You are on page 1of 31

BAB I PENDAHULUAN

Menurut WHO, demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku dan motivasi. Merosotnya fungsi kognitif ini harus cukup berat sehingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan individu. Demensia adalah suatu kondisi klinis yang perlu didiagnosis dan ditelusuri penyebabnya. Penyebab demensia sangat banyak, namun tampilan gejala klinis umumnya hampir sama.1 Enam puluh persen demensia adalah irreversibel (tidak dapat pulih ke kondisi semula), 25% dapat dikontrol, dan 15% reversibel (dapat pulih kembali). Penyakit penyebab demensia yang dapat diobati harus dapat diidentifikasi dan dikelola sebaik-baiknya. Prevalensi demensia pada populasi lanjut usia (> 65 tahun) berkisar 3-30%. Demensia tipe Alzheimer dilaporkan bertumbuh 2 kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun, yaitu bila prevalensi demensia pada usia 65 tahun 3% maka menjadi 6% pada usia 70 tahun, 12% pada 75 tahun dan 24% pada usia 80 tahun. Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan ada 1 juta orang dengan demensia untuk jumlah lanjut usia 20 juta orang.3 Demensia merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada lanjut usia. Di negara-negara barat, demensia vaskular menduduki urutan kedua terbanyak setelah penyakit Alzheimer. Tetapi karena demensia vaskular merupakan tipe demensia yang terbanyak pada beberapa negara Asia dengan populasi penduduk yang besar maka kemungkinan demensia vaskular ini merupakan tipe demensia yang terbanyak di dunia. demensia vaskular juga merupakan bentuk demensia yang dapat dicegah sehingga mempunyai peranan yang besar dalam menurunkan angka kejadian demensia dan perbaikan kualitas hidup usia lanjut. Dalam arti kata luas, semua demensia yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah serebral dapat disebut sebagai demensia vaskular.3

Diagnosis demensia vaskular ditegakkan melalui dua tahap, pertama menegakkan diagnosis demensia, kedua mencari proses vaskular yang mendasari. Terdapat beberapa kriteria diagnostik untuk menegakkan diagnosis demensia vaskular, yaitu: (i) diagnostic and statictical manual of mental disorders edisi ke empat (DSM-IV), (ii) pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ) III, (iii) international clasification of diseases (ICD-10), (iv) the state of California Alzheimers disease diagnostic and treatment centers (ADDTC), dan (v) national institute of neurological disorders and stroke and the association internationale pour la recherche et lenseignement en neurosciences (NINDSAIREN).1,2,4 Mengingat semakin banyaknya jumlah lanjut usia dan semakin meningkatkan jumlah demensia di seluruh dunia, penting untuk mengetahui demensia ini lebih lanjut.

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN


2.1 Defenisi 5,6 Demensia adalah suatu sindrom penurunan fungsi kognitif yang bermanifestasi sebagai gangguan memori sehingga mengganggu pekerjaannya, aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain disertai dua atau lebih gangguan modalitas kognitif lainnya yaitu orientasi, atensi, berfikir abstrak, fungsi bahasa, fungsi visuospasial, fungsi eksekutif dan aktivitas sehari-hari.5 Demensia merupakan gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak yang tidak berhubungan dengan tingkat kesadaran.6 Tahapan-tahapan pada Demensia 2,13 1. Stadium I / awal : Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang di alami, dan tidak menggangu aktivitas rutin dalam keluarga. 2. Stadium II / pertengahan : Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase demensia. Gejalanya antara lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia). Penderita mudah bingung, penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, Gangguan kemampuan merawat diri yang sangat besar, Gangguan siklus tidur ganguan, Mulai terjadi inkontensia, tidak mengenal anggota keluarganya, tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungan . 3. Stadium III/akhir : Berlangsung 6-12 tahun. Penderita menjadi vegetatif, tidak bergerak dangangguan komunikasi yang parah (membisu), ketidakmampuan untuk mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan mobilisasi dengan hilangnya kemampuan untuk berjalan, kaku otot, gangguan siklus tidur-bangun, dengan peningkatan waktu tidur, tidak bisa

mengendalikan buang air besar/ kecil. Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain dan kematian terjadi akibat infeksi atau trauma. 2.2 Sejarah dan Epidemologi 3,4,7,8,9 Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot. Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian.7 Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul A Unique Illnes involving cerebral cortex pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian meninggal 45 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun.7

Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita Alzheimer Demensia. 4 Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.8,9 Istilah demensia vaskular menggantikan istilah demensia multi infark karena infark multipel bukan satu-satunya penyebab demensia tipe ini. Infark tunggal di lokasi tertentu, episode hipotensi, leukoaraiosis, infark inkomplit dan perdarahan juga dapat menyebabkan kelainan kognitif. Saat ini istilah demensia vaskular digunakan untuk sindrom demensia yang terjadi sebagai konsekuensi dari lesi hipoksia, iskemia atau perdarahan di otak. Prevalensi demensia vaskular bervariasi antar negara, tetapi prevalensi terbesar ditemukan di negara maju. Di Kanada insiden rate pada usia 65 tahun besarnya 2,52 per 1000 sedangkan di Jepang prevalensi demensia vaskular besarnya 4,8%. Prevalensi demensia vaskular akan semakin meningkat dengan meningkatnya usia seseorang, dan lebih sering dijumpai pada laki-laki. Sebuah penelitian di Swedia menunjukkan risiko

terjadinya demensia vaskular pada laki-laki besarnya 34,5% dan perempuan 19,4%. The European Community Concerted Action on Epidemiology and Prevention of Dementia mendapatkan prevalensi berkisar dari 1,5/100 wanita usia 75-79 tahun di Inggris hingga 16,3/100 laki-laki usia di atas 80 tahun di Itali.3

2.3 Etiologi Demensia Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi.13 2.3 Klasifikasi demensia 4 Demensia terbagi atas 2 dimensi yaitu menurut umur dan menurut level kortikal. Menurut umur; terbagi atas: Demensia senilis onset > 65 tahun dan Demensia presenilis < 65 tahun. Menurut level kortikal dibagi menjadi 2 yaitu demensia kortikal dan demensia subkortikal. Demensia kortikal ditandai dengan gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia. Demensia subkortikal ditandai dengan apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak. Klasifikasi lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-anatomisnya (1) Anterior : Frontal premotor cortex yaitu perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat. (2) Posterior: lobus parietal dan temporal yaitu gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik. Bentuk terbanyak dari demensia adalah penyakit Alzheimer dan demensia vaskular.

2.3.A Demensia Alzheimer 1,2,4,6 Alzheimer adalah suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat dibalik, yang dicirikan dengan kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan tentunya fungsi fisik. Oleh karena itu, demensia Alzheimer adalah demensia yang disebabkan oleh Alzheimer, yang berarti demensia yang disertai oleh perubahan patologis di otak penderitanya dengan waktu penyebaran sekitar 5 sampai 20 tahun yang diakhiri dengan kematian. Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara

epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 65 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 65 tahun disebut sebagai late onset.4 Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.4,6 Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer pada kromosom 21, kromosom 14 dan kromosom 1 ditemukan pada 5% pasien. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari apolipoprotein E pada 30% pasien. Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama (first degree relative) mempunyai resiko 2-3 kali menderita penyakit Alzheimer. Walalupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensia tetapi munculnya alel ini merupakan faktor utama penyakit Alzheimer.6 yang mempermudah seseorang menderita

Gambar 2.1 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal.2

Gambar 2.2 Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri. Beberapa serabut neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan tentang adanya kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal.2

