You are on page 1of 2

Negara Gagal Lindungi Kehormatan dan Nyawa Masyarakat Nyawa adalah pemberian terbaik dari Sang Pencipta Kehidupan

pada manusia. Namun sayangnya hari ini nyawa dihargai begitu murah bahkan seakan-akan tak ada harganya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya angka kejahatan seperti pemerkosaan, perampokan, pencurian, dll yang tak jarang berujung pada pembunuhan. Angka kejahatan di Indonesia sendiri terbilang cukup besar. Di tahun 2013 yang lalu, Polda Metro Jaya mencatat sedikitnya ada 51.444 kasus kriminal di Jakarta dan sekitarnya, atau satu kejahatan tiap 10 menit 13 detik. Di tahun 2014, Polda Metro Jaya memprediksi praktik kejahatan akan meningkat. Mirisnya, nyawa pun bisa hilang hanya karena hal sepele, seperti saling ejek, suami cemburu karena mengira istrinya selingkuh, istri memutilasi suami karena kesal, sekelompok massa memenggal kepala lawan karena dilatarbelakangi persoalan tanah dan banyak lagi masalah lainnya yang sebenarnya bisa diselesaikan secara dewasa dan kejernihan berpikir. Kondisi ini berbanding terbalik dengan isi sebuah hadits dalam Islam yan menyatakan, Sesungguhnya hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah, dari pada terbunuhnya seorang muslim. (HR. Nasai 3987). Kriminolog Universitas Asyafiiyah, Masriadi Pasaribu, mengatakan bahwa masyarakat hari ini karakternya sangat mudah tersinggung dan berada dalam tahap stress yang cukup tinggi sehingga rentan untuk melakukan aksi kejahatan, terutama masyarakat Ibu Kota. Namun hal ini setidaknya dapat direduksi dengan mengoptimalkan peran agama. Kinerja agama cukup unik karena menanamkan benteng diri dari dalam pengikutnya terhadap aksi kejahatan. Peran agama dalam hal ini sangatlah urgen, sampai-sampai para pakar psikiater menyebutnya sebagai faktor terpenting dalam mencegah timbulnya kejahatan. Bahkan mereka menyebut agama sebagai faktor utama bagi kesehatan jiwa seseorang dan masyarakat. Namun sayangnya, sekularisme tidak memperhatikan masalah iman dan takwa ini, bahkan justru makin menipiskan iman dan takwa. Hal ini membuat masyarakat menjadikan pembunuhan sebagai cara yang efektif untuk menghilangkan kepenatan dan menuntaskan amarah, tanpa mempedulikan norma-norma agama. Selain itu, pembunuhan pun seringkali dipicu oleh faktor himpitan ekonomi. Salah satu pilar sistem demokrasi yakni kebebasan kepemilikan menyebabkan semakin banyaknya privatisasi dan swastanisasi sumber daya alam yang sebenarnya milik rakyat. Sistem ekonomi kapitalis yang berfokus pada produksi dan menomorduakan distribusi, menyebabkan pendistribusian kekaayaan tidak merata dan menimbulkan gap yang semakin besar antara si kaya dan si miskin. Semakin beratnya beban ekonomi, tidak adanya lapangan kerja, akses pendidikan dan kesehatan yang kian tak terjangkau membuat tingkat stres semakin tinggi. Imbasnya, masyarakat menjadi gelap mata dan memilih melakukan tindak kriminal untuk menyesaikan himpitan ekonomi. Sementara paham liberal membuat pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan termasuk yang sudah bersuami/isteri turut menyebabkan munculnya ketidakharmonisan antara suami/istri. Larisnya bisnis berbau pornografi dan pakaian minim perempuan atas nama modernitas turut memicu banyaknya angka pemerkosaan. Semua itu diperparah, dengan bobroknya sistem hukum pidana dan sanksi yang tidak bisa mencegah orang berbuat jahat. Dalam sistem hukum buatan manusia yang sedang diterapkan, orang tidak bisa mendapatkan keadilan melalui hukum, muncullah tindakan balas dendam atau main hakim sendiri (street justice). Sistem sekularisme-kapitalisme bukan hanya gagal mengurangi aksi kejahatan, tapi malah mendorongnya menjadi kian marak. Wajar saja ini terjadi karena justru dialah yang menjadi biang keladinya. Walhasil, selama negara masih menerapkan sistem sekulerisme-kapitalisme, maka selama itu pula angka kejahatan akan tetap tinggi bahkan

makin meningkat, rasa aman semakin tipis dan hilang, kehormatan tak terlindungi dan nyawa makin tidak berharga. Tentu kita tidak menginginkan hal itu terjadi bukan? Mencegah dan mengatasi kejahatan secara tuntas hanya bisa dilakukan dengan memberlakukan sistem Khilafah; sebuah sistem yang menjadikan Islam sebagai sebuah aturan menyeluruh untuk mengatur kehidupan manusia, yang berasal dari Allah SWT yang mengetahui aturan terbaik untuk makhluk ciptaan-nya. Dalam Islam, negara wajib membina iman dan ketakwaan warga negaranya, sebab ia adalah pondasi utama. Pembinaan ini dilakukan melalui pendidikan formal dan informal. Penerapan sistem ekonomi Islam membuat distribusi harta terjadi secara merata dan berkeadilan. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok baik pangan, papan dan sandang tiap individu rakyat secara tidak langsung dengan menyediakan lapangan kerja secara riil. Negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, pelayanan kesehatan dan keamanan untuk rakyat secara langsung dan bebas biaya dengan sumber pemasukannya berasal dari kekayaan alam dan berbagai kepemilikan umum. Kekayaan tersebut harus dikelola negara, tidak boleh diserahkan kepada swasta, dan semua hasilnya digunakan demi kemaslahatan rakyat. Sementara dengan penerapan sistem uqubat Islam, rasa keadilan bisa diraih. Orang yang terbukti berzina, jika belum pernah menikah dihukum jilid 100 kali, dan jika pernah menikah maka dirajam hingga mati. Pemerkosa harus dijatuhi dengan sanksi ini dan bisa ditambah sanksinya sebab selain berzina juga disertai kekerasan. Orang yang membunuh dengan disengaja, dihukum qishash (dihukum bunuh) kecuali dimaafkan oleh ahli waris korban, dan diharuskan untuk membayar diyat 100 ekor unta, 40 diantaranya sedang bunting. Sementara untuk selain pembunuhan disengaja, pelaku harus membayar diyat 100 ekor unta atau 1.000 dinar atau sekitar Rp 2 miliar. Pelaksanaan hukuman tersebut harus disaksikan oleh khalayak ramai dengan tujuan memberikan efek jera dan mencegah orang berbuat kejahatan yang sama. Dengan penerapan sistem Islam secara total dalam Khilafah inilah, negara akan mampu menyelesaikan maraknya masalah kejahatan, memberikan rasa aman pada masyarakat, dan melindungi kehormatan, darah, harta serta nyawa.

Kamila Aziza Rabiula Mahasiswi Keperawatan Universitas Padjadjaran 2010, Jatinangor

You might also like