You are on page 1of 67

BAHAN AJAR HUKUM LINGKUNGAN (HKU1006 - 2SKS)

A. HUBUNGAN MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP

1. Pengertian Lingkungan Hidup, Ekosistem, dan Ekologi Lingkungan atau lingkungan hidup (environment, milieu, alam sekitar, atau kapaligiran) dapat didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dengan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dengan demikian lingkungan hidup merupakan konsep holistik yang meliputi: (a) lingkungan hidup fisik (physical environment); (b) lingkungan hayati atau biotis (biological environment); dan lingkungan sosial termasuk lingkungan lingkungan binaan (social/cultural environment). Sering pula disebut sebagai ABC lingkungan (Abiotic, Biotic, and Culture environment). Demikian pula lingkungan hidup dapat dilihat sebagai sistem dinamis, karena keberadaannya sangat ditentukan oleh komponen-komponen lingkungan yang membentuknya. Dalam lingkungan senantiasa beriangsung hubungan interaksi, hubungan saling bergantung atau interdependensi, dan saling mempengaruhi antara komponen lingkungan yang satu dengan komponen lainnya. Segala sesuatu di dunia ini erat hubungannya. satu dengan yang lain. Antara manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan dengan benda-benda mati di sekelilingnya sekalipun. Pengaruh antara satu komponen dengan lain komponen ini bermacam-macam bentuk dan sifatnya. Begitu pula reaksi suatu golongan atas pengaruh dari yang lainnya juga berbeda. Suatu peristiwa yang menimpa seseorang, dapat disimpulkan sebagai resultante / akibat dari berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh yang mendorong manusia ke dalam suatu kondisi tertentu, sehingga manusia tersebut kemudian berusaha untuk mengerti apakah sebenamya yang

mempengaruhi dirinya, dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut. Oleh karena itu berkembanglah apa yang dinamakan Ecology, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya (Amsyari, 1981:11). Secara etimologi, kata "ekologi" berasal dan kata oikos (rumah tangga) dan logos (ilmu), yang diperkenalkan pertama kali dalam biologi oleh seorang biolog Jerman Ernest Haeckel (1869). Definisi ekologi menurut Otto Soemarwoto adalah "ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya". Ekosistem adalah suatu kesatuan daerah tertentu (abiotic community) di mana di dalamnya tinggal suatu komposisi organisme hidup (biotic community) yang di antara keduanya terjalin suatu interaksi yang harmonis dan stabil, terutama dalam jalinan bentuk-bentuk sumber energi kehidupan. Ada dua bentuk ekosistem yang penting, yaitu ekosistem alamiah (natural eco-system) dan ekosistem buatan (artificial-ecosystem) berupa hasil kerja manusia terhadap ekosistemnya. Suatu ekosistem dapat dibagi dalam beberapa subekosistem. Misalnya, ekosistem bumi kita dapat dibagi dalam subekosistem kelautan, subekosistem daratan, subekosistem danau, dan subekosistem sungai. Subekosistem daratan dapat pula dibagi dalam bagian-bagian subekosistem, misalnya subekosistem hutan, subekosistem padang pasir, dan lain-lain. Dengan konsep ekosistem kita memandang unsur-unsur dalam lingkungan tidak secara tersendiri melainkan secara terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem (pendekatan ekosistem / holistik). Suatu kesatuan ekosistem senantiasa mengarah kepada keadaan seimbang, artinya seluruh komponen dalam ekosistem berada dalam ikatan-ikatan interaksi yang harmonis dan stabil, sehingga keseluruhan ekosistem itu berbentuk suatu proses yang teratur dan berjalan terus menerus. Apabila dikarenakan suatu peristiwa, baik yang alamiah maupun non alamiah keseimbangan ekosistem terganggu sehingga terjadi ancaman-ancaman terhadap eksistensi organisme hidup yang ada, maka akan terjadi proses adaptasi pada semua organisme hidup yang terancam tersebut untuk kembali ke arah proses yang harmonis dan stabil lagi (Proses Keseimbangan Kemball/Equilibrium Process).

2. Permasalahan Lingkungan: Global-Nasional Secara ringkas, berdasarkan karakteristiknya, isu global

yang dihadapi dapat diklasifikasikan kedalam empat golongan, yakni : a. Masalah atmosfir Yang tergolong dalam kelompck ini adalah mengenai perubahan iklim (climate change) dan periindungan ozon. Isu yang paling menarik perhatian pada saat ini adalah keengganan Amerika Serikat - negara penyumbang emisi terbesar di dunia - untuk meratifikasi Protokol Kyoto yang mengandung komitmen mengikat bagi pengurangan komisi.

b.

Masalah daratan Masalah ini berkaitan dengan masalah penggurunan dan degradasi tanah,

serta penggulungan hutan. Tercatat, penggundulan hutan yang terjadi khususnya di Asia, Afrika dan Amerika Latin diperkirakan seluas rata-rata 14, 6 juta hektar per tahun. Di sisi lain, negara-negara berkembang di Afrika memiliki sumber dana yang sangat terbatas dalam memerangi penggurunan ini.

c.

Masalah kimia dan limbah berbahaya Masalah menonjol dalam bidang ini adalah berkaitan dengan

digunakannya lahan di negara berkembang sebagai lokasi pembuangan limbah dan bahan-bahan berbahaya yang diekspor ke negara-negara maju.

d.

Masalah keanekaragaman hayati Isu keanekaragaman hayati yang berkaitan dengan "nilai ekonomis"

banyak bersinggungan dengan isu-isu perdagangan global yang diatur dalam WTO, termasuk di dalamnya isu Hak-hak atas'Kekayaan Intelektual, yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Sering sekali, negara berkembang, yang kurang memiliki sumber daya dan ketentuan HAKI yang memadai dirugikan oleh perusahaan multinasional yang mendaftarkan "temuannya" tersebut di kantor paten negara maju. Akibatnya, negara berkembang harus "membeli" hak paten tersebut yang sebetulnya berasal dari negara berkembang tersebut. Isu lainnya adalah berkurangnya secara signifikan keanekaragaman hayati baik akibat bencana seperti kebakaran hutan maupun pengelolaan lingkungan yang tidak berkelanjutan, seperti pembabatan hutan secara membabi buta yang

ditujukan bagi keuntungan ekonomis setinggi-tingginya.

e.

Masalah lainnya Terlepas dari isu "sektoral" di atas, dunia juga menghadapi masalah global

lain yang patut mendapat perhatian serius dari seluruh negara. Beberapa isu menonjol adalah masalah pendanaan bagi pembangunan berkelanjutan, meledaknya pertumbuhan penduduk, kemiskinan, pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan, air bersih, malnutrisi, kesehatan seperti HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, pemanfaatan energi minyak bumi yang tidak dapat diperbaharui (rewenable), serta dampak globalisasi terhadap lingkungan dan sosial. Untuk tujuan ini, Majelis Umum PBB memutuskan untuk melaksanakan World Summit on Sustainable Development (WSSD) melalui Resolusi Majelis Umum PBB no. Res. A/RES/55/1999. Resolusi ini "menugaskan" WSSD untuk melakukan review pelaksanaan Agenda 21, memperkuat kembali komitmen politik bagi pelaksanaan Agenda 21 di masa mendatang serta, yang paling penting, menghasilkan dokumen yang action-oriented dengan time-bound measures dan means of implementation yang jelas.

Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia sebenamya lebih disebabkan oleh 4 (empat) sumber utama, yaitu: (1) kependudukan (population); (2) kemiskinan (poverty); (3) pencemaran dan atau kerusakan lingkungan (pollution); dan (4) kebijaksanaan (policy). Sebagaimana lazimnya di negara-negara berkembang, maka dinamika kependudukan telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang tinggi menimbulkan antara lain: a. Tekanan terhadap hutan, sehingga persentase luas hutan kurang memenuhi fungsi orchidologi serta konservasi tanah dan air, Terjadi gejala gerakan tanah, erosi dan sedimentasi serta banjir yang tidak terkendali. b. Periuasan tanah pertanian disertai dengan intensifikasi lahan'tersebut untuk mengejar peningkatan produksi berhubung adanya kenaikan penduduk yang cepat, mengakibatkan pula dampak negatif terhadap lingkungan antara lain pencemaran perarian dan tanah oleh residu pupuk kimia dan pestisida. Di beberapa pulau walaupun telah diupayakan

intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian tetapi karena tekanan penduduk yang tinggi, daya dukung lahan teriampaui. c. Urbanisasi beriebih menimbulkan pelbagai bentuk penurunan kualitas lingkungan kota, termasuk tata ruang yang tidak memenuhi syarat, terbentuknya daerah kumuh, bertambahnya jumlah sampah,

meningkatkan pencemaran perairan dan tanah oleh limbah domestik dan lain-lain. Penurunan kualitas lingkungan kota juga ditopang oleh perkembangan industri, lalu lintas dan prasarana lain dalam kota, antara lain berakibat timbulnya pencemaran udara, sekali lagi pencemaran air dan tanah. d. Urbanisasi juga mengakibatkan menurunnya estetika, menimbulkan ancaman terhadap peninggalan-peninggalan historis, menyempitnya ruang terbuka, taman kota, lapangan olahraga, rekreasi dan lain-lain. Gejala ini nampaknya melanda kota-kota di Indonesia, e. Pencemaran yang ditimbulkan di daratan terutama yang terdapat di perairan mengakibatkan pula pencemaran di pantai dan laut. Pantai dan laut adalah "long Pencemar" yang berakibat ancaman terhadap kualitas dan kuantitas terhadap sumber daya laut, terutama sumber daya pantai dan laut. Belum lagi kerusakan terumbu karang dilepas pantai sesungguhnya

keberadaannya sangat penting baik sebagai pelindung pantai maupun habitat biota laut. Ancaman kerusakan sumber daya pantai diperkuat dengan penebangan tanaman dalam hutan mangrove untuk kayu bakar dan sebagai bahan yang lainnya, Perluasan daerah sawah dan tambak ikan akibat pertambahan penduduk yang cepat. Disamping pencemaran laut, pencemaran udara termasuk hujan asam dapat bersifat lintas batas negara.

3. Reran Manusia Dalam Ekosistem Manusia adalah bagian dari ekosistem, manusia adalah juga pengelola dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan merupakan pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari tindakan manusia yang ambisius. Di dalam permasalahan lingkungan, manusia pada akhirnya berhadapan dengan dirinya sendiri. Dalam alam yang dipengaruhi

manusia (man-made nature) manusia yang dipengaruhi alam (nature-made man) menemukan dirinya sendiri. Dalam hubungannya dengan alam, manusia harus memperhitungkan nilai-nilai lain, di samping nilai-nilai teknis dan ekonomis. Berarti bahwa ancaman terhadap alam tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak lain, akan tetapi pada sikap manusia itu sendiri, baik sebagai pribadi secara mandiri, maupun sebagai anggota masyarakat (Leenen, 1976: 12-13). Di antara populasi, yaitu kumpulan individu suatu spesies organisme hidup yang sama, yang terdapat dalam ekosistem, manusia adalah populasi yang paling sempurna konstruksinya, yang mempunyai akal dan budi. Dengan kelebihannya atas populasi-populasi yang lain, manusia mengemban tugas dan kewajiban untuk mengatur adanya keselarasan dan keseimbangan antara seluruh komponen ekosistem, baik ekosistem alamiah maupun ekosistem buatan. Kesadaran akan tugas dan kewajiban ini melepaskan manusia dari anggapan lama bahwa "Manusia karena dikaruniai akal dan budi oleh Sang Pencipta maka dipenntahkan untuk menguasai, sehingga dibolehkan berbuat semaunya terhadap lain-lain subs/stem dan ekosistem seluruhnya". Menurut Fuad Amsyari, manusia harus berfungsi sebagai subyek dari ekosistemnya akan tetapi tidak boleh mengabaikan arti pentingnya menjaga kestabilan ekosistemnya. Karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalam daerah lingkungan hidupnya mau tidak mau akan mempengaruhi ekosistem manusianya, karena manusia akan banyak sekali bergantung pada ekosistemnya. Salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam melindungi lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur perlindungan lingkungan hidup (Danusaputro, 1980:69-70 dalam Hardjasoemantri, 1999: 1-6). Lingkungan hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di bumi ini dalam bentuk susunan, dan fungsi interaktif antar semua komponen yang ada, baik yang insani (biotik), maupun yang ragawi (abiotik), dan sosial. Ketiganya saling mempengaruhi, menentukan, dan sating interaksi, sehingga senantiasa lingkungan berada dalam dinamika, perubahan, dan ketidakpastian. Lingkungan hidup tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, untuk kesejahteraan manusia, tetapi tanpa melupakan makhluk hidup lainnya. Pada kehidupan manusia, manusia mempunyai kemampuan adaptasi lebih besar daripada makhluk hidup lainnya melalui adaptasi kultural, oleh karenanya lingkungan sosial budaya menjadi penting bagi manusia.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Lingkungan Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan (privaatrechielijk milieurecht), hukum lingkungan ketatanegaraan (strafrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan kepidanaan (strafrechtelijk milieurecht), sepanjang bidang-bidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Menurut Prof. Koesnadi, Hukum Lingkungan di Indonesia dapat meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a. Hukum Tata Lingkungan, selanjutnya disingkat HTL, mengatur penataan lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, baik ling-kungan hidup fisik maupun lingkungan hidup sosial budaya. Bidang garapannya meliputi tata ruang, tata guna tanah, tata cara peran serta masyarakat, tata cara peningkatan upaya pelestarian kemampuan lingkungan, tata cara penumbuhan dan pengembangan kesadaran masyarakat, tata cara perlindungan lingkungan, tata cara ganti kerugian dan pemulihan lingkungan serta penataan keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup. Hukum Tata Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi penataan lingkungan hidup, yang dapat mencakup segi lingkungan fisik maupun lingkungan social budaya. la mengatur tatanan kegunaan dan penggunaan lingkungan untuk berbagai keperluan melalui tata cara konkrit dalam rangka melestarikan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang. Adapun hal-hal yang khusus atau lebih rinci ditangani oleh aspek-aspek lainnya dari Hukum Lingkungan, seperti beikut ini.

b. Hukum Perlindungan Lingkungan, merupakan peraturan perundangundangan di bidang pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan lingkungan biotis. c. Hukum Kesehatan Lingkungan, adalah hokum yang berhubungan dengan kebijaksanaan di bidang kesehatan lingkungan, dengan

pemeliharaan kondisi air, tanah dan udara, dan pencegahan kebisingan. d. Hukum Pencemaran Lingkungan, dalam kaitan misalnya dengan pencemaran oleh industry. e. Hukum Lingkungan Transnasional/Internasional, dalam kaitannya dengan hubungan antar negara. f. Hukum Sengketa Lingkungan, dalam kaitan misalnya dengan

penyelesaian masalah ganti kerugian. Aspek-aspek tersebut di atas dapat ditambah dengan aspek-aspek lainnya sesuai dengan kebutuhan perkembangan pengelolaan lingkungan hidup di masa-masa yang akan datang (Hardjasoemantri, 1999: 36-42).

