You are on page 1of 13

1

KINETIKA DEGRADASI LIMBAH MINYAK BUMI MENGGUNAKAN SINERGI BAKTERI KONSORSIUM dan TANAMAN LEUCEANA LEUCHEPALA DENGAN METODE INTEGRAL

Eko Maranata Situmorang 08071003030 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Sriwijaya E-mail: maranata_eko@yahoo.com

ABSTRAC : It had been researched about kinetics of degradation petroleum (sludge) in soil using synergy of bacterial Consortium and plants Leucaena leuchepala. Initial concentration of TPH = 5.8835%. Contaminated soil by petroleum were added adding fresh soil, bulking agent 10%, and nutrient with ratio N;P;K = 10:1:0.1. Order reaction definite by integral method. Constant determination with integral method in 5.8835% concentration, observe petroleum sludge degradation do in every 2 weeks for 8 weeks got result degradation reaction speed constant by using Consortium bacterial and plants Leucaena leuchepala is 0.008. Time (t) for attain degradation petroleum< 1% is 39.37 weeks. Keyword : Kinetics, consortium, leucaena leuchepala, bioremedition. ABSTRAK : Telah dilakukan penelitian tentang Kinetika Degradasi Limbah Minyak Bumi Menggunakan Sinergi Bakteri Konsorsium) dan Tanaman Leucaena leuchepala dengan Metode Integral. Konsentrasi awal Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) diperoleh sebesar 5,8835%. Pada tanah terkontaminasi media perlakuan dilakukan penambahan tanah segar, serbuk gergaji 10%, dan nutrient (N; P; K) dengan perbandingan 10 ; 1 ; 0,1. Orde reaksi ditentukan dengan metode integral. Penentuan konstanta dengan metode integral pada konsentrasi 5,8835%, pengamatan degradasi limbah minyak bumi dilakukan setiap 2 minggu selama 8 minggu diperoleh hasil konstanta kecepatan reaksi degradasi dengan menggunakan Bakteri Konsorsium dan Tanaman Leucaena leuchepala adalah 0,008. Waktu (t) untuk mencapai TPH , 1 % adalah 39,37 minggu. Kata kunci : Kinetik, konsorsium,leucaena leuchepala , bioremediasi.

1 PENDAHULUAN
Kegiatan

eksplorasi dan transportasi minyak bumi ini menghasilkan limbah. Sebagian besar limbah minyak bumi tersebut masih ditampung dalam suatu kolam penampungan limbah yang sangat sederhana tanpa perlindungan yang cukup memadai. Senyawa-senyawa hidrokarbon

dalam lumpur dapat menembus ke lapisan tanah, beresiko menyebabkan kontaminasi tanah dan air sekitarnya. Di sisi lain, hidrokarbon ringan dalam Lumpur minyak mudah menguap dan dapat menyebabkan polusi udara (Yudono, 2011). Limbah yang dihasilkan dari pengolahan minyak

bumi ini mengandung bahan yang berbahaya yang seperti benzena, toluen ethylene dan xylene (BTEX) yang bersifat karsogenik dan mutagenik. Bioremidiasi merupakan salah satu metode alternatif pengolahan limbah minyak bumi yang digunakan untuk pemulihan tanah tercemar hidrokarbon. Bioremidiasi mengandalkan reaksi mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini mengkondisikan mikroba sedemikian rupa sehingga mampu mengurai senyawa hidrokarbon yang berada di dalam tanah. Limbah minyak bumi yang diuraikan oleh mikroba akan menghasilkan senyawa akhir yang lebih ramah lingkungan (Mathew & Obbard,2006). Dalam beberapa hal, lingkungan yang akan dilakukan bioremidiasi sudah terdapat bakteri indigenous. Keuntungan dari bakteri tersebut sudah dapat beradaptasi dengan Limbah Minyak Bumi, tetapi jumlah bakteri sedikit sehingga memerlukan waktu yang lama dalam proses bioremediasi ini maka perlu dilakukan isolasi pada bakteri yang telah lulus uji yang mampu beradaptasi dengan limbah minyak bumi sehingga mempercepat proses bioremediasi. Kelemahan dari penggunaan bakteri indogenus ini sangat tergantung dengan oksigen untuk perkembangbiakan bakteri tersebut. Estuningsih et al. (2011) menyatakan dalam proses bioremediasi, beberapa tanaman berasosiasi dengan mikroba untuk menurunkan atau membersihkan pencemar. Menurut Yeung (1997) tanaman-tanaman dapat meningkatkan proses degradasi oleh mikroba dengan memberikan oksigen dalam area akar sepanjang saluran-saluran akar dan memperbesar pori-pori tanah. Molekul oksigen dibutuhkan untuk oksidasi substrat yang merupakan tahap awal dalam degradasi hidrokarbon. Dari penelitian Rahayu (2011) menyatakan dari ke empat tanaman leguminocea yang diseleksi, tanaman Leucaena leucocephala pada kosentrasi 6% merupakan tanaman

