You are on page 1of 56

ANALISIS BIAYA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION FRAKTUR FEMUR BERDASARKAN UNIT COST DENGAN METODE ACTIVITY BASED

COSTING (Studi Kasus di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta)


PROPOSAL TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister Manajemen Rumah Sakit Pada Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh : VALYANDRA PRASZITA PR 20121030036

PROGRAM STUDI MANAJEMEN RUMAH SAKIT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL TESIS ANALISIS BIAYA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION FRAKTUR FEMUR BERDASARKAN UNIT COST DENGAN METODE ACTIVITY BASED COSTING (Studi Kasus di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta)

Telah disetujui pada tanggal: Juli 2013

Disusun Oleh: Valyandra Praszita PR 20121030036

Dosen Pembimbing

dr. Arlina Dewi, M.Kes

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. 2 DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 5 A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 5 B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 9 C. Pembatasan Masalah ...................................................................................... 9 D. Tujuan Penelitian.......................................................................................... 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 12 A. Telaah Pustaka.............................................................................................. 12 a) Biaya ............................................................................................................. 12 1. 1. 3. Cara Penggolongan Biaya ............................................................................ 13 Definisi ......................................................................................................... 35 Proses Penyembuhan Fraktur ....................................................................... 41 b) Fraktur Tertutup Femur ................................................................................ 35 2. Klasifikasi ..................................................................................................... 36 4. Lama Perawatan Pada Pasien Fraktur .......................................................... 41 c) Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ................................................... 43 1. Definisi ......................................................................................................... 43 2. Prinsip Internal Fixation ............................................................................... 43 3. Alat-Alat ....................................................................................................... 44 4. Deskripsi Prosedur Open Reduction Internal Fixation ................................ 44 5. Indikasi Open Reduction Internal Fixation .................................................. 44 6. Kelebihan dan Kekurangan Open Reduction Internal Fixation ................... 45 B. Keaslian Penelitian ....................................................................................... 46 C. Landasan Teori ............................................................................................. 47 D. Kerangka Konsep ......................................................................................... 47 BAB III METODE PENELITIAN...................................................................... 49 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................... 49

E. Subjek dan Objek Penelitian ........................................................................ 49 F. Definisi Operasional ..................................................................................... 50 G. Instrumen Penelitian ..................................................................................... 51 H. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 51 I. J. Uji Validitas ................................................................................................. 52 Analisa Data ................................................................................................. 52

K. Etika Penelitian............................................................................................. 53 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 54

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Indonesia sedang dan akan menghadapi era globalisasi di bidang kesehatan. Hal ini memunculkan secercah harapan akan peluang (opportunity) dalam mengembangkan pelayanan kesehatan. Terbukanya pasar bebas

memberikan pengaruh yang baik dalam menimbulkan iklim kompetisi. Persaingan antar rumah sakit memberikan perubahan dalam bidang manajemen baik rumah sakit pemerintah, swasta maupun asing. Tujuan akhirnya adalah peningkatan mutu pelayanan. Tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang memadai semakin meningkat turut memberikan warna di era globalisasi dan memacu rumah sakit untuk memberikan layanan terbaiknya agar tidak dimarginalkan oleh masyarakat (Kusnanto, 2004). Berdasarkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN, 2004) dijelaskan bahwa dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya perlu diselenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal ini seiring pula dengan meningkatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu juga semakin meningkat. Salah satu strategi dalam mencapai Indonesia Sehat 2010 adalah dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang

berkualitas sehingga Kementerian Kesehatan memfasilitasi upaya revitalisasi sistem kesehatan dasar dan rujukannya dengan memperluas jaringan yang efektif dan efisien serta peningkatan kualitas pelayanan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Masalah pelayanan kesehatan saat ini adalah tingginya biaya pelayanan kesehatan di Indonesia. Ini adalah masalah yang sangat serius karena dapat membebani masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan sehingga perlu dicari jalan keluarnya. Pelayanan kesehatan masyarakat pada umumnya diselenggarakan oleh pemerintah dan salah satu bentuk pelayanan kesehatan adalah pelayanan di rumah sakit. Rumah sakit berkewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara bermutu, terjangkau, adil dan merata. Demi mewujudkan pelayanan tersebut mengharuskan rumah sakit memenuhi fasilitas pelayanan kesehatan serta sumber daya manusia yang berkualitas. Pelayanan kesehatan yang

diselenggarakan adalah pelayanan yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan sangat strategis dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat pada umumnya (Setiaji, 2006). Rumah sakit sebagai organisasi yang kompleks dan dan merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Rumah sakit terletak dalam posisi yang sulit, di satu pihak dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik sesuai tuntutan masyarakat dan di lain pihak dituntut untuk melakukan efisiensi dalam pelaksanaannya (Ruci, 2011).

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebagai RS non profit berbentuk Persarikatan/Perkumpulan dan memiliki misi (salah satunya) peduli terhadap kaum dhuafa, termasuk RS yang menerima pasien yang berasal dari masyarakat miskin, baik melalui program Jamkesmas maupun diluar Program Jamkesmas. Saat ini RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta belum memiliki tarif berdasarkan diagnosa. Penyusunan tarif berdasarkan diagnosa ini dirasakan perlu untuk dapat melakukan pengendalian biaya kesehatan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi calon pasien dan pihak ke -3 yang ingin bekerjasama dengan RS (mis. Perusahaan Asuransi, perusahaan, dsb.) Femur merupakan bagian dari anggota gerak bawah. Aktivitas seperti berjalan, berlari, melompat dan olahraga sangat bergantung pada peran organ ini. Seseorang akan dapat menjalankan aktivitas kesehariannya dengan baik jika fungsi organ ini juga baik. Apabila terjadi ketidakmampuan atau disabilitas pada fungsi dari femur seperti kasus fraktur, maka dapat dipastikan seseorang akan sulit untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Selanjutnya apabila disabilitas ini berlangsung lama, kualitas hidup seseorang dapat terancam menurun. Oleh karena itu, dalam penatalaksanaan fraktur telah dikembangkan terus-menerus. Berbagai metode pengobatan agar pasien dapat melakukan mobilisasi lebih cepat. Salah satu metode yang terus dikembangkan adalah metode operatif dengan alatalat internal fixation (Wardhana, 2006). Fraktur femur merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan cedera ekstremitas bawah. Kecuali pada fraktur patologis, trauma

langsung yang keras dibutuhkan untuk menyebabkan fraktur ini seperti kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, atau jatuh dari sepeda dan biasanya ditemukan pula trauma pada daerah yang lain. Trauma tidak langsung atau trauma kecil sangat jarang dapat menyebabkan fraktur femur. Hal ni karena keistimewaan tulang femur yang dilindungi oleh otot-otot tebal di sekelilingnya. Oleh sebab itu pula jenis fraktur femur yang sering terjadi biasanya merupakan fraktur tertutup. Komplikasi paling serius dari fraktur ini adalah terjadinya osteonekrosis dan nonunion serta apabila tidak ditangani secara dini dan tepat dapat mengancam jiwa (Wardhana, 2006). Sampai saat ini fraktur femur masih menjadi maslah kesehatan yang serius. Selain karena angka insidennya yang tinggi, biaya perawatan pada pasien fraktur ini juga tidak sedikit. Lebih dari 275.000 kasus fraktur femur terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat dan telah memakan biaya lebih dari 3 milyar dolar amerika (Randy N. Noiser, 1999). Dilihat dari sejarah perkembangannya, perawatan pasien fraktur femur telah mengalami kemajuan pesat. Pada masa lampau pasien fraktur femur hanya dirawat dengan prosedur non-operatif (traksi, cast brace) sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya masih cukup tinggi. Namun dengan dikembangkannya prosedur operatif, angka morbiditas dan mortalitas pada fraktur femur telah mengalami penurunan yang signifikan. Prosedur operatif yang paling banyak dipilih adalah internal fixation. Selain karena masa penyembuhannya yang singkat, prosedur ini juga dinilai noninvasif. Para pakar melaporkan tingginya angka keberhasilan perawatan fraktur

femur dengan prosedur internal fixation. Menurut Robert W. Bucholz dan Robert J. Brumback (1992) bahwa berdasarkan pengalaman dan observasi selama 15 tahun, terbukti bahwa prosedur operatif dengan internal fixation merupakan cara terbaik dalam penanganan fraktur tertutup batang femur. Adapun prosedur external fixation sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Angka kejadian nonunion dan infeksi pada prosedur ini masih tinggi (Wardhana, 2006). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Berapakah unit cost ORIF fraktur femur di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan menggunakan metode activity based costing? 2. Apakah ada perbedaan antara hasil perhitungan unit cost ORIF fraktur femur dengan metode activity based costing dan tarif yang diterapkan di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta? C. Pembatasan Masalah Diagnosa pasien rawat inap dan rawat jalan berdasarkan grouping

