You are on page 1of 6

TUGAS REVIEW MATA KULIAH ANALISIS KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN Masalah Kebijakan

Dosen: Prof. Hariadi Kartodihardjo

Oleh: 1. Fitri Ariani 2. Anria 3. Meri Mayasari (P052130311) (P052130321) (P052130451)

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

Masalah Kebijakan Masalah merupakan kata yang sering diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pound (1969) dan Dunn (2003) menyatakan bahwa masalah terjadi jika ada perbedaan antara situasi yang dihadapi dan situasi yang diinginkan atau dalam hal tertentu diharapkan terjadi. Perbedaan dalam nilai-nilai, cara pandang, alat untuk memahami fakta, perbedaan penetapan rasionalitas dan kebenaran serta perbedaan diskursus akan membedakan masalah kebijakan yang dihasilkan dari suatu proses pembuatan kebijakan. Primm dan Clark (1996) menunjukkan definisi masalah sebagai sesuatu dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan kita semua, sekedar menggunakan penilaian akal sehat untuk hal-hal tertentu yang dilakukan di berbagai tempat dengan berbagai budayanya. Mendefinisikan masalah kebijakan secara benar merupakan hal yang sangat penting dilakukan agar penelitian lebih lanjut, rekomendasi kebijakan, keputusan, dan tindakan tidak menjadi suatu hal yang sesat dan sia-sia (Brunner 1991). Fakta menunjukkan definisi masalahmasalah yang lemah cenderung terus diciptakan dan bertahan, bahkan ketika sudah ditunjukkan adanya fakta dan argumen bahwa definisi masalah-masalah itu tidak memadai. Hal ini terjadi karena definisi masalah biasanya dikemas dalam konteks kepentingan tertentu. Definisi masalah tidak menggambarkan kemauan untuk memecahkan masalah, sebaliknya masalah didefinisikan dalam kerangka tujuan politik untuk memobilisasi dukungan tertentu. Definisi masalah yang tepat berusaha menghindari suatu perangkap melalui pengumpulan dan analisa berbagai informasi relevan dan membentuk tujuan terukur secara jelas, untuk mendukung kepentingan umum. Wildavsky (1971) menyatakan bahwa konteks sangat penting diperhatikan, karena konteks di mana masalah terjadi, tidak hanya membantu menentukan persepsi pengambil keputusan tentang fakta-fakta dan nilai-nilai, tetapi juga cara mereka berusaha keluar, menerima, dan mengevaluasi informasi. Dengan demikian, meneliti konteks dari sebuah masalah kebijakan dapat meningkatkan kemungkinan tujuan kebijakan akan tercapai. Penetapan definisi masalah kebijakan lebih dari sekedar identifikasi masalah dan deskripsinya. Pada tingkat fungsional, merupakan proses diagnostik untuk mengisolasi penyebab masalah dan menetapkan berbagai solusi yang realistis (Primm dan Clark 1996), dengan pengertian yang layak secara politik. Definisi masalah yang memadai harus memperhitungkan definisi berbagai masalah yang masih ada serta mencari kepentingan-kepentingan bersama di dalam definisi-definisi itu. Penentuan definisi masalah kebijakan yang benar, harus mampu mencirikan masalah kebijakan, antara lain (Dunn 2003): 1) saling ketergantungan dari masalah kebijakan, 2) subjektivitas dari masalah kebijakan, 3) sifat buatan masalah, dan 4) dinamika masalah kebijakan. Perumusan masalah merupakan tahapan analisis kebijakan yang paling penting. Perumusan masalah merupakan sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempengaruhi keberhasilan semua tahapan analisis kebijakan. Analisis kebijakan adalah proses berjenjang dan interaktif dimana metode-metode perumusan masalah harus dilakukan sebelum penentuan metode pemecahan masalahnya (Gambar 1).

Gambar 1. Prioritas Perumusan Masalah dalam Analisis Kebijakan (Dunn 2003). Menurut Jhon Dewey (1910), Masalah yang dinyatakan dengan benar telah menjawab separuh persoalan. Pada kenyataan sehari-hari, masalah-masalah yang terjadi jauh lebih kompleks. Rittel dan Webber (1973) menggambarkan masalah yang salah akan membuat langkah-langkah penyelesaiannya menjadi tidak jelas. Pemecahan terhadap masalah yang keliru, biasanya akan membuat kondisi menjadi lebih buruk. Oleh itu, penting menentukan perumusan masalah yang benar dan penting juga untuk tidak memisahkan nilai atau etika dari fakta dalam proses perumusan masalah. Pada saat proses perumusan masalah tidak menyertakan pertimbangan nilai/etika, maka seorang pengambil keputusan akan memecahkan masalah yang keliru, yaitu kesalahan tipe ke III. Kesalahan tipe ke III terkait dengan proses perumusan masalah, sementara ituseperti telah diketahui pada umumnyakesalahan tipe I dan II terjadi setelah masalah dirumuskan. Banyak peneliti berpendapat bahwa dalam pengambilan keputusan, dimensi spiritual atau etis telah hilang dari paradigma yang berlaku di komunitas akademis maupun bisnis (Mitroff dan Linstone, 1993), dan bahwa pengembangan perspektif etika harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan serta sistem pendukung pengambilan keputusan (decision support system/DSS) di dalam "organisasi belajar" (learning organization) (Courtney, 2001). Mitroff dan Denton menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan saat ini miskin rohani dan banyak masalah berasal dari pemiskinan ini. Dengan demikian, isu-isu etika harus dimasukkan pada awal proses pengambilan keputusan yaitu dalam perumusan masalah. Perumusan masalah adalah langkah paling penting dalam pengambilan keputusan. Kegagalan mempertimbangkan isu-isu

