You are on page 1of 3

ISU KONTEMPORER DALAM ARSITEKTUR INDONESIA

Retnasih S Adiwibowo (27111009) Tugas Mata Kuliah: Isu Kontemporer Dalam Desain (DS 5015) Dalam membicarakan isu kontemporer, perlu kita dapatkan terlebih dahulu pengertian kontemporer itu sendiri. Menurut Kamus Oxford, istilah kontemporer (Contemporary) diartikan sebagai hidup di masa kini (present times). Kata kontemporer sendiri berasal dari kata Latin contemporarius yang terdiri dari con (bersama) dan tempus atau tempor (waktu). Dalam arti desain, kontemporer disebutkan sebagai following modern ideas in design or styles, yang artinya ide atau pikiran yang mengikuti ide atau pikiran modern di dalam suatu desain atau gaya tertentu1. Dari pengertian ini, istilah kontemporer didefinisikan sebagai kekinian yang mengikuti suatu atau banyak buah pikiran yang sudah ada sebelumnya untuk memperbaharui suatu kondisi di dalam masyarakat. Dalam hakikatnya, manusia selalu berkembang, dan menjalani dirinya pada kekinian -nya dengan selalu meninggalkan apa yang sudah lewat, seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai contoh, perkembangan zaman yang beriringan dengan kemajuan teknologi. Bila pada zaman dahulu, manusia hidup dari bertani menanam dan memanen makanan sendiri, sekarang manusia dapat hidup hanya dengan jarinya dengan bantuan komputer dan mesin penunjang lainnya. Kemajuan peradaban membuat, bahkan memaksa, manusia untuk terus berkembang dan beradaptasi dengan lingkungannya. Pada masa beralihnya kehidupan manusia dari agraris menuju industri, terjadi banyak konflik ekonomi-sosial yang mempengaruhi pada banyaknya teori di jaman yang mereka sebut modernisme tersebut. Yang paling terkenal di antaranya adalah paham social darwinism (Herbert Spencer, 1820 1903), dan paham Marxisme oleh Karl Marx (1818 1883)2. Dalam perkembangannya ketika kehidupan sosio - ekonomi tidak lagi dikuasai oleh kelas kelas masyarakat dan mulai berputar dalam dunia modal, teori-teori modernisme mulai dianggap tidak relevan dan mulai bermunculan narasi post-modernisme yang dikatakan oleh Piliang (2010) berupa ketidakpercayaan pada narasi-narasi besar pada masa modernisme dengan segala asumsi universalitas, rasionalitas dan homogenitas, serta kondisi monokultur yang diciptakannya3. Namun menurutnya juga, ideologi-ideologi yang ada pada titik balik modernitas menyebabkan:
kondisi fragmentasi ideologis yang radikal, yang didalamnya proses pencarian fondasi bersama, determinisme atau konsensus ideologis tampaknya mustahil untuk dilakukan, sehingga yang tersisa hanyalah rimba raya ideologi yang di dalamnya setiap orang sibuk dengan membangun tempat berteduhnya masing masing...4

1 2

http://oxforddictionaries.com/definition/contemporary?q=contemporary (16 Februari 2012 pukul 03:04) Widagdo, 2005, Desain dan Kebudayaan, hal. 127. 3 Piliang, Yasraf Amir, 2010, Dunia yang Dilipat, hal. 185. 4 Ibid., hal. 194.

Dengan demikian, isu yang terjadi dalam era sekarang ini (kontemporer) adalah indeterminasi terhadap paham atau ideologis yang membentuk fondasi suatu zaman, yang dengan sendirinya menghilangkan identitas sesungguhnya suatu pola pikir individu, masyarakat, bangsa bahkan secara global. Pluralisme ideologi ini pun diperparah dengan semakin berkembangnya globalisasi yang tidak terarah dan lebih berkiblat pada pemegang modal. Saya memberi contoh pada kondisi arsitektur di Indonesia. Sesungguhnya hingga tahap ini, dunia arsitektur selalu berkiblat kepada kekinian atau yang bisa kita sebut kontemporer. Itu sebabnya mengapa gaya arsitektur selalu berubah-ubah dari dulu hingga sekarang setelah melalui berbagai upaya adaptasi dan akulturasi nilai, agama dan budaya dalam masyarakat. Perubahanperubahan itu dapat dilihat dari sejarah gaya arsitektur, misalnya dari gaya gothik, baroque, art deco, modern, internasional, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, arsitektur Indonesia yang semula arif dan selaras dengan bumi Indonesia dipenetrasi oleh hadirnya kolonialisasi yang menciptakan perpaduan akulturasi Barat dengan Timur. Hal tersebut dapat dilihat pada arsitektur era kolonial Belanda yang sebagian besar memasukkan gaya Barat tetapi dengan penyesuaian terhadap kondisi bumi dan alam Indonesia. Lalu pasca kemerdekaan, arsitektur di Indonesia seolah-olah berkiblat kepada gaya modern Barat, dan melompati identitas hakiki sebenarnya arsitektur Indonesia. Padahal identitas tak boleh hilang, seperti yang dikatakan oleh Manuel Castells (1993): ... local socities,