diagnosa (Indonesia Diagnosa Related Group/INA-DRG) terdiri dari 1.077 kode diagnosa. Maka penyusunan tarif pelayanan kesehatan (cost of treatment) berdasarkan diagnosa dengan menggunakan Clinical Pathway dibatasi pada diagnosa yang : a. banyak di RS dan b. membutuhkan biaya mahal dan

c. perjalanan penyakit serta hasilnya yang jelas Untuk itu peneliti membatasi satu (1) diagnosa yaitu kelompok diagnosa rawat inap dengan tindakan medis (operasi) dan frekuensi kasusnya di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta terbanyak. Berdasarkan data bagian Rekam Medis RS PKU Muhammdiyah Yogyakarta periode 2008 diketahui bahwa tindakan Bedah Tulang (Ortopedi) di RS tersebut menduduki urutan pertama terbanyak dari semua kelompok tindakan yang ada di RS. Dari 10 besar kasus Bedah Tulang dipilih 1 diagnosa dengan tarif INA-DRG tertinggi yaitu : Fracture of Femur (kode ICD-X : S 72.9). Dan fraktur ini termasuk dalam grouping INA-DRG : 081201 IP Hip & Femur Procedures Except Major Joint.

D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui unit cost ORIF fraktur femur di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan menggunakan metode activity based costing 2. Untuk mengetahui perbedaan antara hasil perhitungan unit cost ORIF fraktur femur dengan metode activity based costing dan tarif yang diterapkan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak pasien masuk ke IBS hingga selesai dilakukan operasi ORIF fraktur femur dan keluar dari IBS. Mengenai biaya yang ditimbulkan di luar IBS sedang diteliti oleh peneliti lain guna mengetahui tarif

paket sesuai clinical pathways dan membandingkan dengan tarif INA-DRGs yang akan diberlakukan dengan sistem BPJS 2014. F. Manfaat Penelitian 1. Untuk Perserikatan Muhammadiyah Sebagai masukan dalam menentukan perencanaan dan pengendalian biaya pelayanan ORIF di Instalasi Bedah Sentral RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta 2. Untuk Manajemen Rumah Sakit Dapat dijadikan untuk bahan kajian dalam melakukan evaluasi terhadap perencanaan lebih lanjut dalam upaya mengevaluasi tarif yang ada serta melakukan efisiensi biaya. 3. Untuk Peneliti Dijadikan bahan pembelajaran dalam memperluas wawasan keilmuan di bidang manajemen rumah sakit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Telaah Pustaka a) Biaya Biaya adalah harga perolehan yang dikorbankan atau digunakan dalam rangka memperoleh penghasilan (revenues) dan akan digunakan sebagai pengurang dari penghasilan (Supriyono, 1999). Menurut Masyhudi (2008), pengertian biaya adalah penggunaan sumber-sumber ekonomi yang diukur dengan satuan uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk objek atau tujuan tertentu. Biaya dapat diklasifikasikan berdasarkan dapat atau tidaknya biaya tersebut diidentifikasikan terhadap objek biaya. Objek biaya yang dimaksud adalah produk, jasa, fasilitas dan lain-lain. Biaya didefinisikan sebagai penggunaan sumber-sumber ekonomi yang diukur dengan satuan uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk obyek atau tujuan tertentu. Biaya dapat diklasifikasikan berdasarkan dapat atau tidaknya biaya tersebut diidentifikasikan terhadap obyek biaya. Obyek yang dimaksud disini adalah produk, jasa, fasilitas dan lain-lain (Masyhudi, 2008), Committee on Cost Consepts and Standarts of the American Accounting Association, memberikan batasan bahwa biaya adalah pengorbanan yang diukur dengan satuan uang, yang dilakukan atau harus dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam Tentative set of board Accounting Prinsiple for Business

Enterprises, biaya dinyatakan sebagai harga penukaran atau pengorbanan yang dilakukan untuk memperoleh suatu manfaat (Kartadinata, 2000), Konsep biaya merupakan konsep yang terpenting dalam akuntansi manajemen dan akuntansi biaya. Adapun tujuan memperoleh informasi biaya yang digunakan untuk proses perencanaan, pengendalian dan pembuatan keputusan (Masyhudi, 2008). Untuk menghasilkan suatu produk (output) diperlukan sejumlah input (faktor produksi). Dalam hal sarana pelayanan kesehatan primer, maka untuk menghasilkan suatu pelayanan kesehatan yang sadar mutu dan sadar biaya dibutuhkan sejumlah input yang dinilai atau dikonversi dalam bentuk uang atau nilai. Output atau produk dapat berupa barang atau jasa. Dalam bidang kesehatan produk yang dihasilkan sebagian besar berupa jasa yaitu jasa pelayanan. Misalnya penyuluhan, pemeriksaan medis, pemeriksaan komponen kebugaran jasmani dan sebagainya. Agar dapat menghasilkan jasa tersebut, maka diperlukan sejumlah input. Input tersebut ada yang langsung digunakan dan dirasakan oleh klien misalnya tenaga medis, alat kesehatan, obat-obatan dan sebagainya, dan ada yang tidak langsung digunakan oleh klien, tetapi sangat dibutuhkan demi kelancaran pelayanan misalnya : gedung, alat tulis kantor, mebel, air, listrik, jejaring pelayanan kesehatan dan sebagainya (Gondodiputro, 2007). 1. Cara Penggolongan Biaya Dalam akuntansi biaya, biaya di golongkan dengan berbagai macam cara. Umumnya penggolongan biaya ini ditentukan atas dasar tujuan yang hendak dicapai dengan penggolongan tersebut, karena dalam akuntansi biaya

dikenal konsep: different cost for different purposes. Biaya dapat digolongkan menurut (Mulyadi, 2007): a. Penggolongan biaya menurut objek pengeluaran Dalam cara penggolaongan ini, nama objek pengeluaran merupakan dasar penggolongan biaya. b. Penggolongan biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan Dalam perusahaan manufaktur, ada tiga fungsi pokok yaitu fungsi produksi, fungsi pemasaran dan fungsi administrasidan umum. c. Penggolongan biaya menurut hubungan biaya dengan suatu yang dibiayai. Sesuatu yang dibiayai dapat berupa produk atau departemen. Dalam hubungannya denga sesuatu yang dibiayai, biaya dapat dikelompokkan menjadi dua golongan: 1. Biaya langsung (direct cost) 2. Biaya tidak langsung (indirect cost) d. Penggolongan biaya menurut perilakunya dalam hubungannya dengan perubahan volume aktivitas. Dalam hubungannya dengan perubahan volume aktivitas, dapat

digolongkan menjadi: 1. Biaya variable Adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Contoh biaya variable adalah biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung.

2. Biaya semivariabel Adalah biaya yang berubah tidak sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Biaya semivariabel mengandung unsur biaya tetap dan unsur biaya variable. 3. Biaya semifixed Adalah biaya yang tetap untuk tingkat volume kegiatan tertentu dan berubh dengan jumlah konstan pada volume produksi tertentu. 4. Biaya tetap Adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisar volume kegiatan tertentu. Contoh biaya tetap adalah gaji pegawai. Biaya tetap adalah biaya yang secara relative tidak dipengaruhi oleh jumlah produk yang di hasilkan (output). Biaya ini tetap harus dikeluarkan terlepas dari persoalan apakah pelayanan yang di berikan atau tidak. Misalnya : a) Biaya menyewa gedung, dimana besarnya tidak berubah meskipun jumlah pasien hanya beberapa saja perhari b) Biaya pendidikan (diklat) dan sebagainya 2. Biaya Langsung dan Biaya Tidak Langsung Menurut Mulyadi, secara umun biaya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar: a. Biaya langsung produk atau jasa, yaitu biaya yang dapat dibebankan secara langsung ke produk atau jasa. Biaya ini dibebankan sebagai kos produk atau

jasa melalui aktivitas yang menghasilkan produk atau jasa yang bersangkutan. b. Biaya tidak langsung produk atau jasa, yaitu biaya yang tidak dapat dibebankan secara langsung ke produk atau jasa. Biaya ini dikelompokkan menjadi dua golongan berikut ini : 1. Biaya langsung aktivitas, yaitu biaya yang dapat dibebankan secara langsung ke aktivitas melalui direct tracing. 2. Biaya tidak langsung aktifitas, yaitu biaya yang tidak dapat dibebankan secara langsung ke aktivitas. Biaya ini dibebankan ke aktivitas melalui salah satu dari dua cara : a) Driver tracing, dibebankan ke aktivitas melalui resource driver, yaitu basis yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara konsumsi sumber daya dengan aktivitas. b) Allocation, dibebankan ke aktivitas melalui basis yang bersifat sembarang. Menurut Lievens (2003), biaya langsung dihitung dengan menelusuri langsung ke objek biaya dan biaya tidak langsung dihitung dengan menelusuri langsung ke objek biaya tetapi secara tidak langsung dengan menggunakan cost driver.