yang paling baik dalam menurunkan kadar TPH minyak bumi yaitu sebesar 2,815% selama 12 minggu. Lamtoro gung (Leucaena leucocephala) merupakan tumbuhan yang memiliki bentuk yang bervariasi mulai dari bentuk semak hingga pohon dengan ketinggian 5 m dan diameter batang 10-50 cm. Batang pohon yang tua berwarna coklat kemerah-merahan dan memiliki struktur batang yang kasar, sedangkan pada cabang muda memiliki warna abuabu kecoklatan dan memiliki struktur kulit yang halus. Bakteri mampu meningkatkan proses degradasi hidrokarbon minyak bumi dan mengakumulasi CO2 yang cukup tinggi. Kemampuan tanaman dalam menurunkan kadar TPH minyak bumi terbatas, tetapi tanaman dapat memanfaatkan CO2 untuk proses fotosintesis. Dengan demikian, kerja sama antara konsorsium bakteri dengan tanaman merupakan solusi dalam upaya meningkatkan proses bioremediasi minyak bumi (Yudono,2011). Menurut Nuryanti(2010) menyatakan bahwa jika dua atau lebih spesies hidup bersama dan mengadakan hubungan yang tidak saling menggangu, akan tetapi masing-masing saling menguntungkan seperti diatas, maka hubungan hidup antar spesies itu disebut sinergi. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang kinetika bioremediasi tanah. Informasi kinetika sangat penting karena kinetika memberikan informasi konsentrasi kimia yang masih tertinggal pada setiap waktu dan dapat digunakan untuk memprediksi tercapainya waktu degradasi ke depan. Kinetika orde satu umumnya digunakan untuk menggambarkan biodegradasi modelmodel di lingkungan karena ungkapan secara matematikanya mudah disatukan ke dalam model (Greene et al., 2000). Beberapa peneliti mengambil kinetika orde satu karena mudah untuk mempresentasikan dan menganalisa datanya, secara sederhana dibuat grafik

logaritma konsentrasi yang tersisa vs waktu sebagai garis lurus, dan mudah untuk memprediksi konsentrasi pada setiap waktu. Pada lingkungan yang berbeda, nilai konstanta kinetika orde satu dan jumlah sel yang mampu untuk metabolisme akan berbeda (Alexander, 1999). Penentuan orde reaksi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu : cara differensial dan cara integral. Dalam cara differensial, yang ditentukan adalah orde reaksi terhadap salah satu komponen pereaksi, sedangkan dalam cara integral dilakukan pengandaian suatu orde reaksi dan dicek dengan data reaksi. Pada penelitian ini penentuan orde reaksi dilakukan secara integral yang didasarkan atas pengandaian harga orde reaksi tertentu terhadap hasil penurunan Total Petroleum Hydrocarbon (TPH). 2 METODOLOGI PENELITIAN

kayu), nutrisi N.P.K (dari pupuk urea, TSP dan KCL), bakteri konsorsium dari jurusan FMIPA UNSRI, pelarut n-heksan dan aquadest. 2.3 Prosedur Penelitian 2.3.1 Persiapan Tanah Segar Tanah segar diambil dari kampus Unsri, Inderalaya kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan yang belum tercemar limbah. Pengambilan tanah dilakukan pada satu titik dengan kedalaman 20 cm dibawah permukaan tanah. Tanah segar inilah yang kemudian digunakan untuk media perlakuan. Selanjutnya tanah segar disaring dengan ayakan untuk dipisahkan dari akar dan kotoran kotoran yang ada, kemudian tanah segar disimpan dalam bak plastik pada suhu kamar. 2.3.2 Persiapan serbuk gergaji (Bulking agent) Bulking agent berupa serbuk kayu yang dimasukkan dalam bak. Serbuk kayu terlebih dahulu diberi perlakuan awal dengan cara dibersihkan dari kotoran kemudian disaring dengan ayakan. Selanjutnya serbuk kayu tersebut dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama 1 hari dan disimpan dalam bak plastik pada suhu kamar. 2.3.3 Persiapan Nutrien Nutrien yang diperlukan berupa pupuk urea, TSP dan KCl yang terlebih dahulu diberikan perlakuan awal dengan cara digerus. Perbandingan antara sample (sumber C) dengan nutrient (sumber Nitrogen, sumber Fosfor dan sumber Kalium) adalah 10 : 1 : 0,1. 2.3.4 Persiapan Bakteri Bakteri konsorsium yang digunakan didapat dari laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, FMIPA UNSRI dengan kepadatan jumlah sel bakteri dengan konsentrasi 109 cfu/ml yang diukur dengan metode koloni counter.