Penyebab penyakit Alzheimer sampai saat ini masih belum pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diperkirakan dan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bukti yang sejalan, yaitu: Usia Bertambahnya usia memang menjadi salah satu faktor resiko paling penting seseorang menderita penyakit Alzheimer. Walaupun begitu penyakit Alzheimer ini dapat diderita oleh semua orang pada semua usia. Namun 96% diderita oleh individu yang berusia 40 tahun keatas. Genetik Faktor genetik merupakan faktor resiko penting kedua setelah faktor usia. Individu yang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan penderita beresiko dua kali lipat untuk terkena Alzheimer. Pada penderita early onset umumnya disebabkan oleh faktor turunan. Tetapi secara keseluruhan kasus ini mungkin kurang dari 5% dari semua kasus Alzheimer. Sebagian besar penderita Downs Syndrome memiliki tandatanda neuropatholigic Alzheimer pada usia 40 tahun. Jenis kelamin Berdasarkan jenis kelamin, maka prevalensi wanita yang menderita Alzheimer lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan pria. Hal ini mungkin disebabkan karena usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan dengan pria. Pendidikan Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki faktor pelindung dari resiko menderita Alzheimer, tetapi hanya untuk menunda onset manifestasi klinis. Hal ini disebabkan karena edukasi berhubungan erat dengan intelegensi, oleh karena itu ada juga penderita dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Tetapi beberapa ahli mengatakan bahwa kemampuan linguistik seseorang lebih baik dalam hal menjadi prediktor daripada edukasi. Trauma kepala Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penyakit Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju

yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (2001), membuat 10 gejala penyakit Alzheimer Demensia yang sering muncul. Gejala-gejala tersebut adalah sebagai berikut:1,2 Hilang ingatan Pada awalnya penderita akan mengalami penurunan fungsi kognitif yang dimulai dengan sulit mengingat informasi baru dan mudah melupakan informasi yang baru saja didapat. Semakin lama individu menderita Alzheimer, penurunan fungsi kognitif ini akan semakin parah. Pada gejala ini biasanya juga disertai dengan gejala agnosia, yaitu: kesulitan mengenali orang-orang yang disayanginya, seperti keluarga dan teman. Apraxia Hal ini ditandai dengan penderita sulit mengerjakan tugas yang familiar. Penderita sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas seharihari yang sangat mereka ketahui, contohnya mereka tidak mengetahui langkah-langkah untuk menyiapkan makanan, berpakaian, atau menggunakan perabot rumah tangga. Gangguan bahasa Pada awalnya penderita akan terlihat sulit untuk mencari kata yang tepat dalam mengungkapkan isi pikirannya. Semakin parah penyakitnya, maka ucapan dan/ atau tulisan penderita jadi sulit untuk dimengerti karena penderita menggunakan kalimat dengan substitusi kata-kata yang tidak biasa digunakan. Contohnya: jika penerita sulit menemukan sikat giginya, maka ia akan bertanya "sesuatu untuk mulut saya". Disfungsi visuo-spatial yang ditandai dengan disorientasi waktu dan tempat. Penderita dapat tersesat di jalan dekat rumahnya sendiri, lupa di mana ia berada, bagaimana ia sampai ke tempat tersebut, dan tidak tahu bagaimana caranya kembali ke rumah.

10

Disfungsi eksekutif Hal ini disebabkan karena frontal lobe penderita mengalami gangguan, ditandai dengan: sulit menyelesaikan masalah, reasoning, pembuatan keputusan dan penilaian. Misalnya penderita mengenakan baju tanpa mempertimbangkan cuaca, memakai beberapa kaos di hari yang panas/ memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca dingin.

Bermasalah dengan pemikiran abstrak Menyeimbangkan buku cek dapat menjadi begitu sulit ketika tugas tersebut lebih rumit dari biasanya. Namun demikian, pada penderita, mereka akan benar-benar lupa berapa jumlah atau angkanya, dan apa yang harus mereka lakukan terhadap angka-angka tersebut.

Salah menempatkan segala sesuatu Penderita akan meletakkan segala sesuatu pada tempat yang tidak sewajarnya, contoh: meletakkan gosokan di dalam freezer atau meletakkan jam tangan di dalam mangkuk gula.

Perubahan moody atau tingkah laku Setiap orang dapat menjadi sedih atau moody dari waktu ke waktu, tetapi penderita menampilkan mood yang berubah-ubah dari tenang menjadi ketakutan kemudian menjadi marah secara tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas.