3. Analisis Biaya Analisis biaya adalah suatu kegiatan menghitung biaya untuk berbagai jenis pelayanan yang ditawarkan, baik secara total maupun per pelayanan per klien dengan cara menghitung seluruh biaya pada seluruh unit yang ada dimana biaya yang terdapat pada unit yang tidak menghasilkan produk (pusat biaya) didistribusikan kepada unit-unit yang menghasilkan produk dan menghasilkan pendapatan (Kartadinata, 2000). Tujuan analisis biaya adalah : a. Mendapatkan gambaran mengenai unit/bagian yang merupakan Pusat biaya (Cost center) serta Pusat pendapatan (Revenue center). b. Mendapatkan gambaran biaya pada tiap unit tersebut , baik biaya tetap (Fixed cost) atau biaya investasi yang disetahunkan maupun biaya tidak tetap (Variable cost) atau biaya operasional dan pemeliharaan. c. Mendapatkan gambaran biaya satuan pelayanan si sarana pelayanan kesehatan primer. d. Mendapatkan gambaran tariff dengan menggunakan Break Even Point.

e. Mendapatkan gambaran dan peramalan pendapatan sarana pelayanan


kesehatan primer. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya , maka dalam analisis biaya akan dilakukan kegiatan pendistribusian biaya dari Pusat Biaya ke Pusat Pendapatan.

4. Metode Analisis Biaya (Gani, 1996) a. Simple Distribution Yaitu melakukan distribusi biaya-biaya yag dikeluaran di pusat biaya penunjang, langsung ke berbagai pusat biaya produksi. Distribusi ini dilakukan satu persatu dari masing-masing pusat biaya penunjang. Kelebihan dari cara ini adalah kesederhanaannya sehingga mudah dilakukan. Namun kelemahannya adalah asumsi dukungan fungsional hanya terjadi antara unit penunjang dan unit produksi. b. Step Down Method Untuk mengatasi kelemahan Simple Distribution tersebut, dikembangkan distribusi anak tangga (step down method). Kelebihan metode ini sudah dilakukan distribusi dari unit penunjang ke unit penunjang. Namun distribusiini sebetulnya belum sempurna, karena distribusi ini hanya terjadi satu sepihak. c. Double Distribution Method Metode ini pada tahap pertama melakukan distribusi biaya yang dikeluarkan di unit penunjang lain dan unit produksi. Hasilnya, hasil sebagian unit penunjang didistribusikan ke unit produksi, akan tetapi sebagian masih berada di unit penunjang, yaitu biaya yang diterima dari unit penunjang lain. Biaya yang masih berada di unit penunjang ini dalam tahap selanjutnya didistribusikan ke unit produksi, sehingga tidak ada lagi biaya tersisa di unit penunjang.karena metode ini dilakukan dua kali distribusi biaya, maka

metode tersebut dinamakan distribusi ganda (double distribution method). Metode ini dianggap cukup akurat dan relatif mudah dilaksanakan dan merupakan metodeyang terpilih untuk analisis biaya Puskesmas maupun Rumah Sakit di Indonesia. d. Multiple Distribution Metode ini, distribusi biaya dilakukan secara lengkap, yaitu antara sesama unit penunjang ke unit produksi, dan antara sesama unit produksi. e. Activity Based Costing Method Metode ini merupakan metode terbaik dari berbagai metode analisis biaya yang ada, meskipun pelaksanaannya tidak semudah metode yang lain karena belum semua Rumah Sakit memiliki sistem akuntansi dan keuangan yang terkomputerisasi. f. Metode Real Cost Metode ini sebenarnya mengacu pada konsep ABC dengan berbagai perubahan Karen adanya kendala sistem, karena itu metode ini menggunakan asumsi yang sedikit mungkin. 5. Alat bantu yang dibutuhkan untuk melakukan analisis biaya adalah (Gondodiputro, 2007): a. Informasi mengenai struktur organisasi sarana pelayanan kesehatan primer dan unit-unitnya b. Informasi mengenai unit mana yang menjadi Pusat biaya dan mana yang Pusat Pendapatan

c. Data kepegawaian : Nama pegawai, pendidikan, unit kerja, Jabatan, Masa kerja, Gaji dan insentif d. Data unit kerja pegawai : Nama pegawai, Unit kerja pokok dan % waktu yang digunakan di Unit kerja pokok terseut, Unit kerja lain dan % waktu yang digunakan di Unit kerja lain tersebut e. Data gedung : luas lantai masing-masing unit yang ada, di bangun tahun, masa pakai, masa hidup f. Data inventaris peralatan medis : Jenis alat, Jumlah alat, tahun beli, masa pakai, masa hidup, harga satuan, total biaya g. Data inventaris peralatan non medis : jenis alat, jumlah alat, tahun beli, masa pakai, masa hidup, harga satuan, total biaya h. Data inventaris kendaraan : jenis kendaraan, jumlah kendaraan, tahun beli, masa pakai, masa hidup, harga satuan, total biaya i. Data biaya obat dan bahan medis habis pakai : di unit-unit yang berfungsi sebagai pusat pendapatan j. Data bahan habis pakai nonmedis : di unit-unit baik di pusat biaya maupun pusat pendapatan k. Data biaya pemeliharaan gedung l. Data biaya pemeliharaan peralatan medis m. Data biaya pemeliharaan peralatan nonmedis n. Data biaya umum misalnya telepon,air,listrik, dan lain-lain

6. Tarif dan Analisis Penetapan Tarif Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah perusahaan bersedia memberikan jasa kepada pelanggannya. Sedangkan analisis penetapan tarif adalah kegiatan untuk menetapkan tari yang tepat setelah diperoleh informasi biaya satuan. Sedangkan analisis penetapan tariff pengertiannya sering kali disamakan dengan istilah harga, meskipun kadang beberapa ahli membedakannya. Istilah tarif lebih ditujukan pada biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jasa, sedangkan istilah harga lebih ditujukan untuk biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan barang (Gani, 1996). Tarif menurut Supriyono (1991) adaah Sejumlah moneter yang dibebankan oleh suatu unit usaha kepada pmbeli atau pelanggan atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan. Untuk menentukan tarif, biasanya manajemen mempertimbangkan beberapa faktor yang mempengaruhi baik faktor baya maupun bukan biaya. Menurut Supriyono (1991): a. Biaya, khususnya biaya masa depan. b. Pendapatan yang dihrapkan. c. Jenis produk jasa yang dijual. d. Jenis industri. e. Citra dan kesan masyarakat.

f. Pengaruh pemerintah, khususnya undang-undang, keputusan, dan peraturan g. Kebijakan pemerintah. h. Tindakan atau reaksi para pesaing. i. Tipe pasar yang dihadapi. j. Trend ekonomi. k. Biaya manajemen. l. Tujuan non laba. m. Tanggung jawab social perusahaan. n. Tujuan perusahaan, khususnya laba dan return on investment (ROI) Pengambilan keputusan tentang harga (pricing decision) merupakan keputusan yang akab mempengarihi kinerja suatu perusahaan dalam jangka panjang. Dalam perusahaan banyak faktor yang mempengaruhi kebijakan penetapan harga (princing decision) suatu produk. Faktor tersebut bisa bersifat internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah laba target, situasi pasar dan faktor kos. Sedangkan menurut Hansen & Mowen beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan harga adalah biaya, permintaan pasar, situasi persaingan, jangkauan waktu dan strategi. Dalam pelayanan kesehatan, beberapa faktor yang mempengaruhi tariff pelayanan sangatlah banyak. Beberapa diantaranya adalah a. Jenis produk pelayanan kesehatan yang diberikan b. Motivasi social dan motivasi ekonomi