2. Kebijaksanaan Pengelolaan Lingkungan Global Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang menimbulkan adanya sifat ambifalen dari perkembangan itu sendiri yang di satu sisi dapat menimbulkan kemajuan dan kesejahteraan manusia, tapi di sisi lain dapat menjadikan lingkungan rusak, misalnya: pemakaian tenaga nuklir yang dapat menghasilkan limbah radioaktif yang membahayakan, isu mengenai pemanasan bumi, lapisan ozon dsb. Maka terjadilah kesadaran serta komitmen bersama mengenai pertunya pengelolaan lingkungan secara global. Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup dimulai dari kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan "Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970)" guna merumuskan strategi "Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980)". Pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil dari Swedia, disertai saran untuk dijajagi kemungkinan guna menyelenggarakan suatu

konferensi intemasional mengenai lingkungan hidup manusia.

a. Konferensi Stockholm Kebijakan global pengelolaan lingkungan hidup ditetapkan pertama kali dalam Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on the Human Environment) yang diselenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara dan beberapa puluh peninjau. Soviet Uni dan negara-negara Eropa Timur telah memboikot konperensi ini sebagai terhadap ketentuan yang menyebabkan beberapa negara tidak diundang dengan kedudukan yang sama dengan kedudukan yang sama dengan peserta-peserta lain, seperti antara lain Republik Demokrasi Jerman. Pada akhir sidang, yaitu pada tanggal 16 Juni 1972, Konperensi mengesahkan nasil-hasilnya berupa: 1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas: Preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration; 2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang Perencanaan dan Pengelolaan Permukiman Manusia; 3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut di atas, terdiri dari: a. Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup (UN Environment Progamme = UNEP) b. Sekretariat, yang dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif; c. Dana Lingkungan Hidup; d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup. Dalam suatu resolusi khusus, Konperensi menetapkan tanggal 5 Juni sebagai "Hari Lingkungan Hidup Sedunia". Atas tawaran Kenya, sekretariat UNEP ditempatkan di Nairobi. Pada Sidang Umum PBB tahun 1972, semua keputusan Konperensi disahkan dengan resolusi Sidang Umum PBB No. 2997 (XXVII) pada tanggal 15 Desember 1972. Dengan adanya Stockholm Declaration ini, perkembangan Hukum Lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat, baik pada taraf nasional, regional maupun internasional. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai

tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama. Sekalipun hasil dari Deklarasi Stockholm tidak mengikat langsung, karena merupakan soft law (berbeda dari Konvensi yang hasilnya mengikat langsung, karena merupakan hard law), tapi pengaruh dari Deklarasi Stockholm besar sekali terutama bagi Indonesia. Asas-asas lingkungan yang semula diperkenalkan dalam Deklarasi Stockholm sebanyak 26 asas, kemudian diperbaharui dalam Deklarasi Rio de Janeiro menjadi 27 asas, yang kemudian diambil 3. Ketiga asas ini dapat dilihat dalam GBHN: Bab III huruf B ayat 10 TAP MPR No. IV Tahun 1973 yang berbunyi: "Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia hams digunakan secara rasional. Penggalian ... tersebut harus diupayakan agar tidak merusak ...., dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang"(D. Silalahi, 2001: 33). Menyeluruh (integral) dalam arti memperhatikan segala aspek, memperhatikan sektor-sektor yang terkait dengan sumber daya alam: air, hutan, migas, ikan di laut. Undang-undang kita sudah mengatur pengelolaannya berdasarkan peraturan dalam sektor. Dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yad., pilihannya adalah: apakah sumber alam Indonesia akan dihabis-habiskan sekarang atau tidak.

b. World Conservation Strategy Pada tahun 1980, International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), bersama-sama dengan United Nations Environment Programme (UNEP) dan World Wildlife Fund (WWF), menerbitkan World Consevation Strategy (WCS) dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan konservasi, yang meliputi pengelolaan sistem produksi yang ekologis tepat dan pemeliharaan kelangsungan hidup dan keanekaragamannya. Maksud WCS adalah untuk mencapai tiga tujuan utama dari konservasi sumber daya hayati, yaitu: a) Memelihara proses ekologi yang esensial serta sistem penyangga kehidupan; b) Menjamin pemanfaatan secara lestari spesies serta ekosistemnya.

Ketentuan khusus tercantum dalam Section 11 dari WCS tentang tindakan hukum yang diperlukan untuk melaksanakan kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional, yaitu bahwa suatu komitmen untuk mengkonservasikan sumber daya hayati negara perlu ditetapkan dalam undang-undang dasar atau instrumen hukum lainnya yang sesuai. Komitmen tersebut perlu menyatakan kewajiban negara untuk mengkonservasi sumber daya hayati dan sistem yang meliputinya, hak warga negara akan lingkungan yang stabil dan beranekaragam, dan tanggung jawab warga negara terhadap lingkungan tersebut. Perlu ada perundang-undangan khusus yang ditujukan kepada

pencapaian tujuan konservasi, baik oleh pemanfaatan secara lestari dan pertindungan sumber daya hayati maupun oleh sistem penunjang kehidupan. Perundang-undangan konservasi secara komprehensif pertu menetapkan ketentuan tentang perencanaan penggunaan tanah dan air dan perlu mengatur baik dampak langsung terhadap sumber daya seperti eksploitasi dan penggusuran habitat, maupun dampak tidak langsung seperti pencemaran atau introduksi dari spesies yang ekskotik. Selain daripada itu, peraturan tersebut perlu meliputi pula ketentuan tentang pelaksanaan evaluasi ekosistem, analisis mengenai dampak lingkungan dan tindakan-tindakan lainnya untuk menjamin dimasukkannya pertimbangan ekologi ke dalam pembuatan kebijaksanaan. WCS merupakan pernyataan transisi, tidak dimaksudkan sebagai kerangka definitif untuk pembangunan berkelanjutan. Berbagai masalah yang mendesak tentang berbagai isyu pembangunan belum dicantumkan, di antaranya mengenai sebab-sebab pembangunan yang tidak maju serta eksploitasi dan degradasi lingkungan.

c. Pertemuan Montevideo Kemajuan lebih lanjut diperoleh dengan diadakannya Ad Hoc Meeting of Senior Goverment Official Expert in Environmental Law di Montevideo, Uruguay, pada tanggal 28 Oktober - 6 November 1981. Pertemuan internasional dalam bidang hukum lingkungan ini adalah untuk pertama kalinya diadakan. Pertemuan ad hoc tersebut diadakan untuk membuat kerangka, metoda dan program, meliputi upaya-upaya tingkat internasional, regional dan nasional,

guna pengembangan serta peninjauan berkala hukum lingkungan dan guna memberi sumbangan kepada persiapan dan pelaksanaan komponen Hukum Lingkungan dalam Systemwide Medium Term Environment Programme UNEP. Pertemuan tersebut telah menghasilkan kesimpulan dan rekomendasinya yang sangat berarti bagi perkembangan Hukum Lingkungan.

a. World Commission on Environment and Development Perkembangan lebih lanjut dalam pengembangan kebijaksanaan

lingkungan hidup didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment and Development, disingkat WCED. WCED dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memenuhi

keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Brundtland (Norwegia) dan Dr. Mansour Khalid (Sudan). Keanggotaan WCED mencakup pemuka-pemuka dan Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana, Saudi Arabia, Italia, Mexico, Brazilia, Aljazair, Nigeria, Yugoslavia, dan Indomesia (Prof. Dr. Emil Salim). Sekretariat Jenderal WCED berkedudukan di Geneva. Tugas WCED adalah : a. Mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya; b. Mengajukan cara-cara supaya keprihatinan lingkungan dapat dituangkan dalam kerja sama antar negara untuk mencapai keserasian antara kependudukan, sumber daya alam, lingkungan, dan pembangunan; c. Mengajukan cara-cara supaya masyarakat internasional dapat

menanggapi secara lebih efektif pola pembangunan berwawasan lingkungan; d. Mengajukan cara-cara masalah lingkungan jangka panjang dapat ditangkapi dalam agenda aksi untuk dasawarsa pembangunan. Dalam melaksanakan tugas ini WCED diminta bertukar fikiran dengan masyarakat ilmuwan, kalangan pecinta lingkungan, kalangan pembentuk opini, kalangan generasi muda yang bergerak di bidang lingkungan, dan mereka yang berminat dengan pembangunan berwawasan lingkungan. Begitu pula

diharapkan pandangan Pemerintah khususnya melalui Governing Council UNEP, pandangan pemimpin nasional, formal dan informal serta tokoh-tokoh

internasional. WCED diharapkan meningkat-kan hubungan dengan badan-badan

antar Pemerintah di luar sistem PBB. WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dari enam sudut peneropongan: a. Keterkaitan (interdependency) b. Berkelanjutan (sustainability) c. Pemerataan (equity) d. Sekuriti dan Risiko Lingkungan e. Pendidikan dan Komunikasi f. Kerjasama Intemasional WCED telah memberikan laporannya pada tahun 1987 yang diberi judul Our Common Future, yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum. WCED mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai: development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Dengan demikian, pembangunan yang dijalankan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

b. Caring for the Earth Laporan WCED telah memberikan dampaknya pada penyusunan dampak strategi konservasi baru yang menggantikan World Conservation Strategy (WCS), yaitu "Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living", disusun bersama oleh World Conservation Union (IUCN, singkatan yang dipertahankan karena sudah dikenal luas, yang merupakan singkatan dari nama terdahulu, yaitu International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources), the United Nations Environment Programme (UNEP), dan World Fund for Nature (WWF, sebagai singkatan yang dipertahankan) dan diumumkan pada bulan Oktober 1991, dengan ditandatangani oleh Martin W. Holdgate, Direktur Jenderal IUCN, Mostafa K. Tolba, Direktur Eksekutif UNEP, dan Charles de Haes, Direktur Jenderal WWF. Caring for the Earth (CE) diterbitkan dengan tujuan utama untuk membantu memperbaiki keadaan masyarakat dunia, dengan menetapkan dua syarat. Pertama adalah untuk menjamin komitmen yang meluas dan mendalam pada

sebuah etika baru, yaitu etika kehidupan berkelanjutan dan mewujudkan prinsip-prinsipnya dalam praktek. Yang lain adalah untuk mengintegrasikan konservasi dan pembangunan: Konservasi untuk menjaga agar kegiatan-kegiatan kita berlangsung dalam batas daya dukung bumi, dan pembangunan untuk memberi kesempatan kepada manusia di manapun guna menikmati kehidupan yang lama, sehat serta memuaskan. CE menyatakan, bahwa masyarakat yang berkelanjutan dapat dicapai apabila dikaitkan dengan sembilan prinsip yang digariskan, yaitu: menghargai dan memelihara komunitas kehidupan; meningkatkan kualitas kehidupan manusia; mengkonservasi vitalitas dan keanekaragaman bumi dengan mengkonservasikan sistem penunjang kehidupan ekologis dan menjamin keanekaragaman hayati serta pemanfaatan secara lestari sumber daya yang dapat diperbaharui; meminimumkan penipisan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui; merubah perilaku dan perbuatan pribadi; memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memelihara lingkungannya sendiri; menyediakan kerangkakerja nasional untuk mengintegrasikan pembangunan dan konservasi; dan menciptakan kerja sama global untuk mencapai keberlanjutan global.

c. Konperensi Rio de Janeiro Laporan Laporan WCED telah digunakan sebagai materi untuk Konperensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio de Janeiro pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992 dan merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972. Konperensi yang dinamakan United Nations Conference on Envinronment and Development disingkat UNCED, dihadiri oleh 177

kepala-kepala negara dan wakil-wakil pemerintah yang berkumpul di Rio de Janeiro untuk bersama-sama bekerja ke arah menjadikan pembangunan berkelanjutan sebuah realitas. Konprensi telah dihadiri juga oleh badan-badan di lingkungan PBB dan lembaga-lembaga lainnya. Konperensi Rio diadakan dalam rangka pelaksahaan resolusi Sidang Umum PBB No.45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46/468 tertanggal 13 April 1992. Sebuah Panitia Persiapan UNCED dari telah dibentuk untuk PBB,

mengkoordinasikan

berbagai

masukan

badan-badan

pemerintah-pemerintah serta lembaga-lembaga dan pemerintah, dan untuk

mengidentifikasikan tujuan bersama serta kegiatan-kegiatan konkrit yang akan diajukan kepada kepala-kepala pemerintah untuk diterima. Empat pertemuan Panitia Persiapan telah diadakan, sebuah proses yang dimulai dengan pertemuannya yang pertama di Nairobi pada bulan Agustus dan September 1990. Rio bukanlah semata-mata konperensi negara-negara, akan tetapi juga konperensi rakyat. Bersamaan dengan konperensi resmi, di Flamengo Park yang letaknya berdekatan dengan tempat konperensi resmi, diadakan pertemuan yang disebut the'92 Global Forum, yang diikuti kurang lebih 10.000 orang yang mewakili 9.000 organisasi dan telah menarik sebanyak 20.000 pengunjung. Global Forum menyediakan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan asosiasi-asosiasi, yang meliputi International Forum of NGO's and Social Movement, Open Speakers Forum dan pertemuan kelompok-kelompok agama. UNCED telah berhasil mencapai konsensus mengenai beberapa bidang yang sangat penting, yang dituangkan dalam berbagai dokumen dan perjanjian sebagai berikut: 1) "The Rio de Janeiro Declaration on Environmental and Development' yang menggariskan 27 prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan.

2) "Non-Legally Binding Authorative Statement of Principles for a Global Consensus on the of Management, all Types ini of Conservation Forest and

Sus-tainable Principles)".

Development Prinsip-prinsip

(Forestry konsensus

kehutanan

merupakan

intemasional yang terdiri dari 16 pasal yang mencakup aspek pengelolaan, aspek konservasi, serta aspek pemanfaatan dan pengembangan, bersifat tidak mengikat secara hukum dan berlaku untuk semua jenis atau tipe hutan.

3) "Agenda 21" merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan, meliputi berbagai isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda-beda, dan menampung masukan dari semua negara di dunia. Agenda 21 Global merupakan suatu dokumen komprehensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21.

Melalui serangkaian penelitian selama 2 tahun, penyusunan konsep dan negosiasi intensif yang dilakukan sebelum dan menjelang konferensi, akhirnya Agenda 21 ditandatangani oleh semua negara (termasuk Indonesia) yang nadir pada konferensi tersebut. Agenda 21 dapat digunakan baik oleh pemerintah, organisasi

intemasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial-ekonomi. Agenda 21 juga membahas dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan dan kesinambungan sistem produksi. Tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21 pada dasamya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit, dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia. Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan, maka integrasi pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan syarat yang harus dianut oleh semua sektor pembangunan terkait. Kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan ini adalah dilaksanakannya kemitraan nasional oleh seluruh sektor yang berkaitan daengan pembangunan dan lingkungan, yang merupakan inti dan tujuan baik Agenda 21 Global maupun Agenda 21-Indonesia. Agenda 21-lndonesia memberikan serangkaian pandangan dan inspirasi yang dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan pada setiap tingkatan pembangunan di Indonesia, sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat luas lainnya dapat memanfaatkan dokumen ini sebagai referensi bagi penyusunan

perencanaan dan program-program jangka pendek dan panjang dalam menghadapi pasar bebas di masa mendatang dan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan. Dokumen ini secara komprehensif dan rinci mengungkapkan kaitan antara pembangunan ekonomi dan sosial, serta memberikan "paradigma baru" bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Sebagai kesimpulan, Agenda 21-lndonesia dapat dijadikan sebagai suatu advisory document yang mencakup aspek kebijakan, pengembangan program dan strategi yang meliputi hampir seluruh perencanaan

pembangunan bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. 4) "The Framework Convention on Climate Change", yang memuat kesediaan negara-negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka mengenai kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju juga sepakat untuk membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan teknologi dalam upaya negara berkembang untuk memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam Konvensi. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.