Perubahan kepribadian Merupakan bentuk lanjutan dari perubahan moody, ditandai dengan gejala psikitrik dan perilaku. Penderita dapat sangat berubah, menjadi benarbenar kacau, penuh kecurigaan, cemas, ketakutan atau menjadi bergantung pada anggota keluarga. Menurut Ethical Digest, untuk gejala psikitrik, sekitar 50% penderita mengalami depresi. Selain itu penderita juga sering mengalami delusi paranoid dan terkadang juga mengalami halusinasi (dengar, visual, dan haptic). Sedangkan untuk gangguan perilaku, meliputi agitasi (aktivitas verbal maupun motorik yang berlebihan dan tidak selaras), wandering (mondar-mandir, mencari-cari/ membututi caregiver ke mana pun mereka pergi, berjalan mengelilingi rumah, keluyuran), dan gangguan tidur (berupa disinhibisi, yaitu perilaku

11

yang melanggar norma-norma sosial, yang disebabkan oleh hilangnya fungsi pengendalian diri individu). Kehilangan inisiatif/ apatis Penderita jadi pasif, duduk di depan televisi selama berjam-jam, tidur lebih dari biasanya atau tidak ingin melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.

Berdasarkan National Alzheimer's Association (2003), gejala-gejala Alzheimer di atas dapat dibagi menjadi 3 tahap, sesuai dengan tingkat keparahannya, yaitu:2.4 Gejala ringan, umum terdapat pada penderita early onset, yaitu: sering bingung dan melupakan informasi yang baru dipelajari, disorientasi (tersesat di daerah yang dikenalnya dengan baik), bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin, mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian. Gejala menengah, yaitu: kesulitan dalam mengerjakan aktivitas hidup sehari-hari (makan, mandi), cemas, curiga, agitasi, mengalami gangguan tidur, keluyuran, agnosia. Gejala akut, umum pada penderita late onset, yaitu: kehilangan kemampuan berbicara, hilangnya nafsu makan, menurunnya berat badan, tidak mampu mengontrol otot spinchtes, sangat tergantung pada caregiver atau pengasuh. Patogenesis Penyakit Alzheimer 2,4,6 Sejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu: a. Faktor genetik Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer iniditurunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garispertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderitademensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximallog arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan

12

lokuspada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrom memempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahunterdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer. Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah

monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer. b. Faktor infeksi Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain, manifestasi klinik yang sama, tidak adanya respon imun yang spesifik, adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat, timbulnya gejala mioklonus, adanya gambaran spongioform c. Faktor lingkungan Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan

neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.

13

Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron. d. Faktor imunologis Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas e. Faktor trauma Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles. f. Faktor neurotransmiter Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti asetilkolin, noradrenalin, dopamin, serotonin, MAO (Monoamine Oksidase). 2.3.B Demensia Vaskular 1,2,3,4,7 Demensia vaskular adalah penurunan kognitif dan kemunduran fungsional yangdisebabkan oleh penyakit serebrovaskuler, biasanya stroke hemoragik dan iskemik, jugadisebabkan oleh penyakit substansia alba iskemik atau sekuale dari hipotensi atau hipoksia. Banyak orang lanjut usia dengan penurunan kognitif yang progresif mempunyai vaskular yang patologi dan perubahan yang berhubungan dengan Alzheimer secara bersamaan. Pada pasien ini, terdapat kombinasi patologi penyakit Alzheimer dan vaskular sehingga sukar untuk menentukan penyebab prinsip dari demensia.1,2

