You are on page 1of 18

Sepsis Neonatorum

1. Definisi Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian. Tabel 1 Kriteria SIRS Usia Neonatus Usia 0-7 hari >38,5C atau <36,5 C Usia 7-30 hari >38,5C atau <36,5 C > 180/<100 >40 >19,5 atau <5 Suhu Laju Nadi Permenit > 180/<100 Laju Nafas Permenit >50 Jumlah Leukosit x 103/mm3 >34

Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel. Salah satu di antaranya adanya kelainan suhu atau leukosit.

Tabel 2 Kriteria Infeksi, Sepsis, sepsis Berat, Syok Sepsis Kriteria Infeksi Definisi Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab, atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan penunjang lain) Sepsis Syok Sepsis SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka Sepsis dan disfungsi organ kardiovaskular

2. Epidemiologi Angka kejadian sepsis neonatorum di dunia diperkirakan 1-10 kasus per 1000 kelahiran hidup dan 1 per 250 kelahiran prematur. Angka kejadian sepsis

neonatorum di negara maju 1-4 per 1000 kelahiran, di Asia Tenggara berkisar 2,1-16 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk angka kejadian sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia berkisar antara 1,5%-3,72% dengan angka kematian mencapai 37,09%-80%9,10 Keragaman angka kejadian pada masing-masing rumah sakit dapat dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan prenatal, pelaksanaan persalinan, dan kondisi lingkungan di ruang perawatan. Angka sepsis neonatorum meningkat secara bermakna pada bayi dengan berat badan lahir rendah dan bila ada faktor risiko ibu (obstetrik) atau tandatanda korioamnionitis seperti ketuban pecah lama (>18 jam), demam intrapartum ibu(>37,5C), leukositosis ibu (>18.000), pelunakan uterus, dan takikardia janin (>180 kali/menit). Sedangkan faktor risiko host untuk sepsis neonatorum adalah jenis kelamin laki-laki, cacat imun didapat atau kongenital, galaktosemia (Escherichia coli), pemberian besi intramuskular, anomali kongenital (saluran kencing, asplenia, myelomeningokel, saluran sinus), omfalitis, dan kembar (terutama kembar kedua dari janin yang terinfeksi). Prematuritas merupakan faktor risiko baik pada SNAD maupun SNAL.

3. Etiologi Penyebab dari timbulnya sepsis pada neonatus dapat berupa bakteri, virus, jamur, dan protozoa (jarang). Bakteri penyebab SNAD umumnya berasal dari traktus genitalia maternal yang tidak menimbulkan penyakit pada ibu seperti Streptococcus Grup B dan bakteri enterik. SNAL umumnya disebabkan oleh infeksi nosokomial seperti Enterococcus, dan Staphylococcus aureus. Penyebab SNAL lainnya seperti Streptococcus Grup B, E. coli, Listeria monocytogenes, virus herpes simpleks, enterovirus, serta bakteri Staphylococcus coagulase-negatif dan jamur Candida albicans yang menjadi penyebab SNAL tersering pada bayi dengan berat badan lahir rendah.

4. Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal

sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SNAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif. Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%. Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SNAL lebih rendah daripada SNAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SNAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).

5. Patofisiologi Patofisiologi sepsis bayi baru lahir merupakan interaksi respon kompleks antara mikroorganisme patogen dan pejamu. Keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada sepsis melibatkan beberapa komponen, yaitu : bakteri, sitokin, komplemen, sel netrofil, sel endotel, dan mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan gangguan fibrinolisis memegang peran penting dalam patofisiologi sepsis. Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molecular dan seluler untuk menimbulkan respons sepsis tergantung mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapan-tahapan pada respons sepsis sama dan tidak tergantung penyebab. Respons inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian mengaktifasi sel