5) "The

Convention

on Hayati),

Biological yang

Diversity"

(Konvensi untuk

Keaneka-garagaman

memberikan

landasan

kerjasama intemasional dalam rangka konservasi spesies dan habitat. Dalam Pasal 1 Konvensi ini dinyatakan tentang tujuannya, yaitu melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan

keanekaragaman hayati dan berbagai keuntungan secara adil dan merata dari hasil pemanfaatan sumber genetika melalui akses terhadap sumber genetika tersebut, alih teknologi yang relevant, serta pembiayaan yang cukup dan memadai. Asas dalam Pasal 3 menyatakan, bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber alamnya sesuai dengan kebijaksanaan

pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan baikdi dalam maupun di luar wilayah negaranya. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994. Beberapa prinsip yang mengikat secara hukum (soft law) pada Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio de Janeiro, mempunyai implikasi penting bagi perundang-undangan di Indonesia. Terbentuknya UU No. 4 Tahun 1982 atau UULH di Indonesia, yang diperbaharui dengan UU No. 23 Tahun 1997 atau UUPLH merupakan salah satu peristiwa penting, baik di lihat dari sudut pembangunan nasional Indonesia maupun dari sudut pembinaan hukum nasional.

3. Hukum Lingkungan Klasik dan Modem Moenadjat membedakan antara Hukum Lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented law dan Hukum Lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use-oriented law. Hukum Lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk_melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya untuk menjamin kelestariannya agar dapat digunakan oleh generasi sekarang maupun

generasi-generasi mendatang. Sebaliknya Hukum Lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan untuk_menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil yang maksimal dalam jangka waktu yang singkat. Hukum Lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga sifat dan wataknya mengikuti lingkungan itu sendiri dan lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan berorientasi kepada lingkungan, maka Hukum Lingkungan modern memiliki sifat utuh-menyeluruh atau komprehensif-integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes, sedang sebaliknya Hukum Lingkungan klasik bersifat sektoral, serba kaku dan sukar berubah. Dari sudut hukum nasional masuknya aspek lingkungan pada proses pembentukan hukum baru dari suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia tidak saja dianggap suatu keharusan bagi konsepsi pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopmenf) dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diletakkan dalam Deklarasi Stockholm 1972, tetapi juga telah membawa pengaruh yang mendasar pada konsepsi dan sistem hukum lingkungan nasional Indonesia. Deklarasi Rio de Janeiro 1992 kemudian telah memperluas dan memperdalam pengertian hukum Lingkungan (D. Silalahi, 2001: 31-32). Konsep Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Eco-development) dari Deklarasi Stockholm dan konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development) dari Deklarasi Rio de Janeiro telah melahirkan konsep baru, yaitu:

Eco-sustainable development

Caring for the Earth: a Strategy for Sustainable Living (IUCN, UNEP, dan WWF, 1991) menjelaskan tentang peranan hukum lingkungan sebagai berikut: a. Memberi efek kepada kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam mendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan. b. Sebagai sarana penataan melalui penerapan aneka sanksi (variety of sanction), c. Memberi panduan kepada masyarakat tentang tindakan-tindakan yang dapat ditempuh untuk melindungi hak dan kewajibannya. d. Memberi definisi tentang hak dan kewajiban dan perilaku-perilaku yang merugikan masyarakat. e. Memberi dan memperkuat mandat serta otoritas kepada aparat pemerintah terkait untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Selanjutnya Caring for the Earth juga mencoba memberikan usulan tentang bagaimana seharusnya sistem hukum lingkungan yang komprehen-sif serta mekanisme penegakannya. Secara ringkas, system hukum lingkungan nasional serta mekanisme penegakan hukum paling tidak harus memberikan wadah sebagai berikut: a. Penerapan prinsip pencegahan dini (precautionary principle). Prinsip yang merupakan Prinsip 15 dari Deklarasi Rio ini menekankan pentingnya tindakan-tindakan antisipatif sebagai upaya pencegahan walaupun belum terdapat bukti-bukti ilmiah yang pasti dan meyakinkan terhadap suatu hal b. Pendayagunaan instrumen ekonomi melalui penerapan pajak

dan pungutan-pungutan lainnya. c. Pembertakuan AMDAL untuk proyek-proyek pembar.gunan dan rencana kebijakan. d. Pembertakuan sistem audit lingkungan bagi kegiatan industri swasta dan pemerintah yang telah bertangsung. e. Sistem pemantauan dan inspeksi yang efektif. Memberikan jaminan kepada masyarakat mendapatkan informasi Amdal, audit lingkungan, hasil pemantauan dan informasi tentang produksi, penggunaan dan pengolahan limbah maupun bahan beracun

dan berbahaya (B3).

f.

Sanksi yang memadai bagi pelanggar dalam pengertian harus mampu memberikan efek penjera bagi noncompliance.

g. Sistem

pertanggungjawaban

yang

member

dasar

pembayaran kerugian

kompensasi karena kerugian ekonomis, ekologis, (material (intangible losses). h. Pembertakuan system pertanggungjawaban

maupun

mutlak

atau

seketika

(strictliability) untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan bahan-bahan berbahaya dan beracun. i. Penyelenggaraan asuransi dan penataan mekanisme pendanaan lainnya yang mempercepat dan memungkinkan pelaksanaan kompensasi. j. Memberikan jaminan hak standing bagi kelompok-kelompok lingkungan dalam proses beracara di forum-forum administratif maupun pengadilan, sehingga kelompok tersebut dapat berfungsi sebagai komponen penting dalam penegakan hukum lingkungan. k. Memberikan jaminan bahwa tindakan-tindakan dari instansi pemerintah yang berwenang di bidang penegakan hukum lingkungan dapat dipertanggungjawabkan (accountable).

4. Kebijakan LH dalam UUD 1945 dan GBHN/Propenas Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan

lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 yang menyatakan: "... membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...". Ketentuan ini menegaskan "Kewajiban Negara" dan "Tugas Pemerintah" untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia. Pemikiran dasar tersebut dirumuskan lebih konkrit dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besamya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut memberikan "hak penguasaan" kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan "kewajiban kepada negara"

untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan-ketentuan dasar tersebut dijabarkan oleh MPR dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, pada Bab III, butir 10 dari Pendahuluan yang berbunyi: "Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia (1) harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut (2) harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, (3) dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan (4) dengan memperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang" (Hardjasoemantri, 1999: 62-67). Demikian pula dalam GBHN 1999-2004 telah mencantumkan ketentuan tentang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Ketentuan dalam GBHN 1999-2004 tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Dari sudut pembangunan nasional masuknya aspek lingkungan dalam konsepsi pembangunan (dikenal dengan prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan} erat hubungannya dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat internasional yang sedang 'membangun (dikenal dengan dekade Pembangunan PBB 1: 1960-1970). Pads, dekade ini hubungan antara pembangunan dan masalah lingkungan dipersoalkan untuk pertama kalinya.

C. PERUNDANG-UNDANGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

1. UU No. 4 Tahun 1982 Undang-undang pertama yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup secara menyeluruh (=komprehensif integral) dan bersifat environment oriented law adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disingkat UULH, yang diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982. Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup didasarkan atas alasan-alasan sebagai berikut : a. Didalam Repelita III, Bab 7 tentang "Sumber Alam dan Lingkungan Hidup" tertera petunjuk mengenai periunya Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan.

Hal ini berarti bahwa Pemerintah berkewajiban untuk mengusahakan terbentuknya Undang-undang tersebut dalam kurun waktu Repelita III. Undang-undang yang memuat asas serta prinsip-prinsip pokok tentang perlindungan dan pengembangan akan merupakan lingkungan dasar bagi hidup ini beserta peraturan

sanksi-sanksinya

semua

perundang-undangan lainnya yang diciptakan secara sektoral sesuai dengan kepentingan perlindungan dan pembangunan lingkungan hidup di masing-masing bidang. Dalam merumuskan perlu berbagai peraturan serta

perundang-undangan

tersebut,

diperhatikan

asas

prinsip-prinsip yang digunakan oleh konvensi-konvensi internasional di bidang lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pokok-pokok kebijaksanaan di bidang lingkungan secara menyeluruh dan peraturan perundang-undangan secara sektoral yang dilengkapi peraturan pelaksanaan serta tatacara kelembagaannya perlu dikembangkan lebih cepat, agar kesimpangsiuran wewenang dan tanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dikurangi. Analisis pengaruh lingkungan yang telah dibuat oleh proyek-proyek perlu diikuti oleh tatacara kelembagaannya, agar koordinasi dalam penilaian suatu proyek atau kegiatan dapat dilakukan dengan baik, sehingga hambatan-hambatan prosedural dapat dihilangkan. Keseluruhan

peraturan-peraturan tersebut selanjutnya akan membina suatu sistem hukum lingkungan nasional.

b. Peraturan perundang-undangan yang ada kurang memuat segi lingkungan hidup. Sebaliknya perkembangan kesadaran lingkungan sudah meningkat di kalangan produsen selaku "perusak lingkungan potensial" dan di kalangan konsumen masyarakat umum selaku "penderita kerusakan lingkungan potensial". Maka perlu dikembangkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebutuhan dan peningkatan kesadaran lingkungan dalam masyarakat.

c. Indonesia mulai memasuki tahap industrialisasi bersamaan dengan peningkatan pengembangan pertanian, sebagai bagian dari pelaksanaan

pembangunan secara bertahap yang bertujuan: (1) meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta (2) meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan tahap berikutnya. Dalam rangka peletakan landasan pembangunan yang kuat ini, tersimpul pertunya mengusahakan pembangunan tanpa merusak lingkungan mengelola sumber serta daya alam secara bijaksana untuk dapat menopang tahapan pembangunan jangka panjang.

d. Arab pembangunan jangka panjang tertuju pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, yang sepertitercantum dalam GBHN.

2. Pembaharuan UULH 1982: UU No. 23 Tahun 1997. UULH dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang. Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disingkat UUPLH, yang diundangkan pada tanggal 19 September 1997. Pertimbangan digantikannya UULH oleh UUPLH adalah pada butir d konsiderans UUPLH, yaitu bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Sejak diundangkannya UULH pada tahun 1982 kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup terus meningkat sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.4 Tahun 1982 pertu disempurnakan. Demikian pula hasil Konperensi Rio de Janeiro 1992 menjadi perhatian dalam penyusunan UUPLH.

3. Sifat dan Fungsi UUPLH Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa, puncak gunung, sampai ke perut bumi dan dasar laut, dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati dan sumber daya buatan. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu Undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan

dengan arah dan ciri yang serupa. Karena itu sifat UULH mengatur "ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup". UULH memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup, sehingga berfungsi sebagai "payung" (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. UULH yang kemudian dicabut dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan selanjutnya disingkat UUPLH ini pun berfungsi sebagai "payung".

D.IMPLIKASI UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

1. Asas dan Tujuan Pengelolaan Lingkungan Asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPLH berbunyi: "Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat, bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Penjelasan pasal tersebut berbunyi: "Berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depah. Di sisi lain, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas ketertanjutan mengandung arti setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan, karena lestarinya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan kelanjutan pembangunan".

Tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UULH berubah menjadi sasaran dalam Pasal 4 UUPLH. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf e mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan pemakaian sumber daya tak terbaharui (non-renewable resource), sehingga aspek-aspek seperti kehematan, daya guna serta hasil guna menjadi mutlak diperhatikan, di samping aspek daur ulang (recycling) yang senantiasa/selalu harus diusahakan dengan menggunakan bermacam-macam teknologi, baik teknologi maju maupun teknologi madya dan teknologi sederhana atau teknologi pedesaan (rural technology). Pengendalian pemanfaatan sumber daya secara bijaksana tidak hanya ditujukan kepada penghematan sumber daya tak terbaharui, tetapi juga pada pencarian sumber daya alternatif lainnya guna memperoleh energi. Sumber daya lainnya itu dapat berupa biogas, biomassa, energi angina (windenergy), energy surya (solar energy), OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), energi nuklirdan lain-lain (Hardjasoemantri, 1999: 89-92).

2. Hak Atas Lingkungan Hidup Pasal 5 ayat (1) UULH berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat", sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUPLH dipertegas menjadi "hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat". Heinhard Steiger c.s. menyatakan, bahwa apa yang dinamakan hak-hak subyektif (subjective rights) adalah bentuk yang paling luas dari periindungan seseorang. Hak tersebut memberikan kepada yang memilikinya suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum, dengan periindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya. Tuntutan tersebut mempunyai 2 fungsi yang berbeda, yaitu: (a). the function of defense (Abwehrfunktion), yang dikaitkan pada hak membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungannya. (b). the function of performance (Leistungsfunktion), dikaitkan pada hak menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki, terdapat dalam (Pasal 20 ayat (2)

dan (4) UULH)/Pasal 34 UUPLH yang mengatur tentang ganti kerugian kepada orang dan atau melakukan tindakan tertentu. Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UUPLH dinyatakan bahwa tindakan tertentu meliputi misalnya: a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana tertera dalam berbagai konstitusi di negara lain selafu dikaitkan dengan kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup. Ini berarti bahwa lingkungan hidup dengan sumber-sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan oleh setiap orang, yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat pada saat ini dan untuk generasi-generasi mendatang. Dengan demikian pertindungan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya mempunyai tujuan ganda, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan melayani kepentingan individu-individu. Secara konstitusional, hak subyektif sebagaimana tertera dalam Pasal 5 UUPLH tersebut dapat dikaitkan dengan hak umum yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan "... membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...", serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada Negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat. Berbagai hak subyektif yang berkaitan dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak-hak lainnya juga tercantum dalam Piagam Hak Asasi Manusia (Harjasoemantri, 1999: 93-96).

