You are on page 1of 14

GAS BIOGENIK ENERGI ALTERNATIF YANG RAMAH LINGKUNGAN

Oleh : Rio Aditya, Yusuf Anugerah, Joseph Rustandi

Universitas Trisakti - Jakarta

Abstrak
Saat ini, pencarian sumber-sumber energi baru dilakukan dengan tujuan untuk dapat menjamin tersedianya energi dalam jumlah cukup di setiap daerah dengan kualitas yang baik dan harga yang ekonomis sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Salah satu sumber energi alternatif yang sekarang ini sudah mulai digunakan adalah gas biogenik. Gas biogenik didefinisikan sebagai gas yang terbentuk pada lapisan sedimen dangkal, temperatur dan tekanan yang rendah oleh bakteri anaerobik yang mengubah sebagian komposisi sedimen organik menjadi sebagian besar gas methan. Oleh karena itu, gas biogenik sering juga disebut sebagai gas methan. Hal yang penting dalam pembentukan gas biogenik adalah material organik dan lingkungannya. Lingkungan pembentukan gas biogenik mempunyai syarat-syarat tertentu, yakni lingkungan tersebut adalah lingkungan anaerob, memiliki temperature yang rendah untuk organic hidup dan media agar organic bisa berkembang. Hal diatas harus terpenuhi agar proses kimiawi yang mencakup fermentasi dan reduksi dapat menghasilkan gas biogenik. Pemanfaatan gas ini adalah sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan dan diharapkan dapat menggantikan energi hidrokarbon.

Pendahuluan
Gas biogenik atau yang dikenal pula sebagai metana biogenik adalah gas yang sebagian besar tersusun oleh metana. Metana ini dihasilkan oleh aktivitas organisme bakteri metanogenik yang kemudian terakumulasi dalam lapisan sedimen. Gas biogenik adalah salah satu jenis gas alam yang berpotensi untuk dikembangkan, mengingat gas ini umumnya terakumulasi pada kedalaman yang relatif dangkal karena gas ini terbentuk pada tahap awal pembentukan hidrokarbon atau pada tahap diagenesis. Gas biogenik merupakan gas hidrokarbon yang mudah terbakar, memiliki rantai carbon terpendek (C1) dan merupakan gas yang paling ringan, yaitu sekitar 0,7 lebih ringan dari udara (Rice, 1993). Gas ini jika tersebar di udara akan langsung menguap naik ke atmosfir. Namun jika digunakan sebagai sumber energi, termasuk jenis bahan bakar yang ramah lingkungan, karena hasil pembakarannya mengeluarkan carbon dioksida (CO2) dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan jenis bahan bakar hidrokarbon lainnya. Proses awal pembentukan gas biogenik ini kebanyakan terjadi di rawa, namun dapat pula terbentuk secara massal sehingga membentuk konsentrasi biogas alam yang cukup besar. Gas ini dapat ditambang seperti mengambil gas alam biasa. Gas biogenik ini merupakan hasil metabolisme dari bakteri, sehingga tidak akan terbentuk pada suhu tinggi.

Gambar 1. Gas biogenik terbentuk pada kedalaman dan temperatur yang rendah.

Pertama kali gas biogenik diketahui berdasarkan pendugaan dari hasil rekaman seismik. Hasil rekaman di daerah-daerah tertentu menunjukkan adanya tanda-tanda hablur pada lapisan sedimen permukaan serta pada kolom air laut. Belakangan ini dengan datangnya peralatan peralatan yang dimiliki, seperti gas chromatography, dimungkinkan untuk mengetahui konsentrasi gas yang terdapat di dalam sedimen.

Gambar 2. Indikasi gas biogenik pada rekaman seismik dan data bor lapisan sumber organik pembawa gas.

Lebih dari 20% dari cadangan gas dunia yang ditemukan berasal dari biogenik. Gas biogenik merupakan target penting dalam eksplorasi karena secara geologi dapat diprediksi dan mencakup area yang luas serta jumlah besar pada kedalaman yang dangkal.