imun non spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. LPS terikat pada protein pengikat LPS saat di sirkulasi. Kompleks ini mengikat reseptor CD4 makrofag dan monosit yang bersirkulasi. Kompleks lipopolisakarida berinteraksi dengan kelompok molekul yang disebut toll like receptor (TLR). Reseptor TLR menterjemahkan sinyal ke dalam sel dan terjadi aktifasi regulasi protein (nuclear factor kappa /NFkB). Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respons inflamasi dengan pelepasan eksotoksin/superantigen dan komponen antigen sel. Eksotoksin bakteri gram positif juga dapat merangsang proses yang sama. Molekul TLR2 leukosit berperan terhadap pengenalan bakteri gram positif dan TLR4 untuk pengenalan endotoksin bakteri gram negatif. Sitokin proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumour necrosis factor (TNF) , interleukin (IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN) . Peningkatan IL-6 dan IL-8 mencapai kadar puncak 2 jam setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator sekunder (nitricoxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi berbagai tipe sel, memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel Imunoglobulin pertama yang dibentuk fetus sebagai

respons infeksi bakteri intrauterin adalah Ig M dan Ig A. Ig M dibentuk pada usia kehamilan 10 minggu yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat terpapar infeksi selama kehamilan. Peningkatan kadar IgM merupakan indikasi adanya infeksi fetal. Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus yaitu saat bayi dalam kandungan / pranatal, saat persalinan / intranatal, atau setelah lahir / pascanatal.

Gambar 1 Interaksi faktor inisiasi dan mediator proinflamasi host (+) dan antiinflamasi (-) pada infeksi dan proses terjadinya SIRS dan syok sepsis

Paparan infeksi pranatal terjadi secara hematogen dari ibu yang menderita penyakit tertentu, antara lain infeksi virus atau parasit seperti Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes (infeksi TORCH),

ditansmisikan secara hematogen melewati plasental ke fetus. Infeksi transplasenta dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan. Infeksi dapat menyebabkan aborsi spontan lahir mati, penyakit akut selama masa neonatal atau infeksi persisten dengan sekuele. Infeksi bakteri lebih sering di dapat saat intranatal atau pascanatal. Selama dalam kandungan janin terlindung dari bakteri ibu karena adanya cairan dan lapisan amnion. Bila terjadi kerusakan lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi melalui amnionitis. Neonatus terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh aspirasi cairan amnion yang mengandung lekosit maternal dan debris seluler

mikroorganisme, berakibat pneumonia. Paparan bayi terhadap bakteri terjadi pertama kali saat ketuban pecah atau dapat pula saat bayi melalui jalan lahir.

Pada saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke atas sehingga kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi vertikal). Paparan infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan dimasukkan ke dalam kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal sepsis) dengan gejala klinis sepsis, terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah lahir. Infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran biasanya berasal dari lingkungan sekitarnya. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan, saluran cerna, atau melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk sepsis semacam ini dikenal dengan sepsis paparan lambat (late onset of neonatal sepsis). Selain perbedaan dalam waktu paparan kuman, kedua bentuk infeksi ini (early onset dan late onset) sering berbeda dalam jenis kuman penyebab infeksi. Walaupun demikian patogenesis, gejala klinik, dan tata laksana dari kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak berbeda.

Gambar 2 Patofisiologi Sepsis Neonatorum

Faktor risiko terjadinya sepsis pada neonatus dapat berasal dari faktor ibu, bayi dan faktor lain. Faktor risiko ibu: a. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali. b. Infeksi dan demam (> 38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (group B streptococi = GBS), kolonisasi perineal oleh E. Coli, dan komplikasi obstetric lainnya.
9

c. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau d. Kehamilan multipel.

Faktor risiko pada bayi: a. Prematuritas dan berat lahir rendah. b. Resusitasi pada saat kelahiran misal pada bayi yang mengalami fetal distress, dan trauma pada proses persalinan. c. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan. d. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun atau asplenia. e. Asfiksia neonatorum f. Cacat bawaan. g. Tanpa rawat gabung. h. Pemberian nutrisi parenteral. i. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.