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai Maret 2013 di Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia dan Laboratorium Analisa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya, 2.3.3 Inderalaya dan Lahan di lingkungan Universitas Sriwijaya. 2.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah soil tester, bak plastic, pengaduk, neraca analistis, gelas beker, gelas ukur, kertas label, oven, desikator, pengaduk kayu, labu ukur, kertas saring, tabung reaksi, mortar, alat sokhletasi. Penelitian ini menggunakan bahan antara lain tanah segar yang diambil dari kampus Universitas Sriwijaya kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, tanah terkontaminasi minyak bumi yang diperoleh dari PT. Pertamina Unit Bisnis EP. Limau, Prabumulih, Sumatera Selatan, bulking agent (serbuk gergaji dari jenis campuran

2.3.5 Persiapan Media Perlakuan Bioreaktor berisi tanah segar, 1% nutrient, 10% bulking agent yang berupa serbuk kayu dan residu minyak, sehingga TPH dalam bioreaktor sesuai dengan perlakuan (7,5%). Selanjutnya campuran tersebut diaduk sampai homogen dan dimasukkan dalam ember dengan kapasitas 10 kg. Media dalam bioreaktor diaduk sampai homogen dengan pengaturan faktor lingkungan (aerasi, inkubasi pada suhu kamar, pH medium diukur pada 5,6-7 dengan kelembaban 40% dengan soil tester). Kemudian ditambahkan bakteri konsorsium 500 mL tiap media perlakuan. Adapun komposisi perlakukan konsentrasi tanah olahan yang teradapat dalam bioreaktor yaitu 7,5%. 2.3.6 Penanaman Tanaman Pada Media Setelah tanah, serbuk gergaji dan bakteri dicampur dalam bioreaktor selanjutnya dilakukan penanaman tanaman Leucheana Leuchepala dalam bioreaktor. Tanaman Leucheana Leuchepala yang ditanam yang telah berumur 3 bulan pada masing masing media dengan perulangan 3 kali. 2.3.7 Pengukuran TPH Sampel Sampel sludge yang diperoleh dari lokasi Stok Pile (SP) 9 (tempat penampungan limbah minyak bumi) PT.Pertamina UBEP Limau, Prabumulih SUMSEL. Sampel yang telah dihomogenkan timbang sebanyak 5 g untuk selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan alat ekstraksi sokhlet.Pelarut n-heksane dimasukkan sebanyak 250 mL kedalam labu didih, dan dilakukan proses ekstraksi. Proses ekstraksi ini selesai dilakukan ketika pelarut n-heksan nya terlihat berwarna jernih. Sampel diambil dan diletakkan dalam gelas beker, kemudian sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100-110C selama 1 jam. Sampel yang sudah dikeringkan lalu didinginkan dalam desikator,kemudian ditimbang berat akhirnya

%TPH=

(Wlabudidih isi ) Wlabudidihkosong WLimbahMinyakBumi

x100%

2.4. Variabel Pengamatan 2.4.1 Degradasi TPH Penurunan nilai TPH didefinisikan sebagai besarnya nilai TPH yang berhasil dihilangkan setelah diberi kondisi perlakuan tertentu.Pengamatan terhadap penurunan nilai TPH dilakukan setiap 2 minggu sekali sampai proses bioremediasi berlangsung selama 8 minggu. 2.4.2 Analisa Data Dari pengukuran % TPH dapat dilakukan pengolahan data sebagai berikut : a. Menentukan orde reaksi dari hasil pengukuran % TPH awal (T0) dan dari hasil pengukuran % TPH pada hari ke 84 (T6). Menentukan konsentrasi laju dengan menggunakan metode integral dari hasil pengukuran % TPH T1 (waktu inkubasi hari ke-14) hingga % TPH T6. Asumsi bahwa reaksi merupakan reaksi orde 1(sesuai dengan persamaan 2), maka hubungan antara In (TPH) vs waktu akan merupakan kurva linier. Harga konstanta kecepatan reaksi akan sebanding dengan nilai slope dari kurva tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN

b.

c.