Proses Pembentukan
Ada dua komponen utama didalam pembentukan gas metan biogenik yaitu pertama, material organik (moluska, tumbuh-tumbuhan) dan bakteri metanogenik sebagai katalisator. Kedua, gas metan biogenik akan terbentuk jika tersedianyan material organik yang cukup dan berada dalam lingkungan anaerobik (tidak ada oksigen) sehingga terjadi proses kimiawi +4 reduksi. Unsur karbon (C ) yang terlepas dari material organik dan hydrogen (H ) yang 4 berasal dari material organik, serta air tawar (H20) akan menghasilkan gas metan (CH ) akibat aktivitas bakteri anaerobic yang menjadi katalisator. Gas yang dihasilkan ini dikenal sebagai gas metan biogenik. Oleh karena itu kondisi lingkungan pembentukan gas biogenik menjadi sangat penting di antaranya : Lingkungan harus bebar-benar bebas oksigen artinya bakteri anaerobik akan mati dalam lingkungan yang mengandung oksigen jenuh. Lingkungan kondisi air tawar atau payau yang bebas dari konsentrasi sulfat agar tidak terjadi proses kimiawi oksidasi. Lingkungan dengan temperatur yang sesuai untuk bakteri anaerobic hidup. Oleh sebab itu pada lapisan yang lebih dalam gas metan biogenik tidak akan terbentuk dimana pada lingkungan ini tekanan meningkat yang menghasilkan temperatur tinggi. Pada kondisi tersebut terjadi perubahaan komposisi organik akibat proses kimia-fisika. Media atau sedimen dengan porositas yang cukup merupakan salah satu lingkungan yang diperlukan oleh bakteri anaerobic untuk bisa bebas berkembang seperti lanau atau pasir halus. Pada sedimen berupa lempung yang sangat padu dan lengket (stiffy clay) bakteri ini kemungkinan kecil sekali untuk berkembang.

Pada marine sedimen, pengurangan sulfat adalah proses dominan respirasi bakteri anaerobik pada shallow depth of burial (ZoBell dan Rittenberg, 1948). Bukti dari produksi metana yang signifikan biasanya tidak dapat dideteksi hingga larutan sulfat dihilangkan dari intersitial water (Nissenbaum et al,1972). Pada lingkungan laut, penghapusan sulfat tidak terjadi sampai endapan telah terkubur pada kedalaman beberapa puluh meter (Sayles et al, 1973; Waterman et al, 1973; Manheim dan Sayles, 1974). Sebagai hasilnya, efek geokimia dalam metanogenesisopen marine sediments sulit untuk diamati. Namun dengan munculnya deep coring procedure oleh Deep Sea Drilling Project, informasi tentang sifat dan distribusi dari methane generation di sedimen laut dapat diketahui.

Gambar 3. Tahapan proses degradasi materi organik secara anaerobik (Demeyer) Akumulasi yang sangat cepat pada marine sedimen serta suatu suksesi ekosistem mikroba menyebabkan terbentuknya biogenik gas. Setelah oksigen yang dikonsumsi saat respirasi aerobik, reduksi sulfat menjadi proses yang dominan dalam respirasi. Pembentukan dan akumulasi methan menjadi dominan hanya terjadi setelah sulfat dalam pore water sedimen keluar. Mekanisme yang paling penting dari pembentukan methan pada marine sedimen adalah pengurangan CO2 oleh hidrogen (elektron) yang dihasilkan oleh oksidasi anaerobik bahan organik. CO2 merupakan produk yang baik dari metabolic decarboxylation atau chemical decarboxylation. Faktor-faktor yang mengontrol tingkat produksi methan setelah burial sedimen adalah anoxic environment, sulfated eficient environment, temperatur rendah, ketersediaan bahan organik, dan ruang yang memadai. Faktor-faktor inilah yang menjadikan sebagian besar biogenik gas dihasilkan dengan kedalaman serta pembebanan kurang dari 1000 m.