territorially defined, must preserve their identities, and build on their historical roots, regarless of their economic and functional dependence upon the space of flows.5 Kini, bumi Indonesia, khususnya Jakarta, terbangun gedung-gedung tinggi yang berdiri atas nama modernitas dan globalisasi, dengan menyeluruh menghilangkan kearifan arsitektur zaman nenek moyang yang hidup selaras dengan nilai dan alam. Identitas hanya berupa permukaan saja, dengan mengadopsi neo-vernakularisme pada bangunan publik pemerintah daerah.6 Kondisi ini dipersulit juga dengan suburnya budaya konsumerisme, sehingga yang tercipta adalam bangunan mall yang meraja di Jakarta dan menggeser kebutuhan hakiki manusia yang seharusnya diayomi oleh arsitektur yaitu memberi rumah kepada setiap kegiatan manusia7. Keberadaan mall dan superblok lainnya tanpa adanya fondasi arah perkotaan menjadikan kondisi Jakarta menjadi tidak lagi humanis dan kacau (chaos) secara arsitektural kota. Lebih khusus, Piliang (2010) menyampaikan bahwa shopping mall menjadi suatu fenomena hiper-realitas, di mana realitas perkotaan yang sesungguhnya diambil alih oleh kesemuan komoditi dan segala sesuatu direduksi menjadi

5 6

Martokusumo, Widjaja, 2007, Arsitektur Kontemporer Indonesia, Perjalanan Menuju Pencerahan, hal. 2. Nes, Peter J.M, 2009, Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, hal. 24 7 Mangunwijaya, Y. B.,2009, Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektural, hal. 196

seperangkat tema yang menyenangkan dan menjanjikan yang disepakati bersama 8. Dengan demikian, identitas kota Jakarta yang mencakup seluruh realitasnya dikaburkan dengan keberadaan shopping mall yang berdiri tegap dengan mengatasnamakan globalisasi. Lebih parah, identitas warga Jakarta sebagai individu yang lebih memilih realitas yang disukainya daripada menghadapi realitas sesungguhnya yang penuh konflik yang harus diperbaiki. Kehilangan identitas ini menjadi isu yang terus menjadi perbincangan di dalam batin para pengamat arsitektur Indonesia. DAFTAR PUSTAKA
Istanto, Freddy H., 2000, Pengaruh kebudayaan kontemporer dalam Perancangan Arsitektur Mal, DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 28, No. 1, Juli 2000, Surabaya: Universitas Kristen Petra, hal. 37 43.

Mangunwijaya, Y. B., 2009, Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektural, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Martokusumo, Widjaja, 2007, Arsitektur Kontemporer Indonesia, Perjalanan Menuju Pencerahan. Kajian Arsitektur Moderen, Forum Desain IAI Banten, Pusat Informasi Bangunan (PIB) & Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Banten, Serang. 30 Agustus. (Diunduh dari artikel internet: http://www.ar.itb.ac.id/pa/wp-content/uploads/2009/03/arsitektur-kontemporer-

indonesia-perjalanan-menuju-pencerahan.pdf pada 16 Februari 2012 pukul 03:06)

Nes, Peter J.M., 2009, Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Piliang, Yasraf Amir, 2010, Dunia yang Dilipat, Bandung: Matahari. Widagdo, 2005, Desain dan Kebudayaan, Bandung: Penerbit ITB
http://oxforddictionaries.com/definition/contemporary?q=contemporary (Diunduh pada 16 Februari pukul 03:04)

Piliang, Yasraf Amir, 2010, Dunia yang Dilipat, hal. 168.

You might also like