3.1 Hasil Degragasi Limbah Minyak Bumi Senyawa - senyawa penyusun limbah minyak bumi merupakan senyawa senyawa hidrokarbon yang sangat kompleks (Haryani 2005), sehingga untuk menyederhanakan pengukuran kecepatan degradasi limbah minyak bumi diukur sebagai penurunan konsentrasi Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) per satuan

waktu. Konsentrasi Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) awal pada percobaan ini adalah sebesar 5,8835%. Pengukuran TPH terhadap proses bioremediasi tersebut dilakukan setiap 2 minggu (14 hari) sekali. Penurunan % TPH vs waktu dapat dilihat seperti Gambar 6 berikut :
8 6 4 2 0 0 2 4 6 8 Waktu(minggu)

optimal dikarenakan pada proses penanaman sedang mengalami musim hujan. Bakteri konsorsium merupakan jenis bakteri hidrokarbonoklastik yang dapat memecah hidrokarbon pada minyak bumi, sehingga mampu mendegradasi senyawa yang terdapat dalam tanah terkontaminasi. Untuk menjaga kinerja bakteri tersebut dalam proses degradasi limbah minyak bumi maka suplai oksigen dan nutrien untuk pertumbuhan bakteri tersebut harus terjaga dengan baik. Pengadukan media sangat penting dilakukan mengingat bakteri yang digunakan merupakan bakteri aerob yang membutuhkan oksigen untuk perkembangannya. Fungsi tanaman lamtoro gung untuk proses bioremediasi ini adalah untuk memperbesar porositas tanah dan memberikan suplai oksigen pada bakteri. Tanaman lamtoro gung dapat tumbuh pada daerah yang terkontaminasi limbah minyak bumi meskipun pertumbuhannya sedikit terhambat dibandingkan pada daerah yang tidak terkontaminasi limbah minyak bumi, pada daereah yang terkontaminasi limbah minyak bumi diameternya dari 0,66 cm menjadi 0,67 cm pada daerah yang tidak terkontaminasi diameternya dari 0,63 cm menjadi 0,65 cm. Berdasarkan penurunan TPH pada lampiran 4 dapat diketahui bahwa bakteri konsorsium dan tanaman Leuceana Leuchepala mampu menjalankan hubungan sinergi dalam mendegradasi TPH yang terkandung didalam tanah terkontaminasi minyak bumi. 3.2 Penentuan Konstanta Laju Degragasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi Konstanta laju degradasi tanah terkontaminasi minyak bumi di tentukan dengan metode integral. Untuk metode integral, persamaan yang digunakan yaitu :

Gambar 6. Penurunan Nilai TPH Minyak Bumi Setelah proses bioremediasi Pada Gambar 6, Nilai TPH mengalami penurunan dari TPH awal dari 5,8835 % menjadi 3,3044 % selama 8 minggu. Penurunan nilai TPH disebabkan adanya proses degradasi yang dilakukan oleh mikroba, jenis senyawa karbon degradasi dan jenis tanaman yang digunakan. Faktor - Faktor yang mempengaruhi kecepatan proses bioremediasi adalah kondisi pH dan kelembaban dapat mempengaruhi proses degradasi ((Dibble & Bartha (1979), optimal pH 7 dan kelembaban 40%). Kelembaban tanah diperlukan untuk menjaga sistem transpot nutrien ke bakteri agar dapat berjalan dengan baik, namun kelembaban yang terlalu tinggi akan mengurangi porositas tanah sehingga penetrasi oksigen dari udara ke dalam tanah akan menjadi berkurang dan menyebabkan kondisi anaerobik yang dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan bakteri aerobik. Meningkatnya kelembaban juga akan mengurangi oksigen yang menyebabkan kematian bakteri, padahal oksigen sangat dibutuhkan oleh bakteri untuk metabolisme. Pada percobaan ini tidak dapat menghasilkan kelembaban yang

% TPH

1 1 2 = 2 kt + 2 [Ct ] [Co]

slude minyak bumi dari 5,8835% hingga mencapai TPH sebesar 3,30% dengan waktu inkubasi selama 8 minggu. 2. Konstanta kinetika reaksi degradasi minyak bumi adalah 0,008 dengan (t) 39,37 minggu. Berdasarkan persamaan laju degradasi, dapat di prediksi proses bioremediasi untuk mencapai TPH < 1 % diperlukan waktu selama 39,37 minggu. 4.2 Saran
10