Gambar 4. Proses pembentukan gas biogenik sama halnya dengan proses pembentukan hidrokarbon (gas thermogenik) namun hanya sampai pada tahap diagenesis Pada marine sedimen sebagian besar biogenik gas yang terbentuk dapat dipertahankan dalam larutan di interstisial pore waters, karena tingkat larutan methan lebih tinggi dalam tekanan hidrostatik. Tekanan yang tinggi ini disebabkan oleh berat di bagian atas kolom air. Dalam kondisi tertentu seperti tekanan tinggi dan/atau temperatur rendah, biogenik methane akan bergabung dengan air untuk membentuk gas hidrat. Biogenik gas biasanya dapat dibedakan dari thermogenik gas dengan analisa kimia dan analisa isotop. Fraksi hidrokarbon dari biogenik gas didominasi oleh methan. Kehadiran methan sebanyak 2% dari berat hidrokarbon, diperkirkan merupakan akibat dari pencampuran minor thermogenik gas yang erat hubungannya dengan degradasi temperatur rendah material organik. Generasi dan terbentuknya hidrokarbon dapat dikaitkan dengan tiga tahap utama kematangan termal bahan organik dalam batuan sedimen : 1. Immature stage (diagenesis) : aktivitas biologis dan kimia yang berperan untuk mengubah material organik menjadi kerogen, larutan residu, yang merupakan sumber kebanyakan hidrokarbon. Meskipun sedikit jumlah hidrokarbon hadir yang mana diwariskan dari atau mild degradation material organik. Biogenik methane adalah satu-satunya hidrokarbon yang dihasilkan dalam volume yang signifikan selama fase ini. 2. Mature stage (catagenesis) : Dengan meningkatnya suhu dan advanced geologic time, hidrokarbon yang dihasilkan dari kerogen dan nonhydrocarbon yang didahului oleh degradasi termal dan reaksi cracking. Tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan organik, oil generationterjadi selama tahap ini disertai oleh produksi dalam jumlah yang signifikan dari natural gas. Ketika temperatur meningkat, light hidrokarbon terbentuk, karena memecah ikatan karbon, mempengaruhi baik sisa kerogen dan hidrokarbon yang terbentuk sebelumnya. Wet gas dan kondensat adalah produk utama dari tahapan akhir proses ini. 3. Postmature stage (awal metamorfisme) : Pada akhir mature stage, kerogen menjadi highly polymerized, condensed in structure, dan stabil secara kimia. Hidrokarbon utama yang dihasilkan adalah methane dihasilkan dari cracking

hidrokarbon yang ada. Hidrokarbon yang lebih besar dari methane hancur jauh lebih cepat daripada mereka terbentuk.

Gambar 5. Diagram menunjukkan generation of hydrocarbons dengan meningkatnya waktu dan temperatur. Konsentrasi gas biogenik dimungkinkan berasal dari lapisan sedimen setempat yang kaya akan bahan organik pembentuk gas. Konsentrasi gas biogenik sangat bergantung pada kandungan bakteri metanogenik. Gas ini dapat terbentuk dari tiga proses utama yaitu (Schoell, 1988) : 1. Fermentasi bakteri anaerobik pada sampah, kotoran ternak atau sejenisnya. Gas yang dihasilkan proses ini disebut biogas methan atau gas biomasa. 2. Fermentasi bakteri asetat pada lapisan sedimen yang kaya zat organik (gas charged sediment) secara kimiawi: CH3COOH CH4 + CO2. 3. Proses reduksi CO2 oleh bakteri dari batuan volkanik atau magmatik alami secara kimiawi: CO2 + 2 H2O CH4. Selain itu, gas biogenik juga dapat berasal dari proses spontan pada lapisan batubara yang disebut coal bed methane (CBM) yang dikenal sebagai methan B, atau rembesan dari lapisan hidrokarbon pada perangkap migas yang over mature yang disebut gas methan

petrogenik/termogenik. Untuk membedakan origin atau asal dari gas methan tersebut dapat dikenali dari analisa paremeter methan 13C atau D (Claypool and Kaplan, 1974).

