You are on page 1of 22

BAB ll TINJAUWAN PUSTAKA A. Konsep Kleuarga 1.

Pengertian Keluarga Pengertian keluarga akan berbeda tergantung pada orientasi yang digunakan dan orang yang mendepinisikannya. Menurut Friedman 1998,keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama, dengan keterikatan aturan dan emosional dari individu yang mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Menurut Departemen Kesehatan (1980) dalam Sudiharto (2005), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga serta beberapa orang yang berrkumpul dan tinggal dalam satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga adalah 2 orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional dan yang mengidentifikasikan mereka sebagai bagian dari keluarga (friedman, bowden & jones, 2010). Keluarga berhubungan dengan seseorang yang membuat unit keluarga, tipe-tipe hubungan yang terjadi melalui pertalian hubungan darah (consanguineus), hubungan pernikahan (affinal), dan keluarga asal dia dilahirkan (famili og origin) (wong, 2009). Menurut UU NO.10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri dan anaknya,atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

Dalam bidang kesehatan, keluarga dalam berbagai depinisi menurut para peneliti, adalah unit pelayanan kesehatan terdapat dalam meningkatkan kesehatan komunitas. Sehingga, apabila setiap keluarga sehat, akan tercipta komunitas yang sehat. Hal ini dikarenakan maslah kesehatan yang dialami oleh salah satu keluarga dapat memepengaruhi anaggota keluarga yang lain. Masalah yang di hadpi angota keluarga dapat memepengaruhi sistem keluarga tersebut dan komunitas setempat (Sudiharto (2005). 2. Karakteristik Keluarga Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi dimana anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap mengangap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran peran sosialkeluarga seperti suami-istri,ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak permpuan, saudara dan saudari, sodara dan sodarai. Selain iti, keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang di ambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri (fridman ,1998). 3. Tipe Keluarga Menurut Sudiharto (2005), pembagian tipe keluarga tergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkanya. Secara tradisional keluarga di kelompokan menjadi dua yaitu, keluarga inti (nuclear familey) dan keluarga besar (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. Sedangkan keluarga besar adalah keluarga inti ditambah keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah.

Namun, dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme menyebabkan depinisi keluarga telah meluas. Pengelpmpokan tipe keluarga berkembang menjadi 6 kelompok yaitu, keluarga bentukan kembali (dyadic famly) yaitu keluarga baru yang di bentuk dari pasangan yang telah cerai atau karena kehilangan pasangannya, orang tua tunggal (single parents family) dengan anaknya, ibu remaja dengan anak tanpa perkawinan (the unmarrage teenage mother), orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernikahan, dan keluarga yang dibentuk oleh keluarga yang berjenis kelamin sama (gay or lesba family). 4. Fungsi Keluarga Keluarga memiliki beberapa fungsi yangg harus dijalankan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesejahtraan keluarga, fridman (1998) mengidentipikasi lima fungsi dasar keluarga yaitu: fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi

perawatan/pemeliharaan kesehatan. Fungsi afektif (the affective function) berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan pisikososial yang meliputi : saling mengasuh, saling menghargai dan hidup dalam ikatan yang dapat di identifikasi. Fungsi sosial dan tempat bersosialisasi (socialisation and social placement function) adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehiduan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. Fungsi reproduksi yaitu untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumberdaya manusia. Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, seperti kebutuhan makan, pakaian, dan tempat berlindung (rumah). Dan terakhir, fungsi perawatan kesehatan adlah fungsi untuk melaksanakan praktik asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah

terjadiya gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit (fridman, 1998). Keluarga juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggota keluarga sesuai dengan tahapan perkembanyanya. Bagi pasanga suami-istri atau anggota keluarga yang dewasa, keluarga berfungsi menstabilkan kehidupan mereka yaitu memenuhi kebutuhan kasih sayang, sosial ekonomi, dan kebutuhan seksual. Bagi anak-anak, keluarga memberikan perawatan fisik dan perhatian emosional, dan seiring denagn itu, keluarga juga mengarahkan perkembangan kepribadian (Fridman, 1998) 5. Struktur Keluarga Struktur keluarga menunjukan kepada bagai mana keluarga tersebut di organisasikan, dan cara diman unit-unit tersebut di tata, serta bagai mana komponen-komponen tersebut berhubungan satu samalain. Menurut Fridman, Bowden dan Jones (2010). Terdapat dimensi struktur dasar dari keluarga yaitu terdiri dari: a. Struktur Peran Dalam Keluarga Setiap orang hidup terikat dalam suatu jaringan kerja hak dan kewajiban keluarga yang di sebut hubungan-hubungan peran. Peran didasarkan pada preskripsi dan harapan peran yang menerangkan apa yang harus dilakukan oleh individu dalam situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau orang lain menyangkut peran-peran tersebut. Menurut Nye dalam Friedman, Bowden dan Jones 2010 sejumlah peran dalam keluarga diantaranya adalah ibu, beberapa peran terkaitnya adalah sebagai penjaga rumah, perawat anak, pemimpin kesehatan dalam keluarga, masak, sahabatatau teman bermain. Akan tetapi peran-peran tersebut