Berdasarkan data yang didapat (Lampiran 4) maka diperoleh grafik sebagai berikut :
0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0

y = 0.0081x + 0.0301 R = 0.9853 5 Minggu

Gambar 7.Grafik untuk menentukan konstanta degradasi dengan metode integral Gambar 7 di dapat nilai koefisien korelasi r hampir mendekati 1 dengan nilai r = 0,985 dengan persamaan garis y = 0,008x + 0,030. Berdasarkan rumus persamaan metode integral untuk kinetika reaksi diatas, dapat diperoleh penurunan rumus untuk konstanta reaksi sebagai berikut : k = a Dimana k adalah kinetika reaksi, sedangkan a adalah slope, sehingga didapatkan konstanta laju degrasi sebesar 0,008. Data selengkapnya dapat dilihat di lampiran 5. Berdasarkan data metode integral, persyaratan tanah terkontaminasi minyak bumi dengan nilai TPH < 1% yang mengacu pada keputusan menteri lingkungan hidup No.128 dapat dicapai selama 39,37 minggu seperti pada lampiran 5. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan 1. Sinergi antara bakteri konsorsium dan tanaman Leuceana leuchepala pada aplikasi di lapangan mampu mendegradasi

Untuk meningkatkan laju degradasi limbah minyak bumi yang lebih tinggi, perlu dilakukan kontrol terhadap kelembaban tanah agar tetap terjaga pada kondisi 40% yaitu dengan membuat saluran drainase yang lebih baik. Perlu dikaji laju pertumbuhan tanaman legung terhadap penurunan kadar TPH pada tanah olahan dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variasi yang lebih banyak agar nilai % TPH minimum < 1% sesuai dengan keputusan Menteri Negara Lingkungsn Hidup no.128 tahun 2003. DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1999. Biodegradation and bioremediation, 2nd edn. Academic Press. london. Dibble, J. T & Bartha, R. 1979. Effect of Enviromental Parameters on the Biodegradation of oil sludge. Journal Appl. Enviroment Microbial. 37: 729-739. Estuningsih, S.P, Bambang,Y, Hary, W,. 2010. Pemanfaatan Rumput Fimbrisylis sp. dalam Proses Bioremediasi Tanah pada Berbagai Konsentrasi Limbah Minyak Bumi. Jurnal Matematika dan Sains. FMIPA Universitas Sriwijaya, Indralaya. Vol. 14 Nomer I (D) 14113.5 hlmn.

Greene, E. A., Kay, J. G., Jaber, K., Stehmeier, G., & Voordouw, G. 2000. Composition of soil microbial communities enriched on a mixture of aromatic hydrocarbons. Applied and Environmental Microbiology, 66(12), 5282-5289. Haryani, E.B.S. 2005. Pencemaran Minyak di Laut dan Tuntutan Ganti Kerugian. Makalah Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Yeung, P.Y. 1997. Biodegradation and Bioremediation: Biodegradation of Petroleum Hydrocarbons in Soils as Affected by Heating and Forced Aeration. J. Environ. Qual. 26.1511. Yudono, B. 2011. Sinergi Bakteri Tanah dan Tanaman Pada Proses Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi. Disertasi. Universitas Sriwijaya. Palembang: i + 156 hlm.

Nurjayanti. S., 2011. Kinetika Degradasi Tanah Terkontaminasi LimbahMinyak Bumi (Sludge) Dengan Metode Fitoremediasi Menggunakan Beberapa Jenis Leguminoceae. Universitas Sriwijaya. Inderalaya. Mathew, M., & Obbard, J. P. 2006. Optimisation of the dehydrogenase assay for measurement of indigenous microbial activity in beach sediments contaminated with petroleum. Biotechnology Letters, 23(3), 227-230. Rahayu, Mulyanti. 2011. Kinetika Degradasi Tanah Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi (Sludge) Dengan Metode Fitoremmediasi Menggunakan Beberapa Jenis Leguminoceae. Skripsi. Universitas Sriwijaya. Indralaya.