Gambar 6. Kemunculan gas biogenik di rawa-rawa. Satu hal penting jika ditemukan kemunculan rembesan gas biogenik yang ekstrim adalah perlunya kajian tentang adanya kemungkinan tekanan tambahan sebagai pemicu naiknya tekanan gas. Banyak dijumpai bahwa rembesan/semburan gas biogenik ini terjadi di sekitar sumur-sumur pemboran migas. Ada dugaan bahwa tidak sempurnanya sistem casing lubang bor mengakibatkan bocornya tekanan yang selanjutnya memicu gas biogenik ini naik ke permukaan. Dugaan lain menyebutkan bahwa memang struktur tanah permukaan di sekitar lubang bor biasanya merupakan daerah yang lebih lemah akibat getaran eksplorasi atau kegiatan seismik sebelumnya, sehingga gas biogenik ini terpicu menerobos dan merembes ke permukaan melalui rekahan-rekahan atau daerah lemah. Untuk memastikan suatu rembesan gas biogenik ini murni sebagai gejala geologi atau bercampur dengan gas dari aktifitas pemboran migas, biasanya dilakukan uji analisa isotop carbon. Jika kandungan gas methan biogenik ini antara 90<13C<-45 maka termasuk sebagai gas rawa murni atau gas biogenik, tetapi jika 13C>-45 maka termasuk gas methan petrogenik yang berasal dari rembesan reservoir migas. Jika gas biogenik ini bercampur dengan gas petrogenik maka rembesan gas mempunyai tekanan yang relatif tinggi dan rembesan gas disertai dengan keluarnya lumpur dari lapisan formasi yang berumur lebih tua (pra-Quarter). Demikian pula, jika pada analisa kandungan gas hidrokarbon ini dijumpai kandungan C3 (propan) atau C4 (butan) maka kemungkinan telah tercampur dengan gas-gas yang lebih matang (over mature) dari rembesan sistem petroleum. Fase akhir dari rembesan gas biogenik biasanya membawa konsekuensi lain yaitu kemungkinan terjadinya penurunan tanah (subsidensi) namun dalam skala kecil.

Pemanfaatan Gas Biogenik


Gas biogenik yang terdapat di bumi ini hampir mencapai 20% dari seluruh sumber gas alam, namun keterdapatannya menyebar pada kantong-kantong gas kecil dengan berbagai ukuran dan pada kedalaman yang bervariasi. Di China gas biogenik telah dieksploitasi dan dimanfatkan sebagai energi pembangkit listrik mikro dan industri kecil di muara sungai Yangtze (Qilun, 1995). Umumnya dari satu sumur gas di kawasan ini dapat dieksploitasi 5.000 m3 gas per hari dengan tekanan maksimum 6,1 Kg/cm2. Pemanfaatan pada skala yang lebih besar dilakukan dengan cara inter-koneksi beberapa sumur bor dangkal yang dialirkan pada tabung penampung yang dilengkapi valve (kran). Untuk memperoleh tekanan sekitar 80 Kg/m2 diperlukan paling sedikit tiga puluh lubang bor. Dengan demikian, maka gas biogenik ini dapat dialirkan tanpa pompa sejauh 1000 meter dari sumbernya. Pemanfaatan gas biogenik untuk tujuan komersial memang masih memerlukan kajian yang lebih mendalam, terutama dalam menentukan potensi cadangan serta proses pemanfaatannya. Namun dengan telah diproduksinya jenis generator yang secara khusus dirancang menggunakan bahan bakar methan oleh China (generator 500 KVA CC500MG), dan Australia (Electrum AS3010 methane gas powered generator) telah memungkinkan pemanfaatan gas biogenik ini untuk dikonversikan secara ekonomis menjadi tenaga listrik skala kecil, terutama bagi masyarakat di kawasan terpencil yang jauh dari jangkauan jaringan listrik PLN. Selain itu, beberapa peralatan lainnya yang telah diproduksi dan mengunakan bahan bakar gas biogenik adalah water heater dan methane boiler. Di Indonesia gas biogenik ini sudah mulai dimanfaatkan secara sederhana sebagai bahan bakar langsung untuk rumah tangga dan penerangan jalan. Di Desa Mayasari, Pamekasan, Madura, gas ini telah digunakan untuk kompor pengering makanan dan lampu (flare) penerangan jalan desa. Demikian halnya di Ngrampal, Sragen juga telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar rumah tangga. Beberapa tempat lainnya yang dilaporkan mempunyai semburan gas dangkal adalah di Desa Mindi Porong, Desa Dukuh Jeruk Indramayu, Muarakakap Kalimantan Barat, serta beberapa daerah lainnya, namun belum dilakukan eksplorasi rinci tentang potensi cadangan gasnya. Hasil penelitian gas biogenik di laut dangkal yang dilakukan oleh Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral di sepanjang pantai utara Jawa memperlihatkan indikasi gas biogenik yang cukup menjanjikan. Pemetaan geologi kelautan sistematik di wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura yang dilakukan oleh PPPGL tahun 2004 menggunakan seismik resolusi tinggi memperlihatkan indikasi potensi sumber gas biogenik yang terperangkap pada sedimen Holocene. Hasil pemboran laut dangkal pada kedalaman sekitar 20 m dari dasar laut di kawasan itu juga ditemukan adanya sedimen berwarna gelap yang diduga sebagai sumber gas yang kaya akan organic matter. Lapisan pembawa gas di laut Jawa dan selat Madura umumnya ditemukan pada kedalaman antara 2050 m di bawah dasar laut (Lubis dan Kris, 2006).