14

Demensia vaskular merupakan penyebab demensia yang kedua tertinggi di AmerikaSerikat dan Eropa, tetapi merupakan penyebab utama di beberapa bagian di Asia. Kadar prevalensi demensia vaskular 1,5% di negara Barat dan kurang lebih 2,2% di Jepang. Di Jepang, 50% dari semua jenis demensia pada individu berumur lebih dari 65 tahun adalah demensia vaskular. Di Eropa, demensia vaskular dan demensia kombinasi masing-masing 20% dan 40%dari kasus. Di Amerika Latin, 15% dari semua demensia adalah demensia vaskular. Kadar prevalensi demensia adalah 9 kali lebih besar pada pasien yang telah mengalami stroke berbanding yang terkontrol. Setahun pasca stroke, 25% pasienmengalami demensia awitan baru. Demensia vaskular paling sering pada laki-laki, khususnya pada mereka denganhipertensi yang telah ada sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya. Insiden meningkat sesuai dengan peningkatan umur. 4 Penyebab utama dari demensia vaskular adalah penyakit serebrovaskular yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan terutama mengenai pembuluh darahserebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkimmultipel yang menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark termasuklah oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh sepertikatup jantung. Pada pemeriksaan, ditemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran ruang jantung. 3,4 Patogenesis Demensia Vaskular 4,10,11,12 a) Infark multipel Demensia multi infark merupakan akibat dari infark multipel dan bilateral. Terdapat riwayat satu atau beberapa kali serangan stroke dengan gejala fokal seperti hemiparesis/hemiplegi, afasia, hemianopsia.

Pseudobulbar palsy sering disertai disartria, gangguan berjalan (small step gait), forced laughing/crying, refleks Babinski dan inkontinensia. Computed tomography imaging (CT scan) otak menunjukkan

hipodensitas bilateral disertai atrofi kortikal, kadang-kadang disertai dilatasi ventrikel.

15

b) Infark lakunar Lakunar adalah infark kecil, diameter 2-15 mm, disebabkan kelainan pada small penetrating arteries di daerah diencephalon, batang otak dan sub kortikal akibat dari hipertensi. Pada sepertiga kasus, infark lakunar bersifat asimptomatik. Apabila menimbulkan gejala, dapat terjadi gangguan sensorik, transient ischaemic attack, hemiparesis atau ataksia. Bila jumlah lakunar bertambah maka akan timbul sindrom demensia, sering disertai pseudobulbar palsy. Pada derajat yang berat terjadi lacunar state. CT scan otak menunjukkan hipodensitas multipel dengan ukuran kecil, dapat juga tidak tampak pada CT scan otak karena ukurannya yang kecil atau terletak di daerah batang otak. Magnetic resonance imaging (MRI) otak merupakan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat untuk menunjukkan adanya lakunar terutama di daerah batang otak (pons). c) Infark tunggal di daerah strategis Strategic single infarct dementia merupakan akibat lesi iskemik pada daerah kortikal atau sub kortikal yang mempunyai fungsi penting. Infark girus angularis menimbulkan gejala afasia sensorik, aleksia, agrafia, gangguan memori, disorientasi spasial dan gangguan konstruksi. Infark daerah distribusi arteri serebri posterior menimbulkan gejala amnesia disertai agitasi, halusinasi visual, gangguan visual dan kebingungan. Infark daerah distribusi arteri serebri anterior menimbulkan abulia, afasia motorik dan apraksia. Infark lobus parietalis menimbulkan gangguan kognitif dan tingkah laku yang disebabkan gangguan persepsi spasial. Infark pada daerah distribusi arteri paramedian thalamus menghasilkan thalamic dementia.

16

Gambar 2.3 Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal dari suatu kasus demensia vaskuler. Letak infark lakunar bilateral multiple mengenai thalamus, kapsula interna dan globus pallidus.2 d) Sindrom Binswanger Gambaran klinis sindrom Binswanger menunjukkan demensia progresif dengan riwayat stroke, hipertensi dan kadang-kadang diabetes melitus. Sering disertai gejala pseudobulbar palsy, kelainan piramidal, gangguan berjalan (gait) dan inkontinensia. Terdapat atrofi white matter, pembesaran ventrikel dengan korteks serebral yang normal. Faktor risikonya adalah small artery diseases (hipertensi, angiopati amiloid), kegagalan autoregulasi aliran darah di otak pada usia lanjut, hipoperfusi periventrikel karena kegagalan jantung, aritmia dan hipotensi. e) Angiopati amiloid serebral Terdapat penimbunan amiloid pada tunika media dan adventisia arteriola serebral. Insidensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Kadangkadang terjadi demensia dengan onset mendadak. f) Hipoperfusi Demensia dapat terjadi akibat iskemia otak global karena henti jantung, hipotensi berat, hipoperfusi dengan/tanpa gejala oklusi karotis, kegagalan