Rahmah.2011.Kinetika Degradasi Tanah Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi Dengan Proses Bioremediasi Menggunakan Sinergi Antara Bakteri Konsorsium,Rumput dan Legum.Universitas Sriwijaya.Inderalaya.

diffraktogramnya memiliki puncak yang khas untuk menunjukkan adanya WO3 dan TiO2. Diffraktogram padatan WO3-TiO2 20% dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 3. Diffraktogram XRD dari komposit (a) WO3-TiO2 10%, (b) WO3, dan (c) TiO2 Semakin banyak komposisi WO3 yang ditambahkan ke padatan TiO2 maka akan semakin banyak WO3 yang terdispersi. Keadaan seperti ini disebabkan oleh semakin banyaknya partikel WO3 yang berada pada campuran, sehingga untuk terdispersinya padatan WO3 terhadap TiO2 semakin tinggi insensitasnya (dapat dilihat pada gambar 4 dan 5). Diffraktogram padatan WO3-TiO2 15% memiliki lebih banyak diffraktogram khas yang mewakili WO3. Hal ini menjelaskan bahwa WO3 terdispersi dengan perbandingan berat 15% (gambar 4). Gambar 9. Diffraktogram XRD dari komposit (a) WO3-TiO2 20%, (b) WO3, dan (c) TiO2 Sudut 2 ke lima jenis komposit akan semakin terlihat adanya WO3 dengan semakin banyaknya padatan WO3 yang diimpregnasi ke dalam TiO2. Sedangkan pada komposisi 15% dan 20% memiliki persamaan sudut 2 khas WO3 yang disebabkan oleh adanya batasan banyaknya WO3 yang dapat didispersikan terhadap TiO2. 3.2 Isoterm Adsorpsi Data hasil pengukuran isoterm adsorpsi dan desorpsi pada komposit WO3TiO2 yang digambarkan pada gambar 6. Berdasarkan klasifikasi BDDT, isoterm adsorpsi gas N2 pada komposit WO3-TiO2 secara keseluruhan memiliki bentuk grafik yang lebih cendrung kearah grafik isoterm tipe II (Lowell, S & Shield, J.E., 1984). Pemilihan grafik isoterm tipe (II) dikarenakan karena pada p/po alat tidak sanggup untuk mencapai 0 atm, sehingga pada tekanan 0 atm dianggap memiliki lekukan seperti tipe II. Variasi komposit memiliki tipe isoterm yang sama, yang dikarenakan oleh ketidakadanya perubahan sifat dari TiO2 sehingga masih memiliki sifat kinerja komposit yang sama pada tiap variasinya.

Gambar 8. Diffraktogram XRD dari komposit (a) WO3-TiO2 15%, (b) WO3, dan (c) TiO2 Diffraktogram padatan WO3-TiO2 20% dapat dilihat pada gambar 5. Pada diffraktogram di bawah dapat menjelaskan bahwa WO3 juga terdispersi dengan padatan TiO2, ditunjukkan oleh pada

9
20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0

WO3 WO3-TiO2 5% WO3-TiO2 20%

TiO2 WO3-TiO2 10%

WO3-TiO2 2,5% WO3-TiO2 15%

Volume (cc/gr)

0.2

0.4

0.6

0.8

1.2

Relative Presure (P/Po)

Gambar 6. Grafik Isoterm adsorpsi-desorpsi dari WO3, TiO2, dan komposit WO3-TiO2 pada beberapa variasi berat WO3. permukaan spesifik yang paling kecil yaitu Kemiringan yang tajam di daerah tekanan 2,95 m2/g. relatif (P/Po) tinggi menunjukkan bahwa Kinerja suatu komposit sangat komposit bersifat mesopori sesuai dengan dipengaruhi oleh luas permukaan spesifik, bentuk grafiknya yang mengarah pada dimana semakin besar luas permukaan grafik tipe II yang spesifik untuk padatan spesifik suatu komposit maka kinerja mesopori. Pori pada sampel ini memiliki komposit tersebut akan semakin optimum. Data pada gambar 7menunjukkan bahwa jari-jari pori lebih besar dari 20 -500 . komposit WO3-TiO2 pada berat 2,5% dan 3.2 Pengaruh Berat WO3 Terhadap 15% memiliki penurunan luas permukaan Luas Permukaan, Volume Total spesifik yang terendah yang menunjukkan Pori, Jari-jari Pori Rata-rata bahwa pada kelima variasi komposit luas Komposit WO3-TiO2 permukaan terbesar dimiliki oleh kedua 3.3.1 Luas Permukaan Spesifik padatan tersebut, sehingga pada Hasil pengukuran terhadap luas karakterisasi luas permukaan dapat dipilih permukaan spesifik (Gambar 7) bahwa komposit WO3-TiO2 dengan berat menunjukkan bahwa TiO2 memiliki luas 2,5% dan 15% dapat bekerja lebih baik. permukaan spesifik yang paling besar yaitu 13,02 m2/g, sedangkan pada komposit WO3-TiO2 5% memiliki luas

10
14 12 Surface Area m2/g 10 8 6 4 2 0 WO3 TiO2 WO3-TiO2 2,5% WO3-TiO2 WO3-TiO2 5% 10% Jenis Padatan WO3-TiO2 15% WO3-TiO2 20% 2.95 9.067 9.686 7.069 9.638 8.779 13.02

Surface area

Gambar 7.