etis selama perumusan masalah mengarah pada terjadinya jenis kesalahan Tipe III, yaitu memecahkan masalah yang salah (Lyles 1981). Salah satu model pengambilan keputusan yang mempertimbangkan aspek moral adalah model intensitas moral Jones. Intensitas moral yang dimaksud oleh Jones merupakan suatu konstruksi yang menangkap sejauh mana kewajiban moral bereaksi terhadap isu dalam suatu situasi tertentu. Desakan moral adalah syarat untuk bertindak secara konsisten berdasarkan kepercayaan moral seseorang. Komponen bagian dari model Jones mencakup: besaran konsekuensi dari suatu konsensus sosial, probabilitas efek/dampak, kedekatan temporal, jarak, dan konsentrasi efek/dampak (Tabel 1). Tabel 1. Komponen Bagian Intensitas Moral
Besaran konsekuensi (magnitude of consequences) Konsensus sosial (social consensus) Ancaman dan manfaat yang terjadi pada korban atau penerima manfaat atas perbuatan moral yang berlangsung Tingkat persetujuan sosial untuk mencapai tujuan kondisi baik atau buruk Peluang kejadian apakah suatu kegiatan benar-benar dilakukan dan dampak negatif atau positif kegiatan itu seperti yang diperkirakan sebelumnya Lama waktu antara saat dimana kegiatan berlangsung dan konsekuensi yang ditimbulkannya Perasaan kedekatan yang dipunyai terhadap terjadinya ancaman atau manfaat dari perbuatan moral yang berlangsung Kelompok pemangku kepentingan yang paling dipengaruhi oleh berlangsungnya kegiatan

Probabilitas pengaruh (probability of effect) Kedekatan temporal (temporal immediacy) Jarak (proximity) Konsentrasi pengaruh (consentration of effect) Sumber: Jones 1991

Sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa intensitas moral secara positif mempengaruhi pengambilan keputusan berbasis etis (Robin dkk, 1996). Intensitas moral berkaitan erat dengan kesadaran tentang apa yang Mitroff dan Denton sebut sebagai "ke-salingterkait-an". Yaitu, apabila para pemangku kepentingan atau kelompok memiliki perasaan hubungan dasar dengan dirinya sendiri secara utuh, orang lain, dan seluruh alam semesta, maka kesempatan perumusan masalah etika yang terjadi akan sangat meningkat. Mitroff mengidentifikasi lima sumber kesalahan Tipe III terjadi berulang-ulang dalam semua konteks (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Sumber Kesalahan Tipe III dan Strategi Pencegahannya


Masalah Mengundang stakeholder yang salah Karakteristik Menyertakan hanya sebagian kecil stakeholders dalam penetapan masalah kebijakan; mengabaikan stakeholders lainnya, terutama reaksi mereka. Strategi Jangan pernah mengambil keputusan penting atau mengambil tindakan penting tanpa menentang paling tidak satu asumsi tentang stakeholder kritis; pertimbangkan paling tidak dua stakeholders yang dapat dan akan menentang keputusan atau tindakan yang akan dilakukan. Jangan pernah menerima formulasi tunggal dari masalah yang sangat penting; sangat vital untuk setidaknya membuat dua rumusan masalah berdasarkan pendekatan dan formulasi yang berbeda. Tidak pernah menghasilkan dan menguji formulasi masalah kecuali yang didasarkan pada variablevariable teknis Selalu memperluas batasan masalah melebihi comfort zone yang biasa dilakukan Tidak pernah memecahkan masalah dengan cara membagi masalah itu kedalam bagian-bagian yang dapat diisolasi secara tersendiri; sebaliknya selalu memecahkan masalah makro dan umum padahal masalah pentingnya sangat dipengaruhi oleh situasi tertentu.