ditanggung secara bersama-sama dengan anggota dari suatu kelompok misalnya, kini dalam keluarga perawatan anak ditanggung secara bersamasama baik oleh ibu maupun ayah. b. Struktur Kekuatan Dalam Keluarga Struktur kekuatan dalam keluarga merupakan kemampuan, baik

potensial maupun aktual dari seorang anggota individu untuk mengubah tingkah laku anggota keluarga. Kompnen utama dari kekuasaan keluarga adalah pengaruh, diman keluarga memegang peran penting untuk mempengaruhi anggota keluarga lain dan pengambil keputuan, yaitumerujuk pad proses pencapaian persetujuan dan komitmen anggota keluarga untuk melakukan serangkaian tindakan. Dengan kata lain, pembuatan keputusan merupakan alat untuk menyelesaikan segala sesuatu (Friedman, Bowden dan Jones, 2010). c. Pola Komunikasi Dalm Keluarga Komunikasi menunjuk kepada proses tukar menukar perasaan,

keinginan, kebutuhan-kebutuhan, opini-opini (Friedman, Bowden dan Jones, 2010). Komunikasi fungsional dipandang sebagai kinci bagi sebuah keluarga, yang diharapkan dapat dilakukan secara terbuka, jujur antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain selalu menyelesaikan konflik dengan musyawarah mufakat, selalu berpikir positip terhadap anggota keluarga lain. d. Nilai Nilai Dalam Keluarga Nilai-nilai keluarga di definisikan sebagai sutu sistem ide, sikap dan kepercayaan tentang nilai suatu keseluruhan atau konsep yang secara sadar maupun tidak sadar mengikat bersama-sama seluruh anggota keluarga dalam suatu budaya yang lajim. Nilai-nilai berfungsi sebagai pedoman umum bagi

prilaku dan dalam keluarga nilai-nilai tersebut membimbing perkembangan

aturan-aturan dan nilai-nilai dalam keluarga. Misalnya jika seseorang menilai kesehatan sebagai suatu keadan yang menyenangkan, maka ia akan ikut dalam perawatan kesehatan tersebut (Friedman, Bowden dan Jones, 2010). 6. Tugas Perkembangan Keluarga Dengan Penyakit Kronik Penyakit kronik merupakan suatu kondisi yang menggangu fungsi seharihari selama lebih dari dari tiga bulan dalam satu tahun, menyebabkan rawat inap lebih dari satu bulan dalam setahun, atau (pada saat di diagnosa) cenderung melakukan salah satu dari keduanya (Wong, 2009). Anak-anak dengan penyakit kronis bersiko mengalami masalah fisik secara kronis, kondisi perkembangan, prilaku, atau emosional, dimana mereka membutuhkan layanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhannya. Keluarga dengan anak mengalami penyakit kronis, harus dapat mengelola penyakit yang di derita anaknya, mengidentipikasi, meng akses dan melakukan koordinasi, mempertahankan keutuhan keluarga dan menjaga diri (Sullivan-Bolyai, Sadler, Knafl, Gillies, & Ahmann 2003 dalam potts & Mandleco, 2007). Keluarga perlu dimotivasi untuk dapat memanpaatkan pasilitas pelayanan keperawatan denagn baik, dan perawat sebagai seorang profesional harus aktif dalam meningkatkan kemampuan keluarga merawat anaknya melalui edukasi. Penyakit yang serius yang di derita oleh anak seperti penyakit thalasemia dapat menyebabkan kecemasan atau krisis yang bermakna pada setiap tahap siklus kehidupan keluarga. Pentingnya perawat berpusat pada keluarga (family centerd care) merupakan unsur penting dalam perawatan anak, mengingat anak bagian penting dari keluarga. Kehidupan anak dapat di tentukan oleh lingkungan keluarga, untuk itu keperawatan anak harusmengenal keluarga sebagai tempat tinggal atau sebagai konstanta tetap dalam kehidupan anak (wong, 2009). Tujuan perawatan yang berpusat pada keluarga adalah memelihara kesatua