Gambar 7. Analisa paremeter methan 13C atau D untuk membedakan origin atau asal dari biogenic gas.

Metode Eksplorasi
Saat ini eksplorasi sumber energi khususnya minyak bumi dan gas berkembang sangat pesat sejalan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang semakin mendesak. Salah satu metode eksplorasi gas biogenik selain metode geologi dan geokimia adalah dengan metode geofisika, yaitu melakukan survey seismik pada seismik pantul dangkal saluran tunggal yang dapat mengungkapkan keadaan bawah permukaan dasar laut yang dapat memberikan informasi mengenai struktur geometri bawah permukaan dasar laut.

Gambar 8. Seismik pantul dangkal merupakan salah satu metode dalam eksplorasi gas biogenik

Hasil rekaman seismik pantul dangkal adalah penampang waktu (Time Section) yang menggambarkan bidang-bidang pantul (reflektor) dari permukaan air laut hingga bawah dasar laut pada kedalaman tertentu. Dalam pembahasan metode eksplorasi gas biogenik, penulis menggunakan studi kasus pada daerah Perairan Muara Kakap, Kalimantan Barat. Karakteristik pantai menggambarkan keanekaragaman proses pembentukan morfologi, dimana perubahan morfologinya mencirikan hasil dari interaksi antara unsur oseanografisika (angin, gelombang, pasang naik-turun dan arus) terhadap unsur geologi (struktur, batuan dan topografi) dan aspek antropogenik (pengguna). Pemetaan karakteristik pantai bergantung kepada skala peta dan obyek penyelidikan (Dolan, 1975). Pemetaan karakteristik pantai di daerah penyelidikan dilakukan dengan orientasi lapangan melalui jalan laut secara diskriptif, kualitatif terhadap parameter geologi, relief, karakteristik garis pantai dan proses dominan (Doland, 1975). Proses dominan meliputi marin, fluviatil, pencucian massa (mass wasting), kehidupan koral (coral life), pertumbuhan bakau (mangrove life) atau campurannya. Peta dasar yang diapakai peta Rupa Bumi Bakosurtanal skala 1 : 50.000, dan citra ETM7 2001. Daerah penyelidikan termasuk kedalam Delta Kapuas. Delta ini merupakan suatu sistem delta aktif yang dibentuk dalam kondisi lingkungan tropik. Pengaruh gelombang laut dan fluvial sangat besar dalam pembentukan. Delta Kapuas memperlihatkan suatu tipe morfologi hampiir berbentuk kipas simetri (symmetrical fan). Morfologi Delta Kapuas secara umum dapat dibagi kedalam tiga sistem konsentrik radial yaitu dataran delta (delta plain), muka delta (delta front) dan luar delta (prodelta). Berdasarkan pengamatan visual, kawasan Delta Kapuas terdiri atas pulau-pulau yang banyak ditumbuhi mangrove dan nipah. maka karakteristik pantai daerah selidikan dapat digolongkan ke dalam 2 jenis pantai yaitu pantai lumpur mangrove-rhizophora dan 2 pantai lumpur mangrove-nipah Hasil analisa laboratorium contoh batuan sangat berguna untuk memperkirakan kecepatan rambat gelombang seismik (seismic velocity) pada sekuen paling atas dalam satuan meter yang akan di tuangkan dalam peta kedalaman sequen (peta Isopah). Berdasarkan peta isopah secara umum sedimen Holosen di bagian lepas pantai (pro-delta) lebih tebal dibandingkan dengan bagian dataran delta. Pola kontur isopahnya menyempit dengan ketebalan sediment mencapai 35 meter. Pola ini terdapat di utara dan tengah daerah selidikan. Data rekaman seismik menunjukkan di bagian lepas pantai (pro-delta) konfigurasi lapisan sedimen bawah dasar laut sebagian besar mencerminkan pola-pola alur purba dengan konfigurasi torehan dan isian kanal (cut and fill). Sebaliknya ke arah dataran delta atau muara Sungai Kapuas bentuk cut and fill ini tidak tampak lagi karena tertutup oleh pola turbiditas akustik (acoustic turbidity). Pola-pola reflektor yang menunjukkan adanya indikasi gas dalam sediment di daerah penyelidikan antara lain penggosongan akustik (acoustic blanking), turbiditas akustik, penguatan reflector (enhanced reflectors), reflector berganda (multiple reflectors) dan hiperbola difraksi (diffraction hyperbolas).