3. Hak Informasi dan Reran Serta Hak atas informasi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUPLH merupakan hal baru, yang dalam UULH 1982 belum diatur secara eksplisit. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) di antaranya dinyatakan bahwa hak atas informasi lingkungan merupakan konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan

yang bertandaskan pada asas keterbukaan. Contoh pengaturan hak atas informasi secara sektoral adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa setiap norang berhak mengetahui rencana tata ruang. Hak untuk berperan serta bagi setiap orang dalam pengelolaan lingkungan terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) UUPLH. Berbagai perundang-undangan organik yang mengatur peran serta tersebut, seperti dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang maupun UU No. 8 Tahun 2000 tentang Pertindungan Konsumen.. Sebagai contoh dapat dikemukakan Pasal 4 ayat (2) huruf b UUPR yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Reran serta dapat diwujudkan dalam bentuk mengajukan usul, member! saran, atau mengajukan keberatan kepada Pemerintah dalam rangka penataan ruang. Penjabaran ketentuan ini diatur dalam PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Apabila informasi yang diberikan itu ternyata palsu, menghilangkan, me-nyembunyikan, atau merusak, maka bagi pelakunya dikenakan sanksi pidana sebagai-mana tercantum dalam Pasa! 43 ayat (2) UUPLH. Hak peran serta ini berkaitan pula dengan peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan sebagai penunjang dalam pengelolaan lingkungan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UULH, yang dapat pula dikaitkan dengan freedom of associations. Peran LSM ini dalam UUPLH tidak dicantumkan setegas UULH, akan tetapi tercantum dalam Penjelasan Umum dan Pasal 38 ayat (1) UUPLH yang berkaitan dengan hak organisasi lingkungan untuk menggugat atas nama lingkungan.

4. Wewenang dan Kelembagaan Pengeloiaan Lingkungan PasaL 3 UUPLH menyatakan sebagai berikut: "Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya ............" Dengan demikian, berdasarkan asas tanggung jawab negara (state

responsibility), di satu sisi negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besamya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Di lain sisi, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas ini terkait dengan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang berimplikasi adanya kewenangan Pemerintah untuk: (1). mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup; (2). mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika; (3). mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan; (4). mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial; (5). mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping memiliki kewenangan mengatur, maka dalam rangka pengelolaah lingkungan pemerintah juga mempunyai kewajiban, di antaranya adalah mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Asas kebertanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan menjadi tumpuan tertanjutkannya pembangunan. Oleh karena itu, kepentingan lingkungan hidup tidak tepat apabila dipertentangkan dengan pembangunan. Di samping itu, yang dilestarikan bukanlah lingkungan an

sich, akan tetapi kemampuan lingkungan sesuai dengan fungsinya. Sesuai amanat yang tertuang dalam UUD45, pemerintah selaku penyelenggara negara, dengan kewenangannya dalam mendayagunakan sumber daya alam yang dimiliki, mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum, yaitu dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam Pasal 10 UUPLH disebutkan secara rinci kewajiban pemerintah dalam rangka pengelolaan Lingkungan Hidup, diantaranya (dalam huruf e) adalah mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif

(diutamakan), preventif dan proaktif dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Perangkat yang bersifat preemtif adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan seperti Tata Ruang dan AMDAL. Adapun preventif adalah tindakan pada tingkatan pelaksanaan melalui penataan baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi Lingkungan Hidup, spt. ISO 14000. Perangkat pengelolaan Lingkungan Hidup yang mencakup ketiganya, yaitu yang bersifat preemtif, preventif & proaktif misalnya adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab LH, penerapan asuransi LH dan audit LH yang dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan guna meningkatkan kinerja. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat dapat menyerahkan urusan di bidang Lingkungan Hidup kepada daerah sesuai kemampuan, situasi dan kondisi daerah masing-masing. Konsep otonomi daerah itu sebenamya baik, yaitu dengan menyerahkan sebagian urusan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya sendiri, tapi praktek pelaksanaannya yang seringkali buruk. Ini terjadi akibat persepsi otonomi daerah terhadap Lingkungan Hidup yang buruk, yaitu berusaha memanfaatkan Sumber Daya Alam sebanyak-banyaknya guna mencapai PAD yang ditargetkan tanpa menghiraukan kondisi Lingkungan Hidupnya yang semakin merosot, sehingga periu ada biaya recovery/pemulihan. Seringkali yang terjadi Sumber Daya Alam kita hilang tanpa meninggalkan kontribusi yang berarti pada negara, seperti yang terjadi pada penambangan

batubara atau penebangan kayu di Kalimantan. Contoh lainnya adalah Freeport, yang termasuk perusahaan penambangan besar dunia yang menggali Sumber Daya Alam kita tanpa memberikan royalty yang sepadan pada pemerintah. Ironinya, Sumber Daya Alam yang sangat melimpah, tapi pembagiannya yang tidak merata, sehingga rakyat rmasih banyak yang miskin dan upah buruh yang masih di bawah standar.

5. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sesuai dengan batasan pengelolaan lingkungan menurut Pasal 1 butir 2 UUPLH, maka esensi dan pengelolaan lingkungan adalah pertunya penggunaan hak dan kewenangan secara terpadu. Untuk itu Pasal 9 ayat (2) UUPLH lebih lanjut menegaskan bahwa "Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan

memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan keterpaduan (integration) menurut A.V. van den Berg (dalam Rangkuti, 1987) adalah penyatuan dari wewenang ("fusion of competences"), sedang koordinasi (coordination) adalah kerjasama dalam pelaksanaan wewenang yang bersifat mandiri ("working together in the exertion of autonomous competences'). Pemahaman keterpaduan tersebut nampaknya tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Apabila memperhatikan pengaturan kelembagaan pengelolaan lingkungan menurut Pasal 11, 12, dan 13 UUPLH serta dihubungkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000, maka dari segi hukum administrasi negara yang menyangkut wewenang kelembagaan, pengelolaan lingkungan di Indonesia dewasa ini lebih bersifat koordinatif. Upaya keterpaduan tercermin dalam perumusan dan penyelenggaraan dan program, kebijaksanaan termasuk lingkungan, di bidang penentuan peraturan

langkah-langkah

perundang-undangan. Unsur keterpaduan merupakan ciri utama dan hal yang esensial dalam pengelolaan lingkungan, mengingat lingkungan yang dikelola sebagai konsep ekologis tidak mengenal batas wilayah/administrasi (prinsip bioregionalism). Padahal pengelolaan lingkungan selalu didasarkan adanya kewenangan yang

mengenal batas wilayah (Pasal 2 UUPLH=Wawasan Nusantara). Oleh sebab itu pengelolaan lingkungan mutlak menuntut beyond the administrative boundary karena ciri-ciri ekologisnya, sehingga idealnya dikelola dengan prinsip

bioregionalism. Keterpaduan horizontal menjamin adanya keserasian hubungan antar sektor/ bidangdan atau antar daerah, agar hasil yang diperoleh merupakan upaya bersama yang memperhitungkan banyak kepentingan yang kadang-kadang saling berbenturan satu sama lain. Di era otonomi daerah sekarang ini, keterpaduan horizontal harus diarahkan pada kesatuan bio-region agar tidak terjadi saling lempar tanggung jawab jika terjadi kerusakan dan atau pencemaran lingkungan. Koordinasi ini dituangkan dalam kelembagaan dengan disertai pengaturan yang dirumuskan bersama seluruh stakeholders dalam menjaga pelestarian fungsi lingkungan. Keterpaduan vertikal merupakan keserasian antara pelaksanaan

kebijaksanaan dan program Pusat dengan Daerah. Di samping itu juga harus dibangun keterpaduan dalam bentuk keserasian pengaturan (harmonisasi hukum). Pelaksanaan keterpaduan di bidang peraturan perundang-undangan lingkungan telah dirintis oleh Kantor Menteri Negara KLH dengan menyusun matriks peraturan perundang-undanggan lingkungan yang berkaitan dengan ketentuan dalam UULH yang memeriukan pengaturan tersendiri atau penjabaran secara lebih terinci. Matriks tersebut memuat substansi yang harus diatur, kaitannya pada pasal tertentu dalam UULH, instansi yang harus mengambil prakarsa dan dengan instansi apa saja kerjasama harus dijalin untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

6. Ketentuan Insentif dan Disinsentif Ketentuan tentang insentif dan disinsentif dengan tegas tercantum dalam Pasal 8 UULH 1982 yang dalam ayat (1)-nya menyatskan bahwa Pemerintah menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan. Penjelasannya menyatakan bahwa ketentuan pasal ini memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tertentu misalnya dalam bidang perpajakan, sebagai insentif guna lebih meningkatkan pemeliharaan lingkungan, dan disinsentif untuk mencegah dan menanggulangi kemsaka.n dan pencemaran

lingkungan. Kebijak-sanaan dan tindakan tersebut dapat pula diarahkan kepada pemberian penghargaan kepada setiap orang yang amat berjasa dalam pelestarian kemampuan lingkungan. Dalam UUPLH 1997, tentang ketentuan insentif dan disinsentif tidak lagi tercantum secara tegas. Namun demikian di dalam penjelasan Pasal 10 huruf (e) terdapat pemyataan yang di antaranya berbunyi: Adapun preventif adalah tindakan tingkat pelaksanaan melalui penaatan baku mutu limbah dan atau melalui instrumen ekonomi.

7. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pada dasarnya, instrumen hukum lingkungan yang berfungsi mencegah pen-cemaran atau perusakan lingkungan adalah baku mutu lingkungan (BML) dan baku kerusakan lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), dan izin lingkungan, di samping instrumen ekonomik berupa pungutan pencemaran (pollution charges). Sebagai salah satu instrumen hukum preventif melalui prosedur administratif bertahap, AMDAL diatur dalam Pasal 15 UUPLH yang tata cara penyusunan dan penilaian-nya ditetapkan dengan PP. Prosedur AMDAL terintegrasi ke dalam sistem perizinan lingkungan menurut Pasal 18-21 UUPLH. Dewasa ini, yang termasuk jenis perizinan lingkungan menurut hukum positif adalah: (1) perizinan usaha; (2) izin tempat usaha (Hinder Ordonnantie); (3) izin pembuangan limbah cair; (4) izin pembuangan limbah ke media lingkungan; (5) perizinan bahan beracun berbahaya (B-3); (6) perizinan benda cagar budaya; dan (7) perizinan pemanfaatan ruang dan bangunan.

a. Pengaturan AMDAL Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, maka PP. No. 51 Tahun 1993 pertu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 (PP 27 tahun 1999) sebagai penyempurnaan PP 51/1993 yang berlaku efektif mulai tanggal 7 November 2000. Melalui PP. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih optimal. Satu hal penting yang diatur dalam PP 27 Tahun 1999 ini adalah dihapuskannya keberadaan Komisi Penilai AMDAL

departemental / sektoral, dalam rangka pemberdayaan penilaian AMDAL kepada

Daerah. Dengan berlaku efektifnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan, maka kekurangsempurnaan pengaturan dalam PP 27 Tahun 1999 (disharmonisasi dengan pengaturan Otonomi Daerah), selanjutnya "cukup" diselesaikan dengan Kepmeneg LH No. 40, 41, dan 42 Tahun 2000. Berbagai peraturan pelaksanaan PP AMDAL yang merupakan paket pedoman bagi penyusun dan penilai, adalah: 1) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 299/11/1996 tentang Pedoman Kajian Aspek Sosial Dalam AMDAL; 2) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 105 Tahun 1997 tentang Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL; 3) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 124/12/1997 tentang Panduan Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat Dalam AMDAL; 4) Keputusan Meneg LH No. 30 Tahun 1999 tentang Panduan Penyusunan Dokumen Pengelolaan Lingkungan; 5) Keputusan Meneg LH No. 2 Tahun 2000 tentang Panduan Penilaian Dokumen AMDAL; 6) Keputusan Meneg LH No. 17 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan AMDAL (sebagai pengganti Kepmeneg LH No. 3 Tahun 2000 yang menimbulkan kontroversial); 7) Keputusan Meneg LH No. 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu; 8) Keputusan Meneg LH No. 5 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah; 9) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses AMDAL; 10) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL; 11) Keputusan Meneg LH No. 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai AMDAL; 12) Keputusan Meneg LH No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Komisi Penilai AMDAL Kabupaten/Kota; 13) Keputusan Meneg LH No. 42 Tahun 2000 tentang Susunan Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim Teknis AMDAL Pusat.

14) Keputusan Meneg LH No. 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan UKL dan UPL Di samping pedoman pelaksanaan di atas, bagi penyusun dan penilai AMDAL hendaknya harus berpegangan pada berbagai kebijakan lain, meliputi: 1) Kebijakan yang menyangkut penataan ruang dan pertanahan; 2) Kebijakan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan (sektoral atau bidang); 3) Kebijakan pertindungan dan pengendalian lingkungan hidup, termasuk peraturan baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan lingkungan. 4) Kebijakan Internasional di bidang lingkungan, khususnya yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah, bahkan juga kebiasaan-kebiasaan.

b. Kaitan dengan Peraturan Pertanahan dan Tata Ruang Aspek ini harus diperhattkan dengan benar oleh penyusun dan penilai. Mengapa? Karena dalam setiap kegiatan pembangunan, ruang adalah wadah dan juga sumber daya untuk pembangunan itu. Untuk maksud tersebut periu dihindari masalah-masalah hukum sebagai berikut: 1) Terjadinya benturan kepentingan berbagai sektor pembangunan

(pertambangan dengan kehutanan, perkebunan dengan pertambangan, kehutanan dengan transmigrasi, pertanian dengan permukiman, dan sebagainya); 2) Konflik-konflik horizontal akibat pengadaan dan konversi hak atas tanah, mengingat sebagian besar tanah wilayah Negara telah dikuasai dan atau dimiliki orang atau badan hukum dengan berbagai bentuk hukum; 3) Berkurangnya luas tanah pertanian subur menjadi tanah permukiman, industri, dan keperluan non pertanian lainnya; 4) Menurunnya kualitas lingkungan yang ditandai dengan meluasnya tanah kritis dan pencemaran oleh buangan limbah. Kebijakan peraturan perundang-undangan yang harus diperhatikan guna menghindari atau memperkecil permasalahan di atas, di antaranya : a. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA); b. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; c. UU No.6 . Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;

d. PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan tanah Teriantar; e. Keppres No.32 tahun 1990 Tentang Pengeloiaan Kawasan Lindung; f. Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum; g. Peraturan Meneg Agraria/kepala BPN No. 1 tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No.55 Tahun 1993; h. Keppres No. 33 tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah bagi

Pembangunan Industri; i. Keppres No. 75 tahun 1993 tentang Koordinasi Pengeloiaan Tata Ruang Nasional; j. Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No.2 Tahun 1999 tentang Tata Cara memperoleh Izin Lokasi dan hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal; k. PERDA Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

c. Kaitan dengan Peraturan Bidang Kegiatan/Usaha Pengeloiaan lingkungan memerlukan koordinasi dan keterpaduan sebagai ciri utama, yang sejalan dengan Pasal 11 UUPLH, secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-depertemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian, penerapan AMDAL harus ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral/bidang, seperti: 1) UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan gas Bumi (telah dicabut dan diganti dengan UU No. 22 Tahun 2001); 2) UU No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (telah dicabut dan diganti dengan UU No.41 Tahun 1999); 3) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan; 4) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; 5) UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; 6) UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan; 7) UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan; 8) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman; 9) UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;

10) UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan jalan; 11) UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan; 12) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 13) UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; 14) UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian; Untuk setiap bidang kegiatan atau usaha tentunya masih harus diperhatikan peraturan-peraturan pelaksanaan yang relevan dengan sub pokok kajiannya. Peraturan pelaksanaan dapat berupa peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri atau keputusan pimpinan LPND. Pengaturan desentralisasi pengelolaan lingkungan sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 12 dan 13 UUPLH, hendaknya perlu memperhatikan semangat pelaksanaan otonomi daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom guna mencapai pemberdayaan pembangunan daerah. Dengan demikian, sudah saatnya pihak-pihak yang teriibat dalam penyusunan AMDAL cepat tanggap dan mampu mengakomodasikan semangat tersebut.

d. Kaitan dengan Peraturan Baku Mutu Lingkungan AMDAL mempunyai hubungan yang erat dengan baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan lingkungan yang diwujudkan dalam dokumen RKL dan RPL sebagai persyaratan dan kewajiban izin. Baku mutu merupakan instrumen yuridis yang diperiukan untuk menjamin agar upaya pemeliharaan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dapat tercapai secara maksimal. Di samping fungsinya sebagai alat bukti yang menunjukkan dilanggar tidaknya kewajiban pengendalian dampak lingkungan oleh penanggung jawab suatu kegiatsn atau usaha, serta ada tidaknya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Kriteria dan pembakuan ini dapat berbeda untuk setiap lingkungan, wilayah, atau waktu mengingat akan perbedaan peruntukkannya. Perubahan keadaan lingkungan setempat serta perkembangan teknologi akan ikut mempengaruhi kriteria dan pembakuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kompleksitas ketentuan baku mutu akan ditentukan

menurut perbedaan lingkungannya (udara, air, air laut, tanah, dan sebagainya), perbedaan jenis dan parameter buangannya, perbedaan wiiayah dan

peruntukkannya, ataupun dapat berubah berdasarkan waktu dan perkembangan teknologi. Oleh sebab itu pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan dan penilaian AMDAL hendaknya mencermati ketentuan-ketentuan baku mutu yang akan digunakan. Beberapa ketentuan yang menyangkut baku mutu, di antaranya adalah : 1) PP No. 82 Tahun 2001 tentang tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (pengganti PP No. 20 Tahun 1990); 2) PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan Beracun (Juncto PP No. 85 tahun 1999); 3) PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut; 4) PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara; 5) PP No. 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa; 6) PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pen-cemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan; 7) Keputusan Meneg LH No. KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak; 8) Keputusan Meneg LH No. KRP-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri; 9) Keputusan Meneg LH No. KEP-52/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Hotel; 10) Keputusan Meneg LH No. KEP-58/MENLH/12/1995 tentang Baku Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit; 11) Keputusan Meneg LH No. KEP-42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi; 12) Keputusan Meneg LH No. KEP-43/MENLH/10/1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan bagi Usaha dan atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan; 13) Keputusan Meneg LH No. KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan;

14) Keputusan Meneg LH No. KEP-49/MENLH/11/1996 tentang Buku Tingkat Getaran; 15) Keputusan Meneg LH No. KEP-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan; 16) Peraturan Menteri kesehatan No. 416/Menkes/Per/ 1X/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air; 17) Keputusan Gubemur mengenai Baku Mutu Lingkungan di setiap Wilayah Propinsi; 18) Keputusan Gubernur mengenai Penggolongan Air dan Penetapan Peruntukan Air Sungai; 19) Keputusan KA. BAPEDAL NO. 113 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan.

e. Tujuan dan Kegunaan Tujuan AMDAL adalah untuk menjamin agar suatu usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat beroperasi secara berkelanjutan tanpa merusak dan mengorbankan lingkungan atau dengan kata lain usaha atau kegiatan tersebut layak dan aspek lingkungan hidup. Melalui pengkajian AMDAL, kelayakan lingkungan sebuah rencana usaha dan./atau kegiatan pembangunan diharapkan mampu secara optimal meminimalkan ke-mungkinan dampak lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien. Sebagai kajian kelayakan lingkungan suatu rencana usaha/atau kegiatan yang prosesnya melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan, AMDAL sangat berguna bagi: 1) Pemerintah (a). Sebagai alat pengambil keputusan tentang kelayakan lingkungan dan" suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. (b). Merupakan bahan masukan dalam perencanaan pembangunan wilayah. (c). Untuk mencegah agar potensi sumber daya alam di sekitar lokasi proyek tidak rusak dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. 2) Masyarakat (a). Dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya sehingga

dapat mempersiapkan din untuk berpartisipasi. (b). Mengetahui perubahan lingkungan yang akan terjadi dan

manfaat serta kerugian akibat adanya suatu kegiatan. (c). Mengetahui hak dan kewajibannya di dalam hubungan dengan usaha dan/atau kegiatan di dalam menjaga dan mengelola kualitas lingkungan. 3) Pemrakarsa (a). Untuk mengetahui masalah-masalah lingkungan yang akan di hadapi pada masa yang akan datang. (b). Sebagai bahan untuk analisis pengelolaan dan sasaran proyek. (c). Sebagai pedoman untuk melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

f. Pendekatan Studi AMDAL Pendekatan studi AMDAL yang tepat dibutuhkan untuk mengoptimalkan hasil kajian, serta untuk mengefisiensikan proses pelaksanaannya. Artinya, suatu jenis rencana usaha dan/atau kegiatan akan dapat diproses dalam waktu jauh lebih singkat dan menyeluruh bila menggunakan pendekatan yang tepat, dibandingkan dengan apabila menggunakan pendekatan yang lain. Pendekatan pelaksanaan studi AMDAL yang dikenal di Indonesia adalah: 1) AMDAL Kegiatan Tunggal, penyusunan studi AMDAL bagi satu jenis usaha dan/atau kegiatan yang kewenangan pembinaannya di bawah satu instansi yang membidangi jenis usaha/atau kegiatan tersebut. 2) AMDAL Kegiatan Terpadu/Multisektor, penyusunan studi AMDAL bagi usaha dan/atau kegiatan terpadu baik dalam hal perencanaan, proses produksinya maupun pengelolaannnya melibatkan lebih dari satu instansi yang membidangi kegiatan tersebut serta berada dalam kesatuan hamparari ekosistem. 3) AMDAL Kegiatan dalam Kawasan, penyusunan studi AMDAL bagi usaha dan/atau kegiatan yang beriokasi di dalam suatu kawasan yang telah ditetapkan atau berada dalam kawasan/zona pengembangan wilayah sesuai dengan tata ruang wilayah dan/atau kawasan yang telah ditetapkan pada kesatuan hamparan ekosistem.

g. Pihak-pihak Yang Berkepentingan Dengan AMDAL Pada dasamya ada tiga pihak yang berkepentingan dalam AMDAL, yaitu Pemerintah, Kelompok Usaha, dan Masyarakat. Ketiga komponen ini dilibatkan dalam proses penilaian dan pemrosesan dokumen AMDAL, di mana uraian tugas, hak, dan kewajiban masing-masing masuk dalam lingkup peran berikut ini: 1) Komisi Penilai AMDAL; yaitu komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL dengan pengertian di tingkat pusat oleh Komisi Penilai Pusat, dan di tingkat daerah oleh Komisi Penilai Daerah. Unsur pemerintah yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak duduk sebagai anggota di dalam Komisi Penilai ini. 2) Pemrakarsa; yaitu orang atau badan yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. 3) Warga masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut akan menjadi kelompok yang diuntungkan (beneficiary groups), dan kelompok yang dirugikan (at-risk groups). Lingkup warga masyarakat yang terkena dampak ini dibatasi pada masyarakat yang berada dalam ruangan dampak rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. Namun demikian dalam pelaksanaannya, ada beberapa komponen lainnya yang ikut teriibat, seperti: a) Pemberi Izin; yaitu instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan bagi suatu usaha atau kegiatan atas dasar hasil studi AMDAL yang dilakukan. b) Pakar Lingkungan dan Pakar Teknis; yaitu seseorang yang ahli di bidang lingkungan dan bidang ilmu tertentu. c) Lembaga Pelatihan; dan/atau yaitu lembaga yang menyelenggarakan yang berhubungan

kursus-kursus

pelatihan-pelatihan

dengan pengelolaan lingkungan hidup/AMDAL. d) Konsultan; orang atau badan hukum yang diberi wewenang oleh pemrakarsa untuk menyusun studi AMDAL.

h. Proses Penilaian Dokumen AMDAL Proses penilaian dokumen KA-ANDAL dan ANDAL, RKL, RPL secara formal dilakukan dalam siding Komisi Penilai. Ketidaksiapan, ketidaklengkapan, maupun rendahnya kualitas dokumen yang diserahkan untuk dinilai akan menghambat proses penilaian, karena Komisi Penilai tidak bisa segera mengambil keputusan. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Melaksanakan dengan cermat langkah-langkah Proses Pengajuan dokumen AMDAL 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi presentasi dan diskusi dalam sidang 3) Faktor-faktor yang mempengaruhi kelulusan dokumen AMDAL Faktor-faktor di atas akan membantu mempercepat keseluruhan proses penilaian, sekaligus peningkatan kualitas pengambilan keputusan. KA-ANDAL dianggap sah sebagai dasar penyusunan ANDAL, RKL dan RPL, bilamana telah dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL dan mendapatkan Keputusan dan pemerintah (Kepala BAPEDAL atau Gubemur) dalam waktu

selambat-lambatnya 75 hari kerja sejak diterimanya dokumen tersebut oleh Sekretariat Komisi. Sebaliknya, bilamana pemerintah (Kepala BAPEDAL atau Gubemur) dalam waktu 75 (tujuh puluh lima) hari kerja tersebut tidak juga memberikan keputusan, maka secara hukum KA-ANDAL tersebut sah sebagai dasar penyusunan ANDAL. Rangkuman dokumen ini dibahas dan dinilai bersama-sama di hadapan Komisi. Bila dokumen dianggap belum memenuhi syarat, wajib diperbaiki sesuai petunjuk Komisi yang bertanggungjawab. Rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL diwajibkan menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

i. Peran AMDAL Dalam Perizinan Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perizinan. Oleh karena itu, maka izin melakukan usaha dan/atau kegiatan baru dapat diterbitkan bila hasil studi AMDAL menyatakan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan

tersebut layak lingkungan. Untuk menjamin pelaksanaannya di lapangan, maka berbagai persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam dokumen RKL dan RPL wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin.

j. Pemantauan RKL dan RPL Untuk menjamin RKL dan RPL dilaksanakan dengan baik periu dilakukan pemantauan. Pemantauan ini dimaksudkan untuk mewujudkan dan meningkatkan kesadaran para pemrakarsa usaha dan / atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan secara benar dan bersungguh-sungguh, kreatif daan bertanggung jawab sehingga kualitas lingkungan dapat dipertahankan sesuai dengan fungsinya. Adapun tujuan diiaksanakannya pemantauan RKL dan RPL adalah: 1) Untuk mengetahui pelaksanaan RKL dan RPL; 2) Untuk mengetahui tingkat ketaatan pemrakarsa usaha dan/atau

kegiatan dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan; 3) Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan RKL dan RPL dalam

menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan. Pemantauan RKL dan RPL dilaksanakan oleh: a) Pemrakarsa/penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan; b) Instansi Teknis/Sektor yang bertanggung jawab (Pengawasan); c) Kementerian Negara Lingkungan Hidup, BAPEDALDA Propinsi dan Kabupaten/Kota (Pengawasan).

k. Tanggung Jawab Pelaksanaan dan Pengawasan AMDAL Secara umum tanggung jawab koordinasi pelaksanaan AMDAL berada pada BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). BAPEDAL menyediakan berbagai infonmasi tentang AMDAL baik berupa brosur, booklet maupun pedoman-pedoman pelaksanaan AMDAL disamping melaksanakan tugas pengawasan pelaksana-annya. Dengan bertakunya Keppres No. 2 dan 4 Tahun 2002, maka tugas, fungsi, dan kewenangan BAPEDAL dialihkan ke Menteri Negara Lingkungan Hidup. Pihak yang bertanggung jawab dalam pengawasan AMDAL adalah instansi yang secara teknis membidangi usaha dan/atau kegiatan tersebut serta instansi yang diberi wewenang untuk mengendalikan dampak lingkungan (dalam hal ini adalah Menteri Negara LH dan BAPEDALDA).

8. Perizinan Lingkungan Unsur terpenting dalam setiap program pengendalian dampak lingkungan adalah sistem perizinan yang mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan lingKungan dan menetapkan baku mutu lingkungan yang dapat mengikat secara hukum bagi kegiatan atau usaha yang menjadi sumber dampak. Izin dapat diartikan sebagai suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan (J.B.J.M. ten Berge dalam Hadjon, 1993: 2).Yang pokok pada izin, penguasa (Pejabat Tata Usaha Negara) memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, apabila memenuhi kriteria, batasan atau persyaratan tertentu. Dalam hubungannya dengan periindungan lingkungan, persyaratan ini dapat

ditambah-kan menurut perundang-undangan. Dalam kaitan ini, Rangkuti (1994: 1-2) menyatakan bahwa izin merupakan keputusan tata usaha Negara (beschikking) yang dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan wajib disertai dengan persyaratan-persyaratan dan pertimbangan lingkungan. Pada lazimnya jenis izin mengenai kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan dikenal dengan istilah izin lingkungan (environmental license atau milieu-verguning). Mengingat banyaknya jenis dan kompleksnya sistem perizinan di Indonesia, konseptor UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) berpendapat bahwa dalam UULH tidak ditambah lagi jenis izin bam, tetapi upaya pertindungan lingkungan dapat diintegrasikan pada setiap proses pemberian izin yang berkaitan dengan lingkungan. Dengan demikian, timbullah dasar hukum perizinan berwawasan lingkungan, yaitu dalam Pasal 7 UULH yang berbunyi: (1). Setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. (2). Kewajiban sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. (3). Ketentuan tentang kewajiban sebagaimana dimaksud dala ayat (1) dan ayat (2) pasal ini ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Adapun dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dengan adanya kewajiban tersebut dijadikan salah satu syarat dalam pemberian izin, maka penyelenggara bidang usaha senantiasa terikat hidup guna untuk melakukan menunjang tindakan pelestarian yang

kemampuan

lingkungan

pembangunan

berkesinambungan. Pada saat ini UULH telah dicabut dan digantikan dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Pasal yang mengatur tentang perizinan lebih banyak, yaitu Pasal 18, 19, dan Pasal 20. Pasal 18 Pada prinsipnya mengatur mengenai kewajiban persyaratan menyusun dokumen AMDAL dalam prosedur perizinan usaha atau kegiatan. Pasal 19 mengatur kewajiban pejabat pemberi izin dalam proses penerbitan izin usaha, sedangkan Pasal 20 mengenai izin yang berhubungan dengan pembuangan limbah ke media lingkungan.