c. Besarnya biaya satuan (unit cost) yang dibutuhkan d. Besarnya kemampuan untuk membayar atau Ability to Pay (ATP) dan kemauan untuk membayar atau Willingness to Pay (WTP) e. Faktor subsidi f. Faktor profit atau keuntungan yang ingin di peroleh g. Tarif dan pesaing Dalam penentuan tarif atau harga jual produk, manajemen perlu tujuan dari penentuan tarif tersebut. Tujuan itu akan dipergunakan sebagai salah satu pedoman kerja perusahaan. Pada umumnya tujuan tersebut adalah sebagai berikut: a. Bertahan hidup (survival) Tujuan perusahaan menetapkan bertahan hidup sebagai tujuan utamanya, apabila menghadapi kesulitan dalam hal kelebihan kapasitas produksi, persaingan keras, atau perubahan keinginan konsumen. Untuk mempertahankan tetap berjalannya kegiatan produksi, perusahaan harus menetapkan harga yang rendah, dengan harapan akan meningkatkan permintaan. Dalam situasi demikian, laba menjadi kurang penting dibandingkan survival. b. Memaksimalkan laba jangka pendek Perusahaan memperkirakan permintaan akan biaya, dihubungkan dengan harga alternatif dan harga yang akan menghasilkan laba, arus kas, atau tingkat laba investasi maksimal. Dalam semua hal, perusahaan

lebih menitikberatkan pada kemampuan keuangan yang ada dan kurang mempertimbangkan prestasi keuangan jamgka pendek. c. Kepemimpinan mutu produk Perusahaan dapat memutuskan bahwa mereka ingin memiliki produk dengan mutu terbaik di pasar. Keputusan ini biasanya mengharuskan penetapan harga yang tinggi untuk menutup biaya pengendalian mutu produk serta biaya riset dan pengembangan. d. Kepemimpinan pangsa pasar (leader of market share) Sebagian perusahaan ingin mencapai pangsa pasar yang dominan. Mereka yakin bahwa perusahaan dengan market share terbesar e. Tujuan-tujuan lain, misalnya mempertahanan loyalitas pelanggan. Perusahaan mungkin menetapkan harga yang rendah untuk mencegah masuknya perusahaan pesaing atau dapat menetapkan harga yang sama dengan pesaing, dengan tujuan untuk mempertahankan loyalitas pelanggan. Menghindari campur tangan pemerintah, menciptakan daya tarik sebuah produk, dan untuk menarik lebih banyak pelanggan . 7. Sistem Akuntansi Biaya Tradisional (Traditional Costing) Perhitungan biaya produk dalam sistem biaya tradisional menggunakan penggerak aktivitas tingkat unit (unit activity cost drivers). Penggerak aktivitas tingkat unit adalah faktor yang menyebabkan perubahan dalam biaya seiring dengan perubahan jumlah unit yang diproduksi (Hansen, 2006). Contoh penggerk aktivitas tingkat unit yang pada umumna digunakan untuk

membebankan overhead meliputi: unit yang diproduksi, jam tenaga kerja langsung, biaya tenaga kerja langsung, jam mesin, dan biaya bahan baku langsung. Unit activity drivers ini membebankan biaya overhead malalui tariff keseluruhan (Derya, 2005). 8. Activity Based Costing System Sebagai Pengganti Mode Tradisional Metode ABC memandang bahwa biaya overhead dapat diacak dengan secara memadai pada berbagai produk secara individual. Biaya yang ditimbulkan oleh cost driver berdasarkan unit adalah biaya yang dalam metode tradisional disebut sebagai biaya variable. Metode ABC memperbaiki keakuratan perhitungan harga pokok produk dengan mengakui bahwa banyak dari biaya overhead tetap bervariasi dalam proporsi untuk berubah selain berdasarkan volume produksi. Dengan memahami apayang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat dan menurun, biaya tersebut dapat ditelusuri ke masing-masing produk. Hubungan sebab akibat ini memungkinkan manajer untuk memperbaiki ketepatan kalkulasi biaya produk yang dapat secara signifikan memperbaiki pengambilan keputusan (Hansen dan Mowen, 1999). 9. Metode Analisis Biaya dengan Activity Based Costing a) Pengertian Activity-Based Costing Activity based costing adalah sebuah sistem informasi akuntansi yang mengidentifikasi bermacam-macam aktivitas yang dikerjakan di dalam suata organisasi dan mengumpulkan biaya dengan dasar sifat yang ada dari

aktivitas tersebut. Activity based costing dapat disimpulkan sebagai pendekatan penentuan biaya produk atau jasa berdasarkan konsumsi sumber daya yang disebabkan karena aktivitas (Yulianti, 2010). Pada sistem Activity Based Costing informasi mengenai aktivitas dicatat, diukur dan disediakan di dalam data dasar. Aktivitas dapat terjadi pada berbagai organisasi, termasuk organisasi publik. Oleh karena itu sistem ABC dapat diterapkan pada berbagai organisasi termasuk organisasi publik. Sistem ABC tidak hanya terfokus pada perhitungan satuan biaya jasa ataupun produk tetapi memiliki cakupan yang lebih luas yaitu pengurangan biaya yang diperoleh dari pengelolaan aktivitas. Pengelolaan aktivitas akan sejalan dengan pengendalian biaya. Pengurangan biaya pada sistem ABC dapat dilakukan terhadap seluruh biaya yang terjadi, baik pada bagian awal aktivitas, proses produksi maupun pada tahap akhir dari suatu rangkaian aktivitas (Mulyadi, 2007). Data yang tidak akurat dapat menyesatkan dan menghasilkan kesalahan yang berpotensi menghasilkan pengambilan keputusan strategis yang kurang optimal. Secara khusus, studi tentang hierarki kegiatan yang tepat mencerminkan aliran kegiatan untuk objek biaya tertentu sangat penting untuk pilihan yang tepat dari driver dan konfigurasi biaya yag sesuai. Konfigurasi biaya tersebut dapat berguna untuk tujuan yang berbeda di berbagai pengambilan keputusan (Cinquini, 2007). Dengan adanya activity based costing dapat dihitung harga pokok suatu produk atau jasa

yang dapatdigunakan sebagai salah satu alternative untuk penentuan harga jual. Fokus utama activity based costing aadalah aktivitas.

Mengidentifikasi biaya aktivitas dan kemudian ke produk merupakan langkah dalam menyusun activity based costing system (Hansen, Managerial Accounting (Akuntansi Biaya), Buku 1, Edisi 8, 2009). Activity based costing mengakui hubungan sebab akibat atau hubungan langsung antara biaya sumber daya, penggerak biaya, aktivitas, dan objek biaya dalammembebankan biaya pada aktivitas dan kemudian pada objek biaya. Menentukan biaya memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan strategis. ABC sistem menyediakan manajemen biaya yang lebih akurat dan memungkinkan manajer untuk menghitung biaya dengan lebih akurat. Hal ini penting untuk pelaksanaan yang efektif dari sistem ABC (Krishnan, 2006). 10. Syarat Penerapan Sistem Activity-Based Costing Dalam penerapannya, penentuan harga pokok dengan menggunakan ABC system mensyaratkan tiga hal: a. Perusahaan mempunyai tingkat diversitas yang tinggi ABC system mensyaratkan bahwa perusahaan memproduksi beberapa macam produk atau lini produk yang diproses dengan menggunakan fasilitas yang sama. Kondisi yang demikian tentunya akan menimbulkan masalah dalam membebankan biaya ke masing-masing produk.

b. Tingkat persaingan industri yang tinggi Yaitu terdapat beberapa perusahaan yang menghasilkan produk yang sama atau sejenis. Dalam persaingan antar perusahaan yang sejenis tersebut maka perusahaan akan semakin meningkatkan persaingan untuk memperbesar pasarnya. Semakin besar tingkat persaingan maka semakin penting peran informasi tentang harga pokok dalam mendukung pengambilan keputusan manajemen. c. Biaya pengukuran yang rendah Yaitu bahwa biaya yang digunakan sistem ABC untuk menghasilkan informasi biaya yang akurat harus lebih rendah dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh (Supriyono, 1999). 11. Cost Driver Landasan penting untuk menghitung biaya berdasarkan aktivitas adalah dengan mengidentifikasi pemicu biaya atau cost driver untuk setiap aktivitas. Pemahaman yang tidak tepat atas pemicu akan mengakibatkan ketidaktepatan pada pengklasifikasian biaya, sehingga menimbulkan dampak bagi manajemen dalam mengambil keputusan. Jika perusahaan memiliki beberapa jenis produk maka biaya overhead yang terjadi ditimbulkan secara bersamaan oleh seluruh produk. Hal ini menyebabkan jumlah overhead yang ditimbulkan oleh masingmasing jenis produk harus diidentifikasi melalui cost driver.

a)

