, yaitu (1) di Desa Pekubuan Kecamatan Tanjung Pura, attack rate pada kelompok populasi dengan status diimunisasi adalah 0,8% dan status tidak diimunisasi 40,8%, (2) di Desa Besilam dan Gardu Kecamatan Besitang , attack rate dengan status diimunisasi adalah 4,3% dan status yang tidak diimunisasi 4,2%, (3) di Desa Telaga Said Kecamatan Sei Lepan, attack rate dengan status imunisasi 4,6% dan status yang tidak diimunisasi 0%, (4) di Desa Pematang Cengal Kecamatan Tanjung Pura, attack rate pada kelompok populasi yang diimunisasi adalah 0,3% dan yang tidak diimunisasi adalah 26,8%, (5) di Desa Suka Damai Kecamatan Hinai, attack rate pada kelompok populasi yang berstatus imunisasi adalah 0% dan pada status tidak di imunisasi adalah 17,2% dan, (6) di Desa Bukit Kubu Kecamatan Besitang, attack rate pada

Universitas Sumatera Utara

kelompok populasi berstatus imunisasi adalah 0,12% dan yang berstatus tidak diimunisasi adalah 3,23%. Berdasarkan data di atas diketahui bahwa Desa Pekubuan Kecamatan Tanjung Pura memiliki attack rate kasus KLB campak yang paling tinggi dibandingkan dengan daerah yang memiliki kasus KLB campak lainnya. Desa Pekubuan Kecamatan Tanjung Pura termasuk wilayah kerja Puskesmas Pantai Cermin. Pada saat dilakukan survei pendahuluan, diketahui bahwa jadwal kegiatan rutin posyandu di setiap desa di- Kecamatan Tanjung Pura setiap 1 bulan sekali. Menurut petugas imunisasi, bahwa setiap desa ditempatkan 2 bidan desa yang akan selalu memantau perkembangan imunisasi dasar lengkap pada balita setiap bulannya selain petugas puskesmas yang ikut berpartispasi aktif dan ketersediaan vaksin selalu cukup di puskesmas. Menurut Petugas Surveilans Puskesmas Pantai Cermin, faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kasus KLB campak di Desa Pekubuan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat yang rendah sangat memengaruhi daya tahan tubuh anak karena asupan makanan yang kurang bergizi. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap penyakit campak adalah pengetahuan para ibu yang rendah terhadap penyakit campak. Mereka menganggap bahwa penyakit campak sama dengan penyakit cacar air sedangkan jika ada anak yang menderita campak harus segera mendapat pengobatan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut yang dapat mengakibatkan kematian. Berdasarkan penjelasan Petugas Program Imunisasi subdin Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, faktor-faktor yang memengaruhi timbulnya kasus campak antara lain yaitu pengetahuan ibu yang

Universitas Sumatera Utara

rendah terhadap manfaat imunisasi sehingga takut anaknya di imunisasi, hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu yang rendah, lingkungan tempat tinggal mayoritas warga adalah kumuh, sosial ekonomi masyarakat yang rendah karena mayoritas mata pencaharian penduduk adalah nelayan. Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Faktor yang memengaruhi terbentuknya perilaku adalah faktor internal yaitu pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, dan faktor eksternal adalah lingkungan sekitarnya, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, serta kebudayaan. Notoatmodjo (2003) juga menyatakan perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, sosial ekonomi, pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan fasilitas kesehatan.
Menurut Muninjaya dalam Khalimah (2007), faktor perilaku merupakan faktor yang di negara-negara berkembang paling besar pengaruhnya untuk memunculkan masalah kesehatan termasuk masalah imunisasi. Perilaku ibu tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia (pos imunisasi) adalah akibat kurangnya pengetahuan ibu-ibu tentang manfaat imunisasi dan efek sampingnya. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Menurut WHO, pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Berdasarkan penelitian Nuraprilyanti (2009), pengetahuan dan pendidikan ibu berhubungan dengan perilaku ibu dalam memberikan imunisasi campak pada bayinya. Penelitian lain (Hartati, 2008) menyatakan bahwa faktor perilaku yang

Universitas Sumatera Utara

berpengaruh terhadap perolehan imunisasi campak di Puskesmas Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2007 adalah pendidikan, ekonomi, pengetahuan dan tindakan petugas imunisasi. Menurut Khalimah (2007), variabel pendidikan, pekerjaan, sikap, dan pengetahuan ibu memiliki hubungan dengan penerapan imunisasi campak. Selanjutnya penelitian Duski (2001) menyatakan bahwa adanya hubungan status imunisasi campak dengan kejadian campak, dimana anak yang tidak di imunisasi campak 3,2 kali lebih besar beresiko untuk menderita campak dibanding anak yang diimunisasi. Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan dan sosial ekonomi ibu terhadap pemberian imunisasi campak pada balita di Desa Pekubuan Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2010.

1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah ada pengaruh pengetahuan dan sosial ekonomi ibu terhadap pemberian imunisasi campak pada balita di Desa Pekubuan Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat pada tahun 2010.

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh pengetahuan dan sosial ekonomi ibu terhadap pemberian imunisasi campak pada balita di Desa Pekubuan Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2010.

Universitas Sumatera Utara

1.4. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat mengenai sejauh mana pengaruh pengetahuan dan sosial ekonomi ibu terhadap pemberian imunisasi campak, sehingga dapat mengambil suatu kebijakan dengan membuat program yang sesuai untuk meningkatkan cakupan imunisasi dan menurunkan jumlah kasus campak. 2. Sebagai bahan masukan atau rekomendasi bagi penelitian selanjutnya mengenai faktor pengetahuan dan sosial ekonomi dalam upaya memberikan imunisasi campak pada balitanya . 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pengetahuan dan sosial ekonomi ibu dalam memberikan imunisasi campak pada balitanya dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu promosi kesehatan dalam pelaksanaan imunisasi campak khususnya di Desa Pekubuan Kecamatan Tanjung Pura .

Universitas Sumatera Utara

You might also like