17

autoregulasi arteri serebral, kegagalan fungsi pernafasan. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan lesi vaskular di otak yang multiple terutama di daerah white matter. g) Perdarahan Demensia dapat terjadi karena lesi perdarahan seperti hematoma subdural kronik, gejala sisa dari perdarahan sub arachnoid dan hematoma serebral. Hematoma multipel berhubungan dengan angiopati amiloid serebral idiopatik atau herediter. h) Mekanisme lain Mekanisme lain dapat mengakibatkan demensia termasuk kelainan pembuluh darah inflamasi atau non inflamasi (poliartritis nodosa, limfomatoid granulomatosis, giant-cell arteritis, dan sebagainya).

18

Gambar 2.4 Gambaran demensia vaskular.2

Serangan terjadinya demensia vaskular terjadi secara mendadak, dengan didahului oleh transient ischemic attack (TIA) atau stroke, risiko terjadinya demensia vaskular 9 kali pada tahun pertama setelah serangan dan semakin menurun menjadi 2 kali selama 25 tahun kemudian.Adanya riwayat dari faktor risiko penyakit sebero vaskular harus disadari tentang kemungkinan terjadinya demensia vaskular. Gambaran klinik penderita demensia vaskular menunjukkan kombinasi dari gejala fokal neurologik, kelainan neuropsikologik dan gejala neuropsikiatrik. Gejala fokal neurologik dapat berupa gangguan motorik, gangguan sensorik dan hemianopsia. Kelainan neuropsikologik berupa gangguan memori disertai dua atau lebih kelainan kognitif lain seperti atensi, bahasa, visuospasial dan fungsi eksekutif. Gejala neuropsikiatrik sering terjadi pada

19

demensia vaskular, dapat berupa perubahan kepribadian (paling sering), depresi, mood labil, delusion, apati, abulia, tidak adanya spontanitas. Depresi berat terjadi pada 25-50% pasien dan lebih dari 60% mengalami sindrom depresi dengan gejala paling sering yaitu kesedihan, ansietas, retardasi psikomotor atau keluhan somatik. Psikosis dengan ide-ide seperti waham terjadi pada } 50%, termasuk pikiran curiga, sindrom Capgras. Waham paling sering terjadi pada lesi yang melibatkan struktur temporoparietal.3 Secara umum faktor risiko demensia vaskular sama seperti faktor risiko stroke meliputi: usia, hipertensi, diabetes melitus, aterosklerosis, penyakit jantung, penyakit arteri perifer, plak pada arteri karotis interna, alkohol, merokok, ras dan pendidikan rendah. Berbagai studi prospektif menunjukkan risiko vaskular seperti hipertensi, diabetes, hiperkolestrolemia merupakan faktor risiko terjadinya demensia vaskular. Studi Kohort di Kanada menujukkan, penderita diabetes risiko mengalami demensia vaskular 2,15 kali lebih besar, penderita hipertensi 2,05 kali lebih besar, penderita kelainan jantung 2,52 kali lebih besar. Sedangkan mereka yang makan kerang-kerangan (shellfish) dan berolahraga secara demensia vaskular.3

2.4 Diagnosis Demensia Dianostik DSM IV menggunakan kriteria: a) Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh gangguan memori dan satu atau lebih dari gangguan kognitif berikut ini: (i) afasia (gangguan berbahasa), (ii) apraksia (gangguan kemampuan untuk mengerjakan aktivitas motorik, sementara fungsi motorik normal), (iii) agnosia (tidak dapat mengenal atau mengidentifikasikan benda walaupaun fungsi sensoriknya normal), dan (iv) gangguan dalam fungsi eksekutif (merancang, mengorganisasikan, daya abstraksi, membuat urutan). b) Defisit kognitif pada kriteria (a) yang menyebabkan gangguan fungsi sosial dan okupasional yang jelas. c) Tanda dan gejala neurologik fokal (reflex fisiologik meningkat, refleks patologik positif, paralisis pseudobulbar, gangguan langkah, kelumpuhan anggota gerak) atau bukti laboratorium dan radiologik yang membuktikan