keluarga,

memberdayakan anggota keluarga untuk mendapatkan peran

kepemimpinan, dan mendukung keluarga pada saat keluarga mengalami kecemasan. (Baker, 1994 dalam Pottes & Mandleco,2007). Sakit yang serius dari seorang anggota keluarga sangat mempengaruhi keluarga dan fungsi keluarga, karen prilaku keluarga sangat mempengaruhi perjalan dan karakteristik penyakit (Friedman, Bowden & Jones,2010). Bila keluarga lambat dalam memenuhi tugas-tugas perkembanganya, maka akan memperburuk dan membebani keluarga. Untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan keluarga, keluarga mempunyai tugas dalam kesehatan para anggota dan alaing memelihara Menurut Friedman (1998) dalam Setiadi (2007) membagi 5 tugas kesehatan yang harus di lakukan oleh keluarga yaitu : 1. Mengenal gangguan masalah kesehatan setiap anggota keluarga. Kesehatan pemeliharaan

merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orangtua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian orangtua/keluarga. Apabila menyadari adanya perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar perubahannya.
2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk

menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan

teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan keluarga agar memperoleh bantuan.
3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yanng tidak dapat membantu dirinya karena cacat atau usia yang terlalu muda,

Seringkali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh keluarga sendiri. Jika demikian, anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah sakit apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama.
4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga meliputi: a) Keluarga

mengetahui sumber-sumber keluarga yang dimiliki, b) Keluarga melihat keuntungan/manfaat pemeliharaan lingkungan, c) Keluarga mengetahui tentang pentingnya hygiene sanitasi, d) Keluarga mengetahui upaya pencegahan penyakit, e) Sikap atau pandangan keluarga terhadap hygiene sanitasi, f) Kekompakan antar anggota keluarga. 5. Mempertahankan hubungan hubungan timbal balik antara keluarga dari lembaga-lembaga kesehatan yang menunjukan pemanfaatan dengan fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada seperti : a) Keluarga mengetahui keberadaan fasilitas keluarga, b) Keluarga memahami keuntungan dari fasilitas kesehatan, c) Tingkat kepercayaan keluarga terhadap petugas dan fasilitas kesehatan, d) Keluarga mempunyai pengalaman yang kurang baik terhadap petugas kesehatan, e) Fasilitas kesehatan yang ada terjangkau oleh keluarga.

7. Tujuan Perawatan Kesehatan Keluarga Tujuan utama dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan keluarga adalah untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam memelihara kesehatan keluarganya. Tujuan lainnya adalah meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengidenifikasi masalah kesehatan yang dihadapi oleh keluarga; meningkatkan kemampuan keluarga dalam menanggulangi masalahmasalah kesehatan dasar dalam keluarga; meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan para anggotanya; meningkatkan kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap anggota keluarga yang sakitdan dalam mengatasi masalah kesehatan anggota keluarganya; meningkatkan produktivitas keluarga dalam meningkatkan mutu hidupnya (Triyanto, 2011).

B. Thalassemia pada Anak 1 Pengertian Thalasemia berasal dari kata Yunani, yaitu thalassa yang berarti laut. Yang dimaksud laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini mulamula ditemukan di sekitar Laut Tengah. Thalasemia adalah kelompok kelainan genetik yanng diwariskan, disebabkan oleh mutasi yang mempengaruhi sintesis hemoglobin (Nathan & Oskis, 2009). Dahlui (2009) mendefinisikan bahwa, thalasemia adalah kelainan genetik dari sintesis rantai globin dengan manifestasi klinik yang bervariasi tergantung dari jumlah dan tipe rantai globin yang dipengaruhi (Dahlui, 2009). Sedangkan menurut Potts & Mandleco (2007), Thalasemia adalah sekelompok kelainan genetik autosomal resesif yang ditandai oleh adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin penyakit ini dialami seumur hidup, yang diklasifikasikan sebagai alpha dan beta thalasemia.