Luas permukaan spesifik dari WO3, TiO2, dan WO3-TiO2 pada beberapa variasi % berat. Gambar 8 menunjukkan bahwa proses impregnasi antara WO3 dan TiO2 mengakibatkan volume total pori menjadi lebih besar, dibandingkan dengan TiO2 selain pada variasi berat 20%. Terjadinya peningkatan volume total pori pada WO3TiO2 ini dikarenakan terbentuknya poripori baru dengan adanya penambahan padatan WO3, sehingga meningkatkan volume total pori komposit WO3-TiO2.
0.1542 Volume pori (cc/g)

3.3.2. Volume Total Pori Data hasil pengukuran volume total pori yang dipaparkan pada gambar 8 menunjukkan bahwa padatan WO3-TiO2 pada variasi berat 5% memiliki volume total pori yang paling besar yakni 0,1542 cc/g, sedangkan pada komposit WO3-TiO2 variasi berat 20% memiliki volume total pori paling kecil yaitu 0,04299 cc/g.
0.18 0.16 0.14 Volume Pori (cc/g) 0.12 0.1 0.08 0.06027 0.06 0.04 0.02 0 WO3 TiO2 WO3-TiO2 2,5% 0.04299 0.06346

0.09351 0.07035 0.04945

WO3-TiO2 5% Jenis Padatan

WO3-TiO2 10%

WO3-TiO2 15%

WO3-TiO2 20%

Gambar 8. Volume total pori dari WO3, TiO2, WO3-TiO2 pada beberapa variasi berat.

11

3.3.3 Jari-jari Pori Rata-rata Hasil pengukuran jari-jari pori ratarata (Gambar 8) menunjukkan bahwa WO3-TiO2, jauh lebih tinggi dari jari-jari pori pada WO3 maupun TiO2, masingmasing sebesar 94,84 dan 92,55 . Di bawah ini dapat dilihat grafik jari-jari pori spesifik dengan jenis padatan. Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa adanya peningkatan jari-jari pori rata-rata dari TiO2, WO3 hingga WO3-TiO2 pada setiap variasi berat. Peningkatan ukuran jari-jari pori rata-rata ini disebabkan oleh pertambahan ukuran pori yang dipacu oleh adanya WO3 yang didispersikan terhadap TiO2. Padatan WO3 berfungsi sebagai penyangga sehingga menyebakan peningkatan jari-jari pori.
1200

Komposit WO3-TiO2 pada variasi berat 5% memiliki jari-jari rata-rata pori yang paling tinggi sebesar 1046 dan tergolong sebagai makropori, sedangkan jari-jari rata-rata pori yang paling kecil dimiliki oleh komposit WO3-TiO2 pada variasi berat 20% tetapi masih tergolong mesopori. Jari-jari rata-rata pori suatu komposit menjadi suatu pertimbangan untuk mendapat katalis yang bekerja optimum. Hasil komposit yang disintesis pada penelitian ini tergolong pada mesopori dan makropori, sehingga bisa dikategorikan sebagai katalis, tetapi dari kedua parameter yang telah dibahas sebelumnya komposit WO3-TiO2 pada variasi berat 2,5% dan 5% masih menjadi pilihan utama, karena memiliki kesetimbangan pada ketiga parameter.
1046 jari-jari pori ()

1000 Jari-Jari Pori Spesifik () 800 600 400 200 0 WO3 TiO2 WO3-TiO2 2,5% WO3-TiO2 5% Jenis Padatan WO3-TiO2 10% WO3-TiO2 15% WO3-TiO2 20% 94.84 92.55 131

264.5 146 112.7

Gambar 9. Jari-jari pori rata-rata dari WO3, TiO2, WO3-TiO2 pada beberapa variasi % berat. 3.4. Keasaman Keasaman padatan WO3-TiO2 ditentukan berdasarkan sifat keasaman permukaan padatan tersebut yaitu keasaman total. Penentuan dilakukan dengan metode gravimetri berdasarkan proses adsorpsi gas ammoniak oleh permukaan padatan WO3-TiO2. Komposit WO3-TiO2 secara umum terjadi karena adanya penggantian situs W+6 dengan muatan yang lebih kecil yaitu situs Ti+4, sehingga mengakibatkan muatan nya menjadi negatif. Oksida yang memiliki muatan negatif tersebut mampu mengikat H+ pada permukaan, dengan adanya penerimaan H+ dari reaktan sehingga komposit yang disintesis tergolong asam Bronsted-Lowry. Secara teori dengan semakin banyaknya +6 pergantian situs W menjadi muatan yang lebih kecil yakni Ti+4, seharusnya keasaman akan lebih meningkat. Kenyataannya bahwa keasaman komposit WO3-TiO2 pada semua variasi berat