Gambar 9. Penafsiran rekaman seismik pantul dangkal Dalam penelitian ini metoda seismik menggunakan pemancar energi Uniboom yang mempunyai resolusi tinggi dengan kemampuan identifikasi runtunan-runtunan sedimen hingga sekitar 50 meter di bawah dasar laut. Semua posisi ditentukan menggunakan Sistem Satelit Navigasi Terpadu dengan perangkat Magelen M1000/Garmin Survey II yang dilengkapi paket piranti lunak modifikasi PPPGL sehingga didapatkan akurasi ketelitiam posisi kurang dari 20 meter. Akusisi atau pengambilan data di lapangan menggunakan peta kerja sekala 1 : 50.000. Perhitungan ketebalan sequen yaitu dengan mengalikan ketebalan sequen dalam satuan waktu (detik) dengan kecepatan rambat gelombang seismik yang diperkirakan dalam satuan meter perdetik (m/sec). Untuk perairan Jawa timur yang tidak memiliki variasi dalam jenis batuannya, maka asumsi kecepatan rambat sinyal akustik pada sedimen lumpur dan pasir (Unit IA) adalah 1600 m/sec, sekuen II (Unit IB) 1650 m/sec, sekuen III (unit IC) 1700 m/sec, dan sekuen IV (unit ID) 1750 m/sec. Data-data yang perlu diketahui dalam perhitungan kedalaman dan ketebalan adalah : a. Waktu tempuh gelombang pantul b. Penentuan skala vertical penampang seismik A. Waktu tempuh gelombang pantul Waktu tempuh gelombang pantul bolak-balik diperoleh dengan cara mengukur jarak vertikal tiap-tiap perlapisan dari hasil rekaman analog seismik. Tahap pertama adalah menarik

batas-batas tiap lapisan. Setelah batas perlapisan diketahui maka diukur pula lebar satu sapuan (sweep). Seperti diketahui bahwa penampang seismik yang diperoleh waktu tempuhtwo way time-nya adalah 250 milidetik. Dari rekaman seismik hasil yang diperoleh merupakan penampang waktu (Time Section). Penampang waktu tersebut menggambarkan waktu tempuh gelombang seismik bolak-balik. Untuk mendapatkan waktu tempuh gelombang bolak-balik, perlu diketahui waktu rata-rata picu (firing rate). Sebagai contoh pada rekaman digunakan firing rate detik / Sweep. Dengan mengukur jarak vertikal (secara grafis) masing-masing perlapisan, maka waktu tempuh dari permukaan laut hingga batas-batas perlapisan (bidang pantul) dapat diketahui.