E. STRATEGI PENAATAN LINGKUNGAN

1. Pendekatan Penaatan Taat hukum, atau melaksanakan hukum (baik hukum umum maupun persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam keputusan izin yang mengikat secara individual) sebagaimana mestinya merupakan suatu bentuk penegakan hukum, karena di dalam ketaatan hukum (compliance) mengandung makna menerapkan dan mempertahankan hukum. Menerapkan dan mempertahankan hukum tidak lain dari tindakan mewujudkan asas dan kaedah hukum pada suatu peristiwa konkrit. Dari sudut hukum, pengertian ini bermakna menjadikan hukum sebagai sesuatu yang nyata atau konkrit sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum. Dengan demikian, menegakkan hukum sebagai salah satu aspek menerapkan hukum adalah fugsi atau tindakan "mempertahankan hukum" (handhaving van het recht) agar hukum ditaati, berjalan, atau dijalankan sebagaimana mestinya. Penegakan hukum merupakan reaksi atas sesuatu peristiwa yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum. Menegakkan hukum lingkungan tidak selalu (tidak semata-mata) berwujud dalam tindak represif dalam bentuk penghukuman (punishment). Betapa sebagian penanggung jawab usaha atau kegiatan yang berdampak penting patuh (taat)

pada persyaratan dan kewajiban mengendalikan dampak lingkungan tanpa harus ada tindakan represif tertentu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu ada berbagai motif. Ada yang karena pengetahuan menerjemahkan kaedah atau aturan yang boleh dan tidak dan atau yang menjadi kewajibannya (misal mengolah limbah) dengan baik. Ada yang didorong oleh keadaan ekonomi dan sosialnya sendiri, atau karena menjalankan atau menegakkan hukum ttu akan memberi manfaat, baik dalam bentuk anugerah (reward), manfaat produk, dan keniudahan lainnya. Bahkan bisa juga karena didorong oleh rasa takut apabila melanggar. Pelajaran apa yang dapat dipetik dari gambaran di atas? Pertama, hukum dapat ditegakkan melalui tindakan pencegahan (preventif) dalam bentuk ajakan (mengajak) yang menimbulkan dorongan untuk taat atau tidak melanggar hukum. Dalam keadaan seperti ini hukum menegakkan dirinya sendiri tanpa memerlukan unsur pemaksaan dari luar berupa aparat penegak hukum. Karena itu,dalam kebijakan legislasi di bidang per-lindungan lingkungan hidup, rumusan-rumusan pencegahan (preventif) disamping betapa penting

rumusan-rumusan

penindakan (represif). Kedua; penegakan hukum, tidak hanya dilakukan oleh aparat penegak hukum. Masyarakat atau para penanggung jawab usaha atau kegiatan (baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain), adalah juga unsur penyelenggara penegakan hukum. Tetapi masyarakat sebagai unsur penegak hukum bukan dalam arti praktek yang selama ini terjadi seperti ikut "SISKAMLING", ikut menertibkan lalu lintas, atau lain-lain tindakan semacam itu. Yang dimaksud masyarakat sebagai penegak hukum yaitu masyarakat mencegah dirinya sendiri untuk tidak melanggar hukum dengan berbagai alasan seperti telah diutarakan di atas. Ketiga; sanksi dalam penegakan hukum tidak hanya dalam bentuk penghukuman. (punishment). "Sanksi" dalam penegakan hukum dapat juga berupa penghargaan (reward), berbagai manfaat, atau kemudahan (insentif) yang diperoleh karena melaksanakan hukum sebagaimana mestinya. Dengan demikian sanksi hukum lingkungan dapat bersifat negatif dan positif. Keempat; taat hukum, atau melaksanakan hukum sebagaimana mestinya merupakan suatu bentuk penegakan hukum, karena di dalam ketaatan mengandung makna mempertahankan hukum. Penegakan hukum lingkungan (environmental law enforcement) bertujuan agar sasaran program penegakan hukum (regulated community) menaati persyaratan dan kewajiban perlindungan lingkungan yang biasanya dicantumkan

dalam keputusan izin (vergunningen atau license), baku mutu dan baku kerusakan lingkungan, maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan perkataan lain, tujuan enforcement dalam lingkungan adalah compliance. Guna tercapainya tujuan penegakan hukum lingkungan secara berdayaguna dan berhasilguna, diperlukan berbagai alternatif pendekatan. Strategi penaatan (compliance"strategy) didasarkan pada berbagai pendekatan sebagai berikut:

a.

Pendekatan periiaku (behavior approach) Pendekatan periiaku (behavior) menekankan pada human motivation dengan penekanan pada pentingnya kerjasama melalui perundingan/negosiasi, upaya meyakinkan regulated community tentang pentingnya penaatan, pemberian dukungan/bantuan teknis agar masyarakat industri bersedia mengikuti program penaatan lingkungan. Hubungan personal (personal relationship) antara obyek/sasaran pengaturan (regulated commnunity) dan aparat pemerintahan (regultor) sebagai sesuatu yang sangat penting dan merupakan prakondisi untuk mewujudkan kondisi taat. Model ini memandang industri sebagai obyek pengaturan yang incompetent atau unknowledge-able. Dalam hubungan ini, di samping diberikan bantuan teknis dan asistensi, pertu pula dengan memberikan penghargaan lingkungan.

b.

Pendekatan ekonomi (economic approach) Perlunya pendekatan ini didasarkan pada suatu dalil bahwa setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang berpotensi mencemarkan, secara rasional akan menghitung terlebih dahulu sejauh mana melakukan penaatan (compliance) atau melakukan pelanggaran (violation) mendatangkan

keuntungan secara ekonomis. Teori inilah yang member! dasar bagi perlunya pengembangan instrumen ekonomi dalam pengendalian dampak lingkungan. Pendekatan melalui instrumen ekonomi ini dapat dilakukan melalui tindakan yang dimaksudkan sebagai insentif, dapat pula sebagai disinsentif. Apabila insentif dan disinsentif ini dengan tegas dinyatakan dalam UULH, yaitu dalam Pasal 8 UULH, dalam UUPLH tidak ada pasal yang mengatur tentang insentif dan disinsentif ini, yang mengatur instrumen ekonomi dalam memberikan kemudahan kepada para pengusaha dalam upayanya melestarikan fungsi lingkungan. Instrumen ekonomi ini hanya tercantum dalam penjelasan Pasal 10

huruf e UUPLH, yang di antaranya menyatakan: "Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penaatan baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi." Pendekatan ini dapat dalam bentuk seperti, (1) insentif moneter; (2) pajak lingkungan; (3) pollution charges; dan (4; banking on biosphere.

c.

Pendekatan penjeraan (deterrent approach) Pendekatan penjeraan merupakan pendekatan yang banyak digunakan dalam ke-bijakan penegakan hukum lingkungan, termasuk Indonesia. Secara sederhana dapat diartikan bahwa sumber pencemar (atau yang berpotensi mencemarkan ) dicegah untuk melakukan pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban pertindungan lingkungan (environmental requirements) melalui ancaman hukuman (sanksi) atau penjatuhan sanksi. Pendekatan penjeraan dapat bersifat spesifik, yaitu mencegah pelaku pelanggaran tidak melakukan pelanggaran yang sama (mengulang), dan bersifat umum yaitu mencegah masyarakat umum melakukan pelanggaran. Pendekatan penjeraan ini yang juga lazim dikenal dengan pendekatan command & control, pendekatan penegakan hukum atau stick (vis a vis pendekatan carrot). Pendekatan ini dapat berjalan efektif apabila paling sedikit terdapat 3 (tiga) prakondisi sebagai berikut: 1) Kemampuan mendeteksi adanya pelanggaran. 2) Tanggapan (respons) yang cepat dan pasti (swift & sure responses) terhadap pelanggaran yang dideteksi sebagaimana no1; dan 3) Sanksi hukum yang memadai. Dalam konteks penggunaan pendekatan "perintah dan awasi" (command and control), dikenal penegakan hukum melalui jalur administrasi, pidana, dan perdata. Salah satu jenis sanksi administrasi yang diatur dalam UUPLH adalah audit wajib, apabila penanggung jawab usaha atau kegiatan menunjukkan ketidakpatuhan. Audit wajib pendekatannya adalah represif, karena

berdasarkan perintah (keputusan pejabat yang berwenang) yang memiliki daya paksa. Artinya, apabila penanggung jawab usaha atau kegiatan tidak melaksanakan perintah, maka Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit lingkungan atas beban biaya pelanggar

(uang paksa). Pilihan penetapan sanksi administrasi, apakah dikenakan tindakan paksaan pemerintahan (bestuursdwang), audit wajib (mandatory audit) atau uang paksa, maupun pencabutan izin, adalah ada pada pemerintah selaku aparat penegak hukum administrasi untuk menilai (discretionary power). Namun demikian, penggunaan kewenangan ini dituntut untuk tetap memperhatikan

prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik (the general principles of good administration). Pengaturan sanksi pidana dan perdata dalam UUPLH yang merupakan manifestasi dan pendekatan command and control yang bersifat represif, rumusannya lebih memadai dibandingkan dengan UU sebelumnya (UU No. 4 Tahun 1982). Beberapa pengaturan hukum baru dalam UUPLH, seperti adanya delik materiel (generic crimes) dan delik formal (specific crimes), keberadaan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan, dan tanggung jawab korporasi dalam kejahatan lingkungan (corporate liability), di samping juga dikenalnya penerapan asas sub-sidiaritas atau ultimum remedium. Selanjutnya di dalam UUPLH juga telah diadopsi prosedur gugatan kelompok (class action) yang selama ini hanya dikenal dalam doktrin/ajaran hukum, demikian pula dengan hak gugat organisasi lingkungan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan (legal standing). Penegasan pengaturan prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability (liability without fault) yang aplikabel, tidak lagi seperti UULH, serta dapat digunakannya cara penyelesaian sengketa lingkungan secara damai (peaceful settlement of dispute) di luar pengadilan, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi lingkungan (ADR).

d.

Pendekatan tekanan publik (public pressure approach) Pendekatan ini menekankan pada pentingnya kekuatan masyarakat, termasuk masyarakat korban (affected community), masyarakat konsumen, ataupun organisasi lingkungan. Bentuknya dapat dilakukan melalui berbagai tekanan seperti: unjuk rasa, kampanye di media massa, maupun boikot produk dan usaha yang melanggar, yang tujuannya agar penanggung jawab usaha melakukan upaya-upaya compliance. Sepanjang tidak dilakukan dengan cara-cara anarkis dan mengadili atau menghakimi sendiri (eigenrechting), tekanan publik diperkenankan.

2. Pengawasan Lingkungan Hidup Pengawasan terhadap penaatan pelaksanaan ketentuan pelestarian fungsi lingkungan dan penaatan persyaratan dan kewajiban mengendalikan dampak lingkungan sebagaimana tercantum dalam izin, pada saat ini telah diatur dalam Bab VI Bagian Kedua UU PLH. Pasal 22 pada prinsipnya memberikan kewenangan pada MENLH untuk melakukan pengawasan. Untuk itu selanjutnya MENLH berwenang menetapkan pejabat pengawas, kecuali dalam hal wewenang pengawasan diserahkan pada Pemerintah Daerah, maka Kepala Daerah selanjutnya menetapkan pejabat pengawas di daerah. Istilah Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup mulai dipopulerkan oleh KLH dengan mengacu pada Pasal 22 UUPLH. Bahkan dengan asas diskresi, KLH telah melakukan apa yang disebut dengan delegatie van wetgeving dan melahirkan beberapa Kepmen, yaitu: a. Kep-07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah; b. Kep-56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas; c. Kep-57 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Kementerian Lingkungan Hidup; d. Kep-58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja PejabatPengawas Lingkungan Hidup di Propinsi/Kabupaten/Kota. Berdasarkan prinsip otonomi daerah maka dalam ketentuan yang diatur oleh MENLH tersebut disebutkan: a. Pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Pusat

(Kementerian Lingkungan Hidup) dilakukan oleh MENLH. b. Pengangkatan PPLH di Daerah Propinsi dilakukan oleh Gubemur. c. Pengangkatan PPLH di Daerah Kabupaten / Kota dilakukan oleh Bupati atau Walikota. Dalam ketentuan tersebut juga diatur mekanisme pengangkatan, persyaratan menjadi PPLH, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan. PPLH pada dasamya pejabat yang melaksanakan pengawasan terhadap kewajiban pelestarian fungsi lingkungan serta penaatan penanggung jawab usaha

atau kegiatan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam izin. PPLH baik Pusat maupun Daerah, dalam melaksanakan tugas pengawasan memiliki kewenangan yang diberikan undang-undang (Pasal 24 UUPLH) sebagai berikut: 1. Melakukan pemantauan usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 2. Meminta keterangan dan pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 3. Membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan; 4. Memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; 5. Mengambil contoh (sampel) pada titik-titik yang diperlukan pada lokasi usaha dan atau kegiatan, serta melakukan pengukuran, analisis dan atau melakukan pengawasan terhadap analisis sampel secara langsung di lapangan dan atau laboratorium. 6. Memeriksa peralatan dan atau instalasi yang digunakan untuk

pengendalian pecemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. 7. Memeriksa alat transportasi untuk memudahkan dan atau pengangkutan limbah dan atau bahan kimia lainnya. 8. Meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha atau kegiatan. Bagi penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib memenuhi permintaan atau perintah PPLH yang melakukan tugas pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan bagi PPLH wajib mempertihat-kan surat tugasnya, tanda pengenal sebagai PPLH, dan wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut. Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan adalah menghormati nilai dan norma yang beriaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Di samping pengaturan pengawasan sebagaimana diatur UUPLH, dapat juga dijumpai pengaturan pengawasan di berbagai peraturan sektoral, seperti: a. Pasal 16 Hinder Ordonnantie (HO); b. UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustian Juncto PP No. 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri;

c. UU No. 5 Tahun 1992 Juncto PP No. 10 Tahun 1993 tentang Benda Cagar Budaya; d. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Juncto PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan; e. PP No. 20 Tahun 1990 (dicabut dan diganti dengan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air); f. PP No.18 Tahun 1999 Juncto PP No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B-3; g. PP No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL. Dalam hubungannya dengan pengawasan, PP No. 27 Tahun 1999 mengaturnya dalam Bab V Pengawasan Pasal 32 sebagai berikut: (1). Pemrakarsa usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan RKL dan RPL kepada instansi yang membidangi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, dan Gubernur. (2). Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan: a. Pengawasan dan pengevaluasian penerapan peraturan

perundang-undangan di bidang AMDAL; b. pengujian laporan yang disampaikan oleh pemrakarsa usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); c. penyampaian laporan pengawasan dan evaluasi hasilnya kepada Menteri secara berkala, sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan tembusan kepada instansi yang berwenang menerbitkan izin dan Gubernur. Dalam kaitan dengan ketentuan di atas, pada saat ini berlaku Keputusan Kepala Bapedal No. KEP-105 Tahun 1997 tentang Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL. Pada prinsipnya menurut ketentuan ini, bahwa pemantauan dapat dilakukan melalui 2 bentuk, yaitu (1) pemantauan tidak langsung (pasif) dan (2) pemantauan langsung (aktif). Pemantauan tidak langsung (pasif) adalah pemantauan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah dengan cara memanfaatkan laporan pemantauan tertulis oleh pihak lain (pemrakarsa/penanggung jawab usaha atau kegiatan).