20

adanya gangguan peredaran darah otak (GPDO), misal infark multipleks yang melibatkan korteks dan subkorteks, yang dapat menjelaskan kaitannya dengan munculnya gangguan. d) Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.

Anamnesis Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. 1. Pada penderita demensia, lupa menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas. 2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat penderita demensia berada. 3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mangulang kata atau cerita yang sama berkali- kali. 4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis yang berlebihan saat melihat sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang di lakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul. 5. Adanya perubahan tingkah laku seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.

Pemeriksaan demensia. Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain : 1. Riwayat medik umum Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidisme, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular.

21

a) Riwayat neurologi umum Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif. b) Riwayat neurobehavioral Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis

demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan. a) Riwayat psikiatrik Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia. b) Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif. c) Riwayat keluarga Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.

22

2. Pemeriksaan objektif Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan status neurologis, fungsional pemeriksaan dan neuropsikologis, psikiatrik.

pemeriksaan

pemeriksaan

Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari/fungsional dan aspek kognitif lainnya.

Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan

neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut: mampu menyaring secara cepat suatu populasi

mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia. Sebagai awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 24 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi.

23

Tabel 2.1 Mini Mental State Examination (MMSE)

No.

Pertanyaan

Nilai

Orientasi 1. 2. 3. Sekarang ini (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), (hari) Kita berada di mana? (negara), (propinsi), (kota), (RS), (lt) Sebutkan 3 objek: tiap satu detik, pasien disuruh mengulangi nama ketiga objek tadi. Nilai 1 untuk tiap nama objek yang disebutkan benar. Ulangi lagi sampai pasien menyebut dengan benar: buku, pensil, kertas Pengurangan 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban, atau eja secara terbalik kata B A G U S (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan). Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama objek di atas tadi Pasien disuruh menyebut: pensil, buku Pasien disuruh mengulangi kata: Jika tidak, dan atau tapi Pasien disuruh melakukan perintah: Ambil kertas itu dengan tangan anda, lipatlah menjadi 2, dan letakkan di lantai Pasien disuruh membaca, kemudian melakukan perintah kalimat pejamkan mata Pasien disuruh menulis dengan spontan (terlampir) Pasien disuruh menggambar bentuk 4 4 3

Registrasi

Atensi dan Kalkulasi 4. 5

Mengenal Kembali 5. Bahasa 6. 7. 8. Bahasa 9. 10. 11. 1 1 1 2 1 3 3

TOTAL

30

24

3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat memberi nilai tambah dalam bidang pencegahan, diagnosis, terapi, prognosis dan rehabilitasi. a) Pemeriksaan laboratorium rutin Digunakan untuk menentukan penyebab atau faktor risiko yang mengakibatkan timbulnya stroke dan demensia. Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah (LED), kadar glukosa, glycosylated Hb, tes serologi untuk sifilis, HIV, kolesterol, trigliserida, fungsi tiroid, profil koagulasi, kadar asam urat, lupus antikoagulan, antibodi

antikardiolipin dan lain sebagainya yang dianggap perlu. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat. b) Imaging Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia. Dengan adanya fasilitas pemeriksaan CT scan otak atau MRI dapat dipastikan adanya perdarahan atau infark (tunggal atau multipel), besar serta lokasinya. Juga dapat disingkirkan kemungkinan gangguan struktur lain yang dapat memberikan gambaran mirip dengan demensia vaskular, misalnya neoplasma. c) Pemeriksaan EEG Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.