Gambar 10. Dasar penentuan kedalaman berdasarkan gelombang pantul Berikut ini akan diberikan cara menentukan waktu tempuh gelombang seismik bolakbalik pada lintasan 1 sweep = 0,25 detik = 250 mili detik. Satu sweep terdiri dari 10 kolom dimana tiap kolom 33 mm. Oleh karena itu lebar 10 kolom = 330 mm (telah diproses) .Dengan mengukur dari permukaan laut hingga mencapai dasar laut, misalkan didapat = 5 mm, Waktu tempuh gelombang bolak-balik (TWT) dari permukaan hingga dasar laut adalah 250 milidetik/330mm x 5 mm = 3,78 mili detik. B. Penentuan skala vertikal penampang seismik Panjang garis seismic section adalah 250 mili detik (TWT), karena waktu tempuh gelombang bolak-balik TWT (Two Way Time) sehingga waktu tempuh itu dibagi dua yaitu 250/2 = 125 mili detik. Karena ada 10 kolom maka125/10 = 12,5 milidetik dengan perbandingan dari panjang tiap marking dan semua kolom, maka 12,5/250 = 0,05 mili detik karena cepat rambat gelombang seismik dalam air adalah 1500 meter / detik, maka 12,5/250 x 1500 = 75 meter dengan Sweep rate detik / Sweep maka 12,5/250 x 1500 x 0,25 = 18,75 meter karena sapuan detik / Sweep pada setiap detik ledakan, maka (12,5/250 x 1500 x 0,25)x 2 = 37,5 meter. Sehingga Skala vertikal untuk kedalaman air adalah 37,5 m pada penampang seismik. Karena dibagi menjadi 3 kolom maka tiap kolom 12,5 meter. Dengan perbandingan (33/ 330 x

1500 x 0,25)/3 = 12,5. Penentuan kedalaman air dapat juga dikoreksi terhadap MSL (Mean Sea Level) dari pengamatan pasang surut laut. Untuk menentukan skala vertikal ketebalan sedimen, maka asumsi kecepatan rambat sinyal akustik diambil 1600 meter / detik. Sehingga dengan cara yang sama, (12,5/250 x 1600 x 0,25)x 2 = 40 meter atau (33/330 x 1600 x 0,25)/3 = 13,3 meter.

Kesimpulan
Gas biogenik berasal dari hasil pembakaran material organik yang terbentuk pada temperatur dan tekanan yang rendah, dan keberadaannya lebih dari 20% dari cadangan gas dunia. Gas biogenik merupakan gas hidrokarbon yang mudah terbakar karena rantai karbonnya yang pendek (C1). Gas biogenik termasuk jenis bahan bakar yang ramah lingkungan, karena hasil pembakarannya mengeluarkan carbon dioksida (CO2) dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan jenis bahan bakar hidrokarbon lainnya. Gas biogenik merupakan target penting dalam eksplorasi karena secara geologi dapat diprediksi dan mencakup area yang luas serta jumlah besar pada kedalaman yang dangkal. Metode-metode dalam eksplorasi gas biogenik dapat dilakukan dengan metode geologi, geofisika, geokimia dan geolistrik. Di beberapa daerah seperti di Madura dan Sragen, gas biogenik sudah mulai dimanfaatkan secara sederhana sebagai bahan bakar langsung untuk rumah tangga dan penerangan jalan dengan mengalirkan semburan gas dangkal melalui pipa-pipa. Pemetaan geologi kelautan sistematik di wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura yang dilakukan oleh PPPGL tahun 2004 memperlihatkan indikasi potensi sumber gas biogenik yang terperangkap pada sedimen Holocene. Hasil pemboran laut dangkal pada kedalaman sekitar 20 m dari dasar laut di kawasan itu juga ditemukan adanya sedimen berwarna gelap yang diduga sebagai sumber gas yang kaya akan organic matter. Lapisan pembawa gas di laut Jawa dan selat Madura umumnya ditemukan pada kedalaman antara 20-50 m di bawah dasar laut (Lubis dan Kris, 2006). Penelitian-penelitian yang dilakukan telah dapat menyimpulkan bahwa gas hidrat metan ini bisa dieksplorasi untuk diolah menjadi sumber energi baru dimasa depan, menggantikan sumber energi minyak (BBM).

DAFTAR PUSTAKA

You might also like