Faktor risiko lain: Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan, lebih sering pada bayi kulit hitam daripada bayi kulit putih, lebih sering pada bayi dengan status sosial ekonomi yang rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien.

6. Manifestasi Klinis Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik, berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman. Neonatus dengan sepsis hipertermia, distres pernapasan, apnea, sianosis,

kuning, hepatomegali, hipotermia, anoreksia, letargi, kesulitan minum, muntah, distensi abdomen, dan diare. Tabel 3 Manifestasi klinis sepsis neonatorum. Keadaan umum Demam, hipotermia, tidak merasa baik, tidak mau makan, sklerema

10

Sistem Gastointestinal

Perut kembung, muntah, diare, hepatomegali Apnea, dispnea, takipnea, retraksi, grunting, sianosis Iritabilitas, lesu, tremor, kejang, hiporefleksia, hipotonia, refleks Moro

Sistem Pernapasan

Sistem Saraf Pusat

abnormal, pernapasan tidak teratur, fontanela menonjol, tangisan nada tinggi

Sistem Kardiovaskuler

Pucat, mottling, dingin,kulit lembab, takikardi, hipotensi, bradikardi Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan Oliguria

Sistem Hematologi Sistem Ginjal

Neonatus dengan sepsis bakterialis dapat disertai dengan gejala-gejala nonspesifik atau tanda-tanda fokal infeksi antara lain; temperatur yang tidak stabil, hipotensi, perfusi buruk (pucat dan atau berbercak-bercak), asidosis metabolik, takikardi atau bradikadi, apnoe, distres pernafasan, merintih, sianosis, irritable, letargi, kejang, intoleransi makanan, distensi abdomen, ikterus, petechiae, purpura, dan perdarahan. Manifestasi awal biasanya terbatas pada gejala pada satu sistem organ saja seperti apnoe saja atau takipnu dengan retraksi atau takikardi. Tetapi dapat pula langsung bermanifestasi berat dengan disfungsi multiorgan. Bayi harus dire-evaluasi secara berkala untuk menilai apakah gejala telah berkembang dari ringan menjadi berat. Komplikasi lanjut dari sepsis meliputi gagal nafas, hipertensi pulmonal, gagal jantung, syok, gagal ginjal, disfungsi hepar, udem serebral atau trombosis, perdarahan atau insufisiensi adrenal, disfungsi sum-sum tulang (neutropenia, trombositopenia, anemia), dan DIC.

7. Diagnosis

11

Seorang bayi memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor. Kriteria tersebut yaitu: Tabel 4 Faktor Risiko Sepsis FAKTOR RISIKO MAYOR Ketuban pecah dini >18 jam Demam intrapartum >38 C Korioamnionitis Ketuban berbau Denyut jantung janin >160 x/menit FAKTOR RISIKO MINOR Ketuban pecah dini >12jam Demam intrapartum >37,5 C Skor APGAR rendah BBLSR Usia kehamilan <37 minggu Kembar Keputihan Infeksi Saluran kemih

Sepsis neonatorum didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan disertai dengan pemeriksaan penunjang berupa: a. Laboratorium 1) Darah rutin Darah rutin yaitu jumlah leukosit PMN, jumlah trombosit, dan preparat darah hapus. Pada preparat darah hapus yang perlu diperhatikan adalah jumlah leukosit imatur (neutropenia < 1800/ul) sehingga dapat diperhitungkan rasio netrofil imatur dengan netrofil total. Dimana dikatakan terinfeksi apabila I:T rasio > 0,2. Preparat darah hapus menunjukkan gambaran hemolisis, hipergranulasi, hipersegmentasi, toksik granulasi. Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk mendukung diagnosis neonatus sepsis menurut sistem skor.

Tabel 5 Sistem skor hematologis untuk prediksi sepsis neonaturum (Kriteria Rodwell)

12

Jika jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar sepsis.