25

d) Pemeriksaan cairan otak (lumbal pungsi) Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan. e) Pemeriksaan genetika Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat. Membedakan Demensia vaskular dari penyakit Alzheimer 3 Membedakan kedua jenis demensia ini tidak selalu mudah. Looi et al. mendapatkan bahwa pasien demensia vaskular relatif memiliki memori verbal jangka panjang yang lebih baik tetapi fungsi eksekutif lobus frontal lebih buruk dibandingkan pasien dengan demensia Alzheimer. Dapat pula digunakan sistem skor misalnya skor iskemik Hachinski dan skor demensia oleh Loeb dan Gondolfo. Diakui bahwa sistem skor ini belum memadai, masih mungkin terjadi kesalahan dan cara ini tidak dapat menentukan adanya demensia campuran (vascular dan Alzheimer).

26

Tabel 2.2 skor iskemik Hachinski. Penderita dengan DVa atau demensia multi infark mempunyai skor lebih dari 7, sedang yang skornya kurang dari 4 mungkin menderita Alzheimer 3 Skor Iskemik Hachinski Permulaan mendadak Progresifnya bertahap Perjalanan berfluktuasi Malam hari bengong atau kacau Kepribadian terpelihara Depresi Keluhan somatik Inkontinesia emosional Riwayat hipertensi Riwayat stroke Ada bukti aterosklerosis Keluhan neurologik fokal Tanda neurologik fokal Skor 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2

Tabel 2.3 skor demensia oleh Loeb dan Gondolfo. Bila skornya 0 2, kemungkinan menderita demensia karena penyakit Alzheimer, bila skornya 5 10 maka kemungkinan menderita demensia vaskular. 3 Skor Demensia oleh Loeb dan Gondolfo Skor Mulanya mendadak Permulaannya dengan riwayat stroke Gejala fokal neurologik Keluhan fokal CT scan terdapat: - Daerah hipodens tunggal - Daerah hipodens multiple 2 3 2 1 2 2

27

2.5 Penatalaksanaan Demensia 2,3,6 Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler.3 Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor -2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak.3 Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya pada pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejalagejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan. 2 Terapi Psikososial Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa

28

pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang. Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya.2 Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara berdamai dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat. Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.2

Farmakoterapi Kolinesterase Inhibitor Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik. 2,6,14 Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif. Donezepil dimulai pada dosis 5 mg per hari dan dosis dinaikkan menjadi 10 mg per hari setelah 1 bulan pemakaian. Dosis rivastigmin dinaikkan dari

29

1,5 mg dua kali perhari menjadi 3 mg dua kali perhari, kemudian 4,5 mg dua kali perhari sampai dosis maksimal 6 mg dua kali perhari. Galantamin diberikan dengan dosis awal 4 mg dua kali perhari kemudian 8 mg dua kali perhari dan kemudian 12 mg dua kali perhari. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5-10 mg untuk donezpil, 6-12 mg untuk rivastigmin, 16-24 mg untuk galantamin.6 Perbedaan antara masing-masing obat kolinesterase inhibitor masih belum dapat dibuktikan. Indikasi untuk berpindah dari satu kolinesterase ke kolinesterase yang lain adalah adanya alergi, efek samping yang tidak dapat diatasi, keinginan keluarga dan tidak ada respon pengobatan setelah 6 bulan. Bila akan mengganti obat dianjurkan untuk menghentikan pemakaian selama 3-4 minggu.6

Antioksidan Pemberian vitamin E dapat menghambat progresitas Alzheimer dengan menghambat stress oksidatif dan dapat diberikan sebagai terapi tambahan karena murah dan aman. 6

Memantin Mementin adalah antagonis N-Methyl-D-aspartate yang dapat diberi pada demensia berat dan sedang, dengan efek terapinya melalui glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Bila memantin diberi bersamaan dengan kolinesterase inhibitor didapatkan perbaikan fungsi kognitif.6

30

BAB III KESIMPULAN

Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran. Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimers Diseases) dan demensia vaskular. Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak. Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV. Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Terapi demensia disesuaikan berdasarkan tipe demensianya. Namun, secara umum terapi yang digunakan adalah terapi simptomatik, terapi farmakokinetik dan terapi suportif.

31

You might also like