Pemantauan langsung (aktif) adalah pemantauan yang langsung dilakukan di lapangan atas pelaksanaan RKL dan RPL oleh instansi Pemerintah. Pelaksanaan

pemantauan ini sebenarnya dapat dilakukan, baik secara periodik maupun sewaktu-waktu (mendadak). Metode pamantauan pelaksanaan RKL dan RPL dilakukan dengan cara: 1) Memeriksa dan mencocokkan seluaih pelaksanaan RKL dan RPL sesuai dengan dokumen, serta memeriksa kebenaran laporan pemantauan yang dilaksanakan oleh Pemrakarsa. 2) Melakukan diskusi dengan pihak Pemrakarsa tentang manfaat, kendala dan hambatan dalam pelaksanaan RKL dan RPL, meliputi manajemen, pengelolaan limbah, unit intern organisasi pengelolaan lingkungan, dan lainnya. 3) Melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat dan atau masyarakat sekitar lokasi usaha atau kegiatan yang dipantau. 4) Bila diperiukan, melakukan pengambilan contoh limbah untuk diuji di laboratorium dilaksanakan. Dengan demikian, sistem pemantauan dan pengawasan yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan untuk dikembangkan, adalah meliputi atau keluaran pengelolaan lingkungan yang telah

pengawasan tiga lini yaitu: 1. Lini kesatu: Pemantauan Mandiri (swa-pantau) oleh Pemrakarsa yang didasarkan adanya kewaiiban: 2. Lini kedua: Pengawasan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berkedudukan mengendalikan di institusi yang ditugasi yang mengelola dan atau

dampak

lingkungan,

didasarkan

adanya

kewenanqan menurut UU No. 23Tahun 1997; 3. Lini Ketiga: Pengawasan atau penilaian oleh masyarakat yang didasarkan adanya hak berperanserta Telaahan mengenai sarana pengawasan dalam rangka penegakan hukum lingkungan administratif tersebut di atas mengungkapkan bahwa, pengaturan sudah cukup memadai, hanya penegakan hukumnya yang kurang konsekuen, tidak atau kurang dilakukan secara terpadu dan kontinyu, dan bilamana perlu secara proaktif dan bukan reaktif semata-mata. Namun demikian, ada beberapa persyaratan dalam pelaksanaan pengawasan yang tidak dapat diabaikan, yaitu: a. Tersedianya SDM pengawas yang profesional; b. Tersedianya peralatan dan teknologi pengawasan yang memadai;

c. Tersedianya basis data dan laboratorium yang terakreditasi; d. Tersedianya biaya/dana yang cukup; e. Adanya integritas yang tinggi: berani, disiplin, dan bermoral.

F. SANKSI HUKUM LINGKUNGAN

1. Sanksi Administrasi Sanksi administrasi yang seharusnya tercantum dalam UU No. 4 Tahun 1982 (UULH yang pertama) karena berkaitan dengan izin yang diberikan untuk melakukan suatu usaha, temyata tidak diatur di dalamnya. Tidak adanya pengaturan sanksi administrasi dalam UULH tersebut, karena konseptor UULH beranggapan bahwa sanksi administrasi sudah diatur dalam berbagai ketentuan sektoral atau setidak-tidaknya sebagai inherent dengan sistem pemberian izin.. Setiap pemberian izin disertai dengan berbagai persyaratan dan kewajiban, yang apabila tidak dipenuhi, mengakibatkan dikenakannya sanksi administrasi. Akan tetapi dalam kenyataannya pejabat instansi yang diberi izin kurang melaksanakan wewenangnya, sehingga periu ada pengaturan yang jelas tentang sanksi administrasi ini. Pada saat ini sanksi administrasi diatur secara tegas dalam UUPLH, yaitu dalam Pasal-pasal 25, 26, 27, dan 29, yang meliputi tiga jenis sanksi administrasi yaitu: (1) paksaan pemerintahan; (2) pencabutan izin usaha atau kegiatan; dan (3) audit lingkungan wajib. a. Sanksi Paksaan Pemerintahan Pasal 25 ayat (1) mengatur tentang wewenang Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I untuk melakukan paksaan pemerintahan (bestuursdwang) terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.

Pasal 25 ayat (2) menyatakan bahwa wewenang tersebut di atas dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat II. Ini berarti, bahwa tiap-tiap Daerah Tingkat I harus

menetapkan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan penyerahan wewenang tersebut. Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Dengan demikian tidak hanya Kepala Daerah Tingkat I dan II yang bersangkutan yang dapat mengajukan permohonan, akan tetapi juga pihak ketiga. Pasal 25 ayat (4) menyatakan bahwa paksaan pemerintahan didahului dengan surat perintah dan pejabat yang berwenang.

Pasal 25 ayat (5) menyatakan bahwa paksaan pemerintah tersebut dapat diganti dengan pembayaran jumlah uang tertentu. Ketentuan ayat ini diiaksanakan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri paksaan pemerintahan berupa penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan tersebut,

Pasal 26 ayat (1) menetapkan bahwa penetapan beban biaya untuk melaksanakan paksaan pemerintahan serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, serta ayat (2) menyatakan bahwa apabila peraturan perundang-undangan tersebut belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya hukum menurut peraturan perundang-undangan yang beriaku.

b. Sanksi Pencabutan Izin Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan. Ayat (2) menyatakan bahwa Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang, sedangkan ayat (3) menyatakan bahwa pihak yang.berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha atau kegiatan karena merugikan kepentingannya. Dengan adanya ketentuan tentang sanksi administrasi ini, maka yang terlebih dahulu harus diupayakan adalah adanya pelaksanaan paksaan pemerintahan, sehingga tidak langsung diambil tindakan pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.

c. Sanksi Perintah Audit Lingkungan (Wajib) Dalam kaitan dengan persyaratan penataan lingkungan hidup, perlu diperhatikan pula Pasal 28 UUPLH tentang ketentuan yang menyatahan bahwa Pemerintah mendorong penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melaksanakan audit lingkungan dalam rangka peningkatan kinerjanya. Istilah "mendorong" berarti bahwa pembuatan audit lingkungan bukanlah merupakan kewajiban. Pembuatan audit lingkungan menjadi wajib apabila menurut pendapat Menteri Negara Lingkungan Hidup penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menunjukan ketidakpatuhan tertiadap ketentuan yang diatur dalam UUPLH, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUPLH. Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban membuat audit iingkungan tersebut, Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit Iingkungan atas beban penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 29 ayat (3), dengan jumlah beban biaya ditetapkan oleh Menteri sebagaimana diatur dalam ayat (4) dan hasil audit Iingkungan itu diumumkan oleh Menteri sebagaimana dicantumkan dalam ayat (5). Ketentuan tentang keharusan pengumuman ini merupakan perwujudan dari prinsip transparansi. Apabila peraturan perundang-undangan Iingkungan nasional dikaji, nyatalah bahwa sarana penegakan hukum Iingkungan melalui sanksi administrasi, maka penuangannya dalam hukum positif masih terbatas di samping juga beragam antara satu dengan lainnya. Pengaturan jenis-jenis sanksi administrasi, di antaranya sebagai berikut: (1). Penutupan perusahaan (Slutting van een inrichting): Pasal 14 HO; (2). Penghentian kegiatan mesin (buitengebruikstelling van een toesteft : Pasal 14 HO; (3). Penghentian sementara kegiatan operasi : Pasal 62 ayat (3) PP No. 18 Tahun 2001; (4). Peringatan secara tertulis: Pasal 33 ayat (1) PP No. 20 Tahun 1990 jo Pasal 48 PP No. 82 Tahun 2001, dan Pasal 62 ayat (1) PP No. 18 Tahun 1999; (5). Peringatan tertulis dan Pembekuan Izin Usaha Industri : Pasal 10 PP

No. 13 Tahun 1995 jo Pasal 30 SK Menteri Perindustrian No. 150/M/ SK/7/1995; (6). Pencabutan sementara izin : Pasal 62 PP No. 18 Tahun 1999, Pasal 48 PP No. 82 Tahun 2001; (7). Pencabutan izin (intrekking van een vergunning) : Pasal 12 ayat (1) HO, Pasal 10 PP No. 13 Tahun 1995, Pasal 62 PP No. 18 Tahun 1999, Pasal 48 PP No. 82 Tahun2001. (8). Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang) atau Uang Paksa

(Dwanasom) : Pasal 49 PP No. 82 Tahun 2001;

2. Sanksi Perdata (Tanggung Gugat Perdata) Persoalan lingkungan tidak hanya di seputaran kerusakan dan atau pencemaran lingkungan yang timbul akibat ulah manusia, namun akan bertanjut pada konflik antar manusia akibat langkanya sumber daya yang ada. Konflik tidak akan pernah bisa dihindari, karena selalu akan berada bersama kita. Di samping konflik-konflik dan atau sengketa karena pencemaran dan atau perusakan lingkungan, sebagian sekaligus menyangkut kepentingan sumber daya alam. Seperti konflik-konflik antara masyarakat adat ataupun lokal dengan adanya pengusahaan hutan, perkebunan, pengembangan pariwisata, bendungan, pembangunan perumahan dan permukiman transmigrasi, pembangunan jaringan jalan, serta kegiatan pertambangan. Dengan demikian, di samping bersumber dari masalah pencemaran dan atau kerusakan, konflik lingkungan juga dimulai dari masalah tanah dan hak ulayat (beschikkingsrecht) maupun karena benturan dengan kepentingan adat/budaya dan yang menyangkut mata pencaharian penduduk. Secara umum pengelolaan konflik atau sengketa lingkungan dapat dilakukan melalui 3 bentuk pendekatan, yaitu dengan (1) pendekatan Kekuatan (power-based) seperti, demonstrasi massa, boikot, pendekatan militer; (2) pendekatan Benar-Salah (right-based) seperti pendekatan yang sering dilakukan melalui mekanisme di pengadilan atau arbitrase; serta (3) pendakatan Kepentingan (interest-based) yang sering dilakukan melalui proses negosiasi dan mediasi. Ketiga pendekatan tersebut, bilamana dikelola dengan baik, akan menjadi suatu kekuatan yang sangat positif guna menyelesaikan konflik-konflik yang

terjadi. Keseimbangan penggunaan ketiga pendekatan itu dapat menghasilkan sinergi yang dapat mengelola konflik yang ada secara lebih baik. Namun jika semua pihak masih tetap di dalam paradigma bahwa kekuasaan dan uang adalah satu-satunya cara yang ampuh dalam menyelesaikan semua persoalan yang ada, ditambah dengan tidak berfungsinya dua pendekatan yang lain, yaitu right based dan interest based, maka pada akhirnya jalan yang ditempuh untuk mencari keadilan adalah kekuasaan fisik, yang cenderung menjadi destruktif dan eksesif. a. Sengketa Lingkungan Hidup Apakah yang dimaksud dengan sengketa lingkungan hidup? Dalam bahasa Inggris digunakan istilah environmental dispute. Menurut Pasal 1 butir 19 UUPLH, sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih vanq ditimbulkan oleh adanya atau diduqa adanya pencemaran dan atau perusakan lincikunqan hidup. Penegasan yang sama kemudian diulang dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Adanya pembatasan bahwa yang disebut sengketa lingkungan hanya sepanjang berkenaan dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah membatasi ruang lingkup apa yang disebut sengketa lingkungan. Di luar itu misalnya sengketa tentang penguasaan sumber daya alam tidak termasuk kategori sengketa lingkungan walaupun pada dasamya adalah menyangkut masalah lingkungan. Begitu juga tentang sengketa tata ruang, sehingga selain apa yang disebutkan di atas tidak dapat diselesaikan melalui prosedur penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang diatur undang-undang ini. Dengan demikian adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan merupakan conditio sine qua non bagi timbulnya sengketa lingkungan. Apakah dalam pengertian sengketa lingkungan menurut UUPLH terkandung di dalamnya (inherent) adanya claim atau tuntutan (gugatan)? Hal ini tidak bisa dikatakan tegas apakah ya atau tidak, meskipun suatu tuntutan (umumnya) dilekatkan sebagai atribut primer dan suatu sengketa. Namun dengan tidak ditegaskannya dalam definisi menurut undang-undang kiranya juga bisa dimengerti, mengingat periu tidaknya tergantung sepenuhnya kepada pemegang hak untuk memfungsikannya. Heinhard Steiger c.s. (dalam Koesnadi Hardjasoemantri, 1999) menyatakan adanya dua fungsi tuntutan atau

gugatan yang berbeda sebagai berikut: (a). the function of defense (Abwehrfunktion), the right of the individual to defent himself against an interference with his environment which is to his disanvantage; (b). the function of performance (Leistungsfunktion), the right of the individual to demand the performance of an act in order to preserve, to restore or to improve his environment". Fungsi yang pertama, yaitu yang dikaitkan pada hak membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungannya, dan fungsi yang kedua yang dikaitkan pada hak menuntut dilakukannya sesuatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan fungsinya, dipulihkan atau diperbaiki, ditampung dalam Pasal 34 UUPLH yang mengatur tentang ganti kerugian pada orang dan/atau melakukan tindakan hukum tertentu.Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UUPLH dinyatakan bahwa tindakan tertentu meliputi misalnya : a. Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Sebenamya, dalam hukum iingkungan administrasi, "memasang atau memperbaiki alat / unit pengolahan limbah dan menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran" merupakan konsekuensi dari dijatuhkannya jenis sanksi administrasi berupa paksaan pemerintahan ("bestuursdwang"), yaitu aparatur pemerintah melakukan sendiri upaya pengendalian pencemaran atau pemulihan lingkungan atas beban biaya penanggungjawab kegiatan usaha. Dengan demikian, pengertian dalam penjelasan pasal di atas lazimnya dikaitkan dengan ketentuan tentang sanksi administrasi (Harry Supriyono, 2001).

b. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Penegakan hukum lingkungan keperdataan (jprivaatrechtelijk milieurecht) dapat dilihat dalam Bab VII UUPLH. Bab ini mengatur tentang Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup

berdasarkan undang-undang ini dapat ditempuh melalui pengadilan (in court/litigasi) atau di luar pengadilan (out court/settlement) yang lazim dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR). Penyelesaian sengketa

lingkungan di luar pengadilan melalui ADR bersifat pilihan (sukarela) dan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Hal-hal yang dapat diajukan melalui ADR ini adalah ganti kerugian dan/atau tindakan-tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup telah dikeluarkan. Sampai dengan saat ini BAPEDAL (KMNLH?) sedang dalam tahap persiapan dalam rangka pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa di tingkat pusat (Bapedal/KMNLH) yang menyediakan jasa mediator dan arbiter lingkungan hidup dan mendorong pembentukannya di daerah-daerah. Penyelesaian sengketa lingkungan rnelalui pengadilan berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 ini dapat dilakukan oleh: 1) Masyarakat yang mengalami kerugian (affected people), melalui prosedur gugatan (berdasarkan HIR dan BW) maupun gugatan class actions (Pasal 37 ayat(1)UU No. 23 Tahun 1997); 2) LSM Lingkungan (Organisasi Lingkungan) berdasarkan

persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Pasal 38; 3) Pemerintah, dalam hal ini instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup untuk kepentingan masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2). Menurut Pasal 34 ayat (1) UUPLH: "Barangsiapa merusak dan atau mencemarkan Jingkungan hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penden'ta yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehar.