2) Kultur Untuk membuktikan adanya sepsis bakterial, organisme harus diisolasi dari kultur darah atau cairan tubuh steril seperti cairan cerebrospinal, cairan sendi, cairan peritoneal dan pleura. Kultur darah merupakan gold standard dalam diagnosis sepsis. Cairan lumbal diperiksa pada neonatus sakit kritis dengan kultur darah positif, gambaran klinik septikemia, sebab meningitis ditemukan pada 1 dari 4 sepsis neonatorum. Hasil kultur positif merupakan tanda definitif terdapatnya bakteri patogen, hasil biakan baru diperoleh minimal 3-5 hari. Kultur dapat negatif disebabkan oleh bakteremia transien, spesimen darah kurang, proses spesimen yang tidak optimal dan antibiotik diberikan intrapartum.

3) C-Reaktif Protein (CRP) Pada proses inflamasi sintesis CRP meningkat dalam waktu 4-6 jam dengan puncaknya 36-50 jam. Kadar CRP cepat menurun setelah sumber infeksi tereliminasi. Kadar normal CRP bayi cukup bulan dan prematur 2-5 mg/L, kadar >10 mg/L berhubungan dengan infeksi-sepsis. Karena protein ini meningkat pada berbagai kerusakan jaringan tubuh maka

13

pemeriksaan ini tidak dapat dipakai sebagai indikator tunggal dalam menegakkan diagnosis sepsis neonatal. Nilainya bermakna apabila dilakukan pemeriksaan serial karena dapat mengevaluasi respon antibiotik, menentukan lamanya pengobatan dan kekambuhan.

4) Prokalsitonin Prokalsitonin dikatakan lebih superior daripada protein fase akut lainnya termasuk CRP, dengan sensitivitas dan spesifisitas berkisar dari 87100%. Selain itu prokalsitonoin juga berguna untuk mengindikasikan keparahan infeksi, memantau kemajuan pengobatan dan memperkirakan hasil keluaran. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan menggunakan immunoluminometric assay (ILMA) dengan 2 antibodi monoklonal.

5) Interleukin Interleukin -6 (IL-6) adalah sitokin pleiotropic yang terlibat dalam berbagai aspek dari sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel, dan fibroblas, setelah stimulasi TNF dan IL-1. Petanda ini mengindukasi sintesis protein fase akut hepatik termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis neonatorum, interleukin-6 meningkat secara cepat. Peningkatan terjadi beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai kadar tidak terdeteksi dalam 24 jam.

b. Gangguan fungsi organ Adanya proses inflamasi sistemik akan mengakibatkan gangguan fungsi organ yang selanjutnya menimbulkan gangguan koagulasi, hipotensi, gangguan perfusi jaringan, dan akhirnya kegagalan fungsi organ serta kematian. Manifestasi klinis gangguan fungsi paru berupa takipnu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. Jika keadaan berat terjadi ARDS (acute respiratory distress syndrome). Pemeriksaan untuk mengetahui fungsi paru adalah Analisis Gas Darah (AGD).

14

Adanya kerusakan hati dapat diketahui dengan peningkatan Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvat Transaminase (SGPT) bilirubin serum, amonia, dan alkali fosfatase. Gangguan fungsi ginjal terjadi karena adanya hipovolemia dan vasodilatasi yang menyebabkan hipoperfusi renal, sehingga

menimbulkan akut tubular nekrosis, uropati obstruktif, nefritis interstisial rabdomiolisis dan glomerulonefritis. Gagal ginjal akut terjadi pada 50% penderita sepsis. Keterlibatan sistem hematologi ditandai dengan adanya anemia, leukopenia dan trombositopenia. Diseminated Inntravascular

Coagulophaty (DIC) menyebabkan terjadinya konsumsi trombosit yang berlebihan. Akibat adanya pembentukan formasi trombus mikrovaskular dan inhibisi dari fibrinolisis menyebabkan semakin banyaknya pelepasan sitokin, molekul adhesi dari sel proinflamasi dari kaskade sepsis. Petanda yang dapat dijumpai adalah kenaikan Prothrombin Time, Partial Thromboplastine Time, D-Dimer dan produk-produk pemecahan fibrinogen.