Thalasemia adalah suatu kelainan genetik darah dimana produksi hemoglobin yang normal tertekan karena defek sintesis satuatau lebih rantai globin. Thalasemia merupakan kelainan sepanjanghidup yang diklasifikasikan sebagai thalasemia alpha dan betatergantung dari rantai globin yang mengalami kerusakan pada sintesishemoglobin. Thalasemia beta mayor terjadi karena defisiensi sintesisrantai dan thalasemia mayor terjadi apabila kedua orang tuamerupakan pembawa sifat thalasemia, dimana dari kedua orang tuatersebut diperkirakan akan lahir 25% lahir normal, 50% pembawa sifatthalasemia dan 25% penderita thalasemia beta mayor.

Sedangkanthalasemia minor muncul apabila salah seorang dari orang tua pembawasifat thalasemia (Potts & Mandleco, 2007; Oliviery, 1999). Rizkiani (2009) menyebutkan Thalasemia merupakan penyakit dimana sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari), sehingga penderita akan mengalami

anemia.Thalasemia mayor mengacu pada warisan gen resesif dari kedua orang tuanya. Dari semua jenis thalasemia, thalasemia mayor menunjukkan masalah kesehatan yang paling signifikan pada anak-anak (Kline, 2002).

Patofisiologi Masing-masing Hb A yang normal terdiri dari empat rantai globin

sebagai rantai polipeptida, di mana rantai tersebut terdiri dari dua rantai polipeptida alpa dan dua rantai polipeptida beta. Empat rantai tersebut bergabung dengan empat komplek heme untuk membentuk molekul hemoglobin, pada thalasemia beta sintesis rantai globin beta mengalami kerusakan. Eritropoesis menjadi tidak efektif, hanya sebagian kecil eritrosit yang mencapai sirkulasi perifer dan timbul anemia. Anemia berat yang berhubungan dengan thalasemia beta mayor menyebabkan ginjal

melepaskan erythropoietin yaitu hormon yang menstimulasi bone marrow

untuk menghasilkan lebih banyak sel darahmerah, sehingga hematopoesis menjadi tidak efektif. Eritropoiesis yang meningkat mengakibatkan hiperplasia dan ekspansi sumsum tulang,sehingga timbul deformitas pada tulang. Eritropoietin juga merangsang jaringan hematopoesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul hepatosplenomegali. Akibat lain dari anemia adalah meningkatnya absorbsi besi dari saluran cerna menyebabkan penumpukan besi berkisar 2-5 gram pertahun (Potts & Mandleco, 2007; Cao, et al., 2002dalam Bulan, 2009). Menurut Rachmaniah (2012), pada thalasemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin. Penurunan secara bermakna pada salah satu jenis rantai globin baik alpha atau beta dapat menyebabkan sintesis rantai globin menjadi tidak seimbang. Pada thalasemia beta tidak ada sintesis rantai beta, tetapi rantai globin yang diproduksi berupa rantai alpha yang berlebihan, sedangkan pada thalasemia alpha sebaliknya, sintesis rantai alpha tidak terjadi, melainkan rantai globin beta yang diproduksi secara berlebihan.

Klasifikasi Ciri khas thalasemia adalah berkurangnya atau tidak adanya sintesis

satu atau lebih rantai globin. Penunjukan alpha dan beta thalasemia mengacu pada berkurangnya produksi alpha dan beta globin (Nathan & Oskis, 2009). Klasifikasi klinis thalasemia adalah : 1) 2) Karier alpha atau beta thalasemia, dimana secara hematologis normal. Thalasemia trait (alpha atau beta), klinisnya memiliki gejala anemia ringan dengan mikrositik dan hipokromia. 3) penyakit HbH (alpha thalasemia), mengalami tingkat anemia hemolitik yang cukup parah, ikterik dan splenomegali.

4)

Hidrop

fetalis

(alpha-thal),

terjadi

kematian

dalam

uterus

yang

disebabkan karena anemia berat. 5) Thalasemia beta mayor (Cooleys anemia), mengalami anemia yang berat, terjadi gangguan pertumbuhan, adanya perluasan sumsum tulang, juga deformitas tulang, kondisi ini sangat tergantung sekali terhadap transfusi darah. 6) Thalasemia intermedia, kondisi ini tidak mengharuskan untuk