Ketentuan tersebut tidak menetapkan lebih lanjut mengenai tatacara menggugat ganti kerugian. Pengaturan mengenai ganti kerugian dewasa ini masih berlaku Pasal 1365 BW yang berbunyi: "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut". Pasal 1365 BW mengandung unsur-unsur perbuatan melanggar hukum ("onrechtmatige daad") yang wajib dibuktikan oleh penggugat (korban), yaitu: 1) perbuatan harus bersifat melawan hukum; 2) pelaku harus bersalah; 3) ada kerugian; 4) ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian. Dewasa ini masih sulit bagi korban/penggugat untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kalah perkara besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi adalah membuktikan unsur-unsur yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1365 BW, terutama: 1) Unsur kesalahan ("schuld"). Pasal 1365 BW mengandung asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan ("schuld aansprakelijkheid") yang ada persamaan dengan "liability based on fault' dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Sehubungan dengan hal itu, Hukum Lingkungan mengenal pula asas tanqgungjawab mutlak. ("risico aansprakelijkheid") atau "strict

liability" dalam sistem hukum Anglo-Amerika, sebagaimana diatur dalam UULH maupun UUPLH. Pengaturan tentang asas

tanggungjawab mutlak diperlukan khusus untuk kegiatan yang mempunyai sifat "abnormally dangerous or ultra-hazardous activities". 2) Hubungan sebab akibat ("causa/ link") Pembuktian unsur hubungan sebab akibat antara perbuatan pencemar degan kerugian penderita tidak mudah. Dalam perkara pencemaran lingkungan seringkali sangat sulit bagi penderita untuk membuktikan secara ilmiah setiap hubungan kausal antara perbuatan pencemar dan penyakit atau kerugian yang diderita korban. Penderita menghadapi berbagai kendala dalam upaya pembuktian secara ilmiah, penentuan jenis limbah (dalam kasus pencemaran kimiawi) yang terbentur pada periindungan rahasia perusahaan. Mengenai pembuktian, di samping penggugat dan tergugat harus mengikuti hukum pembuktian pada umumnya sebagaimana diatur dalam HIR, namun Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997 mengatur dan membuka peluang pemberlakuan strict liability (pertanggungjawaban langsung dan

seketika/mutlak) yang terkait dengan pembuktian . Strict liability membebaskan beban pembuktian dari penggugat untuk membuktikan unsur fault (kesalahan) dari tergugat. Namun demikian, penggugat tetap harus membuktikan terdapatnya hubungan sebab akibat (causal link) yaitu bahwa kerugian yang dialami penggugat merupakan akibat dari kegiatan/perbuatan tergugat. Dengan demikian strict liability tidaklah sama dengan prinsip pembuktian terbalik (omkering van bewisjslasf) sebagaimana banyak dipersepsikan oleh para praktisi maupun akademisi. Pengertian yang lebih tepat bagi strict liability adalah, bahwa penerapan strict liabillity meringankan beban pembuktian penggugat karena unsur fault dalam strict liability dianggap tidak relevan. Kegiatan-kegiatan yang dapat diterapkan prinsip strict liability diatur secara definitif dalam Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997: (a) usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; (b) kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun; (c) kegiatan yang menghasilkan limbah berbahaya dan beracun. Di antara ketentuan sektoral yang menganut asas tanggung jawab mutlak, adalah di bidang pencemaran laut, yaitu berdasarkan: 1) Keputusan Presiden Rl No. 18 Tahun 1978 tentang Ratifikasi International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (CLC). Konvensi ini mengatur tentang ganti kerugian pencemaran minyak di laut yang bersumber dari kapal. Kapal dalam konvensi ini dibatasi pada: a) Kapal yang mengangkut minyak dalam bulk sebagai cargo; b) Minyak yang diangkut adalah termasuk kategori persistent oil seperti: crude oil, fuel oil, heavy diesel oil, lubricating oil, dan whale oil, baik yang diangkut sebagai cargo ataupun sebagai bunker. 2) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 3) UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pengaturan tentang asas tanggungjawab mutlak biasanya didampingi dengan ketentuan tentang "beban pembuktian terbalik" ("omkering der bewijslasf), kewajiban asuransi dan penetapan "plafond" ("ceiling"), yaitu batas maksimum ganti kerugian. Dalam penegakan hukum keperdataan, UU No. 23 Tahun 1997 juga mengatur tentang prosedur pengajuan gugatan secara class actions (Pasal 37). Prosedur ini memberikan peluang bagi penggugat yang jumlahnya sedikit (satu atau dua

orang) untuk tidak saja memperjuangkan kepentingan hak keperdataan penggugat itu sendiri, tetapi orang-orang lainnya yang memiliki kesamaan fakta, hukum maupun tuntutannya, yang jumlahnya sangat banyak. Di samping itu bagi kelompok kecil masyarakat sebagai penggugat hendaknya benar-benar merepresentasikan kelompok besar yang diwakilinya. Di satu sisi, organisasi lingkungan seperti LSM lingkungan juga dapat melakukan gugatan atas nama lingkungan alam ("natural object") untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan berdasar hak legal standing berdasar Pasal 38 UUPLH dengan beberapa persyaratan.

3. Sanksi Pidana Dalam UUPLH sanksi pidana diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 48. Hal-hal yang baru dalam UU No. 23 Tahun 1997 tersebut adalah: (1) adanya delik lingkungan formel di samping delik lingkungan materiel; (2) kejahatan korporasi dalam tindak pidana lingkungan; (3) keberadaan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup; serta (4) penerapan asas subsidiaritas (ultimum remedium). a. Delik Pidana Lingkungan Berbeda dengan UU No. 4 Tahun 1982 (UU yang digantikannya), UUPLH 1997 tidak hanya mengatur tindak pidana pencemaran (generic crimes) atau delik materiel (Pasal 41 dan 42), tetapi juga tindak pidana pelepasan dan pembuangan zat, energi, dan atau komponen lain yang berbahaya dan berpotensi mencemarkan lingkungan, serta mengimpor atau mengekspor limbah berbahaya dan beracun (specific crimes atau delik formal) seperti diatur dalam Pasal 43 dan 44. Untuk memahami perbedaan antara generic crime dan specific crime, keduanya periu dikaitkan dengan seberapa jauh kedua jenis crimes ini memiliki ketergantungan dengan hukum administrasi. Pasal 41 dan 42 adalah jenis tindak pidana yang tidak tergantung kepada hukum administrasi (bersifat mandiri), sehingga perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana tanpa harus melihat ada/tidaknya teriebih dahulu pelanggaran administratif. Sedangkan Pasal 43 dan 44 merupakan jenis tindak pidana yang tergantung dengan hukum administrasi, sehingga kriminalisasi pencemaran atau perusakan lingkungan tergantung kepada ada/tidaknya pelanggaran hukum administrasi (seperti pelanggaran izin atau persyaratan

baku mutu limbah). b. Kejahatan korporasi (corporate crime) Kejahatan korporasi dalam tindak pidana lingkungan (environmental corporate crime) sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan 46 didasarkan pada alasan bahwa korporasi sebagai rechtspersoon merupakan subyek hukum yang dapat dipidana dalam kejahatan lingkungan. Perkembangan ini merupakan suatu perubahan paradigma dalam hukum pidana yang pada awalnya menganut prinsip bahwa "badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana oleh karenananya tidak dapat dihukum" (adagium: societas delinquere non potest). UUPLH memberikan ancaman hukuman kepada korporasi atau organisasi lain dengan denda yang diperberat sepertiga dari denda maksimal yang diatur. Di samping korporasi, maka pemimpin dan pemberi perintah berdasarkan fungsi yang diembannya dalam korporasi (functional

perpetrator) juga diancam hukuman yang berbentuk hukuman badan (penjara atau kurungan). Fungsionaris atau pemimpin perusahaan yang bersangkutan dianggap secara sadar mendukung illegal behaviours. Maka dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa karyawan rendahan yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dalam rangka semata-mata menjalankan perintah atasannya tidak termasuk yang dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana dalam suatu perkara tindak pidana lingkungan hidup perusahaan (environmental corporate crime).

c. Penyidik Tindak Pidana Lingkungan Aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup adalah: 1) Penyidik Polri (Pasal 6 ayat (1)a KUHAP) berwenang melakukan penyidikan tindak pidana, kecuali tindak pidana yang terjadi di Z.E.E. Indonesia (UU No.5 Tahun 1983 Pasal 14 ayat (1) dan tindak pidana mengenai perikanan tersebut dalam UU. No. 9 Tahun 1985 yang terjadi di wilayah perairan Indonesia. 2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil berwenang melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup, sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar pembentukannya. Dengan demikian PPNS Lingkungan Hidup yang ada di lingkungan

Kementerian Negara Lingkungan Hidup atau Bapedal Daerah hanya berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997. Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup yang terdapat dalam UU. No. 5 Tahun 1990, dan dalam UU No. 41 Tahun 1999 menjadi wewenang PPNS kehutanan atau penyidik Polri. (sebagai penyidik umum) 3) Penyidik perwira TNI AL berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang diatur dalam UU. No. 5 Tahun 1983 yang terjadi di Z.E.E. Indonesia dan tindak pidana perikanan dalam UU. No. 9 Tahun 1985 yang terjadi di wilayah perairan Indonesia, termasuk tindak pidana yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut di atas. 4) Bila dalam suatu bekas perkara terdapat tindak pidana-tindak pidana yang menjadi wewenang dua macam atau lebih PPNS yang berbeda, demi terlaksananya penegakan hukum pidana yang cepat, sederhana dan dengan biaya relatif murah, sebaiknya dan disarankan agar penyidikan tindak pidana sebagai demikian itu dilakukan oleh penyidik Polri (apabila perlu dengan dukungan bantuan teknis dari PPNS yang bersangkutan). 5) Sebaliknya bila tindak pidana lingkungan hidup yang menjadi objek penyidikan hanya menjadi wewenang satu macam PPNS, kita menyetujui pendapat Polri yang ingin mengedepankan PPNS yang bersangkutan dan di back up oleh penyidik Polri sebagai pembina dan Pengawas PPNS.

d. Penerapan asas subsidiaritas Apa yang dimaksud dengan asas subsidiaritas, dijelaskan dalam alinea kedua terakhir Penjelasan Bagian Umum UU No. 23 Tahun 1997, yang lengkapnya berbunyi sbb.: 'Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas. Yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat

dan/atau

akibat

perbuatannya

relatif

besar

dan/atau

perbuatannya

menimbulkan keresahan masyarakaf. Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakannya tindakan hukum tersebut di bawah ini: 1) aparat yang berwenang menjatuhkan sanksi administratif sudah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administratif tersebut tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi atau, 2) antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme alternatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah /perdamaian/ negosiasi/ mediasi namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan dapat dimulai/instrumen penegakan hukum pidana iingkungan hidup dapat digunakan. Kedua syarat asas subsidiaritas da'am bentuk upaya tersebut di atas dapat dikesampingkan, apabila dipenuhi tiga syarat/kondisi tersebut di bawah ini: 1) Tingkat kesalahan pelaku relatif berat, 2) Akibat perbuatannya relatif besar, 3) Perbuatan pelanggaran menimbulkan keresahan masyarakat. Penentuan terpenuhi atau tidaknya syarat/kondisi tersebut. Seyogianya tidak ditentukan secara sepihak oleh Penyidik atau Penuntut Umum, namun harus diupayakan adanya statement tertulis dan pej'abat instansi teknis sektoral dan pimpinan pemerintah daerah yang berwenang melalui suatu hubungan konsultasi dan koordinasi. Di sini sangat diperiukan sekali adanya koordinasi / konsuitasi antara aparat penegak hukum dengan aparat teknis sektoral dan aparat pemerintah daerah yang kompeten.

e. Koordinasi dan pendayagunaan saksi ahli Perkara lingkungan hidup pada umumnya sangat teknis dan ilmiah. Untuk menentukan aspek teknis mana yang relevan dalam upaya pembuktian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memeriukan kerjasama dan masukan dari saksi ahii. Berhubung sifat tindak pidana lingkungan sering memeriukan beberapa

dukungan disiplin ilmu, maka JPU juga memeriukan beberapa saksi ahli dari beberapa disiplin ilmu. Seperti saksi ahli di bidang Biologi Lingkungan, Toksikologi, Geologi Lingkungan, Kimia Industri atau Pertambangan, Hidrologi, Konservasi Hutan, Ekologi, Fisika Lingkungan, Ilmu Kesuburan Tanah, Hukum Lingkungan, dan sebagainya. Persyaratan yang periu dipenuhi oleh saksi ahli antara lain adalah: a. Mempunyai gelar kesarjanaan dalam disiplin ilmuyang diperiukan; b. Mempunyai pengalaman kerja / penelitian di bidang keahlian yang dimilikinya dan kecakapan akademik; c. Memiliki reputasi ilmiah (karya tulis, kegiatan penelitian) dan diakui oleh kelompok profesinya (pengakuan nonformal). d. Kredibilitas, yaitu bahwa apa yang disampaikan oleh seorang saksi ahli harus obyektif dan semata-mata kebenaran ilmiah atau menurut pertimbangan ilmu pengetahuan.

Daftar Referensi: Danusaputro, St. Munadjat. 1981. Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Binacipta, Bandung Gundling, Lothar, 1980. "Public Participation in Environmental Decision Making" in Trends in Environmental Policy and Law, IUCN, Gland, Switzerland, Hardjasoemantri, Koesnadi, 1991. Hukum Pertindungan Ungkungan: Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Edisi Pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Hardjasoemantri, Koesnadi. 1999. Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hadjon Philipus M. (Penyunting), 1993. Pengantar Hukum fleriz/nan.Yuridika, Surabaya Harry Supriyono dan Koesnadi Hardjasoemantri, 1996. Hukum Lingkungan, Cetakan Pertama, Universitas Terbuka, Jakarta Hawkins, Keith. 1984. Environment and Enforcement, Clarendon Press, Oxford Mas Achmad Santoso. 1997. Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, Jakarta Mas Achmad Santoso. 1997. Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta
r

Rangkuti, Siti Sundari. 1986. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan, Universitas Airiangga, Surabaya Silalahi, M. Daud, 2001. Hukum Lingkungan dan Sistem Penegakan Hukum Lingkungan, Alumni, Bandung Soemarwoto, Otto, 1989. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cetakan ke-4, Penerbit Djambatan, Jakarta Steiger, Heinhard, et. Al. 1980. "The Fundamental Right to a Decent Environment" in Trends in Environmental Policy and Law, IUCN, Gland, Switzerland World Commission on Environment and Development. 1988. Our Common Future, Terjemahan: Hari Depan Kita Bersama, Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

You might also like