8. Penatalaksanaan Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidensi sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap ampisilin. Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut. Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi betalaktamase. Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di

15

unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase. Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi (kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik. a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan dini Pada bayi dengan SNAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan Listeria monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SNAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri. b. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan lambat Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga digunakan untuk terapi awal SNAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid,
.

begitu

juga

yang

dapat

menginaktifkan

aminoglikosida lain

Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah

aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif

16

terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin. Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SNAD dan SNAL. Keuntungan utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten

dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida. Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin). Pemberian antibiotik pada SNAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotic. c. Terapi suportif (adjuvant) 1) Immunoglobulin intravena

17

Imunoglobulin intravena saat ini belum dianjurkan untuk pemberian rutin sebagai profilaksis maupun terapi SNAD. Banyak penelitian mengenai hal ini menggunakan jumlah sampel yang kecil dan belum ada sediaan imunoglobulin yang spesifik, beberapa efek samping dan komplikasi telah dilaporkan seperti infeksi, hemolisis, dan supresi kekebalan tubuh pada pemberian imunoglobulin hiperimun. Pada kondisi tertentu seperti sepsis berat atau infeksi berulang pada neonatus kurang bulan, ada penelitian yang menganjurkan pemberian imunoglobulin intravena dengan dosis 5001000 mg/kg/kali setiap dua minggu.

2) Transfusi fresh frozen plasma (FFP) Fresh frozen plasma (FFP) mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-Reactive Protein dan fibronektin. Antibodi bayi baaru lahir terbatas pada spesifikasi yang dihasilkan oleh ibunya, tidak termasuk antibodi protektif terhadap patogen patogen tertentu. FFP mengandung antibodi protektif, namun dalam dosis 10 ml/kg, jumlah antibodi tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian secara kontinu (seperti 10 ml/kg setiap 12 jam), kadar proteksi dapat tercapai.

3) Transfusi sel darah putih Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan infeksi neonatus umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum dianjurkan penggunaannya. Hanya beberapa pusat kesehatan di Amerika Serikat yang mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan transfusi. Transfusi granulosit juga potensial mempunyai komplikasi seperti infeksi dan reaksi transfusi di samping biaya yang tinggi dan teknik pembuatannya yang sulit.

4) Pemberian G-CSF dan GM-CSF Saat ini, banyak peneliti yang mempelajari tentang colony-stimulating factors, yaitu suatu protein spesifik yang penting untuk proliferasi dan

18

diferensiasi progenitor granulosit serta mempengaruhi fungsi granulosit matang. Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut yang banyak diteliti berkaitan dengan infeksi neonatus yaitu granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). Suatu penelitian melaporkan peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit, limfosit, dan trombosit dengan pemberian GMCSF rekombinan pada neonatus yang sepsis. Namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas terapi ini.

5) Transfusi tukar Secara teoretis, transfusi tukar menggunakan whole blood segar pada sepsis neonatorum bertujuan: 1) mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator penyebab sepsis, 2) memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah, dan 3) memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahn neutrofil dan berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor. Transfusi tukar juga memiliki beberapa kelemahan seperti kesulitan teknik pelaksanaan, potensial terjadinya infeksi, dan reaksi transfusi.

6) Kortikosteroid Terapi kortikosteroid intravena pada sepsis neonatorum masih

kontroversial. Walaupun kortikosteroid pernah digunakan sebagai terapi sepsis, namun kemanjurannya masih diragukan, karena pemberiannya berlangsung setelah kaskade mediator inflamasi dimulai.10,28

9. Prognosis Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada

19

SNAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SNAL kira kira 2 %).

20

You might also like