Pengertian Cost Driver Cost Driver merupakan faktor yang dapat menerangkan konsumsi

biaya-biaya overhead. Faktor ini menunjukkan suatu penyebab utama tingkat aktivitas yang akan menyebabkan biaya dalam aktivitas. Ada dua jenis cost driver, yaitu: a. Cost Driver berdasarkan unit Cost driver berdasarkan unit membebankan biaya overhead pada produk melalui penggunaan tariff overhead tunggal oleh seluruh departemen. b. Cost Driver berdasarkan non unit Cost driver berdasarkan non unit merupakan faktor-faktor penyebab selain unit yang menjelaskan konsumsi overhead. Contoh cost driver yang dibutuhkan berdasarkan unit pada perusahaan jasa adalah luas lantai, jumlah pasien, jumlah kamar yang tersedia. b) Penentuan Cost Driver Yang Tepat Aktivitas yang ada dalam perusahaan sangat komplek dan banyak jumlahya. Oleh karena itu perlu pertimbangan yang matang dalam menentukan penimbul biayanya atau cost driver. a. Penentuan jumlah cost driver yang dibutuhkan Menurut (Fathiya, 2011) cit. Cooper dan Kaplan (1991), penentuan banyaknya cost driver yang dibutuhkan berdasarkan pada keakuratan laporan product cost yang diinginkan dan kompleksitas komposisi output perusahaan. Semakin banyak

cost driver yang digunakan, laporan biaya produksi semakin akurat. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat keakuratan yang diinginkan, semakin banyak cost driver yang dibutuhkan. b. Pemilihan cost driver tepat Dalam pemilihan cost driver yang tepat ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan (Fathiya, 2011 cit. Cooper dan Kaplan, 1991): 1) Kemudian untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam pemilihan cost driver (cost of measurement. Cost driver yang membutuhkan biaya pengukuran lebih

rendah akan dipilih. 2) Korelasi antara konsumsi aktivitas yang diterangkan oleh cost driver terpilih dengan konsumsi aktivitas

sesungguhnya (degree of correlation). Cost driver yang memiliki korelasi tinggi akan dipilih. 3) Perilaku yang disebabkan oleh cost driver terpilih (behavior effect). Cost driver yang menyebabkan perilaku yang diinginkan yang akan dipilih. 12. Tahapan Untuk Menerapkan Sistem ABC Berikut ini merupakan prosedur-prosedur yang perlu dilakukan dalam penerapan activity based costing (Simamora, 2002). a. Prosedur tahap pertama

Pada tahap pertama penentuan harga pokok berdasarkan aktivitas meliputi empat langkah sebagai berikut: 1) Penggolongan berbagai aktivitas 2) Menghubungkan biaya dengan aktivitas 3) Penentuan kelompok-kelompok biaya (cost pools) yang

homogen, dan 4) Penentuan tariff kelompok (pool rate) Pada langkah pertama dalam prosedur tahap pertama ABC adalah penggolongan berbagai aktivitas. Berbagai aktivitas diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yang mempunyai suatu interprestasi fisik yang mudah dan jelas serta cocok dengan segmen-segmen proses produksi yang dapat dikelola. Setelah menggolongkan berbagai aktivitas, maka langkah kedua adalah menghubungkan berbagai biaya dengan setiap aktivitas. Setelah itu, langkah ketiga adalah penentuan kelompok-kelompok biaya yang homogen yang ditentukan. Kelompok biaya homogen (homogenous cost pool) adalah sekumpulan biaya overhead yang terhubungkan secara logis dengan tugas-tugas yang dilaksanakan dan berbagai macam biaya tersebut dapat diterangkan oleh cost driver tunggal. Dengan kata lain suatu kelompok biaya dapat dikatakan homogen apabila aktivitas-aktivitas overhead dapat dihubungkan secara logis dan mempunyai rasio konsumsi yang sama untuk semua produk. Rasio konsumsi yang akan menunjukkan eksistensi dari sebuah cost driver. Cost

driver yang dipilih harus mudah dipahami berhubungan langsung dengan aktivitas yang dikerjakan dan memadai untuk ukuran kinerja. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penentuan cost driver adalah pengidentifikasian aktivitas pada berbagai tingkat. Pada proses ini aktivitas yang luas dikelompokkan ke dalam empat kategori aktivitas, yaitu: 1) Aktivitas-aktivitas tingkat unit (unit level activities) Adalah jenis aktivitas yang dikonsumsi oleh produk/jasa berdasarkan unit yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut. Sebagai contoh adalah aktivitas produksi yang dikonsumsi oleh produk berdasarkan jumlah unit produk yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut. Oleh karena itu, biaya aktivitas produksi dibebankan kepada produk berbasis jumlah unit produk yang dihasilkan, jam mesin, atau jam tenaga kerja langsung. Basis pembebanan biaya aktivitas ke produk yang menggunakan jumlah unit produk, jam mesin, atau jam tenaga kerja langsung disebut unitlevel activity, besar kecilnya aktivitas ini dipengaruhi oleh jumlah unit produk yang diproduksi, untuk masing-masing output yang iproduksi. 2) Aktivitas-aktivitas tingkat batch (bath level activities) Adalah jenis aktivitas yang dikonsumsi oleh produk/jasa berdasarkan jumlah batch produk yang diproduksi. Batch adalah sekelompok produk jasa yang diproduksi dalam satu kali proses. Besar kecilnya aktivitas ini dipengaruhi oleh jumlah batch produk yang diproduksi. 3) Aktivitas-aktivitas tingkat produk (product level activities)

Adalah jenis aktivitas yang dikonsumsi oleh produk atau jasa berdasarkan jenis produk yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut. Aktivitas ini menggunakan input yang bertujuan untuk mengembangkan dan atau memproduksi produk untuk dijual. Biaya dari aktivitas jenis ini cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah produk yang berbeda. Basis pembebanan biaya aktivitas ke produk yang

menggunakan konsumsi waktu untuk mendesain dan mengembangkan produk atau jasa tersebut disebut product related activity. 4) Aktivitas-aktivitas tingkat fasilitas (facility level activity) Adalah jenis aktivitas yang dikonsumsi oleh produk atau jasa berdasarkan fasilitas yang dinikmati oleh produk yang diproduksi. Aktivitas ini tidak berhubungan dengan volume atau bauran produk yang diproduksi dan dimanfaatkan secara bersama oleh berbagai jenis produk yang berbeda. Aktivitas ini memberikan keuntungan bagi organisasi sampai tingkat tertentu, akan tetapi tidak memberikan keuntungan untuk satu spesifik produk. b. Prosedur tahap kedua Didalam tahap yang kedua, biaya-biaya dari setiap overhead pool ditelusuri kembali ke hasil produksi. Ini dilakukan denga mengunakan pool rates yang dihitung dalam tahap pertama dan dengan mengukur jumlah sumber-sumber yang digunakan oleh setiap hasil produksi.

Pengukuran ini hanyalah jumlah dari activity driver yang digunakan oleh setiap hasil produksi. 13. Keunggulan Metode Activity Based Costing Penerapan metode ABC memberikan beberapa keuntungan antara lain (Mulyadi, 2003): a. Meningkatkan kualitas pengambilan keputusan Dengan informasi biaya produk yang lebih teliti, kemungkinan manajer melakukan pengmbilan keputusan yang salah dapat dikurangi. b. Aktivitas perbaikan secara terus menerus untuk mengurangi biaya overhead. Pembebanan overhead harus mencermikan jumlah permintaan overhead (yang dikonsumsi) oleh setiap produk. Metode ABC mengakui bahwa tidah semua overhead bervariasi dengan jumlah unit yang diproduksi. Dengan menggunakan biaya berdasarkan unit dan non unit overhead dapat lebih akurat ditelusuri ke masing-masing produk. c. Memudahkan menemukan relevant cost. Karena metode ABC menyediakan informasi biaya yang relevan yang dihubungkan dengan berbagai kegiatan untuk menghasilkan produk, maka manajemen akan menghasilkan kemudahan dalam memperoleh informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan yang

menyangkut berbagai kegiatan. d. Menyediakan informasi yang berlimpah tentng aktivitas yang digunakan oleh perusahaan untuk menghasilkan produk dan jasa bagi customer.