12

maksimum pada variasi berat 15% yakni sebasar 1,4734 mmol/g. Berdasarkan pengukuran keasaman menunjukkan bahwa komposit WO3-TiO2 memiliki peningkatan keasaman dibandingkan dengan TiO2 murni. Hasil analisis keasaman komposit ini menjukkan bahwa komposit WO3-TiO2 pada variasi
1.6 1.4 Keasaman mmol/gr 1.2 1 0.8 0.6 0.4124 0.4 0.2 0 WO3 TiO2 1.2545

15% sangat cocok digunakan sebagai katalis asam padat, karena pada parameterparameter yang telah dibahas menunjukkan bahwa komposit ini memiliki luas permukaan yang cukup besar, volume total pori dan jari-jari ratarata pori yang relatif tinggi dan dengan keasaman yang cukup tinggi.
1.4734 Keasaman 1.10712 0.9741 0.9354

0.8253

WO3-TiO2 WO3-TiO2 WO3-TiO2 WO3-TiO2 WO3-TiO2 2,5% 5% 10% 15% 20% Padatan

Gambar 10. Keasaman komposit WO3-TiO2 spesifik, volume total pori, dan jarijari pori rata-rata yang mendukung kinerjanya sebagai katalis. 4.2 Saran Hasil yang diperoleh perlu diuji aktivitas katalitiknya pada berat di bawah 15%, dimana memiliki, volume total pori, jari-jari rata-rata pori, dan keasaman yang relatif lebih tinggi. Perlu dilakukan uji aktivitas katalitik pada reaksi terkatalisis asam seperti reaksi hidrolisis atau reaksi esterifikasi. DAFTAR PUSTAKA Augustine, R.L., 1996, Heterogeneous Catalyst For The Sintetic Chemist, Marcel Dekker, Inc., New York. Barton, David G., Soled, Stuart L., Iglesia, Enrique, 1998, Solid acid catalysts based on supported tungsten o

4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 1. Komposit WO3-TiO2 dapat disintesis dengan berat minimum 5% WO3, sedangkan pada berat 2,5% WO3 belum terlihat adanya WO3, semakin banyak WO3 yang diimpregnasi maka dispersi WO3 lebih banyak yang teridentifikasi diffraktogram. 2. Keasaman Komposit WO3-TiO2 cenderung meningkat dengan semakin banyaknya WO3 terdispersi dan mencapai maksimum pada variasi berat 15%. 3. Komposit WO3-TiO2 15% memiliki porositas lebih baik dari katalis yang lain ditinjau dari luas permukaan

13

xides, Department of Chemical Engineering, University of California at Berkeley, Berkeley. Gunlazuardi, J., 2001, Fotokatalis pada Permukaan TiO2 : Aspek Fundamental dan Aplikasinya, Seminar Nasional Kimia Fisika II, Jakarta, 14&15 Juni 2001. Kirk, R. E. and Othmer, D. F., 1992, Encyclopedia of Chemical Technology, The Interscience Encyclopedia Inc. New York. Leofanti, G., Tozzola, G., Padovan, M., Petrini, G., Bordiga, S. and Zecchina, A. 1997, Catal. Today. 34: 307-327. Leofanti, G., Tozzola, G., Padovan, M., Petrini, G., Bordiga, S. and Zecchina, A. 1997, Catal. Today. 34: 329-352.

Lowell and Shield, 1984, Powder Surface Area and Porousity, Edisi II, Chapman and Hall, 2nd., New York. Oxtoby, D W., Gillis, H P., Nachtrieb Norman H., 1999, Prinsip-prinsip Kimia Modern, Edisi Keempat, Jilid I, Alih Bahasa Sumiar Setiati Achmadi, Ph.D, Erlangga, Jakarta. Taherzadeh, 2007, Advances in Biochemical Engineering/ Biotechnology Biofuels, Springer Science+Business Media : Dordrecht Heidelberg New York. Trisunaryanti, 2001, Selectivity of An Zolite in Catalytic Conversion Proses of Bangkirai, Kruing and Kamper Woods Biofuel to Gasoline Fraction, Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 1, No. 2.

You might also like