mendapatkan transfusi secara regular. Secara umum thalasemia digolongkan berdasarkan apakah seseorang memiliki satu gen cacat atau dua gen cacat terdiri dari (Hockenbery & Wilson, 2009) : 1) Thalasemia Minor Para individu dengan thalasemia minor hanya memiliki satu salinan gen thalasemia beta (bersama dengan satu gen normal beta rantai). Orang tersebut dikatakan heterozigot untuk thalasemia beta. Orang dengan thalasemia minor memiliki gejala anemia ringan (dengan sedikit menurunkan tingkat hemoglobin dalam darah). Situasi ini serupa dengan anemia defisiensi besi yang ringan. Namun, biasanya orang dengan thalasemia minor masih memiliki tingkat Hb normal, sehingga pengobatan tidak diperlukan untuk thalasemia minor. Secara khusus, terapi kelasi besi tidak perlu dan tidak disarankan. 2) Thalasemia Mayor Anak yang lahir dengan thalasemia mayor memiliki dua gen untuk beta thalasemia dan tidak ada gen beta-rantai normal. Anak ini disebut homozigot untuk thalasemia beta. Hal ini menyebabkan kekurangan yang mencolok dalam produksi rantai beta dan produksi Hb A. Gambaran klinis yang terkait dengan thalasemia mayor pertama kali dijelaskan pada 1925 oleh dokter anak Amerika Thomas Cooley. Oleh karena itu, thalasemia

mayor sering disebut juga anemia Cooley. Gejala anemia mulai berkembang dalam bulan-bulan pertama setelah lahir.

Manifestasi klinis Thalasemia mayor biasanya menunjukkan manifestasinya pada dua

tahun pertama dalam kehidupannya. Setelah bertambahnya usia, anak dengan gangguan ini menunjukkan tanda dan gejala anemia berat dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Mereka mungkin akan

mengalami anemia berat dan masalah kesehatan serius lainnya, seperti pucat dan penampilan lesu, nafsu makan menurun, urin akan menjadi lebih pekat, pertumbuhan dan pubertas menjadi lambat, kulit berwarna

kekuningan, pembesaran hati dan limpa, juga masalah tulang. Jika anak dengan gangguan ini tidak ditangani, maka mereka akan mengalami kematian pada usia 5-6 tahun (Potts & Mandleco, 2007).

Diagnosis Diagnosis thalasemia didasarkan pada riwayat penyakit keluarga,

tanda klinik dan hasil laboratorium. Thalasemia dapat dideteksi secara spesifik sejak bayi baru lahir melalui screening test, selain itu diagnosis prenatal juga mungkin dilakukan untuk mendiagnosa thalasemia, diagnosa prenatal dari berbagai bentuk thalasemia, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan meneliti sintesis rantai globin pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion ( CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).

Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang khas adalah anak-anak yang terlihatsehat ketika lahir. Walaupun demikian selama setahun hingga dua tahunpertama kehidupan, mereka terlihat pucat, sering pusing dan kurang nafsu makan. Pertumbuhan menjadi lambat dan sering terdapat warna kuning padamata dan kulit (disebut dengan Jaundice) (Cooleys Anemia

Foundation,2006).

Pengobatan Pengobatan thalasemia bergantung pada janin dan tingkat keparahan

dari gangguan. Seseorang pembawa atau yang memiliki sifat alpha atau beta thalasemia cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan sedikit atau tanpa pengobatan. Terdapat 3 (standar) perawatan umum untuk thalasemia tingkat menengah atau berat, yaitu transfusi darah, dan agent chelation, serta menggunakan suplemen vitamin. Selain itu, terdapat perawatan lainnya adalah dengan transplantasi sumsum tulang belakang (Nathan & Oskis, 2009). 1) Transfusi darah Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah. Terapi ini merupakan terapi andalan bagi individu yang menderita thalasemia berat. Tujuan pemberian transfusi darah adalah untuk meningkatkan kadar hemoglobin darah, meningkatkan kapasitas oksigen yang dapat menurunkan hipoksia jaringan. Pengelolaan transfusi dan pemeliharaan kadar hemoglobin yang optimal telah berevolusi, pertama kali

pretransfusion direkomendasikan pada tingkat hemoglobin 8,5 gr/dl. Piomelli, dkk menyarankan mempertahankan tingkat hemoglobin pada kadar 10 gr/dl dengan rata-rata 12 gr/dl, hal ini dapat mencegah hipoksia jaringan kronis (Nathan & Oskis, 2009). Konsentrasi hemoglobin