e. Menyediakan fasilitas untuk menyusun dengan cepat anggaran dengan berbasis activitas (activity based budget). f. Menyediakan informasi biaya untuk memantau implementasi

pengurangan biaya. g. Menyediakan secara akurat dan multidimensi biaya produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan. 14. Kelemahan metode Activity Based Costing Metode ABC memiliki kelemahan diantaranya yaitu (Mulyadi, 2007): a. Pelaksanaan metode ini harus didukung dengan sistem akuntansi yang lebih baik dan menyeluruh dalam suatu organisasi serta komputerisasi data-data. b. Setiap aktivitas dalam suatu pelayanan kesehatan yang seringkali sangat kompleks harus bisa diidentifikasi keterkaitannya serta sumber data atau input yang dipakai. b) Fraktur Tertutup Femur 1. Definisi Definisi fraktur tertutup menurut Wikipedia (2013) yaitu kondisi medis dimana tulang menjadi patah, terpecah atau terbagi menjadi dua sebagai hasil adanya trauma fisik dimana kulit tetap utuh. Sedangkan berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland (1998) femur berarti paha. Femur merupakan tulang tubuh terpanjang, terkuat, dan terberat. Lokasi femur berada pada

segmen proximal ekstremitas bawah yang bermula dari articulatio coxae di sebelah proximal sampai articulatio genu di sebelah distal. 2. Klasifikasi Menurut Choiruddin Rasjad (1998), berdasarkan lokasinya fraktur femur dapat diklasifikasikan menjadi tujuh, yaitu: a. Fraktur Collum Femur Fraktur collum femur sering terjadi pada orang tua, terutama wanita dan disertai tulang yang osteoporosis. Mekanisme trauma pada fraktur ini terjadi karena jatuh dan terpeleset pada daerah trokanter dimana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Bila terjadi fraktur dengan atau tanpa pergeseran, dua dari tiga sumber aliran darah utama kaput femur yaitu pembuluh darah intramedular dan pembuluh darah retinakulum dapat mengalami robekan. Bila tidak segera ditangani hal ini akan menyebabkan nekrosis avaskular kaput femur. Menurut klasifikasi Garden, fraktur collum femur dibagi menjadi empat tipe: a) Tipe I b) Tipe II c) Tipe III d) Tipe IV : fraktur tidak lengkap/impaksi : fraktur lengkap, tanpa pergeseran : fraktur lengkap dengan pergeseran parsial : fraktur dengan pergeseran lengkap

Pada fraktur collum femur, baik pada orang dewasa maupun orang tua hampir selalu dilakukan terapi operatif. Hal ini dikarenakan pada fraktur

collum femur diperlukan reduksi yang akurat dan stabil serta diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah komplikasi. b. Fraktur Trochanter Fraktur trochanter yaitu semua fraktur yang terjadi baik pada trochanter mayor maupun minor. Fraktur ini bersifat ekstra-artikular dan sering terjadi pada usia di atas umur 60 tahun. Mekanisme trauma fraktur ini terjadi karena jatuh dengan trauma langsung pada trochanter mayor atau pada trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trochanter mayor dan minor dimana fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur trochanter diklasifikasikan menjadi empat tipe: a) Tipe I pergeseran b) Tipe II : fraktur melewati trochanter mayor disertai pergeseran : fraktur melewati trochanter mayor dan minor tanpa

trochanter minor c) Tipe III d) Tipe IV : fraktur disertai dengan fraktur kominutif : fraktur yang disertai dengan fraktur spiral femur

Pada fraktur trochanter, terutama pada orang tua sebaiknya dilakukan pemasangan internal fixation dengan tujuan untuk memperoleh fiksasi yang kuat dan memberikan mobilisasi yang cepat. c. Fraktur Sub-Trochanter

Fraktur sub-trochanter dapat terjadi pada setiap umur dan biasanya akibat trauma yang hebat. Dalam The Journal of Bone and Joint Surgery (2006) disebutkan bahwa kasus fraktur sub-trochanter sulit untuk diterapi dengan sukses. Insidensi dari komplikasi mekanis sekitar 20%. Open reduction internal fixation dengan mempergunakan plate dan screw merupakan pengobatan pilihan. d. Fraktur Diaphisis Femur Fraktur diaphisis femur atau sering hanya disebut sebagai fraktur femur, biasanya terjadi karena trauma hebat dan dapat terjadi pada semua umur. Fraktur bentuk spiral terjadi apabila jatuh dalam posisi kaki melekat erat pada dasar dengan disertai putaran yang diteruskan ke femur. Fraktur bentuk transversal dan oblik dapat terjadi pada trauma langsung dan trauma angulasi. Perdarahan yang massif sering terjadi pada fraktur ini dan harus selalu dipikirkan sebagai penyebab syok. Terapi konservatif fraktur diaphisis femur dengan traksi kulit biasanya dilakukan sebelum terapi definitive. Traksi tulang dilakukan apabila fraktur bersifat kominutif dan segmental. Sedangkan cast bracing hanya digunakan jika telah terjadi union secara klinis. Terapi operatif dengan pemasangan plate dan screw terutama dilakukan pada fraktur diaphisis proksimal dan distal femur. e. Fraktur Supracondylus Femur

Fraktur ini terjadi pada daerah antara batas proksimal condylus femur dan batas metaphisis dengan diaphisis femur. Penyebabnya adalah trauma tekanan pada varus atau valgus disertai kekuatan aksisal dan putaran. Fraktur supracondylus femur diklasifikasikan menjadi empat tipe: a) Tipe I b) Tipe II c) Tipe III d) Tipe IV : fraktur tidak bergeser : fraktur impaksi : fraktur bergeser : fraktur kominutif

Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka atau adanya pergeseran fraktur yang tidak dapat direduksi secara konservatif. Alat fiksasi interna yang biasa digunakan adalah nail-plate dan screw. f. Fraktur Supracondylus Femur dan Fraktur Intercondylus Fraktur supracondylus femur sering bersama-sama dengan fraktur intracondylus yang memberikan masalah pengelolaan yang lebih kompleks. Hemartosis yang lebih hebat mungkin ditemukan pada fraktur ini karena adanya fraktur intra-artikular. Menurut (Wardhana, 2006) (Hanson, 2006)cit. Neer, Grantham, dan Shelton (1967), klasifikasi fraktur supracondylus femur dan fraktur intercondylus adalah: a) Tipe I : fraktur supracondylus dan condylus bentuk T

b) Tipe II A : fraktur supracondylus dan kondiler bentuk Y dengan sebagian metaphisis

c) Tipe II B : sama seperti II A dengan metaphisis lebih kecil d) Tipe III : fraktur supracondylus kominutif dengan fraktur

condylus yang tidak total Pengobatan pada fraktur ini sebaiknya dilakukan terapi operatif dengan internal fixation karena fraktur yang bersifat intra-artikular, disamping itu juga dengan tujuan memperoleh posisi anatomis sendi dan dapat segera dilakukan mobilisasi. g. Fraktur Condylus Femur Fraktur condylus femur terjadi akibat trauma pada lutut. Pasien memiliki gambaran klinis berupa nyeri, pembengkakan, dan kadang terdapat krepitasi serta hemarthrosis. Fraktur condylus femur diklasifikasikan menjadi tiga tipe: a) Tipe I b) Tipe II : fraktur condylus dalam posisi sagital : fraktur dalam posisi koronal dengan pergeseran

bagian posterior condylus femur c) Tipe III : fraktur kombinasi antara sagital dan koronal

Terapi operatif dapat dengan mempergunakan screw diindikasikan untuk mendapatkan posisi anatomi sendi lutut dan mobilisasi yang lebih cepat.

3. Proses Penyembuhan Fraktur Menurut Rasjad (2004), proses penyembuhan fraktur merupakan proses biologis alami, tidak peduli apa yang telah dikerjakan dokter pada daerah fraktur tersebut. Proses ini umumnya terjadi melalui empat fase yaitu: a) Fase hematoma Awalnya terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang karena terputusnya pembuluh darah pada tulang periost. Hematom akan menjadi media pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskular. b) Fase jaringan fibrosis Merupakan fase perubahan dari hematom menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya. Jaringan ini menyebabkan fragmen tulang saling menempel. Jaringan tersebut dinamakan kalus fibrosa. c) Fase penyatuan klinis Fase dimana perubahan kalus fibrosa menjadi kalus tulang. d) Fase konsolidasi atau remodeling Merupakan fase terakhir dimana terjadi penggantian kalus tulang menjadi tulang lamellar yang secara histologis sesuai dengan tulang normal. 4. Lama Perawatan Pada Pasien Fraktur Lama perawatan pada pasien fraktur ditentukan oleh ada tidaknya gangguan pada proses penyembuhan fraktur. Pertama, dapat terjadi delayed union atau pertautan lambat yang dengan berlalunya waktu, pertautan akan terjadi. Delayed union dipastikan jika dalam waktu tiga bulan tidak