Memilih terlalu sempit opsi-opsi yang mungkin dapat digunakan

Menggunakan pandangan atau cara lama untuk menentukan dan memecahkan masalah; gagal mempertimbangkan pandangan lain tentang masalah kebijakan Menggunakan disiplin, fungsi bisnis dan variable terlalu sempit/ terbatas dalam penetapan masalah Model penetapan masalah tidak bersifat inklusif Hanya terfokus pada satu aspek/bagian dari masalah yang dibicarakan bukan keseluruhannya; terfokus pada aspek yang salah dan tidak melihat hubungan antar aspek serta hubungan antara aspek tertentu dan keseluruhannya

Merumuskan masalah secara tidak tepat

Merumuskan batas-batas masalah dengan sangat sempit Gagal menggunakan cara berfikir secara sistematis

Lima strategi Mitroff untuk mengurangi terjadinya kesalahan Tipe III berasal dari deskripsi Churchman (1971) tentang inquiry system Singerian. Churchman berfokus pada pembuatan keputusan holistik dan menunjukkan sebuah sweeping-in process, yaitu menggunakan berbagai pendekatan untuk mengindentifikasi masalah. Melalui perluasan konteks masalah, Churchman berpendapat bahwa pendekatan yang lebih sistemik untuk membuat keputusan dapat dilakukan dengan, pertama, memperluas jumlah pemangku kepentingan yang terlibat. Kedua, dilakukan dengan tiga hal yang saling terkait, antara lain: 1) memperluas pilihan, 2) penggunaan istilah, dan 3) memperluas ruang lingkup masalah. Ketiga, berpikir secara sistemik. Perumusan masalah yang umum dilakukan saat ini biasanya dimulai dengan melakukan identifikasi kesenjangan (gap) antara keadaan saat ini versus keadaan yang diinginkan. Proses ini biasanya melibatkan analisis kuantitatif terperinci dalam upaya untuk menghasilkan model situasi saat ini sangat tergantung pada perspektif teknis. Pada tahap ini disarankan untuk memperluas proses perumusan masalah dengan mengintegrasikan komponen intensitas moral ke dalam proses. Komponen-komponen ini akan menambah beberapa aspek kuantitatif untuk perumusan masalah, namun bisa juga ditambahkan lebih banyak aspek kualitatif. Diharapkan

bahwa intensitas moral akan menimbulkan faktor-faktor seperti peduli, cinta, tanggung jawab, dan empati di samping efisiensi, biaya, dan manfaat. Selain ilmu ekonomi, teknik, hokum, kelembagaan dan disiplin baru (misalnya, psikologi, teologi, etika) sisi variabel dapat dimasukkan dalam perumusan masalah. Dalam hal ini proses iteratif bolak-balik dapat dilakukan yaitu antara perumusan masalah melalui analisis gap dan penetapan masalah berdasarkan intensitas moral. Dalam kenyataannya diakui bahwa cara menentukan masalah di atas mungkin lebih sulit karena dua alasan. Pertama, kritik umum dari sweeping-in process atau ekspansionisme, yang mana penerapannya memperbesar ruang lingkup masalah dengan ukuran yang bisa tidak terkendali, dengan demikian tidak praktis. Alasan kedua dalam perumusan masalah kebijakan kemungkinan lebih sulit adalah bahwa kita berharap pendekatan ini dapat menetapkan masalah dengan meningkatkan kompleksitas masalah itu sendiri melalui pendekatan ini. Definisi Masalah Lingkungan Hidup Setiap manusia memerlukan sumberdaya untuk hidup mulai dari sumberdaya terbarukan (renewable resources) hingga sumberdaya tak terbarukan (non-renewable resources). Namun, dalam pemenuhan kebutuhannya, manusia memerlukan lebih banyak sumberdaya tak terbarukan dibandingkan sumberdaya terbarukan. Keterbasan pengetahuan dan teknologi menjadi alasan kuat mengapa sumberdaya terbarukan tidak dimanfaatkan secara optimal. Seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, diperlukan jumlah sumberdaya tak terbarukan yang lebih banyak. Oleh karena itu, eksploitasi sumberdaya tak terbarukan dilakukan secara besar-besaran dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia. Hasil eksploitasi sumberdaya tak terbarukan yang dikemudian disebut bahan mentah melalui proses pabrikasi untuk menjadi barang yang memiliki nilai guna bagi manusia. Kegiatan eksploitasi sumberdaya dan pabrikasi bahan mentah menghasilkan residu yang harus diasimilasi oleh lingkungan. Pada ambang batas tertentu, lingkungan masih mampu menerima dan mengelola residu tersebut. Namun, apabila residu yang dihasilkan telah melewati ambang batas asimilasi lingkungan maka akan timbul permasalahan lingkungan seperti pencemaran. Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa penyebab permasalahan lingkungan adalah kebutuhan manusia atas sumberdaya yang terbatas jumlahnya.

You might also like