sebelum transfusi, volume sel darah merah yang diberikan dan besarnya limpa, sebaiknya dicatat pada setiap kunjungan untuk mendeteksi perkembangan hipersplenisme (Permono & Ugrasema, 2006). 2) Terapi kelasi besi (iron chelation therapy) Dampak pemberian transfusi darah yang terus menerus dan berlangsung bertahun-tahun dapat mengakibatkan penumpukan zat besi dalam darah. Dengan tidak adanya terapi kelasi besi yang memadai, maka kondisi ini dapat merusak hati, jantung, dan organ-organ lainnya. Untuk mencegah kerusakan ini, terapi kelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh. Terdapat tiga obat-obatan yang digunakan dalam terapi kelasi besi, yaitu Deferoxamine, Deferiprone dan Deferasirox. Deferoxamineadalah obat yang diberikan melalui suntikan

subkutan secara perlahan-lahan dan biasanya dengan bantuan pompa mekanik (Nathan & Oskis,2009). DFO (Deferoxamine) merupakan sediaan 500 mg/ vial. Dosis : 25 50 mg/ kgBB/ hari; pemakaian 5 hari x 4 minggu = 20 kali pemakaian/ bulan (Kemenkes RI, 2011). Deferiprone disetujui di lebih dari 40 negara, namun tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat (Nathan & Oskis,2009). DFP (Deferiprone) berupa kaplet sediaan 500 mg/kaplet. Dosis, 75 100 mg/kgBB/hari; pemakaian 30 hari; dosis terbagi 3 yaitu 3x1/hari (Kemenkes RI, 2011). Deferasiroxyang sudah disetujui oleh negara Amerika Serikat juga beberapa negara lain sejak tahun 2004. Deferasiroxadalahobat yang dikonsumsi secara oral, setelah diabsorbsi, obat dapat bertahan dalam darah dalam waktu 8 16 jam, dan kemudian penumpukan besi dalam tubuh dikeluarkan sebagian besar melalui feses (Nathan &

Oskis,2009).DFX (Deferasirox) merupakan sediaan 250 mg/kaplet.

Dosis, 20 30 mg/kgBB/hari; dosis tunggal yaitu 1x1/hari (Kemenkes RI, 2011). 3) Suplemen Vitamin Beberapa suplemen yang bisa diberikan pada pasien dengan thalasemia adalah asam askorbat (vitamin C). Pemberian vitamin C secara signifikan membantu mengeluarkan zat besi dalam tubuh setelah pemberian deferoxamine. Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu utama pada pasien yang mengalami kekurangan vitamin C. Namun sayangnya, asam askorbat juga dapat meningkatkan peroksidasi besi dalam membran lemak, juga terbukti menyebabkan kerusakan selsel otot jantung. Hal ini diamati bahwa pasien dengan kelebihan zat besi yang menerima vitamin C mungkin mengalami gangguan fungsi jantung, sehingga suplementasi ini dapat dihentikan. Vitamin E, kekurangan vitamin E terjadi pada beberapa pasien thalasemia yang menerima transfusi yang lama, yang akan berkontribusi terhadap hemolisis seperti kerusakan sel darah merah. Pada pasien dengan kelebihan zat besi, pemberian vitamin E dapat mencegah terjadinya keracunan besi. Meskipun vitamin E digunakan secara klinis, manfaat dari terapi ini masih harus dibuktikan. Dan Asan folat, dimana pada pasien dengan thalasemia mayor hampir selalu mengalami kekurangan asam folat, namun berbeda dengan kekurangan vitamin B12 yang jarang terjadi pada pasien thalasemia. Kebanyakan pasien mendapatkan manfaat dari penggunaan asam folat, meskipun pasien yang menerima transfusi dapat menekan eritropoiesis, yang biasa mengkonsummsi roti atau sereal yang didalamnya terdapat asam folat, sehingga mungkin tidak memerlukan suplementasi (Nathan & Oskis, 2009).