didapatkan tanda-tanda pertautan. Kedua, dapat terjadi nonunion atau fraktur yang tidak menyambung sama sekali meski ditunggu berapa lama pun. Secara umum, nonunion dipastikan jika dalam enam bulan tidak didapatkan tandatanda pertautan. Gagalnya pertautan mengakibatkan pseudoartrosis atau sendi palsu karena bagian bekas fraktur ini dapat digerakkan seperti sendi. Ketiga, terjadi union tapi dalam posisi yang salah atau disebut malunion (Sjamsuhidajat, 2004). Gangguan penyembuhan juga dapat disebabkan oleh berbagai komplikasi seperti infeksi, cedera vaskular, cedera saraf dan penyulit-penyulit lain. Waktu untuk union pada closed low-energy fractures berkisar antara 10 sampai 14 minggu. Sedangkan pada high-energy fractures biasanya sembuh antara 12 sampai 26 minggu (Roberts, 1977). Mobilisasi dari permulaan pengelolaan menjadi syarat mutlak untuk penyembuhan yang baik dan juga sebagai profilaksis kekakuan sendi. Gerakan aktif oleh penderita menghasilkan peredaran darah oleh kontraksi otot sehingga pertautan berjalan optimal (Sjamsuhidajat, 2004). Oleh karena itu, mobilisasi dini pada pasien fraktur sebaiknya dilakukan sesegera mungkin semenjak menjalani masa perawatan sampai beberapa lama setelah masa perawatan selesai. Menurut American Academy of Orthopedic Surgeons (2005), waktu kesembuhan total pada pasien fraktur femur dan kruris berbeda. Pada fraktur

femur diperlukan waktu minimal enam bulan untuk sembuh. Sedangkan fraktur curris diperlukan waktu minimal lima bulan untuk sembuh. c) Open Reduction Internal Fixation (ORIF) 1. Definisi Sedangkan internal fixation berarti memfiksasi dengan

mempergunakan screw atau plate untuk memungkinkan atau memfasilitasi proses penyembuhan. Fiksasi rigid akan mencegah terjadinya gerakan kecil apapun melalui garis patahan tulang sehingga dapat memungkinkan penyembuhan dan mencegah infeksi. Beberapa ahli bedah mempergunakan plate dari titanium dan screw untuk memfiksasi fraktur secara rigid. 2. Prinsip Internal Fixation Pada tahun 1992, Thomas A. Russel menyebutkan bahwa pada prinsipnya, internal fixation tidak berfungsi untuk merangsang penyatuan tulang. Alat ini hanya membantu secara mekanis untuk menopang atau membidai yang selanjutnya dapat memfasilitasi penyatuan tulang dengan jalan meminimalkan kekuatan atau tenaga apapun yang mengganggu proses pemulihan tulang normal. Jika waktu recovery yang diperlukan melebihi kemampuan implan, revisi secara operatif akan diperlukan. Hal ini bukan berarti telah terjadi kegagalan pemasangan implan, tetapi lebih dikarenakan ketidakmampuan respon biologis tulang itu sendiri untuk sembuh dari fraktur.

3. Alat-Alat Choiruddin Rasjad (1998), alat-alat dan implan yang digunakan dalam open reduction internal fixation (ORIF) yaitu: a) b) c) d) e) f) g) Kawat Kirschner Screw Kombinasi screw dan plate Kuntscher nail Interlock nail Protesis Kompresi dinamik plate dan screw

4. Deskripsi Prosedur Open Reduction Internal Fixation Pada tahun 2005, American Academy of Orthopaedic Surgeons mendeskripsikan prosedur ORIF secara singkat. Pertama akan dibuat irisan pada kulit yang menutupi daerah patahan dengan tujuan agar fragmen tulang dapat terpapar. Kemudian fragmen tulang dipindahkan pada posisinya yang normal dan screw, plate dengan screw atau batang dapat digunakan untuk menjaga realignment tulang pada tempatnya. Pada kasus fraktur yang berat mungkin diperlukan bone graft. Selanjutnya bekas irirsan ditutup dengan bidai atau kain pembalut untuk melindungi area fraktur. 5. Indikasi Open Reduction Internal Fixation Choiruddin Rasjad (1998) menyebutkan beberapa indikasi ORIF yaitu:

a) b) c) d) e) f)

Mobilisasi dini penderita Mobilisasi dini persendian Fraktur ekstremitas dengan cedera multiple Memungkinkan perawatan local Kegagalan penanganan non-bedah Fraktur patologis

6. Kelebihan dan Kekurangan Open Reduction Internal Fixation Menurut Choiruddin Rasjad (1998), terapi operatif seperti ORIF memiliki beberapa kelebihan sebgai berikut: a) Akseptabilitas dan harapan pasien terhadap metode terapi ini semakin bertambah secara bermakna. Hal ini dikarenakan pasien tetap dapat menjalankan aktivitasnya baik selama pemasangan maupun setelah pencabutan implan. Intramedullary nails biasanya telah dipercaya sebagai terapi yang paling acceptable. Alasannya sebagian besar karena pasien tetap mau berinteraksi secara social tanpa mengingat bahwa mereka sedang berada dalam proses pengobatan. b) Pada kasus fraktur femur terutama pada daerah collum femur dan condylus femur diperlukan reduksi secara anatomis yang kuat, akurat dan mobilisasi sesegera mungkin. Oleh karena itu, open reduction internal fixation merupakan pilihan terapi yang tepat. Thomas A. Russel juga menyebutkan kekurangan terapi operatif yaitu sebagai berikut:

a)

Kekurangan pada terapi secara operatif terutama berhubungan

dengan kerusakan jaringan lunak di daerah sekeliling fraktur dan berhubungan dengan tindakan operatif itu sendiri seperti infeksi. Namun beberapa kekurangan ini dapat ditanggulangi dengan pengertian dan pemahaman yang mendalam tentang biologi dan fungsi mekanik metode internal fixation. B. Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus tentang analisis biaya tindakan operasi di Instalasi Bedah Sentral RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang merupakan rumah sakit tipe B. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan rancangan studi kasus dan untuk perhitungan analisis biaya menggunakan metode Activity Based Costing System. Sebagai pertimbangan keaslian penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa topik penelitian sejenis, antara lain: 1. Nishi Dewi Ruci, 2011. Analisis Unit Cost Akomodasi ICU dengan Metode Activity Based Costing (Studi Kasus di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul). Perbedaan dengan penelitian ini adalah dalam penelitian ini menggunakan metode Activity Based Costing yang bertujuan umtuk menentukan unit cost ORIF fraktur femur di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sedang penelitian Nishi menggunakan Activity Based Costing untuk menentukan unit cost akomodasi ICU di RS PKU Muhammadiyah Bantul. 2. Rahayu Darmahaeni, 2010. Analisis Biaya Satuan di VIP dan VVIP RSD Bersemah dengan Metode Activity Based Costing (ABC) sebagai Dasar Usulan

Tarif RSD Bersemah Kota Pagar Alam. Perbedaan dengan penelitian ini adalah dalam penelitian ini menggunakan metode Activity Based Costing yang bertujuan untuk menentukan unit cost ORIF fraktur femur di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sedang penelitian Rahayu menggunakan Activity Based Costing untuk menentukan unit cost akomodasi VIP dan VVIP RSD Bersemah Kota Pagar Alam disertai dengan penghitungan ATP dan WTP . C. Landasan Teori Berdasarkan teori-teori yang didapatkan dalam tinjauan pustaka, maka proses pengolahan data dalam penelitian ini, ingin mengeahui berapa unit cost pelayanan ORIF fraktur femur berdasarkan activity-based costing system. Biaya dihitung berdasarkan aktivitas ORIF fraktur femur yang dilakukan (Mulyadi, 2007). Aktivitas tersebut meliputi mempersiapkan pasien dan peralatan yang akan digunakan, asepsis dan antisepsis, anestesi, insisi, reposisi, insersi implan, dan menjahit luka operasi. D. Kerangka Konsep Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Resource: - Labor-related -Equipment- related -Space-related -Service-related

Aktivitas: -Direct Tracing -Driver Tracing -Alokasi

Product: Unit cost

Gambar 1. Skema kerangka konsep penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif dan menggunakan rancangan penelitian observasi prospektif. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan mengenai unit cost yang berhubungan dengan pelayanan operasi ORIF fraktur femur di IBS Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyarta dengan menggunakan metode ABC. E. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Bagian Keuangan, Kepala IBS, Cleaning Service, bagian pemeliharaan alat, pelayanan medic, petugas administrasi seperti petugas pendaftaran, rekam medis, rumah tangga (IPSRS) dan diklat. Untuk memperoleh data yang komperhensif di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Objek penelitian ini adalah semua aktivitas biasa yang terjadi di IBS RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini akan dilakukan sebanyak tiga kali pada ORIF fraktur femur untuk masing-masing dokter spesialis ortopedi yang bertugas di IBS RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Pengambilan data akan diulang bila data yang diperoleh belum mencukupi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi sampel adalah sebagai berikut; Kriteria Inklusi:

a. Diagnosa masuk dan keluar INA-DRG : 081201 IP Hip & Femur Procedures Except Major Joint b. Usia lebih dari 16 tahun Kriteria Eksklusi: a. Multitrauma yang membutuhkan operasi lain diluar diagnosa IP Hip & Femur Procedures Except Mayor Joint b. Tindakan operasi berhenti sebelum selesai, karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk dilanjutkan F. Definisi Operasional Definisi operasional bertujuan untuk membantu atau sebagai pedoman dalam penelitian. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. ORIF atau Open Reduction Internal Fixation adalah tindakan pembedahan dengan menggunakan screw plate atau K-wire untuk memfiksasi kedua sisi tulang yang mengalami diskontinuitas. 2. Unit cost adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk di pelayanan ORIF fraktur femur. 3. ABC system Adalah sistem informasi biaya yang berorientasi pada penyediaan informasi lengkap tentang aktivitas untuk memungkinkan personil perusahaan melakukan pengelolaan terhadap aktivitas. Sistem informasi ini menggunkan aktivitas sebagai basis serta pengurangan biaya dan penentuan secara akurat kos produk atau jasa sebagai tujuan.

G. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pedoman dokumentasi observasi yang dimiliki rumah sakit. 2. Stop Watch adalah alat pengukur waktu yang digunakan untuk mengukur lamanya waktu yang diperlukan selama proses ORIF fraktur femur, sejak pasien datang sampai pulang. H. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, penulis mengunakan metode sebagai berikut: 1. Observasi, yaitu pengamatan secara langsung pada objek penelitian. 2. Metode dokumentasi Dokumentasi dan data dari rumah sakit digunakan sebagai data sekunder mengenai harga atau nilai rupiah yang digunakan di rumah sakit misalnya gaji pegawai dan lain-lain. 3. Metode Wawancara Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan cara bertanya langsung atau berkomunikasi langsung dengan responden. a) Responden yang diwawancara terdiri dari kepala bagian keuangan, dokter spesialis orthopedi dan kepala bagian IBS RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 1. b) Wawancara mendalam dilakukan dalam panduan wawncara yang sudah ditentukan ataupun pertanyaan yang bersifat spontan muncul saat interview berlangsung. Penulis menggunakan metode ini dengan harapan

bisa memperoleh data secara langsung untuk kelengkapan penelitian. Data yang diperoleh penulis berupa gambaran umum mengenai RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 1, sistem yang digunakan oleh rumah sakit dalam menentukan biaya operasi ORIF fraktur femur dan identifikasi aktivitas yang dilakukan di IBS. I. Uji Validitas Dilakukan teknik triangulasi sumber untuk uji validitas. Triangulasi adalah usaha untuk mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisa data. J. Analisa Data Data dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa informasi langsung dari sumbernya berupa menanyakan langsung ke responden. Data sekunder dilakukan dengan penelusuran dokumen berupa catatan medis pasien operasi ORIF fraktur femur, serta distribusi biaya operasional rumah sakit. Metode analisis biaya yang digunakan adalah berdasarkan ABC (Activity Based Costing) system. Biaya yang digunakan adalah biaya langsung yaitu biaya yang melekat pada petugas, diperoleh dengan cara penelusuran secara langsung (direct tracing) dan biaya tidak langsung yaitu biaya-biaya yang terdapat pada unit penunjang. Adapun langkah-langkah untuk menghitung biaya berdasarkan Activity Based Costing System (Mulyadi, 2007) adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dan mendefinisikan aktivitas

2. Mengklasifikasikan biaya berdasarkan aktivitas ke dalam berbagai aktivitas 3. Mengidentifikasi cost driver 4. Menentukan tarif per unit cost driver 5. Membebankan biaya ke produk dengan menggunakan tarif cost driver dan ukuran aktivitas. K. Etika Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subyek dan prinsip keadilan. Subyek penelitian dilindungi fisik, mental dan sosialnya. Responden diberikan hak untuk menyatakan peretujuan atau tidak menjadi narasumber data tanpa ada paksaan, bujukan, tipuan dan ketidaksamaan. Segala bentuk data yang diperoleh dari subyek penelitian akan dijaga kerahasiaannya (Nursalam, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Cinquini, L. V. (2007). 'Cost Measurement in Laparoscopic Surgery: Results from an Activity-Based Costing Application'. Munich Personal RePEc Archieve , Paper No. 4992. Damarhaeni, R. (2010). Analisis Biaya Satuan di VIP dan VVIP RSD Bersemah dengan Metode Activity Based Costing (ABC) sebagai Dasar Usulan Tarif RSD Bersemah Kota Pagar Alam. Padang: Pascasarjana Universitas Andalas. Derya, E. (2005). 'A Comparative Analysis of Activity Based Costing and Traditional Costing'. World Academy of Science, Engineering and Technology , 3, 25-37. Fathiya, I. (2011). Analisis Perhitungan Unit Cost Pelayanan Sirkumsisi Dengan Pendekatan ABC (Studi Kasus di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 1). Yogyakarta: MMR UMY. Gani, A. (1996). Analisis Biaya Rumah Sakit. Makalah Seri Manajemen Keuangan . Gondodiputro. (2007). Perhitungan Unit Cost di Pelayanan Kesehatan Primer. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat UNPAD. Hansen, M. &. (2006). Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat. Hansen, M. &. (2009). Managerial Accounting (Akuntansi Biaya), Buku 1, Edisi 8. Jakarta: Salemba Empat. Hanson, L. &. (2006). Posterior Bone Grafting of the Tibia for Nonunion. A Review of Twenty-four Cases. Journal of Bone and Joint Surgery , 48(A): 27-43. Horn, D. (2005). Fracture Reduction. American Academy of Orthopedic Surgeons . Kartadinata, A. (2000). Akuntansi dan Analisis Biaya: Suatu Pendekatan terhadap Tingkah Laku Biaya. Jakarta: Rineka CIpta. Krishnan, A. (2006). 'An Application of Activity Based Costing in Higher Learning Institution: A Local Study'. Contemporary Management Research , 75-90. Kusnanto. (2004). Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC.

Masyhudi. (2008). Analisis Biaya Dengan Metode Activity Based Costing Kepaniteraan Klinik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unissula di Rumah Sakit Islam Sultan Agung, Tesis S2. Semarang: Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Mulyadi. (2007). Activity Based Cost System. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Mulyadi. (2003). Activity Based Cost System: Sistem Informasi Biaya untuk Pengurangan Biaya. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Nursalam. (2006). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Rasjad, C. (1998). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ujung Pandang: Bintang Lamumpatue. Roberts, J. &. (1977). Management of Fractures and Fracture Complications of the Femoral Shaft Using the ASIF Compression Plate. Journal of Trauma , 17: 20-28. Roztocki, N. P. (2006). A Procedure For Smooth Implementation of Activity-BasedCosting In Small Companies. Engineering Management Journal . Ruci, N. (2011). Analisis Unit Cost Akomodasi ICU dengan Metode Activity Based Costing (Studi Kasus di Rumah Sakit Muhammadiyah Bantul). Yogyakarta: MMR UMY. Russel, T. (1992). Treatment of Closed Fracture of Tibial Shaft With the Use of Interlocking Nailing. Journal of Bone and Joint Surgery , 1162-1171. Setiaji, H. (2006). Analisis Biaya Pelayanan Rawat Inap di Ruang VIP Cendrawasih RSUD DR. Soeselo Kabupaten Tegal, Tesis S2. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Simamora, H. (2002). Akuntansi Manajemen, Edisi 2. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Sjamsuhidajat, R. &. (2004). Sistem Muskuloskeletal: Imobilisasi dan Fiksasi dengan Osteosintesis. Jakarta: EGC. Sjamsuhidajat, R. &. (2004). Sistem Muskuloskeletal: Penyembuhan Patah Tulang. Jakarta: EGC.

Supriyono, R. (1999). Akuntansi Biaya dan Akuntansi Manajemen Untuk Teknologi Maju dan Globalisasi, Edisi 2. Yogyakarta: BPFE. The Wikimedia Foundation, Inc. (2006, October 27). The Wikimedia Foundation, Inc. Retrieved June 24, 2013, from The Wikimedia Foundation, Inc.: http://en.wikipedia.org/wiki/Open_Reduction_Internal_Fixation The Wikimedia Foundation, Inc. (2006, October 27). The Wikimedia Foundation, Inc. Retrieved June 24, 2013, from The Wikimedia Foundation, Inc.: http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/open+reduction Wardhana, A. (2006). Perbedaan Lama Perawatan Penderita Fraktur Tertutup Femur dan Cruris yang Dilakukan Open Reduction Internal Fixation di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: FK UMY. Yulianti. (2010). Penerapan Activity Based Costing System Sebagai Dasar Penentuan Tarif Jasa Rawat Inap pada RSUD Sultan Daeng Radja Bulukumba, Skripsi S1. Makasar: Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin.

You might also like