4)

Transplantasi sumsum tulang belakang Keberhasilan pengobatan thalasemia mayor dengan melakukan Bone Marrow Transplantation (BMT) pertama kali dilaporkan oleh Thomas pada tahun 1982, kemudian beberapa pusat menggunakan terapi ini untuk anak dengan thalasemia (Nathan & Oskis, 2009). Anak dengan Cooleys anemia dapat diobati dengan melakukan transplantasi sumsum tulang. Darah dan sumsum transplantasi sel induk normal akan menggantikan sel-sel induk yang rusak. Sel-sel induk adalah sel-sel di dalam sumsum tulang yang membuat sel-sel darah merah. Transplantasi sel induk adalah satu-satunya pengobatan yanng dapat menyembuhkan thalasemia. Namun, memiliki kendala karena hanya sejumlah kecil orang yang dapat menemukan pasangan yang baik antara donor dan resipiennya. Pelayanan pengobatan yang disediakan bagi seluruh penderita/

pasien thalasemia mayor harus mendapat pelayanan pengobatan meliputi : 1. Konsultasi 2. Pemeriksaan laboratorium yang terdiri dari darah lengkap, darah tepi, ureum, kreatinin, SGOT, dan SGPT. 3. Peralatan kesehatan dan bahan habis pakai 4. Asam folat 5 mg dan 80 mg, vit E tab 200 IU, vit C 100 mg, Xylocain jelly. 5. Transfusi darah, lengkap dengan alat transfusi dan darah. 6. Obat kelasi besi (DFO, DFP, DFX) sesuai dengan kecocokan penerimaan secara baik di tubuh penderita, harus diberikan sekaligus untuk kebutuhan/ pemakaian dalam satu bulan. 7. Pemeriksaan feritin harus dilaksanakan setiap tiga bulan. (Kemenkes RI, 2011).

Asuhan keperawatan Asuhan keperawatan pada anak dengan thalasemia mayor berpusat

pada pemberian pendidikan kesehatan pada keluarga dan juga dukungan keluarga. Pengobatan yang paling banyak pada anak dengan thalasemia adalah pencegahan anemia. Perawat dan keluarga harus mengetahui kapan anak harus diberikan transfusi darah dan juga mengamati reaksi dari pemberian transfusi tersebut. Pemberian transfusi darah secara terus menerus dapat memberikan dampak baik secara fisik seperti nyeri maupun psikososial misalnnya kecemasan, dimana dampak psikososial tersebut dapat dirasakan baik oleh penderita langsung maupun oleh keluarganya (Racmaniah, 2012). Asuhan keperawatan pada anak dengan thalasemia mayor dan keluarganya bertujuan untuk (1) meningkatkan kepatuhan dalam menjalani transfusi dan terapi kelasi, (2) membantu anak dalam menghadapi terapi yang menimbulkan rasa cemas dan efek penyakit, (3) membantu penyesuaian diri anak dan keluarganya terhadap penyakit kronis, dan (4) mengamati komplikasi yang dapat terjadi pada transfusi darah yang berkalikali. Dasar setiap tujuan adalah penjelasan kepada keluarga dan penderita yang lebih besar (Wong, Hockenbery, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2009). Perawat memiliki kesempatan untuk membantu keluarga secara efektif mengelola kondisi penyakit kronis seperti thalasemia. Salah satu komponen penting dalam asuhan keperawatan adalah memahami persepsi keluarga tentang situasi dan kebutuhan yang ada, perhatian, dan strategi koping (Deatrick, Knafl, & Moore, dalam Kurnat & Moore, 1999). Diagnosis keperawatan berkaitan dengan masalah psikososial pada kelurga diatas adalah kecemasan dan koping keluarga tidak efektif. Untuk mengatasi masalah psikososial tersebut tindakan keperawatan yang dapat

dilakukan salah satunya adalah berupa intervensi psikoedukasi keluarga (Vacarolis, 2006). Psikoedukasi ini merupakan alat terapi intuk menurunkan faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejala perilaku. Tujuan dari intervensi ini adalah untuk menurunkan masalah psikososial kecemasan dan meningkatkan koping keluarga dalam menghadapi suatu masalah (Racmaniah, 2012).

Pencegahan penyakit thalasemia beta mayor Perawatan thalasemia yang ideal memerlukan biaya yang sangat

tinggi,

menyadari

bahwa cukup gen

penyakit mahal thalasemia

ini maka

belum

dapat

disembuhkan negara yang program

danperawatannya mempunyaifrekuensi

banyak

tinggi

melaksanakan

pencegahanthalasemia melalui skrining pembawa sifat dan diagnosis prenatal.Diagnosis prenatal di antaranya dengan pengambilan sampel darah fetaldan mengkaji sintesis rantai globin dalam darah fetal termasuk di dalamnya analisis DNA fetal yang didapatkan dengan pengambilansampel villus chorionic (Oliviery, 1997 ; Pusponegoro, et al, 2005). Secara garis besar salah satu bentuk pencegahan thalasemia berdasarkan Health Tecnology Assesment Indonesia (2010) yaitu berupa edukasi tentang penyakit thalasemia pada keluarga dan masyarakat, edukasi pada keluarga tentang penyakit thalasemia memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Dampak penyakit thalasemia terhadap kondisi psikososial keluarga dapat berakibat negatif bila tidak disertai edukasi yang baik. Karena edukasi keluarga merupakan langkah awal dalam program pencegahan thalasemia. Untuk jangka pendek edukasi berupa pemberian informasi pada populasi yang menjadi sasaran. Sedangkan untuk jangka panjang edukasi ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan (awareness)

keluarga dan masyarakat terhadap penyakit thalasemia dengan memasukkan materi tentang thalasemia kedalam kurikulum pendidikan tingkat sekolah menengah, penyebaran informasi melalui media massa, jaringan internet, brosur dan leaflet, serta menyelenggarakan kegiatan untuk memperingati hari thalasemia sedunia yang melibatkan seluruh komponen masyarakat (Rachmaniah, 2012).

Dampak penyakit thalasemia Penyakit thalasemia merupakan penyakit yang berbahaya, terbukti

tidak sedikit penderita penyakit thalasemia yang berakhir pada kematian (Rachmaniah, 2012). 1) Dampak penyakit thalasemia pada anak Sampai dengan saat ini penyakit thalasemia belum ada obatnya. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup penderita, transfusi darah secara rutin dibutuhkan bila kadar Hb adalah rendah (kurang dari 6 gr%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah. Dampak transfusi yang diberikan berulang-ulang dapat menyebabkan kadar besi dalam darah menjadi tinggi, sehingga diperlukan agent chelation untuk mengeluarkan penumpukan kadar besi tersebut (Wong, 2009). Pengobatan yang dilakukan oleh penderita memberikan dampak baik fisik maupun psikologis. Secara fisik sebagai sindrom klinik penderita thalasemia mayor yang telah agak besar dapat menunjukkan gejalagejala fisik berupa gangguan pertumbuhan, anak menjadi kurus bahkan kurang gizi,mengalami perut yang membuncit akibat hepatosplenomegali (Rachmaniah, 2012). Penyakit thalasemia selain berdampak pada kondisi fisik juga terhadap kondisi psikososial, anak dengan kondisi penyakit kronik mudah mengalami emosi dan masalah perilaku. Lamanya perjalanan penyakit,

pengobatan dan perawatan yang terjadwal secara pasti serta seringnya tidak masuk sekolah menuntut kebutuhan emosional yang lebih besar. Anak penderita thalasemia mengalami perasaan berbeda dengan orang lain dan mengalami harga diri yang rendah (Khurana, Katyal & Marwaha, 2006; Shaligram, Girimaji & Chaturvedi, 2007). 2) Dampak penyakit thalasemia pada keluarga Penyakit thalasemia pada anak selain berdampak pada kondisi anak itusendiri juga berdampak pada keluarga. Dampak terhadap keluarga yangdijumpai antara lain yaitu: Permasalahan perawatan di rumah,permasalahan keuangan, dampak psikis keluarga dimana keluarga takutanaknya meninggal dan adanya tekanan yang relatif pada keluarga(Wong, 2009; Potts & Mandleco, 2007). Kondisi penyakit kronis seperti thalasemia menyebabkan

penderita sangat bergantungan kepada orang tua dan keluarganya. Waktu dan biaya yang di butuhkan untuk merawat anak lebih banyak sehingga seringkali menimbulkan masalah ekonomi. Orang tua menjadi merasa bersalah,frustasi,cemas dan depresi terhadap penyakit yang dideritanya anaknya. Bagi anak atau anggota keluarganya yang lain,waktu kebersamaan dengan orang tua akan berkurang. Di lain pihak keluarga mempunyai peranan penting dalam memberikan dukungan terhadap anak penderita thalasemia, dukungan yang diberikan menurut Friedman (1998) meliputi empat fungsi yaitu dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Keberadaan dukungan sosial terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas dan lebih mudah sembuh dari sakit ( Friedman, 1998).

C. Kerangka Konsep

Lima tugas keluarga: 1. Mengenal masalah kesehatan 2. Mengambil keputusan 3. Merawat anggota keluarga yang sakit 4. Memodifikasi lingkungan 5. Memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada Thalasemia

Gambar 2.1 : Kerangka konsep

You might also like